Keberlanjutan Kelembagaan Lokal Hasil dan Pembahasan .1 Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Lokal

63 “Enggak mungkin saya nerapin aturan, apalagi sampai ke polisi. Saya enggak enak, paling saya hanya bisa negur secara kekeluargaan. Pulau ini kecil, jadi kita kenal semua warga dan sebagian merupakan keluarga saya juga.” B.1. Melemahnya kelembagaan lokal pada akhirnya berdampak pada keberlanjutan kelembagaan dan sumberdaya mangrovenya. Mengacu pada Uphoff 1994, ketika BPDPM gagal memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap pengelolaan mangrove secara lestari, terutama saat menghadapi investor, maka organisasi tersebut kehilangan dukungan dan status kelembagaannya.

5.4 Simpulan

Kelembagaan lokal memiliki peran penting dalam pengelolaan mangrove, ketika masyarakat berpartisipasi aktif dalam mengimplementasikan aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Inisiatif dan partisipasi masyarakat tersebut dapat memobilisasi dan mengorganisasi mereka untuk melakukan tindakan kolektif untuk mengelola mangrove secara lestari. Namun, struktur organisasi yang kurang kuat dan keterlibatan pengurus dalam kegiatan investor berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat, sehingga menurunkan dukungan dan status kelembagaan lokalnya. Akibatnya kelembagaan lokal menjadi melemah, karena tidak mampu menghadapi intervensi investor yang merupakan pejabat pemerintahan dan mempengaruhi politik di tingkat lokal. Hal ini dilakukan investor untuk mendapatkan kepentingannya, dengan cara tidak mematuhi aturan-aturan yang berlaku; karena kelembagaan lokal yang ada tidak mampu mewadahi kepentingannya. Politisasi lingkungan oleh investor mengakibatkan sebagian mangrove di wilayah tersebut dapat dikonversi menjadi vila dan kolam pemancingan, tanpa ada tindakan tegas dari kelembagaan lokal yang ada. 64 6 PEMBAHASAN UMUM Implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Pesawaran ternyata lebih mendukung intensifikasi tambak udang dibandingkan pelestarian mangrove, walaupun kebijakan tersebut telah mengakomodir fungsi lindung dari mangrove. Hal ini diakibatkan oleh mekanisme akses struktural dan relasional yang dijalankan pengusaha tambak udang intensif yang membuatnya mampu mengkonversi mangrove secara masif. Mekanisme ini juga mampu meredam gejolak sosial yang ditimbulkan akibat kehadiran aktivitas tambak di wilayah tersebut. Berdasarkan peraturan perundangan di tingkat pusat, khususnya Keppres No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, maka mangrove telah ditetapkan sebagai bagian dari kawasan lindung. Begitu pula dengan RTRW Kabupaten Pesawaran yang menyatakan bahwa mangrove sebagai kawasan sempadan pantai yang merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat. Fungsi lindung dari mangrove menjadi terancam ketika Pemerintah Kabupaten Pesawaran tidak mampu menegakkan aturan secara tegas; sehingga keberadaannya akan sangat bergantung kepada kepentingan pemiliknya, karena sebagian besar mangrove berada di lahan milik dan bukan di kawasan hutan negara. Menurut Noor et al. 2006 setidaknya telah dibuat 22 buah peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove di Indonesia, dimana peraturan perundangan tersebut umumnya menyoroti hubungan antara sektor kehutanan dan sektor perikanan serta mengenai jalur hijau. Konversi mangrove menjadi tambak udang sangat terkait dengan perkembangan industrialisasi tambak udang yang terjadi di Indonesia. Udang merupakan komoditas primadona sektor perikanan karena sejak lama mampu menembus pasar ekspor, dengan negara tujuan ekspornya didominasi oleh Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tabel 12. Devisa yang dihasilkan dari ekspor udang mendorong pemerintah untuk terus meningkatkan luas lahan budidaya perikanan tersebut. Data KKP 2011 menunjukkan kenaikan luas lahan untuk budidaya tambak selama tahun 2007-2010 rata-rata sebesar 7,22. Berdasarkan data KKP 2011, potensi lahan budidaya tambak di Indonesia sebesar 2.963.717 ha, dengan realisasi sebesar 682.857 ha; sementara di Provinsi Lampung sendiri sebesar 73.024 ha, dengan realisasi sebesar 35.158 ha. Tabel 12 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia tahun 2007-2011 Tahun Negara tujuan Jepang AS UE Lainnya Volume ton Nilai US 1.000 Volume ton Nilai US 1.000 Volume ton Nilai US 1.000 Volume ton Nilai US 1.000 2007 40.334 334.982 60.339 420.720 28.845 178.195 27.967 96.038 2008 39.582 337.681 80.479 550.773 26.825 177.855 26.397 96.306 2009 38.528 333.656 63.952 426.995 23.689 146.597 25.180 100.833 2010 36.712 351.402 58.277 443.220 13.383 110.549 36.720 151.228 2011 36.605 393.266 68.092 572.720 16.315 136.975 31.041 108.585 Sumber: KKP 2011 65 Perilaku sebagian besar pengusaha tambak udang intensif, khususnya di Kabupaten Pesawaran, yang tidak ramah lingkungan dengan mengkonversi mangrove dan membuang limbah tambak ke perairan telah mengakibatkan degradasi ekosistem pesisir dan memarjinalkan masyarakat lokal. Anh et al. 2010 menunjukkan bahwa sumber polutan utama dalam budidaya udang adalah penggunaan bahan kimia, obat-obatan, pupuk, sumberdaya air, dan pakan, serta pembuangan limbah cair dan sedimen, dimana hal ini mengakibatkan pencemaran air, sedimen yang terkontaminasi dan penyebaran penyakit. Menurut Rivera-Ferre 2009 industri tambak udang berorientasi ekspor telah terbukti tidak berkelanjutan secara sosial dan lingkungan. Kualitas perairan yang memburuk membuat udang yang dibudidayakan menjadi rentan terkena penyakit, sehingga produktivitasnya menurun karena media budidayanya merupakan air laut yang diambil dari perairan di sekitar tambak. Penyakit merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya udang. Sebagai ilustrasi, menurut Nurjana 2007 diacu dalam Juarno 2012 produksi udang di Indonesia tahun 2010 hanya tercapai sekitar 382 ribu ton dari target 540 ribu ton, atau turun dari pencapaian tahun 2008 sebanyak 409 ribu ton. Penyebabnya adalah tambak udang di dua wilayah produsen udang utama yaitu Provinsi Lampung dan Provinsi Jawa Timur terkena serangan virus, antara lain: White Spot Syndrome Virus WSSV, Taura Syndrome Virus TSV dan Infectious Myo Necrosis Virus IMNV. Akibatnya, produktivitas udang mengalami penurunan dari 20 tonha menjadi 17-18 tonha. Sejak akhir tahun 2000-an, serangan penyakit telah menyebabkan produksi udang menurun tajam hampir di semua tambak. Hal yang sama juga dirasakan oleh pemilik keramba jaring apung KJA yang mengalami kematian massal ikan- ikan kerapu yang dibudidayakannya. Pemilik KJA menuding penyebab menurunnya kualitas perairan adalah banyaknya tambak udang yang berada di sepanjang pantai. Salah satu indikasi penurunan kualitas perairan di kawasan tersebut berdasarkan studi yang dilakukan Hasani et al. 2012 adalah munculnya fenomena Harmful Algal Blooms HABs di Teluk Hurun, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran. Fenomena ini diduga akibat peningkatan unsur hara nitrogen dan fospor dari limbah pertambakan, pembenihan hatchery, dan budidaya ikan dalam karamba jaring apung. Masukan nitrogen dan fospor ke perairan menyebabkan eutrofikasi perairan yang dapat memicu terjadinya ledakan populasi fitoplankton yang berbahaya bagi organisme perairan. Kautsky et al. 2000 menunjukkan bahwa tambak udang sangat bergantung pada jasa lingkungan yang disediakan oleh alam dan harus mempertimbangkan daya dukung budidaya udang dari perspektif ekosistem, termasuk aspek seperti intensitas budidaya, kepadatan kolam dan keberlanjutan; karena budidaya perikanan pada dasarnya merupakan proses ekologi alami, meskipun dalam budidaya udang intensif hal tersebut dilakukan untuk mencapai proporsi industri. Prinsip-prinsip ekologi yang mendasarinya menjadi penting, karena dapat membantu memahami dan berkontribusi terhadap pemecahan masalah penyakit yang dihadapi dalam budidaya udang. Konversi mangrove secara masif membuat tambak udang menghilangkan fungsi biofilter alami dari ekosistem mangrove; akibatnya limbah tambak digunakan kembali sehingga menyebabkan pencemaran 66 terhadap sistem tambak itu sendiri dan mempengaruhi habitat mangrove dan pesisir yang tersisa, terutama pengambilan hasil laut oleh masyarakat setempat. Penelitian yang dilakukan oleh Primavera et al. 2007 memperlihatkan bahwa pengembangan teknologi budidaya perikanan yang ramah lingkungan tidak memerlukan pembukaan atau pembersihan lahan mangrove. Pengembangan teknologi tersebut dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu: 1 silvofishery atau aquasilviculture dimana budidaya kepiting dan ikan dengan kepadatan rendah yang terintegrasi dengan mangrove dan 2 mangrove filters di mana tegakan mangrove yang berdekatan digunakan untuk menyerap limbah dari tambak udang dan ikan dengan kepadatan tinggi. Studi yang dilakukan Alongi et al. 2000 menunjukkan bahwa karakteristik sedimen yang kondusif dan tingkat fotosintesis tinggi dari berbagai sistem mangrove memberikan dasar untuk fungsi biofilter dengan tingkat serapan nutrient tinggi. Nilai fungsi biofilter mangrove berdasarkan biaya untuk membangun pabrik pengolahan limbah diperkirakan sebesar US 1.193hatahun Cabrera et al. 1998, diacu dalam Walters et al 2008 sampai dengan US 5.820hatahun Lal 1990, diacu dalam Walters et al 2008 tergantung pada jenis dan luasan mangrove. Beberapa hasil penelitian menunjukkan rasio mangrove dengan tambak udang yang mendukung silvofishery dan fungsi biofilter di atas Tabel 13. Tabel 13 Rasio mangrove dengan tambak udang Rasio mangrove dengan tambak udang Sistem tambak Referensi N-filter P-filter 6-9 : 1 4 : 1 Saenger et al. 1983 8,96 : 1 7,82 : 1 Intensif Boonsong Eiumnoh 1995 7,21 : 1 21,7 : 1 Intensif Robertson Phillips 1995 2,4 : 1 2,8 : 1 Semi intensif Robertson Phillips 1995 6,4 : 1 6,4 : 1 Semi intensif Kautsky et al. 1997 3,6-5,4 : 1 Intensif Primavera et al. 2007 1,8-2,7 : 1 Semi intensif Primavera et al. 2007 0,85 : 1 Tradisional silvofishery Zuna 1998 0,67-1 : 1 Tradisional silvofishery Nur 2002 4 : 1 Tradisional silvofishery Saraswati 2005 4 : 1 Tradisional silvofishery Wibowo Handayani 2006 1,5 : 1 Tradisional silvofishery Harahab 2010 Keterangan: = untuk menghilangkan nitrat yang terdapat dalam limbah tambak udangha = untuk menghilangkan pospor yang terdapat dalam limbah tambak udangha = diacu dalam Primavera et al. 2007

Dokumen yang terkait

Diversitas Cacing Laut (Polychaeta) Pada Ekosistem Mangrove Dan Tambak Terbuka Di Desa Durian Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

1 12 34

Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

2 20 91

Pengelolaan Kawasan Budidaya Kerapu Sistem KJA dengan Pendekatan Daya Dukung Ekologi (Studi Kasus Perairan Ringgung Kabupaten Pesawaran Lampung)

0 5 68

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 7

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 5

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 2

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 10

PEMBENTUKAN KABUPATEN PESAWARAN DI PROVINSI LAMPUNG

0 0 22

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN MATA AIR DI DESA SUNGAI LANGKA, KECAMATAN GEDONG TATAAN, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG

0 0 8