Latar Belakang Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung

4 penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan Robbins 2004. Tabel 2 Tesis politik ekologi Tesis Apa yang dijelaskan Relevansi Degradasi dan marjinalisasi Perubahan lingkungan: mengapa dan bagaimana? Degradasi lahan, menyalahkan masyarakat marjinal, diletakkan dalam konteks politik dan ekonomi yang lebih luas Konflik lingkungan Akses lingkungan: siapa dan mengapa? Konflik lingkungan ditunjukkan menjadi bagian yang lebih luas dari perjuangan gender, kelas, ras, dan sebaliknya Konservasi dan kontrol Kegagalan konservasi dan pengecualian politikekonomi: mengapa dan bagaimana? Biasanya dipandang tidak ramah, usaha-usaha konservasi lingkungan ditunjukkan memiliki dampak buruk dan kadang-kadang gagal hasilnya Identitas lingkungan dan pergerakan sosial Pergolakan sosial: siapa, dimana, dan bagaimana? Perjuangan politik dan sosial ditunjukkan dikaitkan dengan isu-isu perlindungan mata pencaharian dan lingkungan Sumber: Robbins 2004 Bryant dan Bailey 1997 menyatakan bahwa peneliti politik ekologi memberikan suatu perspektif politik ekonomi secara luas dengan mengadopsi berbagai pendekatan dalam menerapkan perspektif tersebut untuk investigasi interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Pendekatan yang berbeda tersebut tidak saling eksklusif karena para peneliti sering menggabungkan atau menggunakan pendekatan yang berbeda. Hal ini mencerminkan prioritas penelitian yang berbeda di lapangan, yaitu: 1 pendekatan yang mengarahkan penelitian dan penjelasan dalam politik ekologi dunia ketiga seputar masalah lingkungan tertentu atau serangkaian masalah seperti erosi tanah, deforestasi hutan tropis, pencemaran air, atau degradasi lahan, 2 pendekatan yang memfokuskan pada suatu konsep yang dianggap memiliki kaitan penting terhadap pertanyaan politik ekologi, 3 pendekatan yang memeriksa hubungan masalah- masalah politik dan ekologi dalam konteks suatu wilayah geografis tertentu, 4 pendekatan yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan politik ekologi dalam menjelaskan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas, etnis, atau gender, dan 5 pendekatan yang menekankan kebutuhan yang terfokus pada kepentingan, karakteristik, dan tindakan dari berbagai tipe aktor dalam pemahaman konflik politik ekologi. Schubert 2005 melihat bahwa salah satu karakteristik politik ekologi adalah politik ekologi bukan merupakan suatu grand theory yang koheren, tetapi lebih sebagai suatu lensa spesifik yang dapat menguji interaksi antara lingkungan dan masyarakat. Peneliti politik ekologi mempunyai sudut pandang yang berbeda dan tergantung pada latar belakang disiplin ilmu yang sangat berbeda geografi, antropologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, dan manajemen, serta 5 paradigma dan teori-teori yang dikemukakan oleh para peneliti dengan bidang yang sama juga sangat sering bertentangan. Politik ekologi menyediakan alat konseptual untuk analisis daripada sebuah teori yang meliputi hubungan manusia- lingkungan. Selain itu, politik ekologi merupakan studi kasus yang berbeda dan merupakan masalah-masalah kehidupan nyata secara lokal, dimana teori-teori politik ekologi yang spesifik dan koheren yang dijadikan basis penelitian para peneliti sulit untuk diidentifikasi. Tabel 3 Konsep dan proses dalam politik ekologi Bidangpendekatan Konsep Beberapa proses yang harus diperhatikan Resiko Perilaku beresiko rendah dan tinggi Sistem manajemen tradisonal, diarahkan untuk meminimalkan resiko, diubah di bawah tekanan politikekonomi Perilaku cultural ecology Manajer lahan rasional Pengambilan keputusan produksi, diarahkan untuk meminimalkan pekerjaan yang membosankan, diubah di bawah tekanan politikekonomi Common property Kelembagaan sebagai aturan Perubahan kelembagaan lingkungan dalam perubahan politik ekonomi yang menyebabkan kegagalan sistem Collective action MaterialismeMarxisme Nilai surplus Perubahan sistem produksi meningkatkan eksploitasi dan degradasi tenaga kerja dan lingkungan Eksploitasi dan hegemoni Studi petani Moral ekonomi Rekonfigurasi hasil-hasil manajemen lingkungan dalam krisis dan resistensi politik dan sosial Resistensi sehari-hari Pengembangan feminis Pembagian tenaga kerja dan kekuasaan Rekonfigurasi pengaruh manajemen lingkungan pada ekstraksi tenaga kerja dan sumberdaya yang termarjinalisasi Sejarah lingkungan Ambang dasar Sistem ekologi baru muncul dari persaingan dan penggunaan lingkungan berikutnya Nature’s agency Studi pasca kolonialsubaltern Pengaitan politik pada ilmu sosial Perhitungan perubahan sosial yang digunakan untuk memperluas dan memperkuat kontrol politik atas kelompok marjinal dan terjajah Ilmu pengetahuan dan dekonstruksi Pengaitan sosial pada ilmu fisika Perhitungan perubahan lingkungan yang digunakan untuk memperoleh kontrol politik dari orang dan sumberdaya Sumber: Robbins 2004 Perbedaan ini menurut Robbins 2004 mencerminkan perkembangan sejarah bidang tersebut. Penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan. Keragaman penelitian politik ekologi juga memiliki argumen- argumen tak terhitung, lebih kecil, dan berbeda yang ditujukan di antara banyak isu, yaitu: kemungkinan untuk tindakan kolektif masyarakat, peran tenaga kerja manusia dalam metabolisme lingkungan, sifat pengambilan dan penghindaran 6 resiko dalam perilaku manusia, keragaman persepsi lingkungan, penyebab dan dampak korupsi politik, serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Meskipun terdapat keragaman, perhatian dan pertanyaan utama politik ekologi terus berputar di sekitar beberapa alat konseptual umum dan proses Tabel 3. Hal ini termasuk penjelasan berantai lintas skala cross-scale chain of explanation, komitmen untuk mengeksplorasi masyarakat marjinal dan perspektif politik ekonomi yang didefinisikan secara lebih luas. Peterson 2000 berpendapat bahwa politik ekologi seharusnya menggabungkan keragaman dan dinamika kehidupan, dimana jasa ekologi dan sumberdaya yang tersedia pada waktu dan tempat tertentu akan menentukan alternatif yang tersedia yang membentuk politik, ekonomi, dan pengelolaan ekosistem. Namun, batasan ini mencair karena ekosistem merupakan hal yang dinamis dan berubah-ubah. Penelitian politik ekologi yang tidak ditujukan untuk dinamika ekologi ini mungkin politik, tetapi bukan ekologi. Demikian pula, ketika politik tidak dapat mengabaikan ekologi, pendekatan ekologi perlu mempertimbangkan dinamika politik dalam penjelasan mereka terhadap tindakan manusia. Vayda dan Walters 1999 menyatakan bahwa obyek dari penjelasan politik ekologi adalah benar-benar merupakan perubahan lingkungan. Usulan ini tidak berprasangka pentingnya faktor-faktor politik, tetapi masih memperhatikan setiap dan semua jenis faktor-faktor tersebut setiap kali terlihat dalam perjalanan penelitian, sehingga faktor-faktor tersebut menjadi menarik dan relevan untuk menjelaskan lingkungan atau peristiwa-peristiwa yang terkait lingkungan. Metode ini memulai penelitian dengan fokus pada peristiwa atau perubahan lingkungan yang ingin dijelaskan, sehingga memungkinkan untuk membangun rantai penyebab dan dampak yang mengarah ke peristiwa atau perubahan tersebut. Dari berbagai pendekatan politik ekologi yang ada, Bryant dan Bailey 1997 memfokuskan politik ekologi dunia ketiga pada analisis terhadap aktor- aktor, seperti: negara, bisnis, lembaga-lembaga multilateral, lembaga swadaya masyarakat, dan akar rumput yang memiliki peran di lingkungan. Penggunaan pendekatan berorientasi aktor tersebut terutama dimotivasi oleh kepedulian untuk mengedepankan politik dan keyakinan terkait dengan pemahaman tentang kepentingan dan tindakan politik aktor yang merupakan hal politis. Dalam mengadopsinya, tidak berarti pendekatan politik ekologi lainnya yang didasarkan pada analisis masalah lingkungan, konsep, wilayah geografis, atau karakteristik sosial ekonomi tidak valid; sebaliknya, pendekatan yang berbeda ini perlu dilihat sebagai pelengkap satu sama lain. Beberapa keuntungan dari pendekatan berorientasi aktor, yaitu: 1 dengan memeriksa peran dan pentingnya aktor dalam perubahan lingkungan, maka akan dapat menempatkan temuan dari banyak penelitian empiris tingkat lokal dalam perspektif teoritis dan komparatif, sehingga perasaan bahwa temuan penelitian telah diterapkan secara terbatas di luar lokalitas dapat dihindari, 2 dengan mengintegrasikan wawasan teoritis dan komparatif mengenai peran dan pentingnya aktor yang berbeda, maka akan dapat memberikan gambaran yang cukup komprehensif dari motivasi, kepentingan, dan tindakan aktor-aktor, dan 3 dengan menekankan peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan, maka dapat ditegaskan bahwa politik menjadi sentral dalam penelitian politik ekologi; dimana ada dua hal yang menjadi inti dari setiap pemahaman bermakna politik tersebut, yaitu: a apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi aktor-aktor dengan sumberdaya lingkungan, 7 yang menunjukkan bahwa politik adalah sebuah proses di mana pelaku mengambil dan memainkan peran sentral, dan b pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuasaan untuk bertindak mend apatkan kepentingannya, yang menyatakan kebutuhan ke ranah proses pemahaman global dan regional atau lokal dalam apresiasi terhadap peran aktor-aktor tertentu dalam pembangunannya, sehingga membuat proses-proses menjadi lebih nyata dan bermakna secara simultan dalam hal politik. Suatu pemahaman yang lebih detail mengenai politisasi lingkungan dunia ketiga dapat ditemukan dalam analisis relasi kekuasaan yang tidak setara yang sering dikaitkan dengan konflik akses dan pemanfaatan berbagai sumberdaya lingkungan. Jenis analisis ini telah lama menjadi tema sentral peneliti politik ekologi di Afrika, Asia dan Amerika Latin yang berusaha untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengendalian lingkungan dan kontestasi. Ketidakadilan sosial dan ekonomi adalah suatu gambaran integral dalam pengembangan politik ekologi di dunia ketiga, yang secara umum menekankan marjinalitas dan kerentanan masyarakat miskin terhadap proses sosial dan ekologi. Sebagian besar penelitian politik ekologi merupakan gagasan tentang kondisi sosial dan lingkungan yang dibentuk melalui relasi kekuasaan yang tidak setara. Kekuasaan tercermin dalam kemampuan satu aktor untuk mengontrol aktor lainnya dan dapat dilihat di lingkungan melalui perubahan lahan, udara atau air, seperti: penebangan hutan, hutan tanaman, ladang kapas, pembuangan limbah beracun, limbah tambang, dan sebagainya Bryant 1998. Relasi kekuasaan yang tidak setara merupakan faktor utama dalam memahami pola-pola interaksi manusia-lingkungan dan sangat terkait dengan masalah lingkungan, yang secara keseluruhan merupakan krisis lingkungan di dunia ketiga. Relasi ini perlu dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dalam jumlah lebih besar atau kecil yang mempengaruhi hasil konflik lingkungan tersebut. Kekuatan atau kekuasaan power dalam politik ekologi menjadi konsep kunci dalam upaya untuk menentukan topografi dari suatu politisasi lingkungan. Peneliti politik ekologi memahami konsep kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan kemampuan seorang aktor untuk mengendalikan interaksinya dengan lingkungan dan interaksi aktor-aktor lain dengan lingkungan Bryant dan Bailey 1997; Bryant 1998. Teori akses dari Ribot dan Peluso 2003 menempatkan kekuasaan di dalam konteks politik ekonomi yang membentuk kemampuan orang untuk memanfaatkan sumberdaya; dimana akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Analisis ini diperluas melebihi gagasan property bundle of right menuju pendekatan akses “bundle of power”, sehingga dapat membantu untuk memahami mengapa beberapa orang atau kelembagaan memperoleh manfaat dari sumberdaya, ada atau tidak ada hak yang mereka miliki. Kisaran kekuasaan range of power melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial, yang mempengaruhi kemampuan orang untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan ini merupakan bagian- bagian materi, budaya, dan politik ekonomi di dalam ikatan bundles dan jejaring webs kekuasaan yang membentuk akses sumberdaya. Bagian-bagian tersebut diartikan sebagai proses dan relasi yang memungkinkan aktor-aktor memperoleh, mengontrol, dan memelihara akses ke sumberdaya. Istilah mekanisme digunakan 8 untuk menyebut proses dan relasi tersebut. Ada beberapa jenis mekanisme yang bekerja. Mekanisme akses berbasis hak rights-based access, termasuk akses ilegal access illegal, dapat digunakan secara langsung untuk memperoleh manfaat; sementara mekanisme akses struktural dan relasional structural and relational acces mechanism termasuk atau memperkuat akses yang diperoleh secara langsung melalui pembentukan akses berbasis hak atau yang ilegal. Kategori akses dalam mekanisme akses struktural dan relasional menggambarkan jenis-jenis relasi kekuasaan, seperti: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Setiap bentuk akses memungkinkan, bertentangan, atau melengkapi mekanisme akses lainnya dan menghasilkan pola-pola sosial yang kompleks dari distribusi manfaat. Safarzynska dan Van Den Bergh 2010 menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu atribut relasi sosial. Dalam ilmu sosial dan politik, definisi kekuasaan yang ada dibangun pada dikotomi lembaga dan struktur. Perspektif lembaga menekankan mekanisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mencapai hasil yang diinginkan; sedangkan perspektif struktural difokuskan pada sumber kekuasaan, yaitu unsur atau ciri institusional yang melimpahkan kekuasaan pada kelompok atau individu tertentu. Dari perspektif lembaga, definisi kekuasaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu: 1 kemampuan untuk mempengaruhi pilihan orang lain secara langsung, kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan kemampuan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi konflik, 2 kemampuan untuk mempengaruhi pilihan sekelompok orang lain, dan 3 kemampuan untuk mempengaruhi preferensi, keyakinan, dan nilai-nilai orang lain terhadap berbagai alternatif; sementara perspektif struktural menekankan pada penerapan keputusan oleh sumber legitimasi kekuasaan yang berasal dari hak istimewa posisi seseorang di dalam struktur dan akses terhadap individu yang berkuasa, informasi, dan sumberdaya. Konflik akses dan pemanfaatan hasil sumberdaya alam juga muncul dalam pengelolaan mangrove. Deforestasi mangrove secara global telah berlangsung pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Analisis yang dilakukan oleh FAO 2007 menunjukkan bahwa kawasan mangrove di seluruh dunia telah turun 20 atau sekitar 3,6 juta ha selama kurun waktu 25 tahun, yaitu dari 18,8 juta ha pada tahun 1980 menjadi sekitar 15,2 juta ha pada tahun 2005. Di Indonesia, kawasan mangrove telah turun 30 selama kurun waktu yang sama, yaitu dari 4,2 juta ha pada tahun 1980 menjadi 2,9 juta ha pada tahun 2005. Menurut Kusmana 2012 sebagian besar mangrove telah dieksploitasi secara komersial dan area mangrove sebagai sumberdaya lahan juga telah dikonversi untuk penggunaan lainnya pertanian, perikanan, urbanisasi, pertambangan, dan tambak garam yang sering menimbulkan konflik kepentingan di antara penggunanya; dimana di beberapa tempat eksploitasi yang berlebihan dan reklamasi lahan mangrove mengakibatkan degradasi dan hilangnya mangrove. Cruz-Torres 2000 menjelaskan bahwa selama tahun 1990-an hubungan antara budidaya udang dan mangrove telah menjadi perhatian global, dimana budidaya udang telah mengakibatkan degradasi mangrove di banyak negara dunia ketiga. EJF 2003 menyatakan bahwa industri budidaya udang telah dipromosi- kan secara aktif oleh organisasi, seperti: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan FAO, sebagai sarana menciptakan lapangan kerja, membawa valuta asing, dan 9 mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Ekspor udang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi negara-negara produsen, tetapi seringkali negara- negara ini kurang jelas tata kelola pemerintahannya dalam memastikan penggunaan sumberdaya yang adil. Pada banyak kasus, biaya eksternal dari industri tersebut tidak ditanggung oleh pihak yang mendapatkan keuntungan, tetapi dampaknya berpindah ke masyarakat termiskin dan paling rentan. Fenomena yang terjadi dalam pengelolaan mangrove, khususnya yang dikonversi untuk kepentingan budidaya perikanan tambak udang, dapat dijelaskan dengan perspektif politik ekologi. Relasi kekuasaan menjadi sangat penting karena merupakan gambaran bagaimana pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak adil di antara aktor-aktor yang terlibat. Persoalan ini telah didokumentasikan di beberapa negara dan dianalisis dengan konsep politik ekologi, seperti: Indonesia Armitage 2002, Thailand Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007, Meksiko Cruz-Torres 2000, Honduras Dewalt et al. 1996 dan Filipina Vayda dan Walters 1999. Penelitian di atas masih terfokus pada mangrove yang berada di kawasan hutan negara, sementara yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara masih belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan memberi perhatian pada konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan degradasi lingkungan dalam bentuk konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Konversi tersebut terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dan membuat masyarakat setempat menjadi termarjinalkan. Konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan degradasi lingkungan tersebut adalah relasi kekuasaan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah mengapa terjadi degradasi lingkungan, dalam hal ini konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Pertanyaan di atas dapat diuraikan lebih lanjut menjadi beberapa pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pemanfaatan mangrove? a. Siapa saja aktor yang terlibat? b. Kepentingan apa saja yang diperjuangkan oleh masing-masing aktor? c. Akses apa saja yang dimiliki oleh masing-masing aktor? d. Bagaimana mekanisme akses yang dijalankan oleh masing-masing aktor untuk mendapatkan kepentingannya? e. Bagaimana kelayakan finansial dari pola penggunaan lahan mangrove yang ada? 2. Bagaimana peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove? a. Mengapa dan bagaimana pembentukan dan penguatan kelembagaan lokal dilakukan? b. Aturan apa saja yang diatur oleh kelembagaan lokal? c. Bagaimana struktur dan peran organisasi dari kelembagaan lokal? d. Bagaimana keberlanjutan kelembagaan lokal dan sumberdayanya? 10 3. Bagaimana rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan? a. Kebijakan apa saja yang terkait dengan pengelolaan mangrove? b. Bagaimana implementasi kebijakannya? c. Bila implementasinya belum efektif, maka bagaimana kebijakan menjadi efektif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan aktor yang berbeda?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama penelitian ini adalah menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan beberapa kajian dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menjelaskan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pengelolaan mangrove. 2. Menjelaskan peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove. 3. Memberikan rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Penjelasan dan rekomendasi tersebut bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait, seperti: pemerintah, akademisi, masyarakat, LSM, pengusaha, dan lain-lain, dalam melakukan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

1.4 Novelty

Penelitian politik ekologi yang mengkaji tentang degradasi lingkungan, khususnya mengenai konversi mangrove menjadi tambak udang, telah dilakukan beberapa peneliti di berbagai negara, seperti: Indonesia Armitage 2002, Thailand Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007, Meksiko Cruz-Torres 2000, dan Filipina Vayda dan Walters 1999. Penelitian tersebut masih terfokus pada relasi kekuasaan antar aktor yang terjadi dalam konversi mangrove menjadi tambak udang di kawasan hutan negara; namun yang terjadi di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam relasi kekuasaan antar aktor yang mempengaruhi pengelolaan mangrove di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, yang sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak udang intensif. 1.5 Metodologi 1.5.1 Kerangka Pemikiran Dalam mengkaji perubahan lingkungan, para peneliti politik ekologi memiliki asumsi bahwa perubahan yang terjadi tidaklah bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang melibatkan aktor-aktor dengan relasi kekuasaan yang tidak setara. Relasi kekuasaan yang tidak setara akan berimplikasi pada kerusakan sumberdaya dan memarjinalkan aktor yang paling lemah, yaitu masyarakat. Konsep kekuasaan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji 11 interaksi atau relasi sosial konflik atau kerjasama antar aktor yang seringkali memiliki kepentingan yang berbeda. Perubahan lingkungan yang terjadi berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara. Pemahaman tersebut dapat menjadi pijakan penting dalam merekomendasikan kebijakan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey 1997 yang dapat mengeksplorasi secara lebih mendalam posisi dan peran, kepentingan, serta tindakan dari berbagai aktor yang berbeda. Karena pendekatan di atas belum secara jelas dan terperinci menerangkan bagaimana tindakan yang dilakukan oleh aktor, maka pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso 2003. Akses didefinisikan oleh Ribot dan Peluso 2003 sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Dengan memfokuskan pada kemampuan, akses memberikan perhatian terhadap kisaran relasi sosial yang lebih luas yang dapat menghambat atau memungkinkan aktor untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial, dimana penguasaan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial bundle of power akan mempengaruhi tingkat akses ke sumberdaya. Relasi kekuasaan antar aktor dijelaskan dengan mengkaji bagaimana aktor menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol aktor lain dalam pemanfaatan sumberdaya. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki aktor, maka semakin besar aksesnya ke sumberdaya mangrove. Di dalam relasi sosial antar aktor, terjadi konflik atau kompetisi dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kompetisi tersebut akan dimenangkan oleh aktor yang memiliki bundle of power lebih besar dibandingkan aktor lainnya. Untuk memperkuat mengapa sumberdaya mangrove diperebutkan oleh berbagai aktor, maka dilakukan kajian mengenai nilai sumberdayanya dengan menggunakan analisis finansial terhadap beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang diusahakan. Semakin tinggi nilai sumberdayanya dalam ukuran kelayakan finansial, maka akan semakin besar tingkat kepentingan aktor untuk menguasai sumberdaya mangrovenya. Masyarakat secara individu memiliki posisi tawar yang rendah, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang lemah untuk berkompetisi dengan aktor lainnya dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove. Oleh karena itu, diperlukan suatu kelembagaan untuk meningkatkan posisi tawarnya. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff 1986; 1994 digunakan untuk menganalisis kelembagaan tersebut. Kelembagaan lokal akan memperoleh status dan kualitas kelembagaannya karena keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya mangrove secara lestari dan apresiasi yang didapat dari masyarakat. Semakin kuat kelembagaan lokal pengelolaan mangrove, maka semakin kuat posisi tawar kelembagaan lokal tersebut menghadapi intervensi aktor-aktor lainnya yang memiliki kepentingan berbeda dengan masyarakat; sehingga semakin tinggi tingkat kelestarian mangrovenya. 12 Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Posisi Peran Perspektif Politik Ekologi Memetakan politisasi lingkungan yang terjadi Kepentingan Tindakan Kelayakan Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove NPV, BCR, dan IRR Kelembagaan Lokal Uphoff 1986; 1994 Akses Kemampuan memperoleh manfaat dari sesuatu obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol Bundle of Power teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, relasi sosial Memahami konflikkerjasama antar aktor Konversi mangrove menjadi tambak udang intensif Rekomendasi Kebijakan Teori Akses Ribot dan Peluso 2003 Pendekatan Berorientasi Aktor Bryant dan Bailey 1997 12

Dokumen yang terkait

Diversitas Cacing Laut (Polychaeta) Pada Ekosistem Mangrove Dan Tambak Terbuka Di Desa Durian Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

1 12 34

Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

2 20 91

Pengelolaan Kawasan Budidaya Kerapu Sistem KJA dengan Pendekatan Daya Dukung Ekologi (Studi Kasus Perairan Ringgung Kabupaten Pesawaran Lampung)

0 5 68

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 7

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 5

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 2

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 10

PEMBENTUKAN KABUPATEN PESAWARAN DI PROVINSI LAMPUNG

0 0 22

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN MATA AIR DI DESA SUNGAI LANGKA, KECAMATAN GEDONG TATAAN, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG

0 0 8