51 bagi masyarakat lokal dan ekonomi regional. Dengan demikian, menurut Zhang
dan Lei 2012, keterlibatan warga dalam ekowisata dapat dirangsang melalui strategi pengelolaan yang tepat ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan
lingkungan mereka, mendorong sikap positif ekowisata dan perencanaan lingkungan yang mempromosikan atraksi lokal.
Peningkatan kapasitas BPDPM dan masyarakat lokal dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang difasilitasi oleh LSM Mitra Bentala
bekerjasama dengan lembaga-lembaga donor. Beberapa pelatihan yang terkait dengan pengembangan ekowisata mangrove adalah identifikasi jenis vegetasi
mangrove, pemanfaatan hasil hutan non kayu mangrove, pengembangan ekowisata, dan lain-lain. Dengan meningkatnya kapasitas masyarakat serta alternatif mata
pencaharian khususnya dalam ekowisata, maka tekanan terhadap mangrove oleh masyarakat setempat dapat dikurangi dan dapat mengembangkan dukungan lokal
yang kuat untuk pengelolaan mangrove secara lestari. Zhang dan Lei 2012 berpendapat bahwa pengetahuan lingkungan secara positif mempengaruhi sikap
terhadap ekowisata, yang pada gilirannya baik secara langsung maupun tidak langsung akan menentukan niat masyarakat untuk berpartisipasi dalam ekowisata.
Penelitian Badola et al. 2012 menunjukkan bahwa meningkatnya alternatif mata pencaharian masyarakat lokal berpengaruh positif terhadap konservasi mangrove
di pesisir timur India.
Berkembangnya ekowisata di Desa Pulau Pahawang setahap demi setahap mulai menunjukkan hasil. Saat ini wisatawan yang berkunjung melalui Mitra
Wisata bisa mencapai 10-15 orang dalam sebulan, dengan jumlah trip perjalanan sebanyak dua kali dalam sebulan. Setiap pengunjung yang datang dikenakan
retribusi untuk desa sebesar Rp 15.000orang. Selain retribusi, ekowisata menciptakan peluang kerja bagi masyarakat setempat, menciptakan alternatif
pendapatan dan peluang-peluang usaha baru, menguatnya keyakinan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya alam, terkampanyekannya isu-isu penyelamatan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta terjaganya sumberdaya alam, khususnya mangrove.
Untuk memberdayakan masyarakat, maka Mitra Wisata membeli bibit mangrove dari BPDPM untuk ditanam oleh wisatawan. Mitra Wisata juga
meminta masyarakat dan BPDPM untuk menjadi pemandu ekowisata mangrove, menyewakan perahu untuk menyusuri mangrove, memancing, diving, dan
snorkling
, serta menyediakan makanan khas, seperti makanan olahan hasil laut dan makanan olahan yang berasal dari mangrove untuk disajikan kepada
wisatawan. Makanan olahan mangrove tersebut antara lain dodol dan peyek yang menjadi bagian dari paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan yang
berkunjung ke Desa Pulau Pahawang. Pengembangan wisata juga dapat memberikan tambahan pendapatan masyarakat melalui usaha-usaha yang dapat
dilakukan, diantaranya untuk penyewaan peralatan untuk diving dan snorkling, penyewaan sepeda, penginapan, warung makan, MCK umum, oleh-oleh, souvenir,
dan lain-lain. Di sisi lain, adanya operator wisata yang bergerak di luar kordinasi dengan Mitra Wisata menimbulkan kekuatiran. Kekuatiran ini muncul karena
operator wisata tersebut lebih terfokus pada pariwisata semata, sementara perhatian terhadap konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat lokal dirasakan
masih kurang.
52 Tantangan terberat yang dihadapi dalam pengembangan ekowisata dan
konservasi mangrove berbasis masyarakat di Desa Pulau Pahawang adalah beralihnya kepemilikan lahan terutama yang berada di tepi pantai atau lahan-lahan
yang berdampingan dengan mangrove dari masyarakat setempat ke investor, seperti pengusaha atau pejabat pemerintahan. Posisi masyarakat yang sangat
rentan secara ekonomi membuat sebagian masyarakat menjual tanah atau kebunnya kepada investor dari luar desa. Kepemilikan tanah oleh orang luar pulau
jauh melebihi kepemilikan masyarakat setempat dan membuat potensi alih fungsi mangrove menjadi sangat besar. Hal ini terlihat, terutama di tahun 2011, ketika
proyek pembangunan vila dan kolam pemancingan oleh pejabat pemerintahan dilakukan dengan cara mengkonversi mangrove yang berada di sekitarnya.
Struktur organisasi BPDPM yang kurang kuat dengan menempatkan kepala desa sebagai pelindung dan keterlibatan pengurusnya dalam kegiatan investor membuat
BPDPM menjadi tidak independen, tidak mandiri, serta memperlemah ruang geraknya. Akibatnya BPDPM terintervensi oleh kebijakan pemerintah desa yang
tidak mendukung pengelolaan mangrove, seperti kebijakan yang tidak membatasi alih fungsi lahan mangrove oleh investor. Sikap pemerintah desa tersebut sangat
bertolak belakang dengan sikapnya di tahun 2006 yang sangat mendukung konservasi mangrove di wilayahnya.
Kelembagaan lokal yang melemah membuat BPDPM tidak mampu menghadapi intervensi investor yang mempengaruhi politik di tingkat lokal. Tanpa
adanya dukungan yang kuat dari Pemkab Pesawaran, kelembagaan lokal, seperti BPDPM yang telah terbukti mampu mengelola mangrove secara lestari, pada
akhirnya tidak akan kuat menghadapi investor yang memiliki akses yang sangat kuat untuk melakukan konversi mangrove di wilayahnya. Selain itu, dukungan
pemerintah terhadap pariwisata juga dirasakan masih sangat kurang. Pariwisata yang berkembang di Desa Pulau Pahawang lebih banyak dilakukan oleh inisiatif
dan partisipasi lokal yang difasilitasi oleh pihak LSM Mitra Bentala, termasuk pembangunan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan pariwisata.
4.4 Simpulan
Beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang terdapat di Kabupaten Pesawaran, yaitu tambak udang intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata,
secara finansial layak untuk diusahakan. Tingginya nilai pola penggunaan lahan mangrove bila diusahakan menjadi tambak udang intensif dibandingkan pola
lainnya secara finansial dapat menjelaskan mengapa pengusaha memiliki kepentingan tinggi untuk menguasai sumberdaya mangrove tersebut. Bila tambak
udang intensif memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, serta pembibitan mangrove yang terkendala oleh pemasaran, maka
ekowisata memiliki potensi besar dalam perlindungan mangrove beserta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya dan pemberdayaan masyarakat
setempat. Berkembangnya ekowisata menciptakan peluang kerja, alternatif pendapatan, dan peluang-peluang usaha baru di masyarakat; selain itu, keyakinan
masyarakat terhadap manfaat sumberdaya alam semakin menguat, isu-isu penyelamatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dapat terkampanyekan,
serta sumberdaya alam khususnya mangrove dapat dilestarikan.
53
5 PERAN DAN KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN LOKAL PENGELOLAAN MANGROVE
5.1 Pendahuluan
Kelembagaan lokal dan partisipasi masyarakat yang mengiringinya merupakan sesuatu yang layak mendapat perhatian dalam pembangunan
berkelanjutan Uphoff 1992. Pentingnya kelembagaan dan organisasi lokal dalam pembangunan pedesaan telah diakui secara luas dan menjadi bagian dari
kebijakan pembangunan di banyak negara Fisher 2004. Hal ini terjadi karena orang saling mengenal satu sama lain pada tingkat lokal, sehingga menciptakan
peluang untuk melakukan tindakan kolektif dan saling menolong, serta memobilisasi dan mengelola sumberdaya secara mandiri Uphoff 1986.
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat membuat praktik-praktik yang tidak lestari menjadi lebih lestari yang muncul melalui berbagai cara, seperti pengorganisasian
secara swadaya, pengembangan kelembagaan, eksperimen, elaborasi pengetahuan, dan pembelajaran sosial Marschke dan Berkes 2005.
Partisipasi masyarakat harus menjadi perhatian utama pengambil kebijakan, karena keberhasilan kelembagaan lokal dalam jangka panjang tidak dapat
dipastikan tanpa adanya partisipasi tersebut. Kamoto et al. 2013 berpendapat bahwa kebijakan pemerintah yang lemah dan tidak cukup mempertimbangkan
kompleksitas kelembagaan lokal, serta pengaruh dari terbatasnya keterlibatan masyarakat dan kelembagaan lokal dalam pengembangan dan pelaksanaan
kebijakan dapat menciptakan dan memperkuat praktek-praktek penggunaan sumberdaya yang destruktif dan konflik sosial yang diwariskan secara kumulatif.
Tole 2010 menyatakan bahwa kapasitas negara dan masyarakat yang lemah dapat diperkuat melalui dukungan eksternal agen non negara seperti LSM,
lembaga pemberi pinjaman, dan organisasi amal, walaupun sebagian besar dukungan relatif lingkupnya terbatas dan bersifat jangka pendek.
Kontribusi kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam juga muncul dalam pengelolaan mangrove. Secara umum, penerapan pengetahuan dan
praktik-praktik tradisional telah mendukung kinerja pengelolaan mangrove berbasis masyarakat yang lebih baik Maconachie et al. 2008. Banyak hal yang
dapat dicapai dalam pelestarian mangrove ketika kelembagaan lokal didukung oleh struktur pemerintahan, kebijakan nasional, dan peraturan perundangan
Egbuche et al. 2009.
Penelitian mengenai kelembagaan lokal pengelolaan mangrove sangat penting, karena tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat banyak menemui
keberhasilan, tetapi di sisi lain kelembagaan lokal juga menghadapi tantangan terhadap keberlanjutan kelembagaannya. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk menjelaskan peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan bermanfaat
bagi berbagai pihak yang terkait dalam membuat suatu rekomendasi pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.
54
5.2 Metode 5.2.1 Kerangka Pemikiran
Masyarakat secara individual memiliki posisi tawar yang rendah, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang lemah untuk berkompetisi dengan aktor
lainnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Oleh karena itu, kelembagaan diperlukan untuk meningkatkan posisi tawarnya. Pengelolaan mangrove secara
lestari terkait dengan kepentingan masyarakat dalam melindungi dan memanfaatkan sumberdaya mangrove untuk kesejahteraannya. Konsep kelemba-
gaan lokal dari Uphoff 1986; 1994 digunakan untuk menganalisis kelembagaan tersebut. Kelembagaan lokal akan memperoleh status dan kualitas kelembagaan-
nya karena keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya mangrove secara lestari dan apresiasi yang didapat dari masyarakat. Semakin kuat kelembagaan lokal,
maka semakin kuat posisi tawarnya menghadapi intervensi aktor-aktor lainnya yang memiliki kepentingan berbeda dengan masyarakat; sehingga semakin tinggi tingkat
kelestarian mangrovenya.
5.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dari Januari sampai dengan Juni 2013. Lokasi penelitian berada di Pulau Pahawang, yang merupakan bagian dari pulau-pulau
kecil yang ada di kawasan Teluk Lampung. Secara geografis, Pulau Pahawang terletak di 5°40,2′5°43,2′ LS dan 105°12,2′105°15,2′ BT, dengan luas wilayah
sekitar 1.046,87 ha Rizani 2007. Secara administratif, pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Kecamatan Marga Punduh, Kabupaten Pesawaran, Provinsi
Lampung. Pulau Pahawang merupakan sebuah desa yang terbagi ke dalam beberapa dusun, yaitu: Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuh
Nyai, dan Pahawang. Berdasarkan data pemetaan partisipatif tahun 2006, luas mangrove di Desa Pulau Pahawang adalah 141,94 ha Rizani 2007.
5.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dan metode yang digunakan adalah studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Wawancara melibatkan 35 informan kunci. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis
kelembagaannya Uphoff 1986; 1994 dengan mengukur tingkat pemahaman, kepatuhan, dan kepercayaan terhadap peraturan pengelolaan mangrove yang
berlaku.
5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Lokal
Masyarakat setempat sejak lama menggunakan kayu yang berasal dari mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, yaitu untuk bahan
bangunan, kayu bakar, dan lain-lain. Pemanfaatan mangrove seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak lestari, seperti melakukan penebangan yang tidak
bersifat tebang pilih dan penebangan pada pangkal pohon yang mengakibatkan matinya mangrove. Konversi mangrove menjadi tambak serta pengambilan cacing
yang hidup di akar-akar mangrove ikut memperparah kondisi mangrove di wilayah
55 tersebut. Pembuatan tambak untuk budidaya udang windu dan bandeng di Dusun
Jaralangan dan Dusun Kalangan dilakukan sejak tahun 1980-an. Seiring dengan menurunnya kualitas lahan tambak dan modal yang terbatas, tambak-tambak
tersebut pada akhirnya ditelantarkan oleh pemiliknya dan tidak beroperasi lagi dalam jangka waktu lama. Kegiatan pengambilan cacing oleh orang luar desa mulai
marak dilakukan sejak tahun 2003. Pengambilan cacing mengakibatkan mangrove menjadi mati karena akar-akar mangrove dipotong untuk mempermudah
pengambilannya. Cacing-cacing ini kemudian dibeli harga yang cukup tinggi oleh pengumpul dan selanjutnya dijual kembali kepada perusahaan pembenuran udang
di Provinsi Lampung sebagai pakan benur udang. Menurut Rizani 2007 penebangan mangrove pernah dilakukan secara besar-besaran oleh perusahaan
asing dari Taiwan seluas 12 ha di Dusun Suak Buah dan 6 ha di Dusun Jaralangan pada tahun 1975, dengan memanfaatkan masyarakat setempat sebagai pekerjanya.
Penebangan mangrove untuk pembuatan arang dan bahan bangunan tanpa seijin aparat desa juga sempat dilakukan oleh orang-orang dari Pulau Jawa sekitar tahun
1984, dimana kegiatan tersebut juga dilakukan dengan cara membeli hasil tebangan dari masyarakat setempat.
Eksploitasi mangrove yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Degradasi mangrove mengakibatkan abrasi, instrusi air laut, dan hilangnya perlindungan alami terhadap hempasan angin dan gelombang laut. Degradasi
mangrove juga mengakibatkan berkurangnya berbagai jenis ikan dan biota laut, serta berbagai jenis satwa lainnya. Dampak yang paling dirasakan oleh
masyarakat, terutama yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan, adalah sulitnya mendapatkan hasil tangkapan, seperti: ikan, kepiting, udang, cumi-cumi,
dan lain-lain. Dampak lainnya adalah berkurangnya rebon udang kecil yang digunakan sebagai umpan untuk memancing. Akibat degradasi mangrove dan
dampaknya yang tidak terkendali, nelayan beralih mencari pekerjaan di darat sebagai buruh upahan. Selain itu, kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari juga semakin berkurang. Padahal mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang
mendukung kehidupan Bosire et al. 2008; Nagelkerken et al. 2008; Walters et al. 2008, di pulau kecil seperti Pulau Pahawang.
Berangkat dari degradasi mangrove dan dampaknya yang semakin tidak terkendali di Pulau Pahawang, LSM Mitra Bentala sejak tahun 1997 berupaya
memfasilitasi masyarakat untuk mempertahankan keberadaan mangrove di desanya. Fasilitasi lebih ditekankan sebagai bentuk pembelajaran bersama untuk mengatasi
persoalan-persoalan dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak lestari. Informan mengungkapkan:
“Berbagai pendekatan dilakukan dengan melibatkan peran tokoh masyarakat, baik formal maupun informal, untuk membangun kesepahaman terhadap
permasalahan yang terjadi. Proses diawali dengan memberikan penyadaran dan menanamkan keyakinan akan kesetaraan dalam pemanfaatan mangrove.
Permasalahan tersebut dibicarakan dari orang ke orang dan dari kampung ke kampung, sampai akhirnya menjadi sebuah pembahasan di tingkat desa. Upaya
mempertahankan keberadaan mangrove akhirnya menjadi sebuah kebutuhan di tingkat masyarakat. Proses penyadaran akan pentingnya mangrove menjadi
sangat efektif, ketika pemahaman tersebut secara perlahan menjadi kesadaran.