Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove Di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung

(1)

POLITIK EKOLOGI PENGELOLAAN MANGROVE

DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG

INDRA GUMAY FEBRYANO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014 Indra Gumay Febryano NIM E161100031


(4)

RINGKASAN

INDRA GUMAY FEBRYANO. Politik Ekologi Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO, DUDUNG DARUSMAN, CECEP KUSMANA dan ACENG HIDAYAT.

Politisasi lingkungan telah mendorong kerusakan lingkungan dan marjinalisasi masyarakat yang diakibatkan oleh relasi kekuasaan yang tidak setara antar aktor. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Konversi mangrove terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan Negara. Pengetahuan dan pemahaman tersebut akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait dalam membuat rekomendasi pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan metode yang digunakan adalah studi kasus. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan analisis dokumen. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis menggunakan pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) untuk mengkaji posisi, peran, dan kepentingan aktor yang terlibat. Pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk mengkaji kekuasaan dan mekanisme yang dijalankan oleh masing-masing aktor. Penelitian kualitatif di dalam penelitian ini didukung oleh penelitian kuantitatif, khususnya dalam menganalisis kelayakan finansial dari beberapa pola penggunaan lahan mangrove, dengan menghitung Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR). Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis kelembagaan lokal pengelolaan mangrove.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme akses struktural dan relasional yang dijalankan pengusaha mampu membuat implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Pesawaran menjadi tidak efektif. Kebijakan ini terkait dengan pengelolaan mangrove secara lestari, tetapi dalam implementasinya Pemerintah Kabupaten Pesawaran lebih mendukung intensifikasi tambak udang, sehingga konversi mangrove dapat terjadi secara masif. Mekanisme tersebut juga mampu meredam gejolak sosial yang muncul akibat dampak negatif dari aktivitas tambak berupa degradasi ekosistem pesisir dan marjinalisasi masyarakat lokal. LSM Mitra Bentala, masyarakat, dan kelembagaan lokal (BPDPM) berupaya menggalang kekuatan dengan membangun jejaring dan kerjasama untuk mencegah konversi terhadap mangrove yang tersisa. Namun, hal ini belum cukup efektif mendorong Pemerintah Kabupaten Pesawaran untuk lebih tegas dalam mengimplementasikan kebijakannya. Beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang terdapat di Kabupaten Pesawaran, yaitu tambak udang intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata secara finansial layak untuk diusahakan. Tingginya nilai pola penggunaan lahan untuk tambak udang intensif membuat pengusaha memiliki kepentingan tinggi untuk menguasainya. Bila tambak udang intensif memiliki dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitarnya, serta pembibitan mangrove yang terkendala oleh pemasaran, maka ekowisata memiliki potensi besar dalam perlindungan mangrove beserta keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya dan pemberdayaan masyarakat setempat. Kelembagaan lokal


(5)

berperan penting dalam pengelolaan mangrove secara lestari di Pulau Pahawang. Struktur organisasi BPDPM yang menempatkan kepala desa sebagai penasihat dan keterlibatan pengurus dalam kegiatan investor berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat, sehingga menurunkan dukungan dan status kelembagaan lokalnya. Akibatnya kelembagaan lokal menjadi lemah karena ketidaktegasannya ketika berhadapan dengan investor yang merupakan pejabat pemerintahan. Sebagian masyarakat juga ikut melakukan pelanggaran akibat ketidaktegasannya tersebut.

Penelitian ini menegaskan pernyataan dari Bryant dan Bailey (1997) mengenai peran politik dari berbagai posisi aktor yang berbeda dalam interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Inti dari setiap pemahaman bermakna politik tersebut adalah apresiasi bahwa politik mengenai interaksi aktor-aktor terhadap sumberdaya lingkungan dan pengakuan bahwa aktor, yang lemah sekalipun, memiliki kekuasaan untuk bertindak mendapatkan kepentingannya. Penelitian ini juga menegaskan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) yang menunjukkan bagaimana orang atau kelembagaan dapat memperoleh manfaat dari sumberdaya, baik orang atau kelembagaan tersebut memiliki hak atau tidak. Selain itu, penelitian ini menegaskan pula konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) yang menunjukkan bagaimana kelembagaan lokal melemah akibat kegagalan kelembagaan lokal dalam memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.

Ketegasan Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove secara lestari dapat didorong dengan memberikan tekanan-tekanan yang lebih kuat melalui jejaring yang melibatkan LSM lokal dan nasional, universitas, lembaga penelitian, dan lain-lain. Kekuatan jejaring ini diharapkan membuat Pemerintah Kabupaten Pesawaran menjadi lebih berpihak pada konservasi dan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Relasi antara pengusaha tambak udang dengan jejaring di atas dapat dijalin melalui akademisi untuk mengembangkan wawasan pengusaha menjadi lebih terbuka terhadap fungsi dan manfaat mangrove, sehingga lingkungan di sekitar tambak tidak tercemar dan keberlanjutan usaha tambak udang serta mata pencaharian masyarakat menjadi lebih terjamin. Hal tersebut dapat dipadukan dengan tanggungjawab sosial perusahaan di bidang lingkungan. Kelembagaan lokal dapat dijadikan salah satu model pengelolaan sumberdaya mangrove di tingkat lokal. Kelembagaan yang didirikan harus independen, sehingga mampu bertahan dari intervensi aktor lainnya yang mempengaruhi politik di tingkat lokal. Keberhasilan kelembagaan lokal sangat membantu Pemerintah Kabupaten Pesawaran dalam pembangunan masyarakat pedesaan di wilayah pesisirnya. Konservasi mangrove dapat disinergikan dengan menciptakan peluang dalam pengembangan silvofisheri, ekowisata, dan lain-lain; sehingga meningkatkan alternatif mata pencaharian masyarakat dan pada akhirnya akan menurunkan tekanan terhadap mangrove.


(6)

SUMMARY

INDRA GUMAY FEBRYANO. Political Ecology of Mangrove Management in Pesawaran Regency, Lampung Province. Supervised by DIDIK SUHARJITO, DUDUNG DARUSMAN, CECEP KUSMANA and ACENG HIDAYAT.

Environment politicized has led to environmental degradation and community marginalization caused by the unequal power relation among actors. This study aims to explain the environmental degradation of mangrove convertion into intensive shrimp ponds by using the concept of power relations. Mangrove conversion has occured in protected areas outside the state forest. It is believed that knowledge and understanding on this matter will be beneficial for any related parties in making equitable, prosperous, and sustainable mangrove management recommendations.

This study is a qualitative research which uses a case study as its method. Data were collected through in-depth interviews, participant observation, and document analysis. The data were analyzed with actor-oriented approach by Bryant and Bailey (1997) to assess positions, roles, and interests of the actors involved. The actor-oriented approach was combined with the theory of access (Ribot and Peluso 2003) to assess power and the mechanism of each actor. Qualitative research in this study is supported by quantitative research, particularly in analyzing the financial feasibility of some landuse patterns of mangrove, by calculate Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), and Internal Rate of Return (IRR). The concept of local institution from Uphoff (1986; 1994) is used to analyze the local institution of mangrove management.

The results showed that the structural and relational mechanisms of access, which were conducted by bussinesmen, made policies implementation of Pesawaran Regency Government did not run well and effective. These policies were related to the sustainable of mangrove management, but in the implementation, Pesawaran Regency Government supported the intensification of shrimp farming, so mangrove conversion can be occured in a massive scale. Such mechanisms were also able to reduce the social unrest that arised due to the negative impact of farming activities in the form of coastal ecosystem degradation and marginalization of local communities. Mitra Bentala CSO, community, and local institutions (BPDPM) have been making and combining efforts to built network and cooperation to prevent the conversion of the remaining mangrove. However, those were not enough to push Pesawaran Regency Government to be more assertive in implementing its policies. Some landuse patterns of mangrove in Pesawaran Regency are intensive shrimp farming, mangrove nursery, and ecotourism that financially feasible to be developed. The high value of landuse patterns for intensive shrimp ponds created a high interest on the bussinesmen to own the mangrove. When intensive shrimp farms have a negative impact to the environment and its surrounding communities, also the constrain of mangrove nursery by market, then ecotourism gives great potential to mangrove protection and its biodiversity along the empowerment of local communities. Local institutions play an important role in the sustainable of mangrove management in Pahawang Island. Structure organization of BPDPM that puts the head of the village as an advisor and the board's involvement in the activities of investors


(7)

decrease trust and support of community. As a result, local institutions become weak because their indecision on dealing with a government official investor. Some communities even conduct violation due to the rules indecision.

This study confirmed the statement of Bryant and Bailey (1997) about the political role of different types of actors in human environmental interaction in the third world. The main points of any meaningful understanding of politics are an appreciation that politics is about the interaction of actors over environmental resources and a recognition that even weak actors possess some power to act in the pursuit of their interests. This study also confirmed the access theory of Ribot and Peluso (2003) which showed why people or institutions get benefit from resources, whether they have rights or not. In addition, this study also confirmed the concept of local institutions from Uphoff (1986; 1994) which showed how local institutions become weak due to the failure of local institutions to meet community needs and expectations.

Assertiveness of Pesawaran Regency Government in implementing its policies can be done by giving more pressures and forces through networks involving local and national CSOs, universities, research institutions, and many others. The strength of this network is expected to make Pesawaran Regency Government become more supportive to the conservation and local institutions of mangrove management. Relation between businessmen and the above networking can be built through academicians by educating the businessmen about the importance of mangrove functions and advantages in order to achieve not only the environment sustainability but also the sustainability of shrimp aquaculture and community livelihoods. By giving more pressures through wide networks and making relationship between businessmen and the networks can be combined with corporate social responsibility in environment. Local institutions can serve as a model of mangrove resource management at the local level. Established institutions must be independent, so they can survive from others interventions that influence politics at the local level. The success of local institutions greatly assisted the Pesawaran Government Regency in the development of rural community in its coastal areas. Mangrove conservation can be synergized by creating opportunities in the development of silvofishery, ecotourism, and etc; thus improving people's livelihood alternatives and ultimately will reduce the pressure on mangroves.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

POLITIK EKOLOGI PENGELOLAAN MANGROVE

DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian: Tertutup: 1. Dr Arif Satria, SP, MSi

2. Dr Ir Iin Ichwandi, MScF Terbuka: 1. Dr Ir Eko Warsito, MSc


(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA, Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS, dan Dr Ir Aceng Hidayat, MT selaku anggota komisi pembimbing yang telah memiliki komitmen sangat tinggi dalam memberikan bimbingan, arahan, kritik, dan saran;

2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan pelayanan administrasi akademik kepada mahasiswa dengan sangat baik; 3. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan beserta staf yang telah

memberikan pelayanan kepada mahasiswa dengan sangat prima;

4. Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi dan ujian terbuka; Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi; Dr Arif Satria, SP, Msi dan Dr Ir Iin Ichwandi, MScF selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup; serta Dr Ir Eko Warsito, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka; yang telah memberikan kritik dan saran;

5. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB dan memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN);

6. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan studi pada program doktor; 7. Keluarga Kol (Purn) Drs H Sahmi Gumay, keluarga H Yulizar Husin, istri

Yurika Tauryska, ST, serta anak-anak Nashwa Azzahra Gumay dan Ryan Pasha Gumay yang dengan sabar memberikan doa, dukungan, motivasi, dan pengertiannya kepada penulis dalam melaksanakan tugas belajar dan penyusunan disertasi ini;

8. Semua kolega di Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten Pesawaran, Lanal Lampung, LSM Mitra Bentala, Shrimp Club Indonesia Provinsi Lampung, BPDPM Desa Pulau Pahawang, dan masyarakat yang telah membantu penulis selama penelitian; dan

9. Rekan-rekan IPH 2010 (Asihing, Bejo, Juli, Maya, Nurdin, Retno, Safe’i, dan Yayuk) dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan segala bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan disertasi ini. Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini bagi semua pihak, khususnya pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya alam yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014 Indra Gumay Febryano


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 10

1.4 Novelty ... 10

1.5 Metodologi ... 10

1.5.1 Kerangka Pemikiran ... 10

1.5.2 Definisi Operasional ... 13

1.5.3 Pendekatan Penelitian ... 14

1.5.4 Pengumpulan Data ... 14

1.5.5 Analisis Data ... 15

1.6 Struktur Disertasi ... 15

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 17

2.1 Kondisi Administratif dan Geografis ... 17

2.2 Iklim dan Topografi ... 18

2.3 Tata Ruang Wilayah ... 20

2.4 Status Penguasaan Lahan Mangrove ... 22

2.5 Mangrove dan Alih Fungsi Lahannya ... 24

3 AKTOR DAN RELASI KEKUASAAN DALAM PENGELOLAAN MANGROVE ... 28

3.1 Pendahuluan ... 28

3.2 Metode ... 28

3.2.1 Kerangka Pemikiran ... 28

3.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

3.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 30

3.3 Hasil dan Pembahasan ... 30

3.3.1 Industrialisasi Tambak Udang ... 30

3.3.2 Aktor dan Relasi Kekuasaan ... 32

3.3.3 Pembentukan Jejaring Penyelamatan Mangrove ... 41

3.4 Simpulan ... 43

4 ANALISIS FINANSIAL POLA PENGGUNAAN LAHAN MANG- ROVE ... 44

4.1 Pendahuluan ... 44

4.2 Metode ... 44

4.2.1 Kerangka Pemikiran ... 44

4.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 45

4.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 45

4.3 Hasil dan Pembahasan ... 45

4.3.1 Pola Penggunaan Lahan Mangrove ... 45

4.3.2 Analisis Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove ... 48


(14)

5 PERAN DAN KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN LOKAL

PENGELOLAAN MANGROVE ... 53

5.1 Pendahuluan ... 53

5.2 Metode ... 54

5.2.1 Kerangka Pemikiran ... 54

5.2.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 54

5.2.3 Pengumpulan dan Analisis Data ... 54

5.3 Hasil dan Pembahasan ... 54

5.3.1 Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Lokal ... 54

5.3.2 Keberlanjutan Kelembagaan Lokal ... 60

5.4 Simpulan ... 63

6 PEMBAHASAN UMUM ... 64

7 SIMPULAN, IMPLIKASI TEORI, DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 73 7.1 Simpulan ... 73

7.2 Implikasi Teori ... 74

7.3 Implikasi Kebijakan ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 85


(15)

DAFTAR TABEL

1 Dimensi politisasi lingkungan ... 3

2 Tesis politik ekologi ... 4

3 Konsep dan proses dalam politik ekologi ... 5

4 Luas kecamatan dan jumlah penduduk Kabupaten Pesawaran ... 18

5 Luas wilayah berdasarkan ketinggian di Kabupaten Pesawaran ... 20

6 Hak-hak yang terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat ... 23

7 Klasifikasi sistim budidaya udang ... 27

8 Perkembangan tambak udang di Kabupaten Pesawaran ... 31

9 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pesawaran yang terkait dengan pengelolaan mangrove ... 33

10 Indikator dan kriteria keputusan analisis finansial ... 45

11 Analisis finansial beberapa pola penggunaan lahan mangrove ... 48

12 Volume dan nilai ekspor udang Indonesia tahun 2007-2011 ... 64

13 Rasio mangrove dengan tambak udang ... 66

14 Kriteria lokal/regional dan global untuk meningkatkan kelestarian lingkungan dalam budidaya udang ... 68

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 12

2 Administrasi Kabupaten Pesawaran ... 19

3 Rencana sistem perkotaan Kabupaten Pesawaran ... 21

4 Lokasi penelitian ... 29

5 Struktur dan peran organisasi BPDPM ... 56

6 Daerah Perlindungan Mangrove di Pulau Pahawang ... 57

7 Perkembangan pengelolaan mangrove di Pulau Pahawang ... 61

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peraturan Desa Pulau Pahawang No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006 tentang Perlindungan Hutan Mangrove ... 87

2 Surat Keputusan Kepala Desa Pulau Pahawang No. 03/007/KD-DPM/ 11.1/2006 tentang Aturan Daerah Perlindungan Mangrove ... 91

3 Surat Keputusan Kepala Desa Pulau Pahawang No. 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 tentang Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove ... 96

4 Analisis finansial tambak udang intensif ... 99

5 Biaya tambak udang intensif ... 100

6 Pendapatan tambak udang intensif ... 105

7 Analisis finansial pembibitan mangrove ... 106

8 Biaya pembibitan mangrove ... 107

9 Pendapatan pembibitan mangrove ... 109

10 Analisis finansial ekowisata mangrove ... 110

11 Biaya ekowisata mangrove ... 111


(16)

(17)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konflik pengelolaan sumberdaya alam seringkali tidak dapat dihindari yang disebabkan oleh nilai-nilai dan/atau kepentingan yang bertentangan dalam pemanfaatannya (Gray 2003). Konflik tersebut merupakan konflik sosial dengan atau tanpa kekerasan yang berhubungan dengan perjuangan untuk mendapatkan akses dan hasil dari pemanfaatannya (Turner 2004). Konflik kepentingan menjadi gambaran umum dari setiap sistem pemanfaatan sumberdaya, sehingga pemanfaatan yang partisipatif dan adil menjadi prasyarat utama dalam pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan (FAO 2000). Studi oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa negara-negara yang paling mungkin menderita konflik adalah negara-negara yang sangat tergantung dengan sumberdaya alam (Bannon dan Collier 2003). Jika konflik-konflik ini tidak ditangani, maka akan dapat menyebabkan degradasi lingkungan, mengganggu pembangunan, dan merusak tatanan kehidupan (FAO 2000).

Escobar (2006) berpendapat bahwa kerangka politik ekologi (political ecology) dapat diterapkan dari hubungan antara perbedaan dan kesamaan akses dalam konflik distribusi ekonomi, ekologi, dan budaya. Hal ini didukung oleh Turner (2004) yang menyatakan bahwa konflik sumberdaya telah menjadi fokus analisis dan metodologi utama dari politik ekologi karena konflik dapat menjelaskan kepentingan, kekuatan, dan kerentanan yang berbeda dari kelompok sosial yang berbeda, yang didasari oleh keprihatinan terhadap keadilan sosial dalam pemanfaatannya. Selain itu, menurut Neumann (1998), politik ekologi telah berhasil digunakan untuk melihat konflik sebagai momen penting, ketika banyak mengungkap struktur yang mendasari kekuasaan dan kepentingan tersebut.

Politik ekologi dimulai sebagai kerangka kerja untuk memahami keterkaitan yang kompleks antara orang-orang lokal, politik ekonomi nasional, dan global serta ekosistem (Blaikie dan Brookfield 1987). Konsep ini telah diadaptasi dalam berbagai cara, seperti politik ekologi dunia ketiga (Bryant 1992) atau politik ekologi feminis (Rocheleau et al. 1996). Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa politik ekologi menjadi bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek sosial politik pengelolaan lingkungan, dengan asumsi pokok bahwa perubahan lingkungan tidak bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global.

Studi yang dilakukan oleh Robbins (2004) mengenai istilah politik ekologi menunjukkan perbedaan penting dalam penekanannya; dimana beberapa definisi menekankan pada politik ekonomi (political economy), sementara yang lainnya menitikberatkan pada kelembagaan politik yang lebih formal, beberapa mengidentifikasi perubahan lingkungan sebagai hal yang paling penting, dan ada yang menekankan narasi tentang perubahan tersebut. Banyaknya definisi secara bersama-sama menunjukkan bahwa politik ekologi merupakan alternatif eksplisit terhadap "apolitik" ekologi. Dengan demikian, penelitian politik ekologi di lapangan umumnya memberikan penjelasan mengenai degradasi lahan, konflik sumberdaya lokal, atau kegagalan konservasi negara sebagai suatu alternatif terhadap perspektif apolitik ekologi. Pendekatan yang paling menonjol dari


(18)

pendekatan apolitik adalah pandangan yang cenderung mendominasi dalam pembicaraan global seputar lingkungan, yaitu kelangkaan sumberdaya dan modernisasi. Pandangan ini cenderung untuk mengabaikan pengaruh signifikan dari kekuatan politik ekonomi dan mengabaikan sebagian besar masalah-masalah fundamental dalam ekologi kontemporer. Pandangan tersebut juga mengabaikan klaim terhadap obyektivitas yang tidak berat sebelah, yang merupakan politik secara implisit. Pandangan politik ekologi merupakan kritik terhadap pandangan dominan di atas dan mencari untuk mengekspos kekurangan dalam pendekatan tersebut terhadap lingkungan oleh perusahaan, negara, dan otoritas internasional, khususnya dari sudut pandang masyarakat lokal, kelompok marjinal, dan populasi yang rentan. Politik ekologi berusaha untuk mendenaturalisasi kondisi-kondisi sosial dan lingkungan, yang menunjukkan hasil-hasil yang bergantung pada kekuasaan dan tidak dapat dihindarkan.

Pendapat Robbins (2004) di atas mendukung pendapat Bryant dan Bailey (1997) yang melihat permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh dunia ketiga bukan merupakan refleksi dari kegagalan kebijakan pasar, tetapi merupakan manifestasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang lebih luas yang terkait dengan penyebarluasan kapitalisme, terutama sejak abad ke-19 (penebangan hutan, pertambangan, industrialisasi, urbanisasi, dan lain-lain). Adanya campur tangan negara dalam aktivitas perekonomian mendorong ke arah kehancuran lingkungan. Pada beberapa kasus, campur tangan ini sejalan dengan ekspansi kapitalis, tetapi pada beberapa kelembagaan pemerintah, permasalahan ini mencerminkan adanya kepentingan penguasa dalam perebutan kekuasaan, keamanan nasional, ataupun pengayaan diri sendiri. Kompleksnya permasalahan lingkungan dunia ketiga membutuhkan tidak sekedar kebijakan yang bersifat teknis, melainkan juga perubahan mendasar dalam proses politik ekonomi di tingkat lokal, regional, dan global.

Bryant (1992) menyatakan bahwa peneliti politik ekologi mempunyai premis bahwa perubahan lingkungan bukanlah proses manajemen teknis; sebaliknya perubahan lingkungan tersebut memiliki sumber politik, kondisi, dan konsekuensi yang berbenturan dengan kesenjangan sosial ekonomi dan proses politik yang ada. Reduksionisme ekonomi harus dihindari ketika menggunakan interpretasi ini, karena reduksionisme tersebut menyederhanakan realitas dan mengurangi akurasi dari analisis yang dapat melemahkan penelitian politik ekologi dunia ketiga dalam tiga cara, yaitu: (1) reduksionisme ekonomi gagal mengaitkan makna yang menjelaskan faktor ekologi, (2) reduksionisme ekonomi mengabaikan sumber-sumber lain perubahan lingkungan, dan (3) reduksionisme ekonomi juga tidak mempertimbangkan secara serius kekuatan petani dan kelompok-kelompok lainnya yang kurang beruntung secara sosial. Politik ekologi dunia ketiga harus dipahami secara inklusif yang didasarkan pada pandangan bahwa politik ekologi dunia ketiga tersebut harus peka terhadap interaksi beragam kekuatan sosial politik dan relasi kekuatan-kekuatan ini terhadap perubahan lingkungan. Sejalan dengan pandangan tersebut, De Koning (2008) berpendapat bahwa penekanan yang diberikan oleh politik ekologi adalah hubungan antara akses sumberdaya alam dan alokasi, distribusi kekuasaan dalam mediasi akses, dan alokasi serta lembaga yang memegang kekuasaan. Oleh karena itu, Schubert (2005) menyatakan bahwa fokus peneliti politik ekologi adalah pada struktur dan konstruksi sosial yang membentuk akses dan kontrol atas sumberdaya alam


(19)

tersebut dan tidak hanya pada konflik kekerasan saja, karena mereka cenderung melihat konflik dan konflik kepentingan melekat pada hubungan sosial serta interaksi manusia dengan alam.

Bryant dan Bailey (1997) menjelaskan bahwa politik ekologi menggunakan asumsi-asumsi untuk menafsirkan politisasi lingkungan dunia ketiga dan fokusnya bukan pada deskripsi dari perubahan lingkungan fisik sendiri, tetapi pada cara dimana perubahan tersebut berhubungan dengan aktivitas manusia. Asumsi-asumsi tersebut adalah: (1) peneliti politik ekologi menerima gagasan bahwa biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan sebagian besar didistribusikan di antara aktor secara tidak merata, (2) distribusi yang tidak merata dari biaya dan manfaat lingkungan tersebut memperkuat atau mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi yang ada, dan (3) dampak sosial dan ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan juga memiliki implikasi politik dari segi perubahan kekuasaan aktor-aktor dalam hubungannya dengan aktor-aktor lainnya. Politisasi lingkungan yang terjadi di dunia ketiga mencakup tiga dimensi, yaitu: sehari-hari, episodik, dan sistemik. Dimensi ini berkaitan dengan perubahan fisik, tingkat dampak, sifat dampak terhadap manusia, respon politik, dan konsep-konsep kunci (Tabel 1). Sebagian besar ahli politik ekologi belum secara sistematis mengeksplorasi isu-isu dari dimensi yang terakhir dan lebih memusatkan perhatian mereka pada dimensi pertama dan kedua dari politisasi lingkungan.

Tabel 1 Dimensi politisasi lingkungan

Dimensi Perubahan fisik Tingkat dampak terhadap manusia Sifat dampak Respon politik Konsep kunci

Sehari-hari Erosi tanah, deforestasi, salinisasi Bertahap dan bahkan mungkin tidak dirasakan untuk waktu yang lama Kumulatif dan biasanya sangat tidak setara; orang miskin yang paling menderita Resistensi/ protes masyarakat terkena dampak Marjinalisasi

Episodik Banjir, badai, kekeringan Sering tapi kadang-kadang muncul secara tiba-tiba Mungkin memiliki dampak umum tetapi orang miskin adalah yang paling menderita Bantuan “bencana” Kerentanan

Sistemik Radiasi nuklir, konsentrasi pestisida, spesies termodifikasi secara biologi Bertahap dan belum tentu dirasakan tetapi juga berpotensi secara mendadak Cenderung mempunyai dampak umum Ketidak-percayaan terhadap pakar/ahli Resiko

Sumber: Bryant dan Bailey (1997)

Sejalan dengan pernyataan Bryant dan Bailey (1997) di atas, Stott dan Sullivan (2000) menyatakan bahwa bidang politik ekologi sangat beragam sehubungan dengan substantif, epistemologi fokus, dan metode. Selanjutnya penelitian politik ekologi yang beragam di banyak lokasi, oleh Robbins (2004), dibagi ke dalam empat pertanyaan besar, tema, atau narasi penelitian (Tabel 2). Perbedaan ini mencerminkan perkembangan sejarah bidang tersebut, dimana


(20)

penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan (Robbins 2004).

Tabel 2 Tesis politik ekologi

Tesis Apa yang dijelaskan Relevansi Degradasi dan

marjinalisasi

Perubahan lingkungan: mengapa dan bagaimana?

Degradasi lahan, menyalahkan masyarakat marjinal, diletakkan dalam konteks politik dan ekonomi yang lebih luas

Konflik lingkungan Akses lingkungan: siapa dan mengapa?

Konflik lingkungan ditunjukkan menjadi bagian yang lebih luas dari perjuangan gender, kelas, ras, dan sebaliknya

Konservasi dan kontrol

Kegagalan konservasi dan pengecualian politik/ekonomi: mengapa dan bagaimana?

Biasanya dipandang tidak ramah, usaha-usaha konservasi lingkungan ditunjukkan memiliki dampak buruk dan kadang-kadang gagal hasilnya Identitas

lingkungan dan pergerakan sosial

Pergolakan sosial: siapa, dimana, dan bagaimana?

Perjuangan politik dan sosial ditunjukkan dikaitkan dengan isu-isu perlindungan mata pencaharian dan lingkungan

Sumber: Robbins (2004)

Bryant dan Bailey (1997) menyatakan bahwa peneliti politik ekologi memberikan suatu perspektif politik ekonomi secara luas dengan mengadopsi berbagai pendekatan dalam menerapkan perspektif tersebut untuk investigasi interaksi manusia-lingkungan di dunia ketiga. Pendekatan yang berbeda tersebut tidak saling eksklusif karena para peneliti sering menggabungkan atau menggunakan pendekatan yang berbeda. Hal ini mencerminkan prioritas penelitian yang berbeda di lapangan, yaitu: (1) pendekatan yang mengarahkan penelitian dan penjelasan dalam politik ekologi dunia ketiga seputar masalah lingkungan tertentu atau serangkaian masalah seperti erosi tanah, deforestasi hutan tropis, pencemaran air, atau degradasi lahan, (2) pendekatan yang memfokuskan pada suatu konsep yang dianggap memiliki kaitan penting terhadap pertanyaan politik ekologi, (3) pendekatan yang memeriksa hubungan masalah-masalah politik dan ekologi dalam konteks suatu wilayah geografis tertentu, (4) pendekatan yang mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan politik ekologi dalam menjelaskan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas, etnis, atau gender, dan (5) pendekatan yang menekankan kebutuhan yang terfokus pada kepentingan, karakteristik, dan tindakan dari berbagai tipe aktor dalam pemahaman konflik politik ekologi.

Schubert (2005) melihat bahwa salah satu karakteristik politik ekologi adalah politik ekologi bukan merupakan suatu grand theory yang koheren, tetapi lebih sebagai suatu lensa spesifik yang dapat menguji interaksi antara lingkungan dan masyarakat. Peneliti politik ekologi mempunyai sudut pandang yang berbeda dan tergantung pada latar belakang disiplin ilmu yang sangat berbeda (geografi, antropologi, sosiologi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, dan manajemen), serta


(21)

paradigma dan teori-teori yang dikemukakan oleh para peneliti dengan bidang yang sama juga sangat sering bertentangan. Politik ekologi menyediakan alat konseptual untuk analisis daripada sebuah teori yang meliputi hubungan manusia-lingkungan. Selain itu, politik ekologi merupakan studi kasus yang berbeda dan merupakan masalah-masalah kehidupan nyata secara lokal, dimana teori-teori politik ekologi yang spesifik dan koheren yang dijadikan basis penelitian para peneliti sulit untuk diidentifikasi.

Tabel 3 Konsep dan proses dalam politik ekologi

Bidang/pendekatan Konsep Beberapa proses yang harus diperhatikan Resiko Perilaku beresiko

rendah dan tinggi

Sistem manajemen tradisonal, diarahkan untuk meminimalkan resiko, diubah di bawah tekanan politik/ekonomi Perilaku cultural ecology Manajer lahan

rasional

Pengambilan keputusan produksi, diarahkan untuk meminimalkan pekerjaan yang membosankan, diubah di bawah tekanan politik/ekonomi

Common property Kelembagaan sebagai aturan

Perubahan kelembagaan lingkungan dalam perubahan politik ekonomi yang

menyebabkan kegagalan sistem

Collective action

Materialisme/Marxisme Nilai surplus Perubahan sistem produksi meningkatkan eksploitasi dan degradasi tenaga kerja dan lingkungan

Eksploitasi dan hegemoni

Studi petani Moral ekonomi Rekonfigurasi hasil-hasil manajemen lingkungan dalam krisis dan resistensi politik dan sosial

Resistensi sehari-hari Pengembangan feminis Pembagian tenaga

kerja dan kekuasaan

Rekonfigurasi pengaruh manajemen lingkungan pada ekstraksi tenaga kerja dan sumberdaya yang termarjinalisasi

Sejarah lingkungan Ambang dasar Sistem ekologi baru muncul dari persaingan dan penggunaan lingkungan berikutnya

Nature’s agency

Studi pasca kolonial/subaltern

Pengaitan politik pada ilmu sosial

Perhitungan perubahan sosial yang digunakan untuk memperluas dan

memperkuat kontrol politik atas kelompok marjinal dan terjajah

Ilmu pengetahuan dan dekonstruksi

Pengaitan sosial pada ilmu fisika

Perhitungan perubahan lingkungan yang digunakan untuk memperoleh kontrol politik dari orang dan sumberdaya Sumber: Robbins (2004)

Perbedaan ini menurut Robbins (2004) mencerminkan perkembangan sejarah bidang tersebut. Penelitian yang menghubungkan perubahan lingkungan terhadap marjinalisasi politik dan ekonomi muncul pertama kali pada 1970-an dan 1980-an sebagai upaya untuk menerapkan teori ketergantungan terhadap periode krisis lingkungan. Keragaman penelitian politik ekologi juga memiliki argumen-argumen tak terhitung, lebih kecil, dan berbeda yang ditujukan di antara banyak isu, yaitu: kemungkinan untuk tindakan kolektif masyarakat, peran tenaga kerja manusia dalam metabolisme lingkungan, sifat pengambilan dan penghindaran


(22)

resiko dalam perilaku manusia, keragaman persepsi lingkungan, penyebab dan dampak korupsi politik, serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Meskipun terdapat keragaman, perhatian dan pertanyaan utama politik ekologi terus berputar di sekitar beberapa alat konseptual umum dan proses (Tabel 3). Hal ini termasuk penjelasan berantai lintas skala (cross-scale chain of explanation), komitmen untuk mengeksplorasi masyarakat marjinal dan perspektif politik ekonomi yang didefinisikan secara lebih luas.

Peterson (2000) berpendapat bahwa politik ekologi seharusnya menggabungkan keragaman dan dinamika kehidupan, dimana jasa ekologi dan sumberdaya yang tersedia pada waktu dan tempat tertentu akan menentukan alternatif yang tersedia yang membentuk politik, ekonomi, dan pengelolaan ekosistem. Namun, batasan ini mencair karena ekosistem merupakan hal yang dinamis dan berubah-ubah. Penelitian politik ekologi yang tidak ditujukan untuk dinamika ekologi ini mungkin politik, tetapi bukan ekologi. Demikian pula, ketika politik tidak dapat mengabaikan ekologi, pendekatan ekologi perlu mempertimbangkan dinamika politik dalam penjelasan mereka terhadap tindakan manusia. Vayda dan Walters (1999) menyatakan bahwa obyek dari penjelasan politik ekologi adalah benar-benar merupakan perubahan lingkungan. Usulan ini tidak berprasangka pentingnya faktor-faktor politik, tetapi masih memperhatikan setiap dan semua jenis faktor-faktor tersebut setiap kali terlihat dalam perjalanan penelitian, sehingga faktor-faktor tersebut menjadi menarik dan relevan untuk menjelaskan lingkungan atau peristiwa-peristiwa yang terkait lingkungan. Metode ini memulai penelitian dengan fokus pada peristiwa atau perubahan lingkungan yang ingin dijelaskan, sehingga memungkinkan untuk membangun rantai penyebab dan dampak yang mengarah ke peristiwa atau perubahan tersebut. Dari berbagai pendekatan politik ekologi yang ada, Bryant dan Bailey (1997) memfokuskan politik ekologi dunia ketiga pada analisis terhadap aktor-aktor, seperti: negara, bisnis, lembaga-lembaga multilateral, lembaga swadaya masyarakat, dan akar rumput yang memiliki peran di lingkungan. Penggunaan pendekatan berorientasi aktor tersebut terutama dimotivasi oleh kepedulian untuk mengedepankan politik dan keyakinan terkait dengan pemahaman tentang kepentingan dan tindakan politik aktor yang merupakan hal politis. Dalam mengadopsinya, tidak berarti pendekatan politik ekologi lainnya yang didasarkan pada analisis masalah lingkungan, konsep, wilayah geografis, atau karakteristik sosial ekonomi tidak valid; sebaliknya, pendekatan yang berbeda ini perlu dilihat sebagai pelengkap satu sama lain. Beberapa keuntungan dari pendekatan berorientasi aktor, yaitu: (1) dengan memeriksa peran dan pentingnya aktor dalam perubahan lingkungan, maka akan dapat menempatkan temuan dari banyak penelitian empiris tingkat lokal dalam perspektif teoritis dan komparatif, sehingga perasaan bahwa temuan penelitian telah diterapkan secara terbatas di luar lokalitas dapat dihindari, (2) dengan mengintegrasikan wawasan teoritis dan komparatif mengenai peran dan pentingnya aktor yang berbeda, maka akan dapat memberikan gambaran yang cukup komprehensif dari motivasi, kepentingan, dan tindakan aktor-aktor, dan (3) dengan menekankan peran dan interaksi aktor dalam konflik lingkungan, maka dapat ditegaskan bahwa politik menjadi sentral dalam penelitian politik ekologi; dimana ada dua hal yang menjadi inti dari setiap pemahaman bermakna politik tersebut, yaitu: (a) apresiasi bahwa politik adalah tentang interaksi aktor-aktor dengan sumberdaya lingkungan,


(23)

yang menunjukkan bahwa politik adalah sebuah proses di mana pelaku mengambil dan memainkan peran sentral, dan (b) pengakuan bahwa aktor yang lemah sekalipun memiliki kekuasaan untuk bertindak mend apatkan kepentingannya, yang menyatakan kebutuhan ke ranah proses pemahaman global (dan regional atau lokal) dalam apresiasi terhadap peran aktor-aktor tertentu dalam pembangunannya, sehingga membuat proses-proses menjadi lebih nyata dan bermakna secara simultan dalam hal politik.

Suatu pemahaman yang lebih detail mengenai politisasi lingkungan dunia ketiga dapat ditemukan dalam analisis relasi kekuasaan yang tidak setara yang sering dikaitkan dengan konflik akses dan pemanfaatan berbagai sumberdaya lingkungan. Jenis analisis ini telah lama menjadi tema sentral peneliti politik ekologi di Afrika, Asia dan Amerika Latin yang berusaha untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengendalian lingkungan dan kontestasi. Ketidakadilan sosial dan ekonomi adalah suatu gambaran integral dalam pengembangan politik ekologi di dunia ketiga, yang secara umum menekankan marjinalitas dan kerentanan masyarakat miskin terhadap proses sosial dan ekologi. Sebagian besar penelitian politik ekologi merupakan gagasan tentang kondisi sosial dan lingkungan yang dibentuk melalui relasi kekuasaan yang tidak setara. Kekuasaan tercermin dalam kemampuan satu aktor untuk mengontrol aktor lainnya dan dapat dilihat di lingkungan melalui perubahan lahan, udara atau air, seperti: penebangan hutan, hutan tanaman, ladang kapas, pembuangan limbah beracun, limbah tambang, dan sebagainya (Bryant 1998).

Relasi kekuasaan yang tidak setara merupakan faktor utama dalam memahami pola-pola interaksi manusia-lingkungan dan sangat terkait dengan masalah lingkungan, yang secara keseluruhan merupakan krisis lingkungan di dunia ketiga. Relasi ini perlu dikaitkan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing aktor dalam jumlah lebih besar atau kecil yang mempengaruhi hasil konflik lingkungan tersebut. Kekuatan atau kekuasaan (power) dalam politik ekologi menjadi konsep kunci dalam upaya untuk menentukan topografi dari suatu politisasi lingkungan. Peneliti politik ekologi memahami konsep kekuasaan terutama dalam kaitannya dengan kemampuan seorang aktor untuk mengendalikan interaksinya dengan lingkungan dan interaksi aktor-aktor lain dengan lingkungan (Bryant dan Bailey 1997; Bryant 1998).

Teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) menempatkan kekuasaan di dalam konteks politik ekonomi yang membentuk kemampuan orang untuk memanfaatkan sumberdaya; dimana akses didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Analisis ini diperluas melebihi gagasan property (bundle of right) menuju pendekatan akses “bundle of power”, sehingga dapat membantu untuk memahami mengapa beberapa orang atau kelembagaan memperoleh manfaat dari sumberdaya, ada atau tidak ada hak yang mereka miliki. Kisaran kekuasaan (range of power) melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial, yang mempengaruhi kemampuan orang untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan ini merupakan bagian-bagian materi, budaya, dan politik ekonomi di dalam ikatan (bundles) dan jejaring (webs) kekuasaan yang membentuk akses sumberdaya. Bagian-bagian tersebut diartikan sebagai proses dan relasi yang memungkinkan aktor-aktor memperoleh, mengontrol, dan memelihara akses ke sumberdaya. Istilah mekanisme digunakan


(24)

untuk menyebut proses dan relasi tersebut. Ada beberapa jenis mekanisme yang bekerja. Mekanisme akses berbasis hak (rights-based access), termasuk akses ilegal (access illegal), dapat digunakan secara langsung untuk memperoleh manfaat; sementara mekanisme akses struktural dan relasional (structural and relational acces mechanism) termasuk atau memperkuat akses yang diperoleh secara langsung melalui pembentukan akses berbasis hak atau yang ilegal. Kategori akses dalam mekanisme akses struktural dan relasional menggambarkan jenis-jenis relasi kekuasaan, seperti: teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Setiap bentuk akses memungkinkan, bertentangan, atau melengkapi mekanisme akses lainnya dan menghasilkan pola-pola sosial yang kompleks dari distribusi manfaat.

Safarzynska dan Van Den Bergh (2010) menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya merupakan suatu atribut relasi sosial. Dalam ilmu sosial dan politik, definisi kekuasaan yang ada dibangun pada dikotomi lembaga dan struktur. Perspektif lembaga menekankan mekanisme yang dilakukan oleh individu (atau kelompok) untuk mencapai hasil yang diinginkan; sedangkan perspektif struktural difokuskan pada sumber kekuasaan, yaitu unsur atau ciri institusional yang melimpahkan kekuasaan pada kelompok atau individu tertentu. Dari perspektif lembaga, definisi kekuasaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu: (1) kemampuan untuk mempengaruhi pilihan orang lain secara langsung, kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan kemampuan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi konflik, (2) kemampuan untuk mempengaruhi pilihan sekelompok orang lain, dan (3) kemampuan untuk mempengaruhi preferensi, keyakinan, dan nilai-nilai orang lain terhadap berbagai alternatif; sementara perspektif struktural menekankan pada penerapan keputusan oleh sumber legitimasi kekuasaan yang berasal dari hak istimewa posisi seseorang di dalam struktur dan akses terhadap individu yang berkuasa, informasi, dan sumberdaya.

Konflik akses dan pemanfaatan hasil sumberdaya alam juga muncul dalam pengelolaan mangrove. Deforestasi mangrove secara global telah berlangsung pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Analisis yang dilakukan oleh FAO (2007) menunjukkan bahwa kawasan mangrove di seluruh dunia telah turun 20% atau sekitar 3,6 juta ha selama kurun waktu 25 tahun, yaitu dari 18,8 juta ha pada tahun 1980 menjadi sekitar 15,2 juta ha pada tahun 2005. Di Indonesia, kawasan mangrove telah turun 30% selama kurun waktu yang sama, yaitu dari 4,2 juta ha pada tahun 1980 menjadi 2,9 juta ha pada tahun 2005. Menurut Kusmana (2012) sebagian besar mangrove telah dieksploitasi secara komersial dan area mangrove sebagai sumberdaya lahan juga telah dikonversi untuk penggunaan lainnya (pertanian, perikanan, urbanisasi, pertambangan, dan tambak garam) yang sering menimbulkan konflik kepentingan di antara penggunanya; dimana di beberapa tempat eksploitasi yang berlebihan dan reklamasi lahan mangrove mengakibatkan degradasi dan hilangnya mangrove.

Cruz-Torres (2000) menjelaskan bahwa selama tahun 1990-an hubungan antara budidaya udang dan mangrove telah menjadi perhatian global, dimana budidaya udang telah mengakibatkan degradasi mangrove di banyak negara dunia ketiga. EJF (2003) menyatakan bahwa industri budidaya udang telah dipromosi-kan secara aktif oleh organisasi, seperti: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan FAO, sebagai sarana menciptakan lapangan kerja, membawa valuta asing, dan


(25)

mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Ekspor udang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi negara produsen, tetapi seringkali negara-negara ini kurang jelas tata kelola pemerintahannya dalam memastikan penggunaan sumberdaya yang adil. Pada banyak kasus, biaya eksternal dari industri tersebut tidak ditanggung oleh pihak yang mendapatkan keuntungan, tetapi dampaknya berpindah ke masyarakat termiskin dan paling rentan.

Fenomena yang terjadi dalam pengelolaan mangrove, khususnya yang dikonversi untuk kepentingan budidaya perikanan (tambak udang), dapat dijelaskan dengan perspektif politik ekologi. Relasi kekuasaan menjadi sangat penting karena merupakan gambaran bagaimana pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak adil di antara aktor-aktor yang terlibat. Persoalan ini telah didokumentasikan di beberapa negara dan dianalisis dengan konsep politik ekologi, seperti: Indonesia (Armitage 2002), Thailand (Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007), Meksiko (Cruz-Torres 2000), Honduras (Dewalt et al. 1996) dan Filipina (Vayda dan Walters 1999). Penelitian di atas masih terfokus pada mangrove yang berada di kawasan hutan negara, sementara yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara masih belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan memberi perhatian pada konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan degradasi lingkungan dalam bentuk konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Konversi tersebut terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dan membuat masyarakat setempat menjadi termarjinalkan. Konsep yang akan digunakan untuk menjelaskan degradasi lingkungan tersebut adalah relasi kekuasaan. Pertanyaan utama yang ingin dijawab adalah mengapa terjadi degradasi lingkungan, dalam hal ini konversi mangrove menjadi tambak udang intensif. Pertanyaan di atas dapat diuraikan lebih lanjut menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pemanfaatan mangrove?

a. Siapa saja aktor yang terlibat?

b. Kepentingan apa saja yang diperjuangkan oleh masing-masing aktor? c. Akses apa saja yang dimiliki oleh masing-masing aktor?

d. Bagaimana mekanisme akses yang dijalankan oleh masing-masing aktor untuk mendapatkan kepentingannya?

e. Bagaimana kelayakan finansial dari pola penggunaan lahan mangrove yang ada?

2. Bagaimana peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove?

a. Mengapa dan bagaimana pembentukan dan penguatan kelembagaan lokal dilakukan?

b. Aturan apa saja yang diatur oleh kelembagaan lokal?

c. Bagaimana struktur dan peran organisasi dari kelembagaan lokal? d. Bagaimana keberlanjutan kelembagaan lokal dan sumberdayanya?


(26)

3. Bagaimana rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan?

a. Kebijakan apa saja yang terkait dengan pengelolaan mangrove? b. Bagaimana implementasi kebijakannya?

c. Bila implementasinya belum efektif, maka bagaimana kebijakan menjadi efektif dan mampu mengakomodasi berbagai kepentingan aktor yang berbeda?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan utama penelitian ini adalah menjelaskan degradasi lingkungan berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif yang terjadi di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara dengan menggunakan konsep relasi kekuasaan. Untuk mencapai tujuan utama tersebut, dilakukan beberapa kajian dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan relasi kekuasaan yang terjadi antar aktor dalam pengelolaan mangrove.

2. Menjelaskan peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal dalam pengelolaan mangrove.

3. Memberikan rekomendasi kebijakan yang mendukung pengelolaan mangrove secara berkelanjutan.

Penjelasan dan rekomendasi tersebut bermanfaat bagi berbagai pihak yang terkait, seperti: pemerintah, akademisi, masyarakat, LSM, pengusaha, dan lain-lain, dalam melakukan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan.

1.4 Novelty

Penelitian politik ekologi yang mengkaji tentang degradasi lingkungan, khususnya mengenai konversi mangrove menjadi tambak udang, telah dilakukan beberapa peneliti di berbagai negara, seperti: Indonesia (Armitage 2002), Thailand (Vandergeest et al. 1999; Vandergeest 2007), Meksiko (Cruz-Torres 2000), dan Filipina (Vayda dan Walters 1999). Penelitian tersebut masih terfokus pada relasi kekuasaan antar aktor yang terjadi dalam konversi mangrove menjadi tambak udang di kawasan hutan negara; namun yang terjadi di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, belum dieksplorasi secara lebih mendalam. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi secara lebih mendalam relasi kekuasaan antar aktor yang mempengaruhi pengelolaan mangrove di luar kawasan hutan negara, yang merupakan bagian dari kawasan lindung, yang sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak udang intensif.

1.5 Metodologi 1.5.1 Kerangka Pemikiran

Dalam mengkaji perubahan lingkungan, para peneliti politik ekologi memiliki asumsi bahwa perubahan yang terjadi tidaklah bersifat teknis, tetapi merupakan suatu bentuk politisasi lingkungan yang melibatkan aktor-aktor dengan relasi kekuasaan yang tidak setara. Relasi kekuasaan yang tidak setara akan berimplikasi pada kerusakan sumberdaya dan memarjinalkan aktor yang paling lemah, yaitu masyarakat. Konsep kekuasaan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji


(27)

interaksi atau relasi sosial (konflik atau kerjasama) antar aktor yang seringkali memiliki kepentingan yang berbeda. Perubahan lingkungan yang terjadi berupa konversi mangrove menjadi tambak udang intensif di kawasan lindung yang berada di luar kawasan hutan negara. Pemahaman tersebut dapat menjadi pijakan penting dalam merekomendasikan kebijakan pengelolaan mangrove yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Alur kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) yang dapat mengeksplorasi secara lebih mendalam posisi dan peran, kepentingan, serta tindakan dari berbagai aktor yang berbeda. Karena pendekatan di atas belum secara jelas dan terperinci menerangkan bagaimana tindakan yang dilakukan oleh aktor, maka pendekatan tersebut selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003). Akses didefinisikan oleh Ribot dan Peluso (2003) sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu, termasuk obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol. Dengan memfokuskan pada kemampuan, akses memberikan perhatian terhadap kisaran relasi sosial yang lebih luas yang dapat menghambat atau memungkinkan aktor untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kekuasaan melekat dan dilaksanakan melalui berbagai mekanisme, proses, dan relasi sosial, dimana penguasaan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial (bundle of power) akan mempengaruhi tingkat akses ke sumberdaya. Relasi kekuasaan antar aktor dijelaskan dengan mengkaji bagaimana aktor menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol aktor lain dalam pemanfaatan sumberdaya. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki aktor, maka semakin besar aksesnya ke sumberdaya mangrove.

Di dalam relasi sosial antar aktor, terjadi konflik atau kompetisi dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kompetisi tersebut akan dimenangkan oleh aktor yang memiliki bundle of power lebih besar dibandingkan aktor lainnya. Untuk memperkuat mengapa sumberdaya mangrove diperebutkan oleh berbagai aktor, maka dilakukan kajian mengenai nilai sumberdayanya dengan menggunakan analisis finansial terhadap beberapa pola penggunaan lahan mangrove yang diusahakan. Semakin tinggi nilai sumberdayanya dalam ukuran kelayakan finansial, maka akan semakin besar tingkat kepentingan aktor untuk menguasai sumberdaya mangrovenya.

Masyarakat secara individu memiliki posisi tawar yang rendah, sehingga masyarakat memiliki kekuasaan yang lemah untuk berkompetisi dengan aktor lainnya dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove. Oleh karena itu, diperlukan suatu kelembagaan untuk meningkatkan posisi tawarnya. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis kelembagaan tersebut. Kelembagaan lokal akan memperoleh status dan kualitas kelembagaannya karena keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya mangrove secara lestari dan apresiasi yang didapat dari masyarakat. Semakin kuat kelembagaan lokal pengelolaan mangrove, maka semakin kuat posisi tawar kelembagaan lokal tersebut menghadapi intervensi aktor-aktor lainnya yang memiliki kepentingan berbeda dengan masyarakat; sehingga semakin tinggi tingkat kelestarian mangrovenya.


(28)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian Posisi & Peran

Perspektif Politik Ekologi

Memetakan

politisasi lingkungan yang terjadi

Kepentingan

Tindakan

Kelayakan Finansial Pola Penggunaan Lahan Mangrove

(NPV, BCR, dan IRR)

Kelembagaan Lokal (Uphoff 1986; 1994) Akses

Kemampuan memperoleh manfaat dari sesuatu (obyek material, orang, kelembagaan, dan simbol)

Bundle of Power

teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, relasi sosial

Memahami konflik/kerjasama antar aktor

Konversi mangrove menjadi tambak udang intensif

Rekomendasi Kebijakan

Teori Akses (Ribot dan Peluso 2003)

Pendekatan Berorientasi Aktor (Bryant dan Bailey 1997)


(29)

1.5.2 Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini merupakan turunan atau operasionalisasi dari konsep-konsep yang terdapat di dalam kerangka pemikiran di atas. Variabel tersebut diberikan definisi operasionalnya dan selanjutnya ditentukan indikator yang akan diukur. Secara garis besar definisi operasional dari variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Posisi: kedudukan aktor dalam pengelolaan mangrove. Indikator posisi adalah kategori posisi aktor, yaitu: Pemerintah Kabupaten Pesawaran, pengusaha tambak udang intensif, LSM Mitra Bentala, dan masyarakat.

2. Peran: sikap atau tindakan aktor yang diharapkan oleh aktor lainnya sesuai dengan kedudukannya dalam pengelolaan mangrove. Indikator peran adalah kategori perlindungan lingkungan dan pemanfaatan.

3. Kepentingan: sesuatu barang dan jasa yang diperjuangkan yang menjadi kebutuhan menurut masing-masing aktor dalam pengelolaan mangrove. Indikator kepentingan adalah tingkat kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi. Kepentingan sosial diukur dari tingkat keadilan dalam distribusi manfaat dari sumberdaya mangrove. Kepentingan ekonomi diukur dari tingkat pendapatan yang diperoleh dari usaha yang memanfaatkan sumberdaya mangrove. Kepentingan ekologi diukur dari tingkat perlindungan terhadap sumberdaya mangrove.

4. Akses: kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya mangrove dengan menggunakan teknologi, modal, pasar, tenaga kerja dan peluang tenaga kerja, pengetahuan, kewenangan, identitas sosial, dan relasi sosial. Indikator akses adalah tingkat manfaat yang diperoleh dari mangrove. Tingkat manfaat diukur dari penguasaan atas sumberdaya mangrove dan produksinya.

5. Kelayakan finansial: kelayakan usaha dari pola penggunaan sumberdaya mangrove dengan membandingkan semua barang dan jasa yang dapat meningkatkan atau mengurangi pendapatan selama proses investasi dilaksanakan. Indikator kelayakan finansial adalah Net Present Value (NPV) > 0, Benefit Cost Ratio (BCR) > 1, dan Internal Rate of Return (IRR) > tingkat suku bunga.

6. Kelembagaan: seperangkat aturan yang mengatur kewajiban, hal-hal yang diperbolehkan, hal-hal yang dilarang, dan sanksi yang diterapkan dalam pengelolaan mangrove secara lestari. Indikator kelembagaan adalah tingkat pemahaman, kepatuhan, dan kepercayaan masyarakat terhadap aturan daerah perlindungan mangrove yang berlaku. Tingkat pemahaman diukur dari pemahaman terhadap fungsi dan manfaat mangrove, serta aturan pengelolaannya yang telah disepakati bersama. Tingkat kepatuhan diukur dari kepatuhan terhadap aturan pengelolaan mangrove yang telah disepakati bersama. Tingkat kepercayaan diukur dari kepercayaan terhadap pemahaman anggota masyarakat lainnya tentang fungsi dan manfaat mangrove, aturan pengelolaannya yang telah disepakati bersama, dan kepercayaan terhadap kepatuhan anggota masyarakat lainnya terhadap aturan pengelolaan mangrove yang telah disepakati bersama.


(30)

1.5.3 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yang didukung dengan penelitian kuantitatif. Irawan (2007) menyatakan bahwa kebenaran menurut penelitian kualitatif adalah kebenaran “intersubyektif” bukan kebenaran

“obyektif”. Kebenaran intersubyektif adalah kebenaran yang dibangun dari

jalinan berbagai faktor yang bekerja bersama-sama, seperti budaya dan sifat-sifat unik dari individu-individu manusia. Maka, realitas adalah sesuatu yang

“dipersepsikan” oleh yang melihat dan bukan sekedar fakta yang bebas konteks

dan bebas dari interpretasi apapun. Oleh karena itu, kebenaran merupakan

“bangunan” (konstruksi) yang disusun oleh seorang peneliti dengan cara mencatat

dan memahami apa yang terjadi di dalam interaksi sosial kemasyarakatan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2006). Kasus yang dipelajari terikat pada sistem, waktu dan tempat atau ruang; mengkaji secara detail dan mendalam satu atau lebih program, kejadian, individu, atau aktivitas; dimana konteks dari kasus tersebut mencakup latar fisik, sosial, ekonomi, dan sejarah (Suharjito 2014).

Studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti (Bungin 2006). Pendekatan pada metode studi kasus menekankan pada abstraksi tingkat pertama, yakni penjelasan langsung dari pelaku; bukan pada abstraksi tingkat kedua, yakni asumsi-asumsi dan klasifikasi-klasifikasi yang dikonstruksikan oleh peneliti (Bennet 1976, diacu dalam Suharjito 2014). Dengan kata lain, menurut Suharjito (2014), penjelasan tentang suatu gejala atau fenomena dalam penelitian ini diberikan secara emik, dimana penjelasan emik tersebut dimaksudkan untuk dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan, diketahui, dilakukan, dan diharapkan oleh informan sesuai apa yang disampaikan informan sendiri.

Bungin (2006) menyatakan bahwa pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini menyangkut prinsip dalam penelitian kualitatif dan tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan lebih mengedepankan dan mengutamakan aspek emik daripada etik-nya terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis. Selanjutnya Suharjito (2014) menjelaskan bahwa studi kasus bukan untuk menguji teori, sehingga peneliti tidak berpegang pada suatu teori dari awal hingga akhir pengumpulan data. Namun demikian, peneliti dapat mengganti teori yang pertama, jika diperlukan dengan teori yang lain yang lebih tepat dan seterusnya sampai proses penelitian selesai. 1.5.4 Pengumpulan Data

1. Wawancara mendalam

Wawancara studi kasus bertipe open-ended dimana peneliti dapat bertanya kepada informan kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada (Yin 2006). Bila dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka tidak perlu lagi mencari


(31)

informan baru dan proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai. Analisis stakeholder tidak dilakukan dalam penelitian ini untuk memilih informan kunci, karena informan kunci berdasarkan pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) merupakan aktor-aktor utama yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Karena peneliti telah cukup lama berinteraksi dengan aktor-aktor tersebut di lokasi penelitian, maka hal ini memudahkan peneliti di dalam menentukan aktor-aktor utama dalam pengelolaan mangrove di Kabupaten Pesawaran.

2. Pengamatan terlibat

Pengamatan terlibat merupakan suatu bentuk pengematan khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Pengamatan terlibat memberikan peluang kepada peneliti untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang

dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006).

3. Analisis dokumen

Analisis dokumen dilakukan dengan mengkaji publikasi, laporan, dan lain-lain yang terkait dengan fenomena yang diteliti.

1.5.5 Analisis Data

Pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) digunakan untuk mengeksplorasi lebih mendalam posisi dan peran, kepentingan, serta tindakan dari aktor-aktor kunci yang terlibat langsung dalam pengelolaan mangrove. Pendekatan di atas selanjutnya dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk menerangkan secara lebih jelas dan terperinci bagaimana tindakan yang dilakukan aktor, dengan mengidentifikasi dan memetakan mekanisme kekuasaan masing-masing aktor, serta menganalisis relasi kekuasaan yang mendasari mekanisme akses tersebut, yang digunakan untuk memperoleh, mempertahankan, dan mengontrol akses terhadap sumberdaya mangrove. Untuk mendukung mengapa sumberdaya mangrove diperebutkan oleh berbagai aktor, maka dilakukan kajian mengenai kelayakan finansial beberapa pola penggunaan lahan yang ada dengan menghitung NPV, BCR, dan IRR. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) selanjutnya digunakan untuk menganalisis kelembagaannya.

1.6 Struktur Disertasi

Setelah Bab 1 yang memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat, novelty, serta metodologi, Bab 2 mengelaborasi kondisi administratif dan geografis, iklim dan topografi, serta tata ruang wilayah dari lokasi penelitian. Tata ruang wilayah yang dijabarkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pesawaran No. 4 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pesawaran Tahun 2011-2031 terkait dengan rencana pola ruang yang memasukkan kawasan mangrove sebagai bagian dari kawasan sempadan pantai yang merupakan bagian dari kawasan perlindungan setempat. Bab ini juga


(32)

menjelaskan status penguasaan lahan mangrove oleh aktor-aktor dengan mengacu pada konsep property right dari Ostrom dan Schlager (1996) dan konsep rezim pengelolaan kepemilikan Bromley (1991). Bab ini diakhiri dengan menguraikan secara singkat kondisi mangrove di lokasi penelitian yang sebagian besar mengalami alih fungsi lahannya menjadi tambak-tambak udang intensif.

Bab 3 membahas tentang aktor dan relasi kekuasaan dalam pengelolaan mangrove yang sangat terkait dengan industrialisasi tambak udang yang terjadi di lokasi penelitian. Pendekatan berorientasi aktor dari Bryant dan Bailey (1997) digunakan untuk mengkaji posisi, peran, dan kepentingan aktor yang terlibat; yang dikombinasikan dengan teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) untuk mengkaji kekuasaan dan mekanisme yang dijalankan oleh masing-masing aktor. Pada bagian akhir, dibahas mengenai pembentukan jejaring penyelamatan mangrove yang bertujuan untuk mendorong implementasi kebijakan yang terkait dengan pengelolaan mangrove menjadi lebih efektif.

Bab 4 membahas tentang analisis finansial pola penggunaan lahan mangrove dengan menghitung nilai NPV, BCR, dan IRR. Ada tiga pola penggunaan lahan mangrove dominan yang terdapat di lokasi penelitian, yaitu: tambak udang intensif, pembibitan mangrove, dan ekowisata. Nilai yang tinggi dari suatu pola penggunaan lahan dibandingkan pola lainnya akan menjelaskan mengapa suatu aktor memiliki kepentingan tinggi untuk menguasai sumberdaya mangrove tersebut.

Bab 5 membahas tentang peran dan keberlanjutan kelembagaan lokal pengelolaan mangrove. Konsep kelembagaan lokal dari Uphoff (1986; 1994) digunakan untuk menganalisis tingkat pemahaman, kepatuhan, dan kepercayaan terhadap peraturan pengelolaan mangrove yang berlaku. Bab ini menguraikan bagaimana pembentukan dan penguatan kelembagaan lokal di Desa Pulau Pahawang. Bab ini diakhiri dengan pembahasan mengenai keberlanjutan kelembagaan lokal, dimana kelembagaan lokal belum memperoleh status dan kualitas kelembagaannya karena kegagalannya dalam menegakkan aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

Bab 6 memuat pembahasan umum dari bab-bab sebelumnya. Bab ini juga menguraikan keterkaitan antara konversi mangrove dengan perkembangan industrialisasi tambak udang yang terjadi di Indonesia; termasuk mengaitkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bagaimana tambak udang sangat bergantung pada jasa lingkungan yang disediakan oleh alam dan harus mempertimbangkan daya dukung budidaya udang dari perspektif ekosistem. Hal tersebut dilakukan karena budidaya perikanan pada dasarnya merupakan proses ekologi alami, meskipun dalam budidaya udang intensif hal tersebut dilakukan untuk mencapai proporsi industri. Selain itu, bab ini juga menjelaskan pentingnya partisipasi masyarakat lokal, karena masyarakat lokal merupakan bagian dari ekosistem hutan; sehingga pengelolaan mangrove harus dilakukan secara adaptif agar tetap lestari. Disertasi ini diakhiri oleh Bab 7 yang memuat kesimpulan, implikasi teori, dan kebijakan.


(33)

2 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Kondisi Administratif dan Geografis

Menurut BPS Kabupaten Pesawaran (2013), Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2007 berdasarkan UU No. 33 tahun 2007. Ibukotanya adalah Gedong Tataan yang berjarak 27 km dari ibukota provinsi Bandar Lampung. Secara administratif, Kabupaten Pesawaran terbagi dalam sembilan kecamatan, yaitu Padang Cermin, Punduh Pidada, Kedondong, Way Lima, Gedong Tataan, Negeri Katon, Tegineneng, Marga Punduh, dan Way Khilau (Gambar 2). Secara geografis, Kabupaten Pesawaran terletak pada koordinat 104,92°-105,34° BT dan 5,12°-5,84° LS, dengan batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pardasuka, Kecamatan Ambara-wa, Kecamatan Gadingrejo, dan Kecamatan Adiluwih (Kabupaten Pringsewu); 2. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kalirejo, Kecamatan Bangun-rejo, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, dan Kecamatan Trimurjo (Kabupaten Lampung Tengah);

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan), Kecamatan Kemiling dan Kecamatan Teluk Betung Barat (Kota Bandar Lampung); dan

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Lampung yang merupakan bagian dari Kecamatan Kelumbayan dan Kecamatan Cukuh Balak (Kabupaten Tanggamus).

Tiga kecamatan terletak di wilayah pesisir, yaitu: Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Punduh Pedada, dan Kecamatan Marga Punduh. Kecamatan Marga Punduh merupakan hasil pemekaran dari Kecamatan Punduh Pedada pada tahun 2012. Persentase luas wilayah ketiga kecamatan tersebut adalah 46,16% dari luas total Kabupaten Pesawaran, dengan jumlah penduduk sebesar 28,48% dari jumlah total penduduk Kabupaten Pesawaran (Tabel 4).

Tabel 4 Luas kecamatan dan jumlah penduduk Kabupaten Pesawaran

Kecamatan Luas Jumlah penduduk*

km2 % jiwa %

Punduh Pedada 113,19 9,64 12.721 3,12 Marga Punduh 111,00 9,46 12.837 3,15 Padang Cermin 317,67 27,06 90.503 22,21

Kedondong 67,00 5,71 32.399 7,95

Way Khilau 64,11 5,46 25.724 6,31

Way Lima 99,83 8,50 29.495 7,24

Gedong Tataan 97,06 8,27 90.294 22,16 Negeri Katon 152,69 13,01 62.626 15,37 Tegineneng 151,26 12,89 50.876 12,49 Total 1.173,81 100,00 407.475 100,00 Keterangan: * = proyeksi jumlah penduduk tahun 2012


(34)

2.2 Iklim dan Topografi

Rata-rata curah hujan di Kabupaten Pesawaran selama tahun 2012 sebanyak 138,79 mm dengan 11,17 rata-rata hari hujan per bulan. Curah hujan tertinggi dan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember dengan curah hujan mencapai 424,50 mm dan 23 hari hujan. Curah hujan terendah dan hari hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus yang hanya 2,10 mm curah hujan dan 2 hari hujan. Topografi Kabupaten Pesawaran merupakan daerah dataran rendah dan dataran tinggi dengan ketinggian dari permukaan laut yang bervariasi antara 0-1.682 m (Tabel 5). Sebagian besar wilayah Kabupaten Pesawaran berada pada ketinggian 100-200 mdpl, dengan luasan terbesar yaitu 24.261,14 ha yang tersebar di wilayah Kecamatan Kedondong. Sedangkan kelas ketinggian di antara 500 - 600 mdpl dengan luasan terbesar yaitu 2.897,05 ha yang tersebar di wilayah Kecamatan Padang Cermin (BPS Kabupaten Pesawaran 2013).

Tabel 5 Luas wilayah berdasarkan ketinggian di Kabupaten Pesawaran

Ketinggian (mdpl)

Luas

ha %

0-100 22.924,64 19,53

100-200 46.303,07 39,45

200-300 11.251,34 9,59

300-400 12.686,18 10,81

400-500 7.177,69 6,12

500-600 4.298,54 3,66

>600 12.735,53 10,85 Sumber: BPS Kabupaten Pesawaran (2013)

Sebagian besar wilayah Kabupaten Pesawaran merupakan wilayah berbukit terjal yang hampir tersebar di seluruh bagian wilayah, sedangkan wilayah yang memiliki kondisi lahan yang cukup datar berada di wilayah bagian utara. Luas wilayah dengan kemiringan lereng 0 - 8% adalah sebesar 11.337,85 ha (9,66 %) dan kemiringan lereng > 40% adalah sebesar 106.079,78 ha (90,38 %). Luas wilayah dengan topografi 0-8% terbesar adalah yang tersebar di wilayah Kecamatan Negeri Katon sebesar 6.155,76 ha, sedangkan luas wilayah dengan topografi > 40% terbesar adalah yang tersebar di Kecamatan Padang Cermin sebesar 35.394,05 ha. Jenis tanah regosol banyak terdapat di pesisir pantai Kecamatan Padang Cermin dan Kecamatan Punduh Pidada. Jenis tanah gleisol terdapat di bagian barat laut Kecamatan Gedongtataan, bagian barat daya Kecamatan Negeri Katon, bagian utara Kecamatan Way Lima, bagian utara Kecamatan Kedondong, serta bagian tengah, selatan dan timur Kecamatan Padang Cermin. Jenis tanah gleisol juga terdapat di Kecamatan Punduh Pidada yang tersebar di dekat pesisir timur dan selatan. Selain itu, terdapat juga jenis tanah kambisol eutrik yang berasosiasi dengan tanah gleisol, kambisol distrik yang berasosiasi dengan tanah podsolik, serta jenis tanah podsolik (BPS Kabupaten Pesawaran 2013).


(35)

Sumber: Pemerintah Kabupaten Pesawaran (2012)

Gambar 2 Administrasi Kabupaten Pesawaran


(1)

110

Lampiran 10 Analisis finansial ekowisata mangrove

Tahun

Bt

Ct

Bt-Ct

DF 12%

PV Bt

PV Ct

NPV

0

0

64.900.000

(64.900.000)

1,00

0,00

64.900.000,00

(64.900.000,00)

1

36.000.000

39.314.000

(3.314.000)

0,89

32.142.857,14

35.101.785,71

(2.958.928,57)

2

48.000.000

41.652.000

6.348.000

0,80

38.265.306,12

33.204.719,39

5.060.586,73

3

60.000.000

43.990.000

16.010.000

0,71

42.706.814,87

31.311.213,10

11.395.601,77

4

72.000.000

55.008.000

16.992.000

0,64

45.757.301,65

34.958.578,46

10.798.723,19

5

81.000.000

55.008.000

25.992.000

0,57

45.961.575,31

31.213.016,48

14.748.558,83

6

90.000.000

70.410.000

19.590.000

0,51

45.596.800,91

35.671.897,24

9.924.903,66

7

108.000.000

69.202.000

38.798.000

0,45

48.853.715,26

31.303.470,40

17.550.244,86

8

120.000.000

70.030.000

49.970.000

0,40

48.465.987,36

28.283.942,46

20.182.044,90

9

135.000.000

80.140.000

54.860.000

0,36

48.682.353,37

28.899.287,40

19.783.065,97

10

150.000.000

84.550.000

65.450.000

0,32

48.295.985,49

27.222.837,15

21.073.148,33

Total

900.000.000

674.204.000

225.796.000

444.728.697,47

382.070.747,79

62.657.949,68

NPV :

62.657.949,68

BCR :

1,16

IRR

:

23,84%


(2)

111

Lampiran 11 Biaya ekowisata mangrove

Uraian biaya Jumlah Satuan Harga

Tahun ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Biaya investasi

Sewa kantor 10 tahun 5.000.000 50.000.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Pelampung 12 unit 100.000 1.200.000 0 0 0 0 0 1.200.000 0 0 0 0

Masker 12 unit 250.000 3.000.000 0 0 0 0 0 3.000.000 0 0 0 0

Fin 12 unit 250.000 3.000.000 0 0 0 0 0 3.000.000 0 0 0 0

Kamera 1 unit 1.250.000 1.250.000 0 0 0 0 0 1.250.000 0 0 0 0

Casing kamera

underwater 1 unit 1.250.000 1.250.000 0 0 0 0 0 1.250.000 0 0 0 0

Laptop 1 unit 2.500.000 2.500.000 0 0 0 0 0 2.500.000 0 0 0 0

Modem 1 unit 200.000 200.000 0 0 0 0 0 200.000 0 0 0 0

HP 2 unit 500.000 1.000.000 0 0 0 0 0 1.000.000 0 0 0 0

Perijinan 1 paket 1.500.000 1.500.000 0 0 0 1.500.000 0 0 1.500.000 0 0 1.500.000

Sub total biaya investasi 64.900.000 0 0 0 1.500.000 0 13.400.000 1.500.000 0 0 1.500.000

Biaya operasional

Brosur 1 paket 500.000 0 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000

Tenaga kerja 1 orang 750.000 0 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000 9.000.000

1 orang 500.000 0 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000 6.000.000

Pulsa telepon 12 bulan 100.000 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Pulsa internet 12 bulan 100.000 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.200.000

Pemandu Mitra Wisata 1 orang 100.000 0 2.400.000 2.400.000 2.400.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 4.800.000 4.800.000 6.000.000 6.000.000

Transport Mitra Wisata

BL-Ketapang PP 1 orang 50.000 0 1.200.000 1.200.000 1.200.000 1.800.000 1.800.000 1.800.000 2.400.000 2.400.000 3.000.000 3.000.000

Konsumsi pemandu

Mitra Wisata 1 orang 15.000 0 2.160.000 2.880.000 3.600.000 4.320.000 4.860.000 5.400.000 6.480.000 7.200.000 8.100.000 9.000.000

Pemandu lokal 1 orang 100.000 0 2.400.000 2.400.000 2.400.000 3.600.000 3.600.000 3.600.000 4.800.000 4.800.000 6.000.000 6.000.000


(3)

Lanjutan

Uraian biaya Jumlah Satuan Harga

Tahun ke-

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Parkir di Ketapang 396 trip 10.000 0 30.000 40.000 50.000 40.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000 50.000

Sewa perahu

Ketapang-Pahawang PP 396 trip 350.000 0 8.400.000 8.400.000 8.400.000 12.600.000 12.600.000 12.600.000 16.800.000 16.800.000 21.000.000 21.000.000

Konsumsi pengunjung 3.600 orang 15.000 0 2.160.000 2.880.000 3.600.000 4.320.000 4.860.000 5.400.000 6.480.000 7.200.000 8.100.000 9.000.000

Bibit mangrove 3.600 batang 1.000 0 144.000 192.000 240.000 288.000 324.000 360.000 432.000 480.000 540.000 600.000

Oleh-oleh (dodol dan

peyek mangrove) 3.600 paket 10.000 0 1.440.000 1.920.000 2.400.000 2.880.000 3.240.000 3.600.000 4.320.000 4.800.000 5.400.000 6.000.000

Retribusi 3.600 orang 5.000 0 720.000 960.000 1.200.000 1.440.000 1.620.000 1.800.000 2.160.000 2.400.000 2.700.000 3.000.000

CD 3.600 keping 2.500 0 360.000 480.000 600.000 720.000 810.000 900.000 1.080.000 1.200.000 1.350.000 1.500.000

Sub total biaya operasional 0 39.314.000 41.652.000 43.990.000 53.508.000 55.264.000 57.010.000 67.702.000 70.030.000 80.140.000 83.050.000

Total biaya 64.900.000 39.314.000 41.652.000 43.990.000 55.008.000 55.264.000 70.410.000 69.202.000 70.030.000 80.140.000 84.550.000

Keterangan:

Retribusi: Desa (50%), BPDPM (50%)


(4)

113

Lampiran 12 Pendapatan ekowisata mangrove

Uraian

Satuan

Tahun ke-

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Jumlah trip

trip

24

24

24

36

36

36

48

48

60

60

Jumlah orang

orang

144

192

240

288

324

360

432

480

540

600

Harga paket

Rp/orang

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

250.000

Pendapatan/tahun

Rp

0

36.000.000

48.000.000

60.000.000

72.000.000

81.000.000

90.000.000

108.000.000

120.000.000

135.000.000

150.000.000

Keterangan:

Lama kunjungan/paket: 1 hari


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gombong pada tanggal 22 Februari 1974 sebagai anak

ke-4 dari pasangan Kol. (Purn.) Drs. H. Sahmi Gumay dan Hj. Indrawati

Soekardi. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan,

Fakultas Kehutanan IPB dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2006 penulis

mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Kementerian

Pendidikan Nasional pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah

Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2009. Kesempatan untuk

melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan,

Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2010, ketika penulis mendapatkan

Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dari Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Lampung sejak tahun 2003. Sebelumnya penulis pernah

bekerja di Toyo Tex, Co., Ltd. pada tahun 1999-2001 dan di PT Naramitra Tarra

pada tahun 2001-2003. Penulis aktif dalam kegiatan konservasi mangrove yang

dilaksanakan oleh Lampung Mangrove Center, Universitas Lampung. Selain itu,

penulis bersama-sama dengan LSM Mitra Bentala serta masyarakat, aktif dalam

kegiatan konservasi mangrove di Kabupaten Pesawaran. Penulis juga aktif dalam

kegiatan penyuluhan kepada para pengusaha tambak udang intensif mengenai

pentingnya mangrove terhadap keberlanjutan usahanya dan mata pencaharian

masyarakat setempat.

Artikel-artikel yang merupakan bagian dari disertasi ini telah diajukan ke

berkala ilmiah dan disajikan dalam seminar nasional. Artikel yang berjudul

The

Roles and Sustainability of Local Institutions of Mangrove Management in

Pahawang Island

telah diterbitkan di Jurnal Manajemen Hutan Tropika Volume

XX Nomor 2 Edisi Agustus 2014. Artikel yang berjudul Aktor dan Relasi

Kekuasaan dalam Pengelolaan Mangrove di Kabupaten Pesawaran, Provinsi

Lampung telah diterima untuk diterbitkan di Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan

Volume 11 Nomor 4 Tahun 2014. Artikel yang berjudul Peran dan Keberlanjutan

Kelembagaan Lokal Pengelolaan Mangrove telah disajikan pada Seminar

Nasional Pengarusutamaan Lingkungan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam:

Tantangan dalam Pembangunan Nasional, tanggal 6 November 2014 di IPB


Dokumen yang terkait

Diversitas Cacing Laut (Polychaeta) Pada Ekosistem Mangrove Dan Tambak Terbuka Di Desa Durian Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

1 12 34

Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau

2 20 91

Pengelolaan Kawasan Budidaya Kerapu Sistem KJA dengan Pendekatan Daya Dukung Ekologi (Studi Kasus Perairan Ringgung Kabupaten Pesawaran Lampung)

0 5 68

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 7

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 5

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 2

Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan di Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 1 10

PEMBENTUKAN KABUPATEN PESAWARAN DI PROVINSI LAMPUNG

0 0 22

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN MATA AIR DI DESA SUNGAI LANGKA, KECAMATAN GEDONG TATAAN, KABUPATEN PESAWARAN, PROVINSI LAMPUNG

0 0 8