Analisis Biaya dan Kelayakan Usaha Penggilingan Padi di Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat.

(1)

- 8 -

COST ANALYSIS AND FEASIBILITY RICE MILLING BUSINESS IN SITU GEDE VILLAGE, WEST BOGOR DISTRICT

Abdul Hafizh Indrajaya and Bambang Pramudya

Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 085691852078, e-mail :abdulhafizhindrajaya@yahoo.co.id

ABSTRACT

One important aspect of post-harvest handling of rice is rice milling. Although many rice milling unit, but deployment and their feasibility has not so optimal.This situation requires an evaluation and needs analysis to assess the optimum level making it feasible to operate profitably. The research objective is to create a cost analysis and feasibility of rice mills and to make sensitivity analysis on several conditions. The study was conducted for 3 months, from May 2010 until July 2010. Using Mr Kardi’s rice milling unit as an objects for the research where located at Situ Gede Village in West Bogor.

Based on the calculation of the cost analysis, obtained total cost rice mill for a year is Rp. 37,033,093.194. Main cost produced per kilogram of rice at Rp.283.8. Breakeven point values obtained for rice mills is 139.19hours / year or 35,342.784 kg of paddy / year. In addition, based on sensitivity analysis, obtained value net present value (NPV) is Rp. 168,628,529.933, the internal rate of return (IRR) is 40.11, and the gross value of B / C ratio is 1.50. Based on that results, we can conclude Kardi’s rice mill unit is feasible to run.

After that, a sensitivity analysis was performed on several conditions that may occur. The selected conditions is rising diesel fuel prices, rising labor wage, and decrease the amount of annual milled. After calculating the sensitivity analysis, obtained some conditions which may cause the rice mill is not feasible to run.

Keywords: rice mill, cost, feasibility, sensitivity


(2)

1

. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pembangunan sektor pertanian menjadi bagian integral dari pembangunan nasional yang telah mendapatkan tempat dan peranan strategis. Sasaran pembangunan sektor pertanian adalah meningkatkan hasil pertanian untuk mendukung industri yang kuat.

Usaha untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pertanian, terutama tanaman pangan harus terus dilakukan. Salah satu tanaman pangan penting adalah padi. Padi (Oryza sativa L.) adalah bahan baku dari beras, dimana beras merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia baik ditinjau dari segi fisiologis, phiskologis, sosial, maupun antropologis. Berbagai tantangan harus dihadapi untuk meningkatkan produksi tanaman padi seperti ancaman hama dan penyakit, tekanan lingkungan seperti banjir dan kekeringan, serta menyusutnya lahan-lahan subur yang digunakan untuk pembangunan.

Tujuan penanganan pascapanen antara lain mempertahankan mutu, mengurangi susut tercecer, dan memperoleh nilai ekonomi maksimum. Teknologi pascapanen yang tepat guna mutlak diperlukan karena berkaitan dengan jumlah dan mutu komoditas. Penerapan teknologi ini akan mendorong terciptanya komoditas yang lebih beragam, bermutu baik dan tersedia di setiap tempat dan waktu.

Salah satu aspek penting penanganan pascapanen padi adalah penggilingan padi. Menurut Patiwiri (2006), penggilingan padi adalah salah satu tahapan pascapanen yang terdiri dari rangkaian beberapa proses untuk mengolah gabah menjadi beras siap konsumsi. Proses penggilingan ini penting karena turut menentukan kualitas dan kuantitas beras yang dihasilkan. Dalam hal ini penggunaan mesin penggiling padi yang baik dapat meningkatkan rendemen dan mutu dari beras giling yang dihasilkan dibandingkan dengan cara ditumbuk.

Penggunaan mesin penggiling padi umumnya sudah memasyarakat, sebagai sarana dalam proses penggilingan padi. Penggilingan padi sebagian besar diusahakan oleh pengusaha swasta yang dalam hal ini adalah pengusaha-pengusaha kecil. Sedangkan pengusahaan yang dilakukan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) sendiri sebagai unit usaha kelompok masyarakat belum banyak berkembang. Hal ini menyangkut masalah investasi maupun aspek manajemennya. Penggilingan tersebut disewakan bagi masyarakat luas untuk memenuhi kebutuhan beras bagi konsumsi lokal. Pembayaran sewa dihitung berdasarkan hasil beras yang digiling. Namun pada masing-masing tempat belum ada standar yang sama untuk ongkos sewa penggilingan padi tersebut.

Semakin meningkatnya ketergantungan masyarakat petani beras akan mesin penggilingan padi dan adanya sumber daya potensial yang mendukung, maka pengusahaan pelayanan jasa mesin-mesin penggilingan padi akan semakin berkembang. Tanpa perencanaan, pengawasan dan informasi serta analisis usaha yang tepat, hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan maupun sosial ekonomi masyarakat itu sendiri. Apalagi jika tanpa diikuti dengan kontrol pemerintah yang tegas dan bijaksana.

Walaupun sudah banyak usaha penggilingan padi, namun penyebaran dan kelayakannya belum begitu optimal. Keadaan ini memerlukan suatu evaluasi dan analisis untuk menilai tingkat kebutuhan optimumnya sehingga layak untuk beroperasi secara menguntungkan. Biaya penggilingan padi perlu diketahui, baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan


(3)

2

suatu usaha penggilingan padi. Pada tahap perencanaan, biaya penggilingan perlu dihitung untuk mengetahui kelayakan proyek tersebut sedangkan pada tahap pelaksanaan biaya penggilingan akan dipakai sebagai patokan untuk menentukan harga jual jasa penggilingan pada konsumen.

Biaya penggilingan padi dihitung dari seluruh komponen biaya di dalam sistem penggilingan padi. Biaya tersebut dapat dinyatakan dalam biaya total atau biaya pokok. Biaya total adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh usaha penggilingan padi per suatu periode waktu, misalnya per tahun, sedangkan biaya pokok adalah biaya yang diperlukan untuk suatu unit jumlah gabah, misalnya per kilogram gabah, per ton gabah, atau per kilogram beras. Harga jual jasa penggilingan yang biasa disebut ongkos penggilingan nantinya berupa biaya penggilingan ditambah dengan margin keuntungan yang ditentukan oleh pihak penggilingan.

Analisis biaya yang tepat mengenai kelayakan opersional usaha penggilingan padi diharapkan dapat digunakan oleh pengusaha penggilingan padi sebagai penunjang pengambilan keputusan dalam menentukan ongkos giling yang tepat agar tidak mengalami kerugian dan memproyeksikan keuntungan yang kontinyu untuk usaha penggilingan padi tersebut.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Membuat analisis biaya penggilingan padi.

2. Membuat analisis kelayakan usaha penggilingan padi. 3. Membuat analisis sensitivitas biaya tehadap beberapa kondisi.


(4)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terminologi Pasca Panen Padi

Kegiatan pascapanen padi perontokan, pengangkutan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan dan pengemasan (Patiwiri, 2006). Padi biasanya dipanen pada kadar air sekitar 20-27% (Patiwiri, 2006). Alat panen yang digunakan umumnya adalah sabit. Perontokan gabah sebagian besar dilakukan langsung di sawah setelah panen dengan cara menggebot (membanting) ke atas kayu atau bambu, dan menggunakan power thresher, kemudian dilanjutkan dengan pengeringan.

Proses pengeringan gabah bertujuan untuk menurunkan kadar air gabah agar dicapai tingkat kadar air yang aman untuk disimpan atau untuk penggilingan. Kadar air yang baik untuk penyimpanan adalah 14%. Pengeringan gabah biasanya masih dilakukan dengan cara penjemuran. Setelah dikeringkan gabah dapat langsung digiling atau disimpan. Penggilingan gabah yang telah dikeringkan adalah usaha untuk memisahkan kulit gabah (sekam) dan dedak dari butir gabah untuk diolah menjadi beras sosoh (polish rice). Selama penanganan proses pascapanen berlangsung terjadi penyusutan hasil padi. Besarnya penyusutan tergantung penanganan petani dari mulai panen sampai pengangkutan/penjualan. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1996, menyimpulkan bahwa tingkat kehilangan hasil panen padi di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 20.42%. Kehilangan tersebut secara terinci terjadi pada saat panen (9.5%), perontokan (4.8%), penggilingan (2.2%), pengeringan (2.1%), penyimpanan (1.6%), dan pengangkutan (0.2%) (Rachmat, 2007).

Kualitas fisik gabah ditentukan oleh kadar air dan kemurnian gabah (Patiwiri, 2006). Yang dimaksud dengan kadar air gabah adalah jumlah kandungan air dalam butiran gabah yang biasanya dinyatakan dalam satuan persen (%) dari berat basah (wet basis). Sedangkan tingkat kemurnian gabah merupakan persentase barat gabah bernas terhadap berat keseluruhan campuran gabah. Makin banyak benda asing atau gabah hampa atau rusak di dalam campuran gabah maka tingkat kemurnian gabah makin rendah. Kualitas gabah yang baik akan berpengaruh pada tingginya rendemen giling. Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat gabah yang digiling seperti ditunjukan pada persamaan 1.

Rendemen giling = x 100% ...(1)

Berat sosoh yang dimaksud adalah gabungan beras kepala, dan beras patah besar. Selain dipengaruhi oleh kualitas gabah, rendemen giling juga dipengaruhi oleh varietas padi dan kinerja mesin-mesin yang dipakai dalam proses penggilingan. Kadar air gabah yang optimal untuk melakukan penggilingan adalah 13-15% (Patiwiri, 2006). Gabah pada kadar air optimum ini disebut gabah kering giling (GKG). Pada kadar air yang lebih tinggi, gabah akan sulit dikupas, sedangkan pada kadar air yang lebih rendah, butiran gabah menjadi mudah patah.

Kemurnian gabah dipengaruhi oleh adanya butir yang tidak bernas seperti butir hampa, muda, berkapur, gabah yang telah terkelupas (beras pecah kulit), gabah patah, dan benda asing atau kotoran yang tidak tergolong gabah, seperti debu, butir-butir tanah, batu-batu, kerikil, potongan kayu, potongan logam, tangkai padi, biji-biji lain, bangkai serangga hama, serat karung, dan sebagainya. Beberapa faktor penting yang mempengaruhi ketidakmurnian butiran gabah adalah sebagai berikut :

A.

Kualitas Fisik Gabah

Kualitas fisik gabah sangat mempengaruhi ketidakmurnian gabah. Kondisi gabah yang umumnya terjadi antara lain butir hampa, butir kuning/rusak, butir hijau/mengapur, butir merah (Patiwiri, 2006). Butir hampa adalah butir gabah yang tidak berkembang sempurna atau akibat serangan hama, penyakit atau sebab lain sehingga tidak berisi butir beras walaupun kedua tangkup sekamnya tertutup maupun terbuka. Butir gabah setengah


(5)

4

hampa tergolong butir hampa. (Patiwiri, 2006). Butir kuning adalah butir gabah yang ditumbuhi jamur pada kulitnya. Butir hijau adalah butir gabah yang berisi cairan berwarna putih seperti kapur disebabkan karena proses pemasakan yang belum sempurna. Butir merah adalah butir gabah yang masih basah. (Kasno, 2009).

B.

Kematangan Butiran Beras

Padi yang dipanen terlalu awal sebelum matang akan memberikan jumlah gabah muda yang tinggi. Gabah muda cenderung mudah patah pada saat digiling dan menghasilkan banyak butiran berkapur, sebaliknya gabah yang dipanen lewat matang akan mudah rontok di lahan dan mudah pecah pada saat digiling. Gabah muda mengandung lebih banyak sekam daripada gabah matang. Porsi sekam pada gabah muda sekitar 35%, sedangkan porsi sekam pada gabah matang sekitar 20%. Dengan demikian, rendemen giling yang dihasilkan pada penggilingan gabah muda akan lebih rendah daripada gabah matang.

Adanya butiran gabah muda tidak dapat dihindari namun dapat diperkecil, yaitu dengan melakukan pemanenan tepat waktu dan melakukan pembersihan sebelum penggilingan. Dengan usaha ini rendemen giling dapat ditingkatkan.

C.

Keseragaman Varietas Gabah

Di dalam campuran gabah bisa terdapat butiran-butiran varietas lain. Apabila jumlahnya cukup besar maka proses penggilingan akan terganggu terutama apabila varietas-varietas yang tercampur tersebut memerlukan penyetelan mesin yang berbeda. Disamping mengganggu proses penggilingan, beras sosoh yang berisikan campuran beberapa varietas dapat mengurangi selera konsumen serta membuka peluang persentase beras patah lebih banyak.

D.

Kerusakan Gabah

Gabah rusak dapat berupa gabah yang terfermentasi, gabah berjamur, atau gabah yang terserang serangga. Gabah dapat mengalami fermentasi apabila mengalami kontak dengan air dalam waktu cukup lama. Kontak dengan air juga dapat mengundang tumbuhnya jamur pada gabah yang ditandai dengan adanya warna kehitaman pada permukaan gabah.

2.2. Proses Penggilingan Padi

Menurut Patiwiri (2006), penggilingan padi adalah salah satu tahapan pascapanen yang terdiri dari rangkaian beberapa proses untuk mengolah gabah menjadi beras siap konsumsi. Gabah yang dimasukan pada proses penggilingan padi adalah gabah kering giling (GKG) dan hasilnya berupa beras sosoh berwarna putih yang siap dikonsumsi. Menurut Esmay et al. (1979), operasi penggilingan yang baik akan menghasilkan kualitas beras yang baik, susut rendah dan biaya pengolahan yang rendah pula.

Berat biji padi akan berkurang sedikit demi sedikit selama proses penggilingan akibat dari pengelupasan dan penyosohan. Dari proses penggilingan padi akan dihasilkan beras kepala (head rice), beras patah (broken rice), dan menir (Luh, 1980). BULOG memberikan klasifikasi ukuran yang berbeda, yaitu menir memliki ukuran lebih kecil dari 2/10 bagian beras utuh atau melewati lubang ayakan 2.0 mm, beras patah memiliki ukuran 2/10 sampai 6/10 bagian beras utuh, sedangkan beras kepala memiliki ukuran lebih besar dari 6/10 bagian beras utuh. Hasil utama proses penggilingan padi adalah beras sosoh, yaitu beras kepala dan beras patah besar. Beras patah kecil atau menir disebut sebagai hasil sampingan karena tidak dikonsumsi sebagai nasi. Jadi hasil samping proses penggilingan padi berupa sekam, bekatul, dan menir. Hasil samping ini masih memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sekam dipakai sebagai bahan bakar atau media tumbuh tanaman hidroponik, bekatul dipakai sebagai bahan pakan ternak, dan menir biasanya diolah lebih lanjut menjadi tepung beras atau pakan ternak.

Pada gambar 1 ditunjukan diagram alir perubahan bobot butiran padi pada tahap-tahap proses penggilingan padi. Nilai-nilai di dalam diagram alir dapat berbeda-beda tergantung pada


(6)

5

varietas padi yang digiling serta system penggilingan padi yang dipakai. Nilai-nilai yang ditunjukan pada gambar 1 adalah nilai-nilai untuk padi yang berasal dari Amerika yang berbutir panjang (Long grain).

Gambar 1. Diagram Alir Perubahan Bobot Butiran Padi (sumber Patiwiri, 2006)

Persentase sekam dan bekatul semata-mata disebabkan oleh perbedaan varietas padi, sedangkan persentase beras patah dan beras kepala banyak dipengaruhi oleh kinerja mesin yang dipakai. Semakin baik kinerja mesin penggilingan padi semakin sedikit persentase beras patah sedangkan persentase beras kepala semakin besar.

Untuk menjalankan rangkaian penggilingan padi diperlukan rangkaian mesin/alat yang keselurahannya disebut sistem penggilingan padi. Rangkaian mesin-mesin tersebut berfungsi mengupas kullit gabah (sekam), memisahkan gabah yang belum terkupas dengan beras yang telah terkupas (beras pecah kulit), melepaskan lapisan bekatul dari beras pecah kulit dan terakhir memoles beras hingga siap dikonsumsi dan memiliki penampakan yang menarik. Terdapat dua sistem kerja panggilingan padi, yaitu one pass dan two pass. One pass yaitu sistem penggilingan padi yang menggunakan satu alat yang berfungsi ganda yaitu memecah kulit sekaligus sebagai alat penyosoh , sedangkan two pass adalah sistem penggilingan padi dengan menggunakan dua alat yang terdiri dari alat pemecah kulit dan alat penyosoh (Kobarsih et al, 2006) Mesin-mesin yang dipakai dalam sistem penggilingan padi dapat berupa rangkaian yang lengkap atau hanya rangkaian beberapa buah mesin. Kelengkapan rangkaian mesin akan mempengaruhi kualitas akhir penggilingan.


(7)

6

A.

Pemecahan Kulit (

Husking, Hulling, Shelling

)

Pemecahan atau pengelupasan kulit bertujuan untuk melepaskan kulit gabah dengan kerusakan sekecil mengkin pada butiran beras. Bagian-bagian yang akan dilepaskan adalah palea, lemma dan glume atau keseluruhannya disebut sekam. Mesin yang dipakai adalah husker, huller atau sheller.

Sebagian besar gabah yang dimasukan ke dalam mesin pemecah kulit akan terkelupas dan masih ada sebagian kecil yang belum terkelupas. Butiran gabah yang terkelupas akan terlepas menjadi dua bagian, yaitu beras pecah kulit dan sekam. Gabah yang belum terkelupas dapat berupa gabah utuh atau gabah yang telah pecah kulitnya, namun sekam belum terlepas dari butiran berasnya. Selanjutnya butiran gabah yang belum terkelupas harus dipisahkan dari beras pecah kulit dan sekam untuk dimasukan kembali ke dalam mesin pemecah kulit.

B.

Pemisahan Sekam

Pemisahan sekam dilakukan setelah pemecahan kulit. Tujuan pemisahan sekam adalah memisahkan sekam dari beras pecah kulit dan gabah utuh yang belum terkupas selama proses pemecahan kulit. Sekam harus dipisahkan karena penyosohan tidak akan berfungsi baik apabila beras pecah kulit masih bercampur sekam. Disamping itu, tanpa pemisahan sekam persentase beras patah pada penyosohan akan lebih tinggi dan kualitas beras sosoh akan menjadi rendah. Mesin yang digunakan untuk pemisahan ini disebut husk aspirator atau aspirator.

Prinsip pemisahan sekam sangat sederhana, yaitu memisahkan sekam dari beras pecah kulit dan gabah utuh berdasarkan perbedaan berat jenisnya. Pada umumnya mesin pemisah sekam dilengkapi dengan kipas yang berfungsi mengisap sekam dan debu. Beras pecah kulit dan gabah akan tetap mengalir ke bawah karena tidak terisap oleh kipas akibat gaya beratnya.

C.

Pemisahan Gabah dan Beras Pecah Kulit

Setelah proses pemecahan kulit dan pemisahan sekam akan dihasilkan campuran beras pecah kulit dan gabah yang masih utuh. Beras pecah kulit dan gabah utuh harus dipisahkan karena memerlukan penanganan yang berbeda. Beras pecah kulit akan diteruskan ke mesin penyosoh, sedangkan gabah utuh akan dikirim kembali ke mesin pemecah kulit. Mesin yang digunakan adalah paddy separator atau separator. Semakin tinggi effiensi mesin pemecah kulit maka semakin tinggi jumlah beras pecah kulit yang dihasilkan dan semakin rendah jumlah gabah utuh yang tidak terkelupas (Partiwi, 2006).

D.

Penyosohan

Beras pecah kulit yang dihasilkan pada proses pemecahan kulit (husking) masih mengandung lapisan bekatul yang membuat beras berwarna gelap kecoklatan dan tidak bercahaya. Disamping penampakannya yang kurang menarik, adanya bekatul pada beras juga membuat rasa nasi kurang enak meskipun bekatul memiliki nilai gizi tinggi. Untuk membuang lapisan bekatul dari butiran beras dilakukan suatu tahap kegiatan yang disebut penyosohan. Tahap ini disebut juga tahap whitening atau polishing. Disebut whitening karena tahap ini berfungsi merubah beras menjadi beras putih, sedangkan disebut polishing karena permukaan beras digosok untuk membuang lapisan bekatul sehingga didapat beras putih.

Hasil dari tahap ini adalah beras sosoh yang berwarna putih dan hasil sampingan berupa dedak dan bekatul. Untuk mendapatkan hasil yang baik, tahap ini biasanya dilakukan beberapa kali, baik pada mesin yang sama atau mesin yang berbeda. Mesin-mesin yang dipakai dalam kegiatan penyosohan disebut whitener atau polisher dan dapat ditambah dengan mesin pengkilap serta pencuci (refiner) yang berfungsi mengkilapkan dan mencuci permukaan beras. Proses penyosohan dapat dilakukan sekali atau beberapa kali bergantung pada kualitas beras sosoh yang diinginkan. Makin sering proses penyosohan dilakukan,


(8)

7

maka beras sosoh yang dihasilkan makin putih dan beras patah yang dihasilkan makin banyak (Partiwi, 2006).

E.

Pemisahan Beras Berdasarkan Ukuran

Beras hasil penyosohan berupa campuran butiran beras yang memiliki berbagai ukuran. Adanya berbagai ukuran tersebut disebabkan oleh adanya butiran-butiran beras yang patah selama pemecahan kulit dan penyosohan. Untuk memisahkan beras kepala dan beras patah diperlukan proses tersendiri yang disebut grading. FAO membedakan ukuran beras berdasarkan panjang butirannya menjadi tiga, yaitu menir, beras patah, dan beras kepala. Menir adalah beras yang ukuran butirannya dapat melewati lubang ayakan 1.4 mm. Beras patah adalah beras yang ukuran butirannya antara 3/8 sampai 6/8 bagian beras utuh. Sedangkan beras kepala adalah beras yang ukuran butirannya lebih besar dari 6/8 bagian butiran panjang butir beras utuh.

Keseragaman ukuran beras yang keluar dari mesin polisher sangat bervariasi meliputi campuran beras kepala, beras patah, dan menir. Porsi beras kepala, beras patah dan menir pun dapat bervariasi. Untuk mendapatkan keseragaman ukuran beras yang sesuai dengan keinginan, beras sosoh perlu dipisahkan terdahulu menurut ukuran-ukuran partikelnya dan kemudian dicampur kembali sesuai dengan keseragaman yang diinginkan.

2.3.Sistem Pengilingan Padi

Sistem pengilingan padi merupakan rangkaian mesin-mesin yang berfungsi melakukan proses giling gabah, yaitu dari bentuk gabah kering giling sampai menjadi beras siap dikonsumsi (Patiwiri, 2006). Sistem penggilingan padi yang dikenal di Indonesia biasa disebut pabrik penggilingan padi. Pada umumnya system penggilingan padi terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu husker, separator, dan polisher. Bagian lainnya hanya merupakan pendukung agar dapat memperoleh hasil akhir yang lebih baik. Berdasarkan tingkat teknologi, penggilingan padi dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu:

A.

Penggilingan Padi Sederhana

Penggilingan padi sederhana (PPS) adalah unit peralatan teknik yang berfungsi sebagai mesin pengolah gabah menjadi beras, baik merupakan satu unit tersendiri maupun merupakan gabungan dari beberapa mesin dimana proses satu dengan yang lain dihubungkan oleh proses pemindahan bahan dengan menggunakan tenaga manusia. Mesin yang digunakan pada penggilingan padi sederhana adalah huller, separator, dan polisher.

B.

Penggilingan Padi Kecil

Penggilingan padi kecil (PPK) adalah unit peralatan teknik yang merupakan gabungan dari beberapa mesin menjadi kesatuan utuh yang berfungsi sebagai pengolah gabah menjadi beras dengan kapasitas lebih kecil dari dua ton gabah kering giling per jam. System penggilingan padi kecil dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu tipe sederhana dan tipe lengkap. Tipe sederhana umumnya hanya melalui proses pemecahan kulit secara sederhana dan proses pemutihan beras, sedangkan tipe lengkap terdapat proses pembersihan gabah, proses pemecahan kulit gabah, proses pemisahan kulit gabah dengan gabah pecah kulit, dan proses pemutihan beras pecah kulit, serta pemindahan bahan antar mesin menggunakan elevator.

C.

Penggilingan Padi Besar

Penggilingan padi besar (PPB) adalah unit peralatan teknik yang merupakan gabungan dari beberapa mesin menjadi suatu kesatuan utuh yang berfungsi sebagai pengolah gabah menjadi beras dengan kapasitas lebih besar dari dua ton gabah kering giling per jam. Sistem penggilingan ini minimum harus melalui empat proses utama, yaitu proses pembersihan gabah, proses pemecahan kulit gabah, proses pemisahan kulit gabah dengan


(9)

8

gabah pecah kulit, dan proses pemutihan beras pecah kulit secara berulang dua sampai empat kali. Bahkan umumnya penggilingan padi besar dilengkapi dengan peralatan tambahan berupa elevator, pemisah batu (destoner), pemisah menir (sifter), pengelompokan kualitas beras (grader), bek penampungan beras berdasarkan tingkat kepatahan, pengepakan dan siklon sebagai tempat penampungan bekatul.

D.

Penggilingan Padi Terpadu

Penggilingan padi terpadu (PPT) adalah unit peralatan teknik yang merupakan gabungan dari unit proses pembersihan awal, pengeringan, penyimpanan, penggilingan, pengepakan yang satu sama lain dihubungkan dengan elevator serta memiliki kapasitas besar

E.

Country Elevator

Country elevator (CE) adalah penggilingan padi terpadu yang berlokasi di tengah sentra produksi padi serta terintegrasi dengan areal persawahan skala besar sehingga hasil panen padi langsung dibawa ke tempat pengolahan tersebut. Ciri khas country elevator adalah skalanya yang besar dan memiliki system transportasi berupa elevator yang juga skala besar.


(10)

9

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian dilaksanankan selama 3 bulan, yaitu mulai bulan Mei 2010 sampai dengan bulan Juli 2010. Objek yang dijadikan sebagai lokasi penelitian adalah usaha penggilingan padi milik bapak Kardi di Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat.

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan dalam melakukan analisis ini adalah : 1. Catatan lapang beserta alat tulis

2. Kalkulator

3. Personal Computer 4. Timbangan

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini secara keseluruhan bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis biaya dan kelayakan usaha penggilingan padi, bagaimana usaha tersebut berjalan pada jalur yang tepat agar tidak mengalami kerugian. Jenis data diperoleh terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari observasi terhadap proses penggilingan gabah menjadi beras siap dikonsumsi. Data primer yang diperlukan antara lain data jumlah giling harian, data jumlah beras yang dihasilkan, jam kerja mesin penggilingan, kapasitas mesin, pemakaian bahan bakar untuk mesin penggilingan, pemakaian pelumas untuk mesin penggilingan. Data jumlah giling harian dan beras yang dihasilkan didapat dari pengamatan langsung di lokasi penelitian. Data jam kerja, kapasitas, pemakaian bahan bakar mesin, dan pemakaian pelumas didapat dari pengamatan terhadap proses penggilingan gabah menjadi beras siap dikonsumsi.

Data sekunder didapat dari wawancara langsung dengan pemilik usaha penggilingan padi dan pihak-pihak terkait lainnya. Data sekunder yang diperlukan adalah investasi awal pendirian penggilingan, biaya-biaya operasional, dan kondisi umum Kelurahan Situ Gede. Data investasi awal dan biaya-biaya operasional didapat dari wawancara langsung dengan pemilik usaha penggilingan. Data kondisi umum Kelurahan Situ Gede didapat dari data monografi Kelurahan Situ Gede tahun 2010.

3.4. Prosedur Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa prosedur asumsi dan pendekatan sebagai dasar dalam melakukan perhitungan dan analisis. Asumsi dan pendekatan yang digunakan terdiri dari : a. Umur ekonomis mesin penggilingan adalah 10 tahun dengan nilai akhir mesin penggilingan

padi 10% dari harga awal.

b. Umur fasilitas bangunan dan lantai jemur adalah 20 tahun dimana harga akhir adalah harga tanah di lokasi penelitian.


(11)

10

c. Umur ekonomis fasilitas penunjang seperti timbangan dan lain-lain diasumsikan sesuai kondisi di lapangan.

d. Harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga yang berlaku pada waktu penelitian dan sebelum terjadi perubahan selama penelitian.

e. Pendapatan dan pengeluaran dianggap tetap sepanjang umur ekonomis alat.

f. Tingkat suku bunga (discount rate) adalah tingkat bunga yang diperkirakan dan dipakai untuk mendiskon pembayaran dan penerimaan dalam satu periode. Besarnya tingkat suku bunga adalah 14% (BNI Rate, 2010).

g. Pajak yang dikenakan hanya Pajak Bumi dan Bangunan yang dibayar per tahun. Karena bangunan penggilingan dan rumah pemilik berada di satu lokasi maka diperkirakan pajak untuk bangunan giling 50% dari pajak keseluruhan. PPN diabaikan karena usaha ini belum memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).

3.5. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama adalah pengumpulan data dan tahap kedua adalah pengolahan/analisis data.

a.

Pengumpulan data

Data yang diperlukan adalah data yang berhubungan dengan biaya dan data operasional usaha mesin penggilingan padi tersebut, antara lain jenis penggilingan yang digunakan dan komponen-komponennya, biaya-biaya yang dikeluarkan (biaya tetap dan biaya tidak tetap), kapasitas mesin per jam, rata-rata jam kerja per hari, rata-rata pemakaian bahan bakar per jam, rata-rata jumlah gabah yang digiling per hari dan sebagainya.

1. Data kapasitas mesin

Kapasitas mesin penggilingan (husker dan polisher) diperoleh dengan menghitung jumlah beras yang dihasilkan per jam dan jumlah gabah yang digiling per jam.

2. Data jumlah rata-rata padi yang digiling per hari dan jam kerja per hari

Untuk data rata jumlah gabah yang digiling per hari dan jam kerja rata-rata per hari diperoleh dengan pengambilan data harian selama tiga bulan pada bulan Mei sampai bulan Juli. Dari data-data tersebut dapat diperkirakan jumlah gabah yang digiling per hari dan jam kerja rata-rata per hari. Dengan memperkirakan jumlah hari kerja per tahun maka dapat diperoleh jam kerja per tahun.


(12)

11

Bahan bakar pada mesin diisi penuh kemudian digunakan beberapa jam. Waktu pemakaian dari mesin menyala sampai mesin mati dihitung, kemudian diukur sisa bahan bakar.

Pemakaian bahan bakar per jam dapat dihitung dengan rumus :

X =

...(2)

Dimana : X = pemakaian bahan bakar per jam (lt/jam) X0 = jumlah bahan bakar awal (lt)

Xt = jumlah bahan bakar akhir (lt)

t = lama penggunaan mesin penggerak (jam)

b.

Analisis data

1. Biaya tetap (BT) penggilingan padi (Rp./tahun)

Biaya tetap adalah biaya yang nilainya relatif tetap setiap tahun. Biaya ini tidak bergantung pada banyaknya produk yang dihasilkan. Biaya-biaya yang termasuk biaya tetap adalah penyusutan, bunga modal, dan pajak.

a. Penyusutan dan bunga modal

Fasilitas yang terdapat pada penggilingan tersebut antara lain adalah bangunan, lantai jemur, mesin penggerak, huller, polisher, dan timbangan.

b. Pajak dan bunga modal

Pajak yang dikenakan pada usaha penggilingan padi hanya PBB. Karena tanah dan bangunan menjadi satu dengan rumah tinggal maka porsi PBB untuk usaha penggilingan diasumsikan 50% dari seluruh PBB.

2. Biaya Tidak Tetap (BTT) (Rp./tahun)

Biaya tidak tetap atau biaya variabel adalah biaya-biaya yang dikeluarkan pada saat alat dan mesin beroperasi dan jumlahnya bergantung pada jam pemakaian (Pramudya dan Dewi, 1992). Biaya-biaya yang termasuk biaya tidak tetap adalah biaya bahan bakar, biaya pelumas, dan biaya pergantian bagian-bagian mesin yang aus atau rusak seperti rubber roll,ayakan polisher,dan suku cadang mesin.

3. Biaya Total (Rp/jam)

Biaya total merupakan biaya keseluruhan yang diperlukan untuk mengoperasikan suatu mesin pertanian. Biaya ini merupakan penjumlahan biaya tetap dan biaya tidak tetap.

Menurut Pramudya dan Dewi (1992), biaya total mesin pertanian per jam dapat dihitung dengan persamaan berikut :


(13)

12

Biaya Total = ...(3)

Dimana :

BT = Biaya Tetap (Rp/tahun)

X = Perkiraan jam kerja dalam satu tahun (jam/tahun) BTT = Biaya Variabel (Rp/tahun)

4. Biaya pokok

Biaya pokok produksi adalah biaya yang diperlukan suatu mesin pertanian untuk setiap unit produk.

Biaya pokok dapat dihitung dengan persamaan berikut :

BP = ...(4)

Dimana :

BP = Biaya pokok (Rp/kg GKG) B = Biaya Total (Rp/jam)

kH = Kapasitas Huller (kg GKG/jam)

5. Analisis titik impas

Analisis titik impas dapat digunakan untuk mengetahui jumlah produksi dimana jumlah penerimaannya sama dengan seluruh biaya yang telah dikeluarkan atau keuntungan sama dengan nol. Menurut Patiwiri (2006), untuk menghitung titik impas produksi dapat digunakan rumus :

...(5)

Dimana :

TIP = Titik Impas Produksi (Jam/tahun) BT = Biaya Tetap Produksi (Rp/tahun) k = Kapasitas kerja mesin (kg/jam) S = Ongkos penggilingan (Rp/kg beras) BTT = Biaya Tidak Tetap (Rp/jam) HS = Hasil Samping (Rp/kg)

6. Analisis kelayakan finansial

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakan perbedaan antara nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya. Apabila NPV bernilai positif, dapat diartikan sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh dari proyek. Sebaliknya NPV yang


(14)

13

bernilai negatif menunjukan kerugian. Menurut Pramudya dan Dewi (1992), NPV dapat dihitung dengan persamaan berikut :

...(6)

Dimana :

NPV = Net Present Value (Rp) B = Manfaat (Rp/tahun) n = Umur Produksi t = Tahun ke-t C = Biaya (Rp/tahun) i = Discount Rate (%/tahun)

Dari perhitungan NPV yang diperoleh dapat diambil keputusan sebagai berikut :

Jika NPV ≥ 0, maka proyek layak untuk dilaksanakan

Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak untuk dijalankan Jika NPV = 0, maka proyek dikatakan berada dititik impas

2. Internal Rate of Return (IRR)

Menurut Pramudya dan Dewi (1992), Nilai IRR merupakan suatu tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam suatu proyek, yang nilainya dinyatakan dalam persen per tahun. Nilai IRR merupakan nilai tingkat bunga, dimana nilai NPV-nya sama dengan nol. Dalam persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut :

– ...(7) Dimana :

IRR = Internal Rate of Return

i’ = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif i’’ = Tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV’ = NPV yang bernilai positif

NPV’’ = NPV yang bernilai negatif

Dari perhitungan IRR yang diperoleh dapat diambil keputusan sebagai berikut :

Jika IRR ≥ discount rate, maka proyek layak untuk dilaksanakan Jika IRR < discount rate, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan

3. Benefit Cost Ratio

Menurut Pramudya dan Dewi (1992), nilai gross B/C, merupakan perbandingan antara NPV manfaat dan NPV biaya sepanjang umur proyek. Perbandingan nilai tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut :


(15)

14

...(8)

Dimana :

B = Manfaat (Rp/tahun) N = Umur Produksi t = Tahun ke-t C = Biaya (Rp/tahun) i = Discount Rate (%/tahun)

Bila nilai gross B/C lebih besar dari 1, maka proyek tersebut layak untuk dilaksanakan.

7. Analisis sensitivitas

Menurut Pramudya dan Dewi (1992), analisis sensitivitas dilakukan apabila : a. Terjadi suatu kesalahan pendugaan suatu nilai biaya atau manfaat.

b. Kemungkinan terjadi perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan


(16)

15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tinjauan Umum Lokasi Penggilingan Padi

Kelurahan Situ Gede adalah suatu kelurahan yang berada di Kecamatan Bogor Barat. Berdasarkan data monografi Kelurahan Situ Gede pada tahun 2010, Kelurahan Situ Gede mempunyai luas wilayah sebesar 232.47 Ha. Kelurahan ini dibatasi oleh kali Cisadane disebelah utara, kali Sindang Barang disebelah selatan, Desa Cikarawang disebelah barat, dan Kelurahan Bubulak disebelah timur. Ketinggian tanah di Kelurahan Situ Gede adalah 250 m dari permukaan laut. Suhu udara rata-rata sebesar 24.9˚C –25.8˚C. Jarak Kelurahan Situ Gede dari pusat pemerintahan Kecamatan sejauh lima km. Jarak dari Kelurahan ke ibukota provinsi sejauh 160 km dan jarak dari kelurahan ke ibukota Negara sejauh 100 km.

Sebagian besar tanah di Kelurahan Situ Gede digunakan untuk lahan sawah. Lahan sawah yang terdapat di Kelurahan Situ Gede sebesar 65 Ha. Hal ini yang mendorong sebagian besar besar penduduk kelurahan Situ Gede bekerja sebagai petani atau pun buruh tani. Jumlah penduduk di Kelurahan Situ Gede sebesar 7,941 orang, yang terdiri dari 4,048 orang laki-laki dan 2893 orang perempuan. Jumlah kelompok tani yang berada di Kelurahan Situ Gede sebanyak tiga kelompok. Akan tetapi kelompok tani tani tersebut kurang berjalan, sehingga para petani cenderung mengolah lahan sawahnya sendiri. Salah satu penyebab kurang berjalannya kelompok tani yang terdapat di Kelurahan Situ gede adalah kebanyakan lahan sawah yang terdapat di Kelurahan Situ Gede bukan merupakan lahan milik petani. Petani yang merupakan penduduk Kelurahan Situ Gede hanya sebagai buruh tani yang menyewa lahan sawah. Pemilik lahan sawah hanya datang setiap musim panen atau sesuai perjanjian dengan petani yang menyewa lahan tersebut.

Di Kelurahan Situ Gede terdapat dua unit pelayanan jasa penggilingan padi. Penggilingan padi milik bapak Kardi adalah penggilingan padi terbesar dan tertua di Kelurahan Situ Gede, sehingga penulis memilih penggilingan tersebut sebagai lokasi pengamatan. Hal ini dilakukan dengan harapan pengamatan yang dilakukan dapat mewakili unit pelayanan jasa penggilingan padi lain di Kelurahan Situ Gede. Penggilingan padi milik bapak Kardi berdiri tahun 1980 dan lokasi penggilingan termasuk strategis karena dikelilingi oleh sawah.


(17)

16

Fasilitas terdapat di penggilingan padi tersebut antara lain bangunan berukuran 4m x 6m, lantai jemur, mesin penggilingan yang berupa huller dan polisher,serta timbangan. Lantai jemur yang terdapat di penggilingan berukuran 6m x 9m yang dapat menampung 500-600 kg GKP. Untuk menjemur biasanya tidak dikenai biaya karena petani yang menjemur padinya di penjemuran milik penggilingan tersebut akan menggiling padinya di penggilingan ini. Namun ada juga petani yang membawa gabah yang sudah siap digiling menjadi beras.

Gambar 3. Lantai Jemur

Mesin huller yang terdapat di penggilingan adalah huller model LM 24 buatan china diproduksi tahun 1977 bertenaga 5.5 kw, berat 115 kg, mempunyai putaran 1,050 rpm, dan mempunyai kapasitas giling sebesar 1000 kg GKG/jam. Mesin polisher yang terdapat di penggilingan adalah polisher model N-70F buatan china, bertenaga 10-11 kw, berat 185 kg, mempunyai putaran 750-850 rpm, dan berkapasitas 1,100-1,200 kg/jam. Untuk menggerakan huller dan polisher diperlukan dua buah mesin penggerak, yaitu mesin diesel Kubota 8.5 PK untuk menggerakan huller (merk LM 24) sebesar 7.4 PK dan mesin diesel Kubota 16 PK untuk menggerakan polisher (merk N-70 F) sebesar 14 PK. Fasilitas lain yang terdapat di penggilingan adalah timbangan beras yang mempunyai kapasitas menimbang sampai 500 kg.

Petani yang menggiling padinya ke penggilingan ini sebagian besar adalah petani yang terdapat disekitar penggilingan. Hanya sedikit petani dari luar kelurahan Situ Gede yang menggiling padinya ke penggilingan ini, biasanya petani yang berasal dari Cikarawang dan Bubulak. Jenis padi yang digiling di penggilingan adalah pandan wangi. Hasil samping penggiliingan yang berupa sekam dan bekatul biasanya diambil secara gratis oleh petani yang bersangkutan atau dibiarkan begitu saja di penggilingan. Jika sekam tertumpuk terus, sekam akan dibuang atau dibakar di sebelah penggilingan.

Umumnya petani yang terdapat di Kelurahan Situ Gede menanam padi 2-3 musim dalam setahun. Jadwal tanam petani di Kelurahan Situ Gede biasanya bergilir. Jarak waktu tanam tiap petak sawah antara petani yang satu dengan yang lainnya biasanya berbeda 1-2 minggu. Hal ini dilakukan agar pada saat panen tidak bersamaan dan diharapkan sepanjang tahun ada petak sawah yang panen. Biasanya pada saat panen, petani tidak langsung menggiling padi seluruhnya, tetapi juga ada yang disimpan untuk persediaan makan selama


(18)

17

musim tanam. Jumlah panen yang tinggi biasanya pada bulan Mei, Juni, Juli, dan pada saat mendekati hari raya Idul Fitri. Perkiraan hari kerja adalah 26 hari dalam satu bulan.

Proses penggilingan dimulai dari pemecahan kulit dengan memakai mesin pemecah kulit (huller). Pemecahan kulit biasanya dilakukan sebanyak dua kali. Setelah proses pemecahan kulit dilanjutkan dengan proses pemutihan beras dengan memakai mesin pemutih (polisher). Proses pemecahan kulit dilakukan hanya satu kali dan beras yang diperoleh tidak dipisahkan berdasarkan ukuran beras. Beras kepala, beras patah dan menir yang dihasilkan oleh proses penggilingan seluruhnya ditimbang untuk mengukur besarnya biaya yang dikenakan ke pemilik beras.

Rendemen giling rata-rata yang dihasilkan pada unit penggilingan padi adalah 63.76%. Nilai rendemen tersebut terdiri dari beras kepala, beras patah, dan menir yang ikut tercampur. Jika menir tidak dimasukan dalam perhitungan rendemen tersebut, maka nilai rendemen giling yang diperoleh akan lebih rendah lagi. Rendahnya rendemen giling tersebut dipengaruhi karena faktor keadaan mesin-mesin penggilingan yang ada pada penggilingan tersebut sudah melewati nilai ekonomisnya sehingga tidak dapat bekerja secara maksimal. Selain itu varietas padi yang digiling dan kondisi gabah yang akan digiling (kadar air, kemurnian gabah, dan sebagainya) juga mempengaruhi rendemen giling. Kondisi gabah yang baik biasanya terjadi pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan banyak terjadi gabah kosong sehingga rendemen gabah menurun.

4.2. Analisis Biaya dan Kelayakan Finansial

4.2.1. Analisis Biaya

Setiap usaha yang telah beroperasi pasti mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjalankannya dan menjual suatu barang atau jasa untuk memperoleh keuntungan temasuk dalam menjalankan usaha pelayanan jasa pengilinggan padi. Berdasarkan pengamatan harian dan wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dengan usaha penggilingan padi di Kelurahan Situ Gede dapat dianalisis total biaya yang dikeluarkan, penerimaan, biaya pokok penggilingan dan titik impas.

Selama usaha penggilingan padi berjalan terdapat sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik penggilingan padi antara lain biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang secara rutin dikeluarkan setiap tahun dan nilainya relatif sama. Biaya tetap yang terdapat pada usaha penggilingan padi antara lain penyusutan bangunan, lantai jemur, mesin-mesin penggilingan, timbangan, dan pajak bumi dan bangunan (PBB). Pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) digabung dengan pajak yang dikenakan ke rumah tinggal pemilik penggilingan padi. Pajak yang dikenakan ke penggilingan diasumsikan sebesar 50% dari total biaya pajak.

Biaya awal pembangunan bangunan dan lantai jemur diperkirakan sebesar Rp.60,000,000,-. Biaya pembelian mesin huller dan polisher diperkirakan sebesar Rp. 9,800,000,- .


(19)

18

Gambar 4. Huller

Gambar 5. Polisher

Untuk menggerakan huller dan polisher dibutuhkan dua mesin penggerak yaitu mesin diesel Kubota 8.5 PK untuk menggerakan huller (merk LM 24) sebesar 7.4 PK dan mesin diesel Kubota 16 PK untuk menggerakan polisher (merk N-70 F) sebesar 14 PK.


(20)

19

Biaya pembelian timbangan beras 500 kg sebesar Rp. 1,500,000,-. Total biaya tetap yang dikeluarkan oleh penggilingan padi sebesar Rp. 5,041,871,-/tahun. Perhitungan dan nilai biaya tetap yang terjadi terdapat pada Lampiran 2.

Gambar 7. Timbangan Beras

Biaya tidak tetap adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung jumlah jam kerja mesin dan banyaknya produk yang dihasilkan. Biaya tidak tetap mencakup biaya bahan bakar mesin, biaya pelumas, upah tenaga kerja, dan biaya perawatan dan perbaikan mesin-mesin penggilingan padi.

Mesin-mesin yang terdapat di penggilingan padi ini terdiri dari huller, polisher dan dua mesin penggerak diesel. Mesin penggerak memerlukan bahan bakar berupa solar untuk beroperasi. Harga solar yang digunakan adalah harga solar pada saat dilakukan pengamatan yaitu Rp.4,500,-/liter. Jenis pelumas yang dipakai pada kedua motor ini sama yang berbeda hanya banyaknya penggunaan pelumas dikarenakan perbedaan tenaga motor. Perkiraan pemakaian pelumas untuk motor diesel Kubota 8.5 PK adalah 3 liter/bulan dan motor Kubota 16 PK adalah 6 liter/bulan. Harga pelumas yang dipakai adalah Rp. 20,000,-/liter. Tenaga kerja yang terdapat dipenggilingan padi sebanyak dua orang dan upah masing-masing tenaga kerja sebesar Rp. 20,000,-/hari kerja. Setiap tahun dilakukan pergantian suku cadang dan perawatan motor. Pada huller dan polisher dilakukan pergantian rubber roll. Harga rubber roll adalah Rp. 200,000/set. Pergantian rubber roll ini bergantung pada banyaknya gabah yang digiling. Pergantian dilakukan setiap dua puluh ton gabah digiling. Pada polisher selain dilakukan pergantian rubber roll secara rutin juga dilakukan pergantian ayakan polisher. Harga satu set ayakan polisher adalah Rp. 20,000.-. Ayakan polisher diganti setiap 25 ton gabah digiling. Selain itu terdapat beberapa pergantian suku cadang lain. Pergantian diperkirakan dilakukan setiap 25 ton gabah yang digiling dan diperkirakan memerlukan biaya Rp. 350,000,-. Perawatan dan perbaikan motor penggerak juga dilakukan sebanyak dua kali setahun dengan perkiraan sekali perbaikan yaitu Rp. 400,000,- dan upah montir sebesar Rp. 250,000,-. Total biaya tidak tetap yang dikeluarkan penggilingan padi tersebut sebesar Rp. 36,619.584/jam kerja atau Rp. 31,991,221.765/tahun.

Perkiraan jumlah gabah yang digiling dan jam kerja mesin penggilingan padi ini dalam setahun berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama satu musim tanam. Dalam setahun terdapat 2-3 kali musim tanam dan hasil panen yang dihasilkan per musim tanam relatif sama. Jumlah giling dalam setahun diperkirakan sebesar 202.936 ton GKG.

Upah giling penggilingan padi biasanya berbeda-beda tergantung kebijakan pemilik penggilingan padi. Pada penggilingan milik bapak Kardi dikenakan bayaran sebesar 1 : 10,


(21)

20

maksudnya untuk 10 kg beras yang dihasilkan dikenakan biaya giling sebesar 1 kg beras. Harga beras yang berlaku adalah harga beras selama penulis melakukan penelitian. Apabila dibayarkan menggunakan uang maka biaya penggilingan sebesar Rp. 550.-/kg beras yang dihasilkan. Pembayaran dapat dilakukan dengan uang atau beras yang dihasilkan diberikan ke penggilingan. Biasanya petani langsung membayar biaya giling dengan uang, tetapi jika petani tidak mempunyai uang, mereka dapat memberikan beras kepada penggilingan dan beras tersebut dapat diambil kembali jika petani telah memiliki cukup uang untuk melunasi biaya giling.

Total biaya yang dikeluarkan oleh penggilingan selama setahun adalah jumlah dari biaya tetap dan biaya tidak tetap selama setahun. Total biaya yang dikeluarkan penggilingan padi tersebut selama setahun sebesar Rp. 37,033,093.194. Dari total biaya dan jumlah beras yang dihasilkan selama setahun dapat dihitung biaya pokok tiap satu kilogram beras yang dihasilkan. Biaya giling yang ditetapkan oleh penggilingan harus lebih besar dari biaya pokok tiap satu kilogram beras yang dihasilkan. Hal ini dilakukan agar penggilingan dapat memperoleh keuntungan dari usahanya. Berdasarkan perhitungan didapat biaya pokok tiap kilogram beras yang dihasilkan sebesar Rp. 283.8. Nilai ini lebih kecil dari biaya giling yang ditentukan oleh penggillingan sebesar Rp. 550,-, maka penggilingan dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp. 266.2/kg beras.

Titik impas (Break Even Point) adalah saat dimana jumlah penerimaan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan perhitungan titik impas penggilingan padi diperoleh nilai sebesar 139.19 jam/tahun atau 35,342.784 kg GKG/tahun. Jika penggilingan tidak ingin mendapatkan kerugian, penggilingan minimal beroperasi selama 139.19 jam setahun atau menggiling gabah sebanyak 35,342.784 kg GKG/tahun. Perhitungan biaya dan titik impas terdapat pada lampiran 4.

4.2.2. Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan finansial dilakukan dengan cara perhitungan tiga macam analisis, antara lain dengan cara perhitungan Net Present Value (NPV), Imternal Rate of Return (IRR), dan perhitungan gross B/C ratio. Perhitungan analisis kelayakan finansial menggunakan hasil perhitungan pada analisis biaya, upah penggilingan, dan jumlah gabah yang digiling per tahun pada tingkat bunga 14%/tahun (BNI rate tahun 2010).

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai net present value (NPV) sebesar Rp. 168,628,529.933, nilai internal rate of return (IRR) sebesar 40.11 %, dan nilai gross B/C

ratio sebesar 1.50. Bersadarkan hasil tersebut dapat disimpulkan penggilingan padi milik bapak Kardi layak dari segi finansial. Hal ini dikarenakan nilai NPV, IRR, dan gross B/C ratio memenuhi syarat kelayakan finansial, yaitu nilai NPV lebih besar dari nol, nilai IRR lebih besar dari discount rate yang berlaku (14%), dan nilai gross B/C ratio lebih besar dari satu. Perhitungan analisis kelayakan finansial dapat dilihat pada lampiran 5.

4.3. Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mempelajari kemungkinan terjadinya perubahan pada salah satu komponen biaya. Komponen biaya yang digunakan adalah biaya-biaya yang cepat berubah karena pengaruh keadaan sosial, politik, dan ekonomi dan dapat mempengaruhi jumlah biaya yang dikeluarkan serta dapat menimbulkan resiko pada


(22)

21

penggilingan padi. Untuk studi penelitian ini, komponen biaya yang digunakan untuk perhitungan analisis sensitivitas adalah harga solar, upah tenaga kerja, dan jumlah giling tahunan.

Harga solar sangat mudah berubah dikarenakan berkurangnya cadangan minyak bumi dan naiknya harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM akan menyebabkan naiknya berbagai macam komoditas di pasaran. Hal ini menimbulkan kenaikan upah tenaga kerja. Perubahan kedua komponen biaya tersebut dapat mempengaruhi biaya operasional penggilingan padi. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk memperkirakan perubahan biaya dan resiko yang mungkin dapat terjadi. Selain itu jumlah giling tahunan juga dapat mempengaruhi kelayakan suatu usaha penggilingan. Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan, jumlah beras yang dihasilkan juga menurun mengakibatkan pendapatan yang didapat pengilingan akan menurun dan dimungkinkan dapat mengakibatkan penggilingan mengalami kerugian.

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap beberapa kondisi yang mungkin terjadi antara lain :

a. Kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 15%, 30%, 45%, dan 60% dari harga yang berlaku (Rp. 4,500/liter). Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Sensitivitas Terhadap Kenaikan Harga Solar Kenaikan

Harga Solar NPV IRR

Gross B/C

Ratio Titik Impas

(%) (Rp) (%) jam/tahun kg GKG/tahun

15 159,963,538.31 38.93 1.46 139.19 35,342.78 30 151,298,546.69 37.69 1.43 139.19 35,342.78 45 142,633,555.06 36.37 1.39 139.19 35,342.78 60 133,968,563.44 34.96 1.36 139.19 35,342.78

Gambar 8. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Harga Solar 159.96 151.30 142.63 133.97 130 135 140 145 150 155 160 165

0 15 30 45 60

N P V (R p ) d a la m s a tu a n ju ta


(23)

22

Gambar 9. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Harga Solar

Gambar 10. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Harga Solar

Pada tabel dan grafik hubungan NPV dengan kenaikan harga solar dapat diketahui apabila harga bahan bakar solar meningkat akan menurunkan nilai NPV penggilingan padi. Penurunan nilai NPV disebabkan karena kenaikan harga bahan bakar solar menyebabkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan penggilingan tersebut dan akibatnya keuntungan yang diperoleh juga berkurang. Akan tetapi kenaikan harga bahan bakar solar tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Hal ini berarti apabila terjadi kenaikan harga solar mencapai 60% dari harga normal, pemilik penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan yang didirikan.

Kenaikan harga solar juga menurunkan nilai IRR penggilingan padi. Akan tetapi kenaikan harga bahan bakar solar tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Apabila harga solar meningkat sampai 60% dari harga normal, nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku (14%). Oleh karena itu, apabila pemilik meminjam uang ke bank untuk mendirikan penggilingannya, pemilik penggilingan mampu membayar bunga pinjamannya dan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingannya.

38.93 37.69 36.37 34.96 25 27 29 31 33 35 37 39 41

0 15 30 45 60

IR

R

(%

)

Kenaikan Harga Solar (%)

1.46 1.43 1.39 1.36 1.34 1.36 1.38 1.40 1.42 1.44 1.46 1.48

0 15 30 45 60

G r o ss B /C R ati o


(24)

23

Selain itu peningkatan harga bahan bakar akan menurunkan nilai gross B/C ratio penggilingan padi. Akan tetapi kenaikan harga bahan bakar solar tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Apabila harga solar meningkat sampai 60% dari harga normal, nilai gross B/C ratio masih lebih besar dari satu. Oleh karena itu, penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan meskipun harga bahan bakar solar meningkat hingga 60%.

Pada saat terjadi kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 60%, jam kerja dan produksi penggilingan masih jauh berada diatas titik impas, sehingga pemilik penggilingan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan tersebut.

b. Kenaikan upah tenaga kerja sebesar 20%, 30, 40%, dan 50% dari upah normal (Rp.20,000/orang/hari). Hasil perhitungan analisis sensitivitas terhadap kenaikan upah tenaga kerja disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis Sensitivitas Terhadap Kenaikan Upah Tenaga Kerja Kenaikan Upah NPV IRR Gross B/C

Ratio Titik Impas

(%) (Rp.) (%) jam/tahun kg GKG/tahun

20 151,106,907.46 37.67 1.42 139.19 35,342.78 30 142,346,096.22 36.32 1.39 139.19 35,342.78 40 133,585,284.98 34.91 1.36 139.19 35,342.78 50 124,824,473.74 33.74 1.33 139.19 35,342.78

Gambar 11. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Upah

151.11

142.35

133.59 124.82

-20 40 60 80 100 120 140 160

0 10 20 30 40 50 60

N

P

V

(R

p

)

d

a

la

m

s

a

tu

a

n

ju

ta


(25)

24

Gambar 12. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Upah

Gambar 13. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Upah

Pada tabel dan grafik hubungan NPV dengan kenaikan upah dapat diketahui apabila upah tenaga kerja meningkat akan menurunkan nilai NPV penggilingan padi. Akan tetapi kenaikan upah tenaga kerja tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Kenaikan upah tenaga kerja juga dapat menurunkan nilai IRR penggilingan padi. Akan tetapi kenaikan upah tenaga kerja tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai IRR yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nilai suku bunga yang berlaku (14%). Selain itu kenaikan upah tenaga kerja dapat menurunkan nilai gross B/C ratio penggilingan padi. Akan tetapi kenaikan harga upah tenaga kerja tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai gross B/C ratio yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil nol.

Pada saat terjadi kenaikan upah tenaga kerja mencapai 50%, jam kerja dan produksi penggilingan masih jauh berada diatas titik impas, sehingga pemilik penggilingan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan tersebut.

37.67 36.32 34.91 33.74 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39

0 10 20 30 40 50 60

IR

R

(%

)

Kenaikan Upah (%)

1.42 1.39 1.36 1.33 1.00 1.05 1.10 1.15 1.20 1.25 1.30 1.35 1.40 1.45

0 10 20 30 40 50 60

G r o ss B /C R ati o


(26)

25

c. Perpaduan kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 15%, 30%, 45%, dan 60% dari harga normal (Rp.4,500/liter) dan kenaikan upah tenaga kerja sebesar 50% dari upah normal (Rp.20,000/orang/hari). Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis Sensitivitas Terhadap Kenaikan Upah 50% dan Harga Solar Kenaikan Harga

Solar Kenaikan Upah NPV IRR Gross B/C Ratio

(%) (%) (Rp) (%)

15 50 116,159,482.12 32.48 1.30

30 50 107,494,490.49 31.12 1.27

45 50 98,829,498.87 29.72 1.24

60 50 90,164,507.25 28.50 1.22

Gambar 14. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Harga Solar pada Kenaikan Upah 50%

Gambar 15. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Harga Solar pada Kenaikan Upah 50% 116.16 107.49 98.83 90.16 0 20 40 60 80 100 120 140

0 20 40 60 80

N P V (R p ) d a la m sa tu a n ju ta

Kenaikan Harga Solar (%)

32.48 31.12 29.72 28.50 28 29 29 30 30 31 31 32 32 33 33

0 20 40 60 80

IR

R

(%

)


(27)

26

Gambar 16. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Harga Solar pada Kenaikan Upah 50%

Pada tabel dan grafik hubungan NPV dengan kenaikan harga solar dapat diketahui apabila upah tenaga kerja naik mencapai 50% dari upah normal diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60% tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Hal ini berarti apabila upah tenaga kerja naik mencapai 50% dari upah normal diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, pemilik penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan yang didirikan.

Apabila upah tenaga kerja naik mencapai 50% dari upah normal diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku (14%). Oleh karena itu, apabila pemilik meminjam uang ke bank untuk mendirikan penggilingannya, pemilik penggilingan mampu membayar bunga pinjamannya dan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingannya.

Apabila upah tenaga kerja naik mencapai 50% dari upah normal diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, nilai gross B/C ratio masih lebih besar dari satu. Oleh karena itu, penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan meskipun upah tenaga kerja naik mencapai 50% dari upah normal diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%.

d. Penurunan jumlah giling tahunan sebesar 15%, 20%, 25% dan 30%. Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Jumlah Giling Penurunan

Jumlah Giling NPV IRR

Gross B/C

Ratio Titik Impas

(%) (Rp) (%) (jam/tahun) (kg GKG/tahun)

15 109,697,952.54 31.47 1.34 139.19 35,342.78 20 90,054,426.74 28.49 1.28 139.19 35,342.78 25 70,410,900.95 25.37 1.23 139.19 35,342.78 30 45,221,240.49 21.66 1.15 139.19 35,342.78

1.30 1.27

1.24

1.22 1.20

1.22 1.24 1.26 1.28 1.30 1.32

0 20 40 60 80

G

ro

ss

B

/C

R

a

ti

o


(28)

27

Gambar 17. Grafik Hubungan NPV dengan Penurunan Jumlah Giling

Gambar 18. Grafik Hubungan IRR dengan Penurunan Jumlah Giling

Gambar 19. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Penurunan Jumlah Giling

Pada tabel dan grafik dapat diketahui apabila terjadi penurunan jumlah giling mencapai 30% tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Oleh karena itu, meskipun

109.70 90.05 70.41 45.22 0 20 40 60 80 100 120

15 20 25 30

N P V (R p ) d a la m s a tu a n ju ta

Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)

31.47 28.49 25.37 21.66 0 5 10 15 20 25 30 35

15 20 25 30

IR

R

(%

)

Penurunan Jumlah Giling Tahunan (%)

1.34 1.28 1.23 1.15 1 1.05 1.1 1.15 1.2 1.25 1.3 1.35 1.4

15 20 25 30

G ro ss B /C R a ti o


(29)

28

terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30%, pemilik penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan yang didirikan.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30%, nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku (14%). Oleh karena itu, apabila pemilik meminjam uang ke bank untuk mendirikan penggilingannya, pemilik penggilingan mampu membayar bunga pinjamannya dan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingannya.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30%, nilai gross B/C ratio masih lebih besar dari satu. Penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan meskipun terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30%. Pada saat terjadi penurunan jumlah giling tahunan sampai 30% dari jumlah giling normal, jam kerja dan produksi penggilingan masih berada diatas titik impas, sehingga pemilik penggilingan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan tersebut.

e. Perpaduan penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dari jumlah giling normal dengan kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 15%, 30%, 45%, dan 60% dari harga normal (Rp.4,500/liter). Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Jumlah Giling Tahunan 30% dengan Kenaikan Harga Solar

Penurunan Jumlah Giling

Kenaikan

Harga Solar NPV IRR Gross B/C Ratio

(%) (%) (Rp) (%)

30 15 44,701,881.01 21.57 1.14

30 30 38,636,386.88 20.48 1.12

30 45 34,924,160.04 19.72 1.11

30 60 26,505,398.61 17.97 1.08

Gambar 20. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30%

44.70

38.64

34.92

26.51

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00

0 15 30 45 60 75

N

P

V

(R

p

)

d

a

la

m

s

a

tu

a

n

ju

ta


(30)

29

Gambar 21. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan JumlahGiling 30%

Gambar 22. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30%

Pada tabel dan grafik hubungan NPV dengan kenaikan harga solar dapat diketahui apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60% tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Hal ini berarti apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, pemilik penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan yang didirikan.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku (14%). Oleh karena itu, apabila pemilik meminjam uang ke bank untuk mendirikan penggilingannya, pemilik penggilingan mampu membayar bunga pinjamannya dan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingannya.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar mencapai 60%, nilai gross B/C ratio masih lebih besar dari satu. Oleh karena itu, penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan meskipun jumlah

21.57 20.48 19.72 17.97 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00

0 15 30 45 60 75

IR

R

(

%

)

Kenaikan Harga Solar (%)

1.14 1.12 1.11 1.08 1.07 1.08 1.09 1.10 1.11 1.12 1.13 1.14 1.15

0 15 30 45 60 75

G ro ss B /C R a ti o


(31)

30

giling tahunan menurun sampai 20% diikuti meningkatnya harga bahan bakar solar mencapai 60%.

f. Perpaduan penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dari jumlah giling normal dengan upah tenaga kerja sebesar 20%, 30%, 40%, dan 50% dari upah normal (Rp. 20,000/orang/hari). Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Jumlah Giling Tahunan Sebesar 30% dengan Kenaikan Upah Tenaga Kerja

Penurunan

Jumlah Giling Kenaikan Upah NPV IRR Gross B/C Ratio

(%) (%) (Rp) (%)

30 20 33,245,752.67 19.65 1.10

30 30 24,484,941.43 18.48 1.07

30 40 15,724,130.20 17.12 1.05

30 50 6,963,318.96 15.51 1.02

Gambar 23. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Upah pada Penurunan Jumlah Giling 30%

Gambar 24. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Upah pada Penurunan Jumlah Giling 30% 33.25 24.48 15.72 6.96 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00

0 15 30 45 60

N P V (R p ) d a la m s a tu a n ju ta

Kenaikan Upah (%)

19.65 18.48 17.12 15.51 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

0 15 30 45 60

IR

R

(%

)


(32)

31

Gambar 25. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Upah pada Penurunan Jumlah Giling 30%

Pada tabel dan grafik hubungan NPV dengan kenaikan harga solar dapat diketahui apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan harga upah tenaga kerja mencapai 50% tidak mempengaruhi kelayakan penggilingan padi. Hal ini disebabkan nilai NPV yang diperoleh tidak ada yang lebih kecil dari nol. Hal ini berarti apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan upah tenaga kerja mencapai 60%, pemilik penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingan yang didirikan.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan upah tenaga kerja mencapai 50%, nilai IRR yang dihasilkan masih lebih besar daripada nilai suku bunga yang berlaku (14%). Oleh karena itu, apabila pemilik meminjam uang ke bank untuk mendirikan penggilingannya, pemilik penggilingan mampu membayar bunga pinjamannya dan masih mendapatkan keuntungan dari usaha penggilingannya.

Apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan mencapai 30% diikuti kenaikan upah tenaga kerja mencapai 50%, nilai gross B/C ratio masih lebih besar dari satu. Oleh karena itu, penggilingan padi masih mendapatkan keuntungan meskipun jumlah giling tahunan menurun sampai 30% diikuti meningkatnya upah tenaga kerja mencapai 50%.

g. Perpaduan penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dari jumlah giling normal dengan upah tenaga kerja sebesar 40% dan kenaikan harga solar sebesar 15%, 30%, 45%, dan 60% dari harga normal (Rp.4,500/liter). Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Jumlah Giling Tahunan 30% dengan Kenaikan Upah 40%, dan Kenaikan Harga Solar

Penurunan Jumlah Giling

Kenaikan Upah

Kenaikan

Solar NPV IRR Gross B/C Ratio

(%) (%) (%) (Rp) (%)

30 40 15 9,658,636.06 16.04 1.03

30 40 30 3,593,141.92 14.81 1.01

30 40 45 -3,019,610.45 13.57 0.99

30 40 60 -8,537,846.35 12.70 0.98

1.10 1.07

1.05 1.02 1.00

1.02 1.04 1.06 1.08 1.10 1.12

0 10 20 30 40 50 60

G

ro

ss

B

/C

R

a

ti

o


(33)

32

Gambar 26. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Harga Solar Pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 40%

Gambar 27. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 40%

Gambar 28. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 40%

Pada tabel dan grafik, dapat diketahui apabila terjadi penurunan jumlah giling mencapai 30% diikuti kenaikan upah tenaga kerja sebesar 40% dan kenaikan harga bahan

9.66 3.59 -3.02 -8.54 -10.00 -5.00 0.00 5.00 10.00 15.00

0 15 30 45 60 75

N P V (R p ) d a la m s a tu a n ju ta

Kenaikan Harga Solar (%)

16.04 14.81 13.57 12.70 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00

0 15 30 45 60 75

IR

R

(%

)

Kenaikan Harga Solar (%)

1.03 1.01 0.99 0.98 0.97 0.98 0.99 1.00 1.01 1.02 1.03 1.04

0 15 30 45 60 75

G ro ss B /C R a ti o


(34)

33

bakar solar sebesar 45% menyebabkan usaha penggilingan padi tersebut menjadi tidak layak dari segi finansial. Hal ini disebabkan oleh nilai NPV yang lebih kecil dari nol, nilai IRR yang lebih kecil dari suku bunga yang berlaku (14%), dan nilai gross B/C ratio yang lebih kecil dari satu. Pada keadaan tersebut penggilingan akan mengalami kerugian.

Dari hasil perhitungan menggunakan interpolasi didapat NPV bernilai nol pada saat terjadi kenaikan harga solar sebesar 38.15%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dan kenaikan upah sebesar 40%, penggilingan akan menjadi tidak layak untuk dijalankan jika diikuti kenaikan harga solar sebesar 38.15% atau lebih.

h. Perpaduan penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dari jumlah giling normal dengan upah tenaga kerja sebesar 50% dan kenaikan harga solar sebesar 15%, 30%, 45%, dan 60% dari harga normal (Rp.4,500/liter). Hasil perhitungan analisis sensitivitas disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Sensitivitas Terhadap Penurunan Jumlah Giling Tahunan 30% dengan Kenaikan Upah 50%, dan Kenaikan Harga Solar

Penurunan Jumlah Giling

Kenaikan Upah

Kenaikan

Solar NPV IRR

Gross B/C Ratio

(%) (%) (%) (Rp) (%)

30 50 15 897,824.82 14.21 1.00

30 50 30 -5,167,669.32 13.25 0.99

30 50 45 -11,233,163.45 12.23 0.97

30 50 60 -17,298,657.59 11.02 0.95

Gambar 29. Grafik Hubungan NPV dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 50%

0.90

-5.17

-11.23

-17.30 -20.00

-15.00 -10.00 -5.00 0.00 5.00

0 15 30 45 60 75

N

P

V

(R

p

)

d

a

la

m

s

a

tu

a

n

ju

ta


(35)

34

Gambar 30. Grafik Hubungan IRR dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 50%

Gambar 31. Grafik Hubungan Gross B/C Ratio dengan Kenaikan Harga Solar pada Penurunan Jumlah Giling 30% dan Kenaikan Upah 50%

Pada tabel dan grafik dapat diketahui apabila terjadi penurunan jumlah giling mencapai 30% diikuti kenaikan upah tenaga kerja sebesar 50% dan kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 30% menyebabkan usaha penggilingan padi tersebut menjadi tidak layak dari segi finansial. Hal ini disebabkan oleh nilai NPV yang lebih kecil dari nol, nilai IRR yang lebih kecil dari suku bunga yang berlaku (14%), dan nilai gross B/C ratio yang lebih kecil dari satu. Pada keadaan tersebut penggilingan tidak layak untuk dijalankan karena akan memberikan kerugian terhadap pemilik penggilingan.

Dari hasil perhitungan menggunakan interpolasi didapat NPV bernilai nol pada saat terjadi kenaikan harga solar sebesar 17.22%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan apabila terjadi penurunan jumlah giling tahunan sebesar 30% dan kenaikan upah sebesar 50%, penggilingan akan menjadi tidak layak untuk dijalankan jika diikuti kenaikan harga solar sebesar 17.22% atau lebih.

14.21 13.25

12.23

11.02

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00

0 15 30 45 60 75

IR

R

(%

)

Kenaikan Harga Solar (%)

1.00

0.99

0.97

0.95 0.95

0.96 0.97 0.98 0.99 1.00 1.01

0 15 30 45 60 75

G

ro

ss

B

/C

R

a

ti

o


(36)

35

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas terhadap kenaikan harga bahan bakar solar, kenaikan upah tenaga kerja, dan penurunan jumlah giling tahunan,serta perpaduan masing-masing komponen tersebut, dapat disimpulkan penggilingan padi menjadi tidak layak untuk dijalankan apabila terjadi kondisi sebagai berikut :

1. Perpaduan penurunan jumlah giling sebesar 30% dengan kenaikan upah tenaga kerja sebesar 40% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 38.15% atau lebih.

2. Perpaduan penurunan jumlah giling sebesar 30% dengan kenaikan upah tenaga kerja sebesar 50% diikuti kenaikan harga bahan bakar solar sebesar 17.22% atau lebih.


(1)

41

Lanjutan

NO Tanggal Giling Jumlah Gabah (kg)

Jumlah beras (kg)

Jam kerja Huller

(jam)

Pemakaian BB Huller

(liter)

Kapasitas Huller (kg gabah

/jam)

Pemakaian BB huller per jam

(ltr/jam)

Jam kerja polisher

(jam)

Pemakaian bahan bakar

polisher (liter)

Kapasitas polisher (kg beras /

jam)

Pemakaian BB polisher per jam (ltr/jam)

45 22 Juni 2010 1099 715 4.383 6.141 250.758 1.401 5.392 3.777 132.616 0.701

46 23 Juni 2010 1011 678 4.167 6.129 242.648 1.471 5.125 3.769 132.293 0.736

47 24 Juni 2010 380 247 1.517 2.161 250.627 1.425 1.866 1.329 132.404 0.713

48 25 Juni 2010 468 300 1.833 2.622 255.084 1.430 2.255 1.612 133.038 0.715

49 26 Juni 2010 731 478 2.933 4.039 249.280 1.377 3.608 2.484 132.483 0.689

50 27 Juni 2010 459 306 1.883 2.629 243.888 1.396 2.317 1.617 132.096 0.698

51 29 Juni 2010 473 317 1.950 2.962 242.488 1.519 2.399 1.822 132.166 0.760

52 30 Juni 2010 400 262 1.600 2.162 249.771 1.351 1.968 1.329 133.130 0.676

53 1 Juli 2010 399 253 1.550 2.305 257.332 1.487 1.907 1.417 132.704 0.744

54 2 Juli 2010 588 390 2.400 3.058 244.950 1.274 2.952 1.880 132.114 0.637

55 3 Juli 2010 1574 1023 6.283 9.042 250.557 1.439 7.729 5.561 132.367 0.720

56 4 Juli 2010 789 535 3.283 4.455 240.154 1.357 4.039 2.740 132.475 0.679

57 6 Juli 2010 769 487 2.983 3.801 257.843 1.274 3.670 2.337 132.716 0.637

58 7 Juli 2010 142 98 0.600 0.898 236.475 1.497 0.738 0.552 132.791 0.749

59 8 Juli 2010 345 220 1.350 1.897 255.869 1.405 1.661 1.167 132.490 0.703

60 9 Juli 2010 524 332 2.033 2.696 257.903 1.326 2.501 1.658 132.747 0.663

61 10 Juli 2010 858 587 3.600 5.296 238.420 1.471 4.428 3.257 132.565 0.736

62 11 Juli 2010 1077 643 3.950 5.238 272.763 1.326 4.859 3.221 132.345 0.663

63 13 Juli 2010 1157 745 4.567 6.530 253.282 1.430 5.617 4.016 132.633 0.715

64 14 Juli 2010 1154 693 4.250 5.342 271.448 1.257 5.228 3.285 132.568 0.629

65 15 Juli 2010 1242 736 4.517 6.129 274.978 1.357 5.556 3.769 132.481 0.679


(2)

42

Lanjutan

NO Tanggal Giling Jumlah Gabah (kg) Jumlah beras (kg) Jam kerja Huller (jam) Pemakaian BB Huller (liter) Kapasitas Huller (kg gabah /jam) Pemakaian BB huller per jam

(ltr/jam) Jam kerja polisher (jam) Pemakaian bahan bakar polisher (liter) Kapasitas polisher (kg beras /

jam)

Pemakaian BB polisher per jam (ltr/jam)

67 17 Juli 2010 1085 628 3.850 5.783 281.819 1.502 4.736 3.556 132.615 0.751

68 18 Juli 2010 782 504 3.100 4.517 252.415 1.457 3.813 2.778 132.179 0.729

69 20 Juli 2010 972 652 4.000 5.304 243.066 1.326 4.920 3.262 132.520 0.663

70 21 Juli 2010 890 584 3.583 4.773 248.364 1.332 4.408 2.935 132.501 0.666

71 22 Juli 2010 1885 1166 7.150 10.947 263.623 1.531 8.795 6.732 132.583 0.766

72 23 Juli 2010 642 413 2.533 3.438 253.343 1.357 3.116 2.114 132.542 0.679

73 24 Juli 2010 1344 817 5.017 7.219 267.813 1.439 6.171 4.440 132.404 0.720

74 25 Juli 2010 1204 765 4.700 6.871 256.244 1.462 5.781 4.226 132.330 0.731

75 27 Juli 2010 1342 816 5.000 6.630 268.377 1.326 6.150 4.077 132.683 0.663

76 28 Juli 2010 889 578 3.550 5.027 250.295 1.416 4.367 3.091 132.371 0.708

77 29 Juli 2010 694 458 2.817 4.118 246.556 1.462 3.465 2.533 132.198 0.731

78 30 Juli 2010 584 386 2.367 3.612 246.820 1.526 2.911 2.221 132.600 0.763

79 31 Juli 2010 809 544 3.333 5.360 242.640 1.608 4.100 3.296 132.683 0.804

TOTAL 50733.909 32350.000 198.550 281.556 20058.906 111.691 244.217 173.157 10462.666 55.846

Rata-rata (per hari 642.201 409.494 2.513 3.564 253.910 1.414 3.091 2.192 132.439 0.709 kerja) (kg/hari

kerja) (kg/hari kerja) (jam/hari kerja) (liter/hari kerja) (kg gabah/

jam) (ltr/jam)

(jam/hari kerja)

(liter/hari kerja)

(kg beras/


(3)

43

Lampiran 2. Biaya Tetap.

Spesifikasi

Rp/tahun Penyusutan

Bangunan (4 m x 6 m) dan lantai jemur (6 m x 9 m)

Harga Awal (Rp) 60,000,000 1,635,000

Harga Akhir (Rp) 27,300,000

Umur Ekonomis (tahun) 20

Harga Huller

Harga Awal (Rp) 5,300,000 477,000

Harga Akhir (Rp) 530,000

Umur Ekonomis (tahun) 10

Harga Polisher

Harga Awal (Rp) 4,500,000 405,000

Harga Akhir (Rp) 450,000

Umur Ekonomis (tahun) 10

Mesin Penggerak (8.5 HP dan 16 HP)

Harga Awal (Rp) 27,000,000 2,430,000

Harga Akhir (Rp) 2,700,000

Umur ekonomis (tahun) 10

Timbangan Duduk

Harga Awal (Rp) 1,500,000 38,571

Harga Akhir (Rp) 150,000

Umur Ekonomis (tahun) 35

Ember (4 buah) Gayung (1 buah) Sekop Beras

Harga Awal (Rp) 70,000 6,300 Harga Akhir (Rp) 7,000

Umur Ekonomis (tahun) 10

Total 4,991,871

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 50,000


(4)

44

Lampiran 3. Analisis Biaya Tidak Tetap untuk Huller

Spesifikasi Perhitungan Satuan Nilai

Kapasitas huller (kH) kg GKG/jam 253.910

Kapasitas polisher (kP) kg beras/jam 132.439

Perkiraan jumlah giling per tahun (Xs) kg GKG/tahun 202,935.635 Perkiraan jumlah beras per tahun (Xt) kg Beras/tahun 130,484.787

Hari kerja dalam 1 bulan hari/bulan 26.000

Hari kerja dalam 1 tahun 26*12 hari/tahun 312.000

Perkiraan jumlah giling rata-rata per hari Xs/312 kg GKG/hari 650.435 Jam kerja per hari huller (tH) tH/312 jam/hari 2.562 Total jam kerja mesin huller per tahun (TH) Xs/kH jam/tahun 799.242 Pemakaian solar huller per jam (bbH) liter/jam 1.414

Pemakaian pelumas huller (pH) liter/bulan 3.000

Pemakaian pelumas huller per jam pH/(26*tH) liter/jam 0.045

Biaya Tidak Tetap untuk Huller

Bahan bakar motor untuk huller Rp.4500*bbH Rp/jam 6,363.000 Pelumas motor untuk huller Rp.20000/l*0.046 Rp/jam 900.853 Upah tenaga kerja untuk huller Rp.20000/tH Rp/jam 7,807.394 Penggantian rubber roll Rp.200000*(1/20000)*kH Rp/jam 2,539.100 Penggantian suku cadang mesin Rp.350000*(1/25000)*kH Rp/jam 3,554.740 Perawatan dan perbaikan motor untuk huller 2x/tahun*Rp.200000/TH Rp/jam 500.474 Upah montir perbaikan untuk huller 2x/tahun*Rp.125000/TH Rp/jam 312.796

Biaya Tidak Tetap untuk Huller Rp/jam 21,978.357


(5)

45

Lampiran 4. Analisis Biaya dan Titik Impas

Spesifikasi Perhitungan Satuan Nilai

Kapasitas huller (kH) kg GKG/jam 253.910

Kapasitas polisher (kP) kg beras/jam 132.439

Perkiraan jumlah giling per tahun (Xs) kg GKG/tahun 202,935.635 Perkiraan jumlah beras per tahun (Xt) kg Beras/tahun 130,484.787

Hari kerja dalam 1 bulan hari/bulan 26.000

Hari kerja dalam 1 tahun 26*12 hari/tahun 312.000

Perkiraan jumlah giling rata-rata per hari Xs/312 kg GKG/hari 650.435 Jam kerja per hari polisher (tP) Tp/312 jam/hari 3.158 Total jam kerja mesin polisher per tahun (TP) Xt/kP jam/tahun 985.244 Pemakaian solar polisher per jam (bbP) liter/jam 0.709

Pemakaian pelumas polisher (pP) liter/bulan 6.000

Pemakaian pelumas polisher per jam pP/(26*tP) liter/jam 0.073

Biaya Tidak Tetap untuk Polisher

Bahan bakar motor untuk polisher Rp.4500*bbP Rp/jam 3,190.500 Pelumas motor untuk polisher Rp.20000/l*0.075 Rp/jam 1,461.566 Upah tenaga kerja untuk polisher Rp.20000/tP Rp/jam 6,333.454 Penggantian ayakan polisher Rp.20000*(1/25000)*kH Rp/jam 203.128 Perawatan dan perbaikan motor untuk polisher 2x/tahun*Rp.200000/TP Rp/jam 405.991 Penggantian rubber roll Rp.200000*(1/20000)*kH Rp/jam 2,539.100 Upah montir perbaikan untuk polisher 2x/tahun*Rp.125000/TP Rp/jam 253.744

Biaya Tidak Tetap Rp/jam 14,387.483 22,194.876*TP Rp/tahun 14,175,187.228 Perawatan dan perbaikan timbangan Rp.250000/TP Rp/jam 253.744 Rp/tahun 250,000.000

Biaya Tidak Tetap untuk Huller Rp/jam 21,978.357 22,978.357*TH Rp/tahun 17,566,034.54

Total Biaya Tidak Tetap (BTT) Rp/jam 36,619.584 Rp/tahun 31,991,221.765

Biaya Tetap (BT) Rp/tahun 5,041,871.429

Biaya Total (B) Rp/tahun 37,033,093.194

Biaya Pokok (BP) B/Xs Rp/kg GKG 182.487

B/Xt Rp/kg beras 283.812 Upah penggilingan (S) (1/10)*5500 Rp/kg beras 550.000

Pendapatan per tahun (I) S*Xt Rp/tahun 71,766,633.020

Keuntungan I - B Rp/tahun 34,733,539.826

Titik Impas BT/((kP*S)-BTT) jam/tahun 139.194


(6)

46

Lampiran 5. Analisis Kelayakan Finansial

Tahun Biaya Pendapatan

B-C DF NPV

ke- ( C ) (B) 14% 14%

0 98,370,000.00 0 -98,370,000.00 1.0000 -98,370,000.00

1 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.8772 34,890,711.63 2 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.7695 30,605,887.39 3 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.6750 26,847,269.64 4 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.5921 23,550,236.53 5 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.5194 20,658,102.22 6 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.4556 18,121,142.30 7 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.3996 15,895,738.86 8 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.3506 13,943,630.58 9 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.3075 12,231,254.89 10 31,991,221.77 75,453,633.02 43,462,411.25 0.2697 11,723,716.38 11 68,861,221.77 71,766,633.02 2,905,411.25 0.2366 687,470.79 12 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.2076 8,255,748.66 13 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.1821 7,241,884.79 14 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.1597 6,352,530.52 15 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.1401 5,572,395.19 16 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.1229 4,888,065.96 17 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.1078 4,287,777.15 18 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0946 3,761,208.03 19 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0829 3,299,305.29 20 31,991,221.77 102,753,633.02 70,762,411.25 0.0728 5,148,794.95 21 128,861,221.77 71,766,633.02 -57,094,588.75 0.0638 -3,644,123.37 22 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0560 2,226,937.09 23 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0491 1,953,453.59 24 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0431 1,713,555.78 25 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0378 1,503,119.11 26 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0331 1,318,525.53 27 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0291 1,156,601.34 28 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0255 1,014,562.58 29 31,991,221.77 71,766,633.02 39,775,411.25 0.0224 889,967.18 30 31,991,221.77 75,453,633.02 43,462,411.25 0.0196 853,037.80 31 68,861,221.77 71,766,633.02 2,905,411.25 0.0172 50,021.56

NPV 168,628,529.93

NPV = Rp. 168,628,529.93

IRR = 40.11%