Kesiapan Mental Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak

28 c Diadakannya jam-jam olahraga Olahraga sangat penting bagi pertumbuhan fisik, oleh karena itu bila ada pengaturan jam-jam untuk olahraga maka pertumbuhan fisik anak juga akan memperoleh stimulasi secara teratur pula. Pertumbuhan fisik bagi remaja yang sangat pesat seringkali menimbulkan gangguan regulasi, tingkah laku, dan bahkan keterasingan dengan diri sendiri. Untuk itu perlu adanya kegiatan-kegiatan olahraga untuk menyalurkan energi lebih yang dimilikinya sehingga tidak tersalurkan kepada perilaku-perilaku negatif. Berdasarkan penelaahan sebelumnya, maka dapat ditinjau bahwa kesiapan fisik bagi anak didik bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal dari dalam diri anak didik seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik yang dialaminya, melainkan juga dipengaruhi oleh proses persiapan sebagai fator eksternal yang dapat memberikan kesiapan lebih terhadap anak didik secara fisik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa kegiatan pembinaan fisik yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu bagian faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kesiapan fisik bagi anak didik.

2. Kesiapan Mental

Kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan perkembangan diri anak didik sebagai seorang remaja. Menurut Gultom 2008, pembinaan mental dilakukan dengan tujuan untuk 29 menangani perasaan bersalah, merasa diatur, dan kurang biasa mengontrol emosi, merasa rendah diri yang diharapkan secara bertahap mempunyai keseimbangan emosi selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan bagi remaja. Hal tersebut dikemukakan dapat ditangani melalui pembinaan mental yang bertujuan agar anak didik dapat menangani rasa frustasi melalui kegiatan keagaaman sesuai dengan agama dan kepercayaannya, menanamkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa cemas dan gelisah. Bila meninjau dari masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja, maka pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan masa perkembangan mental dirinya sebagai seorang remaja. Dalam segi kematangan emosional sebagai salah satu bagian dari kesiapan mental bagi anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, Hurlock 2004:213 mengemukakan beberapa aspek kematangan emosi menurut bagi remaja, diantaranya: 1 Remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima. 2 Remaja menilai situasi kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak- anak. 3 Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain. Menurut Mayer Goleman, 2000: 65-66, remaja cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, di antaranya: 1 Sadar Diri 30 Peka terhadap suasana hati ketika mengalaminya, memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya baik, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan. 2 Tenggelam dalam permasalahan Mereka adalah orang-orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tidak berdaya untuk melepaskan diri seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, mereka tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional dan seringkali merasa kalah dan secara emosional lepas kendali. 3 Pasrah Peka akan apa yang mereka rasakan, cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada dua cabang jenis pasrah, yaitu mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah dan mereka yang kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan sikap tidak hirau, tidak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan. Dalam hal ini, Nurihsan, Agustin 2011 mengemukakan bahwa faktor lain yang menyebabkan meningginya emosi remaja, karena adanya tekanan sosial, menghadapi kondisi dan lingkungan baru, dan kurang mempersiapkan 31 diri untuk menghadapi keadaan dan lingkungan baru tersebut. Anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan remaja yang diarahkan melalui pembinaan yang dijalankan untuk mengenali lingkungan barunya dalam upaya perubahan dan perbaikan diri menuju ke arah yang lebih baik dalam sebuah proses pembinaan bersama lingkungan sosial barunya. Bila meninjau atas dasar pemahaman Maslow dalam Hjelle dan Ziegler, 1992, sikap penerimaan diri bagi anak didik adalah sikap positif terhadap diri sendiri, sehingga ia dapat menerima keadaan dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangan diri. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka anak didik diharapkan dapat menangani rasa frustasi dengan adanya rasa penerimaan diri oleh karena sudah bisa merasa mengatur diri atas perasaan bersalah, malu, rendah diri, dan kecemasan akan penilaian dari orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini, rendah diri sebagai salah satu hal yang menggambarkan belum adanya penerimaan diri anak didik akan dirinya sendiri juga merupakan hal yang berhubungan dengan kepercayaan diri anak didik ketika akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan diri anak didik ketika akan menghadapi masyarakat, baik dalam bentuk tanggapan yang positif ataupun negatif merupakan hal yang menggambarkan kepercayaan diri anak didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Lauster 1978 bahwa ketergantungan terhadap penilaian orang lain merupakan salah satu ciri dari orang yang kurang percaya diri. Bila meninjau dalam hal kemampuan anak didik untuk menangani rasa cemas, Shinkfield 2010 mengemukakan bahwa seorang narapidana akan merasa berkurang tingkat kecemasannya jika selama masa pembinaan mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan hal yang membuat dirinya cemas dan akan berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat. Kecemasan akan menjadi salah satu dampak dari 32 adanya komunikasi interpersonal dalam diri anak didik yang terganggu. Perasaan akan rendah diri dan memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri menandakan rendahnya kesiapan dari anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat menjelang masa pembebasan nanti. Bila kesiapan mental bagi anak didik kurang dalam hal penanganan kecemasan, maka hal ini akan menjadi salah satu hal yang menghambat kemampuan sosial anak didik untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat. Atas penelaahan lebih lanjut, Hawari 2001 mengemukakan beberapa ciri gejala seseorang yang mengalami kecemasan diantaranya: 1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung 2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; 3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang; 4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; 5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat 6. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang pendengaran berdenging tinitus, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain sebagainya. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa kesiapan mental bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan kematangan emosional, penanganan diri melalui aktivitas spiritual dan pemenuhan kebutuhan sosial, kepercayaan diri, dan kecemasan dirinya dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini perlu untuk ditinjau ketika anak didik akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat yang berbeda selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. 3. Kesiapan Sosial 33 Gultom 2008 mengemukakan bahwa pembinaan sosial yang dijalankan berfungsi untuk memberikan kesiapan sosial bagi anak didik remaja dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat terkait dengan kemampuan dirinya untuk mengadakan kembali hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya” Anna Alisyahbana, dkk., 1984. Hal ini juga akan terkait dengan bagaimana penerimaan lingkungan sosial anak didik terhadap keberadaan dirinya sebagai seorang mantan narapidana anak. Dalam hal ini, anak didik sebagai seorang remaja cenderung akan kembali bergaul dengan teman sebayanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Brown Larson Santrock, 2007 bahwa masa remaja peran peer group atau kawan sebaya lebih besar dibandingkan peran keluarga atau orangtua. Namun, Sunarto 1998 mengemukakan bahwa situasi kehidupan dalam keluarga berupa pola asuh orang tua, pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung sulit diperbaiki. Dalam hal ini, bila penyebab dari kenakalan remaja yang dialami oleh anak didik berasal dari pergaulan lingkungan teman sebaya, maka kemungkinan besar ketika anak didik kembali ke pergaulan dengan teman sebayanya yang serupa atau memberikan pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat ditinjau bahwa anak didik beresiko untuk memiliki perilaku menyimpang serupa bila sistem dalam hal kelompok teman sebayanya sulit untuk diperbaiki. Ali, Asrori 2012 mengemukakan bahwa dalam proses perkembangan sosial, remaja dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta 34 keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya. Salah satu hal yang dibutuhkan seorang remaja dalam perkembangan sosialnya adalah iklim keluarga yang kondusif. Hal ini didukung dengan Gardner 1983 yang mengemukakan bahwa interaksi antar anggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Gultom 2008 bahwa hubungan yang harmonis dengan keluarga diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja. Keluarga sangat memiliki peranan yang penting dalam hal mendidik remaja. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi remaja yang akan menentukan bagaimana remaja berkembang dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyono 1984, dalam Gultom 2008 bahwa apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus ke tindakan kejahatan atau kriminal. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa keluarga memiliki pengaruh penting bagi perkembangan pola pemikiran dan tingkah laku anak didik sebagai seorang remaja. Dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, anak didik dihadapkan pada penerimaan masyarakat akan keberadaan dirinya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Lebih lanjut Ali, Asrori 2012 mengemukakan bahwa iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculannya bagi perkembangan hubungan sosial remaja, namun seringkali masalah yang dialami oleh remaja dalam proses sosialisasinya adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Siagian 1985, dalam Gultom 2008 bahwa “Masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam periode remaja diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana.” 35 Pada kenyataannya, masyarakat dihadapkan pada kemampuan untuk memberikan penerimaan sesuai yang diharapkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Namun, Wirosardjono 1991, dalam Gultom 2008 mengemukakan bahwa “Bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang sah maupun tak terelakkan.” Oleh karena itu, dapat ditinjau bahwa iklim kehidupan bermasyarakat bagi anak didik selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak memberikan dampak terhadap kemampuan anak didik untuk menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat. Bila meninjau dari segi substansi perkembangan sosial bagi remaja, Nurihsan Agustin 2011 mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Remaja cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam hal sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Hal ini diperkuat oleh Ali, Asrori 2012 bahwa kohesivitas kelompok sangat kuat dan toleransi antar anggota kelompok teman sebaya sangat tinggi, sehingga manakala ada masalah, maka demi solidaritas dan kohesivitas anggota kelompoknya, mereka segera membelanya. Nurihsan Agustin 2011 mengemukakan pula bahwa: “Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya sebagaimana pada masa anak-anak dan kegemarannya pada kegiatan yang sama. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan dapat dipercaya dalam membahas masalah- masalah yang dialaminya.” 36 Atas penelaahan lebih lanjut Nurihsan Agustin 2011 mengemukakan bahwa semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, seperti terlibat dalam kemampuan bergaul, dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial. Dalam hal ini, Schneiders 1964: 122 mengungkapkan bahwa kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya: 1 Kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi hereditas, kondisi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot. 2 Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral, dan emosi. 3 Kondisi psikologis, meliputi pengalaman proses belajar, pembiasaan, frustasi, dan konflik, 4 Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat 5 Faktor kebudayaan, termasuk agama. Bila meninjau lebih lanjut dari penyesuaian diri, maka Schneiders 1964 juga mengemukakan dua jenis penyesuaian diri, diantaranya: 1 Penyesuaian Diri Pribadi Penyesuaian diri merupakan penyusunan kembali sikap dan tingkah laku individu untuk berespon secara adekuat terhadap keadaan dirinya sendiri, meliputi keadaan fisik, mental, dan emosi. Ketiga hal ini menjadi syarat 37 tercapainya penyesuaian sosial yang baik. Keadaan fisik yang sehat, meliputi istirahat yang cukup keteraturan hidup, dan rekreasi merupakan hal yang penting untuk mencapai penyesuaian diri. Sama halnya dengan emosi, individu yang memiliki keadaan emosi yang stabil akan memberikan respon-respon yang sesuai dengan tuntutan yang ada di lingkungan masyarakat. Individu yang kurang dapat mengendalikan emosi akan mengalami konflik dan frustasi. Sebaliknya upaya pengendalian yang berlebihan juga akan memberikan dampak yang sama buruknya dengan ketidakmampuan pengendalian diri. Lebih lanjut, Schneiders 1984 mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah kemauan dan kemampuan untuk berubah. Dalam hal ini, penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, oleh karena itu penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku, sikap, dan karakteristik sejenis lainnya. Oleh karena itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan serta kemampuan untuk merespon lingkungan, semakin besar kemampuan kemungkinannya untuk mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Lebih lanjut, Schneiders 1984 mengemukakan bahwa kualitas dan kemampuan untuk berubah dan berkurang atau menurun disebabkan oleh sikap dan kebiasaan yang kaku, kecemasan yang sering dialami, frustasi yang sering muncul, dan sifat-sifat neurotik lainnya. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak diharapkan memiliki kemampuan dan kemampuan untuk berubah ke arah yang lebih positif melalui keterlibatan dalam setiap kegiatan pembinaan yang dijalankan didasarkan atas kemauan dan keputusan atas pilihannya sendiri untuk berubah. Namun, hal ini juga akan terkait dengan kesiapan mental anak didik dalam menangani rasa cemas dan gelisah ketika akan menghadapi proses 38 integrasi ke dalam masyarakat agar memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang baik. 2 Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial merupakan kapasitas untuk bereaksi secara efektif atau adekuat terhadap kenyataan yang ada di lingkungannya sehingga ia mampu untuk memenuhi tuntutan sosial dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan bagi dirinya atauun lingkungannya. Schneiders 1964 mengemukakan bahwa jika individu ingin mengembangkan kemampuan dalam penyesuaian sosial maka ia harus menghargai hak orang lain, mampu menciptakan suatu relasi yang sehat dengan orang lain, mengembangkan persahabatan, berperan aktif dalam kegiatan sosial, dan menghargai nilai-nilai dari hukum-hukum sosial dan tradisi. Dalam hal ini, penjabaran kemampuan dalam penyesuaian sosial di atas dapat ditinjau sebagai salah satu reaksi terhadap pemenuhan kebutuhan sosial. Lebih lanjut, Schneiders 1964 mengemukakan bahwa kebutuhan sosial lebih berpengaruh terhadap relasi sosial dengan orang lain. Relasi sosial yang dibangun akan terjalin dengan baik bila pemenuhan kebutuhan sosial seseorang terpenuhi. Beberapa kebutuhan sosial tersebut diantaranya: 1 Kebutuhan untuk berperan serta Kebutuhan ini mendorong remaja untuk memilih pengalaman- pengalaman dan aktivitasnya, serta memerankan dalam proses sosialisasi. 2 Kebutuhan akan pengakuan Partisipasi seseorang dalam kehidupan ssoial dapat dipengaruhi tingkatan kebutuhan akan pengakuan. Pengakuan tersebut diperoleh melalui penilaian orang lain mengenai dirinya, serta sebagian besar berhubungan dengan kebutuhan akan status. 3 Kebutuhan akan penerimaan sosial 39 Penerimaan sosial ini meliputi juga penyesuaian terhadap nilai-nilai sosial. Pengakuan dan penerimaan sosial menunjukkan status dirinya. 4 Kebutuhan untuk menyesaikan diri Kebutuhan menyesuaikan diri berhubungan erat dengan penerimaan sosial. Pada periode ini remaja banyak berinteraksi dengan kelompok teman sebaya dan remaja sangat membutuhkan penerimaan oleh kelompoknya.. Kesiapan sosial bagi anak didik dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana anak didik sudah siap melakukan aktivitas kembali dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengetahui norma-norma agama, kesusilaan, etika pergaulan dan pertemuan dengan keluarga atau kerabat, dan pengetahuan akan hidup bermasyarakat yang baik Gultom, 2008. Hal ini diperkuat oleh Kohlberg 1984, dalam Ali Ansori 2012 dengan dasar perkembangan moral anak didik sebagai seorang remaja tengah berada pada tingkatan konvensional, yaitu suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam masyarakat perlu diadikan acuan dalam hidupnya, menyadari kewajibannya melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan perlu adanya norma. Dalam hal ini, Ali, Asrori 2012 mengemukakan bahwa tugas utama masyarakat adalah menekan seminimal mungkin tingkah laku atau sikap negatif para remaja dan mengembangkan tingkah laku positif, termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial remaja. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau kembali kesiapan sosial anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat terkait dengan kesiapan dirinya untuk menjalin kembali hubungan sosial yang baik dengan situasi lingkungan masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya atas dasar partisipasi dalam dirinya untuk menjalankan peran sosial seuai dengan nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Kesiapan sosial menjadi penting bagi anak didik sebagai salah satu indikator keberhasilan dirinya untuk kembali ke dalam kehidupan 40 bermasyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Orakwe 2011, bahwa Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau penjara tidak berfungsi optimal dalam memberikan kesiapan penuh terhadap narapidana untuk kembali ke masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak terlibat secara langsung dalam langkah intervensi penanganan narapidana dalam penjara, sehingga Lembaga Pembinaan Khusus Anak hanya terlihat sebagai rumah tahanan untuk melindungi masyarakat dari adanya pelaku kejahatan. Schneiders 1984 mengemukakan pula bahwa individu yang mengalami pengalaman traumatik akan cenderung ragu-ragu, kurang percaya diri, gamang, rendah diri, atau bahkan merasa takut bila harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Dalam hal ini, anak didik akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan situasi lingkungan sosial yang berbeda sebelum dirinya menjadi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Atas dasar penelahaan lebih lanjut, Pallas 2010 mengemukakan bahwa mayoritas pelaku residivis terjadi oleh karena rendahnya pendidikan. Pendidikan yang dijalankan di lembaga pembinaan khusus anak belum berfungsi secara optimal. Oleh karena itu, Pallas 2010 menekankan bahwa pentingnya pembekalan keterampilan sebagai salah satu faktor pendukung bagi kesiapan sosial narapidana untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, kesiapan sosial bagi anak didik dapat ditinjau pula dari segi pemahaman dirinya akan pembekalan keterampilan yang telah dijalankan selama masa pembinaan. Hal ini akan terkait dengan perencanaan hidup dirinya untuk kembali beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat dengan bekal pendidikan keterampilan yang ia telah pelajari sebelumnya. Pembekalan keterampilan bagi anak didik juga disesuaikan dengan minat, bakat, dan potensi atas dasar hasil assesment oleh wali pemasyarakatan dalam sebuah catatan di kartu pembinaan. 41 Pandangan atau penolakan yang berupa stigmatisasi dari masyarakat terhadap mantan narapidana anak nyatanya masih berlaku. Ketidakberdayaan mantan narapidana anak untuk kembali ke lingkungan sosialnya sebagaimana ia diterima dahulu menjadi salah satu hal yang dapat menjadi stressor baginya untuk kemudian dilampiaskan kembali dalam bentuk perilaku menyimpang. Aksesibilitas yang minim terhadap pemenuhan hak sebagai seorang warga negara merupakan salah satu dampak dari ketidakberdayaan masyarakat dalam memberikan kepercayaan kembali kepada mantan narapidana anak untuk menjalankan perannya sebagai seorang remaja dan warga negara. Hal ini dapat menyebabkan anak didik lembaga pembinaan khusus anak memiliki kemungkinan kembali menjadi residivis penjahat kambuhan selepas menjalani masa pembebasan ke dalam masyarakat oleh karena kurangnya kesiapan diri, baik secara efisik, mental, maupun sosial untuk berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Gultom 2008, bahwa: “Masyarakat juga harus membuka diri terhadap keberadaan mantan narapidana anak. Berbagai sikap masyarakat seperti curiga dan mengasingkan mantan narapidana dari pergaulan sosial, membuat kesan seolah masyarakat tidak pernah melakukan kesalahan. Sikap masyarakat yang tidak mau melupakan kesalahan mantan narapidana anak dapat menimbulkan persoalan baru. Mantan narapidana melakukan kembali tidak pidana agar masuk ke Lembaga Pemasyarakatan, karena masyarakat sulit menerima kembali mantan narapidana sebagai anggota masyarakat sebagaimana lazimnya.” Dalam hal ini, reaksi masyarakat terhadap keberadaan anak didik sebagai mantan narapidana di masyarakat akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdulsyani 1987, bahwa “Reaksi masyarakat terhadap tindak kriminalitas timbul karena adanya dorongan yang sifatnya emosional dari masyarakat tersebut. Biasanya sikap tersebut timbul atas bayangan dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Biasanya bahkan disertai dengan rasa 42 benci terhadap para pelaku tindak kriminal. Rasa benci adalah luapan emosi sesaat yang diberikan oleh anggota masyarakat kepada pelaku kejahatan yang awanya bersifat emosional dan spontan.” Keberhasilan mantan narapidana anak untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat diantaranya dapat diketahui melalui beberapa indikator. Gultom 2008, mengemukakan bahwa indikator-indikator tersebut antara lain: a Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan lainnya; b Isi Lembaga Pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas; c Meningkatnya secara bertahap dari t3ahun ke tahun jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya, melalui proses asimilasi dan integrasi; d Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis. Se3dangkan, dalam hal ini jumlah narapidana anak yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dengan kasus residivis terbilang meningkat. Hal ini dapat diketahui bahwa keberhasilan mantan narapidana anak untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat adalah masih rendah. Dalam kehidupen bermasyarakat, Hartomo Aziz 2011 mengemukakan bahwa remaja yang nakal dalam melaksanakan perannya tidak ada keinginan dan tidak bermaksud untuk mengadakan perubahan dalam masyarakat ataupun kebudayaan, melainkan berusaha memperoleh manfaat dari masyarakat dengan melakukan tindakan yang mereka anggap menguntungkan dirinya tetapi merugikan masyarakat. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa anak nakal berupaya untuk mengurangi kesenjangan antara apa yang menjadi kebutuhannya dengan kenyataan yang ada, sehingga perilaku menyimpang menjadi salah satu tindakan yang dipilih dan diputuskan dirinya dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, diketahui bahwa fenomena akan stigmatisasi negatif dari masyarakat akan keberadaan anak nakal oleh Gultom dikemukakan sebagai hal yang sebaikya dihindari untuk mencegah adanya kasus residivis. Gultom 43 2008 mengemukakan bahwa berbagai sikap masyarakat seperti curiga dan mengasingkan mantan narapidana dari pergaulan sosial, membuat kesan seolah masyarakat tidak pernah melakukan kesalahan. Dalam hal ini, Putra Pitaloka 2012 mengemukakan bahwa rasa tidak suka atau kebencian dari anggota masyarakat terhadap kelompok anggota masyarakat tertentu kelompok minoritas dikemukakan dalam beberapa hal, diantaranya pada tingkat komunikasi verbal; berlanjut pada tindakan yang berupaya untuk tidak berteman dan atau menghindar dengan kelompok minotiras; atau bahkan meningkat pada tindakan yang menimbulkan suatu aktivitas perilaku negatif. Hal ini diperkuat dengan apa yang dikemukakan oleh Allport 1964, dalam Putra Pitaloka: 2012 bahwa tindakan masyarakat dalam bentuk prasangka akan berbentuk alokasi, yaitu sebagian besar anggota masyarakat memiliki persepsi atau prasangka negatif terhadap anggota atau kelompok masyarakat yang lainnya, dan dalam bentuk upaya menghindar yang terjadi bila prasangka mengenai suatu kelompok telah sering dibicarakan dan jelas diingatan. Dalam hal ini, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu akan berupaya untuk menghindari dari anggota atau kelompok masyarakat yang dipersepsikan negatif oleh dirinya. Namun, stigmatisasi negatif yang terdapat dalam masyarakat terhadap keberadaan anak nakal maupun anak didik ketika menyandang status sebagai mantan narapidana anak akan mengalami konsekuensi akan kesehatan fisik dan mental anak. Penelitian menunjukkan bahwa orang atau kelompok yang mengalami stigma dan meninjau bahwa dirinya telah didiskriminasi akan mengalami kesehatan yang tidak baik dalam fisik dan mental Sellers Shelton, 2003; Williams, Neighbors, Jackson, 2003, dalam Baumeister, Finkel 2010. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau kembali kesiapan fisik, mental, dan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, bukan hanya akan kesiapan dirinya sebagai seorang remaja secara 44 individu selaras dengan perkembangan dalam dirinya namun juga bagaimana anak didik memiliki kesiapan dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat kembali selepas menjalani masa pembebasan. 45 4 PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL DALAM PENANGANAN ANAK DIDIK LPKA Pekerjaan sosial merupakan salah satu profesi yang memiliki kewenangan dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan menangani masalah sosial dengan berfokus kepada interaksi sosial manusia dengan lingkungannya dalam aspek kehidupan sosial. Secara tegas hal ini dikemukakan oleh Leonora Scrafica-de Guzman 1983 yang dikutip dalam Wibhawa, dkk 2010 bahwa: “Pekerjaan sosial adalah profesi yang bidang utamanya berkecimpung dalam kegiatan pelayanan sosial yang terorganisasi, dimana tujuannya untuk memfasilitasi dan memperkuat relasi dalam penyesuaian diri secara timbal balik dan saling menguntungkan antar individu dengan lingkungan sosialnya, melalui penggunaan metode-metode pekerjaan sosial” Dalam penelaahan lebih lanjut, Bartlett, Harriet., dalam The Common Base of Social Work Practice, Social Work yang dikutip dari Wibhawa, dkk 2010 mengemukakan bahwa fokus Pekerja Sosial adalah fungsionalitas sosial dengan perhatian ditujukan terhadap hubungan yang terjadi antara orang dengan lingkungan melalui hubungan yang saling mempengaruhi di antara keduanya. Hal ini kemudian dijelaskan oleh Wibhawa, dkk 2010 bahwa: 46 “Ide dasar dari uraian tentang fungsionalitas sosial ini adalah bahwa dalam konteks perubahan masyarakat yang semakin lama semakin cepat, terjadi pergeseran norma-norma sosial di dalam masyaraat karena proses inteaksi dengan masyarakat lain, sementara di sisi lain masyarakat tersebut memegang nilai sosio-budayanya sendiri yang memang seharusnya dipertahankannya sebagai fondasi kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Dalam dinamika sosial tersebut, banyak terjadi kesulitan penyesuaian diri pada warga masyarakat yang mengakibatkan masalah bagi mereka untuk dapat melaksanakan peran perilaku yang seharusnya sesuai dengan status sosial yang disandangnya…” Pekerja Sosial memiliki bidang pekerjaan yang luas dalam upaya menangani permasalahan sosial yang ada, baik untuk membantu individu, kelompok, keluarga, maupun masyarakat. Salah satu bidang garapan dalam Pekerjaan Sosial adalah Pekerja Sosial Koreksional. Hal ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Skidmore Thackeray 1975 bahwa pekerja sosial bertugas untuk mendampingi anak berhadapan dengan hukum dalam upaya rehabilitatif dengan tujuan untuk membantu anak memahami dan mengenal dirinya sendiri, hubungannya dengan lingkungannya, dan apa yang diharapkan dari dirinya sebagai bagian dari masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dalam hal ini, pekerja sosial memiliki peran untuk membantu anak didik dalam mempersiapkan diri untuk beraktivitas kembali dalam kehidupan bermasyarakat dengan baik. Dalam upaya pemberian pelayanan terhadap narapidana, dalam hal ini adalah anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak, maka Robison 1960 seperti dipetik oleh Skidmore dan Thackeray 1975 menjelaskan lima asumsi dasar ‘case work’ yang dapat diterapkan dalam membantu narapidana yaitu: 1 Menggunakan suatu hubungan sebagai sarana untuk membantu pelayanan, agar klien dapat menolong dirinya sendiri. warmth, genuineness, empathy , tidak kaku, ekspresif 47 2 Tidak menyalahkan dan menilai secara moral, namun menerima klien sebagaimana adanya; termasuk perilakunya, tanpa mengkaitkan dengan peristiwa di masa lalu. 3 Menghargai hak klien untuk menentukan dirinya sendiri, dengan cara membantu klien untuk memikirkan dan merasakan masalah-masalahnya dan situasinya. 4 Mengupayakan agar klien mempelajari dan memahami perilaku normal dan perilaku sosial agar memahami mengapa terjadi kejahatan dan kenakalan serta apa yang harus dilakukan terhadap kejahatan dan kenakalan 5 Mengupayakan tumbuh dan perasaan terjamin pada diri klien 6 Menggunakan kewenangan dengan cara positif untuk membantu pelanggar hukum, menolong membantu dirinya sendiri dalam menghadapi masalah- masalah dan membantu klien untuk dapat menyesuaikan kembali cara berpikirnya dan perilakunya. Atas dasar penelaahan lebih lanjut, Skidmore Thackeray 1975 mengemukakan bahwa pekerja sosial bekerja dalam setting koreksional dengan tujuan untuk membantu narapidana anak memperbaiki pola perilaku dan pemikirannya sehingga dapat diterima secara sosial oleh lingkungannya. Hal ini dapat diupayakan melalui beberapa hal, diantaranya adalah bekerja bersama dengan individu anak didik atau narapidana anak untuk melakukan sebuah perubahan yang didasarkan atas kemauan dan keputusan dirinya untuk memahami dan mengenal lebih jauh akan penerimaan diri sehingga dapat mengenal kekurangan dan kelebihan sebagai potensi dan kekuatan dirinya. Begitupula dengan upaya untuk memodifikasi lingkungan tempat anak didik 48 berada sehingga dapat menciptakan iklim lingkungan fisik dan sosial yang baik bagi anak didik. Bila meninjau dari yang dikemukakan oleh Asosiasi Pekerja Sosial Nasional AS atau NASW National Association of Social Workers 2012, maka peran pekerja sosial dalam bidang koreksional diantaraya: 1 Advokasi ketidaksetaraan hak bagi narapidana yang mengalami diskrimanasi oleh karena kaum minoritas. 2 Penyediaan pelayanan treatment atau intervensi terhadap narapidana yang terlibat dalam kasus penyalahgunaan substansi atau penyakit mental. 3 Memudahkan keterhubungan narapidana terhadap aksesibilitas dalam hal kesehatan, pengobatan, asupan gizi, perawatan, dan program rehabilitasi bagi narapidana 4 Mengidentifikasi kesempatan pendidikan dan pelatihan keterampilan yang tepat untuk membantu narapidana agar siap kembali beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat. 5 Advokasi dan pelayanan pekerjaan sosial untuk menegakkan kebijakan nasional dalam hal issu peradilan kriminal. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa pekerjaan sosial koreksional akan terkait dalam hal kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak, seperti halnya intervensi dan perawatan bagi narapidana yang mengalami penyakit mental bagi kesiapan mental anak didik, mengidentifikasi dan memudahkan aksesibilitas narapidana terhadap pelayanan kesehatan bagi kesiapan fisik anak didik, dan advokasi pelayanan pendidikan dan keterampilan, advokasi kebijakan, serta pelayanan bagi ketidaksetaraan bila 49 ada diskriminasi bagi kesiapan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Atas penelaahan lebih lanjut, Trygged dan Eriksson 2013 mengemukakan bahwa pekerja sosial berkaitan dengan anak berhadapan dengan hukum atau anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak memiliki beberapa peran yang terkait dengan pemenuhan hak dan kebutuhan anak selama berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak maupun ketika anak akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat selepas menjalani masa pembebasan, diantaranya: 1 Memberikan dukungan selama menjalani masa tahanan Keberadaan pekerja sosial untuk anak didik akan mempengaruhi keadaan mereka untuk menjadi lebih baik selama menjalani masa tahanan. Pekerja sosial dapat mengajukan dan mengerahkan pelayanan-pelayanan lainnya seperti halnya pendidikan dan keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk membuat masa penahanan dari anak didik menjadi lebih terarah. Bila memungkinkan, pekerja sosial juga dapat terlibat dalam hal keterhubungan dengan keluarga anak didik, seperti halnya memastikan kunjungan keluarga bagi anak didik atau komunikasi lainnya yang memungkinkan terjadi antara anak didik dengan keluarga. 2 Persiapan untuk masa pembebasan anak didik Dalam hal ini, peran pekerja sosial baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki peran yang penting oleh karena jarang ditemukan sistem atau lembaga tertentu yang menjalankan peran ini terkecuali bila ada peran dari NGO Non-Governmental Organization . Persiapan untuk masa pembebasan tidak hanya difokuskan pada anak dengan upaya untuk 50 memastikan bahwa prospek menjelang masa pembebasan dirinya bersifat positif seperti halnya melanjutkan pendidikan, pelatihan keterampilan, pekerjaan, namun juga bagaimana keterhubungan dirinya dengan keluarga, sehingga situasi rumah memungkinkan secara tepat bagi anak untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat, khususnya keluarga. 3 Memberi dukungan pasca pembebasan pada anak didik aftercare Dalam hal ini, perlu ditinjau terkait dengan persyaratan formal yang melekat pada narapidana anak selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Seperti halnya mengenai persyaratan dari anak didik yang menjalani masa Pembebasan Bersyarat, maka wajib bagi dirinya untuk melakukan apel atau pelaporan keberadaan diri kepada pihak Badan Pemasyarakatan setiap bulannya. Dalam hal ini, pekerja sosial memiliki tugas untuk mengawasi anak didik dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, ketersediaan dukungan dan nasihat dari pekerja sosial kepada anak didik akan tak terhingga untuk memungkinkan anak didik terhindar dari adanya gangguan atau dalam menjalankan aktivitasnya dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, keseluruhan lingkungan fisik dan sosial anak didik seperti halnya keluarga, teman sebaya, komunitas, ketersediaan sumber daya dan peluang, dan lain sebagainya akan mengalami perubahan selama anak didik menjalani masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak hingga akhirnya anak kembali dalam lingkungannya. Hal ini yang kemudian menjadi tugas bagi pekerja sosial untuk memberikan dukungan akan ketersediaan sumber daya maupun penerimaan dan dukungan dari lingkungan fisik dan sosialnya sehingga memungkinkan anak untuk kembali beraktivitas dalam masyarakat dan menghindari terjadinya kemungkinan anak beresiko menjadi residivis. 51 Berdasarkan penjabaran di atas mengenai peran pekerja sosial bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat disimpulkan bahwa pekerja sosial memiliki peran tidak hanya bagi anak selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, melainkan pekerja sosial juga memiliki peran untuk mendampingi anak ketika akan menjalani masa pembebasan menuju proses integrasi ke dalam masyarakat dan pasca pembebasan anak dalam kehidupan bermasyarakat. Peran pekerja sosial diantaranya yaitu memberikan dukungan kepada anak didik selama menjalani masa pembinaan berupa pengajuan maupun pengerahan pelayanan yang dibutuhkan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan dirinya sebagai seorang remaja dan berperan dalam hal pengawasan serta peningkatan keterhubungan kualitas dan kuantitas komunikasi anak dengan keluarga, baik melalui kunjungan keluarga maupun media komunikasi tidak langsung. Ketika akan menjalani masa pembebasan menuju proses integrasi ke dalam masyarakat, pekerja sosial tidak hanya fokus terhadap prospek masa depan anak menjelang masa pembebasan seperti halnya advokasi keberlanjutan pendidikan, pelatihan keterampilan, maupun pekerjaan, melainkan juga meninjau keterhubungan dirinya dengan keluarga sehingga memungkinkan anak untuk kembali ke dalam keluarganya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bila meninjau peran pekerja sosial menurut Trygged dan Eriksson 2013 pasca pembebasan, maka pekerja sosial berperan dalam hal pemberian dukungan aftercare untuk memberikan dukungan akan ketersediaan sumber daya maupun penerimaan dan dukungan dari lingkungan fisik dan sosialnya sehingga memungkinkan anak untuk kembali beraktivitas dalam masyarakat dan menghindari terjadinya kemungkinan anak beresiko menjadi residivis. Berkaitan dengan penelitian ini, peran yang dapat diambil oleh pekerja sosial dalam kaitannya dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus 52 anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah sebagai advokat, broker , motivator , dan fasilitator. Bila meninjau peran pekerja sosial sebagai advokat, maka keterlibatan pekerja sosial untuk mendukung pemenuhan kebutuhan dan hak anak didik dalam kehidupan bermasyarakat merupakan suatu hal yang penting mengingat anak juga memerlukan pemenuhan kebutuhan hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya, terlebih stigmatisasi dari masyarakat masih terbukti benar adanya. Peran pekerja sosial sebagai broker bukan hanya dijalankan ketika anak masih menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, melainkan penting kiranya pekerja sosial juga berperan ketika anak sudah menjalani masa pembebasan dalam kehidupan bermasyarakat. Pekerja sosial berperan untuk menghubungkan klien anak didik dengan sumber-sumber yang menyediakan pelayanan pemenuhan hak dan kebutuhan bagi dirinya. Dalam hal ini, pekerja sosial memiliki kerangka keterampilan body of skill yang dikenal dengan istilah establishing partnership dalam Wibhawa dkk 2010:50. Establishing Partnership dapat diartikan sebagai kemampuan pekerja sosial dalam mengajak klien maupun orang-orang atau sistem sosial yang terkait dalam usaha pemecahan masalah. Dalam hal ini, pihak yang terlibat dikenal sebagai sistem dasar pekerjaan sosial. Sistem dasar tersebut diantaranya: 1. Sistem klien, yaitu orang atau sekelompok orang yang bermasalah dan membutuhkan bantuan. 2. Sistem sasaran, yaitu orang atau orang-orang significant others yang harus diubah terlebih dahulu agar tujuan pemberian bantuan kepada sistem klien dapat tercapai. 3. Sistem kegiatan, yaitu orang atau lembaga yang karena kewenangannya atau kompetensinya diajak bekerjasama oleh pelaksana perubahan. 4. Sistem pelaksana perubahan, yaitu orang-orang di lembaga yang melaksanakan kegiatan pertolongan. 53 Pihak-pihak yang dapat dilibatkan oleh pekerja sosial dalam hal keterhubungan anak didik dengan sumber-sumber yang dapat menyediakan pemenuhan kebutuhan dan haknya dalam kaitannya dengan upaya dalam masa pembinaan terkait dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat diantaranya adalah anak didik, pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang meliputi Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Kepala Sub Seksi Pembinaan, Wali Pemasyarakatan, orang tua anak didik, teman sebaya, saudarakerabat dekat, masyarakat sekitar lingkungan Lembaga Pembinaan Khusus Anak maupun tempat tinggal anak didik, dan para profesional yang ahli dalam bidang anak dan koreksional. Namun, dalam hal keterhubungan anak didik dengan sumber daya yang berada di dalam masyarakat dalam hal pemenuhan kebutuhan dan haknya, maka sistem dasar pekerjaan sosial yang dapat dilibatkan diantaranya adalah anak didik sebagai mantan narapidana anak, keluarga, teman sebaya kelompok teman sebaya, pihak sekolah, instansi pemerintahan Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, pekerja sosial professional dan pekerja professional lainnya yang berfokus pada pemberian bantuan kemanusiaan, civitas akademika, pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan Badan Pemasyarakatan, tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini, sistem dasar pekerjaan sosial bukan hanya berperan bagi anak didik ketika masih menjalani masa pembinaan, melainkan juga memiliki peran untuk terlibat dalam persiapan anak didik menuju proses integrasi ke dalam masyarakat dan pasca pembebasan anak didik dalam kehidupan bermasyarakat. Pekerja sosial juga dapat berperan sebagai motivator kepada pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk memotivasi dan mendorong pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak meninjau kembali efektivitas pembinaan bagi anak didik sesuai dengan kebutuhan dan hak anak didik sebagai seorang 54 remaja agar kemudian dilakukan perencanaan tindak lanjut dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, mental, dan sosial yang lebih tepat bagi anak didik selama menjalani masa pembinaan ketika akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, maupun keterlibatan Lembaga Pembinaan Khusus Anak ketika anak sudah kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, ketersediaan dukungan atau motivasi bagi anak didik juga sangat diperlukan untuk memberikan kepercayaan diri dan penerimaan kembali bagi anak didik ketika akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa Lembaga Pembinaan Khusus Anak anak dapat ditinjau sebagai sebuah organisasi badan pelayanan manusiasosial yang dapat dikategorikan berdasarkan proses penanganannya. Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi badan dengan proses penanganan kuratifpenyembuhan. Lembaga Pembinaan Khusus Anak juga dapat dikatakan sebagai sebuah organisasi pelayanan bagi anak dengan perilaku menyimpang malfunctioning . Sebagaimana dikemukakan dalam The Encyclopedia of Social Work, 1995:1787 dalam Budhi Wibhawa, dkk, 2010, maka pengertian dari organisasi pelayanan sosial atau manusia yang patut diketahui oleh Pekerja Sosial diantaranya: a Melakukan pelayanan langsung kepada klien b “Bahan Mentah” nya adalah klien itu sendiri c Proses produksi intinya adalah hubungan antara pelaksana dan penerima pelayanan d Tujuannya bukan untuk menghasilkan keuntungan kepada “stakeholdersi”, melainkan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang dilayani. e Hampir semua Organisasi Pelayanan Sosial merupakan lembaga non- profit yang didanai baik oleh pemerintah maupun oleh donator swasta; walaupun dalam perkembangannya sudah mulai banyak praktik privat seperti praktik dokter dan pengacara. 55 Dalam hal menjalankan peran sebagai fasilitator, pekerja sosial dapat menjalankan perannya untuk mendampingi anak didik selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pekerja soial juga dapat berperan bersama anak didik dan pemangku kepentingan, baik dalam lingkup Lembaga Pembinaan Khusus Anak maupun dalam lingkungan fisik dan sosial masyarakat untuk merumuskan rencana tindak lanjut bagi anak didik, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan secara teknis terkait dengan keterlibatan sistem dasar pekerjaan sosial. Seorang remaja pada masanya akan mengalami perkembangan baik secara fisik, mental, maupun sosial yang akan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku dirinya dalam menghadapi proses kehidupannya. Dalam hal ini, remaja akan melewati masa remajanya dengan lingkungan sosial meliputi keluarga, teman sebaya ataupun masyarakat umum yang lebih luas baik secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh terhadap setiap kegiatan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Bila dalam tahap perkembangan ini remaja tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya untuk berkembang dalam upaya pencarian identitas diri, maka remaja akan cenderung memilih berperilaku menyimpang untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan dirinya dengan kenyataan yang ada. Setiap remaja memiliki hak yang sama untuk beraktivitas dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan status dan peran sosialnya, tidak terkecuali bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dalam hal ini, anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dipersiapkan dalam sebuah proses pembinaan dengan konsep pemasyarakatan. Namun, faktanya masih terdapat anak didik yang kembali melakukan tindak kejahatan atau perilaku menyimpang seusai menjalani masa 56 pembebasan dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang dalam hal ini dikenal dengan istilah residivis. Padahal, bila ditinjau anak didik diharapkan memiliki kesiapan baik dari segi fisik, mental, maupun sosial atas hasil pembinaan yang dijalankan di lembaga pembinaan khusus anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Bila meninjau atas dasar penelaahan teori, kesiapan anak didik untuk berintegrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan pembinaan fisik, mental, dan sosial yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang terkait dengan perkembangan fisik, mental, dan sosial dirinya sebagai seorang remaja selama menjalani masa pembinaan ketika akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Salah satu tahapan kegiatan pembinaan yang terkait dengan ketiga faktor diatas yaitu tahap pembinaan akhir atau tahap asimilasi bagi anak didik dengan 13 sisa masa tahanan. Pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak sebagaimana dikemukakan oleh Gultom 2008 berorientasi pada pembinaan fisik, mental, dan sosial yang sesuai dengan masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja. Dalam praktiknya, pembinaan tersebut akan berhubungan dengan empat komponen penting dalam prinsip pembinaan narapidana, yaitu diri sendiri anak didik, keluarga, masyarakat, dan petugas. Sehingga, diharapkan pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak didasarkan atas partisipasi anak didik dan lingkungan sosialnya untuk mengadakan perubahan ke arah yang lebih positif. Kesiapan fisik bagi anak didik akan terkait dengan keadaan siap anak didik untuk melakukan aktivitas dengan kesehatan fisik dalam keadaan baik, dalam arti kondisi fisik yang sehat dan secara klinis juga tidak dinyatakan mengalami suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh, sehingga diharapkan 57 anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat menggunakan seluruh kemampuan dan fungsi tubuhnya untuk beraktivitas kembali secara optimal. Kesiapan mental akan terkait dengan pembinaan mental yang dilaksanakan di lembaga pembinaan khusus anak. Kesiapan mental bagi anak didik akan terkait dengan kematangan emosional, penanganan diri melalui aktivitas spiritual dan pemenuhan kebutuhan sosial, kepercayaan diri, dan kecemasan dirinya dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Kesiapan sosial bagi anak didik remaja dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat terkait dengan kemampuan dirinya untuk mengadakan kembali hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang terkait dengan penyesuaian diri, pemenuhan kebutuhan sosial dalam pelaksanaan pembinaan sosial di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, komunikasi antara anak didik dengan keluarga. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, kesiapan bagi anak didik akan terkait dengan pelaksanaan pembinaan fisik, mental, dan sosial, serta tanggapan masyarakat sebagai sebuah bentuk penerimaan atau penolakan akan kehadiran anak didik selepas menjalani masa pembebasan dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Berdasarkan uraian lengkap yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai kesiapan fisik, mental, dan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak terkait dengan tahap perkembangan diri remaja dan pembinaan akhir di lembaga pembinaan khusus anak, maka peneliti menggunakan konsep kesiapan terkait dengan pembinaan fisik, mental, dan sosial yang dikemukakan oleh Gultom 2008 dan teori perkembangan remaja terkait dengan kesiapan fisik, mental, dan sosial untuk dijadikan fokus penelitian guna menjawab pertanyaan penelitian yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya. Berdasarkan pemaparan masalah di atas mengenai kesiapan fisik, mental, dan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang terkait 58 dengan proses pembinaan dalam kaitannya dengan perkembangan remaja, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mendalam di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung sebagai salah satu lembaga penangananan pusat bagi anak berhadapan dengan hukum di Jawa Barat. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dapat dijadikan objek penelitian karena selain merupakan lembaga pusat penanganan bagi anak berhadapan dengan hukum di Jawa Barat yang telah menerima anak didik mutasi, jumlah anak didik yang ditangani pun dari setiap periode bulannya mengalami peningkatan. Selain itu, Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung juga memiliki beberapa kegiatan pembinaan yang berorientasi kepada pembinaan fisik, mental, dan sosial dalam konsep pemenuhan hak anak sebagai seorang remaja yang memiliki kebutuhan untuk berkembang. Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dengan informan pihak lembaga selaku pemberi layanan dalam rangkaian kegiatan pembinaan bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak, anak didik residivis Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan 13 sisa masa tahanan yang sedang menjalankan masa tahap asimilasi, serta masyarakat sekitar tempat tinggal informan anak didik. Dalam penelitian ini difokuskan kepada anak didik dengan 13 sisa masa tahanan dengan tujuan agar mendapatkan informasi secara langsung dari anak yang sedang menjalani tahap asimilasi sebagai proses untuk mempersiapkan dirinya baik secara fisik, mental, dan sosial menjelang masa pembebasan menuju proses integrasi ke dalam masyarakat. Adapun pemilihan informan yang dikenai kasus residivis adalah karena informan memiliki pengalaman lebih akan proses integrasi ke dalam masyarakat sebelum dirinya menjalani kembali masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Adapun keterkaitan ini dapat digambarkan secara sederhana melalui kerangka pemikiran: 59 Gambar 2.1 Bagan Kerangka Alur Pemikiran Berdasarkan alur berfikir tersebut, maka dapatlah dibangun asumsi- asumsi berkenaan dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Asumsi pertama bahawa kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang dijalankan bagi anak didik dan masa perkembangannya sebagai seorang remja. Selanjutnya kesiapan bagi anak didik dapat terbagi menjadi kesiapan fisik, mental, dan sosial. Hal ini terkait dengan empat komponen penting dalam prinsip pembinaan narapidana, yaitu diri sendiri anak didik LPKA, keluarga, masyarakat, dan petugas. Kesiapan fisik bagi anak didik akan terkait dengan keadaan sehat jasmani dan secara klinis tidak mengalami gangguan fungsi tubuh. Kesiapan mental bagi anak didik akan terkait dengan kematangan emosional, penanganan diri melalui aktivitas spiritual dan pemenuhan Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat Perkembangan Remaja Kesiapan fisik anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat Kesiapan mental anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat Kesiapan sosial anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat Pembinaan - Fisik - Mental - Sosial Pembinaan Tahap Akhir 60 kebutuhan sosial, kepercayaan diri, dan kecemasan dirinya dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Kesiapan sosial bagi anak didik akan terkait dengan penyesuaian sosial anak didik, komunikasi antara anak didik dengan keluarga, pemenuhan kebutuhan sosial anak. Kesiapan bagi anak didik akan terkait pula oleh tanggapan masyarakat bagi anak didik selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Anak didik residivis cenderung tidak terlibat dalam kegiatan bermasyarakat, kembali bersama teman-teman yang membawa pengaruh negatif bagi dirinya, hubungan dengan keluarga yang tidak harmonis, dan memiliki rasa cemas, tidak percaya diri, dan ketidakstabilan emosional diri dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Tanggapan masyarakat cenderung masih memiliki stigma terhadap anak didik sebagai mantan narapidana anak. 61 5 MODEL PENELITIAN LAPANGAN DALAM KASUS UNTUK ANAK DIDIK LPKA A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, karena peneliti meninjau bahwa metode ini tepat untuk menjawab dan menggambarkan permasalahan berdasarkan fakta-fakta yang ada untuk kemudian diambil kesimpulan berdasarkan hasil analisis data tersebut, serta menggambarkan hubungan antar fenomena yang terjadi dalam kaitannya dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat 1981 bahwa metode deskriptif digunakan untuk mempelajari masalah-masalah yang ada dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat pada situasi tertentu, termasuk hubungan- hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung. Tujuan peneliti dalam menggunakan metode penelitian deskriptif ini juga untuk memperoleh data yang lengkap dan tepat, yang ada pada kondisi sekarang dan merupakan suatu masalah yang terus berkembang keberadaannya secara faktual. Hal ini sesuai dengan pendapat Surakhmad 1980 bahwa penelitian deskriptif tertuju pada masa sekarang dan masa-masa aktual. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. 62 Dalam penggunaan metode deskriptif, peneliti juga menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, peneliti bermaksud mengetahui sejauh mana kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat sesuai dengan kondisi dirinya saat ini dan dapat memberikan keterangan informasi yang luas dan mengandung makna. Sebagaimana dikemukakan oleh Creswell 2007 bahwa: “Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif itu melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur untuk mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema khusus ke tema-tema umum dan menafsirkan makna data. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar alamiah, sehingga peneliti nantinya dengan sistematis dan lengkap menggambarkan hubungan antara teori dengan fakta-fakta di lapangan mengenai kesiapan anak didik dengan 13 sisa masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini diperkuat oleh Creswell 2013 yang mengemukakan bahwa dalam karakteristik dalam pendekatan kualitatif ialah para peneliti kualitatif cenderung mengumpukan data di lapangan di lokasi dimana para partisipan mengalami isu atau masalah yang akan diteliti. Informasi yang dikumpulkan dengan berbicara langsung kepada orang-orang dan bertingkah laku dalam konteks natural. Dalam hal ini, peneliti kualitatif biasanya memilih mengumpulkan data dari beragam sumber, seperti wawancara, observasi, dan dokumentasi ketimbang hanya bertumpu pada satu sumber data saja. Pendekatan kualitatif juga memiliki karakteristik pandangan 63 menyeluruh yaitu para peneliti kualitatif berusaha membuat gambaran kompleks dari suatu masalah atau isu yang diteliti. Dengan demikian, peneliti meninjau bahwa pendekatan kualitatif tepat digunakan untuk melakukan penelitian terkait dengan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat karena dalam hal ini memerlukan pandangan secara holistik atau menyeluruh yang akan melibatkan berbagai aspek atau faktor terkait dengan kesiapan anak didik dan juga didukung oleh hasil dari berbagai sumber data terkait melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi sehingga tidak hanya terfokuskan pada satu sumber saja. Peneliti juga memerlukan pengumpulan data langsung di lapangan guna meninjau secara langsung melalui observasi terkait dengan kondisi yang ada saat ini secara holistik.

B. Teknik Penelitian