92
C. Kesiapan Mental
1 Kematangan Emosional Anak Didik
Dalam menjalankan tugasnya, asisten wali pemasyarakatan biasanya mengunjungi asrama anak didik setiap hari untuk memantau perkembangan
perilaku dan kepribadian diri anak didik melalui pengamatan perilaku dan obrolan seputar aktivitas keseharian anak didik. Namun, aktivitas tersebut tidak
rutin dijalankan setiap hari, melainkan ketika ada waktu senggang diantara keduanya.
Sebagian besar informan petugas mengemukakan bahwa hal yang paling sering ditanyakan oleh anak didik pada umumnya maupun anak didik
residivis kepada asisten wali pemasyarakatan yaitu seputar pembebasan bersyarat, masa 23 tahanan, remisi anak, dan permasalahan seputar
pembebasan.Anak didik residivis jarang menceritakan secara terbuka mengenai aktivitas kesehariannya di lembaga pembinaan khusus anak.Asisten wali
pemasyarakatan mengemukakan bahwa dirasa masih ada keengganan dan keraguan dari anak didik pada umumnya maupun residivis untuk menceritakan
kehidupan pribadinya selama menjalani masa tahanan kepada petugas walaupun kedekatan dan kenyamanan dalam berkomunikasi sudah diciptakan
diantara keduanya.Informan anak didik residivis mengemukakan bahwa hal yang membuat dirinya enggan untuk berbicara mengenai keseharian dirinya
selama menjalani masa tahanan kepada petugas adalah ketakutan akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjalani masa remisi dan pembebasan
bersyarat. Hal ini menjadi salah satu alasan karena salah satu syarat untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat adalah berkelakukan baik.
Sehingga, anak didik memilih untuk tertutup dalam hal kepentingan pribadinya
93
dan lebih menyukai untuk menceritakan hal-hal yang bersifat umum dalam kaitannya dengan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Sebagian besar informan anak didikresidivis juga mengemukakan bahwa dirinya tidak pernah menceritakan tentang kesehariannya bersama
teman-teman di dalam asrama kepada petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Asisten Wali Pemasyarakatan menyadari bahwa solidaritas diantara
mereka sangat kuat, sehingga bila ada masalah pun tidak pernah ada yang berani melaporkan, penyelesaian permasalahan tersebut ditangani oleh diri
mereka sendiri.Hal ini didukung oleh sebagian besar informan dari anak didik bahwa bila ada masalah, mereka berupaya untuk menyelesaikannya sendiri
tanpa sepengetahuan petugas.Biasanya jika ada permasalahan di dalam asrama, tamping RW anak didik yang diberikan wewenang untuk bertanggungjawab
atas sebuah asrama memiliki peran yang penting untuk menanganinya sebelum ditangani oleh petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Namun,
bila permasalahan yang dihadapi oleh anak didik melampaui batas pengendalian emosionalnya, maka biasanya anak didik akan bertindak kasar
dengan memukul temannya. Hal ini terkadang menjadi sebuah perkelahian besar, namun masih dapat dikendalikan oleh teman satu asrama yang menjabat
sebagai ketua asrama sebelum ditangani oleh petugas secara langsung yang akan berdampak pada pengurangan masa remisi terhadap anak didik.
Pemberian pelayanan pembinaan dalam bentuk kegiatan pelatihan keterampilan diikuti sebagai bentuk pilihan minat dan bakat bagi seluruh anak
didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Sebagian besar informan anak didik residivis mengakui bahwa salah satu hal yang mendasari dirinya tidak
mengikuti banyak kegiatan adalah adanya rasa malas karena umur dirinya sudah tergolong cukup dewasa bagi dirinya untuk mengikuti kegiatan tersebut
bersama anak-anak lainnya yang masih berada dibawah umurnya. Dalam hal
94
ini, anak didik residivis cenderung untuk memiliki teman dekat dengan sesama anak didik yang sudah lama tinggal di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
dalam umur yang sama dan jarang berbaur dengan anak didik baru.Mayoritas anak didik residivis menganggap bahwa dirinya merupakan anak didik senior
yang bertugas untuk menjaga keberadaan anak didik baru lainnya. Dalam hal ini, anak didik residivis biasanya berbaur dengan anak didik baru untuk
berdiskusi mengenai tata cara dan etika bergaul di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Sebagian besar informan petugasmengemukakan bahwa perencanaan anak didik selepas dari keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah
keinginan untuk bekerja.Namun, diketahui dari sebagian besar informan teman-teman dari anak didik residivis, mayoritas pelaku residivis telah
merencanakan kembali untuk melakukan tindak kejahatan, baik dalam kasus serupa maupun berbeda atas pengetahuan yang didapat dari teman-teman
sesama anak didik. Bila ada permasalahan selama menjalani masa pembinaan, mayoritas
informan anak didik residivis mengemukakan bahwa mereka peka akan yang mereka rasakan, namun cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka,
sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Biasanya permasalahan yang mempengaruhi kepekaan emosional diri mereka adalah kondisi kekerabatan
dengan temannya bila mengalami permasalahan, menghadapi persepsi emosional diri akan tanggapan atau stigma negatif dari petugas terhadap
dirinya, dan pemikiran akan stigmatisasi negatif dari masyarakat bila dirinya akan kembali dalam kehidupan bermasyarakat selepas menjalani masa
pembebasan. Bila mengalami permasalahan dengan temannya, anak didik memberikan respon atau tanggapan emosional yang berbeda. Terkadang tidak
mempedulikan dengan sikap acuh agar tidak terjadi keributan diantara
95
keduanya dan terkadang pula langsung bertindak secara emosional dengan melampiaskan kemarahan atau bertidak kasar secara fisik. Namun, sebagian
besar informan anak didik mengemukakan bahwa jika berada dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak dirinya cenderung untuk memilih diam daripada
bertindak emosional oleh karena adanya aturan berkelakuan baik agar mendapatkan remisi atau pembebasan beryarat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berdasarkan pengalaman pribadi ketika pertama kembali ke masyarakat, sebagian besar informan anak didik
residivis cenderung memilih untuk menghindari masyarakat dengan berdiam diri di rumah atau memilih untuk menjauh meninggalkan lingkungan sekitar
rumahnya untuk bermain bersama teman-temannya. Namun, sebagian besar informan anak didik residivis mengemukakan bahwa jika ada masyarakat yang
memberikan respon negatif akan keberadaan dirinya, maka mereka cenderung akan bertindak secara emosional karena ketidakberdayaan diri untuk menerima
tanggapan negatif tersebut yang membuat dirinya merasa tidak enak. Tanggapan emosional yang biasanya diberikan oleh anak terhadap masyarakat
berupa perlawanan secara langsung ataupun tanggapan emosional diri berupa dendam dan sakit hati. Informan anak didik residivis masih menganggap
bahwa masyarakat mengganggap dirinya negatif, sehingga mereka menganggap bahwa masyarakat adalah hal yang perlu dihindari oleh dirinya.
2 Aktivitas Spiritual Anak Didik Staf pembinaan mengemukakan bahwa salah satu tujuan dari
diadakannya pembinaan dalam bentuk kegiatan spiritual seperti pesantren setiap harinya, ditujukan agar anak didik mendapatkan pengetahuan akan
pertahanan diri. Pesantren diharapkan dapat memberikan pengetahuan agama bagi anak didik yang dapat dijadikan sandaran bagi pertahanan dirinya ketika
96
akan menghadapi kehidupan bermasyarakat kembali selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Pembinaan mental yang diberikan bagi anak didik diantaranya difokuskan dalam beberapa kegiatan.Pesantren merupakan salah satu bentuk
kegiatan pembinaan mental yang ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas spiritual bagi anak didik.Kepala Sub Seksi Pembinaan mengemukakan
bahwa hal ini menjadi penting sebab bila peran dan fungsi keluarga dalam hal pola pengasuhan tidak berjalan optimal, maka diharapkan pesantren dapat
menjadi salah satu media untuk mendidik anak didik menjadi lebih baik dalam hal pola pemikiran dan tingkah laku yang didasarkan atas kepercayaan
terhadap agamanya.Begitupula dengan kegiatan konseling yang diadakan atas kerjasama antara wali pemasyarakatan dengan pihak civitas akademika dan
LAHA Lembaga Advokasi Hak Anakdalam kurun periode waktu tertentu untuk memberikan pelayanan konseling pribadi dan terapi bagi anak dalam
meningkatkan kualitas kesiapan mental dirinya. Mayoritas informan dari anak didik residivis mengemukakan bahwa
kualitas dan kuantitas spiritual dirinya meningkat dibandingkan dengan sebelum menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kelas II Bandung. Kualitas spiritual setiap anak didik pun berbeda bila ditinjau dari latar belakang tempat tinggal anak didik. Informan mengemukakan bahwa
kualitas spiritual dari teman-temannya yang berasal dari wilayah pedesaan atau kabupaten lebih baik dibandingkan dengan anak didik yang berasal dari
perkotaan. Anak didik yang memiliki kualitas peribadatan yang lebih dibandingkan teman-teman anak didik lainnya diminta untuk membimbing
teman lainnya bila mengalami hambatan untuk beribadah. Sebagian informan juga mengemukakan bahwa kualitas hubungan antara anak didik dengan
pembimbing mentor agama juga terbilang dekat. Bahkan, mayoritas informan
97
anak didik mengemukakan bahwa teman-temannya yang sudah menjalani masa pembebasan masih melakukan komunikasi tidak langsung melalui media
telekomunikasi
handphone
kepada mentor agamanya tersebut untuk menanyakan kabar atau memberi salam. Namun, dalam hal ini sebagian besar
anak didik residivis lebih sering dibimbing oleh teman sesama anak didik dalam hal kegiatan spiritual dibandingkan membimbing teman anak didik
lainnya. Namun, sebagian besar informan anak didik residivis mengemukakan
bahwa kuantitas dirinya dalam beribadah lebih sering dilakukan ketika berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dibandingkan waktu di rumah, hal ini
disebabkan karena kegiatan ibadah dirinya selama berada di rumah tidak menjadi perhatian orangtuanya dan keterlibatan anak dalam acara keagamaan
di sekitar rumahnya jarang diikuti oleh karena rasa malu akan statusnya sebagai mantan narapidana anak. Begitupula ketika berada di rumah, anak
cenderung diam di rumah atau bermain bersama teman sebayanya dibanding melakukan kegiatan keagamaan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh anak
didik, namun ketidakterlibatan anak didik dalam kegiatan keagamaan di lingkungan sekitar masyarakatnya juga disebabkan karena anak didik tidak
pernah diajak oleh anggota masyarakat untuk turut serta berpartisipasi karena sebagian informan anak didik residivis mengemukakan bahwa interaksi sosial
yang terjadi diantara mereka terbilang jarang.
3 Kecemasan Anak Didik Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke
Dalam Masyarakat
Informan dari asisten wali pemasyarakatan yang juga memiliki tugas sebagai staf pembinaan mengemukakan bahwa anak didik tidak pernah
menceritakan tentang kehidupan pribadinya.Petugas mengakui bahwa masih
98
terdapat keengganan dari anak didik untuk terbuka yang diduga dikarenakan rasa malu, takut, dan riskan.Asisten wali pemasyarakatan mengemukakan
bahwa kecemasan pada anak didik biasanya terjadi pada anak dengan kasus pembunuhan, asusila, dan penganiayaan yang menimbulkan korban.Hal ini
didasarkan atas keluhan yang sering diutarakan oleh anak didik ketika menjalani masa tahanan.Kecemasan yang diderita seringkali berbentuk
kegelisahan dirinya dalam bentuk mimpi tentang pengalaman buruk dan korbannya. Namun, informan anak didik residivis yang dalam hal ini tidak
terlibat dalam kasus yang menimbulkan korban juga mengalami kecemasan ketika akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.
Namun, hal ini ditangani dengan adanya jaminan perlindungan hukum yang akan diberikan setelah anak didik menjalani masa pembebasan. Hal ini
didukung oleh peran Badan Pemasyarakatan dalam meninjau keberadaan anak didik selama berada di masyarakat, namun hanya anak didik yang menjalani
masa pembebasan bersyarat saja yang ditinjau keberadaannya oleh Badan Pemasyarakatan.Sedangkan, anak didik yang menjalani masa bebas murni
tidak akan mendapatkan masa perlindungan dan pemantauan oleh Badan Pemasyarakatan oleh karena sudah menjalani masa tahanan sesuai dengan
hukuman yang telah dijatuhkan. Namun, informan anak didikreidivis mengemukakan bahwa saat pertama kali menjalani masa pembebasan, dirinya
mendapatkan pembebasan bersyarat dan dalam pengawasan Badan Pemasyarakatan.
Perlindungan yang diberikan kepada anak didikbukan hanya ketika anak didik sudah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak oleh Badan
Pemasyarakatan, namun ketika berada dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak pun anak didik dapat mengajukan perlindungan kepada pengacara untuk
memantau perkembangan
kondisi dirinya
selama menjalani
masa
99
tahanan.Dalam hal ini, bagi keluarga yang mampu dapat menggunakan jasa pengacara untuk memantau kondisi anaknya selama menjalani masa
tahanan.Namun, pada saat ini tidak ada anak didik yang memakai jasa pengacara untuk memantau perkembangan dirinya selama menjalani masa
pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Dalam hal ini, anak didik residivis jarang menceritakan mengenai
kecemasannya kepada petugas. Hal yang membuat cemas pada dirinya adalah akan stigmatisasi negatif dari masyarakat yang membuat dirinya enggan untuk
melakukan kegiatan produktif dalam masyarakat dan memilih untuk diam di rumah atau menghindar dengan memiliki tempat tinggal yang baru karena
didukung oleh keluarga. Keterbatasan anak didik untuk bercerita kepada petugas juga karena dinilai petugas tidak dapat menanganinya bila anak didik
pun menceritakan yang menjadi kegelisahan dirinya, hal ini karena hanya berhubungan antara dirinya dengan masyarakat. Beberapa anak didik juga
mengemukakan bahwa dirinya merasa cemas ketika akan kembali ke masyarakat untuk yang kedua kalinya karena pada saat pertama kali anak didik
pernah melakukan tindakan emosional yang berdampak terhadap masyarakat. Sebagian besar informan anak didik residivis sering mengalami gangguan
pikiran sehingga dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan kadang tidak bisa berkonsentrasi penuh dan memiliki gangguan pada daya ingat. Mayoritas
informan anak didik residivis jarang mengalami gangguan pola tidur oleh karena pengaturan waktu istirahat yang cukup. Namun, mayoritas anak didik
residivis sering mengalami gangguan fisik sebagai salah satu tanda dari adanya kecemasan berupa telinga yang sering berdenging, berdebar-debar, dan sakit
kepala.
100
4 Kepercayaan Diri Anak Didik Dalam Menghadapi Proses Integrasi
ke Dalam Masyarakat
Mayoritas informan anak didik mengakui bahwa dirinya merasa takut untuk kembali ke masyarakat dengan alasan masyarakat tidak akan menerima
dirinya kembali, menjauhi, dan memberikan stigma negatif terhadap dirinya. Sebagian besar informan anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya
tidak akan lagi tinggal di daerah asal tempat tinggalnya. Hal ini bukan saja terencana dan terlaksana atas kehendak pribadi, melainkan juga bentuk
keputusan keluarga.Hal ini didasarkan atas pengalaman pertama dirinya ketika menjalani masa pembebasan selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus
Anak. Hal yang direncanakan anak didik selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah pindah tempat tinggal dimana masyarakat di
lingkungan barunya diharapkan belum mengenal siapa dirinya, sehingga informan dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari dengan lebih produktif.Hal
yang membuat dirinya tidak percaya diri bukan hanya soal sulitnya mencari pekerjaan, namun informan menilai bahwa gerak-gerik dirinya sebagai anggota
masyarakat sudah tidak lagi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Mayoritas anak didik mengemukakan bahwa mereka kadang memiliki
ketidakpercayaan diri terhadap dirinya sendiri. Seringkali mereka menyebut dirinya sendiri dan teman-temannya sebagai anak nakal. Sehingga ketika
proses diskusi berlangsung, seringkali anak didik membenarkan apa yang terjadi dalam proses pembinaan dikarenakan menganggap bahwa hal tersebut
wajar dilakukan oleh anak yang nakal. Ketidakpercayaan diri anak terhadap dirinya sendiri menjadikan anak didik residivis bersikap sebagaimana
pemikiran dirinya terhadap pandangan orang lain akan dirinya. Hal ini menunjukkan bahwa anak didik belum mengalami penerimaan diri yang baik
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bila diberikan pertanyaan
101
mengenai kelebihan dan kekurangan, anak didik residivis cenderung untuk mengemukakan kekurangan dirinya dibanding kelebihan pada dirinya.
Bila meninjau akan kepercayaan anak didik untuk kembali ke masyarakat, mayoritas informan anak didik residivis mengemukakan bahwa
dirinya sudah memiliki tempat tinggal baru dari daerah asalnya. Dalam hal ini, diketahui bahwa informan pertama akan pindah ke kota lain tempat kakaknya
bekerja, informan kedua akan pindah ke daerah lain untuk tinggal bersama istrinya dimana warga disana tidak mengetahui status dirinya sebagai mantan
narapidana anak, sedangkan informan ketiga berencana untuk pindah ke luar provinsi bersama keluarganya setelah beberapa kali pindah rumah selepas
keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak dikarenakan rasa malu keluarga dan ketidakberdayaan informan untuk kembali beraktivitas dalam lingkungan
masyarakat yang sama. Sebagian besar informan anak didik residivis mengemukakan bahwa
masyarakat sekitar tempat tinggal mereka tidak mengetahui keberadaan dirinya saat ini di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Informan anak
didik residivis mengemukakan bahwa salah satu alasan yang digunakan oleh keluarga untuk mengemukakan keberadaan anak didik adalah sedang bekerja
di luar kota. Bila meninjau dari alasan yang dikemukakan oleh informan anak didik residivis mengenai ketidaktahuan masyarakat akan keberadaan dirinya di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk yang kedua kali diantaranya diantaranya lingkungan sosial yang juga bersifat negatif dimana mayoritas
penduduknya juga memiliki perilaku menyimpang sehingga etika dan norma sosial mulai tidak dipedulikan, keluarga yang mendukung anak dengan tidak
memberitahukan keberadaan anak dan menyebarkan informasi yang bersifat positif seputar anak, tempat tinggal informan merupakan daerah yang baru saja
ditempati oleh informan dan keluarga setelah sebelumnya pindah dari daerah
102
asal ketika keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak sehingga masyarakat tidak begitu mengetahui dan mengenal satu sama lain secara lebih dalam, dan
kondisi keluarga yang tertutup sehinga jarang terjadi interaksi sosial dengan masyarakat sekitar.
Sebagian besar informan mengemukakan bahwa pembinaan yang telah ia jalankan selama menjadi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
banyak berpengaruh terhadap peningkatan kuantitas peribadatan dan memiliki keterampilan lebih. Informan mengemukakan bahwa hal tersebut sepenuhnya
tidak menjadi penjamin bahwa dirinya siap kembali ke masyarakat.Informan anak didik memiliki pandangan bahwa hal ini tergantung kepada setiap anak
didik, pembinaan yang dilakukan dinilai tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kepercayaan dirinya untuk menghadapi pandangan dan sikap
negatif masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pandangan dan sikap negatif dari masyarakat terhadap dirinya ketika
pertama kali menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat dirasa oleh informan sebagai hal yang membuat dirinya tidak lagi mampu untuk bersikap
produktif di tengah kehadiran masyarakat.Beberapa sikap masyarakat yang tengah membuatnya merasa rendah diri dapat berupa cemoohan, gosip antar
warga, maupun bentuk tindakan langsung dari warga yang menanyakan secara langsung kejadian yang terjadi untuk mengetahui lebih dalam.Hal ini membuat
informan anak didik residivis merasa tertekan dan mengganggap bahwa masyarakat di sekitarnya tidak memiliki kepedulian yang baik terhadap dirinya
ketika keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Berdasarkan pengalaman pribadi selepas keluar dari Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, mayoritas informan anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya pernah melakukan perilaku menyimpang
terhadap anggota masyarakat yang memberikan tanggapan negatif atas
103
keberadaan dirinya. Hal ini didasarkan atas penilaian informan bahwa masyarakat sekitar rumahnya sangat membuat dirinya merasa putus asa, rendah
diri, dan tidak berdaya.Alhasil, oleh karena tidak bisa mengendalikan emosinya, salah seorang informan menceritakan bahwa dirinya sempat
melakukan tindak kekerasan pada sekelompok ibu-ibu yang sedang membicarakan dirinya dan mengakibatkan adanya perkelahian antar
warga.Informan juga menceritakan bahwa dirinya pernah membakar salah satu rumah warga yang diketahui sebagai biang gossip mengenai dirinya dan
mengancam keluarganya, namun hal ini tidak diketahui oleh warga bahwa pelaku pembakaran rumah tersebut adalah dirinya.
Mayoritas informan anak didik residivis mengakui bahwa umur yang tercantum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung tidak sesuai
dengan yang sebenarnya, informan mengakui bahwa dirinya memakai akta palsu untuk masuk ke dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II
Bandung.Alasan utama dirinya memakai akta palsu adalah agar hukuman yang diberikan kepadanya hanya ½ dari yang seharusnya diberikan dan tidak dikenai
denda uang. Namun, hal ini diakui juga menjadi salah satu alasan mengapa informan berani melakukan tindak kejahatan kembali selepas keluar dari
Lembaga Pembinaan Khusus Anak karena masa hukuman yang dibebankan tidak begitu berat baginya.Dalam hal ini, pembuatan dan pemakaian akta palsu
tersebut diketahui dan didukung atas kerjasama dengan pihak keluarga. Mayoritas informan anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya
tidak mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya. Ketika menyebutkan kelebihan dan kekurangan dirinya terkadang anak didik hanya memberikan
jawaban bahwa dirinya biasa saja, tidak memiliki kelebihan. Mayoritas informan anak didik enggan untuk mengemukakan hal yang menjadi kelebihan
atau potensi dirinya. Kesadaran akan kelebihan dan kekurangan diri anak didik
104
masih rendah, hal ini juga terkait dengan kondisi dirinya yang masih belum memiliki penerimaan diri yang baik sebagai seorang anak didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak.
5 Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan Mental di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kepala Sub Seksi Pembinaan mengemukakan bahwa pembinaan yang dilaksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung berfokus
pada pembinaan mental melalui kegiataan keagaaman dalam bentuk pesantren bagi anak didik.Hal ini disebabkan karena salah satu faktor yang akan
mendukung reintegrasi anak kembali dalam kehidupan bermasyarakat adalah kesiapan mental yang baik. Kepercayaan diri dan kesiapan mental seperti
penanganan rasa cemas dan takut menjadi salah satu hal yang perlu dipersiapkan selama menjalani masa pembinaan sebelum kembali ke dalam
kehidupan bermasyarakat. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung juga pernah
bekerjasama dengan
Kementrian Sosial
dalam rangka
pembinaan mental.Dalam kurun waktu tertentu, Kementrian Sosial mendatangi Lembaga
Pembinaan Khusus Anak untuk memberikan pelatihan maupun kegiatan dengan tujuan untuk membangun dinamisasi sosial dan hubungan komunikasi
yang baik sesama anak didik lembaga pembinaan khusus anak maupun dengan petugas.
Sebagian besar informan petugas mengemukakan bahwa stigma negarif yang diberikan oleh masyarakat terhadap anak didik tidak bisa ditangani dalam
waktu yang singkat.Diperlukan upaya koordinasi dari seluruh pihak untuk siap menerima kembali keberadaan mantan narapidana anak dalam kehidupan
bermasyarakat, baik dari lingkungan sosial primer yaitu keluarga, teman sebaya, sampai kepada tingkat pemerintah daerah setempat.
105
Pembinaan mental yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung belum didasarkan atas kemauan dari anak didik secara
mandiri, melainkan menjadi kebutuhan dan kepentingan anak didik untuk dapat mengikuti kegiatan pembinaan mental yang dijalankan. Seperti halnya kegiatan
pesantren yang wajib diikuti oleh anak didik sebagai salah satu rangkaian kegiatan pembinaan mental dan juga bimbingan konseling yang diadakan oleh
civitas akademika dalam periode waktu tertentu untuk mengetahui perkembangan psikis anak didik selama menjalani masa pembinaan yang
diperuntukkan untuk bahan laporan dan evaluasi hasil perkembangan anak didik selama menjalani masa pembinaan, namun hal ini juga didasarkan atas
kepentingan pihak civitas akademika dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan bukan didasarkan atas kemauan dari anak didik untuk melakukan
konsultasi terkait dengan dirinya.Dalam hal ini, Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung telah bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta civitas akademika untuk membantu menjalankan program yang akan dilaksanakan dalam
beberapa kegiatan bagi anak didik, baik dalam upaya pembinaan fisik, mental, maupun sosial.
Evaluasi terhadap pelaksanaan pembinaan mental yang sudah dijalankan belum ada.Hanya saja petugas selalu memantau setiap harinya
perkembangan anak didik untuk setiap kegiatan pembinaan yang dijalankan.Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung bekerjasama
dengan Kementrian Sosial dalam rangka pembinaan mental.Pemantauan oleh petugas terhadap kondisi emosional anak didik dilakukan dengan mengamati
pola perilaku yang tampak pada anak didik dalam kegiatan pembinaan sehari- hari. Namun, dalam hal perkembangan emosional secara psikis, pihak
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung bekerjasama dengan civitas akademika atau lembaga swadaya lainnya untuk meneliti akan
106
perkembangan psikis anak didik selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Kegiatan pembinaan
dalam membangun mental akan kepercayaan diri dan menangani kecemasan secara khusus belum ada dalam kegiatan rutin yang diadakan oleh Lembaga
Pembinaan Khusus Anak, hanya saja hal ini termasuk ke dalam kegiatan dalam kurun waktu tertentu yang didasarkan atas hasil kerjasama pihak Lembaga
Pembinaan Khusus Anak dengan pihak luar.
6 Tanggapan Masyarakat Akan Kesiapan Mental Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Pembinaan yang dijalankan dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung difokuskan pada pembinaan mental oleh karena untuk
mempersiapkan anak kembali ke dalam masyarakat ketika sistem di luar kendali Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak bisa menerima keberadaan
mereka sebagai mantan narapidana anak. Sebagian besar informan petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak mengemukakan bahwa masyarakat sebagai
sebuah sistem yang memberikan tanggapan terhadap mantan narapidana anak di masyarakat tidak bisa ditangani dalam waktu yang singkat.
Stigmatisasi dari masyarakat masih ada akan keberadaan mantan narapidana untuk memiliki kemungkinan menjadi anak didik residivis masih
ada. Hal ini dipercaya oleh sebagian besar informan anggota masyarakat akan terjadi bila anak kembali ke dalam keluarga yang tidak memperhatikan
keberadaan dirinya dalam pemenuhan hak dan kebutuhannya dengan baik, kembalinya anak ke dalam pergaulan teman-teman sebayanya yang membawa
pengaruh negatif akan kemungkinan anak beresiko menjadi anak nakal kembali, dan diri anak sendiri yang memang sulit untuk kembali ke dalam
perilaku yang diharapkan oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
107
Ketidaktahuan masyarakat akan kesiapan mental anak didik juga dikarenakan perasaan cemas, takut, dan sisi emosional anak tidak diketahui
secara tampak. Sehingga, dalam hal ini sebagian informan anggota masyarakat mengemukakan bahwa dirinya tidak mengetahui harus bersikap bagaimana
terhadap mantan narapidana anak. Hal ini juga didasarkano oleh ketidakterbukaan diri anak terhadap masyarakat. Mayoritas informan anggota
masyarakat mengetahui bahwa ketika anak didik keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak, maka anak akan diam di rumah atau main lagi
bersama teman-temannya sehingga jarang terlibat komunikasi dengan masyarakat setempat. Namun, mayoritas informan anggota masyarakat
mengakui bahwa stigma dan reaksi negatif terkadang masih terlihat berupa sikap curiga, takut, dan obrolan negatif gosip akan anak masih ada.
D Kesiapan Sosial
1 Penyesuaian Sosial Anak Didik
Dalam hal ini, diketahui bahwa mayoritas informan anak didik residivis memiliki perilaku menyimpang karena pengaruh dari pergaulan teman-teman
di lingkungan sekitarnya, baik sebelum masuk ke dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak maupun selepas menjalani masa pembebasan. Namun, hal ini
tidak dapat dihindari ketika anak didik bergaul kembali dengan teman sebayanya yang membawa pengaruh negatif terhadap dirinya selepas keluar
dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Berdasarkan pengakuan informan anak didik reidivis, selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak,
dirinya cenderung lebih senang untuk bergaul kembali dengan temannya dibandingkan dengan keluarganya. Dalam hal ini, penanganan yang
diupayakan oleh pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah berupa pembinaan dalam dalam bentuk kegiatan spiritual seperti pesantren setiap
108
harinya yang ditujukan agar anak didik mendapatkan pengetahuan agama yang dapat dijadikan sandaran bagi pertahanan dirinya ketika berhadapan dengan
lingkungan sosial yang membawa pengaruh negatif. Namun, faktanya anak didik residivis mengakui bahwa ketika berada di rumah kuantitas peribadatan
dirinya lebih rendah dibandingkan ketika berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.dapat dihindari.
Mayoritas informan anak didik residivis mengemukakan bahwa lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggal anak didik saat ini tidak
mengetahui status dirinya sebagai narapidana anak. Hal ini menjadikan informan tidak begitu mempedulikan perihal tatakrama dan etika
bermasyarakat oleh karena beberapa hal, baik karena informan berada pada lingkungan tempat tinggal yang baru maupun berada pada tempat tinggal
dimana kondisi lingkungan sosialnya buruk sehingga mayoritas anggota masyarakat memiliki karakteristik yang acuh atau menganggap hal tersebut
sebagai suatu hal yang biasa terjadi.Mayoritas informan anak didik mengemukakan bahwa dirinya jarang berkomunikasi dengan tetangga selama
tinggal di rumah. Hal ini dikarenakan kuantitas jam bermain diluar bersama teman sebaya lebih banyak dibandingkan diam di rumah. Pengamatan informan
anak didikresidivis akan aktivitas tetangganya juga menjadi penilaian tersendiri akan lingkungan sosial yang buruk, sehingga perilaku menyimpang dianggap
sebagai hal yang wajar bagi dirinya. Sebagian informan anak didik residivis mengakui bahwa lingkungan sosial dengan karakteristik masyarakat yang sibuk
dan lingkungan fisik dimana jarak antar rumah yang tidak dekat juga menjadi salah satu penyebab jarangnya terjadi interaksi sosial antar tetangga.
Informan anak didik residivis memandang bahwa masyarakat masih memiliki pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya bila keluar dari
Lembaga Pembinaan Khusus Anak, baik berupa reaksi negatif yang tampak
109
maupun tidak tampak. Pandangan dan sikap negatif dari masyarakat terhadap dirinya dirasa oleh informan sebagai hal yang membuat dirinya tidak lagi
mampu untuk bersikap produktif di tengah kehadiran masyarakat.Beberapa sikap masyarakat yang tengah membuatnya merasa rendah diri dapat berupa
cemoohan langsung, gosip antar warga, maupun bentuk tindakan langsung dari warga yang menanyakan secara langsung kejadian yang terjadi untuk
mengetahui lebih dalam.Hal ini membuat anak didik merasa tertekan dan mengganggap bahwa masyarakat di sekitarnya tidak memiliki kepedulian yang
baik terhadap dirinya. Mayoritas anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya memilih untuk diam di rumah selama beberapa waktu sampai akhirnya
keberadaan dirinya sudah dapat diterima kembali oleh masyarakat. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa mayoritas anak didik residivis cenderung untuk
memilih menghindar dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya dan cenderung untuk berdiam diri di rumah atau bermain dengan teman sebayanya
di luar lingkungan rumah. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung mengupayakan
program pembinaan yang dijalankan dalam bentuk pendidikan formal di sekolah diwajibkan bagi seluruh anak didik, baik yang masih duduk dalam
bangku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, maupun sekolah menengah akhirkejuruan. Namun, lembga pendidikan formal yang dijalankan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak belum berfungsi secara optimal oleh karena keterbatasan sumber daya tenaga pendidik.Bila ada anak didik yang telah
selesai menjalani masa tahanan, maka anak didik dipersilahkan untuk melanjutkan sekolah diluar dengan diberikan surat rujukan atau rapot bayangan
dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Program ini diadakan atas kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan program Paket A, B, dan C.
Bila anak didik sudah lulus SMAK ketika masuk ke dalam Lembaga
110
Pembinaan Khusus Anak, maka diwajibkan untuk mengikuti program pelatihan keterampilan yang diberikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Kegiatan dalam rangka pembinaan sosial juga dijalankan dengan cara melibatkan anak didik yang telah menjalani 13 sisa masa tahanan dalam
berbagai kegiatan diluar atau berinteraksi dengan teman-teman anak didik dariLembaga Pembinaan Khusus Anak lain. Seperti halnya kegiatan yang
diadakan antara Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dengan Lembaga Pemasyarakatan Kutoardjo. Pada saat itu, beberapa anak didik
Lembaga Pemasyarakatan Kutoardjo berkunjung ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung untuk berbagi pengetahuan mengenai
keterampilan tata cara membuat mie otaki. Perlengkapan untuk pelatihan disediakan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Program
ini diadakan pada tahun 2014 untuk memberikan pengalaman kepada masing- masing anak didik akan pengetahuan keterampilan baru dan berlatih untuk
melakukan sosialisasi dengan teman dari anak didik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak lainnya. Dalam hal ini, anak didik lebih senang bersama teman-
temannya menjalani aktivitas daripada menyendiri. Namun, dalam hal pemberian kesempatan untuk menjadi tamping bagi
anak didik, sebagian besar informan anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya belum pernah dipercaya untuk menjadi tamping. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, baik oleh karena pelanggaran yang pernah dilakukan oleh anak maupun kasus anak yang masih menjadi pertimbangan
bagi petugas untuk dipertimbangkan sebagai salah satu persyaratan menjadi tamping.
111
2 Komunikasi Antara Anak Didik dengan Keluarga
Informan anak didik residivis mengakui bahwa walaupun ada fasilitas telepon yang diberikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II
Bandung, namun dirinya belum berani memanfaatkan media tersebut untuk menghubungi
keluarga maupun
kerabatnya.Lebih lanjut,
informan menceritakan bahwa dirinya masih merasa malu dan takut untuk menghubungi
keluarga dikala dirinya berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Hal ini didasarkan atas alasan takut mengecewakan dan mengganggu aktivitas
keluarganya bila dirinya hanya menghubungi untuk sekedar melepas rasa rindu apalagi untuk meminta uang bekal.
Aksesibilitas anak didik untuk berhubungan dengan keluarga diantaranya melalui kunjungan keluarga dan media komunikasi telepon kantor.
Kuantitas kunjungan keluarga tidak ditentukan oleh pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak, semua tergantung kepada masing-masing kepentingan keluarga
terhadap anak didik.Selama menjalani masa tahanan, kuantitas kunjungan kelurga bagi setiap anak didik berbeda, bahkan ada yang tidak pernah
dikunjungi keluarganya sampai masa anak didik keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Dalam hal ini, anak didik resdivis mengakui bahwa
dirinya belum pernah dikunjungi oleh keluarganya selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Informan
anak didik residivis mengemukakan bahwa beberapa hal yang menjadi alasan kuantitas kunjungan keluarga rendah diantaranya adalah jarak antara rumah
dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anakyang jauh dan tingkat perekonomian yang rendah.Kuantitas kunjungan keluarga tidak menjadi prioritas Lembaga
Pembinaan Khusus Anak untuk mengadakan evaluasi bagi setiap anak didik. Bila akan diadakan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan atau sidang
untuk Pembebasan Bersyarat bagi anak didik, maka petugas akan meninjau
112
melalui buku daftar kunjungan dan meminta informasi kepada wali pemasyarakatan mengenai sejauh mana kuantitas kunjungan keluarga anak
didik tersebut karena salah satu persyaratan untuk mendapatkan masa pembebasan bersyarat adalah ada jaminan dari keluarga. Bila kuantitas
kunjungan keluarga rendah atau belum pernah dikunjungi sama sekali, maka petugas akan menghubungi keluarga yang bersangkutan. Setiap akhir bulan,
petugas akan merekap hasil daftar kunjungan yang digunakan sebagai arsip untuk mengetahui kuantitas kunjungan keluarga terhadap anak didik. Namun,
hal ini hanya sebatas menjadi pengetahuan petugas untuk kemudian dikomunikasikan kepada asisten wali pemasyarakatan dan belum ada tindak
lebih lanjut bagi anak didik yang memiliki kuantitas kunjungan keluarga yang rendah.Asisten wali pemasyarakatan sesekali menanyakan kepada anak
didiknya seputar kondisi keluarga dan kemungkinan kunjungan, namun bila keluarga tidak kunjung datang, belum ada ketentuan bagi asisten wali
pemasyarakatan untuk menghubungi keluarganya. Kesempatan yang diberikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus
Anakbagi anak didik untuk berhubungan dengan keluarganya melalui media komunikasi telepon tidak ada periode waktu yang khusus. Bila Kepala
Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung sedang ada waktu luang, maka anak didik berkesempatan untuk meminjam telepon kantor sebagai
sarana untuk menghubungi keluarganya. Pemakaian telepon kantor bagi anak didik yaitu dengan cara mengeraskan
volume
suara telepon dan berbicara di ruangan Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak didampingi oleh petugas
pembinaan atau asisten wali pemasyarakatan, sehingga dapat diketahui isi dari pembicaraannya. Hal ini meminimalisir terjadinya pelanggaran bagi anak
didik. Anak didik juga berkesempatan untuk meminta izin memakai media komunikasi telepon bila diperlukan dengan cara meminta kepada asisten wali
pemasyarakatan atau petugas keamanan yang bertugas di blok. Dalam hal ini,
113
sebagai salah satu ketentuan untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan pembebasan bersyarat, anak didik dengan 13 sisa masa tahanan diwajibkan
untuk menelepon keluarga menjadi penjamin bagi anak bila diberikan kesempatan untuk menjalani pembebasan bersyarat.
Berdasarkan sebagian informan petugas, keluarga anak didik pada umumnya maupun anak didik residivis tidak memiliki hubungan khusus
dengan staf pembinaan maupun asisten wali pemasyarakatan. Baik keluarga maupun petugas tidak saling mengenal satu sama lain, dengan kata lain
keluarga anak didik hanya mengetahui peran petugas keseluruhan tanpa mengetahui peran staf pembinaan dan asisten wali pemasyarakatan. Bila ingin
mengajukan pembebasan bersyarat, maka staf pembinaan memberitahukan secara umum kepada anaknya untuk diberitahukan kepada keluarga yang
menanyakan untuk langsung menghubungi salah satu staf pembinaan yang sudah ditentukan.Asisten wali pemasyarakatan tidak berhubungan langsung
dengan keluarga bila ada pengajuan pembebasan bersyarat.Anak didik diminta langsung untuk menghubungi bagian staf pembinaan tanpa ada konsultasi atau
persetujuan terlebih dahulu dari asisten wali pemasyarakatan. Asisten wali pemasyarakatan tidak mengenal dan memiliki hubungan
khusus dengan orangtua anak didiknya. Bila ada orangtua yang menitipkan anaknya kepada petugas, tidak secara khusus ditujukan kepada asisten wali
pemasyarakatan.Bila ada orangtua yang berkunjung ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak, pembicaraan yang sering terjadi adalah seputar permintaan
orangtua untuk menitipkan anaknya dan meminta anaknya untuk diberikan kesempatan menjadi tamping atau mengikuti program asimilasi. Dalam
pelaksanaan kegiatan pembinaan, tidak ada hasil evaluasi atau surat keterangan perkembangan anak didik yang diberikan untuk orangtuanya, baik selama
114
menjalani masa pembinaan maupun ketika anak akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, informan Asisten Wali Pemasyarakatan meninjau bahwa kuantitas dan kualitas komunikasi yang terjadi antara anak didik dengan
orangtuanya lebih baik ketika menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak daripada ketika anak didik masih belum berstatus
sebagai narapidana.Hal ini diketahui ketika petugas menanyakan perihal hubungan sosial antara dirinya dengan keluarga dalam tahap
assesment
awal masa registrasi. Hal ini dibenarkan oleh anak didik residivis bahwa sebelum
menjadi anak berhadapan dengan hukum, anak didik memiliki kualitas dan kuantitas hubungan yang kurang baik dengan orangtuanya.Pada saar anak
masuk ke dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak, orangtua anak didik lebih memperhatikan kondisi dirinya ketika kembali ke dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun,
mayoritas informan
anak didik
residivis mengemukakan bahwa dirinya hanya mendapatkan kunjungan keluarga yang
jarang, bahkan terhitung hanya 1-2x selama menjalani masa pembinaan dari awal masa registrasi.
3 Pemenuhan Kebutuhan Sosial Anak Didik
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, anak didik berupaya untuk menunjukkan perilaku yang baik kepada petugas untuk mendapatkan
penghargaan berupa pemberian remisi pembebasan bersyarat dan mendapatkan pengakuan dari asisten wali pemasyarakatan sebagai anak didik yang
berkelakukan baik. Dalam hal ini, mayoritas anak didik residivis berupaya untuk mendapatkan pengakuan lebih dari petugas sebagai anak didik yang
dapat dipercaya. Mayoritas informan anak didik mengemukakan bahwa cara yang dilakukan untuk menarik perhatian petugas agar mendapatkan
115
kepercayaan dan pengakuan kembali sebagai anak didik yang baik adalah dengan cara membantu petugas setiap kali ada anak didik lain yang bertengkar
atau menawari bantuan kepada petugas untuk membantu petugas dalam setiap rangkaian
kegiatan.Sebagian besar
informan anak
didik residivis
mengemukakan bahwa dirinya saat ini belum dipercaya untuk menjadi tamping, namun pernah dipercaya untuk menjabat sebagai ketua RW ketua
asrama untuk menjaga teman-temannya karena dianggap sebagai anak didik yang lebih berpengalaman dalam menangani permasalahan yang terdapat di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pembauran diantara sesama anak didik, baik yang sudah lama
menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak maupun anak baru mutasi yang berasal dari Lembaga Pemasyarakatan luar daerah terjalin
dengan keterlibatan anak didik bersama dalam aktivitas sehari-hari. Bentuk interaksi anak didik dengan kelompok teman sebaya selama menjalani masa
pembinaan biasanya berupa diskusi kecil di ruang tamu asrama, bermain musik bersama di taman, atau olahraga bersama di lapangan. Mayoritas informan
anak didik mengemukakan bahwa dirinya memiliki peran untuk membimbing anak didik lainnya agar mengetahui norma dan etika bergaul di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak yang berbeda dengan tata cara pergaulan di Lembaga Pemasyarakatan lain. Hal ini dilakukan melalui diskusi kecil yang biasanya
dilakukan setiap pagi di asrama anak didik. Bila meninjau dari salah satu program yang bertujuan untuk
menjalankan konsep pemasyarakatan dalam program pembinaan, maka dapat diketahui bahwa tidak semua anak didik mendapatkan kesempatan untuk
menjalankan program asimilasi sebagai tamping, hanya beberapa anak yang disetujui setelah diadakan sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan, baru bisa
mengikuti program asimilasi.Salah satu syarat untuk mendapatkan kesempatan
116
dalam program asimilasi sebagai tamping yaitu berkelakuan baik dan tidak pernah melakukan pelanggaran selama menjalani masa tahanan.Namun,
biasanya ada beberapa kasus tertentu yang memang masih dipertimbangkan untuk menjadi tamping, seperti halnya penipuan, narkoba, atau anak didik yang
selama menjalani masa tahanan sikapnya kurang berkenan bagi petugas. Hal ini tidak ada dalam peraturan perundang-undangan, hanya saja telah
dimusyawarahkan bersama atas pengalaman petugas dan tim pengamat pemasyarakatan terhadap anak didik. Dalam hal ini, sebagian besar informan
anak didik residivis belum mendapatkan kesempatan untuk menjadi tampingselama menjalani masa pembinaan.
Informan dari staf pembinaan mengatakan bahwa tidak ada perlakuan khusus terhadap anak didik dengan kasus residivis. Status residivis anak didik
juga diketahui dari hasil pengakuan diri mereka terhadap petugas, bila tidak ada yang mengakui dirinya residivis, maka tidak akan diketahui karena hal ini
tidak menjadi sebuah kepentingan informasi bagi petugas dan tidak ada data pendukung tentang anak yang berstatus residivis. Staf pembinaan atau wali
pemasyarakatan pun terkadang mengetahui status anak residivis dari teman- teman anak didik lainnya yang mengetahui keadaan teman lainnya.Anak didik
dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung yang diketahui residivis berjumlah 3 orang dengan bebas murni dalam kasus narkoba dan
pencurian.Namun, secara keseluruhan jumlah residivis sebanyak 12 orang anak didik.
Informan staf pembinaan mengemukakan bahwa kegiatan dalam pembinaan sosial tidak dikhususkan dalam bentuk kegiatan tertentu yang
diagendakan. Seperti halnya program tamping yang diadakan bagi anak didik dengan 13 sisa masa tahanan dalam rangka memberikan kesempatan kepada
anak didik untuk belajar bersosialisasi kembali dengan lingkungan sosial diluar
117
blok, seperti halnya mengadakan interaksi dan kontak langsung dengan para petugasLembaga Pembinaan Khusus Anak. Begitupula dengan beberapa
penyuluhan yang diadakan oleh LSM Lembaga Swadaya Masyarakat, civitas akademika, maupun pemerintah berupa pengetahuan tentang kemasyarakatan.
Dalam periode satu tahun yang lalu, pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung mengadakan kerjasama dengan pihak kepolisian untuk
menyelenggarakan penyuluhan mengenai pengetahuan akan kenegaraan dan kemasyarakatan.Beberapa kegiatan diluar yang sudah diikuti oleh Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung diantaranya Peringatan Hari Anak Nasional dalam agenda musyawarah anak, kegiatan pentas seni, dan lain
sebagainya. Pemilihan anak didik yang dilibatkan dalam kegiatan diluar tersebut diantaranya didasarkan atas lama masa tahanan dikhususkan untuk
anak didik dengan 13 sisa masa tahanan, permintaan dari pihak penyelenggara sesuai dengan kualifikasi persyaratan peserta acara didasarkan
atas kemampuan dan bakat anak didik yang sesuai dengan kegiatan, atau permintaan dari Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung
oleh karena pertimbangan tertentu.
4 Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan Sosial di Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan, petugas yang berperan aktif untuk mendampingi anak didik dalam rangkaian kegiatan pembinaan adalah
staf pembinaan, sedangkan asisten wali pemasyarakatan dan wali pemasyarakatan tidak diwajibkan.Dalam hal ini, informan asisten wali
pemasyarakatan mengemukakan bahwa dirinya tidak mengenal keluarga dari anak didiknya.Keluarga anak didik pun tidak mengenal keberadaan wali
pemasyarakatan maupun asisten wali pemasyarakatan sebagai orangtua asuh
118
bagi anaknya di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Hal ini menyebabkan setiap kunjungan keluarga, orangtua tidak mengetahui perkembangan anak
didik selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Keluarga hanya mengetahui bahwa anaknya dididik secara umum di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak oleh setiap petugas yang ada.
Dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan, asisten wali pemasyarakatan juga terlibat dalam pengaturan jadwal kegiatan dan Sidang Tim Pengamat
Pemasyarakatan. Asisten wali pemasyarakatan dilibatkan dalam penentuan tamping anak didik atau keterlibatan anak didik untuk berpartisipasi dalam
kegiatan di luar Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Sehingga asisten wali pemasyarakatan bertugas untuk meninjau sejauh mana perkembangan perilaku
anak didik selama menjalani masa pembinaan. Namun, asisten wali pemasyarakatan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan penentuan
kegiatan pembinaan yang akan dijalani oleh anak didik. Tidak ada konsultasi antara anak didik dengan asisten wali pemasyarakatan terhadap penentuan
kegiatan yang akan dijalani selama menjalani masa tahanan. Keputusan langsung ditangan anak didik dan diserahkan kepada pihak penanggungjawab
pembinaan. Setiap pelaksanaan kegiatan pembinaan akan didata anak didik yang akan menjalani masa pembinaan. Data tersebut akan dicatat kemudian
untuk pelaporan pelaksanaan pembinaan. Anak didik yang tidak daftar pada kegiatan pembinaan tidak diperkenankan untuk mengikuti kegiatan pembinaan
pada saat itu, namun kegiatan pembinaan berjalan bergilir untuk setiap anak didiknya. Sehingga, setiap anak didik mendapatkan giliran yang sama untuk
menjalani kegiatan pembinaan pelatihan keterampilan yang diberikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak berhubungan dengan Badan Pemasyarakatan untuk pemantauan anak selepas menjalani masa pembebasan
119
bersyarat. Setiap anak didik yang menjalani masa pembebasan bersyarat wajib melakukan kegiatan apel ke Badan Pemasyarakatan selama sebulan sekali pada
tanggal keluarnya untuk melaporkan keadaan dirinya bahwa masih berkelakukan baik tidak melakukan pelanggaran dan masih tinggal di alamat
tempat tinggal yang sama. Bila anak didik menjalani masa pembebasan murni, maka anak didik tidak perlu melakukan apel kepada pihak Badan
Pemasyarakatan. Bila ada anak didik yang tidak melakukan apel kepada pihak Badan Pemasyarakatan, maka Badan Pemasyarakatan akan melaporkan anak
didik tersebut kepada pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk dipantau kembali keberadaannya. Pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan
langsung menghubungi keluarganya terkait dengan keadaan dan keberadaan anak didik tersebut untuk kemudian dilaporkan kembali ke pihak Badan
Pemasyarakatan.Dalam hal ini, mayoritas informan anak didik residivis mengemukakan bahwa dirinya mendapatkan pembebasan bersyarat untuk
kasus yang pertama. Dalam pelaksanaan pembinaan saat ini, anak didik tetap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan masa remisi dan pembebasan
bersyarat bila memenuhi persyaratan. Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan diselenggarakan bersama
dengan seluruh Kepala Sub Seksi Lembaga Pembinaan Khusus Anak, wali pemasyarakatan, dan asisten wali pemasyarakatan yang diketuai oleh Kepala
Sub Seksi Pembinaan, untuk memutuskan Sidang Pembebasan Bersyarat dan penentuan tamping dari anak didik. Hal yang biasanya dibahas dalam sidang
Tim Pengamat Pemasyarakatan oleh asisten wali pemasyarakatan diantaranya seputar anak didik yang akan menjelang masa pembebasan bersyarat,
perkembangan kepribadian anak didik selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan hal-hal yang berhubungan dengan
rekomendasi anak didik untuk dijadikan tamping. Dalam hal ini, asisten wali pemasyarakatan wajib menyerahkan dan menjelaskan hasil pencatatan di kartu
120
pembinaan terkait dengan perkembangan anak didik selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.
Anak didik yang akan menjalani masa pembebasan bersyarat wajib memenuhi persyaratan surat jaminan dari pihak keluarga atau kerabat yang siap
menjamin keberadaan dirinya selama berada di masyarakat. Surat jaminan tersebut akandijadikan acuan bagi Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk
menghubungi pihak penanggungjawab anak didik ketika terjadi pelanggaran kembali.Informan mengatakan bahwa Lembaga Pembinaan Khusus Anak tidak
berperan kembali selepas anak didik menjalani masa pembebasan ke dalam masyarakat.Hal ini menjadi tanggungjawab dari Badan Pemasyarakatan.
Mayoritas informan petugas mengemukakan bahwa pembinaan yang secara khusus ditujukan untuk mempersiapkan anak didik kembali ke
masyarakat tidak ada, hanya pendidikan formal dan pelatihan keterampilan serta pembinaan kepribadian yang dipersiapkan.Sedangkan, pelatihan
mengenai peningkatan kesiapan secara khusus untuk bersosialisasi kembali ke masyarakat tidak ada, hanya saja berupa program tamping yang dijadikan
sebagai salah satu media bagi anak didik untuk belajar bersosialisasi kembali dengan masyarakat umum yang berada di sekitar lingkungan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung juga bekerjasama
dengan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin untuk program pelatihan keterampilan. Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin berperan untuk
membantu penyediaan instruktur program pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.Program kegiatan pelatihan keterampilan yang diadakan
didasarkan atas kemampuan, bakat, dan minat anak didik sesuai dengan hasil
assesment
pada registrasi awal menjadi anak didik Lembaga Pembinaan
121
Khusus Anak Kelas II Bandung maupun atas hasil wawancara petugas dengan anak didik secara langsung selama masa pembinaan sedang berlangsung.
5 Tanggapan Masyarakat Akan Kesiapan Sosial Anak Didik Lembaga
Pembinaan Khusus Anak
Sebagian besar informan dari pihak petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung mengemukakan bahwa salah satu hambatan
yang menjadi permasalahan dalam optimalisasi penanganan keberhasilan anak didik untuk reintegrasi ke dalam masyarakat adalah terbatasnya ruang gerak
anak didik untuk bersosialisasi kembali ke dalam lingkungan sosial luar selama menjalani masa tahanan karena ada batasan dalam lingkungan fisik.Anak didik
hanya sebatas menerima dan menjalankan kegiatan pembinaan tanpa terlibat secara langsung dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, walaupun
anak didik telah menerima dan meningkatkan kemampuannya untuk berkembang, namun hal ini tidak terintegrasi dengan pandangan masyarakat
akan dirinya. Sebagian besar informan anggota masyarakat mengemukakan bahwa
keberadaan mantan narapidana anak di lingkungan sosialnya jarang diketahui. Informan mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena interaksi sosial diantara
anggota masyarakat sudah jarang terlihat. Pola aktivitas masyarakat terlihat sibuk dengan kepentingannya masing-masing, terlebih bila lingkungan yang
berada di sekitar tempat tinggal anak didik berada pada lingkungan fisik perkotaan dengan tingkat kesibukkan anggota masyarakatnya yang tinggi. Bila
meninjau dari daerah yang didominasi oleh lingkungan fisik di sekitar pasar atau daerah pangkalan angkutan umum, maka dikemukakan oleh sebagian
besar informan anggota masyarakat bahwa sudah mulai tidak mempedulikan terhadap adanya perilaku menyimpang dari anggota masyarakatnya selama hal
122
itu tidak merugikan dirinya. Terlebih bila lingkungan sosial di sekitarnya juga didominasi oleh anggota masyarakat yang memiliki perilaku menyimpang.
Dalam hal ini, berbeda bila dalam area perumahan, keberadaan anak
didik sebagai mantan narapidana anak mudah untuk diketahui sehingga menimbulkan reaksi dari masyarakat. Mayoritas masyarakat memberikan
tanggapan dalam bentuk reaksi tak resmi yang bersifat negatif. Reaksi tak resmi masyarakat diantaranya berupa pembicaraan-pembicaraan biasa dan
stigma negatif yang membuat masyarakat jarang melibatkan anak dalam acara bersama di lingkungan sekitarnya.Dalam hal ini, sebagian besar informan anak
didik residivis mengemukakan bahwa dirinya dan keluarga seringkali merasa tidak sanggup untuk kembali menempati tempat tinggal yang ditempati
sebelumnya. Bahkan, salah seorang anak didik sempat tidak bisa mengendalikan emosinya dan bertindak kasar terhadap anggota masyarakat
yang mencemoohnya. Oleh karena itu, mayoritas anak didik mengemukakan bahwa setelah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dirinya dan
keluarga menempati rumah baru dimana masyarakatsekitar diharapkan tidak mengetahui kasus dan status dirinya sebagai mantan narapidana anak.
Sedangkan, rumah yang dulu ditempati seringkali dijual atau dikontrakan kepada pihak lain.
Mayoritas informan anggota masyarakat dari perumahan tempat tinggal anak didik mengemukakan bahwa kecurigan terhadap mantan narapidana
masih ada. Kecurigaan tersebut timbul oleh karena stigmatisasi terhadap mantan narapidana anak sebagai pelaku kejahatan yang tidak akan pernah
berhenti melakukan kejahatan walaupun selepas menjalankan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Mayoritas informan juga mengemukakan
bahwa dirinya tidak mengetahui proses pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus AnakMayoritas informan juga mengemukakan
123
bahwa kembalinya anak ke dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak juga merupakan faktor orangtua. Beberapa hal yang dipandang oleh informan
petugas dan anggota masyarakat sebagai akibat oleh orangtua anak diantaranya orangtua yang mengemukakan kepada petugas Lembaga Pembinaan Khusus
Anak akan jaminan ketersediaan pemenuhan hak dan kebutuhan anak lebih terjamin bila anak berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, di sisi lain
juga karena sebagian informan anggota masyarakat memandang bahwa orangtua anak didik juga terlihat sudah tidak lagi mempedulikan anaknya
dengan alasan acuh terhadap kenakalan anaknya.
124
7
INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT: SIAP ATAU TIDAK?
Anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak memiliki hak untuk dapat berintegrasi kembali ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga
Pembinaan Khusus Anak.Kesiapan bagi anak didik akan berbeda dengan kesiapan narapidana dewasa untuk berintegrasi kembali ke dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini akan terkait dengan proses perkembangan dirinya sebagai seorang remaja. Dalam hal ini, Gultom 2008 mengemukakan bahwa
terdapat tiga hal terkait dengan kesiapan yang berhubungan dengan pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, yaitu kesiapan dalam
hal fisik, mental, dan sosial. Namun, untuk memudahkan pengertian, maka dalam penelitian ini akan dibahas satu per satu mengenai kesiapan anak didik
Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat yang terkait dengan proses perkembangan dirinya sebagai
seorang remaja dalam kaitannya dengan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan kondisi nyata kehidupan bermasyarakat atas dasar
pengalaman anak didik residivis.
A. Kesiapan Fisik