PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL KASUS PROSES INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT.

(1)

PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL

KASUS PROSES INTEGRASI

ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT

Sumber Ilustrasi http://www.bijaks.net/

DYANA C. JATNIKA

SANTOSO T. RAHARJO

NANDANG MULYANA


(2)

PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL

KASUS PROSES INTEGRASI

ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT

DYANA C. JATNIKA SANTOSO TRI RAHARJO

NANDANG MULYANA


(3)

ISBN: ________________________

Judul Buku:

PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL

KASUS PROSES INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE

MASYARAKAT

Penulis:

DYANA C. JATNIKA SANTOSO T. RAHARJO NANDANG MULYANA

Jl. Raya Bandung – Sumedang km 21 Sumedang

Tlp. (022) 843 88812 Website: lppm.unpad.ac.id Email: press@unpad.ac.id Bandung 45363

1 Jilid, B5 (JIS); 141 hlm, Cetakan pertama 2016

ISBN: ________________8


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’ alamiin, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan dengan rasa syukur yang tak henti-hentinya atas segala nikmat, keberkahan, ridho, dan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan buku sebagai sebuah karya dan apresiasi terhadap penulis selaku mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran dan pemuda Indonesia. Sholawat serta salam semoga selalu dilimpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, serta sehabatnya.

Pada penulisan buku, penulis bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat (studi kasus pada anak didik residivis dengan 1/3 (sepertiga) sisa masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Penelitian ini didasarkan atas problematika kenakalan remaja yang saat ini bukan hanya meningkat jumlahnya, namun faktanya terdapat kasus yang dikenai terhadap anak didik residivis. Residivis anak adalah anak didik yang telah menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak namun melakukan tindak pidana atau perilaku menyimpang serupa kembali selepas menjalani masa pembebasan. Dalam hal ini, penting kiranya untuk meninjau kembali mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, dalam kaitannya dengan proses pembinaan yang telah ia jalani di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan masa perkembangannya sebagai seorang remaja. Kesiapan bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ditinjau atas tiga hal utama, yaitu kesiapan fisik, kesiapan mental, dan kesiapan sosial.

Penyelesaian bukuyang penulis beri judul : Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat (Studi Kasus Pada Anak Didik Residivis dengan 1/3 (sepertiga) Sisa Masa Tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung), tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik dari pihak civitas akademika Universitas Padjadjaran, pihak lembaga yang menjadi lokasi penelitian, maupun rekan-rekan penulis.

Untuk itu, pada kesempatan ini ingin sekali penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Santoso Tri Raharjo, S.Sos., M.Si. selaku Koordinator Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD sekaligus dosen wali, dosen pembimbing pada saat Mahasiswa Berprestasi, dan dosen pembimbing penulis atas segala saran, nasihat, dukungan, bimbingan, serta waktunya mulai dari proses akademik sampai proses penyelesaian akhir buku ini. Terima kasih atas semua kebaikan dan dukungan yang telah Bapak berikan, semoga Allah SWT memberikan segala


(5)

2. Ibu Dr. Risna Resnawati, S.Sos., M.Si. selaku Penunjang Teknis Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD atas segala saran, nasihat, dukungan, dan bimbingannya selama masa perkuliahan.

3. Bapak Dr. Nandang Mulyana, Drs. M.Si, selaku dosen pembimbing atas segala saran, nasihat, dukungan, bimbingan, serta waktunya mulai dari proses awal bukusampai proses penyelesaian akhir bukuini.

4. Bapak Dr. Soni Akhmad Nulhaqim, S.Sos., M.Si dan Bapak Hadiyanto Abdul Rachim, S.Sos., M.Ikom yang telah banyak memberikan kesempatan penulis untuk mendapat berbagai kesempatan menimba ilmu di luar perkuliahan yang sangat berguna bagi diri penulis sendiri. 5. Bapak Dr. Hery Wibowo, S.Psi., M.Si., yang telah memberikan banyak

dukungan dan kesempatan untuk memiliki pengalaman selama masa perkuliahan.

6. Ibu Meilany Budiarti, S.Sos., S.H., M.Si dan Ibu Dr. Nurliana Cipta Apsari, S.Sos., MSW yang telah banyak memberikan kesempatan penulis untuk mendapat ilmu lebih di luar perkuliahan yang sangat berguna bagi diri penulis sendiri dan selalu menjadi tempat bagi penulis dalam berdiskusi semasa perkuliahan. Terima kasih atas saran, nasihat, dukungan, dan bimbingannya selama ini.

7. Seluruh staff dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD yang banyak memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama perkuliahan. Terima kasih atas waktu dan ilmu bermanfaat yang telah diberikan.

8. Seluruh staff Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP UNPAD, Ibu Utuy, Bapak Wawan, Bapak Agus, terima kasih atas segala bantuan dan kesabarannya selama ini.

9. Ibu Titin, Bapak Denih, serta seluruh staf pada Sub Bagian Akademik FISIP Universitas Padjadjaran. Terima kasih atas bantuannya selama ini.

10.Ibu Catur Budi Fatayatin, selaku Kepala Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk mengadakan penelitian serta atas semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan.

11.Bapak Roni, Ibu Theresiana, Ibu Gina, Ibu Nia, Ibu Nurul, Ibu Siti beserta seluruh petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Terima kasih atas segala bantuan, doa, dukungan, waktu, dan keikhlasannya dalam membantu penulis menyelesaikan bukuini.

Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Undang Waton Jatnika dan Ibu Tian Silphianty, kedua orang tua penulis yang selalu sabar dan mendoakan anak-anaknya dalam setiap


(6)

ucapkan setinggi-tingginya kepada beliau agar selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT.

2. Dimas Dwiki Jatnika, selaku adik penulis yang tiada hentinya memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

3. Keluarga Besar Rusman Dyana dan Djono Kartadinata. Terima kasih atas bantuan doa dan dukungan selama ini.

4. Sahabat penulis, Viqa, Yulinda, Betha, Nadia, Venty, Dessy, Ajeng, Stefanie, Susan, Gilang, Wandi, Septiar, Panji, Uga, Fadhil, Ipit, Vatra, Intan, Mira, Adi terima kasih atas doa dan dukungan yang tiada henti selama menjalani masa perkuliahan sampai akhir masa perkuliahan. 5. Keluarga besar KS 2012, Iqbal, Ami, Fiki, Wandi, Mutiara, Reza,

Salma, Tira, Yessi, Adam, Apep, Sahlan, Emma, Tomi, Sam, Adit, dan semua teman –teman KS Angkatan 2012 lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu

6. Keluarga besar Protokoler FISIP Unpad, Departemen Hima KS Unpad, BEM FISIP Unpad 2012, Forkomkasi Jawa Barat, Mawapres Unpad 2015, Duta Bahasa Jawa Barat, Putra-Putri Padjadjaran, teman-teman KKNM Desa Majasih, teman-teman Student Exchange Malaysia, Jepang, dan Australia, dan teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu disini namun tanpa mengurangi rasa terima kasih penulis kepada kalian.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.

Penulis


(7)

ABSTRAK

Penelitian ini menggambarkan kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini akan terkait dengan proses pembinaan fisik, mental, dan sosial yang tengah dijalankan di LPKA serta masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja. Kesiapan bagi anak didik LPKA dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat diantaranya berupa kesiapan fisik, mental, dan sosial. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi non-partisipasi, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, kategorisasi data, dan penarikan kesimpulan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 13 (tiga belas) orang yang terdiri dari pihak 5 (lima) orang pihak LPKA Kelas II Bandung, 3 (tiga) orang anak didik residivis dengan 1/3 sisa masa tahanan, dan 3 (tiga) orang anggota masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal informan anak didik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal kesiapan fisik, mental, dan sosial anak didik akan saling mempengaruhi. Dalam hal kesiapan fisik, anak didik secara klinis dinyatakan sehat tanpa ada kecacatan tubuh dan gangguan pancaindera sehingga dapat menjalankan aktivitas tanpa alat bantu pertolongan atau penanganan khusus. Dalam hal kesiapan mental, hal yang perlu ditangani diantaranya kecemasan pada anak didik, ketidakstabilan emosi, dan masalah akan kepercayaan diri. Dalam hal kesiapan sosial, anak didik pada umumnya sudah terlibat dalam upaya penyesuaian diri dan sosial melalui kegiatan pembinaan di LPKA, namun hal yang perlu diperhatikan diantaranya kuantitas kunjungan keluarga, keterlibatan anak didik untuk memiliki peran tertentu dalam pembinaan, dan diketahui bahwa anak didik residivis cenderung sulit untuk terlibat dalam partisipasi sosial selepas keluar dari LPKA. Adapun solusi penanganan yang penulis ajukan adalah dalam bentuk pengadaan lembaga pemenuhan kebutuhan sosialisasi bagi mantan narapidana anak: solusi alternatif bagi anak deviasi dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.

Kata Kunci : Remaja, Kenakalan Remaja, Residivis, Kesiapan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak


(8)

ABSTRAK

This research describe the readiness of children prisoners to face the integration process into society. This will associated with the process of physical, mental, and social development that has been run in children penitentiary and their own development periode as a teenager. The form of readiness of children prisoners to face the integration process into society are the physical, mental, dan social readiness. The research method of this scientific research is descriptive qualitative research. A technique that has been used is case study. Technical data collect used is deep interview, observation non-participation, and the documentation study. Technical data analysis used by the reduction of data, a categorization of data, and the conclusion. The number of informant that used in this research are 13 (threeten) interviewee, they are the staff of LPKA Kelas II Bandung, children prisoners with recidivism cases of 1 / 3 the period, and community members.

The results of this research found that the physical, mental, and social readiness affect each other. In terms of physical readiness, children prisoners clinically healthy without any disability and disorders of body function. Hence, they don’t need anything to help their body function to do ativities. In terms of mental readiness, issues that need to be solved are their anxious feeling, instability emotion, and their own problems would be confidence. In terms of social readiness, children prisoners has generally participate for their individual and social adaptation trough all of development activity that has been run in LPKA, but there are several problems that have to be solved, those are quantity of family visiting, engaging children prisoners in the development activity on LPKA, and to be known that residivist tend to difficult to engage in social participation after out of children penitentiary. Researcher considers that it is needed to make an interamediary for former child prisoners who are just out of prison and are moving to the process of society integr ation. This institution is established separately from the Children P enitentiary and is expected to accommodate former child prisoners after they release from Children Penitentiary, yet they are not able enough to empower themselves in public life and cover all their needs as their effort to face the integration process into society.

Keywords : Youth, Juvenile Delinquency, Residivist, Readiness, Children Penitentiary


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR DIAGRAM DAN GAMBAR ... xv

1 PENDAHULUAN ... 1

2 REMAJA DAN KENAKALAN REMAJA ... 11

3 KASUS KESIAPAN ANAK DIDIK LPKA DALAM PROSES INTEGRASI KE MASYARAKAT ... 17

A. Pembinaan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 17

B. Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 22

1. Kesiapan Fisik ... 24

2. Kesiapan Mental ... 28

3. Kesiapan Sosial ... 32

4 PEKERJAAN SOSIAL KOREKSIONAL DALAM PENANGANAN ANAK DIDIK LPKA ... 45

5 MODEL PENELITIAN LAPANGAN DALAM KASUS UNTUK ANAK DIDIK LPKA A. Metode Penelitian ... 61

B. Teknik Penelitian ... 63

C. Informan dan Sumber Data ... 64

D. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 71

1) Teknik Pengumpulan Data ... 71

2) Instrumen Pengumpulan Data ... 73

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 74

F. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 75

6 PROSES INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT A. Gambaran Umum Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung ... 79

B. Kesiapan Fisik ... 85 1) Kondisi Fisik Secara Klinis dan Gangguan Fungsi Tubuh


(10)

2) Keterlibatan dan Peran Anak dan Petugas dalam Pembinaan

Fisik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 87

3) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Fisik Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 90

C. Kesiapan Mental ... 92

1) Kematangan Emosional Anak Didik ... 92

2) Aktivitas Spiritual Anak Didik ... 95

3) Kecemasan Anak Didik Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat... 97

4) Kepercayaan Diri Anak DidikDalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat ... 100

5) Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan mental di Lembaga Pembinaan Khusus Anak ... 104

6) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Mental Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 106

D. Kesiapan Sosial 1) Penyesuaian Sosial Anak Didik ... 107

2) Komunikasi Antara Anak Didik dengan Keluarga ... 111

3) Pemenuhan Kebutuhan Sosial Anak Didik ... 114

4) Keterlibatan dan Peran Anak Didik dan Petugas Dalam Pembinaan Sosial diLembaga Pembinaan Khusus Anak ... 117

5) Tanggapan Masyarakat akan Kesiapan Sosial Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak... 121

7. INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKAT: SIAP ATAU TIDAK? A. Kesiapan Fisik ... 124

B Kesiapan Mental ... 131

C Kesiapan Sosial ... 143

8 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 161

A. Simpulan ... 161

B. Rekomendasi ... 164

9 MODEL PENINGKATAN KESIAPAN INTEGRASI ANAK DIDIK LPKA KE MASYARAKARTDALAM PERSPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL ... 168


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Rentang Usia Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak 6 Tabel 2.1 Fokus Penelitian 68 Tabel 3.1 Tabel Informan 76 Tabel3.2 Identitas Informan 86

DAFTAR DIAGRAM DAN GAMBAR

Diagram 1.1 Jumlah dan Kasus Anak Didik LPKA Kelas II Bandung 4 Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran 65


(12)

1

PENDAHULUAN

Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah narapidana anak kedua tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 194 anak (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2015). Dalam hal ini, Komisi Nasional untuk Anak (2011) melaporkan bahwa angka pelaporan anak berhadapan dengan hukum sebanyak 52% didominasi oleh kasus pencurian, kemudian diikuti dengan kasus lainnya seperti narkoba, perlindungan terhadap anak, pelanggaran tertib berlalu lintas, perampokan, dan pembunuhan. Namun, berdasarkan data dari Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Maret 2015, faktanya kasus narapidana anak pada kasus pencurian sebanyak 42,8% dilakukan oleh pelaku residivis. Fenomena ini membuktikan bahwa kekhawatiran masyarakat akan residivis narapidana anak (Marlina, 2009) adalah benar adanya.

Pada dasarnya, anak nakal adalah anak yang memiliki perilaku menyimpang dari norma yang berlaku di masyarakat, bahkan perilaku tersebut dapat melanggar hukum yang berlaku sehingga anak menyandang status sebagai narapidana anak. Anak nakal dapat dianggap pula sebagai anak yang cacat sosial (Kartono, 1981). Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembinaan bagi narapidana anak dilakukan sesuai dengan konsep pemasyarakatan dengan tujuan untuk memberikan bimbingan kepada anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak agar memiliki kesiapan yang baik untuk kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat sebagai seorang warga negara yang bertanggungjawab. Namun, problematika yang dihadapi saat ini yaitu kasus kenakalan anak dengan pelaku adalah mantan narapidana


(13)

anak residivis. Residivis adalah pelaku kejahatan yang pernah dihukum namun melakukan tindak kejahatan serupa kembali (kambuhan). Dalam hal ini dapat ditinjau bahwa anak didik residivis merupakan anak didik yang telah menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak namun mengalami ketidakberhasilan dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat sehingga kembali lagi melakukan tindak pidana yang menyebabkan dirinya kembali menyandang status sebagai anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Dewasa ini, fenomena anak didik residivis akan terkait dengan kesiapan diri anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kesiapan diri anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat akan dipengaruhi oleh proses pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam kaitannya dengan proses perkembangan dirinya sebagai seorang remaja. Namun, kesiapan diri anak didik juga terkait dengan bagaimana anak memiliki kesiapan untuk menjalin kembali hubungan sosial yang baik dengan masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dalam hal ini, salah satu penyebab rendahnya kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk bersosialisasi kembali adalah pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang belum efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Artyawan (2013), penyelenggaraan program pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan hanya memberikan kontribusi terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat hanya sebesar 44,7%. Dengan kata lain, kesiapan anak sebagai mantan narapidana untuk kembali ke masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lain yaitu sebesar 55,3%. Dalam hal ini, pembinaan fisik, mental, dan sosial di Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang diharapkan memberikan kesiapan anak didik menuju proses integrasi ke dalam


(14)

masyarakat ditinjau masih tidak berhasil dengan munculnya kasus residivis anak. Namun, hal ini tidak bisa ditinjau hanya dalam segi pembinaan saja, melainkan juga meninjau dari berbagai faktor yang mempengaruhi diri anak untuk memiliki kesiapan termasuk masa perkembangannya sebagai seorang remaja.

Dalam penelaahan lebih lanjut, Gultom (2008) mengemukakan bahwa perlakuan terhadap anak berhadapan dengan hukum perlu dibedakan dengan orang dewasa yang didasarkan atas perbedaan fisik, mental, dan sosial. Hal ini dapat ditinjau berdasarkan data yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak adalah berusia remaja. Oleh karena itu, penanganan dalam bentuk pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak perlu diperhatikan secara khusus bagi anak dalam tahap perkembangannya secara fisik, mental, dan sosial, sebagai upaya untuk mempersiapkan anak kembali ke kehidupan bermasyarakat sesuai dengan konsep pemasyarakatan yang tengah dijalankan.

Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung merupakan salah satu Lembaga Pemasyarakatan pusat bagi anak berhadapan dengan hukum di Jawa Barat yang mulai beroperasi pada tahun 2013 dalam menangani 7 (tujuh) kasus dengan jumlah anak didik sebanyak 192 orang dengan tindak pidana didominasi oleh kasus pencsrian, pembunuhan, perlindungan anak, dan narkoba (2015). Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa mayoritas anak didik residivis terdapat pada anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan kasus pencurian dan narkoba. Berikut data yang diperoleh dari Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak per Maret 2015:


(15)

Diagram 1.1 Jumlah dan Kasus Anak Didik LPKA Kelas II Bandung

Sumber: Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Maret 2015

Mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak berada pada rentang usia remaja, yaitu 16-18 tahun. Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, anak didik yang menempati Lembaga Pembinaan Khusus Anak sudah dibatasi dengan usia maksimal 17 tahun, sedangkan bila lebih dari 17 tahun, anak sudah dapat dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Dewasa. Pada masa perkembangan dirinya sebagai seorang remaja, anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan mengalami perkembangan dalam kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1991). Perkembangan diri anak untuk melewati masa remaja akan dipengaruhi oleh interaksi sosial dirinya dengan lingkungan fisik dan sosial di sekitarnya. Dalam hal ini, anak akan menghadapi situasi lingkungan fisik dan sosial yang baru di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan kehidupan bermasyarakat dengan situasi dan kondisi yang berbeda terhadap dirinya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bila anak tidak dapat menangani kesenjangan antara kebutuhan dan kenyataan yang ada, maka kemungkinan akan berdampak terhadap timbulnya perilaku negatif atau menyimpang.

Pencurian Pembunuhan Perampokan

Kejahatan Ketertiban Asusila

Perlindungan Anak Narkoba


(16)

Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa pelaksanaan pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung tengah menjalankan kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan fisik, mental, dan sosial remaja sebagaimana dikemukakan oleh Gultom (2008). Hal ini didasarkan atas kebutuhan perkembangan fisik, mental, dan sosial yang berbeda antara anak, remaja, dan dewasa. Berikut data rentang usia anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak berdasarkan Laporan Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Agustus 2015:

Tabel 1.1 Rentang Usia Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Umur Jumlah

14 Tahun 6 15 Tahun 24 16 Tahun 44 17 Tahun 76 18 Tahun 33 >18 Tahun 12

Sumber: Jurnal Harian Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung per Agustus 2015

Kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan persiapan fisik, mental, dan sosial dirinya selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kesiapan akan menjadi salah satu faktor pendukung bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk kembali beraktivitas sebagai seorang warga negara dalam kehidupan bermasyarakat. Bila ditelaah lebih lanjut, maka kesiapan yang baik bagi anak didik akan menjadi salah satu indikator terhadap pengurangan jumlah kasus residivis (Gultom, 2008). Sebagaimana dikemukakan oleh Kvawarceus (1964) bahwa seharusnya penanganan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak difokuskan pada kesiapan reintegrasi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat


(17)

dan pengakuan bahwa kasus kenakalan remaja merupakan bagian tanggungjawab dari masyarakat akan usaha pencegahan dan pengawasan terhadap terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau kembali kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Dalam kaitannya dengan profesi pekerjaan sosial, Holil Soelaiman (1992:12-13) yang dikutip dalam Wibhawa dkk (2010:11) mengemukakan bahwa salah satu kecenderungan permasalahan sosial diantaranya adalah meningkatnya jumlah penyandang permasalahan tuna sosial dan penyimpangan perilaku. Anak berhadapan dengan hukum merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang mengalami disfungsi sosial oleh karena tidak dapat menjalankan peran sosial sesuai dengan status sosial yang disandangnya sebagaimana yang diharapkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini kemudian tengah difokuskan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia untuk melibatkan pekerja sosial professional dalam menangani anak berhadapan dengan hukum atas dasar menanggapi laporan data dari Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Kementerian Hukum dan HAM yang mengemukakan bahwa saat ini di Indonesia terdapat 10.000 anak berhadapan dengan hukum (2015). Dalam hal ini, fenomena anak didik residivis merupakan salah satu bagian dari ketidakberhasilan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang bukan hanya disebabkan oleh anak didik secara individu melainkan juga melibatkan hubungan sosial dirinya dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan pemaparan masalah di atas mengenai pentingnya kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak, baik secara fisik, mental,


(18)

maupun sosial dalam kaitannya dengan proses perkembangan dirinya sebagai seorang remaja ketika menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, khususnya untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mendalam mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung sebagai salah satu Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pusat bagi anak berhadapan dengan hukum di Jawa Barat. Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung dapat dijadikan objek penelitian dalam hal ini, sebab selain menerapkan prinsip pembinaan yang didasarkan atas perkembangan fisik, mental, dan sosial anak didik, Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung juga merupakan salah satu lembaga pembinaan pusat bagi seluruh anak didik berhadapan dengan hukum di Jawa Barat yang telah menjalankan beberapa jenis program kegiatan pembinaan sesuai dengan konsep pemasyarakatan, sehingga dapat dilakukan penelitian mendalam mengenai kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Selain itu, penelitian ini difokuskan kepada anak didik residivis yang tengah menjalankan 1/3 sisa masa tahanan dengan tujuan agar mendapatkan informasi secara langsung dari anak mengenai kesiapan dirinya selama menjalani masa pembinaan hingga tengah menjalani masa pembinaan untuk dipersiapkan kembali ke dalam bermasyarakat dan didasarkan atas pengalaman dirinya sebagai anak didik residivis guna mengetahui hal-hal yang kiranya berhubungan dengan kesiapan dirinya menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan hubungannya dengan proses integrasi ke dalam masyarakat. Diantaranya Gusef (2011), melakukan penelitian mengenai adaptasi sosial mantan narapidana anak dalam masyarakat. Tujuan penelitian


(19)

ini adalah untuk mengetahui mengenai adaptasi mantan narapidana di dalam kehidupan masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan mantan narapidana di lingkungannya. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan subjek penelitian yaitu mantan narapidana yang terpidana diatas lima tahun. Hasil penelitian mengemukakan bahwa cara beradaptasi setiap mantan narapidana dalam masyarakat berbeda-beda, tergantung pada tindakan kriminal yang pernah dilakukan dan lingkungan sosial dimana mereka tinggal, ada yang berupaya membaur dalam setiap acara sosial di masyarakat, adapula yang justru menghindar keluar dari lingkungan sosialnya. Stigmatisasi dari masyarakat adalah salah satu hal yang menghambat resosialisasi diri mereka kembali di masyarakat. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan oleh Artyawan (2013), dalam penelitiannya terkait dengan pengaruh program pendidikan keterampilan terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan program pendidikan keterampilan bagi narapidana dan mengetahui kesiapan narapidana kembali ke masyarakat. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 49 orang. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan melalui kuesioner, dokumentasi, dan observasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa program pendidikan keterampilan berjalan baik dengan presentase 40,82%. Sedangkan kesiapan narapidana mendapatkan kategori tinggi dengan presentase 38,78%.

Berdasarkan pemaparan tentang penelitian yang telah dilakukan di atas, dapat diketahui bahwa penelitian tentang adaptasi mantan narapidana dan pengaruh program pendidikan keterampilan terhadap kesiapan narapidana kembali ke masyarakat sudah diketahui. Namun, kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat belum diketahui melalui penelitian. Maka, melalui kajian ini, penulis tertarik untuk mengkaji dan menelaah serta memfokuskan


(20)

permasalahan terkait dengan Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak Dalam Menghadapi Proses Integrasi ke Dalam Masyarakat (Studi Kasus Pada Anak Didik Residivis Dengan 1/3 (sepertiga) Sisa Masa Tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung). Berdasarkan uraian pokok permasalahan tersebut, serta untuk mengetahui lebih dalam, mempelajari, dan menggambarkan kesiapan diri anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat dalam kaitannya dengan proses pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan perkembangan diri anak didik sebagai seorang remaja.kemudian coba diturunkan menjadi sejumlah isu berikut, yaitu :

1) Bagaimana kesiapan fisik anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?

2) Bagaimana kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?

3) Bagaimana kesiapan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat?

Sedangkan tujuan yang akan diperoleh dari kajian ini adalah Untuk mengetahui dan menggambarkan kesiapan fisik, kesiapan mental dan kesiapan sosial anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.

Kegunaan dari penulisan buku dapat berdampak secara teoritis maupun secara praktis. Secara praktis kegunaan penulisan buku ini untuk pengembangan konsep-konsep yang berhubungan dengan profesi Pekerjaan Sosial, khususnya Pekerja Sosial Koreksional terkait dengan masalah anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Selain itu diharapkan dapat memberikan tambahan literatur ilmiah dan pengetahuan akan salah satu


(21)

fenomena sosial mengenai anak berhadapan dengan hukum, khususnya dalam kasus residivis. Lebih jauh lagi menjadi bahan informasi dan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijaksanaan-kebijaksanaan yang menyangkut Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menangani kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.

Kemudian secara praktis semoga penulisan buku ini akan memberikan gambaran mengenai kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak menuju proses integrasi ke dalam masyarakat, guna peninjauan kembali efektivitas pelaksanaan pembinaan terhadap anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan 1/3 sisa masa tahanan. Kemudian dapat memberikan gambaran mengenai kondisi diri anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan 1/3 sisa masa tahanan, guna peninjauan kembali mengenai metode

assesment yang digunakan sebagai salah satu dasar dalam pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Bandung. Secara khusus akan memberikan gambaran mengenai kondisi kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak, baik secara fisik, mental, dan sosial, menjelang masa pembebasan dalam kaitannya dengan kasus residivis, sehingga diharapkan dapat menjadi pedoman dalam peninjauan kembali tingkat kesiapan anak sebelum menjalani masa pembinaan asimilasi, baik bagi pihak Lembaga Pembinaan Khusus Anak, pemerintah dalam hal penyusunan kebijakan, maupun masyarakat pada umumnya.


(22)

2

REMAJA DAN KENAKALAN REMAJA

Masa remaja adalah suatu tahap perkembangan dimana terjadi masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Hurlock (1991) mengemukakan bahwa masa remaja (adolescene) memiliki makna yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini didukung oleh Piaget (dalam Hurlock, 1989) yang mengemukakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Dalam hal ini, dapat ditinjau bahwa remaja memiliki kebutuhan akan pemenuhan hak sesuai dengan perkembangannya yang meliputi aspek fisik, mental, maupun sosial dirinya. Lebih lanjut, Hill (1983) mengemukakan bahwa terdapat tiga hal yang membedakan remaja dari kelompok usia lainnya, diantaranya diawali dengan kemunculan pubertas, berkembangnya kemampuan berpikir, dan pergeseran menuju peran baru dalam masyarakat dimana perubahan dalam perkembangan seorang remaja merupakan merupakan hasil dari proses biologis (fisik), kognitif, dan sosial yang saling terkait dan mempengaruhi.

Bila meninjau dari segi rentang usia, Sarwono (2006) menyatakan bahwa batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah seseorang pada usia 11-24 tahun dan belum menikah. Hal tersebut atas pertimbangan bahwa


(23)

pada usia 11 tahun, seseorang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder, memiliki kriteria sosial sehingga dianggap bukan lagi anak-anak oleh adat dan agama, dan mulai adanya tanda-tanda penyempurnaan perkembangan diri. Sedangkan, Monks (1999) mengemukakan bahwa remaja adalah individu yang memiliki rentang usia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Monks (1999) membagi remaja ke dalam beberapa bagian, diantaranya remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun). Dalam hal ini, diketahui bahwa setiap pembagian dari masa remaja memiliki karakteristik perkembangan tersendiri yang juga akan menentukan pemenuhan hak yang diperlukan oleh seorang remaja. Berikut merupakan karakteristik setiap bagian masa remaja yang akan menentukan proses perkembangannya menuju kedewasaan (Monks, 1999):

1) Remaja awal (12-15 tahun)

Pada tahap ini, remaja masih merasa heran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan yang menyebabkan perubahan tersebut. Pengembangan akan pikiran baru, ketertarikan pada lawan jenis dengan cepat dan mudah terangsang ecara erotis. Kepekaan berlebihan ini menyebabkan pengendalian terhadap ego berkurang dan remaja dalam kondisi sulit mengerti dan dimengerti oleh orang dewasa. 2) Remaja Pertengahan (15-18 tahun)

Kebutuhan akan keberadaan teman-teman merupakan salah satu hal yang menjadi karakteristik remaja pada tahap ini. Begitupula dengan munculnya sifat narsistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara menyukai teman-teman yang memiliki sifat yang sama dengan dirinya. Pada tahap ini, remaja akan dilanda rasa kebingungan untuk menghadapi pilihan dalam setiap keputusannya, seperti halnya memilih


(24)

untuk bersifat terbuka atau tertutup terhadap lingkungan sekitar, optimis atau pesimis, dan lain sebagainya.

3) Remaja Akhir (18-21 tahun)

Pada tahap ini, remaja semakin mendekati tahap kedewasaan yang menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik berupa peningkatan minat terhadap hal yang bersifat intelek, terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri), adanya dinding pemisah antara diri sendiri dengan masyarakat.

Mayoritas anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak berada pada usia remaja dengan rentang usia 16-18 tahun. Pada masa remaja, seseorang akan mengalami perkembangan baik secara fisik, mental, maupun psikososial. Dalam hal penerimaan informasi, remaja memiliki pola penerimaan yang berbeda secara emosional. Dalam rentang usia tersebut, Santrock (2007) mengemukakan bahwa remaja berada dalam fase storm dan stress, sehingga penting untuk diperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, psikologis, maupun sosial. Pada kondisi fase storm dan stress, remaja mengalami masa perkembangan yang penuh dengan masalah. Lebih lanjut, Erikson (dalam Santrock, 2007) mengemukakan bahwa masa remaja adalah masa dimana seseorang sedang dalam tahap pencarian identitas diri. Dalam hal ini, seorang remaja akan melewati masa remajanya dengan lingkungan sosial meliputi keluarga, teman sebaya, ataupun masyarakat umum yang lebih luas baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap setiap kegiatan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Lebih lanjut, Bronfenbenner (1979) mengemukakan bahwa pengaruh psikologis dari perubahan biologis, kognitif, dan sosial yang terjadi pada seorang remaja dibentuk oleh lingkungan tempat perubahan itu terjadi.


(25)

Brown & Larson (Santrock, 2007) mengemukakan pula bahwa masa remaja peran peer group atau kawan sebaya lebih besar dibandingkan peran keluarga atau orangtua. Erikson (dalam Santrock, 2007) mengemukakan pula bahwa peran peer group memegang peranan penting dalam pengembangan identitas remaja. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa remaja akan cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh teman-teman sebaya, baik dalam hal proses perkembangan dirinya menuju pencarian identitas diri, maupun seiring dengan pemenuhan hak dan kebutuhannya dalam perkembangan fisik, mental, dan sosial dirinya. Bila meninjau dari segi tugas perkembangan diri seorang remaja, maka Steinberg (1993) menyatakan bahwa memasuki usia remaja, individu akan mengalami perubahan sosial yang mempengaruhi perkembangan psikososial remaja tersebut. Dalam hal ini, beberapa hal yang akan berkembang selama masa perkembangan remaja diantaranya adalah self concept, dimana dia akan merasa menjadi lebih dewasa dan berpikir serius tentang kehidupannya. Begitupula dengan kemampuan autonomy atau membuat keputusannya sendiri atas segala konsekuensi yang telah diperkirakan baik dalam jangka pendek maupun panjang. Namun, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1998), individu mengalami kebingungan atas perkembangan menuju pencarian identitas dirinya yang akan berpengaruh terhadap kemampuan resiliansi remaja. Hal ini didasarkan atas pendapat Wagnild and Young (1993) bahwa salah satu karakteristik dari resiliensi adalah self-reliance

yaitu pengenalan terhadap kemampuan dan kapasitas diri. Kurangnya pemahaman remaja akan kualitas baik dan buruk dirinya akan menghambat resiliensi pada remaja. Resiliensi pada remaja dibutuhkan ketika remaja dihadapkan pada berbagai tantangan dan ancaman yang ada ketika dirinya akan kembali menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat.

Anak didik yang sedang menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan anak yang telah melakukan perbuatan


(26)

melanggar hukum terkait dengan kasus kenakalan remaja. Menurut Gultom (2008), kenakalan remaja dirumuskan sebagai suatu kelainan tingkah laku, perbuatan ataupun tindakan remaja yang bersifat asosial, bertentangan dengan agama, dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, kenakalan remaja akan terkait dengan bentuk perilaku menyimpang dan lingkungan sosial yang membentuknya.

Melalui penelaahan lebih lanjut, kenakalan remaja merupakan salah satu akibat dari adanya ketimpangan dalam lingkungan sosial yang membentuknya. Loeber (2013) menyampaikan bahwa salah satu proses yang membentuk remaja untuk melakukan perbuatan menyimpang diantaranya faktor pendorong dan resiko sosial yang meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya. Lebih lanjut, Loeber (2013) menyampaikan bahwa diperlukan suatu upaya assesment lebih lanjut mengenai kebutuhan dan resiko remaja serta rencana intervensi untuk memperbaiki remaja dengan perilaku menyimpang. Dalam hal ini, pemikiran Loeber (2013) selaras dengan Seiter,

Kadela (2003) bahwa ada ‘dunia baru’ yang akan dimasuki oleh mantan

narapidana. Walaupun pembinaan yang diberikan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak bertujuan untuk memberikan kesiapan fisik, mental, dan sosial

kepada anak didik, namun hal ini terpisah dari ‘dunia’ yang akan dihadapinya

secara nyata setelah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Dukungan keluarga, sumber daya dalam kehidupan bermasyarakat dan ketersediaan dukungan moral dari masyarakat menjadi hal yang berbeda dan mempengaruhi proses reintegrasi mantan narapidana anak di tengah kehidupan bermasyarakat. Keluarga memiliki peranan yang penting dalam hal mendidik anak. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak yang akan menentukan bagaimana anak berkembang dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyono (1984, dalam Gultom 2008) bahwa apabila


(27)

pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus ke tindakan kejahatan atau kriminal. Keadaan remaja dalam proses perkembangan ke arah kematangan dan kemandirian membuat remaja memerlukan bimbingan mengenai pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya oleh karena juga belum memiliki pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya.

Penuturan lebih lanjut dikemukakan oleh Meliala, Sumaryono (1985) yang mengemukakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja diantaranya adalah faktor lingkungan, faktor ekonomi/sosial, dan faktor psikologis. Bukan hanya disebabkan oleh faktor lingkungan, namun kenakalan remaja juga disebabkan oleh ketidakberdayaan remaja untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan cara yang tepat. Hal ini dikemukakan kemudian oleh Kartono (1995) bahwa kriminalitas itu terjadi ketika adanya kegagalan dalam sistem pengontrol diri seseorang untuk menangani aksi-aksi instinktif; juga ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dalam dirinya dalam bentuk perbuatan yang bermanfaat. Oleh karena itu, dapat ditinjau bahwa perilaku menyimpang terjadi bukan hanya karena ketidakmampuan remaja untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dalam hal pemenuhan hak dan kebutuhan, namun juga dapat ditinjau dari ketidaktersediaan lingkungan fisik dan sosial yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dan hak dari remaja tersebut.

Dalam hal ini dapat diketahui bahwa anak berhadapan dengan hukum merupakan salah satu bentuk ketidakberdayaan anak dalam menangani permasalahan baik dalam pribadi dirinya maupun hubungan dengan lingkungannya. Sebagaimana dikemukakan kembali oleh Gultom (2008), bahwa remaja dengan perilaku menyimpang merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam


(28)

penanganannya perlu perhatian khusus. Kekurangan kematangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk dalam hal perlindungan hukum. Remaja berhak untuk memperoleh perlindungan dan dijamin pemenuhan kebutuhan dan haknya dalam upaya perkembangan dan pertumbuhan dirinya baik secara fisik, mental, maupun sosial.


(29)

3

KESIAPAN ANAK DIDIK LPKA DALAM

PROSES INTEGRASI KE MASYARAKAT

A. Pembinaan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak

Pelaksanaan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu upaya untuk mempersiapkan anak didik sebagai seorang warga negara yang akan siap kembali ke kehidupan bermasyarakat sebagai seorang remaja yang baik dan bertanggungjawab. Pembinaan bagi anak didik pada dasarnya dijalankan atas konsep pemasyarakatan. Pembinaan juga difokuskan pada tiga hal utama, yaitu pembinaan fisik, mental, dan sosial. Menurut Gultom (2008), terdapat empat komponen penting dalam prinsip pembinaan narapidana anak, diantaranya:

1) Diri Sendiri

Pembinaan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak harus dilaksanakan atas dasar kemauan dari anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak untuk melakukan suatu perubahan terhadap dirinya ke arah yang lebih positif. Beberapa hal yang perlu dimiliki oleh seseorang jika ingin melakukan perubahan diantaranya: kemauan, kepercayaan diri, berani mengambil keputusan, berani menanggung resiko, dan termotivasi untuk merubah dirinya.


(30)

Hal tersebut adalah penting mengingat anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak sedang menjalani masa pembinaan dengan konsep pemasyarakatan, sehingga upaya untuk mengenal diri sendiri sebagai langkah awal perubahan dapat terlaksana atas dasar pengambilan keputusan dirinya sendiri. Sehingga, setiap pelaksanaan pembinaan dapat dimaknai sebagai sebuah proses perubahan dan pembelajaran bagi dirinya, bukan hanya sekedar tuntutan peran dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

2) Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak sebagai seorang remaja. Hubungan yang harmonis dengan keluarga diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja (Gultom, 2008). Sehingga, dalam hal ini keluarga memiliki peran penting bagi proses perubahan diri bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Hubungan yang harmonis dapat terjaga dengan adanya kunjungan keluarga. Kualitas dan kuantitas kunjungan keluarga bagi pembinaan sosial anak didik harus diperhatikan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam rangka meningkatkan kesiapan anak didik untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat atas dasar asuhan dari keluarga sebagai lingkungan primer. Kunjungan keluarga juga merupakan salah satu upaya mencegah anak didik beresiko menjadi residivis atau kembalinya anak ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak karena melakukan tindak kejahatan serupa kembali oleh karena adanya penolakan dari lingkungan sosial dirinya, salah satunya keluarga.

Dalam hal ini, penentuan kunjungan keluarga dapat didasarkan atas hasil assesment yang dilakukan oleh wali pemasyarakatan dalam sebuah catatan kartu pembinaan untuk setiap periode pembinaan yang telah dijalani anak didik. Dengan demikian, anak didik diharapkan memiliki kesiapan


(31)

dengan rasa kepercayaan diri untuk kembali ke dalam keluarga setelah keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

3) Masyarakat

Tujuan dari pembinaan yang didasarkan atas konsep pemasyarakatan adalah untuk memberikan bimbingan kepada anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak agar menyadari kesalahan, memperbaiki sikap, tidak mengulangi tindak kejahatan lagi sehingga diharapkan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Proses pembinaan yang dijalankan juga sebaiknya melibatkan partisipasi masyarakat umum sehingga dalam prosesnya masyarakat dapat mengetahui perkembangan anak didik selama menjalani pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hal ini dikemukakan oleh Alexander, Parsons (1973) atas alasan bahwa mantan narapidana akan menghadapi kemungkinan kurang berhasilnya untuk masuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat oleh karena aksesibilitas yang rendah dalam bidang pendidikan, pelatihan, dan dukungan moral dari keberadaan keluarga dan kerabat.

Atas dasar penelaahan lebih lanjut, keadaan mantan narapidana saat ini belum mendapatkan penerimaan dan dukungan sosial penuh dari masyarakat terhadap keberadaan dirinya. Anderson (1990) mengemukakan bahwa kondisi mantan narapidana dalam kehidupan bermasyarakat akan terhambat oleh karena disorganisasi dalam keluarga dan masyarakat serta ketidaktersediaan sumber daya yang mendukung terhadap pemenuhan kebutuhan dan hak bagi dirinya. Dalam hal ini, anak didik yang memiliki kesiapan yang baik diharapkan dapat mengetahui norma dan etika dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki perencanaan hidup sehingga ketika keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak, anak didik dapat termotivasi kembali untuk beraktivitas sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab.


(32)

4) Petugas

Petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak memiliki peran yang penting dalam upaya membina anak didik sesuai dengan tujuan dari setiap tahap pembinaan. Petugas diharapkan dapat mengetahui perkembangan setiap anak didik untuk setiap bagian tahap pembinaan berdasarkan hasil peninjauan dari catatan di kartu pembinaan oleh wali pemasyarakatan anak.

Hasil dari pencatataan pada kartu pembinaan dapat menjadi dasar dari perencanaan pembinaan pada tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan anak yang ada. Seiter, Kadela (2003) mengemukakan bahwa salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah program reintegrasi yang memungkinkan bagi mantan narapidana anak untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat atas dasar pengalaman dirinya dari hasil pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pembinaan yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak difokuskan menjadi tiga fungsi pembinaan sebagai bentuk pembinaan mental, fisik, dan sosial (Gultom, 2008). Dalam hal ini, petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak diharapkan dapat mengetahui perkembangan fisik, mental, dan sosial anak selama menjalani masa pembinaan sehingga dapat diketahui upaya penanganan yang tepat sesuai dengan tujuan dari program asimilasi untuk mempersiapkan anak kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Bila ditelaah lebih lanjut, pembinaan dijalankan sebagai salah satu upaya dalam pengembangan kepribadian remaja untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat (Nurihsan & Agustin, 2011). Dalam hal ini, dapat ditinjau bahwa metode pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu upaya yang perlu ditinjau pelaksanaannya terkait kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat sebagai seorang remaja sesuai dengan proses perkembangan fisik, mental, dan sosial dirinya.


(33)

B. Kesiapan Anak Didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak

Gultom (2008) mengemukakan bahwa anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu penanganan secara khusus. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik dalam berbagai sisi kehidupannya (fisik, mental, dan sosial), yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia yang ideal. Atas penelaahan lebih lanjut, Gultom (2008) mengemukakan bahwa pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kesiapan secara fisik, mental, dan sosial terhadap anak. Dalam hal ini dapat ditinjau bahwa kesiapan diri anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat akan terkait dengan perkembangan dirinya sebagai seorang remaja dalam keadaan fisik, mental, dan sosial yang berbeda dengan orang dewasa.

Dalyono (2005) mengemukakan bahwa kesiapan adalah kemampuan yang cukup baik fisik dan mental untuk melakukan suatu kegiatan. Kesiapan fisik dapat diartikan sebagai suatu kondisi dengan tenaga yang cukup dan kesehatan yang baik, sedangkan kesiapan mental dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang memiliki minat dan motivasi yang cukup untuk melakukan sesuatu.

Namun, bukan hanya kesiapan mental, Oemar Hamalik (2008) mengemukakan bahwa kesiapan juga merupakan tingkatan atau keadaan yang harus dicapai dalam proses perkembangan perorangan pada tingkatan pertumbuhan mental, fisik, sosial dan emosional. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Gultom (2008), bahwa pembinaan di lembaga


(34)

pemasyarakatan dimaksudkan untuk memberikan pembinaan mental, fisik, dan sosial terhadap narapidana.

Berdasarkan kepada definisi di atas, maka peneliti meninjau bahwa kesiapan bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau kemampuan, baik secara fisik, mental, maupun sosial untuk melakukan suatu kegiatan atau kerja dalam kehidupan bermasyarakat. Kesiapan seorang anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat juga akan dipengaruhi oleh pengalaman dirinya selama menjalani proses pembinaan selama masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam masa perkembangannya sebagai seorang remaja. Salah satu tahap pembinaan yang berfungsi dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat adalah Tahap Asimilasi atau Pembinaan Akhir bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dengan 1/3 sisa masa tahanan. Sebagaimana dikemukakan oleh Kvawarceus (1964) bahwa seharusnya penanganan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak difokuskan pada kesiapan reintegrasi dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan pengakuan bahwa kasus kenakalan remaja merupakan bagian tanggungjawab dari masyarakat akan usaha pencegahan dan pengawasan terhadap terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, penting kiranya meninjau kembali kesiapan anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat selepas menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Bila meninjau dari segi aspek-aspek kesiapan, maka Slamento (2010) mengemukakan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi kesiapan, diantaranya:


(35)

2) Kebutuhan atau motif tujuan

3) Keterampilan, pengetahuan, dan pengertian lain yang telah dipelajari Slameto juga mengemukakan mengenai prinsip-prinsip dari kesiapan, diantaranya:

1) Semua aspek perkembangan berinteraksi (saling pengaruh mempengaruhi)

2) Kematangan jasmani dan rohani adalah perlu untuk memperoleh manfaat dari pengalaman

3) Pengalaman-pengalaman mempunyai pengaruh yang positif terhadap kesiapan

4) Kesiapan dasar untuk kegiatan tertentu terbentuk dalam periode tertentu selama masa pembentukan dalam masa perkembangan (2010:15)

1. Kesiapan Fisik

Sceidt (2000, dalam Santrock 2007) mengemukakan bahwa survey internasional dari WHO (World Health Organization) mencatatkan sembilan dari sepuluh remaja mengakui bahwa dirinya sehat, namun banyak remaja yang mengeluhkan masalah kesehatan, seperti sakit kepala, sakit perut, sakit

punggung, gugup, dan merasa lelah, kesepian, atau “sedih”. Hal ini dapat

ditinjau bahwa pengakuan sehat secara fisik tidak menandakan bahwa seorang remaja tidak mengalami gangguan bagian fungsi tubuh yang mempengaruhi kondisi kesehatannya walaupun tidak mengalami suatu penyakit. Dalam hal ini, kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat ditelaah lebih lanjut atas dasar hasil analisa kesehatan melalui kartu pembinaan


(36)

yang direvisi secara berkala oleh wali pemasyarakatan untuk setiap anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak.

Kesiapan fisik bagi anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan siap melakukan aktivitas dengan kesehatan fisik dalam keadaan baik, artinya bebas dari sakit seluruh badan dan bagian-bagiannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud-Balai Pustaka, Jakarta 1996). Dalam hal ini, Gultom (2008) mengemukakan bahwa kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat diartikan sebagai suatu keadaan fisik yang baik selama menjalani masa binaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dalam keadaan sehat jasmani, tidak mengalami suatu penyakit, dan semua organ tubuh berfungsi secara normal.

Hurlock (1991) mengemukakan bahwa masa remaja merupakan tahap perkembangan dimana terdapat pertumbuhan dan perkembangan fisiologis. Selama menjalani masa pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, peran fungsi fisiologi, khususnya pancaindera pada tubuh anak didik akan mempengaruhi kualitas hasil pembinaan. Pancaindera yang berfungsi dengan baik akan memberikan kualitas proses pembelajaran yang baik pula pada anak didik selama mengikuti masa pembinaan di lembaga pembinaan khusus anak. Hal ini dikarenakan pancaindera merupakan bagian penting dalam proses penyerapan informasi yang diberikan selama menjalani proses pembinaan.

Kesiapan fisik bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak dapat berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk menjalani tugas-tugas perkembangan dirinya sebagai seorang remaja. Hal ini didukung dengan apa yang dikemukakan oleh Ali, Asrori (2012) bahwa:

“Pertumbuhan fisik pada gilirannya akan membawa sampai pada suatu

kondisi jasmaniah yang siap untuk melaksanakan tugas perkembangan secara lebih memadai, yaitu kesiapan individu untuk melaksanakan


(37)

tugas-tugas perkembangan pada periode berikutnya. Hal ini akan

berpengaruh terhadap adanya perubahan perilaku…”

Kesiapan fisik bagi anak didik dapat diupayakan melalui berbagai usaha atau stimulasi secara sistematis melalui proses pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Hal ini akan berdampak terhadap kesiapan mental dan sosial anak didik karena didukung dengan kondisi fisik dan kesehatan yang baik selama menjalani masa pembinaan. Atas dasar penelaahan lebih lanjut, Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat berpengaruh terhadap persiapan perkembangan fisik bagi remaja, diantaranya:

a) Menjaga Kesehatan Badan

Kebiasaan hidup sehat, bersih, dan olahraga secara teratur akan dapat membantu menjaga kesehatan pertumbuhan tubuh. Namun, apabila ternyata masih terkena penyakit, haruslah segera diupayakan agar lekas sembuh. Sebab kesehatan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik.

b) Memberi Makanan yang Baik

Para remaja mengalami pertumbuhan fisik yang cepat. Oleh karena itu, memerlukan zat pembangun yang terdapat dalam makanan sehingga menyebabkan para remaja pada umumnya nafsu makan. Jika makanan yang dimakan cukup mengandung gizi, kebutuhan zat pembangun bisa terpenuhi sehingga pertumbuhan menjadi lancar.

Kesiapan fisik bagi anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat juga akan berpengaruh terhadap kemampuan dirinya sebagai


(38)

seorang remaja untuk melakukan penyesuaian diri. Schneiders (1984) mengemukakan bahwa kesehatan fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri seorang remaja. Penyesuaian diri seseorang akan lebih mudah dilakukan dan dipelihara dalam kondisi fisik yang sehat daripada yang tidak sehat. Kondisi fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, harga diri, dan sejenisnya yang akan menjadi kondisi yang sangat menguntungkan bagi proses penyesuaian diri. Sebaliknya, kondisi fisik yang tidak sehat dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kurang percaya diri, atau bahkan menyalahkan diri sendiri.

Beberapa hal terkait dengan kesiapan anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyatakat juga didukung dengan ketersediaan sarana prasarana atau kesehatan yang menunjang aktivitas pembinaan fisik bagi anak didik. Lebih lanjut, Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, diantaranya:

a) Sarana dan prasarana

Faktor sarana dan prasarana ini jangan sampai menimbulkan gangguan kesehatan pada anak. Misalnya, ruangan yang terlalu gelap atau sempit akan menimbulkan gangguan kesehatan.

b) Waktu istirahat

Terus menerus bekerja atau beraktivitas tanpa ada waktu istirahat dapat menimbulkan kelelahan yang mendatangkan kerugian bagi kesehatan. Dalam hal ini, kemampuan anak didik untuk menjalankan kegiatan pembinaan akan berkaitan dengan biorama atau kemampuan anak berkonsentrasi yang dipengaruhi oleh irama stamina biologis pada anak terkait dengan pengaturan waktu istirahat.


(39)

c) Diadakannya jam-jam olahraga

Olahraga sangat penting bagi pertumbuhan fisik, oleh karena itu bila ada pengaturan jam-jam untuk olahraga maka pertumbuhan fisik anak juga akan memperoleh stimulasi secara teratur pula. Pertumbuhan fisik bagi remaja yang sangat pesat seringkali menimbulkan gangguan regulasi, tingkah laku, dan bahkan keterasingan dengan diri sendiri. Untuk itu perlu adanya kegiatan-kegiatan olahraga untuk menyalurkan energi lebih yang dimilikinya sehingga tidak tersalurkan kepada perilaku-perilaku negatif.

Berdasarkan penelaahan sebelumnya, maka dapat ditinjau bahwa kesiapan fisik bagi anak didik bukan hanya dipengaruhi oleh faktor internal dari dalam diri anak didik seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik yang dialaminya, melainkan juga dipengaruhi oleh proses persiapan sebagai fator eksternal yang dapat memberikan kesiapan lebih terhadap anak didik secara fisik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa kegiatan pembinaan fisik yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan salah satu bagian faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kesiapan fisik bagi anak didik.

2. Kesiapan Mental

Kesiapan mental anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan pembinaan mental yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dan perkembangan diri anak didik sebagai seorang remaja. Menurut Gultom (2008), pembinaan mental dilakukan dengan tujuan untuk


(40)

menangani perasaan bersalah, merasa diatur, dan kurang biasa mengontrol emosi, merasa rendah diri yang diharapkan secara bertahap mempunyai keseimbangan emosi selepas keluar dari Lembaga Pemasyarakatan bagi remaja. Hal tersebut dikemukakan dapat ditangani melalui pembinaan mental yang bertujuan agar anak didik dapat menangani rasa frustasi melalui kegiatan keagaaman sesuai dengan agama dan kepercayaannya, menanamkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa cemas dan gelisah.

Bila meninjau dari masa perkembangan anak didik sebagai seorang remaja, maka pembinaan yang dijalankan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan masa perkembangan mental dirinya sebagai seorang remaja. Dalam segi kematangan emosional sebagai salah satu bagian dari kesiapan mental bagi anak didik untuk menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, Hurlock (2004:213) mengemukakan beberapa aspek kematangan emosi menurut bagi remaja, diantaranya:

1) Remaja tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima.

2) Remaja menilai situasi kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional, tidak lagi bereaksi tanpa berpikir sebelumnya seperti anak-anak.

3) Remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain.

Menurut Mayer (Goleman, 2000: 65-66), remaja cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, di antaranya:


(41)

Peka terhadap suasana hati ketika mengalaminya, memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya baik, dan cenderung berpendapat positif akan kehidupan.

2) Tenggelam dalam permasalahan

Mereka adalah orang-orang yang seringkali merasa dikuasai oleh emosi dan tidak berdaya untuk melepaskan diri seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil kekuasaan. Mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, mereka tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional dan seringkali merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.

3) Pasrah

Peka akan apa yang mereka rasakan, cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Ada dua cabang jenis pasrah, yaitu mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah dan mereka yang kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan sikap tidak hirau, tidak melakukan apapun untuk mengubahnya meskipun tertekan.

Dalam hal ini, Nurihsan, Agustin (2011) mengemukakan bahwa faktor lain yang menyebabkan meningginya emosi remaja, karena adanya tekanan sosial, menghadapi kondisi dan lingkungan baru, dan kurang mempersiapkan


(42)

diri untuk menghadapi keadaan dan lingkungan baru tersebut. Anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak merupakan remaja yang diarahkan melalui pembinaan yang dijalankan untuk mengenali lingkungan barunya dalam upaya perubahan dan perbaikan diri menuju ke arah yang lebih baik dalam sebuah proses pembinaan bersama lingkungan sosial barunya.

Bila meninjau atas dasar pemahaman Maslow (dalam Hjelle dan Ziegler, 1992), sikap penerimaan diri bagi anak didik adalah sikap positif terhadap diri sendiri, sehingga ia dapat menerima keadaan dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangan diri. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, maka anak didik diharapkan dapat menangani rasa frustasi dengan adanya rasa penerimaan diri oleh karena sudah bisa merasa mengatur diri atas perasaan bersalah, malu, rendah diri, dan kecemasan akan penilaian dari orang lain terhadap dirinya. Dalam hal ini, rendah diri sebagai salah satu hal yang menggambarkan belum adanya penerimaan diri anak didik akan dirinya sendiri juga merupakan hal yang berhubungan dengan kepercayaan diri anak didik ketika akan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Kepercayaan diri anak didik ketika akan menghadapi masyarakat, baik dalam bentuk tanggapan yang positif ataupun negatif merupakan hal yang menggambarkan kepercayaan diri anak didik. Sebagaimana dikemukakan oleh Lauster (1978) bahwa ketergantungan terhadap penilaian orang lain merupakan salah satu ciri dari orang yang kurang percaya diri.

Bila meninjau dalam hal kemampuan anak didik untuk menangani rasa cemas, Shinkfield (2010) mengemukakan bahwa seorang narapidana akan merasa berkurang tingkat kecemasannya jika selama masa pembinaan mendapatkan kesempatan untuk mengemukakan hal yang membuat dirinya cemas dan akan berpengaruh terhadap kesiapan dirinya untuk kembali ke kehidupan bermasyarakat. Kecemasan akan menjadi salah satu dampak dari


(43)

adanya komunikasi interpersonal dalam diri anak didik yang terganggu. Perasaan akan rendah diri dan memiliki pandangan negatif terhadap dirinya sendiri menandakan rendahnya kesiapan dari anak didik dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat menjelang masa pembebasan nanti. Bila kesiapan mental bagi anak didik kurang dalam hal penanganan kecemasan, maka hal ini akan menjadi salah satu hal yang menghambat kemampuan sosial anak didik untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupan bermasyarakat. Atas penelaahan lebih lanjut, Hawari (2001) mengemukakan beberapa ciri gejala seseorang yang mengalami kecemasan diantaranya:

1. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung

2. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; 3. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang; 4. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan; 5. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

6. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui bahwa kesiapan mental bagi anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak akan terkait dengan kematangan emosional, penanganan diri melalui aktivitas spiritual dan pemenuhan kebutuhan sosial, kepercayaan diri, dan kecemasan dirinya dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat. Hal ini perlu untuk ditinjau ketika anak didik akan menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat dengan situasi dan kondisi lingkungan masyarakat yang berbeda selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak.


(44)

Gultom (2008) mengemukakan bahwa pembinaan sosial yang dijalankan berfungsi untuk memberikan kesiapan sosial bagi anak didik (remaja) dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat terkait dengan kemampuan dirinya untuk mengadakan kembali hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus

Anak. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap

dirinya” (Anna Alisyahbana, dkk., 1984). Hal ini juga akan terkait dengan

bagaimana penerimaan lingkungan sosial anak didik terhadap keberadaan dirinya sebagai seorang mantan narapidana anak. Dalam hal ini, anak didik sebagai seorang remaja cenderung akan kembali bergaul dengan teman sebayanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Brown & Larson (Santrock, 2007) bahwa masa remaja peran peer group atau kawan sebaya lebih besar dibandingkan peran keluarga atau orangtua. Namun, Sunarto (1998) mengemukakan bahwa situasi kehidupan dalam keluarga berupa pola asuh orang tua, pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung sulit diperbaiki. Dalam hal ini, bila penyebab dari kenakalan remaja yang dialami oleh anak didik berasal dari pergaulan lingkungan teman sebaya, maka kemungkinan besar ketika anak didik kembali ke pergaulan dengan teman sebayanya yang serupa atau memberikan pengaruh negatif dalam kehidupan bermasyarakat, maka dapat ditinjau bahwa anak didik beresiko untuk memiliki perilaku menyimpang serupa bila sistem dalam hal kelompok teman sebayanya sulit untuk diperbaiki.

Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa dalam proses perkembangan sosial, remaja dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta


(45)

keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya. Salah satu hal yang dibutuhkan seorang remaja dalam perkembangan sosialnya adalah iklim keluarga yang kondusif. Hal ini didukung dengan Gardner (1983) yang mengemukakan bahwa interaksi antar anggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja. Hal ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Gultom (2008) bahwa hubungan yang harmonis dengan keluarga diteliti dapat mengurangi jumlah kenakalan remaja. Keluarga sangat memiliki peranan yang penting dalam hal mendidik remaja. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi remaja yang akan menentukan bagaimana remaja berkembang dan tumbuh dalam masyarakat. Sebagaimana dikemukakan oleh Mulyono (1984, dalam Gultom 2008) bahwa apabila pendidikan dalam keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan kenakalan dalam masyarakat dan sering menjurus ke tindakan kejahatan atau kriminal. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa keluarga memiliki pengaruh penting bagi perkembangan pola pemikiran dan tingkah laku anak didik sebagai seorang remaja.

Dalam menghadapi proses integrasi ke dalam masyarakat, anak didik dihadapkan pada penerimaan masyarakat akan keberadaan dirinya selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Lebih lanjut Ali, Asrori (2012) mengemukakan bahwa iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculannya bagi perkembangan hubungan sosial remaja, namun seringkali masalah yang dialami oleh remaja dalam proses sosialisasinya adalah bahwa tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Siagian

(1985, dalam Gultom 2008) bahwa “Masa remaja adalah masa untuk

menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi masa yang sulit ini menjadi bertambah sulit oleh adanya kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam


(46)

Pada kenyataannya, masyarakat dihadapkan pada kemampuan untuk memberikan penerimaan sesuai yang diharapkan oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Namun, Wirosardjono (1991, dalam Gultom 2008)

mengemukakan bahwa “Bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang sah maupun tak

terelakkan.” Oleh karena itu, dapat ditinjau bahwa iklim kehidupan

bermasyarakat bagi anak didik selepas keluar dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak memberikan dampak terhadap kemampuan anak didik untuk menjalin hubungan sosial yang baik dengan masyarakat.

Bila meninjau dari segi substansi perkembangan sosial bagi remaja, Nurihsan & Agustin (2011) mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Remaja cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman dalam hal sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Hal ini diperkuat oleh Ali, Asrori (2012) bahwa kohesivitas kelompok sangat kuat dan toleransi antar anggota kelompok teman sebaya sangat tinggi, sehingga manakala ada masalah, maka demi solidaritas dan kohesivitas anggota kelompoknya, mereka segera membelanya. Nurihsan & Agustin (2011) mengemukakan pula bahwa:

“Para remaja tidak lagi memilih teman-teman berdasarkan kemudahannya sebagaimana pada masa anak-anak dan kegemarannya pada kegiatan yang sama. Remaja menginginkan teman yang mempunyai minat dan nilai-nilai yang sama, yang dapat mengerti dan membuatnya merasa aman, dan dapat dipercaya dalam membahas masalah-masalah yang dialaminya.”


(47)

Atas penelaahan lebih lanjut Nurihsan & Agustin (2011) mengemukakan bahwa semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, seperti terlibat dalam kemampuan bergaul, dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga dan permainan yang popular, dan berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial. Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap yang tenang dan seimbang dalam situasi sosial. Dalam hal ini, Schneiders (1964: 122) mengungkapkan bahwa kemampuan seseorang dalam melakukan penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya: 1) Kondisi fisik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, meliputi

hereditas, kondisi fisik, kesehatan, sistem syaraf, kelenjar, dan otot. 2) Perkembangan dan kematangan, khususnya intelektual, sosial, moral,

dan emosi.

3) Kondisi psikologis, meliputi pengalaman proses belajar, pembiasaan, frustasi, dan konflik,

4) Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat

5) Faktor kebudayaan, termasuk agama.

Bila meninjau lebih lanjut dari penyesuaian diri, maka Schneiders (1964) juga mengemukakan dua jenis penyesuaian diri, diantaranya:

1) Penyesuaian Diri Pribadi

Penyesuaian diri merupakan penyusunan kembali sikap dan tingkah laku individu untuk berespon secara adekuat terhadap keadaan dirinya sendiri, meliputi keadaan fisik, mental, dan emosi. Ketiga hal ini menjadi syarat


(48)

tercapainya penyesuaian sosial yang baik. Keadaan fisik yang sehat, meliputi istirahat yang cukup keteraturan hidup, dan rekreasi merupakan hal yang penting untuk mencapai penyesuaian diri. Sama halnya dengan emosi, individu yang memiliki keadaan emosi yang stabil akan memberikan respon-respon yang sesuai dengan tuntutan yang ada di lingkungan masyarakat. Individu yang kurang dapat mengendalikan emosi akan mengalami konflik dan frustasi. Sebaliknya upaya pengendalian yang berlebihan juga akan memberikan dampak yang sama buruknya dengan ketidakmampuan pengendalian diri.

Lebih lanjut, Schneiders (1984) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi penyesuaian diri seseorang adalah kemauan dan kemampuan untuk berubah. Dalam hal ini, penyesuaian diri merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, oleh karena itu penyesuaian diri membutuhkan kecenderungan untuk berubah dalam bentuk kemauan, perilaku, sikap, dan karakteristik sejenis lainnya. Oleh karena itu, semakin kaku dan tidak ada kemauan serta kemampuan untuk merespon lingkungan, semakin besar kemampuan kemungkinannya untuk mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri. Lebih lanjut, Schneiders (1984) mengemukakan bahwa kualitas dan kemampuan untuk berubah dan berkurang atau menurun disebabkan oleh sikap dan kebiasaan yang kaku, kecemasan yang sering dialami, frustasi yang sering muncul, dan sifat-sifat neurotik lainnya. Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa anak didik Lembaga Pembinaan Khusus Anak diharapkan memiliki kemampuan dan kemampuan untuk berubah ke arah yang lebih positif melalui keterlibatan dalam setiap kegiatan pembinaan yang dijalankan didasarkan atas kemauan dan keputusan atas pilihannya sendiri untuk berubah. Namun, hal ini juga akan terkait dengan kesiapan mental anak didik dalam menangani rasa cemas dan gelisah ketika akan menghadapi proses


(1)

dirinya yaitu pasrah. Anak didik dapat secara terbuka mengemukakan apa yang apa dalam pemikirannya kepada keluarga ketika kuantitas dan kualitas komunikasi diantara keduanya kuat. Hal ini juga didasarkan atas alasan yang mendasari anak didik untuk beresiko bersifat residivis. Dalam hal ini, keluarga mendukung untuk pindah tempat tinggal dengan tujuan untuk menghindari masyarakat sekitar tempat tinggalnya dulu yang kemungkinan memiliki stigmatisasi negatif terhadap anaknya. Selain itu, pemakaian akta palsu untuk masuk ke dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak didik beresiko untuk menjadi residivis.

III. Pelaksana Kegiatan

Pihak-pihak yang dilibatkan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut :  Sistem Klien (client system) : Mantan narapidana anak

 Sistem Sasaran (target system) : Keluarga anak didik, teman sebaya, saudara/kerabat dekat, tetangga (lingkungan rumah)

 Sistem Pelaksana Perubahan (change agent system) : Pekerja sosial dan

volunteer lembaga, khususnya profesi pemberian bantuan

kemanusiaan

 Sistem Kegiatan (action system) :Dinas Pendidikan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non-Governmental Organization seperti halnya Save the Children dan Lembaga Advokasi Hak Anak, Civitas Akademika, Para Professional dan Ahli dalam bidang tertentu.


(2)

 Keberlanjutan pendidikan formal dan informal bagi anak didik

 Penerimaan keluarga dan peningkatan kualitas dan kuantitas hubungan komunikasi keluarga dengan anak didik

 Penerapan pelatihan keterampilan bagi anak didik dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat menolong dirinya dalam pemenuhan hak dan kebutuhannya sebagai seorang remaja.

 Keterlibatan anggota masyarakat terhadap anak didik dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga diupayakan adanya penerimaan positif dari masyarakat terhadap keberadaan diri anak didik yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan anak didik dalam melakukan upaya penyesuaian sosial sebagaimana yang diharapkan agar tidak terjadi kemungkinan beresiko residivis bagi anak.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remaja Jaya

Alexander, J., and Parsons, B. (1973). Short-term behavioral intervention with delinquent families: Impact on family process and recidivism.

Journal of Abnormal Psychology, 81(3), 219-225

Alisjahbana, Anna, Sidharta M. dan Brouwer MAW. 1984. Menuju KesejahteraanJiwa. Jakarta: Gramedia

Anderson, E. (1990). Streetwise: Race, class, and change in an urban

community.Chicago: University of Chicago Press v

Artyawan, Adetyo, Januari 2013, “Pengaruh Program Pendidikan KeterampilanTerhadap Kesiapan Narapidana Kembali ke Masyarakat”, NFECE 2 (1) (2013), hlm. 55

Baumeister, Roy F., Finkel, Eli J. 2010. Advanced Social Psychology. Oxford University Press. Melalui http://faculty.wcas.northwestern.edu/ bodenhausen/BRAdvanced.pdf diakses pada tanggal 18 Januari 2016

Cresswell, J. W., & Plano Clark, V. L. (2011).Designing and conducting mixed

method research(2nd ed.). Thousand Oaks,CA: Sage.

Cresswell, J. W. 2009. Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Approaches: Third Edition. Terjemahan Achmad Fawaid.

Jogjakarta: Pustaka Pelajar

Dalyono, M. 2009.Psikologi Pendidikan : (komponen MKDK). Jakarta :RinekaCipta

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. 2015.Sistem Database Pemasyarakatan.http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/mo nthly (diakses pada tanggal 21 Maret 2015)

Fattah, Nanang. 2008. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT RemajaRosdakarya

Gardner, J.E. 1983. The Turbulent Teens: Understanding, Helping, Surviving. Los Angeles: California: Sorento Press

Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. New York: Scientific American Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam

SistemPeradilan Anak Pidana di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama


(4)

Gusef, Yolla, 2011, “Adaptasi Kehidupan Sosial Mantan Narapidana DalamMasyarakat”.Universitas Andalas-Padang.

Hartomo, H, Aziz, Arnicum. 2011. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Bumi Aksara Hill, J. 1983. Early Adolescene: A Framework: Journal of Early Adolescene, 3,

1-21.

Hurlock, E.B. 1989. Perkembangan Anak (Terjemahan). Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Hurlock, E.B. 1991. Adolescent Development. Tokyo: Mc.Graw Hill

Hjelle, L. A & Zeigler, D. J. (1992). Personality Theories : Basic Assumptions, Research And Application. Tokyo : MC Graw Hill

Kartono, Kartini. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali

Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan. Bandung: Mandar Maju

Koentjaraningrat. 1981. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Komisi Nasional Anak. 2011. Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak. Melalui http://www.kpai.go.id/artikel, diakses pada tanggal 4 Oktober 2015

Kvaraceus, William C. 1964. Juvenile delinquency a problem for the modern

world. Melalui http://unesdoc.unesco.org/images/

0013/001334/133429Eo.pdf diakses pada tanggal 3 Oktober 2015 Lauster, P. 1978. The Personality Test. London: Pan Books

Loeber, Rolf, dkk. 2013. From Juvenile Delinquency to Young Adult Offending (Study Group on the Transitions between Juvenile Delinquency and Adult Crime). Diakses melalui https://www.ncjrs.gov/pdffiles1/nij/grants/242931.pdf padatanggal 5 Oktober 2015

Lukas. 2015. Diklat Pekerja Sosial Pendamping ABH. Melalui https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article &sid=18777 diakses pada tanggal 10 September 2015

Monks, F.J.,Knoers&Haditono. 1999. Psikologi Perkembangan Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversidan Restorative Justice. Bandung: PT. Refika Aditama


(5)

Meliala, A. Syamsudin, Sumaryono, E. 1985. Kejahatan Anak suatu Tinjauan dari Psikologidan Hukum. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 31

National Association of Social Workers. 2012. Juvenile Justice and

Delinquency Prevention.Diakses melalui

http://www.socialworkers.org/ PDFpada tanggal 26 Oktober 2015 Nurihsan, A dan Agustin, M. 2011. Dinamika Perkembangan Anak dan

Remaja. Bandung. Refika Aditama

Patton, M. Q. 2002.Qualitative research and evaluation method s(3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage

Putra, Idhamsyah Eka & Pitaloka, Ardiningtyas. 2012. Psikologi Prasangka. Bogor: Ghalia Indonesia

Santrock, J.W. 2007.Psikologi Perkembangan. Edisi 11 Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Sarwono, Sarlito Wirawan. (2006). Psikologi Remaja. (Ed. Revisi). Jakarta: PT. Raja grafindo Persada

Schneiders, A.A. 1984. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt, Rinehart, and Winston

Seiter, Richard P., Kadela, Karen R. 2003. Prisoner Reentry: What Works,

What Does Not, and What Is Promising. Melalui

http://canatx.org/rrt_new/professionals/articles/SEITER-WHAT%20WORKS.pdf pada tanggal 4 Oktober 2015

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta

Skidmore, Rex A., Thackeray, Milton G.. 1975. Introduction to Social Work. United State of America: Prentice Hall-Inc

Soelaeman, M. Munandar. 2006. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama

Shinkfield, Alison. Graffam, Joe. 2010. The Relationship Between Emotional State and Success in Community Reintegration for Ex-Prisoners.Autsralia: Deakin University

Steinberg, 1993, Adolescence, Third Edition, New York: McGraw-Hill, Inc Trygged, S., and Eriksson, B., supra.2013. Unicef: The Role of Social Work in

Juvenile Justice. Switzerland: UNICEF Regional Office for CEE/CIS


(6)

Orakwe, A. 2011. The Reformer, A bulletin of the Nigerian Prison Service, Abuja, Nigeria. Vol 4(3)

Pallas, C. 2010. Vision and Mission of Nigerian Prisons Service, Abuja in Vocational Training in Prisons Handbook (2004)

United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Introductory handbook on the prevention of recidivism and the social integration of offenders (2012). Criminal Justice Handbook Series.

Wagnild, G.M., & Young, H.M. 1993. Development and Psychometric evaluation of the resilience scale. Journal of nursing measurement. Diunduh melalui http://www.resiliencescale.com/wp-

content/uploads/2014/06/Wagnild-Young-psychom-R.pdfpadatanggal2Oktober2015pukul 17.06 WIB

Wibhawa, Budhi, dkk. 2010. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial. Bandung: Widya Padjadjaran

Yudobusono, S. &Aminatun, S. (1995). Penelitian Diagnostik tentang Persepsi Bekas Narapidana. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.