Tabel IV. Parameter validasi untuk setiap kategori uji Snyder, Kirkland,
and
Galjh, 2010
Parameter Validasi
Kategori 1 Kategori 2
Kategori 3 Kategori 4
Kuantitatif Uji batas
Akurasi Ya
Ya Tidak
Presisi Ya
Ya Tidak
Ya Tidak
Spesivisitas Ya
Ya Ya
Ya LOD
Tidak Tidak
Ya Tidak
LOQ Tidak
Ya Tidak
Tidak Linearitas
Ya Ya
Tidak Tidak
Rentang Ya
Ya Tidak
Tidak
Mungkin diperlukan, tergantung tipe dari uji. Misalnya, meskipun uji disolusi termasuk kategori 3, untuk uji kuantitatif, pengukuran yang digunakan seperti kategori 1 dengan
beberapa pengecualian
Validasi metode analisis merupakan suatu proses tindakan penilaian terhadap parameter tertentu, berdasarkan percobaan yang dilakukan di laboratorium
untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya. Parameter-parameter tersebut adalah:
1. Selektivitas atau spesivisitas
Selektivitas atau spesivisitas merupakan kemampuan suatu metode analisis untuk mengukur analit yang diinginkan dalam matriks tanpa mengalami
gangguan dari matriks termasuk analit lain Christian, 2004.
2. Linearitas dan rentang
Linearitas prosedur analisis adalah kemampuan suatu metode pada rentang tertentu untuk mendapatkan hasil uji yang secara langsung proporsional
dengan konsentrasi jumlah analit dalam sampel Ahuja
and
Scypinski, 2001. Rentang adalah interval jarak antara konsentrasi paling bawah dan paling
atas dari analit dalam sampel yang menujukkan bahwa prosedur analisis memenuhi presisi, akurasi, dan linearitas Snyder, Kirkland,
and
Galjh, 2010.
3. Akurasi
Akurasi dari prosedur analisis menunjukkan kedekatan antara hasil uji yang diperoleh dengan nilai yang sebenarnya Ahuja and Scypinski, 2001. Untuk
kuantifikasi pengotor
impurities
, akurasi ditentukan dengan menganalisis sampel yang ditambahkan dengan pengotor
impurities
dalam jumlah yang telah diketahui. Akurasi dihitung sebagai
recovery
dari jumlah yang ditambahkan Snyder, Kirkland,
and
Galjh, 2010.
4. Presisi
Presisi menunjukkan derajat keterulangan hasil uji ketika metode dilakukan secara berulang pada sampel yang homogen dengan beberapa kali
pengambilan sampel. Presisi umumnya dilihat dari tiga level:
repeatability
,
intermediate precision
, dan
reproducibility
Chan, Lam, Lee,
and
Zhang, 2004. a.
Repeatability
presisi. adalah perhitungan presisi pada kondisi peralatan dan analis yang sama dalam interval waktu yang pendek Chan, Lam, Lee,
and
Zhang, 2004. b.
Intermediate precision
.
Intermediate precision
adalah variasi yang muncul dalam laboratorium yang sama. Parameter yang dilihat adalah pada kondisi
penelitian dengan variasi dari analis, variasi dari alat serta variasi yang dilakukan hari demi hari Chan, Lam, Lee,
and
Zhang, 2004. c.
Reproducibility
.
Reproducibility
mengukur presisi antar laboratorium seperti pada penelitian kolaboratif Chan, Lam, Lee,
and
Zhang, 2004.
5.
LOD Limit of Detection
dan
LOQ Limit of Quantitation
LOD
merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat terdeteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko Ermer
and
Miller, 2005.
LOQ
merupakan konsentrasi terendah analit dalam sampel yang dapat dikuantifikasi dengan akurasi dan presisi yang sesuai pada metode yang digunakan.
Parameter ini diukur dalam matriks Grob
and
Barry, 2004. I.
Landasan Teori
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama Sudarmo, 1991. Deltametrin merupakan
insektisida sintetik golongan piretroid yang merupakan tiruan analog dari piretrin Djojosumarto, 2008.
Pestisida dapat berdampak buruk bagi lingkungan, contohnya deltametrin mempunyai sifat sangat toksik untuk ikan. Tanda keracunan deltametrin pada
manusia adalah munculnya rasa geli, gatal, terbakar, mati rasa, dan
paresthesia.
Senyawa yang mempunyai nilai log K
ow
lebih dari 3 memiliki kemungkinan dapat mengalami akumulasi. Deltametrin mempunyai sifat non polar log K
ow
= 4,6, oleh karena itu dapat terakumulasi pada sedimen dan mengalami bioakumulasi pada
biota perairan. Oleh karena itu harus diketahui kadarnya dalam makanan. Salah satu jenis ikan yang banyak dikonsumsi manusia adalah ikan nila.
Ikan nila merupakan ikan air tawar yang hidup di lingkungan tropis. Ikan ini memiliki daya toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya. Di Indonesia, ikan
nila cukup dikenal luas dan termasuk komoditas unggulan dalam bisnis perikanan
air tawar. Permintaan yang besar terhadap ikan nila mengakibatkan budidaya ikan nila semakin berkembang. Ikan nila banyak disukai karena dagingnya yang lembut,
enak, dan tebal Sutanto, 2012. Ikan nila banyak dikonsumsi karena mempunyai kandungan gizi yang
cukup baik. Kandungan lemak ikan nila adalah 2,54 dengan jumlah lemak netral 24,50 dan lemak polar 75,50 Suloma, Ogata, Garibay, Chaves, and El-
Haroun, 2008. Menurut Henderson
and
Tocher 1987 lemak dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu lemak netral dan lemak polar. Lemak netral merupakan deposit
lipid yang digunakan sebagai sumber energi, sedangkan lemak polar merupakan konstituen utama dari membran sel.
Deltametrin jika dipaparkan selama waktu tertentu pada ikan nila dapat terakumulasi pada jaringan lemak ikan nila. Karena lemak merupakan tempat
akumulasi senyawa kimia organik non polar setelah senyawa tersebut masuk ke dalam organisme berdasarkan prinsip
like dissolve like
. Deltametrin mempunyai nilai log K
ow
4,6 dan lemak ikan nila memiliki rentang log K
ow
4,6 – 10,89 Anonim,
2008
b
; Anonim, 2009. Berdasarkan prinsip
like dissolve like,
kemungkinan deltametrin dapat mengalami bioakumulasi dalam lemak ikan nila.
Ekstraksi dilakukan untuk mengambil analit dan memisahkan analit dari matriks. Menurut Abuzar
et.
al 2012 ekstraksi deltametrin dalam matriks tomat dilakukan menggunakan pelarut asetonitril dan dilanjutkan dengan
clean-up
menggunakan fase diam florisil dengan fase gerak asetonitril. Matriks ikan bersifat non polar sehingga perlu dilakukan pengembangan metode ekstraksi dan
clean-up
deltametrin dalam matriks ikan nila. Ekstraksi deltametrin dari ikan nila dilakukan
menggunakan metode ekstraksi cair-cair. Prinsip ekstraksi cair-cair adalah menggunakan 2 pelarut yang tidak saling campur, dimana deltametrin memiliki
kelarutan yang tinggi pada salah satu pelarut. Menurut Noegrohati 1991 ekstraksi deltametrin dari jaringan lemak ikan nila dilakukan menggunakan campuran heksan
: aseton 1:1. Ko-ekstraktan dibersihkan menggunakan kolom kromatografi dengan fase diam dan fase gerak hasil optimasi.
Keberhasilan analisis deltametrin dalam matriks ikan nila ditentukan oleh prosedur
clean-up
ekstrak lemak ikan nila yang mengandung deltametrin. Karena deltametrin bersifat non polar maka pelarut yang digunakan untuk proses ekstraksi
bersifat non polar akibatnya lemak dalam matriks ikan nila ikut terekstraksi. Karena keduanya bersifat non polar maka pemisahan menggunakan dasar perbedaan
polaritas diduga tidak memberikan hasil yang optimal, oleh karena itu digunakan kromatografi adsorbsi yang proses pemisahannya berdasarkan interaksi analit
dengan situs aktif pada karbon. Agar deltametrin terikat kuat pada fase diam maka digunakan karbon aktif.
Menurut Anonim 2007 alumina dapat digunakan sebagai fase diam untuk proses
clean-up
. Menurut Hassan, Youssef,
and
Priecel 2013 karbon aktif juga dapat digunakan sebagai fase diam untuk proses
clean-up
. Petroleum eter dan aseton biasanya digunakan dalam proses
clean-up
dengan fase diam alumina. Berdasarkan Anonim
a
2012 k ekuatan pelarut ε
pada alumina Al
2
O
3
untuk petroleum eter adalah 0,01 sedangkan aseton adalah 0,58.
Kandungan lemak ikan nila sebagian besar adalah lemak polar, apabila digunakan fase diam karbon yang bersifat non polar maka lemak ikan nila akan
keluar bersama dengan petroleum eter. Deltametrin akan tetap terikat pada karbon karena ada proses adsorbsi. Deltametrin dapat keluar bersama aseton karena
interaksi deltametrin dengan aseton lebih kuat daripada dengan karbon. Lemak ikan nila dan deltametrin dapat dipisahkan karena terjadi perbedaan kekutatan ikatan
antara lemak dengan karbon dan deltametrin dengan karbon. Determinasi deltametrin dilakukan menggunakan kromatografi gas
detektor penangkap elektron
Gas Chromatography
–
Electron Capture Detector
GC-ECD. GC-ECD digunakan karena memiliki sensitivitas yang tinggi yaitu 0,05 – 1 pg Christian, 2004 . Digunakan detektor penangkap elektron karena
deltametrin memiliki gugus Br yang bersifat elekronegatif yang dapat menarik elektron.
Bioakumulasi adalah adanya peningkatan konsentrasi senyawa uji pada biota, misalnya ikan nila. Laju bioakumulasi dilihat dari nilai
slope
pada kurva hari
vs
konsentrasi deltametrin. Biokonsentrasi adalah akumulasi dari senyawa yang terlarut dalam air, ikan, dan organisme akuatik melalui insang dan permukaan tubuh
secara langsung.
Bioconcentration factor BCF
didefinisikan sebagai rasio konsentrasi senyawa dalam organisme akuatik terhadap fase air dibawah kondisi
setimbang
steady-state
. Pengukuran
BCF
dilakukan dengan konsentrasi rata-rata dari senyawa dalam seluruh tubuh yang diserap melalui insang, kulit, dan saluran
pencernaan ikan. Kadang
BCF
diperkirakan terhadap kadar lemak ikan Krieger, 2010.
Karakterisasi resiko asupan deltametrin melalui ikan nila perlu dilakukan karena deltametrin dapat menimbulkan dampak yang buruk pada manusia sehingga
perlu ditetapkan kadarnya dalam makanan, contohnya adalah ikan nila yang sering dikonsumsi oleh manusia.
Acceptance Daily Intake
ADI deltametrin adalah 0,01 mgkg BB Anonim, 2013. Akumulasi deltametrin dalam ikan nila dikhawatirkan
mengakibatkan tingkat asupan deltametrin pada manusia yang mengkonsumsi ikan nila yang terpapar deltametrin setiap hari selama masa hidup 80 tahun melebihi
ADI. J.
Hipotesis
Hipotesis 1: “pada proses
clean-up
deltametrin teradsorbsi kuat pada permukaan karbon sehingga tidak terelusi bersama petroleum eter, tetapi akan terelusi bersama
aseton ”
Hipotesis 2 : “dengan menggunakan metode ekstraksi dan
clean-up
yang optimal akan diperoleh data dengan validitas yang baik saat dilakukan determinasi dengan
GC-ECD ”
Hipotesis 3 : “terjadi bioakumulasi deltametrin dalam ikan nila”
Hipotesis 4: “asupan deltametrin melalui ikan nila melebihi ADI
Acceptable Daily Intake
”
K. RANCANGAN PENELITIAN