Wawancara dengan Partisipan Hasil Penelitian

66

4.1.1 Wawancara dengan Partisipan

Peneliti sebelumnya telah mengenal E dan telah melakukan observasi di kelas E selama berkali-kali. Di kelas ia termasuk siswa yang tenang, dalam artian tidak suka mengganggu temannya. Bahkan jika tidak diajak bicara lebih dahulu, ia tidak pernah mengawali pembicaraan dengan teman sebayanya. Awal mula peneliti menemukan bahwa E mengalami kecemasan menghadapi matematika adalah ketika peneliti menyebarkan kuesioner ke seluruh siswa kelas IV B. Dari 33 siswa, hanya E yang menunjukkan aspek-aspek kecemasan. Ketika diawancarai, jawaban E konsisten dengan hasil kuesionernya. E mengatakan bahwa ia diharuskan mengikuti les matematika jika nilainya jelek, ia juga berkata bahwa ia berkeringat dingin ketika mengerjakan soal matematika, dan dimarahi orang tua jika nilai matematikanya jelek. Sedangkan pada mata pelajaran hafalan, ia tidak merasa terlalu cemas. Ia tidak pernah mendapatkan nilai yang rendah pada mata pelajaran hafalan. Menurut E, mata pelajaran yang lain cenderung lebih ringan daripada matematika. Ketika peneliti menanyakan tentang perasaan E menghadapi pelajaran matematika , ia menjawab,”Ya deg-degan..” kemudian peneliti bertanya lagi,”kenapa kok deg-degan? Selain deg-degan, apa lagi yang kamu rasain?” kemudian ia menjawab,”Kadang sampek kebelet pipis terus. Terus agak pusing. Ya takut nggak bisa ngerjain terus nilainya jelek .” Ciri-ciri yang diucapkan E tersebut termasuk dalam indikator kecemasan yang peneliti susun pada kuesioner. Peneliti menggunakan indikator kecemasan menurut Nevid. Indikator kecemasan tersebut dapat dilihat pada bab II. Lalu peneliti meneruskan pertanyaan,”Oh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 gitu..emang kalo nilainya jelek, kenapa? ”, lalu E menjawab,”dimarahin mama. Terus kalo nilaiku jelek nanti aku disuruh les .” Demikianlah perkataan E. Kecemasan belajar yang dialami E berasal dari tekanan-tekanan yang ia dapatkan dari ibunya. E hanya dimarahi ketika mendapat nilai jelek pada mata pelajaran matematika, sementara pada mata pelajaran yang lain ia tidak pernah bermasalah. E tidak mau diikutkan les karena ia merasa tidak nyaman belajar dengan orang asing. Kemudian ketika peneliti bertanya dengan siapa E belajar, ia menjawab,”Belajar sendiri. Kalo sulit baru sama Ayah.” E mengatakan bahwa ia terbiasa belajar sendiri tanpa pendampingan, namun jika menemukan materi yang sulit, ia minta diajari oleh ayahnya, khususnya pada mata pelajaran matematika. Sedangkan untuk mata pelajaran hafalan, ia biasanya bertanya pada ibunya. Kemudian peneliti bertanya lagi,”Nah..kalau Ayah tu kalau ngajarin E di rumah dengan cara seperti apa? Misal dengan permainan, nyuruh E mengerjakan soal latihan, dengan membahas satu persatu soal bersama E, atau gimana? ” E menjawab,”Pertama dikasih cara untuk mengerjakannya, habis itu baru dikasih soal, baru suruh ngerjain .” Peneliti juga menanyakan mengapa tidak Bu L yang mendampingi E dalam belajar, E mengatakan bahwa Bu L sibuk mengurus pekerjaan rumah. Meskipun sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, Bu L lah yang selalu mengontrol perkembangan belajar E, dan beliau juga yang akan marah apabila E mendapatkan nilai yang jelek. Padahal seperti yang dikatakan E di atas, yang mendampingi E belajar adalah Bapak H. Namun Bapak H justru tidak marah jika E mendapatkan nilai yang jelek. Dari sini dapat kita lihat perbedaan perlakuan yang diberikan oleh Bu L dan Bapak H dalam mendampingi E belajar. Dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 penelitian ini, didapatkan informasi bahwa ibu cenderung lebih mengontrol kegiatan anak di rumah, sementara ayah cenderung lebih santai. Ketika peneliti bertanya mengenai kegiatan E sepulang sekolah, ia menjawab,”ganti baju, makan, terus tidur.” Kemudian peneliti bertanya,”E nggak main sama temen-temen sekampung atau sekomplek gitu? ” lalu E menjawab tidak. E berkata bahwa ia tidak mempunyai teman sebaya di rumahnya. Ia tidak pernah bermain dengan anak lain di sekitar tempat tinggalnya. E mengatakan bahwa ia tidak tinggal di dalam kampung ataupun di komplek perumahan. Rumahnya terletak di pinggir jalan besar. Posisi rumah E yang berjauhan dengan rumah para tetangganya membuat E sulit bersosialisasi. Jarak satu rumah dengan yang lainnya kurang lebih 200 meter, itupun terpisah oleh rel kereta dan sawah yang luasnya berhektar. Ketika peneliti mendatangi rumah E dalam rangka wawancara dengan Bu L, peneliti tidak melihat ada anak-anak seusia bermain di sekitar sana. Ketika pulang sekolah, ia diharuskan tidur siang oleh ibunya. Setelah tidur siang, E langsung mandi dan diperbolehkan menonton TV sebentar, kemudian makan malam dan belajar. Menurut perkataan E dan Bapak H, E senang bermain game. Selain bermain game, E juga suka bermain mobil-mobilan. Seringkali ia menyempatkan diri bermain mobil-mobilan di dalam rumah ketika sedang bosan. Ketika peneliti menanyai pukul berapa E biasa belajar, ia menjawab,”Jam setengah 8 sampe jam setengah 10.” Itulah penyebab mengapa E harus tidur siang. E belajar hingga malam hari, ia tidur siang supaya tidak mengantuk ketika sedang belajar. Peneliti juga menanyakan tentang cara Pak D mengajar matematika di kelas, menurut E, Pak D adalah guru yang 69 menyenangkan dan cara pengajaran beliau mudah dipahami oleh E. Berdasarkan wawancara dengan E, didapatkan informasi bahwa kecemasan belajar yang dialami E tidak bersumber dari cara mengajar guru. 4.1.2 Wawancara dengan Informan I Menurut Bu W, E merupakan siswa yang pandai dalam setiap mata pelajaran. Nilainya selalu di atas rata-rata. Hal tersebut terbukti ketika Bu W menunjukkan rekapan hasil belajar E dari semester kemarin sampai semester ini. Ketika peneliti bertanya kepada Bu W mengenai perilaku E di dalam kelas, beliau menjawab,”Oh kalau E tu diem, mbak. Di kelas tu malah nggak aktif. Maksudnya bukan merupakan siswa yang sering ngobrol gitu lho. Tapi nilainya memang bagus- bagus E itu. Malah kayak tertekan tu lho anaknya .” Menurut Bu W, E merupakan siswa yang agak sulit berekspresi. Contohnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang drama, E agak kesulitan berakting di depan teman-temannya. Juga pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang puisi, performa E sangat kurang apabila dibandingkan dengan teman-temannya. Bu W agak menekankan pada mata pelajaran Bahasa Indonesia sebab beliau adalah alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Yogyakarta. Beliau ahli dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, maka beliau lebih banyak membahas performa E dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, nilai E pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak bermasalah, E selalu mendapatkan nilai di atas rata-rata pada semua mata pelajaran, hanya saja Bu W menyayangkan performa E ketika ada ujian praktek Bahasa Indonesia. Bu W telah menjadi wali kelas E selama 2 semester ini, 70 sehingga beliau sudah hafal karakter para siswa yang beliau ampu. Bahkan ketika peneliti bertanya tentang siapa saja siswa yang nilainya di atas KKM, beliau hafal nama-nama mereka. Bu W mengatakan bahwa E menjadi pendiam karena tertekan. Setelah melakukan wawancara dengan wali kelas IV SD Suka, didapatkan informasi bahwa E mengalami suatu tekanan dari luar dirinya untuk menjadi berprestasi. E termasuk anak yang sangat tenang di kelasnya. Ia bahkan hanya mengobrol ketika ada orang yang mengajak mengobrol. Bahkan terkadang Bu W menghampiri meja E sambil berkata,”Mbok ngobrol to kamu tu.” Yang membuat E tersipu malu dan mengguratkan sedikit senyuman di bibirnya. Bu W memang terkenal guru yang supel di SD Suka. Beliau senang bercanda dan merupakan pribadi yang ceria. Bu W mengatakan bahwa beliau gemas dengan perilaku E yang sangat pendiam dan pemalu. Sepanjang pelajaran ia sibuk memperhatikan penjelasan guru. Tidak hanya pada mata pelajaran matematika, namun juga mata pelajaran lainnya. Informasi ini peneliti dapatkan melalui pengalaman peneliti sendiri. Berdasarkan pengalaman peneliti beberapa kali mengajar di kelas E, ia memang selalu terlihat tenang dan tepat waktu dalam menyelesaikan soal-soal yang peneliti berikan. Menurut peneliti, hal tersebut justru menguntungkan bagi guru, memilik siswa cerdas yang pendiam. Di kelas IV B ini peneliti pernah mengajar pelajaran IPA, IPS, dan PKn. Peneliti juga beberapa kali melakukan observasi pembelajaran matematika. E juga terlihat tenang sama seperti ketika ia mengikuti pembelajaran lainnya. 71 Ketika proses pembelajaran berlangsung, E selalu terlihat tenang dari awal masuk kelas sampai berakhirnya jam pelajaran. Ketika istirahat pun dia tidak pernah berlarian seperti teman-temannya. Seusai jajan biasanya ia menikmati makanannya di balkon kelas sambil memandangi halaman sekolah yang penuh dengan anak-anak sedang bermain. Ia sepertinya lebih menikmati peran sebagai “penonton” daripada ikut bermain. Ketika peneliti wawancarai, E mengatakan bahwa sering merasa ingin buang air kecil jika diminta mengerjakan soal Matematika di depan kelas. “Aku malah kasihan sama E itu mbak. Anaknya seperti tertekan tu lho. Nggak seperti anak-anak lainnya to? Terlalu pendiam dia tu, nggak ceria gitu lho. Ngobrol aja nggak pernah mbak kalo ngga ada yang ngajak ngobrol .” Demikianlah penuturan Bu W. Menurut Bu W, E kurang pandai bersosialisasi. Hal tersebut beliau ketahui berdasarkan pengamatan beliau di kelas, E tidak memiliki seorang sahabat dekat. Dengan teman sebangkunya saja ia jarang berkomunikasi. E mengobrol dengan teman sebangkunya ketika berdiskusi soal pelajaran. Dilihat dari segi fisik, E memang terlihat seperti siswa pintar yang hidup di dalam film-film. Penampilannya memang sangat mewakili bahwa ia adalah siswa yang pintar. Berkacamata, agak tambun, seragam selalu rapi, rambut klimis, kulit cerah dan bersih. Ia pun jarang melakukan pelanggaran-pelanggaran seperti lupa memakai dasi, lupa memakai sabuk, lupa membawa topi saat upacara, atau lupa mengerjakan PR. Secara fisik, E selalu terlihat siap beraktifitas di sekolah, namun ia merupakan siswa yang sangat pendiam. 72 Ketika peneliti bertanya tentang perilaku E yang sangat pendiam, Bu W menjawab,”Itu sepertinya tertekan kok, mbak. Lha wong mamanya setiap hari whatsapp saya. Tanya-tanya di kelas siapa saingannya E, gimana hasil belajarnya E, gimana nilai ulangannya. Who mbok setiap hari mbak seperti itu. Saya jujur saja agak terganggu ya, wong saya juga punya kegiatan yang lain mengawasi anak yang lain, bukan anaknya dia tok gitu lho. Enya memang pendiam, mamanya yang sangat berambisi .” Demikianlah penuturan Bu W. Menurut Bu W, hanya Bu L satu-satunya orang tua siswa yang sibuk menanyakan nilai anaknya. Ketika pembagian raport semester kemarin, Bu L ingin tahu ranking E di kelas, padahal jaman sekarang sekolah sudah tidak menerapkan sistem ranking lagi. Sehingga Bu W harus merekap hasil belajar seluruh siswa untuk dapat mengetahui ranking E. Berdasarkan wawancara dengan Bu W selaku wali kelas E, diperoleh informasi bahwa E seperti mendapatkan tekanan dari orang tuanya, terutama ibunya, untuk menjadi berprestasi. Pada kenyataannya, E memang terbentuk menjadi siswa yang berprestasi. Ketika peneliti menanyakan hasil belajar E selama dua semester ini, Bu W menjawab,”Nilainya bagus-bagus, mbak. Di semua mata pelajaran bagus, nggak cuma MTK tok. Nih tak kasih lihat daftar nilainya ya. Tapi yang Matematika dan IPA minta ke Pak D, karena beliau yang mengampu .” Begitu penuturan Bu W sembari mencari daftar nilai pada tumpukan berkas di meja beliau. Setelah peneliti melihat hasil belajar E selama dua semester, ternyata memang nilai E semuanya berada di atas KKM. Bahkan hasil rekapan nilai E jika dikonfersikan menjadi huruf, adalah A-. Tidak banyak di kelasnya yang mendapat nilai A-. 73 kurang lebih hanya ada 6 siswa, yang lain nilainya B dan C. Dari 6 siswa tersebut, E yang menduduki peringkat 6 besar. E memang merupakan siswa yang pintar di kelasnya. Penilaian sikap yang meliputi kemandirian belajar pun mendapat hasil yang baik. Ketika ada tugas, E dapat mengerjakannya dengan mandiri dan bertanggung jawab. Ia jarang sekali bertanya, baik kepada guru maupun temannya. Selesai mengerjakan tugas pun ia memilih duduk dengan tenang, tidak mengobrol dengan temannya. “Ya sesekali ngobrol sih mbak, tapi nggak sampe cekikikan rame gitu. Ngobrolnya kalau diajak ngobrol temannya, kalo nggak ada yang ngajak ngobrol ya diem .” Demikianlah menurut Bu W. Berdasarkan wawancara dengan Bu W, didapatkan infromasi bahwa menurut guru, E seperti mengalami tekanan dari luar dirinya untuk menjadikannya berprestasi. Tekanan itu ia dapatkan dari ibunya yang sangat intens memantau perkembangan belajar E. Tekanan-tekanan yang ia dapatkan dari orang tua terutama ibunya membuat E menjadi giat belajar, namun menyebabkan E mengalami kecemasan, demikianlah menurut Bu W sekalu wali kelas IV B. Menurut peneliti, hal tersebut perlu ditinjau lebih jauh lagi. Kemudian peneliti memutuskan untuk mewawancarai Bu L yang disebut sebagai penyebab kecemasan belajar E. Berdasarkan pendapat Bu W, kecemasan belajar tersebut juga berdampak pada kemampuan E dalam bersosialisasi. Padahal, kemampuan bersosialisai juga dibutuhkan, terutama ketika seseorang telah memasuki dunia kerja. Bu W berkata bahwa beliau khawatir dengan hal tersebut, beliau berharap seiring berjalannya waktu E, kemampuan bersosialisai E dapat berkembang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 dengan lebih baik. Bu W berasumsi bahwa E menjadi sulit bersosialisasi karena mendapatkan tekanan dari ibunya dalam hal akademik. Namun menurut peneliti hal tersebut perlu ditinjau lebih lanjut. Setelah mewawancarai Bu W, peneliti kemudian mewawancarai Pak D selaku guru matematika kelas IV B atau Informan II.

4.1.3 Wawancara dengan Informan II