Orde Baru: identitas ekonomis warisan kolonial dalam politik asimilasi

67 ke dalam bagian yang dibahas di BPUPKI dan PPKI. 69 Artinya, pembahasan mengenai siapa yang warga bukan Negara Indonesia serta non-pribumi terus menjadi penting. Lebih jauh, dapat dikatakan, bahwa hal tersebut merupakan salah satu wacana yang mengawali pembangunan Bangsa Indonesia. Tepat dari titik tersebut permasalahan yang semakin besar lahir, tumbuh dan berkembang. Sub bab ini akan membahas wacana besar tentang hubungan antar-etnis yang ada di masa setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia. Fokus utamanya adalah masa Orde Baru 1966-1998. Orde Baru selanjutnya disebut Orba adalah masa ketika banyak kebijakan terkait kehidupan antar-etnik di Indonesia dikeluarkan. Itulah kenapa masa ini dijadikan fokusnya. Di masa tersebut serangkaian jalur birokrasi dibuat hanya khusus mengatur perihal hubungan antar-etnik. Sejak tahun 1966 hingga 1998, kebijakan-kebijakan memunculkan badan-badan yang mengatur masalah etnik ini dari yang bertataran nasional hingga regional, bahkan hingga tataran Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Tapi, yang menarik, ketika Pemerintah menyibukkan diri dengan urusan yang terkait dengan etnik, kebijakan-kebijakan yang hadir justru dimaksudkan aga r masyarakat ‘melupakan’ permasalahan ini. Tentu dengan definisi kata ‘melupakan’ a la Orde Baru. Sekarang ini sangatlah lazim kita membaca selebaran-selebaran, baik dalam bentuk salinan lunak di internet atau salinan keras di papan-papan pengumuman kampus, tentang lomba menulis yang, dalam peraturannya, mencantumkan tulisan: “tulisan dilarang berbau SARA”. Secara spontan, saya seringkali bereaksi, “terus kalau tidak berbau SARA, kita harus menulis apa? Apalagi ini Indonesia yang, katanya, majemuk di segala sisi”. Nah, ini adalah salah satu warisan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa Orba yang masih dilestarikan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya kebijakan-kebijakan Orba. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan, dampak kebijakan-kebijakan Orba adalah yang kedua terkuat perngaruhnya terhadap kehidupan 69 Lih. Prasetyadji, 2008, p. 12 68 kekinian setelah kebijakan-kebijakan masa Kolonial. Jadi, kini kita akan membaca lebih jauh tentang orde ini. Rezim Orba, yang sangat ‘tertarik’ dengan masalah etnik, terdapat fakta menarik bahwa orde ini diawali sekaligus diakhiri dengan gejolak di ranah politik yang, kemudian, berimbas ke permasalahan etnik dan berujung kekerasan. Jendral Soeharto, sebagai satu-satunya presiden di orde ini, dilantik menjadi presiden setelah dianggap mampu menyelesaikan gejolak-gejolak yang ada di pertengah dekade 60-an. Pelantikkan Soeharto diawali terlebih dahulu dengan sebuah surat yang memberi dirinya wewenang untuk menggunakan segala cara untuk mengatasi segala permasalahan kala itu. Setelah dianggap mampu mengatasi usaha ‘kudeta’ Partai Komunis Indonesia PKI, dilantiklah ia menjadi presiden. Hingga saat ini, perihal ‘kudeta’ PKI dan naiknya Soeharto menjadi presiden masih merupakan lahan yang menarik bagi para peneliti khususnya sejarah. Hal tersebut dikarenakan pada masa Orba kebanyakan buku sejarah yang dikeluarkan adalah sejarah yang menggunakan sudut pandang Soeharto sehingga banyak hal yang tetap tak tersentuh. Setelah jatuhnya Soeharto, buku-buku sejarah tentang hari-hari kelam di tahun 1965 dan beberapa tahun berikutnya mulai bermunculan. Walaupun demikian, usaha pemberangusan atas buku-buku tersebut masih terjadi. Setelah dilantik menjadi presiden Republik Indonesia, Soeharto benar-benar merealisasikan wacananya yang ikut mengangkat dirinya ke tampuk kekuasaan tertinggi: Tri Tuntutan Rakyat Tritura. Yang ia dahulukan adalah butir pertama dan kedua. Alasannya jelas karena dua butir ini lah yang memastikan kekuasaannya. Untuk butir pertama, melalui Tap MPRS No. XXVMPRS1966 Soeharto membubarkan PKI sekaligus, untuk memastikan ketidakberlanjutan PKI, melarang komunisme. 70 Hal tersebut terbukti mujarab karena Ketetapan tersebut masih berlaku, hanya tindak-lanjut 70 https:www.google.comurl?sa=trct=jq=esrc=ssource=webcd=2cad=rjaved=0CDYQFjABu rl=http3A2F2Fwww.tatanusa.co.id2Ftapmpr2F66TAPMPRS- XXV.pdfei=MWKTUZy6NMTRrQfv64H4DAusg=AFQjCNESuksop2r7ZgNMJfidP6JvnW1H8gsig2=hnVd a4O7wVplrqF2pGMc1Qbvm=bv.46471029,d.bmk 69 berdasarkannya saja kini sedikit dikendurkan dan memanfaatkan bentuk-bentuk non- kenegaraan seperti Ormas. Kemudian, sebagai realisasi butir kedua, ia mengeluarkan semua anggota PKI dari parlemen dan membentuk parlemen sementara. Dengan tindakan tersebut, resmi lah Orba sebagai rezim baru; rezim anti-komunis berbasis militer. Bagaimana dengan politik Orba yang terkait dengan etnik? Garis besarnya, kebijakan-kebijakan Orba memiliki arah yang hamper mirip dengan masa-masa akhir Kolonial Politik Etis. Orba juga, meskipun dengan kepentingan dan latar belakang yang berbeda, mengarahkan kebijakan-kebijakan tentang etniknya pada orang-orang Cina. Dalam hal tersebut, bahkan, dapat dikatakan, bahwa Orba semacam melanjutkan kebijakan-kebijakan segregatif a la Politik Etis. Tapi, Orba jelas memiliki gayanya sendiri. Yang berbeda, di masa Orba, kebijakan-kebijakan tersebut tidak terpisahkan dengan logika anti-komunis-nya. Singkatnya, logika anti-komunis Orba menyatakan bahwa tidak hanya PKI yang dapat menyebarkan komunisme namun juga warga keturunan Cina karena Cina merupakan Negara berlandaskan komunisme. Tentu logikanya tak selalu seketat itu namun itu lah awalnya. Yang ada di kemudian hari adalah variannya. Berbicara tentang logika pengaturan etnik, terutamanya pemposisian etnis Cina, terdapat sebuah perdebatan di masa awal Orba. Para birokrat Orba melihat ada dua jalan yang dapat digunakan untuk meletakkan etnis Cina di Indonesia: 1. Asimilasi dan 2. Integrasi. 71 Yang dimaksud dengan asimilasi adalah menghilangkan semua tanda-tanda identitas ke-Cina-an di orang-orang keturunan Cina, seperti nama, perayaan, agama, bahasa dll., sehingga membuat mereka terlihat sama dengan penduduk Indonesia lain yang sejak masa Kolonial dilabeli pribumi Inlander. Sedangkan integrasi dimaknai dengan usaha merengkuh tanda-tanda ke-Cina-an tadi dan memasukkan semantic properties tersebut ke dalam semantic properties orang Indonesia. Artinya, melalui 71 Lih. Dieleman, 2010, pp. 49-50 70 proses integrasi, nama-nama danatau perayaan-perayaan Cina menjadi salah satu bentuk-bentuk kebudayaan pembentuk Indonesia. Secara non-formal, Orba memilih jalan asimilasi yang ditetapkan lewat pidato Soeharto bulan agustus 1967 yang mengharuskan proses asimilasi warga negara Indonesia keturunan asing dalam tubuh bangsa Indonesia harus dipertjepat. 72 Untuk menjalankannya, Pemerintah Orba membentuk banyak badan dengan spesifikasi dan kewenangannya masing-masing. Badan yang didirikan khusus untuk menangani kasus non-pribumi bukanlah barang asing. Di masa Kolonial tentu kita masih ingat adanya Kantoor Voor Chinesche Bestuur . Di masa kemerdekaan, pada tahun 1961, setelah dikeluarkannya Undang-undang no. 4 tahun 1961, 73 badan semacam ini dimulai dengan pendirian Lembaga Pengkajian Kesatuan Bangsa LPKB; sebuah badan yang disponsori oleh militer. LPKB diketuai oleh seorang purnawirawan Angkatan Laut berpangkat terakhir Mayor keturunan Cina bernama Sindhunata. Lembaga ini adalah lembaga yang memberi komando dan mengawasi segala proses asimilasi dan integrasi selama masa kepemimpinan Soekarno. Kemudian, di masa Orba, segala kewenangan LPKB dilimpahkan ke Departemen Dalam Negeri Depdagri dan LPKB dibubarkan pada tahun 1968. Namun badan ini tak benar-benar hilang. Ia diaktifkan-kembali oleh Soeharto yang merubahnya menjadi Badan Komunikasi Penhayatan Kesatuan Bangsa BAKOM PKB, dengan tetap mempertahankan ketuanya di tahun 1977. Hanya kali ini badan tersebut berada di bawah Depdagri. Di dalam Depdagri selalu terdapat badan yang memang dikhususkan untuk menangani permasalahan asimilasi dan segala hal yang terkait dengan permasalahan 72 Ibid., hal. 69. 73 Undang-undang ini mewajibkan penggantian danatau penambahan nama bagi warga keturunan Cina sekaligus mengatur tata caranya. Namun, seperti dicatat oleh Andreas Susanto Dieleman, 2010, p. 69, undang-undang tersebut tak pernah benar-benar dilaksanakan secara menyeluruh. Baru pada masa Orba undang-undang tersebut direvisi sekaligus dijalankan secara menyeluruh. 71 SARA. Adanya badan semacam ini karena memang tugas besar Depdagri semasa Orba adalah memastikan proses sekaligus hasil Pemilihan Umum. Dengan pengawasan ketat atas perkembangan wacana SARA, diharapkan gangguan-gangguan berbasis SARA yang dapat mengganggu jalannya Pemilu dapat ditanggulangi. Tugas ‘berat’ tersebut awalnya diserahkan pada Biro Politik. Kemudian, sejak tahun 1970, tugas tersebut diserahkan pada Biro Politik. Setelah tahun 1975 hingga lengsernya Soeharto dan badan ini dihilangkan, tugas ini dijalankan oleh Dirjen Sosial-Politik. Dirjen Sosial-Politik ini dalam menjalankan tugas membawahi Divisi Sosial-Politik yang dibentuk tahun 1978. Divisi ini di tingkatan daerah memiliki Direktorat Pembinaan Kesatuan Bangsa Kesbang untuk memaksimalkan pengawasan dengan bantuan BAKOM PKB. Kesbang ini lah yang secara spesifik menangani “Chineesche Kwestie” a la Orba. Dengan birokrasi serumit ini, apa saja yang dilakukan badan-badan tersebut? Hal tersebut akan dibahas selanjutnya dengan memilah-milah bidang-bidang yang ada di masyarakat. B.1. Sosial dan Budaya Berbeda dengan masa Kolonial yang memulai usaha pengaturan kehidupan sosial masyarakat Hindia dari bidang ekonomi, Orba mula-mula menitikberatkan kebijakan-kebijakannya pada bidang sosial dan budaya. Sebagai latar sejarahnya, bidang ini merupakan dampak langsung dari pergolakkan politik saat itu kudeta yang dituduhkan ke PKI, walau yang naik ke kekuasaan Soeharto, dan pidato Soeharto tentang percepatan proses asimilasi. Hal tersebut membuat kebijakan-kebijakan di bidang ini berjalan sejurus dengan proses pengganyangan PKI. Di masa tersebut, menjadi PKI tidak perlu menjadi anggota organisasi-organisasi sayapnya BAPERKI, BTI, SOBSI, GERWANI dll.. Siapapun yang dituduh oleh pihak berwenang karena dianggap melawan Pemerintah, jadilah ia seorang PKI dan layak diganyang. Permasalahan tersebut terjadi, selain pada mereka yang bukan anggota PKI tapi pernah terlibat di salah satu acaranya, pada orang-orang keturunan Cina. Orang- 72 orang tersebut tersebut dianggap datang dari sebuah Negara komunis meski kenyataannya sebagian besar pendatang asal Cina yang datang dan tinggal di Indonesia datang jauh sebelum masa Mao Zedong. Namun, memang bersamaan dengan masa Orba, Cina sedang menjalankan Revolusi Kebudayaannya yang mahsyur. Sehingga, di Cina Daratan, memang terjadi semacam redefinisi identitas Cina dan penyebarannya identitas anyar ini tentu berdampak pada mereka yang telah menjalankan migrasi jauh sebelumnya. 74 Dengan kenyataan seperti di atas, Soeharto berekasi dengan keras sesuatu yang terbukti terus-menerus selama karirnya sebagai Presiden. Untuk menghindarkan penduduk Indonesia keturunan Cina terpapar identitas baru bentukan Ketua Mao dan Partai Komunis Cina PKC, Soeharto mengeluarkan beragam kebijakan. Tujuannya sederhana yaitu: menghilangkan segala bentuk yang mengarah pada identitas ke-Cina- an. Inilah makna asimilasi sesungguhnya bagi Orba. Kebijakan pertamanya terkait asimilasi adalah kebijakan penggantian atau penambahan nama sehingga nama orang-orang keturunan Cina ini tidak terasa berbeda dengan saudara-saudara mereka yang dianggap pribumi. Walaupun, kenyataannya di lapangan, nama- nama pengganti yang lebih ‘pribumi’ juga tetap mengacu pada mereka yang keturunan Cina. 75 Tapi, bagi Pemerintah Orba, yang terpenting adalah ke-Cina-an tersebut tak muncul ke permukaan. Peraturan yang mengatur penggantian nama ini adalah Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966. Saat Kepres ini dikeluarkan memang Soeharto belum resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia namun, praktis, ia lah yang memegang kekuasaan tertinggi setelah keluarya 74 Kondisi ini sebenarnya mirip dengan kondisi masa Politik Etis yang mana kala itu nasionalisme Cina sedang memuncak karena genderang revolusi melawan Kekaisaran sudah ditabuh. Kala itu, adalah Sun Yat Sen dengan Kuomintang-nya melakukan propaganda nasionalisme sekaligus identitas baru ini. Masyarakat keturunan Cina, bukan hanya yang Totok, di Hindia tak lepas dari euphoria nasionalisme tersebut. Karenanya, saat itu, muncul perkumpulan seperti THHK dan pers-pers milik etnis Cina di Hindia. 75 Untuk contoh nama-nama ini Lih. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 87 73 Supersemar. Peraturan ini hanya berupa Kepres karena memang undang-undang yang mengatur perihal yang sama telah dikeluarkan lima tahun sebelumnya UU no. 4 tahun 1961. Kepres ini hadir sebagai paksaan untuk sesegera mungkin menjalankan undang- undang tadi. Setelah Kepres ini dikeluarkan bulan Desember 1969, pada bulan Januari 1967, ia mulai dijalankan. Pada awalnya, batas akhir pengurusan pergantian nama dibatasi hingga bulan Maret di tahun berikutnya. Namun, karena jumlah keturunan Cina yang mengurus pergantian nama dianggap tidak mencapai target 76 , batas akhirnya diundur hingga bulan Agustus 1969. Di batas akhir ini, Departemen Kehakiman, sebagai pengetuk palu untuk nama baru, mencatat terdapat 232. 882 warga keturunan Cina yang telah sah mendapatkan nama baru. 77 Berikutnya, kebijakan yang dikeluarkan di masa Orba adalah yang terkait dengan bentuk-bentuk budaya dan agama masyarakat keturunan Cina. Selama masa Orba, perayaan hingga keluar area rumah di hari-hari raya seperti Imlek, Cap Go Me, Sin Cia dll., dilarang. Penggunaan bahasa dan huruf-huruf Cina di tempat-tempat umum juga dilarang. Lebih jauh, Konghucu juga tidak diakui sebagai salah satu agama resmi Republik Indonesia. Bahasa, tentu dengan aksaranya, adalah salah satu penanda identitas seseorang. Bahasa yang ia gunakan dapat dikatakan sebagai penentu identitas seseorang. Itulah kenapa bahasa dan aksara Cina menjadi semacam momok bagi Orba. Dengan kebijakan asimilatif, penggunaan bahasa dan aksara Cina dikurangi ke level terendah. Di titik ini, Orba memanfaatkan hal-hal yang telah dilakukan di masa Orla. Tapi Pemerintah Orba melakukannya dengan melupakan konteks kebijakan-kebijakan Orla. Artinya, Orba melakukan semuanya demi berlangsungnya kekuasaannya semata. 76 Tidak terdapat catatan yang pasti terkait dengan jumlah orang-orang mengganti namanya. 77 Lih. Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 172 74 Di masa Orla, di tahun 1958, terjadi kampanye anti-Kuomintang, partai warisan SunYat Sen yang kala itu dipimpin seorang Jendral ber-pelindung Amerika bernama Chiang Kai Sek pendiri Taiwan, karena Pemerintah Taiwan dengan Amerika terbukti secara aktif terlibat dalam Pemberontakkan PRRIPermesta. Sebagai reaksinya, sekolah- sekolah berbahasa Cina, warisan THHK, banyak yang diubah menjadi sekolah berbahasa Indonesia dengan mata pelajaran Bahasa Mandarin. Beberapa sekolah lain yang memang memiliki hubungan Taiwan ditutup. Di masa awal Orba, sebagai reaksi G30S, semua sekolah tersebut ditutup tanpa pandang bulu. Beberapa sekolah yang berhasil mencari jalan untuk tetap ada dengan masuk ke program Sekolah nasional Proyek Khusus pun akhirnya ditutup juga. Pada tahun 1975, tidak satu pun sekolah- sekolah berbahasa Mandarin tersebut yang aktif. 78 Hal yang sama terjadi pada pers milik warga keturunan Cina. Di masa Politik Etis pers Cina berjumlah banyak. Sebagian dari mereka mengeluarkan koran-koran berbahasa Mandarin. Pers-pers tersebut sempat dibredel di masa Orla namun hanya berjalan sebentar kemudian diijinkan kembali dengan format yang sama. Di masa Orba, koran-koran berbahasa Mandarin tersebut semuanya ditutup. Lebih jauh, Koran asing berbahasa Mandarin juga dilarang masuk atau harus melalui penyensoran. Saat itu, hanya satu Koran yang masih diberi ijin-edar. Koran tersebut adalah Yindunixiya Ribao alias Harian Indonesia. 79 Alasan diijinkannya koran ini adalah karena Pemerintah merasa memerlukannya sebagai pengabar kebijakan-kebijakan Pemerintah. Salah satunya adalah kebijakan pelarangan pengggunaan aksara Cina di tempat-tempat umum, Yang dimaksud dengan tempat umum di sini termasuk dengan tempat-tempat usaha para pengusaha keturunan Cina. Bahkan, saking ketatnya pelarangan bahasa Cina ini, operator telepon diperintahkan untuk memutus sambungan telepon berbahasa Cina. 80 78 Lih. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, pp. 84-85 79 Lih. Ibid., hal. 86 80 Ibid., hal. 85. Perintah yang dikeluarkan oleh Jenderal Soemitro, Komando Divisi Brawijaya saat itu, sempat berlaku di wilayah Jawa Timur. 75 Di ranah terdekat dengan bahasa, sastra, tidak dapat dipungkiri, betapa besarnya pengaruhnya para penulis keturunan Cina dengan bahasanya di sastra Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian terkini yang dimulai dari pengumpulan karya oleh Pramoedya Ananta Toer, sastra Indonesia yang kita kenal saat ini berangkat dari sastra Melayu-Lingua Franca yang mana sebagian penulisnya, selain orang-orang Indo, merupakan keturunan imigran-imigran asal Cina. 81 Ini adalah kenyataan yang coba dipungkiri sejak berdirinya Balai Pustaka tahun 1920 sebagai lembaga pentasbih sastrawan di masa Kolonial dan diteruskan hingga kini. Sekarang ini, buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah masih mencantumkan bahwa sastra Indonesia modern lahir tahun 1920-an dengan tonggak karya Marah Rusli, Siti Nurbaya. Wacana ini jelas tak sesuai jika dibandingkan dengan pengamatan Nio Joe Lan atau, yang lebih kini, Claudine Salmon yang memberi data bahwa sastra dengan bahasa Melayu-Lingua Franca, yang berbeda dengan Melayu-Tinggi yang digunakan acuan Balai Pustaka, telah ada jauh sebelum Balai Pustaka atau novel Siti Nurbaya. 82 Di masa Orba, dengan segala pelarangannya atas hal-hal yang berbau Cina, kelompok masyarakat yang dulunya merupakan salah satu kelompok penulis terbesar tidak tampak lagi karya-karyanya. Istilah-istilah dari dialek Hokkien yang dibikin gado- gado dengan istilah-istilah dari bahasa Jawa atau, bahkan, bahasa Eropa, tak tampak lagi di karya-karya sastra masa Orba. Tema-tema seputar kehidupan antar etnik atau tentang etnik tertentu juga turut menghilang. Bahkan, pengarang-pengarang atau penyair- penyair dengan nama keluarga Cina tak muncul di permukaan meskipun beberapa penulis memang keturunan Cina. Beginilah politik asimilasi di ranah sastra yang mana membuat sastra seperti bebas dari beban etnis, agama dan pandangan politik. Di sisi agama, cerita yang terjadi sedikit berbeda. Konghucu yang sebagian besar penganutnya etnis Cina sebenarnya telah diakui sebagai agama resmi di Indonesia. 81 Lebih lengkapnya lih., Toer, Tempo Doeloe, 2003 82 Untuk data lebih rincinya Lih. Salmon, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa, 2009, Jedamski, 1992 dan yang khusus mengenai pembabakan Sastra Indonesia dari sudut pandang pengaruhnya lih., Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, 2003 76 Keputusan tersebut berangkat dari Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965. Di awal masa Orba, UU no. 5 tahun 1969, yang mengaktifkan kembali undang-undang di masa Orla dengan beberapa pengecualian, dikeluarkan. Memang hingga awal 1970-an tidak terjadi masalah apapun terkait dengan undang-undang yang disebut terakhir ini. Bahkan, pada pada kongres-kongres yang diselenggarakan Gabungan Perhimpunan Agama Konghucu se-Indonesia GPAKSI atau, bentuknya kemudian, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia MATAKIN, beberapa pejabat mengikutinya. Lebih jauh, Soeharto sendiri sempat menulis kata sambutan untuk Kongres ke VI GPAKSI di Surakarta. Kemudian hal yang mengejutkan terjadi. Kongres ke-IX MATAKIN yang dijadwalkan diadakan 21-26 Februari 1979 tiba-tiba dilarang. Beberapa waktu kemudian, ketua MATAKIN dipanggil ke Kementerian Agama. Pada pertemuan tersebut, Menteri Agama, Alamsyah Ratu Perwiranegara, yang didampingi oleh Dirjen Bimas Hindu dan Budha Gde Puja M.A. S.H., memutuskan bahwa segala perihal terkait dengan Konghucu akan berada di bawah pengawasan Dirjen Hindu dan Budha. Begitulah, salah satu penanda identitas warga keturunan Cina dihilangkan. B.2. Politik dan ekonomi Kebijakan-kebijakan terhadap warga keturunan Cina di dua bidang politik dan ekonomi sangat erat di Masa Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa stereotipe terhadap orang-orang Cina yang enggan berpolitik dan hanya berkutat di bidang ekonomi diperkuat dan ditancapkan dalam-dalam di Masa Orba. Di bidang politik, yang pertama kali dipermasalahkan, dan lantas jadi akar semua masalah, adalah perihal kewarganegaraan. Dari titik tersebut, segala hak dan kewajiban ditentukan. Masalah kewarganegaraan bangsa-bangsa yang tadinya masuk ke dalam golongan Bangsa Asia Asing di Masa Kolonial terutamanya warga keturunan Cina telah dibahas oleh badan-badan panitia persiapan kemerdekaan BPUPKI dan PPPKI. Perdebatan saat itu terkait dengan penggunaan kata ‘asli’, berikut pemaknaannya, sebagai kata penjelas istilah ‘warga negara’ Indonesia. Artinya, di pertemuan-pertemuan 77 mereka pembahasan siapa yang dapat menjadi orang Indonesia dan siapa yang tidak mulai dipikirkan. Setelah deklarasi kemerdekaan, dibuatlah Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang mengatur bahwa golongan yang tadinya bernama Asia Asing dan Eropa diberi waktu hingga 1948 untuk menjadi warga Negara Indonesia. Untuk perlakuannya, yang masih menggunakan pembagian sosial a la Belanda, dijelaskan lebih jauh di Konferensi Meja Bundar. 83 Masalah mulai muncul bagi mereka yang keturunan Cina karena perbedaan prinsip yang dianut oleh Indonesia dan Republik Rakyat Cina. Indonesia, dengan jus soli -nya, jelas berpendapat bahwa siapapun yang lahir di tanah Indonesia adalah orang Indonesia. Di sisi lain, RRC dengan jus sanguinis-nya berpendapat bahwa mereka yang lahir dari bapak atau ibu berdarah Cina adalah warga Negara Cina. Lantas, guna menghindari konflik yang mungkin terjadi, dibuatlah kesepakatan bilateral yang ditanda-tangani Presiden Soekarno dan Mao Zedong di tahun 1958. Hasilnya, warga keturunan Cina di Indonesia harus memilih salah satu kewarganegaraan. Hal tersebut, diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 62 tahun 1958. Di awal masa orde Baru, undang-undang di atas digugurkan dan digantikan dengan undang-undang no. 4 tahun 1969 yang mengatur bahwa anak-anak yang lahir dari orang tua keturunan Cina, yang telah memilih menjadi warga Negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan orang tuanya dan tak boleh memilih lagi. Akan tetapi, masalah muncul lagi dengan dikeluarkannya Kepres No. 7 tahun 1971 karena Kepres ini membuat dualitas status kewarganegaraan warga keturunan Cina. Dualitas ini muncul karena Kepres ini ‘menghidupkan’ kembali Undang-undang no. 3 tahun 1946 yang menyatakan bahwa orang Indonesia adalah penduduk ‘asli’ nusantara. Sebagai 83 Lih. Prasetyadji, 2008, p. 13 . Kaula Bu iputra de ga se diri ya e jadi warga Negara I do esia. Kaula Timur Asing dengan stelsel pasif, yaitu jika diam berarti memilih menjadi warga Negara Indonesia dan jika menolak, harus dengan pernyataan. Kaula Belanda dengan stelsel aktif, yaitu jika ingin menjadi warga Negara Indonesia harus memiliki pernyataan dan sebaliknya, jika diam berarti tetap menjadi warga Negara Bela da . 78 akibatnya dibutuhkanlah surat yang memastikan bahwa mereka ini orang Indonesia: SBKRI. Di arena politik praktis, di masa Orba, pergerakan politik orang-orang keturunan Cina dibatasi hingga taraf sekarat. Di masa lalu, terutama setelah adanya Kuomintang, warga keturunan Cina sangat aktif di bidang politik. Paling tidak saat itu terdapat tiga organisasi besar dengan identitas, orientasi, alat politik koran-nya masing-masing: Sin Po Pro Reublik Rakyat Cina, Chung Hwa Hwee Pro Pemerintah Kolonial dan Partai Tiong Hoa Indonesia Pro Indonesia. Hal yang kurang-lebih sama terjadi di masa awal kemerdekaan dan Orla. Di tahun 1948, sebuah organisasi warga keturunan Cina yang pro Republik Indonesia Serikat muncul: Persatuan Tionghoa PT. Bulan Februari tahun 1950, sebagai reinkarnasi PTI, muncul PTI Baru Persatuan Tenaga Indonesia Baru. Bulan berikutnya, setelah RIS lahir, organisasi ini berubah menjadi Partai Demokrat Tionghoa Indonesia PDTI. Tahun 1954, setelah melebur diri dengan beberapa organisasi lain dan merancang anggaran dasar yang baru, PDTI berubah wujud menjadi Badan Pemusyawarahan Kewarganegaraan Indonesia Baperki yang pada masa 1965- 1966 seringkali dianggap sebagai underbow PKI dan turut diganyang. Padahal organisasi ini adalah organisasi dengan pemrakarsa warga Tionghoa pertama yang anggota tidak hanya mereka yang memiliki darah keturunan Cina. 84 Semua hal ini berubah di masa Orba. Organisasi-organisasi dengan pemrakarsa warga keturunan Tionghoa dibubarkan. Pemerintah Orba kemudian membentuk LPKB, yang tugas- tugasnya telah dijabarkan sebelumnya, untuk menampung aspirasi warga keturunan Cina. Satu hal yang pasti pasti tentang LPKB adalah bahwa organisasi ini adalah organisasi pemerintah. Ini berbeda dengan organisasi-organisasi dan perkumpulan- perkumpulan warga keturunan Cina yang lalu. Karenanya, dengan rincian birokrasi yang telah ditulis sebelumnya, LPKB bekerja lebih sebagai mesin politik Orba daripada 84 Lih. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, pp. 39-46 79 penjaring aspirasi warga keturunan Cina. Tugas LPKB adalah tugas pengawasan yang merupakan bagian dari tugas pengamanan jabatan Soeharto sebagai presiden di setiap pemilunya. Dengan hadirnya LPKB, yang juga merupakan ujung tombak proyek asimilasi Orba, di bidang politik, warga keturunan Cina kehilangan suaranya. Suara mereka, yang tadinya muncul dengan kekhasan organisasi-organisasinya, kini harus dibungkam karena dipandang akan memunculkan perbedaan yang mana haram hukumnya untuk muncul mengingat politik asimilasi SARA yang dijalankan. Penghilangan perbedaan-perbedaan melalui politik representasi kepartaian diperkuat di masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama Repelita I. Di masa pematangan Orba ini, partai-partai dilebur dan dimodifikasi menjadi tiga partai saja yang bertahan hingga lengsernya Soeharto tahun 1998. Sistem tiga partai ini membuat orang-orang keturunan Tionghoa melebur ke partai-partai tersebut. Yang telah beragama Islam membentuk Ukhuwah Islamiyah dan tergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan PPP yang, walaupun tak kentara dari namanya, merupakan leburan dari partai-partai Islam. Yang memiliki kedekatan dengan penguasa jelas merapatkan diri ke Golongan Karya Golkar. Yang tidak cocok dengan keduanya lari ke Partai Demokrasi Indonesia PDI yang mana sebagian besar dari mereka. Hal ini khas Orba yang sangat ingin menghilangkan perbedaan SARA namun justru menajam dengan nama-nama yang berbeda. Dimana lantas orang-orang keturunan ini kemudian diletakkan oleh Orba? Apakah Orba sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada kelompok masyarakat yang satu ini? Sejurus dengan kebijakan-kebijakan masa Kolonial, Pemerintahan Orba hanya memperdulikan keuntungan ekonomis dari kelompok ini. Wilayah ekonomi adalah wilayah yang tampaknya secara khusus memberi kelonggaran pada kelompok masyarakat ini. Karenanya lah asosiasi langsung dari kelompok masyarakat keturunan Cina di kepala kita semua hingga kini mengarah pada wilayah ekonomi. Walaupun, kenyataannya, hanya sebagian kecil yang merasakan kelonggaran ekonomis ini. 80 Sebelum beranjak langsung ke kebijakan-kebijakan Orba, kita akan terlebih dahulu meniliknya dari awal masa kemerdekaan Indonesia. Secara politik, sebelum naik tahtanya Soeharto terdapat dua masa demokrasi: 1. Demokrasi Liberal 1949-1958 dan 2. Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Untuk masa Demokrasi Liberal, dengan sistem serikatnya RIS, dekolonisasi adalah arah utamanya. Di segala bidang, hal tersebut diartikan sebagai proses Indonesianisi nasionalisasi “dalam hal kepemimpinan dan sektor-sektor lainnya termasuk tanah pertanian, perpabrikkan, produksi tambang, prasarana, angkutan, keuangan dan perdagangan”. 85 Permasalahan bidang ekonomi muncul karena di masa itu kewarganegaran mereka belum jelas bahkan sejak 1958, seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka ber-kewarganegaran ganda Indonesia- Cina. Karenanya, seperti ditulis Leo Suryadinata, kebijakan-kebijakan Indonesianisasi yang “sasaran pertama-tama adalah orang Belanda…kemudian orang Tionghoa lokal menemui nasib yang sama”. 86 Kebijakan-kebijakan berlandaskan Indonesianisasi ini dibarengi dengan sistem perlindungan, sekaligus pengembangan, kehidupan ekonomi lokal yang dikenal dengan nama Sistem Benteng. Sistem Benteng, yang mulai dijalankan tahun 1950-an, dimaksudkan untuk menguatkan importir-importir nasional lokal yang adalah “importir pribumi lokal, atau perusahaan impor yang 70 persen dari modalnya dimiliki pribumi”. 87 Penguatan ini berbentuk perlakuan istimewa dalam hal pemberian kredit, ijin dan jenis barang-barang yang dapat diimpor. Perlakuan istimewa ini tentu tidak akan dirasakan pada pelaku-pelaku perdagangan yang bukan pribumi. Dibalik berjalannya sistem resmi Sistem Benteng terbentuk sebuah sistem semi-legal yang diberi nama Sistem Ali Baba. Sistem Ali Baba ini adalah sebuah sistem yang mencoba mengakali susahnya ijin bagi para pelaku perdagangan non-pribumi dengan menggunakan orang-orang pribumi sebagai pemohon ijin dan terdaftar sebagai 85 Lih. Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 135 86 Ibid., 87 Ibid., 81 pemilik usaha. Walaupun mereka terdaftar sebagai pemiliki usaha, di lapangan, yang menjalankan perusahaan ini, berikut dengan kerjasama-kerjasama yang dilakukan, adalah mereka yang masuk ke golongan non-pribumi. Mudah saja disimpulkan bahwa Sistem Ali Baba ini hanyalah bentuk lain dari pemposisian Bangsa Asia Asing, di masa lalu, sebagai bangsa perantara karena mereka tidak benar-benar berada dalam identitas yang sama dengan pribumi di ranah ekonomi. Inilah fenomena yang akan kita lihat lagi di masa Orba tentu dengan beberapa komodifikasi. Di masa berikutnya, Demokrasi Terpimpin 1959-1965, yang diberi label Orla oleh Soeharto, penguatan kekuatan-kekuatan ekonomi nasional berbasis pribumi, yang mana saat itu warga keturunan Cina belum dianggap penuh sebagai warga Negara Indonesia, masih menjadi arah besar kebijakan-kebijakan ekonomis yang dikeluarkan. Hal tersebut dibuktikkan dengan munculnya Peraturan Presiden no. 10 tahun 1959. Peraturan ini menegaskan bahwa peraturan-peraturan di masa sebelumnya masih berlaku. Artinya, para pemodal yang dianggap asing tidak dapat memiliki tanah atau perusahaan dengan keistimewaan-keistimewaan seperti ditulis di paragraf sebelumnya. 88 Melalui Perpres ini juga orang asing “tidak diperkenankan berusaha di bidang perdagangan eceran dan oleh hukum diwajibkan untuk mengalihkan perusahaan mereka ke warga Negara Indonesia sebelum 1 Januari 1960”. 89 Sebagai akibatnya, banyak warga keturunan Cina, baik Totok maupun Peranakan, melakukan urbanisasi ke kota- kota besar untuk masuk ke bisnis-bisnis besar non-eceran. Lebih jauh, pada pelaksanaannya, istilah ‘asing’ ini terkadang dikenai bagi seluruh warga keturunan Cina entah Totok entah Peranakan; baik yang telah berstatus penuh warga Negara Indonesia maupun yang masih berstatus ganda. Walaupun 88 Kehatian-hatian Pemerintah Soekarno terhadap modal asing ini tidak lepas dari pengalaman- pengalaman pemberontakkan di masa Demokrasi Liberal. Banyak pemberontakkan-pemberontakkan terhadap RIS tersebut berdonorkan asing. Keterlibatan Amerika dan Inggris di Pemberontakkan PRRIPermesta adalah fakta yang umum diungkapkan sekarang ini. Keterlibatan asing pada Pemberontakkan Westerling juga hal yang banyak ditulis saat ini. 89 ibid., hal. 141. 82 demikian banyak peranakan yang setuju dengan hal tersebut karena Perpres ini dianggap hanya berlaku pada mereka yang totok. Tapi, apabila ditelisik lebih dalam, kebingungan yang terjadi lebih karena perjanjian dengan RRC yang mengamini kewarganegaraan ganda. Perjanjian ini membuat mereka yang peranakan juga terkena imbas peraturan-peraturan yang sebenarnya diperuntukkan bagi kaum Totok. Selain itu, penguasa lokal juga banyak melakukan modifikasi-modifikasi atas pelaksanaan kebijakan-kebijakan. Fenomena ini terjadi juga karena Perpres no. 10 membuka peluang tersebut dengan menyatakan bahwa komandan militer dapat mengatur per-pindah- tangan-an usaha dan relokasi dengan alasan keamanan. 90 Silang-sengkarut kebijakan pusat dan daerah ini tampaknya akan selalu muncul dari masa ke masa. Kini, kita akan membicarakan masa terlama, Orde Baru. Di masa Orba, perihal kewarganegaraan warga keturunan Cina terutama yang peranakan sudah tidak jadi isu utama walaupun tetap ada pembedaan SBKRI. Namun, secara luas, apalagi di bidang ekonomi, mereka telah diterima sebagai warga Negara Indonesia yang sah. Bidang ekonomi memang tampaknya untuk kasus Indonesia memang selalu diperuntukkan bagi mereka yang keturunan Cina. Tak heran jika lantas sebagian kelompok ini menjadi elit bisnis di Indonesia. Soeharto menyadari hal tersebut. Karenanya, meskipun ia keras terhadap kelompok ini di bidang selain ekonomi, di bidang ekonomi, ia memelihara hubungan baik dengan elit-elit kelompok ini. Pedoman ekonomi Orba adalah wacana ‘pembangunan’ dengan Repelita-nya. Pedoman ini sangat terbuka dengan modal dan penanam asing; hal yang sangat diperhatikan di masa Demokrasi Terpimpin. Keterbukaan terhadap asing inilah yang membuat para pengusaha keturunan Cina jatuh ke dalam kategori pribumi walaupun hanya sebatas pada bidang ekonomi. Asing, di kepala Soeharto, adalah Barat karena memang merekalah yang banyak disasar Soeharto untuk dijadikan rekanan. Bahkan, bagi pihak asing yang menanamkan modal minimal 2,5 milyar dolar Amerika akan 90 ibid., 83 bebas pajak selama dua tahun dan juga tidak dibatasi “pengalihantransfer keuntungan dan dividen”-nya. 91 Hal tersebut menjadi wajar karena pada tahun 1967, Soeharo menandatangani surat perjanjian penanaman modal dengan pihak swasta dan negeri Amerika; pertemuan yang kemudian disahkan dalam bentuk undang-undang Undang- undang Penanaman Modal Asing no. 1 tahun 1967. 92 Jika sekarang kita melihat bagaimana Indonesia dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional dan hutang, genesis -nya adalah pertemuan tersebut. Misi utama Soeharto dengan wacana pembangunannya diawali dengan pengumpulan modal yang besar. Ia adalah seorang yang piawai di titik ini. David Jenkins, di esainya yang berjudul One Reasonably Capable Man: Soeharto’s Early Fundraising di buku kumpulan esai guna menghormati Harold Crouch ini, menulis bagaimana Orba didirikan di atas pondasi yang dibangun bersama penanam-penanam modal asing dan lokal yang dikumpulkan Soeharto dan hal tersebut dilakukannya kurang dari lima tahun setelah ia menjabat sebagai presiden. 93 Artinya, juga Soeharto tidak begitu saja melupakan modal lokal apalagi dari kalangan elit bisnis keturunan Cina malahan kelompok ini yang mendapat perhatian lebih. Tanggal 6 Juni 1968 di Jakarta, Soeharto membentuk badan pengumpulan modal milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina: Indonesian Business Center IBC. Badan ini diketuai oleh seorang tentara, Mayjen Suhardiman. Tujuan badan ini tidak lain untuk menyokong berjalannya Repelita I 1969-1974. Kemudian, sebagai perpanjang- tanganan badan ini, didirikanlah National Development Corporation NDC yang jajaran direksi beranggotakan pengusaha-pengusaha keturunan Cina; Hamid Ong Ah Lok, seorang banker, Sulindro Ma Shih- ling, seorang pengusaha, Ch’iu Ch’eng Sao, dan Chang Chan- en. NDC ini bertugas “mengkoordinasi berbagai kegiatan ekonomi 91 Ibid., hal. 145 92 Konon pertemuan ini setengah rahasia dan dihadiri elit-elit bisnis asal Amerika seperti Rockefeller dan Ford. Secara umum, pertemuan ini membicarakan, dan kemudian menyepakati, kapling-kapling penanaman modal jangka panjang. Salah satu hasil perjanjian ini adalah pendirian Freeport di Papua. 93 Untuk lebih rincinya lih. Edward Aspinall, 2010, pp. 17-21 84 dari kaum Tionghoa lokal termasuk impor-ekspor, industri, pertambangan, kehutanan, perikanan dan usaha lainnya”. 94 Dengan kata lain, NDC adalah badan yang mengumpulkan modal dari pengusaha keturunan Cina sekaligus mengatur ke bidang mana saja modal-modal tersebut harus dialirkan. Jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang terkait dengan warga keturunan Cina pada masa Orba adalah kebijakan- kebijakan yang merupakan semacam gabungan antara sistem Kapiten di masa Kolonial pra-Politik Etis dan sistem segregasi Politik Etis. Orang-orang yang berada di IBC dan NDC adalah para kapitan yang mengatur nafas perekonomian kelompoknya dan pengusaha-pengusaha kecil adalah buruh-buruh asal Cina. Di waktu yang sama, modal milik kaum keturunan Cina ini dibedakan dengan modal lokal lainnya yang cenderung tak diatur tak berpusat dan lebih berlandaskan sistem kolusi dan nepotisme dengan para Jendral. Ini adalah politik asimilasi Orba di ranah ekonomi. Persamaan dengan ranah lain yang tak terhindarkan juga adalah bahwa perbedaan etnis yang tak boleh mucul justru dimunculkan dengan lebih tajam dalam bentuk lain yang dipandang lebih netral seperti badan ekonomi atau yayasan. Di titik inilah, pada akhirnya, politik asimilasi tidak menyelesaikan masalah hubungan antar etnis pribumi – non-pribumi.

C. Masa Reformasi: Multikulturalisme dan perayaan atas hal-hal yang

dipinggirkan Setelah Soeharto tumbang tahun 1998, Indonesia memasukki masa ‘kebebasan’- nya; masa Reformasi. Perasaan yang hampir mirip dengan perasaan merdeka dari Belanda menyeruak meskipun di masa-masa awalnya banyak permasalahan muncul ke permukaan; masalah-masalah yang selama masa Orba dibungkus rapat-rapat. Kebijakan-kebijakan yang bersifat tiran dan menindas mulai dipangkas satu per satu; sebuah proses yang masih berjalan hingga kini. 94 Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, 1984, p. 146 85 Secara umum, dapat dikatakan, bahwa masa reformasi adalah masa pemunculan masalah. Kebijakan-kebijakan Soeharto adalah kebijakan-kebijakan yang bersifat membungkam. Hal tersebut membuat di permukaan tampak tak terjadi apa-apa. Pembantaian orang-orang yang dianggap PKI selama tahun 1965-1966 lewat begitu saja. Bencana-bencana yang terjadi di daerah-daerah tidak mendapat publikasi karena memang satu-satunya saluran televisi yang ada adalah televisi milik Negara. Bentuk-bentuk kebudayaan kaum minoritas tidak boleh muncul. Bentuk-bentuk kebudayan dan hiburan populer film, lagu dll. harus melalui proses sensor yang kuat. Masa Reformasi adalah masa yang membuka tabir atas luka-luka lama tersebut meskipun terkadang hanya bersifat praktis dan non-formal. Pada masa ini, hal-hal yang tadinya haram untuk dibicarakan masuk ke ruang-ruang diskusi publik. Buku-buku tentang komunisme yang tadinya dilarang beredar kini, dengan cukup mudah, dapat ditemukan di rak-rak toko buku. Pencarian, yang biasanya berakhir dengan penemuan, atas korban-korban kekerasan negara di tahun 1965-1966 dilakukan. Bentuk-bentuk kebudayaan kaum minoritas kini menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu khalayak umum, bahkan masuk ke agenda program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun, hal tersebut sebatas pembiaran dan bukan perubahan undang-undang. Pada kasus yang terkait dengan PKI, buku-buku boleh beredar luas tapi undang-undang pelarangan legalnya belum dicabut. Bahkan, tidak ada pihak yang dihukum atas kejahatan struktural tersebut. Akan tetapi, satu hal yang pasti, masa Reformasi adalah masa yang, dengan penuh ketertarikan, mengangkat yang tadinya dipinggirkan. Logika tersebut juga berlaku bagi masalah-masalah yang terkait dengan hubungan antar etnis. Selain karena pembungkaman dan pemberangusan bentuk-bentuk kebudayaan minoritas dengan politik SARA-nya, logika mengangkat-yang-dipinggirkan ini muncul karena kejadian-kejadian berdarah di awal masa Reformasi yang berbau SARA. Bahkan keruntuhan rezim Soeharto, yang jadi tonggak berdirinya era Reformasi, diwarnai dengan kerusuhan anti-Cina.