2. Drama di Boven Digul dan peleburan identitas melalui narasi tentang
103
anak seorang tokoh PKI bernama Boekarim yang pensiunan guru dan tentu merupakan golongan rakyat jelata. Pihak ketiga yang hadir dengan pandangannya sendiri adalah
orang-orang Cina peranakan Tjoe Tat Mo dan anaknya, Dolores yang bertemu Noerani kala menyepi di daerah Jawa Barat. Pihak yang disebut terakhir ini memiliki
kecenderungan lebih netral dan mementingkan kebahagiaan bersama; sebuah posisi yang nanti akan dijabarkan lebih lanjut.
Ada dua narasi dalam perjalanan kisah percintaan Moestari dan Noerani yang menjadi fokus di sini: pemberontakan PKI dan pertemuan dengan Dolores dan Tjoe Tat
Mo. DBD dibuka dengan penggambaran kota Batavia yang suram di suatu sore. Dengan suasana alam yang suram itu, sepasang kekasih, yang cintanya mencoba menembus
sekat-sekat sosial dan politik, bertemu. Mereka bertemu dengan sembunyi-sembunyi di Wilhelmina Park karena tak mendapat restu dari kedua keluarga mereka. Dari
pertemuan tersebut, Moestari kemudian mengetahui dari Noerani bahwa akan terjadi pergolakan berdarah di Jawa. Moestari, yang jelas tak setuju dengan adanya
pemberontakan tersebut, lantas berusaha menghentikannya dengan melaporkannya ke pemerintah. Namun hal tersebut dicegah Noerani karena ia takut ayahnya, yang turut
serta di dalamnya, akan diburu pihak pemerintah. Setelah berhasil berdamai, keduanya pun kembali ke rumah masing-masing.
Setelah terjadi pemberontakan, ayah Noerani ditangkap pihak pemerintah dan diasingkan. Noerani yang mendengar kabar tentang lokasi pengasingan ayahnya
kemudian berusaha menyusul. Di saat yang sama, Moestari justru mengalami pengasingan dalam bentuk lain. Ia diangkat menjadi seorang regent di daerah yang jauh
dari Batavia. Atas dasar rasa kehilangan yang amat sangat karena jauh dari Noerani, ia pun kembali mencari Noerani dan meninggalkan calon istri hasil perjodohan antar
keluarga priyayi. Namun yang ditemukannya hanyalah sebuah rumah kosong tempat tinggal Noerani dan keluarganya sebelum pemberontakan. Dari sana, dengan bantuan
104
seorang sahabat Soebaidah, ia pergi mencari Noerani. Pencarian tersebut lantas menjadi sebuah pencarian yang penuh rintangan.
Noerani, dalam usahanya menemui ayahnya, bertemu dengan seorang penulis muda bernama Dolores. Dolores, setelah mendengar curahan hati Noerani dan mengerti,
mengajaknya untuk menemui orang pintar di pedalaman Jawa Barat Cisaat. Saat itu, ia belum mengetahui bahwa Moestari membatalkan pernikahannya. Jadi ia hanya berusaha
menemui ayahnya saja sembari mencoba menguburkan segala kenangannya bersama Moestari dalam-dalam. Selanjutnya, Dolores mengajak Noerani tinggal di rumahnya
bersamanya dan ayahnya, Tjoe Tat Moe. Pada pertemuan-pertemuannya, yang dilanjutkan dengan perbincangan-perbincangan mendalam, dengan Tjoe Tat Mo
memberii banyak pandangan hidup baik yang bersifat batiniah, dalam artian relijius, maupun yang cenderung bersifat keseharian, seperti pandangan politik dan kehidupan
sosial termasuk yang terkait dengan pemberontakan yang telah terjadi. Di titik ini, Dolores dan Tjoe Tat Mo menjadi semacam representasi pandangan-pandangan kaum
keturunan Cina. Nasehat-nasehat yang diberikan, Tjoe Tat Moe pada Noerani, dekat dengan ajaran Konfusionisme seperti bahwa manusia harus saling menghormati dengan
sesama karena hal tersebut adalah bagian dari proses mendekatkan diri dengan Tuhan. Di sisi politik, Tjoe Tat Mo tidak setuju dengan pemberontakan yang dilakukan PKI.
Namun, di sisi lain, ia setuju dengan kenyataan bahwa Hindia Belanda membutuhkan perubahan mendasar. Yang ia tak setujui adalah pendekatan PKI yang, mau tak mau,
membutuhkan pertumpahan darah. Hal tersebut tak sejurus dengan kepercayaannya yang mengharuskan semua makhluk untuk saling mengasihi. Beberapa waktu
kemudian, Moestari berhasil menemui Noerani yang kini telah berada di tanah pengasingan Boven Digul. Di tempat terpencil tersebut, keduanya menikah dan
membangun keluarga dan sebuah komunitas kecil yang anggotanya tak dibatasi identitas rasial, kebangsaan dan politik dan juga hampir tak berjarak dengan alam.
105
Berdasarkan Politik Segregasi yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial di masa penulisan novel ini ada tiga bangsa yang mendiami Hindia-Belanda: Pribumi,
Bangsa Asing Asia dan Kulit Putih. Dalam DBD hanya dua bangsa pribumi dan Bangsa Asia Asing yang menjadi tokoh-tokohnya. Tapi tentu saja KTH, sebagai
penulis, tidak dengan begitu saja menerima penggolongan tersebut meskipun nantinya kita akan sama-sama melihat bagaimana ia tak dapat melepaskan diri darinya.
Ditilik dari latar sosio-kultural tokohnya, KTH bermaksud untuk mengaburkan, atau bahkan menghilangkan, identitas kultural tokoh-tokohnya. Ia ingin memangkas
habis jarak kultural antara pribumi dan bangsa Cina. Sisi kultural yang pertama-tama akan dibahas adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam penulisan novel DBD
adalah bahasa Melayu Lingua-Franca Melayu Pasar. Semua tokohnya, baik yang Cina maupun pribumi, juga berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut. Bahkan, bahasa
Melayu Pasar ini juga digunakan tidak hanya dalam komunikasi antar bangsa namun juga komunikasi di dalam golongan bangsa tertentu; pribumi pada pribumi dan Cina
pada Cina. Di bawah ini adalah contohnya: “
Anakku yang tersayang, Papa merasa girang telah meliat itu kemajuan pesat yang kau dapetken dalem pekerjaan mencari tau rasianya penghidupan. Memang betul sekalih kalu mau
kenal penghidupan, orang musti mulai dengen fahamken manusia punya segala kesedihan dan kasusahan, kerna jikalau kita sudah tau sebab dan lantarannya dari itu semua, seperti Buddha
Gautama telah berbuat, barulah kita bisa mengenal pada wet Tuhan, pada itu Tao atawa Dharma, yang orang cumah bisa mengarti kapan sudah dapet cukup pengalaman.
”
115
“
Ini perkara ada terlalu penting, Noer, hingga aku tida bisa pulang ka pondokanku aken umpetken diri dari bahaya seperti satu anak perempuan. Kau musti tau yang aku ini ada satu
bestuur ambtenaar yang sudah mengangkat sumpah aken bersetia pada gouvernement, hingga tida boleh tinggal diam sesudahnya mendapet dengan resia besar. Aku musti kasih tau pada
politie aken ambil aturan buat menangkis ini bahaya .
”
116
Kutipan yang pertama adalah pembicaraan yang terjadi antara Tjoe Tat Mo dan Dolores sedangkan yang kedua antara Moestari dan Noerani. Keduanya sama-sama
menggunakan bahasa Melayu Lingua-Franca. Tidak ada perbedaan penggunaan di
115
Lih. Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 3, 2001, pp. 285-286
116
Ibid. hal. 33
106
kedua dialog tersebut. Bahkan, tidak ada dialek khusus di sana meskipun latar Moestari sebagai seorang Jawa tulen keturunan ningrat lagi dan Tjoe Tat Mo yang seorang
Cina. Mengapa penggunaan bahasa Melayu Pasar hingga sejauh ini dilakukan oleh KTH? Seperti apa posisi KTH terkait dengan politik bahasa di Hindia-Belanda?
KTH memiliki visi yang menarik terkait dengan pemisah-misahan orang-orang dengan politik segregasi yang dilakukan Pemerintah Kolonial Belanda. Ia
mendambakan sekaligus mempromosikan sebuah gagasan peleburan identitas rakyat Hindia-Belanda seperti yang lukiskan di akhir DBD. Dengan gagasan seperti itu, bahasa
tentu saja memiliki posisi yang sangat strategis. Bahasa adalah identitas. Ketika orang- orang dapat berkomunikasi dengan lancar satu sama lain menggunakan bahasa tertentu,
dapat dikatakan orang-orang tersebut memiliki identitas yang sama di titik tertentu. Penggunaan Bahasa Melayu Pasar merupakan bagian dari gagasannya tersebut. Ia ingin
berbicara pada khalayak seluas mungkin di Hindia-Belanda. Bahasa Melayu Pasar adalah bahasa yang paling lazim digunakan di Hindia-Belanda. Penggunaan Bahasa
Melayu Pasar yang dapat dikatakan merupakan campuran hampir semua bahasa yang ada di Hindia-Belanda, sehingga dimengerti hampir semua orang di Hindia-Belanda,
adalah sebuah usaha meleburkan diri ke dalam satu identitas di bawah bendera Hindia- Belanda. Bahkan, lebih jauh, kemampuan merangkul sebagian besar masyarakat Hindia-
Belanda dengan Bahasa Melayu Pasar ini adalah sebuah kekuatan yang membahayakan bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Karenanya DBD tidak terbit melalui Balai Pustaka
dan masuk ke dal am kriteria ‘bacaan liar’.
Untuk mempertegas posisinya terkait dengan penggunaan Bahasa Melayu Pasar dibanding dengan Bahasa Melayu Tinggi bahasa resmi Pemerintah Kolonial Belanda,
ia bahkan memasukkan pandangannya atas rumusan Van Ophuizen yang dijadikan dasar pembentukan Bahasa Melayu Tinggi. Penegasan posisinya tersebut ia ungkapkan
di dalam percakapan antara Noerani dan Dolores kala Noerani hendak belajar menulis dari Dolores. Dalam perbincangan yang terjadi di rumah Tjoe Tat Mo tersebut Dolores
menyarankan agar Noerani, sebelum memulai untuk menulis syair, mendalami bahasa Melayu Lingua-Franca terlebih dahulu karena bahasa Melayu Lingua-Franca dianggap
107
sebagai media ekspresi yang lebih dekat dengan kaum Bumiputera dibandingkan dengan bahasa Melayu Tinggi hasil rumusan Van Ophuizen melalui pendataannya atas
penggunaan bahasa Melayu di Sumatra. Artinya, KTH di titik ini bertentangan dengan Pemerintah Kolonial Belanda dengan kebijakan bahasa resminya.
Di kesempatan yang sama, bahkan Dolores dengan cukup lugas bertanya, “[a]pakah gunanya dipake bahasa yang asing dan sabagian besar tida cocok dengen
kabiasa’an kita?”.
117
Di kutipan tersebut, Dolores menggunakan kata ganti “kita”. Hal tersebut berarti dirinya, yang Cina, dan Noerani, yang Jawa, berada dalam sebuah arena
pemaknaan bahasa yang sama. Tampak dengan terang-terangan, KTH mempertegas kesan satu identitas antara Pribumi dengan orang-orang Cina. Secara politis, posisi KTH
yang berseberangan dengan Van Ophuizen dan Melayu Tingginya menggambarkan ketidaksukaannya dengan Pemerintah Kolonial Belanda dan bersimpati pada pejuang
Pribumi; simpati yang akan dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya. Selain bahasa, sisi kultural orang-orang Cina yang banyak diperkarakan di DBD
adalah agama. Walaupun kali ini dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Apabila melalui bahasa golongan Pribumi dan Cina dipersatukan, agama adalah sisi yang
membedakan keduanya di DBD. Hal tersebut terlihat ketika Dolores dan Noerani membicarakan tentang agama yang dianut Tjoe Tat Mo dan pandangan hidupnya:
“Agama apakah yang dipegang oleh ayahmu?” “Ia junjung semua agama. Ia puja abu leluhurnya sebagi yang diajar oleh Kong Hu Cu; ia
bersila di tiker dan turut berdowa menurut aturan Nabi Mohammad kapan hadirin sidekah slametan dari orang desa tetangganya. Ia berhadirin dalem perhimpunan orang-orang
Kristen, dan ia sembahyang di hadepan Toapekong kapan kunjungin klenteng. Ia bilang semua agama ada baek, tapi aku liat yang ia paling hargaken tinggi ada agama Buddha,
maski juga ia tida turut dengen membuta. ”
118
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana Buddha diletakkannya di tengah-tengah agama dan kepercayaan lain yang ada di Hindia-Belanda. Meskipun, Tjoe Tat Mo terkesan
menjunjung tinggi dan menghargai semua agama dan kepercayaan, ia memegang satu dengan teguh dan itulah yang membuatnya berbeda dengan mayoritas masyarakat
Hindia-Belanda. Penggunaan nama Nabi Muhammad ketika menjelaskan juga
117
Ibid., hal. 351
118
Ibid., hal. 395-396
108
dikarenakan kedekatan Noerani dengan sosok nabi tersebut karena ia memang seorang Muslim dan pengetahuan Dolores bahwa mungkin Noerani tidak mengenal Buddha atau
Konghucu. Di sini, Dolores berbicara menggunakan nalar seseorang yang berasal dari kaum minoritas. Nalar Dolores ini menunjukkan betapa kuatnya politik Segregasi di
masa Politik Etis sehingga masing-masing golongan saling tidak mengetahui kehidupan golongan lain.
Perbedaan yang paling kentara antara cara KTH membicarakan bahasa dan agama terletak di kesulitan KTH untuk melebur golongan Pribumi dan Cina. Di sisi
bahasa, KTH dengan mudah menemukan alasan kenapa kedua golongan ini harus bersatu. Di sisi agama, KTH harus terlebih dahulu memperkenalkan agama golongan
Cina Konghucu dan Buddha melalui dialog-dialog Tjoe Tat Mo dan Dolores. Baru kemudian ia menambahi dengan pendekatan, yang mungkin terdengar klise untuk
pembaca masa kini, bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Begitu klise karena walaupun semua agama mengajarkan kebaikan, toh ia tetap meneguhi yang satu itu
sesuai dengan latar belakangnya. Ia tidak dapat dengan begitu saja menyodorkan kesatuan identitas seperti ketika ia berbicara tentang bahasa Melayu Lingua-Franca.
Namun, seperti terlihat pada kutipan di atas, Tat Mo menerima semua agama dan tidak mencoba membangkitkan perbedaan-perbedaan yang ada. Penerimaan dan penghargaan
terhadap agama-agama ini adalah bentuk lain dari percobaannya untuk meleburkan identitas-identitas yang ada seperti pada narasi tentang bahasa tadi.