Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru

113 satu dampaknya yang masih terasa hingga saat ini adalah politik SARA; sebuah politik yang mengharamkan segala pembicaraan yang terkait dengan suku, ras dan agama. Pemerintah Orba secara serius mempopulerkan pandangannya dengan membentuk serangkaian birokrasi rumit, namun efektif, karena hingga menyentuh atom-atom elemen masyarakat Indonesia. Maksudnya tidak lain untuk menghilangkan elemen- elemen etnis, terutama Cina, di komunikasi keseharian masyarakat. Walhasil, ekspresi- ekspresi kultural masyarakat Cina terpaksa berubah bentuk namun, sesungguhnya, tetap distinct . Sebagai contoh, nama-nama masyarakat keturunan Cina, yang katanya telah di- Indonesia-kan, tetap terlihat, katakanlah, khas Cina. Ketika pertama kali mendapatkan novel Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, yang sebelumnya belum pernah saya dengar karena kalah terkenal dengan karya- karyanya yang lain seperti Malam Jahanam, saya cukup terkejut. Keterkejutan saya ini tentu saja terkait dengan judul novel ini dan masa diterbitkannya masa yang sedikit disinggung di paragraf sebelumnya. Novel ini diterbitkan pada tahun 1977 yang mana, seperti banyak di buku- buku yang dikutip di Bab II, merupakan masa ‘keemasan’ Orba. Akan tetapi, judul novel ini dengan jelas menggunakan nama khas etnis yang selama masa Orba dianggap tidak ada. Bagi saya ini sebuah nilai tambah di sisi keberanian si penulis untuk mendobrak zamannya karena karya sastra yang bercerita tentang etnis Cina hampir tidak ada. Kita mengetahui bahwa ada penulis-penulis dari kalangan etnis Cina seperti Marga T. yang cukup produktif, akan tetapi di karya-karyanya hampir tidak muncul tokoh-tokoh dengan penjelasan latar belakang etnisnya. Hal-hal seperti nama, agama, adat-istiadat yang biasanya dapat menjadi penanda etnis tertentu selalu absen. Lantas, bagaimana dengan karya Motinggo Busye ini yang memakai nama yang, saya yakin, di benak orang Indonesia, merupakan nama dari kalangan etnis Cina? Sebelum ke sana, berikut adalah ringkasan cerita novel Lucy Mei Ling. Lucy Mei Ling bercerita tentang seorang dokter asal Indonesia bernama Sanjaya yang dikirim untuk belajar di Taiwan University. Di Taiwan, ia bertemu dengan dua 114 perempuan yang, kemudian, dengan keduanya, dr. Sanjaya membentuk sebuah hubungan yang rumit. Perempuan tersebut adalah Linda Wu dan Lucy Mei Ling yang seorang mahasiswa di Taiwan University. Pada awalnya, dr. Sanjaya berkawan dengan dua orang Taiwan yaitu Linda Wu dan Lu Chen yang ternyata merupakan teman dekat Lucy Mei Ling. Oleh Lu Chen, di sebuah permainan kartu, dr. Sanjaya diperkenalkan dengan Lucy Mei Ling dan ternyata momen tersebut adalah sebuah momen cinta-pada- pandangan-pertama bagi kedua orang dari dua bangsa yang berbeda tersebut. Setelah perkenalan tersebut, hubungan antara dr. Sanjaya dengan Lucy Mei Ling pun berlanjut. Keduanya kemudian lebih sering bertemu dan, pada akhirnya, memutuskan untuk berhubungan lebih jauh. Tantangan pertama hubungan keduanya datang dari Linda Wu yang memang menyukai dr. Sanjaya apalagi Linda merasa ‘ditanggapi’ oleh Sanjaya karena keduanya pernah berciuman. Namun, hal tersebut terjadi jauh sebelum Sanjaya berkenalan dengan Lucy. Linda memulai serangannya pada Lucy dengan fitnah-fitnah yang dilontarkan atas diri Lucy. Ia memfitnah Lucy dengan mengatakan pada Sanjaya bahwa Luc y adalah seorang perempuan ‘gampangan’ yang telah dikenal karena banyak berhubungan badan dengan banyak laki-laki termasuk Lu Chen. Bahkan, ia mengatakan kalau Lucy mengidap penyakit kelamin. Akan tetapi, fitnah-fitnah tersebut tidak berhasil mengubah perasaan Sanjaya terhadap Lucy. Tantangan kedua datang dari keluarga Lucy. Lu Sheng Lei, papa Lucy, yang mengetahui hubungan Lucy dengan Sanjaya dari Linda Wu, tidak menyetujui hubungan mereka apalagi di kemudian hari ia mendengar kabar dari Lu Chen bahwa dokter dari Indonesia tersebut pernah berhubungan dengan Linda Wu dan meninggalkannya begitu saja. Namun bukan itu saja alasan ketidaksetujuan Lu Sheng Lei. Alasan utamanya adalah bahwa Lu Sheng Lei telah menjodohkan Lucy dengan anak keluarga Chiang: Chiang Chou-pou. Untuk mencegah hubungan Sanjaya-Lucy berjalan lebih jauh, Lu Sheng Lei memindahkan kuliah Lucy ke sebuah universitas seni yang berjarak jauh dari Taipei, tempat tinggal dan bertugasnya Sanjaya. 115 Melalui segala tantangan yang menghadang sebelumnya, Sanjaya dan Lucy dapat bersatu dan membentuk sebuah keluarga. Setelah menikah keduanya tinggal di Indonesia. Lucy memilih untuk menjadi warga Negara Indonesia. Buah hati mereka satu-satunya lahir di Indonesia dan diberi nama Pauline. Akan tetapi pernikahan mereka tak berjalan lama. Telah diketahui sejak awal pertemuan keduanya bahwa ada sesuatu yang salah di dalam tubuh Lucy. Ia mengidap sebuah penyakit yang terkait dengan otak dan mata. Pada sebuah pemeriksaan, Sanjaya mendapat kabar bahwa hidup Lucy tak akan lama lagi. Mengetahui kabar yang mematahkan hatinya tersebut, Sanjaya memiliki rencana lain. Di malam sebelum tanggal yang ditetapkan menjadi malam terakhir hidup Lucy, Sanjaya – untuk menghindari kesedihan karena kehilangan Lucy – memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun sebelum tidur. Benar saja, pada hari berikutnya, Sanjaya tak pernah bangun dari tidurnya. Beberapa saat setelah mengetahui kematian suaminya, Lucy pun meninggal dunia seperti prediksi dokternya. Bagaimana cerita yang berlatar sebagian besar di Taiwan ini terkait dengan kondisi orang Cina di Indonesia? Apakah Taiwan digunakan oleh Motinggo Busye sebagai simbol untuk menggambarkan Indonesia? Ataukah Taiwan dipilih karena memiliki beberapa kemiripan dengan kondisi di Indonesia? Bagaimana perbedaan novel Lucy Mei Ling dengan DBD yang jarak penerbitan berjarak puluhan tahun dengan kondisi masyarakat yang jauh berbeda? Seperti sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dengan beberapa sub-bab yang pembagiannya berdasarkan ranah yang muncul di dalam novel. B.1. Lucy Mei Ling sebagai sebuah usaha menyelamatkan identitas kultural masyarakat Cina dalam politik asimilasi B.1.a. Bahasa Pada masa Orba bahasa Cina dan huruf kanjinya bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditemui atau dipelajari bahkan di daerah pertokoan yang rata-rata dihuni 116 masyarakat Cina. Percakapan-percakapan berbahasa Cina hanya terjadi di ruang ruang- ruang privat yang dibatasi oleh tembok rumah dan ditutup rapat-rapat bersama dengan bentuk-bentuk kebudayaan mereka yang lain. Bahkan, secara umum, berbicara tentang kebudayaan daerah apapun mendapat tantangannya dengan tidak diperbolehkannya segala peredaran wacana berbau SARA. Kondisi yang menekan bentuk-bentuk kebudayaan Cina tersebut dipertahankan oleh Pemerintahan Orba sampai akhir masanya. Dengan konteks tersebut tentu membutuhkan keberanian tersendiri untuk menceritakan hal-hal yang dianggap tabu oleh penguasa Orba. Lucy Mei Ling mengambil Taiwan, sebuah Negara yang bahasa nasinalnya adalah bahasa Mandarin, sebagai latarnya. Mungkinkah kemudian novel ini menghindari penggunaan bahasa Mandarin, walaupun hanya sekilas, di dalam narasinya? Tentu tidak. Ini bisa jadi langkah menarik yang diambil oleh Motinggo Busye. Dengan bangunan latar sedemikian rupa, ia kemudian dapat, bahkan tak terhindarkan, menggunakan bahasa Mandarin. Paling tidak, jika ia dapat beradu argumen dengan otoritas Orba mengenai penggunaan bahasa Mandarin dalam novelnya, ia dapat menjawab bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari narasi yang dibangunnya. Meskipun tidak banyak bagian percakapan dalam bahasa Mandarin namun, bagi saya, Motinggo Busye berani menampilkan sesuatu yang dekat sekali dengan klaim ‘haram’ di masa penulisan novelnya. Titik paling menarik dari munculnya bahasa Mandarin adalah mengungkap bahwa orang Cina di Indonesia memiliki latar belakang dan akar kebudayaannya sendiri. Di masa kini, hal tersebut bukanlah rahasia dan bukanlah sebuah pengetahuan yang sulit didapat. Akan tetapi, di masa Orba, saya pikir tidak semua orang benar-benar memahaminya karena telah bertahun-tahun orang-orang tidak melihat bentuk-bentuk kebudayaan tersebut muncul ke permukaan. Bagi orang pribumi, terutama yang tidak 117 tinggal berdekatan dengan orang-orang Cina, tentu bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bukan sesuatu yang familiar bahkan mungkin asing. Lebih jauh, penggunaan bahasa Mandarin di dalam Lucy Mei Ling tidak hanya terbatas pada komunikasi antar orang Taiwan saja. Dr. Sanjaya yang dokter asal Indonesia juga acapkali terlibat dalam percakapan dalam bahasa Mandarin. Salah satu contohnya adalah ketika Linda Wu berbincang-bincang dengan Dr. Sanjaya tentang Lucy, jauh sebelum keduanya terlibat cinta segitiga, yang ada di halaman 13, “Hah, saya selalu segan”, kata Sanjaya. “Pukantang”, kata Linda mengganti bahasa Inggerisnya dengan bahas Tionghoa lagi, supaya lebih akrab, dan dia lanjutkan: “Tepien c’ingtao-shehsia t’ant’an-pa …. Hmm, if you’re in convenience, Dr. San” “Saya memang segan untuk datang kerumahmu untuk ngobrol-ngobrol”, kata Dr. Sanjaya. 122 Terlihat di kutipan percakapan tersebut kedua berganti-ganti bahasa antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Tampaknya Dr. Sanjaya juga secara aktif dan pasif dapat berbahasa Mandarin karena Linda disebutkan ingin menggunakan bahasa Mandarin “supaya lebih akrab” jadi dalam kondisi yang tidak resmi keduanya memang terbiasa bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin. Posisi Dr. Sanjaya ini, di konteks Indonesia Orba, sangat tidak lazim. Dengan minimnya jumlah tempat kursus di masa itu, jelas tak banyak orang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, dapat berbahasa Mandarin. Dapat dikatakan, belajar bahasa Mandarin bukan hal yang menarik untuk dilakukan. Jadi, kemampuannya berbahasa Mandarin tentu saja patut mendapat perhatian khusus. Tokoh Sanjaya bisa jadi asal- muasal kecenderungan sastra Multikulturalis di masa Reformasi. Yang saya maksud adalah kecenderungan mengenal dan mengangkat tema yang tadinya dipinggirkan dengan tokoh-tokoh di dalamnya yang saling berhubungan dengan latar belakang kebudayaan masing-masing dan saling mengenal dan mempelajari satu sama lain seperti 122 Busye, 1977, p. 13 118 di empat karya dari masa Reformasi yang akan saya bahas di belakang. Mengenal dan menjadikannya satu identitas dengan dirinya sebuah kebudayaan lain adalah semangat yang dibawa di tokoh Dr. Sanjaya yang gemanya diteruskan hingga penulisan karya sastra di Masa Reformasi. B.1.b. Nama Pada awalnya, ketika menbaca novel ini untuk pertama kalinya dan masih berada di lembar-lembar awal, saya mengalami kebingungan denga identitas, menggunakan bahasa Orba, kesukuan Dr. Sanjaya. Nama Sanjaya di kepala saya adalah nama seorang keturunan Cina di Indonesia karena nama tersebut dekat dengan nama- nama belakang orang-orang Cina di Indonesia yang lazim ditemui seperti Wijaya, Chandra, Tanuwijaya dll. Nama-nama tersebut adalah nama hasil perubahan sesuai dengan kebijakan penguasa Orba yang kebanyakan didapatkan karena kedekatan bunyi atau makna dengan marga-marga orang Cina. Sanjaya bisa jadi merupakan gubahan baca: pemaksaan dari nama belakang ‘San’. Namun, setelah beberapa lembar kemudian, saya salah. Nama orang Cina di Kartu Tanda Penduduk-nya adalah urusan yang pelik. Mengidentifikasi mereka bukanlah urusan mudah walaupun di kemudian hari nama- nama Jawa-nya menjadi mudah dikenali. Di narasi Lucy Mei Ling, nama-nama Cina, baik yang telah mengadaptasi nama depan Barat maupun yang tidak dan masih menggunakan sistem tiga kata atau frasa, dapat dengan mudah ditemui. Bagi orang Indonesia, apalai di masa jayanya Orba, melihat nama belakang asli orang Cina adalah sebuah hal yang ‘mewah’ karena sangat jarang ditemui kecuali mungkin di beberapa daerah di luar Jawa yang mana dulu di masa pemberlakuan kebijakan pergantian tidak terawasi seketat di Jawa dan penduduk Cina-nya cukup banyak seperti di Pontianak atau Singkawang. Dengan nada yang sama dengan ketika menceritakan perihal bahasa Mandarin, saya katakan bahwa Motinggo Busye cukup memiliki nyali untuk mencantumkan nama-nama tersebut. 119 Lebih jauh, di titik wacana, saya pikir Motinggo Busye ingin memperkarakan kembali hak atas identitas orang Cina di Indonesia. Saya kira ia membayangkan para pembacanya bertanya, “kenapa tidak ada nama seperti ‘Wu’ atau ‘Mei Ling’ di belakang nama orang-orang Cina di Indonesia?” atau “kenapa hampir tidak ada yang bernama, yang di telinga orang Indonesia sangat Cina , seperti Lu Sheng Lei?” Meskipun, secara naratif, tidak se-vulgar itu namun saya pikir dengan serentetan nama Cina tersebut, orang akan mulai berpikir. Namun, apabila dibandingkan dengan panjang novel ini dan pendalaman naratif adegan-adegan lain, sesungguhnya identitas kultural masyrakat Cina terbilang tidak mencolok. Sejauh saya membaca Lucy Mei Ling hanya dua sisi kultural yang terlihat dari orang-orang Taiwan tersebut seperti yang telah saya jabarkan di sub-bab sebelumnya. Sisi-sisi lain seperti adat-istiadat dan kegiatan keagamaan sama sekali tidak terlihat. Dr. Sanjaya tinggal di Taiwan dalam jangka waktu yang cukup lama terutama karena tentu proses belajar di sebuah universitas jelas memakan waktu. Saya pikir selama di Taiwan ia seharusnya melewati waktu-waktu tertentu di setiap tahun yang sakral bagi orang Cina di seluruh dunia seperti Imlek, Sincia Capgomeh dll. Ketiga hari besar yang saya sebutkan tersebut adalah hari-hari besar yang terkait dengan penanggalan dan tahun baru masyarakat Cina. Meskipun Taiwan secara politik berseberangan dengan RRC namun saya yakin Taiwan masih menggunakan penanggalan berbasis peredaran bulan tersebut. Jadi, tidak mungkin tidak ada perayaan berskala besar di Taiwan. Sebagai orang berasal dari Indonesia, cukup logis jika saya berpikir ia seharusnya terkesima, atau minimal tertarik, dengan perayaan-perayaan tersebut karena perayaan-perayaan tersebut tidak mungkin ditemuinya di Indonesia. Jadi, absennya perayaan-perayaan tersebut dalam narasi Lucy Mei Ling cukup janggal. Terkait dengan peribadatan dan adat-istiadat lagi, tidak pernah disinggung tata cara ibadah Buddha atau Konghucu sebagai agama yang dianut sebagian besar rakyat Taiwan. Padahal ia sehari-hari bekerja dan berkomuninkasi dengan orang Taiwan. 120 Bagaimana mungkin ia tidak pernah melihat orang-orang tersebut beribadah? Bagaimana mungkin ia tidak melihat kuil di sepanjang jalan yang ia lewati atau altar di rumah-rumah kolega yang ia kunjungi? Parahnya, ketidakhadiran sisi kultural orang Cina ini juga ditemukan di narasi pernikahan Sanjaya dan Lucy seperti di kutipan berikut : “[t]ak disangka, pesta itu benar-benar sengaja diberikan kesan luar biasa bagi sepasang pengantin, sehingga tujuh juru potret terkenal pun ikut mengabadikan pesta itu bagi album kenangan dua insan yang kawin karena jalinan cinta. O, perkawinan semacam ini memang perkawinan yang sangat abadi, perkawinan bagi dua makhluk yang saling mencintai yang kalau perlu sehidup serta semati. ” 123 Terlihat di penjelasan yang cukup singkat tersebut tentang tata cara berdasar adat- istiadat Cina yang mereka berdua harus lalui. Tidak ada penjelasan tentang dekorasi yang biasanya penuh warna merah dan emas. Tidak ada upacara sujud memberii penghormatan pada orang tua. Padahal acara tersebut digelar di Taipei. Satu-satunya penjelasan di sisi kultural adalah baju pengantin yang digunakan Lucy yang penuh dengan simbol liong. Tapi, kemana atraksi liang-liong atau barongsai-nya? Kasus yang lain adalah hal-hal yang terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti makan. Karena novel ini berlatar Taiwan tentu akan dengan mudah ditemui rumah- rumah makan bergaya Cina dengan segala jenis menu dan perangkat makannya yang khas seperti mangkuk dan sumpit. Hal-hal seperti itu, yang saya kira seharusnya menarik perhatian Dr. Sanjaya, terutama di awal-awal kedatangannya di Taiwan, ternyata tidak muncul di narasi. Padahal banyak bagian di dalam novel yang bercerita tentang makan malam yang melibatkan Dr. Sanjaya. Salah satunya adalah ajakan Lucy pada Dr. Sanjaya bersama beberapa teman lain untuk makan malam di New Angel Hotel. Di sana hanya disebutkan bahwa rumah makan tersebut memiliki menu “makanan laut yang enak sekali”. 124 Tidak diikuti penjelasan lain seperti ke-khas-an- nya yang membuatnya tidak ditemukan di manapun. Padahal, dalam percakapan 123 Lih. Ibid., hal. 458-459 124 Lih. Ibid., hal. 16 121 tersebut Lucy membahasakan Dr. Sanjaya sebagai “tamu Indonesia kita” yang artinya Dr. Sanjaya dianggap datang dari latar belakang yang berbeda dan seharusnya dibuat menjadi tertarik dengan penjelasan lebih jauh tentang makanan laut tadi. Tapi ternyata tak satu pun dari ‘suguhan’ tersebut yang menarik Sanjaya. Sedikitnya identifikasi kultural terhadap tokoh-tokoh Cina ini semakin tertutupi dengan attitude Lucy setelah menikah dan pindah ke Indonesia bersama suami dan anaknya. Di masa tersebut Lucy menjadi sangat nasionalis ke arah Indonesia dan orang tuanya pun mengamini nasionalismenya tersebut. Identitasnya di Taiwan seperti tak berbekas dan dengan semangatnya menerima ke-Indonesia-annya tanpa mempedulikan sejarah yang ia miliki di Taiwan. Menurut saya, dengan pendekatan naratif semacam itu Lucy Mei Ling memiliki kecenderungan untuk percaya pada jalan keluar versi Orba atas Chinesche Kwestie yaitu penghilangan sejarah dan identitas masyarakat Cina di Indonesia supaya mereka dapat dengan segera di-Indonesia-kan di-pribumi-kan?. B.2. Wacana Cina sebagai identitas ekonomi Dengan membaca sub-bab B.1. dapat disimpulkan bahwa identitas orang Cina tidak dibangun melalui pondasi kultural karena jelas wacananya tidak mencukupi. Jadi, bagaimana kemudian Motinggo Busye membangun identitas-identitas Cina yang ada? Kemana ia beralih? Mengingat kuatnya ideologi Orba yang disokong dengan segala macam program ‘cuci otak’-nya, tentu narasi novel Lucy Mei Ling beralih ke arah yang telah ditentukan oleh wacana Simbolik Orba di masa tersebut. Tiga puluh dua tahun panjangnya Orde Baru adalah titik terendah sekaligus titik tertinggi masyarakat Cina di Indonesia. Di sisi kultural, mereka memang dihabisi hingga titik terendahnya dengan segala bentuk pelarangan yang dipaksakan atas ekpresi- ekspresi kultural mereka. Akan tetapi, di sisi yang lain, orang-orang Cina dari golongan tertentu bukanlah sosok-sosok asing di dalam mesin Orba. Suharto membangun ekonomi Indonesia salah satunya dengan memanfaatkan sisa-sisa kekuasaan kolonial 122 yang terpatri kuat di dalam tubuh masyarakat Cina. Sejak masa kolonial, orang-orang Cina banyak didatangkan oleh Belanda untuk memperluas jaringan kekuasaan ekonominya . Sebelum masa Hindia-Belanda, ketika nusantara masih berada di tangan VOC, merambah bahan-bahan baku di pedalaman Kalimantan adalah sebuah pekerjaan yang tak dapat dilakukan VOC sendiri. Dalam kerangka tersebutlah banyak orang Cina yang kemudian didatangkan entah sebagai kuli maupun tauke. Dengan begitu, sejak awal, orang-orang Cina memang diposisikan untuk hanya berada di sisi ekonomi semata karenanya sebagian besar dari masyarakat ini mapan di sisi ekonomi. Itulah yang belum terpecahkan dan dimanfaatkan Orba. Tidak dapat dipungkiri, ketika membangun ekonomi Indonesia, Suharto memanfaatkan jaringan yang dimiliki orang-orang Cina. Lihat saja nama-nama pengusaha seperti Ciputra dan Sudono Salim yang tentu tidak asing dan besar usahanya di masa Orba. Posisi kedua pengusaha tersebut benar-benar mirip dengan Tjong A Fie di masa kolonial yang kemegahannya warisan masih dapat kita lihat sampai sekarang di pusat kota Medan. Suharto memperlakukan masyarakat Cina tidak ubahnya seperti VOC memperlakukan kuli-kuli dan tauke-tauke Cina yang diperas secara ekonomis. Kembali ke Lucy Mei Ling, saya tidak memndapat informasi apakah Motinggo Busye sebelum, atau ketika, menulis novel ini melakukan perjalanan ke Taiwan. Tapi, image dan wacana yang saya tangkap ketika membaca narasi tentang orang-orang Cina di sekitar Sanjaya adalah image dan wacana tentang anggota keluarga Ciputra atau Sudono Salim. Hampir tidak ada kolega Sanjaya di Taiwan yang bukan bagian dari kaum jetset. Sanjaya pertama kali melihat Lucy di padang golf ketika ia bermain bersama Lu Chen dan Linda Wu. Mereka sering sekali menginap dan makan di tempat- tempat yang, dilihat dari namanya, mewah. Mereka kerap kali berlibur ke tempat-tempat eksotis di pinggiran kota dan, di kasus Lucy, keluarganya telah berlangganan di sebuah kondominium di tempat wisata Kaohsiung. Lebih jauh, melihat sekali lagi prosesi pernikahan Sanjaya dan Lucy, gayanya begitu khas keluarga Cina kaya di Indonesia. Di satu sisi, tidak ada kegiatan yang berangkat dari adat-istiadat dan keagamaan karena 123 dilarang. Namun, sisi lain, prosesinya dipenuhi dengan kemewahan seperti hadiah dari keluarga Lucy, yang mengejutkan Sanjaya, yang berbentuk batangan emas bernilai seratus juta dalam kurs rupiah. Hingga di titik ini, saya yakin Motinggo Busye memang mengambil image-image tersebut dari keluarga pengusaha Cina yang kaya di Indonesia. Taiwan hanyalah latar yang memudahkannya bercerita tentang orang Cina. Cerita-cerita tentang orang-orang di sekitar Sanjaya adalah wacana-wacana yang membangun identitas Cina sebagai sebuah identitas yang ditentukan oleh wacana ekonomi. Kenyataan tersebut adalah jalan alternatif yang ‘harus’ ditempuh Motinggo Busye untuk bercerita tentang masyarakat Cina. Jadi, seperti petunjuk Bapak Presiden, mengutip kata baca: mantra Harmoko, orang Cina adalah masyarakat yang identitasnya bergantung pada ranah ekonomi dengan segala ‘efek samping’-nya seperti keculasan, gila harta etcetera. C. Ca-Bau-Kan: narasi tentang orang Cina di antara stereotip, trauma pada kekerasan dan pengangkatan kultural C.1. Ca-Bau-Kan dan penulisnya Ca-Bau-Kan adalah sebuah novel yang ditulis oleh Remy Sylado Yapi Tambayong, sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di dunia sastra Indonesia. Ia banyak terlibat di dunia kesenian Indonesia mulai dari teater hingga seni rupa. Seperti halnya kegiatannya, tulisan-tulisannya juga tidak terbatas pada satu disiplin ilmu tertentu. Ia banyak menulis tentang bahasa, dramaturgi, sastra, bahkan teologi. Ca-Bau-Kan adalah karya ke empat dari Remy Sylado. Novel ini diterbitkan tahun 1999 dengan berselang hanya satu tahun setelah runtuhnya Rezim Soeharto. Novel, yang pernah dipublikasikan di Republika ini, adalah salah satu novel paling awal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Cina di Indonesia di masa Reformasi dan, pastinya, proses penulisannya masih berada di kurun waktu 90-an yang mana Soeharto masih berjaya. Lebih jauh, dalam timeline sejarah sastra Indonesia, Remy 124 masuk ke dalam golongan sastrawan 80-an yang artinya wacana besar tentang Cina di sekitarnya saat itu adalah wacana rasis a la Orba dan Remy bukanlah seorang keturunan Cina. Adalah sebuah fakta sosial bahwa ada segudang stereotip terhadap kaum minoritas Cina dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana Remy Sylado menghadapinya? Sudut pandang macam apa yang dipakainya untuk menceritakan masyarakat Cina Indonesia? Secara garis besar Ca-Bau-Kan bercerita tentang kehidupan Tinung dan Tan Peng Liang yang hidup di awal abad ke-20 di Hindia Belanda. Narator novel ini adalah nyonya G. P. A. Dijkhoff alias Giok Lan, anak dari Tinung dan Tan Peng Liang. Setelah berpuluh tahun tak kembali ke Indonesia, setelah diadopsi oleh sebuah keluarga Belanda, ia kembali ke Indonesia dan, pelan-pelan, mencari asal-usul. Cerita tentang kedua orangtuanya, Tinung dan Tan Peng Liang, muncul dan menjadi cerita utama dalam kerangka pencarian jati diri tersebut. Di Indonesia, Giok Lan menemukan bahwa kisah cinta ayah-ibu-nya tak seindah yang dibayangkan. Tinung, alias Siti Noehaijati, adalah perempuan betawi miskin yang, karena tuntutan ekonomi dan dorongan orang tuanya,menjadi seorang pelacur cabo’an di Kali Jodo. Ia kemudian dijadikan nyai oleh Tan Peng Liang, yang asal Bogor dan bukan ayah Giok Lan si narator. Setelah melarikan diri, ia belajar ke Njoo Tek Hong agar dapat bekerja sebagai penyanyi cokek di orkes milik Njoo Tek Hong. Ketika menyanyi di sebuah acara yang menyewa jasa Tek Hong, Tinung kemudian bertemu Tan Peng Liang yang lain, asal Semarang bapak dari Giok Lan si narrator. Dari sana lah, naik-turunnya konflik novel ini benar-benar dimulai. C.2. Ca-Bau-Kan dan identitas kultural Cina C.2.a. Bahasa Adalah sebuah kenyataan bahwa identitas para pemukim Cina di Hindia Belanda sebagai sebuah bangsa yang satu merupakan bagian dari politik segregasi pemerintah kolonial Belanda. Karena Ca-Bau-Kan ditulis berpuluh tahun setelah masa jaya politik segregasi, penulisnya, Remy Sylado, tentu memiliki cara yang berbeda dengan KTH yang hidup di zaman pemisah-misahan berdasar bangsa tersebut. Remy Sylado hidup di 125 zaman dengan ideologi yang berbeda tentu menanggapi politik segregasi menggunakan kacamata ideologi zamannya. Di novel ini, Remy Sylado, alih-alih berfokus untuk menyatukan pribumi dengan bangsa Asia asing seperti KTH, mencoba memecah apa yang oleh pihak pemerintah kolonial sebagai Bangsa Cina. Di novel ini ia tidak percaya bahwa memang, secara kultural, semua orang yang bermata sipit dan berkulit lebih terang berada di bawah satu payung identitas. Bahasa adalah salah satu sisi kultural yang dapat membuat orang-orang Cina tidak dapat, dengan begitu saja, diletakkan dalam satu kotak identitas. Yang dimaksud Remy Sylado dengan bahasa yang memecah identitas orang-orang Cina adalah dialek lokal yang diserap orang-orang Cina. Di novel ini, paling tidak, terdapat empat dialek berbeda tergantung asal daerah orang-orang Cina tersebut di Hindia Belanda. Dialek- dialek tersebut adalah dialek Semarangan, Betawi, Sunda dan yang ke empat adalah dialek yang masih kental dengan bahasa Cina Daratannya atau Kou-Yo. Jadi, sekarang, mari kita lihat satu per satu. Sebagai representasi orang Cina yang lahir dan besar di daerah Jawa Tengah, dengan dialek Semarangan, adalah Tan Peng Liang yang ayah dari Giok Lan. Ia berasal dari Semarang dan pindah ke Batavia untuk berdagang. Ia tidak dapat berbahasa Kou-Yo. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa campuran antara Bahasa Melayu Lingua Franca, Bahasa Jawa dan Bahasa Hokkian. Remy Sylado bahkan di dalam novelnya memberii beberapa contoh istilah- istilah yang sering digunakan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diak- e; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi “cialat”; dan seterusnya”. 125 Berikutnya adalah Tan Peng Liang yang merupakan orang Cina pertama yang mengangkat Tinung menjadi nyai-nya. Ia adalah seorang Hokkian yang lahir dan besar di Bogor sehingga Bahasa Sunda sangatlah dekat dengan dirinya. Kenyataan tersebut 125 Sylado, 2001, p. 65 126 membuatnya berbahasa yang hasil campuran antara Bahasa Sunda dan Bahasa Hokkian. Yang ketiga adalah Njoo Tek Hong. Ia adalah seniman yang besar di Batavia sehingga sudah menggunakan Bahasa Betawi untuk keperluan sehari-hari. Kutipan ini adalah contohnya, “Njoo Tek Hong senang. “Bagus” kata dia. Lalu dia ketawa keras. Melengking. “Nah, sekarang gue terima lu jadi murid. Gua jadiin lu cokek paling hebat di ini Betawi. Cokek nyang jagoan nyanyi lagu klasik Cina. Cokek yang bakalan jadi lu punya yeh, ngarti kagak, lu?”. 126 Dari kutipan tersebut terlihat bagaimana Tek Hong dengan luwesnya menggunakan kata ganti seperti “lu” dan “gue” namun laki-laki tua, yang selalu mengakhiri kalimat-kalimatnya dengan kata- kata “ngarti kagak lu?” itu, juga tetap memakai istilah- istilah dalam Bahasa Hokkian seperti “yeh”. Yang ke empat adalah orang-orang Cina, yang jadi antagonis di Ca-Bau-Kan kecuali Lie Kok Pien, yang tergabung dalam Kong-koan bentukan Belanda. Kelompok ini adalah kelompok elit di kalangan Cina yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi. Mereka ini, antara lain, adalah Oey Eng Goan ketua, Timothy Wu, Lie Kok Pien, Thio Boen Hiap dll. Sebagian besar dari mereka besar di Batavia, kecuali Timothy Wu yang lulusan Singapura. Rata-rata dari mereka memiliki jaringan orang-orang Cina di berbagai Negara. Sehingga mereka masih lancar memakai Bahasa Kou-Yo atau Hokkian. Berikut adalah contohnya, yang saya ambil ketika mereka membicarakan tanggapan Liem Koen Hien atas pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai, “…“[b]agaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat yang kepalang dia ucapkan?” Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya, “Itu urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul menerima kemerdekaannya dari Jepang.” “Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa, dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.” “Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan. “Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah. 126 Ibid., hal. 49 127 Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang – seperti katanya ‘bhineka tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal”…” 127 Ciri khas yang paling terlihat di kelompok ini adalah kata ganti orang yang masih menggunakan Bahasa Kou- Yo yaitu “wo”, atau “saya”, dan “ni” yang berarti anda. Artinya, pengaruh Bahasa Kou-Yo di dalam diri mereka sangat kuat. Lebih jauh, bahasa Melayu mereka adalah Melayu TInggi. Tentu ini dikarenakan kedekatan organisasi ini dengan penguasa kolonial. Dengan ragam bahasa ini, menurut Ca-Bau-Kan, terdapat empat identitas orang- orang Cina yang mana membuat konsep Vreemde Oosterlingen menjadi absurd. Lebih jauh, orang-orang Cina ini telah terpecah ke dalam banyak identitas sesuai dengan wilayah mereka dibesarkan di Hindia Belanda. Melalui pendalaman di sisi bahasa, Remy melawan penyatuan identitas orang-orang Cina karena baginya orang-orang Cina tersebut juga asing satu dengan lainnya. C.3.Ca-Bau-Kan dan identitas sosial-ekonomi-politik Cina C.3.a. Ekonomi Adalah sebuah fakta sejarah bahwa sebagian besar orang Cina yang datang ke tanah Hindia-Belanda, dan bahkan sebelum bernama Hindia-Belanda, memiliki latar belakang dan tujuan ekonomis, entah yang sebagai tauke pedagang besar atau sebagai kuli perkebunan. Baru di awal abad ke-20, latar belakang lain, seperti politik, mendorong orang Cina datang ke Hindia-Belanda. Artinya memang orang-orang Cina ini di Hindia-Belanda kehidupannya ada di arena ekonomi atau perdagangan. Hal tersebut tentu juga berkaitan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap orang-orang tersebut walaupun tidak selalu dalam artian yang menyenangkan. Saking kuatnya basis ekonomi orang-orang ini, di bukunya, Lea Williams bahkan menggunakan istilah ‘trading minority’ untuk menyebut orang-orang Cina ini; sebuah penamaan di luar kebangsaan yang dikedepankan oleh Belanda di masa Kolonial. 127 Ibid., hal. 321-322 128 Novel Ca-Bau-Kan tampaknya sulit untuk tidak mengamini sejarah tersebut. Hampir seluruh tokoh-tokoh Cina di dalamnya ada di lingkaran perdagangan berskala besar. Tan Peng Liang, yang berlogat Semarangan, adalah seorang pedagang tembakau. Karenanya ia bersitegang dengan Oey Eng Goan, yang anggota Kong-koan, yang juga pedagang tembakau. Jika dilihat lebih jauh, cara mereka saling menjatuhkan adalah cara-cara khas dunia perdagangan seperti membakar gudang, memamerkan kekayaan, menjatuhkan nama dan penipuan. Keduanya melakukan hal tersebut. Artinya meskipun Tan Peng Liang ad alah ‘orang baik’-nya di novel ini namun ia tetaplah seorang Cina yang pedagang dengan semua triknya. Di sisi yang sama ada Tan Peng Liang yang asal Bogor. Ia merupakan pemilik perkebunan pisang di Sewan. Ia juga membuka usaha rentenir atau ‘Tien Terug Twaalf’ ‘sepuluh kembali duabelas’ yang memakan banyak korban. Di lain pihak ada Njoo Tek Hong yang pemilik sebuah kelompok musik. Tek Hong sedikit berbeda wilayah perdagangannya karena skalanya jelas tak sebesar Tan Peng Liang maupun orang-orang di Kong-koan. Namun tidak itu saja perbedaannya, Tek Hong digambarkan lebih sebagai seorang seniman aneh yang dengan hampir cuma- cuma mengajari Tinung menyanyi cokek. Ia bukanlah seorang Cina dengan mental pedagang seperti kelompok sebelumnya. Di kelompok Tek Hong, hampir-hampir tidak ada yang lain kecuali petani-petani Cina di Sewan yang korban Tan Peng Liang si rentenir. Namun, baik Tek Hong maupun para petani tersebut tidak memiliki perang vital di keseluruhan cerita Ca-Bau-Kan. Di sisi pribumi yang berperan banyak secara keseluruhan di Ca-Bau-Kan, orang- orang pribumi ini tidak dapat dikelompokkan ke dalam sebuah corak ekonomis tertentu. Tinung adalah perempuan Betawi yang gonta-ganti pekerjaan; mulai dari pelacur hingga penyanyi cokek. Max Awuy yang selalu hadir dari adegan pertama Tinung adalah seorang wartawan yang di kemudian hari menjadi pejuang. Kakak sepupu Tan Peng Liang asal Semarang, Soetardjo Rahardjo, adalah seorang aktivis yang ikut perang. Jeng Tut adalah seorang komunis yang pedagang senjata juga. Dari empat tokoh tersebut 129 tampak bahwa mereka tidak dapat disatukan secara ekonomis dan, secara ekonomis, tidak ada satupun yang sesukses tokoh-tokoh Cina. C.3.b. Sosial dan Politik Di sub-bab bagian ini yang dimaksud dengan politik adalah orientasi politik orang-orang Cina. Yang dilihat adalah cara pandang mereka atas kemerdekaan Hindia- Belanda serta loyalitas politiknya. Di masa yang dijadikan latar novel tersebut orang- orang Cina di Hindia Belanda dikelompokkan ke dalam sebuah golongan yang bukan pribumi namun juga bukan orang kulit putih. Mereka dianggap warga negara Cina Daratan, yang orang asing, namun di beberapa sisi dianggap setara dengan pribumi. Dengan begitu, orientasi politik mereka menjadi menarik karena keberadaannya yang serba tidak jelas. Bagaimana Ca-Bau-Kan menanggapinya? Di Ca-Bau-Kan, orang-orang Cina di Hindia Belanda kembali dipecah menjadi beberapa faksi politik yang masing-masing memiliki loyalitasnya sendiri; sebuah pendekatan yang mirip dengan yang terjadi di sub bab bahasa. Di awal cerita hanya terdapat dua faksi saja yaitu, kelompok yang mendukung kemerdekaan Hindia Belanda dan yang masih ragu-ragu. Hal tersebut terkait dengan status mereka di Hindia Belanda nantinya setelah merdeka. Ini terjadi di dalam obrolan di Kong-koan yang telah dikutip di bagian Bahasa. Di satu pihak, yang masih gamang, yang diwakili Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap, menyatakan keinginannya agar tetap memiliki kewarganegaraan Cina juga selain Hindia Belanda. Pihak lainnya, yang diwakili Lie Kok Pien, menginginkan untuk mendukung sepenuhnya usaha kemerdekaan Hindia Belanda dan menjadi orang Indonesia karena ia percaya pada konsep Bhineka Tunggal Ika. Yang menarik, obrolan yang dengan terbuka membicarakan masalah kewarganegaraan ini hanya terjadi di Kong-koan saja. Orang- orang yang telah ‘lebih pribumi’, dari sisi bahasa, seperti dua Tan Peng Liang dan Njoo Tek Hong tidak pernah membicarakannya dengan terbuka. Orang-orang di luar Kong-koan ini tampaknya telah menerima identitasnya sebagai orang Hindia Belanda semata. Itu terbukti dengan tindakan Tan Peng Liang yang bersedia membantu perjuangan dengan membiayai pergerakan dan, di kemudian hari, menyelundupkan senjata dari Jeng Tut. 130 Di akhir cerita, baru kemudian bermunculan faksi-faksi yang lebih kecil hingga titik partai. Mr. Liem Kiem Jang dan Timothy Wu cenderung pada Kuo Min Tang dan memasang foto Chang Kai Shek di dinding rumah mereka, sementara Oey Eng Goan dan Kwee Tjwie Sien berkiblat ke RRT Republik Rakyat Tiongkok yang komunis, dan memasang foto Mao Tse Tung di dinding rumah mereka. Oey Eng Goan belakangan menjadi pendukung PKI melalui partai golongan Tionghoa komunis BAPERKI Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. 128 Dengan temuan- temuan ini, artinya Ca-Bau-Kan ingin memecah identitas orang-orang Cina yang sering kali sikap sosial-politiknya dipukul rata secara keseluruhan. Sepertinya ini adalah politik Ca-Bau-Kan agar serangan membabi-buta terhadap orang-orang Cina di tahun 1998 tidak terulang kembali. Itu adalah sebuah kemungkinan mengingat dekatnya peluncuran novel ini dengan hari-hari gelap Mei 1998. C.4. Ca Bau Kan sebagai sebuah perayaan kultural Yang terlihat sangat membekas di benak Remy Sylado ketika menyusun narasi novelnya ini adalah penindasan kultural masyarakat Cina selama masa Orde Baru. Meskipun tidak disebutkan dengan terang hanya di bagian sekapur sirih di narasinya - karena memang latarnya yang berada jauh di belakang masa Orde Baru – namun titik berat narasinya yang ‘merayakan’ ekspresi kultural masyarakat Cina menunjukkan hal tersebut. ‘Perayaan’ bahasa, nama, hari besar dan lain-lain adalah jalan yang diambil oleh Remy Sylado untuk mengatasi permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia yang ditinggalkan Orde Baru. Ca Bau Kan, bagi saya, adalah sebuah tanggapan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif Orde Baru. Di masa Orde Baru, sebagaimana telah saya jabarkan di bab sebelumnya, menganut pendekatan asimilatif untuk mengatasi permasalahan pribumi-non-pribumi yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumya. Dengan pendekatan semacam itu, masyarakat Cina Cina tidak diberi ruang gerak di wilayah kultural dan hanya 128 Ibid., hal. 380 131 diperbolehkan untuk berkembang bebas di wilayah ekonomis. Hilangnya identitas kultural masyarakat Cina di masa Orde Baru tersebutlah yang mendorong Remy Sylado untuk menghidupkan kembali identitas tersebut. Contoh terbaik yang digunakan untuk memberi gambaran tersebut adalah pengelompokkan masyarakat Cina berdasarkan ekspresi kulturalnya. Tokoh-tokoh Cina di novel ini dibagi, dan dibedakan satu dengan lainnya, berdasarkan kebudayaan yang paling mempengaruhinya; ada yang memiliki dialek Sunda, Jawa, Betawi dan lain-lain. Perayaan semacam itu saya lihat memiliki kedekatan dengan pendekatan multikulturalisme yang mengedepankan identitas kultural sebuah kelompok masyarakat. Dalam teori multikulturalisme, ekspresi kultural setiap kelompok masyarakat harus dihargai dan memiliki tempat yang sama dengan ekspresi kelompok-kelompok lain karena semua bentuk kebudayaan bersifat setara satu sama lain. Di kasus masyarakat Cina di Indonesia, ekspresi kultural masyarakat Cina tidak mendapatkan ruang hidup terutamanya di masa Orde Baru. Karenanya, jika menggunakan logika multikulturalisme yang digunakan Remy Sylado, ekspresi-ekspresi kultural tersebut harus mulai dimunculkan ke kesadaran publik lagi agar terjadi kesetaraan. Kesetaraan dengan memberi ruanh hidup bagi ekspresi kultural masyarakat Cina inilah yang menjadi titik yang ingin dituju oleh Remy Sylado melalui Ca Bau Kan. Akan tetapi, ada sebuah permasalahan yang tak dibahas dengan mendalam oleh Remy Sylado dan menjadi sebuah ganjalan di narasi ciptaannya: permasalahan ekonomi. Secara ekonomis, tokoh-tokoh Cinanya tampak tidak setara dengan tokoh-tokoh pribumi karena hampir semua tokoh Cina merupakan pemilik usaha besar dan mapan secara ekonomis. Fenomena ini juga melupakan salah satu masalah terkait dengan identitas Cina yang merupakan warisan dari rezim-rezim pemerintahan yang lalu. Kenapa hal tersebut tidak tersentuh? Kenapa narasi jalan keluar terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia hanya menempatkan mereka sebagai korban semata? Apakah multikulturalisme tidak memiliki metode untuk melihat hal tersebut? 132 D. Putri Cina : sebuah lamentasi atas posisi diuntungkan masyarakat Cina D.1. Putri Cina dan sekitarnya Putri Cina ditulis oleh seorang romo keturunan Cina, bermarga Liem, yang cukup ternama di arena kesenian Indonesia bernama Sindhunata atau yang biasa dipanggil Romo Sindhu. Romo Sindhu lahir di kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada tanggal 12 Mei 1952. Ayahnya bernama Liem Swie Bie dan ibunya bernama Koo Soen Ling. Ia tinggal di Malang hingga menyelesaikan pendidikannya di Seminarium Marianum, Lawang, Malang, di tahun 1970. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakra Jakarta dan Institut Filsafat Teologi Kentungan Yogyakarta hingga 1980. Kemudian, studi doktoralnya ia jalani di Hocshule fur Philosophie, Philosophische Fakultat SJ Munchen , Jerman 1986-1992 dengan disertasi bertajuk Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20 . Mulai tahun 1970-an, hingga kini, ia telah berkecimpung di dunia kepenulisan terutama di dunia jurnalisme. Ia pernah menjadi wartawan untuk majalah terbitan Balai Pustaka, Teruna. Kini ia menjadi penulis feature dan berbagai macam rubrik di banyak koran dan majalah. Ia juga merupakan penanggung jawab sekaligus pemimpin redaksi majalah BASIS. Sejak tahun 1980-an, ia telah menjadi salah satu penulis produktif di Indonesia. Ia tidak hanya menulis karya sastra namun juga karya non-fiksi dengan beragam tema mulai dari yang dianggap serius seperti filsafat Jawa dan filsafat Barat hingga hal-hal yang dianggap remeh, namun dekat dengan masyarakat Indonesia, seperti sepak bola. Karya sastra buah pemikirannya antara lain Anak Bajang Menggiring Angin, Air Kata- Kata, Tak Enteni Keplokmu, Tanpa Bunga dan Telegram Duka etcetera . Selain menulis karya dalam Bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam Bahasa Jawa. Karya sastra dalam Bahasa Jawa dari Romo Sindhu antara lain, Aburing Kupu-kupu Kuning, Redi Merapi dan lain-lain. Lebih jauh, dari sekian banyak karya fiksinya, baik yang ber-Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa, hanya Putri Cina yang berkutat dengan masalah Cina. Tampaknya, Romo Sindhunata memang tak mau melewatkan kesempatan jatuhnya Orba untuk kembali berbicara tentang orang Cina di Indonesia. 133 Pada awalnya, Putri Cina adalah sebuah tulisan pengiring di sebuah pameran lukisan Hari Budiono yang hendak bercerita tentang orang-orang Cina di Indonesia. Kemudian, oleh Romo Sindhu tulisan tersebut dikembangkan menjadi sebuah novel dan diberi judul sama dengan tajuk pameran lukisan tadi: Putri Cina. Putri Cina terbit setahun setelah pameran tersebut. Novel tersebut terbit ketika tema tentang Cina di Indonesia telah lazim dibicarakan dan perayaan-perayaan masyarakat Cina telah di- ‘halal’-kan kembali. Dengan kondisi ini, tentu saja, Putri Cina memiliki kebebasan bertutur yang tidak dimiliki novel-novel yang terbit di masa Orba. Walaupun begitu, tetap ia memiliki batasannya seperti yang ditemukan novel-novel yang sebelumnya telah ditelaah lebih jauh di atas. Secara garis besar, Putri Cina bercerita tentang seorang perempuan asal Cina Daratan yang kemudian menjadi diperistri raja-raja di Jawa dan ikut terombang-ambing dalam gelombang politik di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh utama yang mampu melintasi batas ruang dan waktu sehingga mengetahui masa lalu dan masa depan terkait dengan kondisi kehidupan orang-orang Cina di tanah Jawa. Namun, hal tersebut tidak terjadi begitu saja. Putri Cina digambarkan seperti orang yang kehilangan ingatan sehingga sebelum mengetahui segalanya ia merunut asal-muasal dirinya melalui cerita-cerita gabungan antara cerita-cerita kuno Cina dan Jawa. Putri Cina adalah anak perempuan dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Yut-Wa-Hi. Ibunya bernama Kim Liyong. Ia sampai di tanah Jawa karena Kaisar Cina memintanya agar mau menjadi istri kelima Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa waktu saat tengah mengandung, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya Putri Cina diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang memerintah di Palembang Arya Damar. Di Palembang, Putri Cina melahirkan anak Prabu Brawijaya bernama Raden Patah. Ia juga mendapat anak dari Arya Damar bernama Raden Kusen. Raden Patah dan Raden Kusen, di kemudian hari, memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan Demak yang menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kejadian penggulingan kekuasaan Majapahit tersebut adalah cerita pertama tentang orang Cina dalam pusaran konflik-konflik di tanah Jawa. Dengan bantuan tokoh 134 bernama Sabdopalon-Nayagenggong yang mampu memberi penglihatan ke masa depan, Putri Cina lantas menyaksikan naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Cerita- cerita berlatar naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut kemudian terus muncul hingga akhir novel. Satu hal yang selalu disaksikan oleh Putri Cina dalam konflik-konflik tadi adalah dikorbankannya orang-orang Cina. Salah satunya adalah kejadian di Pedang Kemulan yang mana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diarahkan kepada orang-orang Cina, bahkan yang juga anak dan istri dari panglima Medang Kemulan. Tidak berhenti sampai di situ, dengan lompatan ruang-waktu yang cukup jauh, bahkan Putri Cina juga dapat bercerita tentang pembantaian orang-orang Cina oleh Belanda di tahun 1740. Bagi Putri Cina, semua darah orang Cina yang tertumpah di tanah Jawa ini aneh mengingat darah Cina yang mengalir di dalam diri di banyak raja di Jawa. Lebih jauh, menurutnya di dalam diri orang-orang Cina tersebut juga mengalir darah biru Jawa karena perkawinan Jaka Prabangkara, anak Prabu Brawijaya, dengan perempuan Cina yang merupakan adik dari si Putri Cina. Karenanya, ia menganggap bahwa ia bukanlah tamu melainkan juga seorang pribumi. Jadi, seperti apa sebenarnya wacana tentang Cina menurut Putri Cina? Mari kita mulai saja pembicaraan lebih dalam tentang novel ini. D.2. Putri Cina dan Identitas kultural Cina D.2.a. Asal Muasal dan Kedekatan Darah Di bagian awal novel ini, Putri Cina. yang diposisikan sebagai tokoh perwakilan orang-orang Cina, digambarkan sebagai orang yang hilang identitasnya. Ia tidak tahu dari mana ia berasal. Ia seperti tercabut dari akarnya. Meskipun begitu, anehnya, ia menggambarkan perasaan ketercabutannya melalui sajak seorang penyair Cina T’ao Ch’ien yang tentu, di masa itu, sangat sedikit orang yang mengenal penyair tersebut di luar Cina. Bukankah itu berarti ia sesungguhnya, paling tidak, sedikit mengetahui tentang identitas kebudayaannya? Nanti kegamangan semacam ini akan dibahas lebih lanjut. Yang pasti, ia “[k]atanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tidak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekalipun ia 135 tak pernah”. 129 Dengan kata lain, kegamangan identitasnya terletak di titik bahwa ia tak tahu kemana harus menyandarkan identitasnya karena yang ia sebut sebagai ‘tanah leluhur’ sudah tak dikenalnya. Hal pertama yang dipertanyakan si Putri Cina yang hilang ingatan adalah identitas asalnya. Diceritakan ia memang berasal dari Cina karenanya ia disebut sebagai Putri Cina . Ia datang dari sebuah negeri yang jauh yang kemudian menjadi ‘tamu’ di tanah orang meskipun sebagai permaisuri raja. Ia beranggapan orang-orang Cina yang lain juga memiliki kondisi yang sama. Namun, ketika ia mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara yang memiliki dua istri asal Cina dan kemudian anak- anaknya ‘hijrah’ ke Tanah Jawa, ia jadi beranggapan bahwa sesungguhnya orang-orang Cina yang datang ke Tanah Jawa adalah orang Jawa juga. Dalam batinnya ia mengucap “[t]anah Jawa bukan hanya tempat ia dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat dari mana ia berasal. ” 130 Di sini ia mulai berpikir bahwa Tanah Jawa juga dapat dikatakan sebagai kampung halamannya dan kaumnya. Setelah mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara ini kegalauan Putri Cina bergeser pada kenyataan bahwa ia menyaksikan kaumnya yang selalu dijadikan kambing hitam atas segala kejadian buruk di Tanah Jawa dan karenanya kaumnya selalu diburu. Karenanya, wacana tentang kedekatan darah biologis ini kemudian diteruskan ke cerita raja-raja di Jawa. Putri Cina berpikir jika kaumnya dibantai karena darah Cina- nya kenapa hal tersebut tak terjadi pada raja-raja di Jawa yang ia lahirkan dan tentunya memiliki darah Cina. Kenapa mereka tak dianggap Cina? Melalui wacana kedekatan darah ini, Sindhunata tampaknya ingin menunjukkan betapa absurdnya pembantaian berulang-ulang atas orang-orang Cina karena jika ditilik dari darah Cina yang mengalir di diri raja-raja di Jawa konsep pribumi-Cina sudah tak dapat lagi digunakan. D.2.b. Referensi kultural Kehidupan Putri Cina, dengan naik-turunnya, diceritakan dalam sebuah alur sejarah di Tanah Jawa dan dunia pewayangannya. Ia diceritakan telah tinggal di tanah 129 Sindhunata, 2007, p. 9 130 Ibid., hal. 22 136 yang nantinya menjadi Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu dan Buddha. Ia menjadi istri ke lima Prabu Brawijaya yang raja Majapahit. Ia kemudian melahirkan anak Raden Patah yang di kemudian hari membangun kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak, yang mengikis habis kekuasaan Kerajaan Majapahit sekaligus menandai dimulainya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Lantas, dengan bantuan Sabdopalon- Nayagenggong, ia melihat ke belakang, ke dunia yang sekarang disebut dunia pewayangan, ke sejarah Perang Kususetra. Dengan alur cerita yang demikian, Sindhunata ingin mewacanakan peran orang-orang Cina di Jawa apalagi ia memposisikan Putri Cina sebagai saksi langsung. Dengan kenyataan seperti di atas, bagaimana ia menyikapi semua kejadian yang ia saksikan dan rasakan? Seperti apa cara pandang dan referensi yang ada di kepalanya? Ternyata, seberapapun tercerabutnya ia dari akarnya, seperti pengakuannya, dan seberapapun dalamnya ia terlibat dalam pergolakan di Tanah Jawa, secara kultural ia masih seseorang yang baru saja datang dari Cina dan seperti tidak terpengaruhi dengan segala kejadian. Putri Cina selalu menghibur diri dan melihat hal-hal yang ada di sekitarnya dengan referensi kultural yang ia bawa dari tanah Cina. Untuk menggambarkan perasaan terdalamnya tentang kondisi tercabut dari akarnya, ia menggunakan syair dari penyair Cina T’ao Ch’ien. 131 Untuk menggambarkan dirinya yang cantik tapi tak berwajah tak beridentitas ia mengutip syair penyair asal Cina lainnya, Han San. 132 Hal serupa juga terjadi ketika si Putri Cina mengkritik kaumnya yang di Tanah Jawa hanya peduli dengn harta benda semata. Ia mengambil referensi dari ajaran Tao milik Chuang Zhu. 133 Dengan penggambaran seperti contoh-contoh di atas, tentu hal tersebut merupakan sebuah pendekatan yang berbeda ketika si Putri Cina melukiskan betapa dekatnya, secara biologis, orang Cina dan pribumi melalui cerita Jaka Prabangkara. Referensi-referensi kultural yang ada di diri Putri Cina yang keluar kala dirinya melihat 131 Ibid., hal. 9 132 Ibid., hal. 12-13 133 Ibid., 137 banyak hal membuatnya sama sekali bukan ‘pribumi’. Di titik tersebut si Putri Cina malah menjadi orang lain di antara konflik ‘pribumi’. ia seperti kehilangan keyakinannya bahwa ia memang pribumi yang tadinya ia miliki saat bercerita tentang Jaka Prabangkara dan anak keturunannya. Nyatanya, kutipan-kutipan puisi dari negeri Cina di atas lantas menjadi semacam penghiburan atas kondisinya menyedihkan ketika si Putri Cina menghadapi konflik-konflik dimana ia menjadi korbannya. Puisi-puisi tersebut menjadi representasi untuk sebuah tempat dimana ia berasal dan diterima apa adanya. Bagi saya, hal tersebut menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia tetap menganggap bahwa Cina lah kampung halamannya dan bukan Jawa; sebuah hal yang berbeda dengan wacana yang dilontarkan Putri Cina dengan menggunakan kisah Jaka Prabangkara. D.3. Putri Cina dan identitas sosial-ekonomi orang Cina D.3.a. Putri Cina dan kedekatan dengan darah biru Sebuah hal yang menarik untuk dibahas di dalam novel ini adalah bagaimana sebenarnya posisi orang-orang Cina di latar novel Putri Cina sehingga membuat mereka digambarkan sebagai korban di setiap konflik. Cerita-cerita di dalam Putri Cina adalah cerita-cerita yang berlatar kerajaan-kerajaan di Jawa dengan hirarki feodalnya. Dimanakah orang-orang Cina di hirarki tersebut? Adakah posisinya dalam hirarki masyarakat feodal tersebut berpengaruh terhadap kondisi mereka yang selalu di- kambinghitam-kan? Yang pertama dibahas adalah si Putri Cina yang istri dari beberapa raja keturunan Majapahit. Ia datang pertama kali ke Tanah Jawa, dengan perintah dari Kaisar Cina, untuk dijadikan istri ke lima Prabu Brawijaya. Kemudian, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya, si Putri Cina dibuang dengan diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang berkuasa di daerah Palembang tempat ia melahirkan dua orang anak yang nantinya meruntuhkan Majapahit. Yang kedua adalah kisah Giok Tien. Giok Tien adalah istri dari Patih Gurdo Paksi yang merupakan panglima tertinggi di Negara Pedang Kemulan. Di dalam Putri Cina, Pedang Kemulan diceritakan sedang 138 mengalami goncangan yang luar biasa karena rakyat menuntut turunnya sang raja, Prabu Amurco Sabdo. Kemarahan rakyat tersebut kemudian oleh Tumenggung Joyo Sumengah dan Patih Wrehonegoro dialihkan kepada orang-orang Cina yang dianggapnya merusak kemakmuran rakyat Pedang Kemulan. Di tengah-tengah kekacauan tersebut, Giok Tien dan kedua cici’ 134 -nya, Giok Hwa dan Giok Hong, menyaksikan bagaimana orang-orang Cina dikejar-kejar kemudian dibunuh bahkan ada yang diperkosa terlebih dahulu. Ada sebuah kesamaan yang mencolok pada dua karakter utama di atas terkat dengan posisi di hirarki masyarakat Jawa. Keduanya, meskipun datang dari luar Tanah Jawa, memiliki posisi yang dihormati. Mereka bukanlah masyarakat biasa atau sekedar pedagang namun merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Mereka adalah darah biru. Si Putri Cina adalah istri Prabu Brawijaya, seorang raja kerajaan terbesar di masanya. Walaupun kenyataannya ia ‘dibuang’ namun tetap menjadi bagian dari keluarga kerajaan karena tetap jadi istri raja dan kemudian jadi ibu dari kerajaan berikutnya Demak. Sedangkan, di kasus Giok Tien, ia adalah istri dari seorang panglima tertinggi yang posisi memiliki daya tawar kuat di kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kerajaan Pedang Kemulan. Hal tersebut terlihat ketika terjadi perdebatan antara Prabu Amurco Sabdo dan penasehat-penasehatnya, termasuk Patih Gurdo Paksi, guna memutuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi amarah rakyat. Artinya, dengan kenyataan-kenyataan di atas, orang-orang Cina di Putri Cina datang dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di Jawa. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. D.3.b. Putri Cina dan pedagang-pedagang Cina Dimanakah posisi orang-orang Cina lain selain kedua karakter utama di atas? Di dalam novel tersebut, orang-orang Cina selain keluarga kerajaan di atas tidak mendapat penggambaran mendalam. Tidak satu pun karakter yang di dalam secara khusus. Tampaknya Sindhunata tidak begitu tertarik membicarakan masalah ekonomi orang- orang Cina ini. Akan tetapi, dari informasi yang sedikit tadi, satu hal yang dapat 134 Sebutan untuk kakak perempuan di antara orang Cina 139 dipastikan adalah orang-orang Cina yang lain ini berprofesi sebagai pedagang yang tersebar di wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan di Jawa. Lebih jauh mengenai kaum Cina pedagang, informasi-informasi, dalam bentuk narasi, yang ada disampaikan oleh si Putri Cina. Tentu saja, hal tersebut diikuti dengan penilaian-penilaiannya tentang mereka yang pedagang ini; pujian dan cercaan tentang mereka. Di satu sisi, sebagai pedagang mereka, oleh si Putri Cina, dianggap para pekerja keras yang memiliki “[k]esungguhan, ketekunan, dan kerja keras, tak pantang menyerah” 135 , jadi “[t]ak mengherankan, di Tanah Jawa ini, banyaklah di antara mereka yang menjadi kaya dengan harta berlimpah”. 136 Akan tetapi, si Putri Cina tak sepenuhnya bersimpati pada kaumnya yang pedagang ini. Baginya, kelakuan para pedagang ini merupakan salah satu penyebab begitu dibencinya kaumnya secara umum di Tanah Jawa; sebuah hal yang tampak dari awal novel. Si Putri Cina menganggap kaumnya “hanya terjerumus ke dalam nikmat-nikmat benda-benda duniawi, tapi melupakan yang rohani. Karena itu orang Cina hanya mau berdagang dan terus berdagang…lalu enggan membagi kekayaannya terhadap sesama”. 137 Baginya, kelakuan semacam itu dari kaumnya lah pemicu kekacauan yang ada selain politik dan asal-usul yang selalu dipermasalahkan di Tanah Jawa. Lebih jauh, si Putri Cina berpikir bahwa kaumnya melupakan darah seni yang mengalir di darahnya yang diturunkan oleh Jaka Prabangkara yang pelukis alam; sebuah hal yang makin menjauhkan dari Tanah Jawa yang kampung halamannya juga. Pada kaumnya yang pedagang, kesengsaraan yang menimpanya ia tautkan. Walaupun pada kenyataannya, kaumnya yang pedaganglah yang menderita lebih banyak dan bukan dirinya yang cenderung aman karena ‘darah biru’-nya. Dengan kata lain, si Putri Cina hanya menangisi kondisi yang ‘tak bersalah’-nya dan kemudian terkena imbas semuanya. 135 Ibid., hal. 75 136 Ibid., 137 Ibid., hal. 75-76 140 D.4. Wacana masyarakat Cina sebagai korban yang mapan secara ekonomis Hampir serupa dengan novel yang sebelumnya dibahas, wacana korban yang ada dalam Putri Cina jauh lebih kental. Jika Ca Bau Kan langsung berupa tanggapan atas penindasan atas masyarakat Cina yang terjadi, Putri Cina sekaligus menggambarkan penindasan yang terjadi. Selain itu, Putri Cina dikemas melalui nada yang lamentatif dari sudut pandang tokoh-tokoh Cina-nya. Hal tersebut jelas membuat para pembacanya meletakkan masyarakat Cina sebagai korban. Lebih jauh, terdapat dua jenis penindasan yang dimunculkan untuk memposisikan masyarakat Cina sebagai korban. Yang pertama adalah penindasan berupa kekerasan fisik: pengejaran, pembakaran rumah, pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. Berikutnya adalah penindasan berupa pelupaan atas jasa-jasa masyarakat cina terhadap pribumi secara kultural khususnya. Dua jenis penindasan tersebutlah yang lantas mengkonsepkan jalan keluar yang didambakan oleh Sindhunata. Jalan keluar yang pertama adalah pengangkatan bahwa penindasan atas masyarakat Cina nyata adanya. Dengan menggambarkan kengerian yang ‘sebenarnya’ Sindhunata berharap agar kejadian-kejadian tersebut tak terulang kembali. Kedua, yang menjadi pusat perhatian saya, adalah pengakuan atas kontribusi masyarakat Cina di Indonesia. Secara politis, Putri Cina menceritakan sumbangsihnya atas berdirinya kerajaan-kerajaan besar – salah satunya Demak – melalui penceritaan hidup tokoh Putri Cina. Secara kultural, Putri Cina memberi ruang pada bentuk-bentuk sumbangan kultural masyarakat Cina pada proses pembentukan kebudayaan pribumi seperti makanan. Seperti halnya Ca Bau Kan, Putri Cina mengangkat hal-hal yang tadinya tak mendapat ruang di masa lalu. Membuatnya setara dengan kelompok masyarakat lain adalah tujuan utamanya. Putri Cina ingin agar sumbangan kultural masyarakat Cina di Indonesia diakui sama pentingnya dengan sumbangan dari kelompok-kelompok masyarakat lain. Di sini kita melihat bagaimana multikulturalisme menjadi pegangan lagi untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia. Sayangnya ada sebuah hal lagi, yang mirip dengan yang muncul di Ca Bau Kan, yang luput dari perhatian Sindhunata, yaitu kenyataan bahwa tokoh-tokoh Cina yang ia 141 ajukan sebagai korban tidaklah semata-mata korban. Mereka adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi sosial, politik dan ekonomis yang mapan ketika dibandingkan dengan pribumi. Seperti disebutkan dalam novel ini, orang-orang Cina yang menjadi korban adalah para pedagang dan keluarga kerajaan. Dua golongan tersebut jelas bukan golongan akar rumput. Kondisi yang tak setara di sisi tersebut tidak dibahas lebih lanjut dan hanya disebutkan dengan lugunya. Pertanyaan seperti “bagaimana dengan kesetaraan ekonomis?” tidak muncul di kesadaran naratif novel Putri Cina. E. Dimsum Terakhir: keCinaan dan keperempuanan E.1. Dimsum terakhir: penulis keturunan Cina dan karyanya Dimsum Terakhir ditulis oleh seorang perempuan penulis keturunan Cina bernama Clara Ng. Clara yang lahir di Jakarta pada tahun 1973 adalah seorang penulis yang cukup produktif dengan karya-karya yang sering digolongkan sebagai fiksi populer meskipun saya tidak tahu benar standar-standar yang digunakan pada penggolongan tersebut. Di penelitian ini saya tidak mempermasalahkan hal tersebut karena yang menarik bagi saya adalah bahwa novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya Jakarta, dengan segudang masalahnya yang terkadang tak ada hubungan dengan keCinaan. Clara Ng sendiri tidak selalu menulis tema-tema yang berhubungan dengan keCinaan. Bahkan Dimsum Terakhir , novel ke tujuhnya, yang terbit tahun 2006, adalah novel pertamanya yang mengulik permasalahan Cina di Indonesia. Di novel- novel sebelumnya Clara tidak pernah, dengan rinci, menjabarkan latar budaya dan kesukuan tokoh-tokohnya. Tapi, di Dimsum Terakhir adat-istiadat orang-orang Cina di Indonesia digambarkan secara detil mulai dari makanan dan ritual-ritual keagamaannya meskipun latar tempatnya tak berbeda dengan novel-novelnya sebelumnya yang perkotaan. Tampaknya Clara tak mau melewatkan kebebasan berekspresi paska-Orba 142 bagi orang-orang Cina tanpa menyumbangkan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia seperti halnya yang dilakukan penulis-penulis keturunan Cina yang lain: Lan Fang, Hanna Fransisca, Sindhunata dll. Dimsum Terakhir menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina di kota besar Jakarta. Kepala keluarga bermarga Tan tersebut adalah Nung Tan Tjin Yung yang memiliki seorang istri bernama Anas. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak perempuan kembar yang interval kelahirannya hanya dalam hitungan menit. Ke empat anak tersebut adalah Rosi Tan Mei Xi, yang petani mawar, Novera Tan Mei Mei, yang guru TK di Yogyakarta, Siska Tan Mei Xia, yang bekerja di sebuah perusahaan di Singapura, dan Indah Tan Mei Yi, yang penulis sekaligus wartawan. Cerita di novel ini dimulai ketika empat orang anak perempuan yang telah memiliki jalan hidup masing-masing tersebut harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dengan keluarga, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu. Konflik- konflik yang terjadi bersumber dari tabrakan yang terjadi antara dunia empat perempuan tersebut dengan nilai-nilai yang mereka temui lagi di dalam keluarga inti mereka. Novel ini ditulis oleh seorang keturunan Cina dan berkisah tentang sebuah keluarga Cina. Sehingga, dapat dikatakan,ini adalah tulisan dengan tingkat pengalaman pribadi yang cukup mendalam. Permasalahannya, bagaimana si penulis menggambarkan keluarga yang mungkin memiliki kemiripan dengan latar belakang keluarganya sendiri? Masalah-masalah apakah yang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba? Sebelum nantinya di bab berikutnya kita lebih jauh menyisir dampak asimilasi Orba dan multikulturalisme, pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah, terlebih dahulu, terjawab. E.2. Dimsum Terakhir: Identitas kultural Cina Indonesia di masa Reformasi E.2.a. Bahasa Seperti telah diulas di Bab II, semoga dengan mencukupi, bahwa segala hal yang berbau Cina disingkirkan selama masa Orba. Sebagai usaha untuk melawannya, di masa Reformasi hal-hal yang disingkirkan tadi coba diangkat kembali ke permukaan. Di sub- 143 bab ini saya akan terlebih dahulu membahas marjinalisasi di sisi kultural dan saya akan memulainya dari bahasa. Bahasa yang digunakan oleh keluarga ini untuk berkomunikasi dengan orang-orang non-Cina dan Cina adalah bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dengan lu-gue-nya. Ketika Rosi hendak ke rumah sakit mengunjungi ayahnya, Nung, mobil yang ia kendarai bertabrakan dengan sebuah angkot yang berujung dengan keributan. Yang menarik bagi saya, meskipun keributan dengan kernet angkot tersebut berisi dengan lontaran cacian berbau SARA, namun kedua pihak Rosi, yang Cina, dan si kernet, yang jelas bukan Cina, dapat berkomunikasi dengan lancar. Hal tersebut karena keduanya sama-sama menggunakan bahasa Indonesia. Justru ketika salah satu dari empat anak perempuan Nung tersebut berkomunikasi dengan tetangganya yang Cina Medan terdapat perbedaan bahasa logatnya. Siska, yang saat itu mengobrol dengan tetangganya Tante Yu Lan, berbahasa Indonesia dengan lebih ‘baik dan benar’ seperti halnya Rosi daripada Tante Yu Lan “...dengan aksen Cina Medannya yang kental dan khas. Dia mempunyai kesulitan ucap dalam bahasa Indonesia, khususnya menggetarkan lidah dalam pengucapan konsonan “r”.”. 138 Di sini Siska malah terkesan berbeda dengan Tante Yu Lan. Dapat dikatakan, dibanding Tante Yu Lan, ia adalah orang Cina yang telah lebih modern dan lebih menyerupai pribumi. Dengan ini, ditilik dari sudut penggunaan bahasa tokoh-tokohnya, paling tidak, terdapat dua identitas berbeda di dalam tubuh masyarakat Cina di Indonesia: Cina yang modern dan lebih condong pribumi dan Cina yang lebih totok. Kasus lain dari sisi bahasa yang ada adalah masalah proper name. Di wilayah tempat tinggal Nung dan keluarganya yang sebagian besar merupakan Cina peranakan terdapat kebiasaan untuk memanggil seseorang dengan nama Cinanya meskipun semuanya memiliki nama Indonesia. Pada sebuah obrolan di rumahnya, Nung dikomentari oleh tetangganya Qian Xen karena tidak memanggil anak-anaknya dengan nama Cina mereka; sebuah komentar yang ternyata sudah puluhan kali ditodongkan 138 Lih., Ng, 2006, hal. 94 144 pada dirinya. Jawaban Nung pun tetap sama dari waktu ke waktu yaitu bahwa mereka adalah orang Indonesia dan, meskipun, mereka tidak dipanggil menggunakan nama Cinanya, toh darah Cina mengalir di darah mereka. 139 Artinya, Nung meletakkan identitas Indonesia di atas identitas Cina keluarganya. Hal tersebut jelas berseberangan dengan orang-orang Cina di sekitarnya. Di sini Nung mengambil posisi yang lebih modern sedangkan orang-orang di sekitarnya lebih memilih untuk memegang teguh adat-istiadat. Lebih jauh, dapat disimpulkan, keluarga Nung adalah keluarga Cina yang telah lebih modern dan lebih mengakui dirinya sebagai orang Indonesia sehingga menganggap dirinya sama seperti orang Indonesia lainnya yang, katakanlah, pribumi. E.2.b. Adat-istiadat dan agama Adat-istiadat dan agama adalah sisi kehidupan keluarga Nung dengan ke empat anaknya yang mendapat sorotan paling dalam oleh Clara. Penggambarannya sangat mendalam. Tak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan Clara soal agama orang-orang Cina di Indonesia, tentu dengan segala rintangannya, sangat mumpuni. Keluarga Nung adalah seorang penganut Konghucu dan tradisi Cina yang taat. Di rumah mereka terdapat patung Dewi Kwan Im yang sangat dihormati keberadaannya, juga altar leluhur, milik Akong kakek, yang didoakan dengan hio setiap harinya, dan perangkat-perangkat doa lainnya. Mereka juga dengan rutin mengadakan acara-acara peringatan khas masyarakat Cina seperti Imlek bahkan hingga memiliki tradisi khusus keluarga. Penanggalan-penanggalan penting bagi masyarakat Cina juga, termasuk kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, digambarkan, dengan rinci, oleh Clara. Sepintas, Dimsum Terakhir terlihat memiliki pendekatan yang sama dengan DBD dengan penjelasan tentang agama orang-orang Cina yang rinci, namun, sebenarnya, memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Di DBD, pandangan hidup orang-orang Cina, yang diwakili oleh Tjoe Tat Mo yang tentu berangkat dari dalamnya 139 Ibid., hal. 205 145 ia mempelajari agamanya Buddha serta agama-agama lain, menjadi pusatnya. Sedangkan di Dimsum Terakhir, perayaan-perayaan adalah pusat ceritanya. Contohnya adalah penjelasan mengenai penanggalan seperti ce it dan cap go atau perayaan kue bulan. Meskipun ketika di penjelasan atas filosofi di balik perayaan kue bulan terdapat pandangan orang-orang Cina terhadap keluarga yang harus tetap utuh namun hal tersebut bersifat internal; internal dalam artian ia tidak memberii masukan ke luar komunitas Cina seperti halnya yang dilakukan oleh Tjoe Tat Mo pada Noerani dan gerakan perlawanan pribumi meskipun secara tak langsung. Kembali ke perkara dua golongan Cina seperti di bagian bahasa, hal tersebut muncul ketika salah satu anak perempuan Nung, Novera, yang bermaksud untuk pindah agama menjadi seorang Katolik: “...“Kenapa dibaptis?” “Karena saya ingin menjadi Katolik,” jawab Novera tenang. Ketenangan itu hasil mengumpulkan keberanian selama berminggu- minggu. “Menjadi Katolik harus dibaptis.” “Katolik adalah agama. Agama bisa menyelamatkan kita, jawab Novera, tetap tenang. Dalam hati dia mengagumi ketenangan dirinya yang luar biasa, hasil latihan di depan cermin. “kan kita sudah punya agama? Kenapa harus ganti agama lagi?” Nah. Ini dia. Pertanyaan ala Siska yang tajam dan menyengat. Taktik Siska untuk mengalihkan perhatian. To the point. Untung Novera sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelumnya. “Yang dimaksud dengan agama kita…,” jawab Novera, “…adalah menghormati leluhur dan patuh terhadap tradisi Cina. Sejujurnya, ini tidak dapat disebut sebagai agama, Siska. Ini adalah…” “Mama tidak setuju kamu dibaptis.” Kali ini seluruh kepala menoleh ke arah Anas, lalu terdiam seakan-akan dia mengatakan pernyataan maha penting yang turun dari langit. “Kalau mau ke gereja pergi saja ke gereja. Tidak perlu baptis-baptisan segala. Mama dengar, kalau kamu sudah dibaptis, kamu tidak boleh pegang hio.”... ” 140 Perdebatan sengit dalam keluarga Nung terpicu setelah Novera mengutarakan maksudnya untuk pindah agama atau lebih tepatnya, berdasarkan logika Novera, memiliki agama. Tidak ada satu pun anggota keluarga yang menyetujuinya atau menerimanya dengan baik-baik saja. Bagi saya, perdebatan yang terjadi adalah perdebatan dua kubu yang sama dengan saat kita membahas pemakaian bahasa. Novera sekarang bertindak sebagai pihak yang lebih modern dan lebih pribumi. Kini ia lebih dekat dengan pribumi dengan agama Katolik. Anggota keluarga lainnya adalah pihak 140 Ibid., hal. 70-71 146 yang lebih totok yang menganggap diri mereka lebih teguh memegang keCinaannya seperti Tante Yu Lan pada kasus sebelumnya. Pertarungan antara pihak dengan sudut pandang yang lebih modern dengan yang, katakanlah, lebih kuno juga terjadi di banyak tempat lain dalam Dimsum Terakhir . Ada satu kejadian saat Imlek ketika Rosi menolak memakai rok dan berpakaian berwarna merah yang menandakan kebahagiaan dan khas Imlek. Di lain tempat, ada Siska yang membenci hujan karena merusak segala kegiatan. Di kedua kasus tersebut, Anas, sang ibu, meluruskan mereka berdua agar tidak melenceng dari sudut pandang Cina seperti bahwa hujan membawa berkah karena “para dewa sedang bersukacita”. 141 Pertarungan dua identitas Cina di Indonesia ini menjadi poros utama alur cerita yang dibangun di Dimsum Terakhir. Tampaknya, bagi Clara, inilah permasalahan utama masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba. E.3. Identitas sosial-politik-ekonomi Cina di Indonesia Di sub-bab di atas telah banyak digambarkan bagaimana konflik dan tarik ulur yang terjadi terkait dengan adat-istiadat masyarakat Cina dengan nilai-nilai yang dipandang lebih modern. Permasalahan modern yang masuk ke dalam perdebatan dalam keluarga Nung masuk melalui ke empat anaknya. Jadi, paling tidak, ada empat masalah di sini. Masalah pertama adalah masalah Siska. Siska adalah seorang wanita karir yang gila kerja. Ia bekerja sebuah perusahaan besar kelas internasional. Ia adalah anak yang paling sukses secara ekonomi. Akan tetapi, oleh saudari-saudarinya, ia dianggap pihak yang paling egois, tidak sensitif dan keras kepala. Menurutnya, ia adalah perempuan mandiri yang tak mau menggantungkan hidupnya di pundak laki-laki. Ia tak suka dengan konsep pernikahan. Ia lebih suka dengan hubungan yang cenderung kasual tanpa ikatan pernikahan; sebuah tingkah laku yang lazim dihardik di Indonesia. 141 Ibid., hal. 59 147 Masalah kedua adalah masalah Rosi. Masalah Rosi adalah orientasi seksualnya. Ia adalah penyuka sesama jenis yang merasa dirinya adalah laki-laki yang lahir di tubuh perempuan. Bukan isapan jempol bahwa di Indonesia kondisi Rosi, yang kemudian berganti nama menjadi Rony, belum dapat diterima dengan baik oleh khalayak umum. Ia sadar akan kenyataan tersebut karena ia cukup gugup ketika mengajak Dharma, pacarnya, untuk ke rumah sakit mengunjungi Nung. Masalah ketiga adalah masalah Novera. Masalahnya adalah masalah wacana kewanitaan gender. Ketika masih remaja, rahim Novera diangkat sehingga ia tidak akan mungkin memiliki anak. Wacana umum di masyarakat Indonesia, perempuan akan lebih dihargai apabila ia dapat menjadi seorang ibu; sebuah kenyataan yang membuatnya cenderung rendah diri dan pendiam. Hal tersebut menjadi masalah karena ia tidak seperti Rosi yang lesbi dan tomboy. Ia adalah perempuan yang feminin dan penyayang anak-anak karenanya ia bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Masalah keempat adalah masalah Indah. Ada dua masalah yang dibawa dalam tokoh Indah: pilihan pekerjaan dan kehamilan di luar pernikahan. Indah memilih bekerja sebagai penulis dan wartawan; pekerjaan yang, di Indonesia, belum begitu dihargai karena dianggap tidak memberii jaminan untuk masa depan. Di beberapa bagian di novel ini, terlihat Indah beberapa kali direndahkan oleh Siska yang mapan ekonominya. Yang kedua, ia hamil di luar pernikahan dengan seorang pastor yang jelas-jelas tak mungkin menikahinya. Ia mewakili fenomena single-parent yang kini kerap dijumpai di kota-kota besar di Indonesia dan seringkali dipandang sebagai sebuah ketidakwajaran. Jika di sub-bab sebelumnya Clara memecah identitas Cina, secara kultural, menjadi dua golongan, kini, ia memecah identitas Cina yang ada di diri ke empat anak perempuan Nung berdasarkan perkara hidup masing-masing. Sehingga, tak tampak lagi sisi ‘Cina’ mereka. Perkara-perkara yang mereka hadapi adalah perkara masyarakat perkotaan di Indonesia saat ini; sebuah permasalahan lintas-etnis. Wacana tersebut membuat permasalahan pribumi-non-pribumi tidak relevan lagi karena permasalahan tersebut hilang, atau minimal tak kasat mata, ditumpuki masalah-masalah gender tersebut. Masalah-masalah yang dihadapi keempatnya memang semuanya ke dalam 148 wacana gender; konstruk sosial perempuan yang berlaku di masyarakat kekinian Indonesia. Yang menarik, kesimpulannya, ke-Cina-an bukanlah satu-satunya permasalahan yang dihadapi masyarakat Cina saat ini. Menjadi orang Indonesia dan tinggal di Indonesia berarti memiliki masalah yang juga dimiliki orang-orang Indonesia lainnya. E.4. Dimsum Terakhir dan kegalauan identitas Cina di Indonesia Dari sub-bab sebelumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Cina dalam Dimsum Terakhir memiliki masalah dengan identitasnya. Di satu sisi, mereka harus mereka harus menjaga identitas Cina-nya dengan memegang teguh adat- istiadatnya. Di sisi lain, mereka seusungguhnya memiliki masalah dengan lain yang oleh sebagian dari mereka dianggap berada di atas masalah etnisitas: gender keperempuanan. Masalah ini, dengan dua kutubnya, membuat identitas orang-orang Cina di narasi novel ini terjebak dalam kegalauan. Namun, justru di titik tersebut novel ini menarik. Melalui novel ini, Clara ingin menyatakan bahwa masalah orang Cina tidak selalu terkait dengan posisinya sebagai orang Cina. Masalah yang dihadapi komunitas Cina ikut berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia. Artinya, di banyak sisi masalah orang Cina, tidak ubahnya adalah masalah orang Indonesia seperti yang digambarkan Clara melalui tokoh empat anak kembar Nung. Melalui empat masalah di diri empat anak kembar Nung, Clara menggambarkan bagaimana seringkali masalah seorang keturunan Cina bukanlah karena ia seorang keturunan Cina meskipun terkadang tercampur dan memperparah keadaan seperti komentar dalam hati Rosi: “[l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan di Negara ini. Di dalam kasus Rosi, lebih mengerikan lagi. Mungkin ini nerakanya neraka . ” 142 Melalui penambahan masalah khas perkotaan yang dialami keluarga Nung, Clara berhasil memecah identitas komunitas Cina yang selama ini, yang terlihat terutama 142 Ibid., hal. 45 149 ketika kerusuhan semacam Mei 1998, dianggap sebagai sebuah entitas yang utuh dan khas. Clara membuat penyerangan atas orang-orang Cina di berbagai tempat di Indonesia selama bulan Mei 1998 makin absurd dan tak beralasan. Kesimpulannya, Clara menyampaikan wacana bahwa orang-orang Cina juga memiliki masalah terhadap keperempuanan dan lingkup perkotaannya yang mana mereka juga harus hadapi dengan sesamanya, semisal Rosi bersama dengan komunitas lesbinya. Clara mengintegrasikan orang Cina ke dalam masyarakat melalui permasalahan sosial lain di luar etnisitas. Di sini, Clara dekat dengan wacana integrasi yang muncul di masa Orla dan Orba dan wacana multikulturalisme di masa Reformasi. Meskipun, ia memiliki pendekatan yang berbeda karena tidak bertumpu pada sisi kultural semata. F. Acek Botak dan usaha melampaui stereotip masyarakat Cina F.1. Acek Botak: penulis dan sekitarnya Acek Botak adalah novel terakhir sekaligus novel terbaru, dilihat dari tahun penerbitannya, yang akan dibahas di tesis ini. Novel ini terbit sebelas tahun setelah runtuhnya rezim Orba. Dengan jarak sepuluh tahun ini tentunya, atau mungkin sudah sewajarnya, wacana yang dihasilkan telah lebih berjarak dengan wacana-wacana tentang orang Cina a la Orba. Saya percaya sepuluh tahun cukup memberii ruang bagi penulis untuk melihat wacana-wacana yang digelontorkan di masa berkuasanya rezim Orba dengan lebih berjarak dan kritis. Dengan begitu, adalah sebuah hal yang tidak dapat saya hindari bahwa saya mengharapkan untuk mendapati usaha yang lebih matang untuk melampaui stereotip-stereotip atas orang-orang Cina ketika saya berhadapan dengan novel Acek Botak ini. Novel ini terbit tahun 2009; sebelas tahun setelah reformasi dan delapan tahun setelah dicabut larangan bagi orang Cina untuk merayakan hari-hari besarnya secara terbuka oleh Gus Dur. Novel ini terbit ketika karya-karya di berbagai disiplin seputar 150 orang Cina di Indonesia sudah menjadi konsumsi publik yang lumrah. Para pembuat karya-karya tadi pun sudah tidak berbatas identitas etnik juga. Di dunia sastra Indonesia, penulis-penulis keturunan Cina pun telah bebas menulis dan mempublikasikan karyanya tanpa harus menyembunyikan identitas kulturalnya. Bahkan, penulis-penulisnya, baik yang menulis sastra popular maupun sastra ‘kelas berat’, juga masuk dalam jajaran penulis elit yang karyanya laku keras di Indonesia seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya dan bahkan sebagian menjadi bagian dari Dewan Kesenian-Dewan Kesenian yang ada di berbagai daerah. Jadi, novel dengan tema kehidupan orang Cina selayaknya Acek Botak ini sudah bukan barang ‘berbahaya’ lagi seperti ketika Menteri Penerangan-nya masih dijabat oleh Harmoko. Dilihat dari sisi penulisnya, Acek Botak memiliki kesamaan dengan Ca-Bau-Kan yang memang sezaman. Kedua novel yang berkisah tentang kehidupan orang-orang Cina tersebut sama-sama ditulis oleh penulis yang bukan keturunan Cina. Penulis novel Acek Botak adalah seorang penulis Batak bernama Idris Pasaribu. Menariknya, Idris Pasaribu, sebelumnya keluarnya novel ini, tidak pernah menulis karya yang bercerita tentang kehidupan orang Cina. Ia juga bukan seseorang yang dianggap sebagai ‘pemerhati’, dengan definisi terluasnya, kebudayaan Cina di Indonesia. Namun, setelah membaca novel ini, saya pikir Idris Pasaribu benar-benar mengenali kehidupn orang-orang Cina dari masa ke masa di daerah asalnya yaitu Sumatra Utara. Lebih jauh tentang Idris Pasaribu, selain sebagai seorang penulis fiksi, ia dikenal sebagai salah satu wartawan senior untuk daerah Sumatra Utara. Ia pernah bergabung dengan berbagai macam terbitan ‘besar’ sejak tahun 1970-an. Ia mulai menulis ketika masih duduk di bangku SMA. Ia menjadi kontributor untuk Harian Suluh Marhaen. Kemudian, di masa kuliahnya di Medan, buah tangannya mulai muncul di terbitan-terbitan nasional. Sedangkan sebagai wartawan, namanya mulai dikenal ketika bergabung dengan Harian Analisa Medan. Dengan pengalamannya yang segudang di dunia jurnalisme, tak heran gaya tulisnya di novel Acek Botak dekat dengan gaya tulis tulisan-tulisan jurnalistik