Masa Reformasi: Multikulturalisme dan perayaan atas hal-hal yang
85
Secara umum, dapat dikatakan, bahwa masa reformasi adalah masa pemunculan masalah. Kebijakan-kebijakan Soeharto adalah kebijakan-kebijakan
yang bersifat membungkam. Hal tersebut membuat di permukaan tampak tak terjadi apa-apa. Pembantaian orang-orang yang dianggap PKI selama tahun 1965-1966 lewat
begitu saja. Bencana-bencana yang terjadi di daerah-daerah tidak mendapat publikasi karena memang satu-satunya saluran televisi yang ada adalah televisi milik Negara.
Bentuk-bentuk kebudayaan kaum minoritas tidak boleh muncul. Bentuk-bentuk kebudayan dan hiburan populer film, lagu dll. harus melalui proses sensor yang kuat.
Masa Reformasi adalah masa yang membuka tabir atas luka-luka lama tersebut meskipun terkadang hanya bersifat praktis dan non-formal. Pada masa ini, hal-hal yang
tadinya haram untuk dibicarakan masuk ke ruang-ruang diskusi publik. Buku-buku tentang komunisme yang tadinya dilarang beredar kini, dengan cukup mudah, dapat
ditemukan di rak-rak toko buku. Pencarian, yang biasanya berakhir dengan penemuan, atas korban-korban kekerasan negara di tahun 1965-1966 dilakukan. Bentuk-bentuk
kebudayaan kaum minoritas kini menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu khalayak umum, bahkan masuk ke agenda program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Namun, hal tersebut sebatas pembiaran dan bukan perubahan undang-undang. Pada kasus yang terkait dengan PKI, buku-buku boleh beredar luas tapi undang-undang
pelarangan legalnya belum dicabut. Bahkan, tidak ada pihak yang dihukum atas kejahatan struktural tersebut. Akan tetapi, satu hal yang pasti, masa Reformasi adalah
masa yang, dengan penuh ketertarikan, mengangkat yang tadinya dipinggirkan. Logika tersebut juga berlaku bagi masalah-masalah yang terkait dengan hubungan antar etnis.
Selain karena pembungkaman dan pemberangusan bentuk-bentuk kebudayaan minoritas dengan politik SARA-nya, logika mengangkat-yang-dipinggirkan ini muncul
karena kejadian-kejadian berdarah di awal masa Reformasi yang berbau SARA. Bahkan keruntuhan rezim Soeharto, yang jadi tonggak berdirinya era Reformasi, diwarnai
dengan kerusuhan anti-Cina.
86
Sebelum 1997, demonstrasi-demonstrasi yang diprakarsai mahasiswa hanya berada di dalam tembok-tembok kampus. Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan
normalisasi kampus oleh jendral-jendral Orba. Namun, ketika Soeharto terpilih kembali di Pemilu 1997 setelah mengobrak-abrik kekuatan politik salah satu partai oposisinya
yang memuncak di bulan Juli 1996, mahasiswa sudah tidak dapat menahan lagi amarahnya.
95
Saat itu, dengan bantuan dari tokoh-tokoh oposisi
96
, tokoh masyarakat dan intelektual, mahasiswa menggelar aksi-aksi yang bersifat massal dan publik turun ke
jalan. Aksi turun ke jalan yang diprakarsai mahasiswa kemudian hampir selalu diakhiri
dengan bentrok fisik dengan aparat bersenjata yang saat itu jelas penguasa dari Sabang sampai Merauke. Bentrokan-bentrokan ini memuncak dengan terbunuhnya beberapa
mahasiswa. Kejadian ini sekarang dikenal Tragedi Semanggi I dan II 13 Mei 1998 karena TKP-nya berada di bawah jembatan Semanggi, Jakarta. Para mahasiswa yang
umurnya berakhir di ujung peluru aparat ini kemudian diberi gelar Pahlawan Reformasi walaupun begitu mereka tetap tak lebih ternama dari Pahlawan Revolusi buatan Orba di
kepala anak-anak Sekolah Dasar. Satu minggu setelah Tragedi Semanggi II, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dan menunjuk kawan lamanya, yang saat itu
menjabat sebagai wakilnya, sebagai penerusnya; B.J. Habibie. Sebelum mengulas masa Reformasi lebih jauh, kita akan kembali sebentar
menelisik hari-hari gelap sebelum Soeharto lengser. Di bulan Mei 1998, saat demonstrasi besar-besaran dan bentrokan mulai jadi tontonan harian masyarakat di kota-
kota besar Indonesia, tragedi lain terjadi di saat yang sama. Entah datang dari mana, sekelompok orang tiba-tiba mulai membakar dan menjarah toko-toko dan rumah-rumah
milik warga keturunan Cina. Tidak puas dengan sekedar menghabisi harta bendanya, para pemiliknya juga, di beberapa kasus, ikut dihabisi. Pemerkosaan pada kaum hawa
95
Lih., ORourke, 2003, hal. 9-14
96
Kaum oposisi ini menamakan dirinya sebagai Poros Tengah. Rata-rata mereka datang dari kalangan akademia.
87
dari kelompok masyarakat ini juga kemudian ditemukan.
97
Biasanya tindakan keji khas manusia tersebut juga diikuti dengan pembunuhan. Laporan tentang kejadian-kejadian
ini datang dari wilayah yang sangat acak: Jakarta, Solo, Palembang, Medan dll. Peristiwa-peristiwa tragis ini sampai kini belum terang duduk perkaranya walaupun,
dengan malu-malu, beberapa Jendral kroni Orba mulai membicarakannya. Tapi, yang pasti, tidak ada satupun dari kalangan berpangkat yang dijebloskan ke balik jeruji besi
hingga kini. Tentu tidak akan pernah terang karena, paling tidak, dua dari jendral ini telah mencalonkan dirinya sebagai presiden dan segera berlomba di Pemilu 2014. Akan
tetapi, entah terencana, baik secara militer maupun politis, entah tidak, peristiwa- peristiwa tragis berbau SARA di akhir masa Orba ini menjadi semacam katalis politik
SARA Orba. Peristiwa ini menunjukkan bahwa politik SARA Orba yang mengharamkan pembicaraan seputar SARA sama sekali tidak menyelesaikan masalah,
bahkan memperparahnya. Beberapa tahun kemudian setelah masa transisi Habibie, tragedi-tragedi dengan
unsur SARA terjadi. Peristiwa-peristiwa ini tentu juga mendorong munculnya diskusi- diskusi lebih terbuka seputar hubungan sosial yang ada di masyarakat. Kejadian-
kejadian tersebut antara lain Tragedi Sampit, Tragedi Poso, Tragedi Ambon dan beberapa tempat lain. Kemudian, muncullah teroris-teroris masa Reformasi yang diduga
mendalangi Bom Bali I dan II dan Bom Malam Natal tahun 2000. Kesemua tragedi di atas adalah tragedi dengan label SARA. Sebagai reaksinya, saat itu, Pemerintah dan
organisasi-organisasi non-pemerintah lantas menggencarkan forum-forum diskusi yang melibatkan tokoh-tokoh dari semua kelompok masyarakat dan mencari jalan
rekonsiliasi. Harapannya tentu ketika perihal terkait SARA dibicarakan di forum-forum diskusi publik, tragedi-tragedi seperti yang telah saya sebutkan tidak akan muncul
dengan bahasa kekerasan.
97
Untuk lebih rinci tentang kejadian-kejadian ini lih. ORourke, 2003, pp. 97-102
88
Berangkat dari tahun-tahun gelap itulah wacana besar multikulturalisme dan toleransi mulai semarak di Indonesia. Kemudian, lahir banyak LSM-LSM pengusung
multikulturalisme yang membantu masyarakat melalui trauma konflik dan melakukan konseling konsep-konsep hidup bersama. Multikulturalisme dipandang sebagai sebuah
jalan untuk mengangkat dan menerima bentuk-bentuk kebudayaan yang selama masa Orba dipinggirkan. Karenanya, salah satu konsep yang kuat di wacana ini adalah
toleransi yang mana masyarakat harus menerima hal-hal yang dianggap berbeda dengan dirinya.
Wacana penerimaan-atas-yang-lain ini diawali oleh dua pemimpin ormas Islam terbesar di Indonesia; Amien Rais Muhammadiyah dan Abdurrahman Wahid
Nahdhatul Ulama. Akan tetapi, keduanya memiliki versi yang berbeda. Amien Rais lebih mengedepankan konsep Bangsa Indonesia bagi kaum minoritas contoh yang ia
pakai adalah kaum keturunan Cina. Kaum ini, bagi Amien Rais harus menjadi, secara penuh, sebagai Bangsa Indonesia. Konsep pribumi-non-pribumi untuk mereka harus
dihilangkan. Konsep yang dekat dengan konsep asimilasi ini berlawanan dengan konsep penerimaan atas perbedaan a la Gus Dur.
98
Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden setelah masa transisi Habibie, wacana multikulturalisme ini benar-benar dihidupkan.
Berikutnya adalah penjabaran yang berhubungan dengan etnis Cina di berbagai bidang kehidupan.
C.1. Sosial dan budaya
Dipandang dari sisi agama dan perayaan, naiknya Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia tahun 1999 membawa beberapa perubahan yang cukup berarti bagi
masyarakat keturunan Cina. Segera setelah menjabat Gus Dur mencabut larangan penyelenggaraan perayaan hari-hari raya masyarakat keturunan Cina yang tertera di
Keppres no. 14 tahun 1967. Bahkan, di masa ketika sentimen anti-Cina masih bergaung, Gus Dur berani berkata bahwa dirinya merupakan keturunan Cina dala wawancaranya
98
Lih. Ricklefs, 2001, p. 410
89
dengan majalah Asiaweek.
99
Selain urusan perayaan, Gus Dur juga memulihkan kembali kekuatan PP no. 1 tahun 1965 dan PP no. 5 tahun 1969 yang di dalamnya tercantum
pengakuan Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Hal yang cukup berani tersebut lantas menjadi semacam penanda bagi hubungan sosial yang baru antara
kaum minoritas dan mayoritas dengan segala pemaknaannya. Pembatalan undang-undang diskriminatif tahun 1967 dilakukan Gus Dur dengan
menyatakan “penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama
ini” dalam Kepres No. 6 tahun 2000 yang disahkan pada 17 Januari tahun 2000.
100
Artinya, pembatasan ekspresi kultural masyarakat keturunan Cina kini dapat memasukki ruang-ruang publik dan tidak terbatas dalam tembok-tembok pekarangan rumah. Hal
tersebut diperkuat pada masa pemerintahan Megawati Kepres no. 19 tahun 2000 yang menyatakan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Setelah kemunculan ekspresi
kultural ini disahkan secara legal, di masyarakat, keran informasi dan tontonan popular berbau Cina terbuka selebar-lebarnya.
Buku yang disunting oleh Ignatius Wibowo mencatat fenomena-fenomena yang ada. Agus Setiadi, yang menyumbang esai berjudul “Geliat Sang Naga dalam Pustaka”
di buku tersebut, berfokus pada buku-buku tentang Cina setelah Reformasi. Terdapat dua jenis buku yang bermunculan terkait dengan Cina: 1. Buku-buku yang
berhubungan dengan RRC dan 2. buku-buku yang berhubungan dengan orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Di kelompok pertama, kemunculan buku-buku tersebut
diawali dengan karya-karya fiksi sejarah dari zaman dinasti-dinasti Sam Kok, Tiong Ciu Liat Kok,
Tepi Air dll.. Buku-buku tersebut kemudian diikuti dengan kemunculan buku-buku fiksi dan buku non-fiksi kondisi sosial-politik tentang kehidupan Cina
kekinian. Untuk kelompok bacaan yang kedua, fenomena ini diawali dengan penerbitan karya-karya fiksi dari golongan penulis Melayu-Tionghoa, dari masa sebelum
99
Lih. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 192
100
Ignatius Wibowo, 2010, p. 126
90
kemerdekaan bahkan sebelum masa Balai Pustaka, yang hingga kini telah mencapai seri ke-10. Lantas, yang paling menarik, muncul karya-karya fiksi tentang Cina yang ditulis
penulis-penulis Indonesia baik yang keturunan Cina maupun bukan. Yang terakhir ini menunjukkan adanya semacam kebangkitan-kembali sastra Melayu-Tionghoa.
Di sisi lain, berbarengan dengan diperbolehkannya perayaan-perayaan orang- orang keturunan Cina di ruang-ruang publik, bentuk-bentuk kultural yang terkandung di
dalamnya pun menggeliat naik ke permukaan. Salah satu yang paling kentara adalah tarian Barongsai yang kini hadir di berbagai acara dan tidak terbatas di acara-acara
milik orang-orang keturunan Cina. Bahkan, para pemainnya pun tidak hanya dari golongan mereka. Yang menarik, setelah 30 tahun dilarang muncul ke ruang publik,
kemunculannya langsung dapat diterima dengan hangat bahkan terus coba dimunculkan di setiap kesempatan yang ruangnya memungkinkan.
Fenomena ini diawali pada tahun 2000. Setelah Kepres Gus Dur dan Megawati, klenteng-klenteng di berbagai wilayah mulai dengan rutin menggelar latihan tari
Brongsai. Dari sana kemudian terbentuklah organisasi-organisasi yang mewadahi kelompok-kelompok Barongsai yang ada. Salah satu yang paling awal, untuk organisasi
bertaraf lokal, adalah Persatuan Liong Barongsai Bogor PLBB yang didirikan tahun 2000. Untuk tingkat nasional, yang berada di bawah struktur legal Negara, KONI di
kasus ini, adalah Persatuan Seni dan Olahraga Barongsai Indonesia Persobarin. Badan yang lain adalah Persatuan Kungfu Liong dan Barongsai Seluruh Indonesia
PKLBSI.
101
PKLBSI seterusnya menjadi corong tari Barongsai Indonesia di kancah internasional dan tergabung dalam International Dragon and Liong Dance Federation
IDLDF yang berpusat di Beijing. Bahkan di tahun 2007, PKLBSI menjadi penyelenggara kompetisi Barongsai se-dunia. Sedangkan, Persobarin menjadi wadah
bagi perkumpulan-perkumpulan Barongsai yang ada di daerah-daerah.
101
PKLBSI awalnya bernama Persatuan Tarian naga Barongsai Seluruh Indonesia Pernabi. Badan ini berganti nama tahun 2006 walaupun memiliki misi yang sama. Lih. Ignatius Wibowo, 2010, hal. 199-
200
91
Berbicara ruang dipertontonkannya Barongsai, kini ruang tersebut sangat sulit diidentifikasi. Penandan Barongsai kini dapat dilekatkan kemana saja. Akan tetapi,
paling tidak, ruangnya dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan misinya. Yang pertama adalah ruang kebudayaan. Yang kedua adalah ruang komersil. Yang pertama
biasanya berbentuk pawai-pawai kebudayaan atau hari-hari peringatan nasional. Sekarang sudah lazim di Indonesia untuk memasukkan tari Barongsai di acara-acara
peringatan yang bersifat nasional atau lokal seperti Peringatan Hari Kemerdekaan setiap 17 Agustus atau Peringatan Ulang Tahun berdirinya sebuah kota. Di sisi lain, beberapa
kelompok Barongsai dipanggil untuk meramaikan acara-acara yang bersifat komersil seperti pembukaan pusat belanja atau pembukaan perusahaan baru. Tapi, yang penting
untuk dicatat, adalah ruang untuk tari barongsai tidak terbatas pada ruang-ruang khusus kelompok masyarakat keturunan Cina.
Salah satu bentuk kebudayaan Cina yang diberangus di masa Orba dan muncul kembali ke permukaan setelah reformasi adalah bahasa sekaligus aksara Cina. Kini
muncul lembaga-lembaga yang menyediakan sarana pembelajaran bahasa Cina di berbagai wilayah. Selain digandrungi oleh anak-anak muda keturunan Cina yang tidak
dapat lagi berbahasa Cina, anak-anak muda dari etnis lain juga banyak mempelajarinya. Menurut catatan Assa Kaboel dan Nita Madona Sulanti, hingga tahun 2006, di wilayah
provinsi DKI Jakarta, saja terdapat sekitar 141 lembaga kursus bahasa Mandarin. Jumlah lulusannya pun sudah ribuan dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
102
Maraknya tempat-tempat kursus Bahasa Mandarin ini dikarenakan sejak tahun 2001, tempat-tempat kursus tersebut telah diwadahi dalam Konsorsium Kursus Bahasa
Mandarin. Konsorsium tersebut kemudian dijadikan mitra oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional. Hasilnya, kini tempat-
tempat kursus tadi telah memiliki standar pengajaran kurikulum, spesifikasi tenaga
102
Untuk daftar lengkapnya dalam bentuk tabel lih. Ignatius Wibowo, 2010, hal. 215-223
92
pengajar, buku acuan dll..
103
Bahkan, sekarang ini, kursus Bahasa Mandarin telah terbagi dalam jenjang-jenjang mirip dengan yang ada di universitas-universitas. Lebih
jauh, akhir-akhir ini, tidak jarang universitas-universitas pada jurusan-jurusan tertentu memiliki mata kuliah tambahan Bahasa Mandarin.
Begitulah bentuk-bentuk kebudayaan Cina yang tadinya diberangus kini diakui, diangkat bahkan digandrungi terutama yang bersifat tontonan. Tidak ada perdebatan
tentang cara mengangkat yang tadinya tertindas ini; apakah harus asimilasi atau integrasi? Sepertinya dengan pengakuan dan pengangkatan bentuk-bentuk kebudayaan
di atas, masalah yang ada di belakang telah selesai. Hal serupa juga berlaku terhadap bentuk-bentuk kebudayaan dari etnis lain di Indonesia. Tidak sulit bagaimana saat ini
pemerintah sedang berusaha ‘menjual’ produk-produk daerah. Lihat saja penggabungan antara budaya dan pariwisata dalam satu departemen Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata yang mencanangkan program besar Visit Indonesia; sebuah program yang membanggakan lokalitas, perbedaan dan harmonisasinya. Inilah wacana utama terkait
dengan etnisitas di masa Reformasi.
C.2. Politik dan Ekonomi
Dilihat dari sisi tatanan kekuasaan, Indonesia telah banyak berubah semenjak Reformasi. Perubahan ini jelas berdampak pada kehidupan ekonomi dan posisi politis
yang dimainkan orang-orang keturunan Cina. Yang paling mencolok adalah mereka kini hampir-hampir tak dapat lagi dimasukkan ke dalam satu identitas politik karena begitu
cair dan tersebarnya mereka di berbagai organisasi politik. Begitu juga secara ekonomi karena mereka kini, paling tidak secara structural, tidak lagi dikelompokkan sebagai
satu entitas ‘sapi perah’. Bersamaan dengan hal-hal tersebut, muncullah orang-orang keturunan Cina di partai-partai bahkan sebagai calon legislatif dan terkikislah sistem Ali
Baba di perusahaan-perusahaan walaupun belum menyeluruh.
103
Untuk latar belakang pengakuan tempat-tempat kursus tersebut dan tugas-tugas konsorsium mereka lih. Ibid., hal. 208-211
93
Kenyataan bahwa penduduk keturunan Cina gemar ber-organisasi tidak terbantahkan lagi jika dilihat di halaman-halaman yang lalu. Sempat dilarang
kemunculannya semasa Orba, organisasi-organisasi berbasis ataupun ber-pionir kaum keturunan Cina tumbuh subur di masa Reformasi. Akan tetapi bukan berarti
pertumbuhannya jauh dari perdebatan karena memang sejak dari awalnya kaum keturunan Cina memang tak pernah benar-benar beerada dalam satu paying
organisasional yang sama. Lihat saja di masa Politik Etis dengan koran-koran kaum keturunan Cina. Tradisi tak disadari berupa perdebatan ini juga diwariskan hingga masa
Reformasi. Apakah kemudian yang menjadi pusat perdebatan di masa reformasi? Bagaimanakah mereka meletakkan organisasi-organisasi tersebut di hadapan organisasi-
organisasi lain yang, katakanlah, berbasis ‘pribumi’? Sebelum masuk ke wilayah tersebut, saya, terlebih dahulu, ingin mendaftar dan membaca, sekaligus memetakan,
organisasi-organisasi kaum keturunan Cina pada masa Reformasi. Ignatius Wibowo, di esainya yang dikumpulkan dalam sebuah kumpulan esai
bersama yang mana ia juga menjadi tim penyuntingnya, membedakan antara aktivisme politik dan partisipasi politik yang mana kedua hal tersebut merupakan landasan ber-
organisasi. Menurutnya, “[a]ktivisme politik muncul dalam situasi krisis, sementara patisipasi politik adalah
kegiatan rutin warga Negara dalam situasi tidak krisis”.
104
Dari segi isi, aktivisme politik lebih condong menggunakan gaya bahasa menggugat dan
menuntut perubahan. Contoh yang diberikan oleh Ignatius Wibowo dalam esainya, tentu dalam konteks pergerakan kaum keturunan Cina, adalah pembangunan organisasi-
organisasi yang menuntut hak-hak kaum keturunan Cina.
105
Pada partisipasi politik, meskipun tidak dijelaskan dengan gamblang dari segi isi, saya menyimpulkan bahwa
partisipasi politik hanyalah sebatas penggunaan hak-hak politik warga Negara seperti mencoblos dalam Pemilihan Umum. Artinya, jelas, menurut Ignatius Wibowo,
aktivisme politik memiliki visi ke depan yang lebih progresif dan, kemungkinan besar,
104
Lih., Ibid., hal. 25-29
105
Ibid.,
94
ideologis dalam artian gerakannya memiliki basis pemikiran tertentu seperti Hak Asasi Manusia.
Pada masa Reformasi, organisasi-organisasi kaum keturunan Cina juga jatuh pada dua visi pembentukkannya seperti di paragraf sebelumnya. Untuk yang partisipasi
politik, organisasi-organisasinya lebih bersifat sosial seperti perkumpulan marga, daerah asal di Cina Daratan, sekolah dll.
106
Di organisasi-organisasi tersebut mereka hanya menjalankan saja hak politik mereka sebagai warga Negara yang bebas berkumpul. Hal
yang berbeda terjadi dengan partai-partai atau organisasi-organisasi politik. Pada bulan Juni 1998, satu bulan saja setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, tiga
partai politik ber-pionir kaum keturunan Cina hadir: Partai Reformasi Tionghoa Indonesia Parti, Partai Pembauran Indonesia Parpindo dan Partai Bhineka Tunggal
Ika PBI. Ketiganya memiliki visi yang kurang-lebih sama yaitu: menuntut hak-hak kaum keturunan Cina yang dirampas dan menjunjung tinggi persatuan nasional. Ditilik
dari segi ini, tampaknya telah ada kemajuan yang cukup berarti pada pergerakan kaum keturunan Cina yang tidak hanya ber-partisipasi politik namun juga ber-aktivisme
politik yang hanya ada dalam angan selama masa Orba. Setelah dibebaskannya orang-orang kerturunan Cina untu berpolitik, bukan
berarti tidak ada perdebatan di kalangan mereka. Ini bukan berarti kemunduran karena perdebatan adalah elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan berpolitik yang sehat.
Perdebatan ini berkisar tentang cara berpolitik orang-orang keturunan Cina. Parti dan Parpindo, yang muncul di tahun 1998, adalah partai yang beranggotakan orang-orang
keturunan Cina meski memiliki visi yang berbeda. Parti lebih bermaksud menghilangkan segala diskriminasi dengan cara membuat orang-orang keturunan Cina
lebih ‘terlihat’ secara politik. Di sisi lain, Parpindo, yang rata-rata anggotanya adalah kaum keturunan Cina yang beragama Islam, lebih menjunjung tinggi cara-cara warisan
106
Untuk informasi jumlah dan jenis perkumpulannya dalam bentuk tabel lih. Ibid., hal. 49-70
95
Orba yaitu, pembauran.
107
Kritik kemudian datang dari aktivis-aktivis politik keturunan Cina yang tidak setuju dengan adanya partai-partai politik yang beranggotakan orang-
orang keturunan Cina saja. Kwik Kian Gie, yang merupakan anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menyatakan bahwa tidak mungkin menghilangkan diskriminasi
dengan terus bergerombol berdasarkan etnis seperti yang dilakukan Parti. Pernyataannya ini juga diamini beberapa tokoh keturunan Cina yang lain seperti
Christian Wibisono dan Sofyan Wanadi di Majalah Adil.
108
Meskipun tidak kemudian menyatakan apa yang seharusnya dilakukan, namun ,dengan kenyataan pilihan Kwik
Kian Gie untuk menjadi anggota PDI-P, tampaknya ia lebih menganjurkan bagi orang- orang keturunan Cina untuk bergabung ke partai-partai yang tidak eksklusif secara etnis
dan menyandarkan perjuangan melawan diskriminasi pada perjuangan yang lebih besar perjuangan Bangsa Indonesia.
Di masa Reformasi, unsur-unsur Cina dalam Bangsa Indonesia mulai dihidupkan kembali hampir di segala lini. SKBRI dihapuskan. Tempat-tempat les
bahasa mandarin bertebaran. Karya sastra yang bercerita tentang orang-orang keturunan Cina dan diceritakan oleh penulis-penulis bermarga Cina mudah ditemukan di rak-rak
toko buku ternama. Politikus-politikus keturunan Cina hampir ada di setiap partai politik. Ini adalah masa dimana segala hal, yang tadinya selama 30 tahun ditutupi,
dibuka dan diangkat ke ruang-ruang dan kesadaran publik. Tak ayal wacana multikulturalisme dan toleransi adalah barang yang terus didengung-dengungkan karena
dianggap sebagai jalan untuk membuka segala tabir yang dulu ada. Yang tersisa kini, selesaikah masalah? Mampukah multikulturalisme menjadi jalan keluar permasalahan
yang terkait dengan identitas Cina? Inilah pertanyaan terbesar penelitian ini yang belum akan terjawab di bab ini. Namun beberapa hal telah kita ketahui untuk melanjutkan studi
ini. Yang pertama, terlihat jelas bahwa di masa kolonial lah – terutama masa Politik Etis
– masyarakat Cina memilliki identitas yang berbeda dengan pribumi; sebuah
107
Lih. Ibid., hal. 38
108
Ibid.,
96
pembedaan yang terjadi karena kepentingan ekonomi dan politik Pemerintah Kolonial Belanda. Berbedanya tempat tinggal, pelayanan publik seperti pendidikan, posisi di
mata hukum, kewarganegaraan adalah bukti-bukti yang tak dapat dimungkiri lagi bahwa masyarakat Cina tidak dianggap sebagai pribumi; sebuah hal yang kita kemudian
ketahui bertahan hingga masa yang lama. Kedua, masa Orde Baru adalah masa yang secara kultural tidak menguntungkan bagi orang Cina. Segala ekspresi kultural mereka
dikekang. Namun, warisan identitas ekonomis sebagai pedagang dan cukong tetap dimanfaatkan oleh Orde Baru. Di satu sisi, bahasa, agama dan perayaan mereka
dilarang. Tetapi, di sisi lain, para pedagang-pedagang besar dikelompokkan ke dalam satu barisan untuk mendukung program-program Orde Baru. Dampaknya, identitas
masyarakat Cina sebagai kelompok masyarakat berdasarkan ekonomi sebagaimana dibentuk oleh kekuasaan kolonial terus hidup. Di masa reformasi, semua kekangan
kultural yang dialami masyarakat Cina dilepaskan. Dan sebuah pendekatan baru untuk melihat identitas minoritas didegung-dengungkan, multikulturalisme. Jadi, mari kita
lanjutkan perbincangan ke bab berikutnya.
97