Politik Etis: identitas non-pribumi Cina dalam kepentingan ekonomis

55 dipisahkan dari kas Kerajaan Belanda. Artinya, kemandirian ekonomis didapatkan oleh Hindia-Belanda. 19 tahun kemudian, kemandirian politis mengikuti. Tahun 1922, hanya 23 tahun sebelum Hindia-Belanda merdeka dan menjadi Indonesia, Hindia-Belanda diberi status Rijksdeel persemakmuran yang jelas lebih mandiri walaupun masih berada di bawah naungan Kerajaan Belanda. 48 Dengan perubahan administratif di tingkatan Negara yang berubah, proses-proses birokratif di bawahnya pun mengikuti. Dengan ketukan yang sama, beberapa kantor dengan spesifikasinya masing-masing dibuka. Sistem peradilan dan pendidikan juga ikut berubah. Pemanfaatan Kapiten Cina sebagai petugas-petugas pengatur kehidupan masyarakat Cina dihapuskan dan tugasnya diambil-alih oleh kantor Chineesch Bestuur . Contoh lain adalah dua jenis peradilan Raad van Justitie dan Landraad yang diubah rinciannya. Selain perubahan-perubahan tadi masih banyak perubahan yang terjadi. Namun, hal tersebut akan dibahas lebih mendalam nanti sekaligus dengan pembacaan logika makronya baca: semangat zaman yang mana merupakan bagian terpenting bab ini. Seperti halnya zaman-zaman lain, zaman Politik Etis adalah sebuah reaksi atas kondisi zaman yang sebelum-sebelumnya. Cerita kebijakan Politik Etis dimulai ketika awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1829, Kerajaan Belanda dalam kondisi terhimpit secara ekonomi terutama karena utang VOC dan perang dan seorang pejabatnya yang bernama Johannes Van Den Bosch mengusulkan sebuah program besar bercakupan luas bernama cultuurstelsel atau yang biasa disebut Tanam Paksa. Sederhananya, program ini mengharuskan para petani dengan lahan menanam komoditi tertentu dan mengirim pajak sebesar 40 kepada Pemerintah atas tanahnya. Program ini, di bawah pengawasan Van Den Bosch yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda antara tahun 1930-1933, menjadi sebuah cerita sukses yang membanggakan paling tidak untuk pihak ‘Gubermen’. Baru satu tahun Van Den Bosch dilantik guna menjalankan idenya, kas Hindia-Belanda telah kembali ke titik seimbang dan utang-utang VOC terbayar. Namun, manisnya cerita cultuurstelsel bagi Pemerintah kolonial hanya sampai 48 Lih. Lohanda, 2002, p. 8 56 di titik itu dan berubah menjadi pahit setelah berakhirnya masa jabatan Van Den Bosch. Seperti para pendahulunya, menir satu juga pergi tanpa membawa pulang masalahnya; masalah yang memuncak di awal tahun 1840-an. Dalam buku sejarahnya yang bercakupan waktu mencengangkan, Ricklefs membuat daftar permasalahan runtuhnya culturstelsel yang ternyata selama ini hanyalah api di dalam sekam. Kurangnya pengawasan, korupsi dan penindasan tak terbayangkan adalah masalah utamanya yang ternyata hanya dapat terkuak melalui waktu. Penindasan berkelanjutan tanpa logika mengakibatkan kelaparan hebat yang dimulai dari Cirebon karena gagalnya panen tahun 1844 yang kemudian menyebar ke sebagian besar Jawa dan berlangsung hingga 1850. Hal tersebut diperparah dengan merebaknya wabah tipus dan urbanisasi untuk menghindari kerja-paksa di Jawa. 49 Walhasil, proses produksi komoditi agraris yang berpondasikan keringat dan darah orang banyak pun terhenti. Sebagai reaksi runtuhnya program cultuurstelsel, program-program yang dengan arah liberal mulai dimunculkan dari Belanda. Tekanan dari berbagai pihak terutama dari dewan parlementer adalah awal reformasi liberal ini. Maksud dari ‘liberal’ di sini adalah “a drastic reduction of the role of the government in the kolonial economy, a freeing of the restrictions on private enterprise in Java and an end to forced labour and oppression of the Javanese and Sundanese”. 50 Zaman ini diawali dengan pemberian wewenang lebih besar pada dewan parlementer untuk mengatur tanah jajahan tahun 1848. Dari revisi undang-undang inilah zaman liberal dibuka. Maksud awal dari kebijakan liberal ini tentu untuk menutupi lubang-lubang yang ditinggalkan cultuurstelsel atau, dengan kata lain, membuatnya lebih efektif tanpa penindasan yang lebih parah. Dua kebijakan besar yang dijalankan di masa ini adalah penghapusan kewajiban menanam tanaman wajib sesuai ketentuan pemerintah dan pelibatan pihak-pihak swasta dalam proses produksi dan distribusi komoditas- komoditas tanah jajahan. Dua program ini dijalankan secara berurutan. Yang saya sebut 49 Lih. Ricklefs, 2001, p. 160 50 Lih. Ibid,. hal. 161 57 pertama di atas adalah yang pertama kali dijalankan. Berdasarkan catatan Ricklefs, penanaman paksa merica mulai dihapuskan tahun 1862; cengkeh dan pala tahun 1864; terung nila, teh dan kayu manis tahun 1865; tembakau tahun 1866; kopi dan gula tahun 1870 melalui Peraturan Gula tahun 1870 namun baru benar-benar terwujud tahun 1878. 51 Untuk program berikutnya pelibatan pihak-pihak swasta, Undang-Undang Agraria tahun 1870 diluncurkan guna memastikan jaminan berbisnis pihak-pihak swasta. Undang-undang tersebut memperbolehkan pihak swasta menyewa lahan untuk digarap baik dari pemerintah maupun langsung dari pemilik lahan. Untuk penyewaan dari pemerintah, rentang waktunya dapat mencapai 75 tahun. Sedangkan, penyewaan lahan langsung dari pemilik mencapai 20 tahun. Hasilnya, mirip dengan masa awal cultuurstelsel , tingkat ekspor Hindia melambung tinggi. Bahkan untuk sektor-sektor yang dipegang pihak swasta, nilainya jauh melebih nilai yang dihasilkan pemerintah. Puncaknya, tahun 1885, nilai ekspor pihak swasta mencapai sepuluh kali lipat nilai yang dihasilkan pemerintah. Ini tentu tidak lepas dari cakupan swasta yang lebih luas hingga pedalaman-pedalaman Kalimantan dan Sulawesi sesuatu yang tak mungkin dilakukan sendiri tanpa bantuan swasta oleh pemerintah. Di sisi ini, pengawasan yang lemah ketika cultuurstelsel memang menjadi lebih kuat karena mencapai pedalaman. Akan tetapi, lagi-lagi cerita indahnya hanya berhenti di sana. Dampak yang serupa dengan dampak yang ditimbulkan cultuurstelsel pun menjamur mulai akhir 1880-an. Kelaparan dan epidemi kembali melanda Jawa. Lahan- lahan mulai tak terurus. Masalah-masalah tersebut berhulu dari penindasan yang ternyata tak jauh beda dari zaman cultuurstelsel. Ternyata pihak swasta juga memiliki tanaman-tanaman favoritnya untuk ditanam yang jelas membuat para petani tak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang lebih parah, para penyewa sewenang-wenang ketika menentukan biaya sewa guna menggembungkan laba karena memang tak ditetapkan oleh pemerintah. 51 Lih. Ibid,. 58 Itu hanya dari segi ekonomi, secara sosial, yang menjadi titik fokus bab ini, dampak yang tak kalah besar juga terjadi. Bentuk-bentuk kelas sosial baru, yang dipertajam di zaman Politik Etis, mulai terbentuk dan mengerak di zaman ini. Pada zaman cultuurstelsel, paling tidak menurut Ricklefs, ada empat golongan yang mana hanya tiga di antaranya yang memperoleh keuntungan; Pejabat-pejabat kolonial yang sebagian besar orang Belanda, pejabat-pejabat lokal yang menandatangani surat persetujuan tanam-paksa, para pengusaha rata-rata dari kalangan Asia asing Vreemde Oosterlingen: Arab dan Cina dan, yang sengsara, rakyat biasa petani penggarap. 52 Setelah Undang-undang Agraria tahun 1870, pintu gerbang Masa Liberal, empat golongan ini diperkuat karena undang-undang ini, secara hukum, melegalkan, sekaligus menguatkan, keberadaan para pengusaha swasta yang merupakan golongan Vreemde Oosterlingen. Logika pengaturan sosial zaman Politik Etis berangkat dari kategori sosial yang terbentuk selama zaman Cultuurstelsel dan zaman Liberal. Namun, pondasi sebenar- benarnya ada di zaman Liberal karena memiliki titik tolak yang sama; perhatian pada mereka yang paling tertindas setidaknya, begitu menurut Pemerintah Kolonial. Wacana Politik Etis pertama-tama dimunculkan oleh seorang pengacara bernama Th. van Deventer yang tinggal di Hindia antara tahun 1880 –97. Berdasarkan pengamatannya atas kehidupan di Hindia, pada tahun 1899 ia menulis sebuah artikel di jurnal berbahasa Belanda “de Gids” dengan judul ‘Een eereschuld’ ‘Sebuah hutang kehormatan ’. Di tulisannya ia beragumen bahwa bangsa Belanda seharusnya membalas budi atas apa yang telah diberikan oleh Hindia-Belanda selama ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat Hindia-Belanda. 53 Pertanyaannya kemudian, “siapa yang dimaksud dengan rakyat Hindia yang pantas mendapat perhatian Pemerintah?”. Pertanyaan inilah yang menjadi pusaran logika kebijakan-kebijakan kolonial di zaman Etis di segala bidang. Tapi, sebelum jauh 52 Lih. Ibid,. hal. 159. 53 Ibid., 59 memasukki logika besarnya, saya ingin melihat satu per satu kebijakan-kebijakan Etis di beberapa bidang. A.1. Sosial dan ekonomi Politik Etis sebenar-benarnya dibangun di atas kegagalan sistemik Pemerintah Kolonial mengelola tanah jajahannya; kegagalan yang menciptakan jurang-jurang di dalam masyarakat yang lantas menjadi pagar pembatas kelas-kelas di atas tadi. Politik Etis adalah politik rasa bersalah dari Pemerintah Kolonial yang sebenarnya tak ingin dipersalahkan. Singkatnya, mereka butuh kambing hitam. Mereka yang termasuk dalam Vreemde Oosterlingen atau Bangsa Asia Asing. 54 Peng-kambing-hitam-an tersebut merupakan campuran antara kecemburuan Pemerintah Kolonial karena kelompok ini meraup keuntungan finansial besar semasa Cultuurstelstel dan zaman Liberal dan kenyataan bahwa mereka menjadi kelompok tersendiri yang juga karena pengkondisian kebijakan-kebijakan kolonial yang menjadikan mereka sebagai kelompok perantara penghubung antara petani dan Pemerintah sebagai pihak peng-ekspor. Usaha peng- kambing-hitam-an ini diantaranya berbentuk pewacanan Bangsa Asia Asing, terutamanya Cina, sebagai Bloedzuiker Der Javanen penghisap darah Bangsa Jawa dan pewacanaan Gale Gevaar Bahaya Epidemi Kuning. 55 Sejurus dengan pewacanaan tersebut, kebijakan-kebijakan yang bersifat memisahkan antara pribumi dan yang dianggap sebagai ‘penghisap’-nya, Bangsa Asia Asing, dan bertujuan melumpuhkan pengaruh ekonomis Bangsa Asia Asing, dijalankan. Pemerintah Kolonial, yang saat itu telah mampu menaklukkan dan mengawasi pulau- pulau di nusantara, lantas mengeluarkan undang-undang pass-en Wijkenstelsel tahun 1897. Undang-undang tersebut mengatur tentang residensi dan kewajiban kepemilikkan paspor perjalanan bagi Bangsa Asia Asing. Terkait dengan pengelompokkan tempat tinggal dan paspor, sebelumnya sebenarnya telah ada undang-undang yang mengatur ini 54 Kelompok masyarakat ini sebelumnya juga disebut sebagai Oostersche Vreemdelingen dan diubah menjadi Vreemde Oosterlingen pada tahun 1818. Lih. Williams, 1960, p. 5; Lohanda, 2002, p. 79 55 Lih. Lohanda, 2002, pp. 208-209 60 di Hindia terutama setelah kejadian 1740 di Batavia. 56 Namun, undang-undang tersebut kembali dihidupkan hanya kali ini dengan alasan ekonomi Etis. Di masa Etis, yang diawali di beberapa kebijakan di akhir masa Liberal, semua yang berbau Cina dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga dikontrol secara terpisah. Beragam paspor dikeluarkan tergantung kepentingan bepergiannya. Kantor khusus didirikan Chineesch Bestuur didirikan untuk mengatur urusan-urusan yang terkait dengan Cina. Wilayah tempat tinggal para pemukim Cina dipisahkan beserta dengan segala fasilitasnya seperti klenteng, sekolah, rumah sakit, pasar, perkumpulan sosial, dll. Tempat khusus ini bernama Chineesch Kamp. 57 Di sisi lain, yang undang-undang yang lebih blak-blakan ekonomis dikeluarkan. Tahun 1902, Pemerintah Kolonial mengakhiri lisensi pertanian opium dan pertanian sistem ngijo yang sebagian besar dipegang oleh Bangsa Asia Asing Cina dan Arab di kasus ini. Hal tersebut dimulai dari daerah Madura dan Jawa Timur di tahun 1894. 58 Di saat yang hampir bersamaan, Pemerintah mengambil-alih pertanian opium dan membuka Bank Simpan-Pinjam Rakyat. 59 Dari sisi ekonomi ini terlihat bagaimana sebenarnya Politik Etis dan keinginan membalas budi hanyalah bahasa yang digunakan Pemerintah Kolonial untuk me-lipat-ganda- kan keuntungan dengan ‘menasionalisasi’ asset-aset yang ada. Dari sisi yang lain, kebijakan-kebijakan Etis ini mempromosikan semacam segregasi yang mirip dengan “Warsaw Ghetto” untuk Yahudi atau kamar mandi khusus kulit berwarna di Amerika tahun 1960-an. 56 Pada tahun 1740, terjadi pemberontakkan terhadap VOC oleh para buruh Cina di Batavia. Pemberontakkan ini disebabkan karena beberapa Kapitan Cina yang mengutil uang pajak dari para buruh dan kenaikan pajak. Saat itu, para buruh membunuh beberapa prajurit dan Kapitan Cina. Sebagai balasannya, prajurit-prajurit VOC mulai memburu para buruh dan membunuh mereka dengan cara memenggal kepala mereka di sisi Sungai Angke sehingga kepala yang lepas langsung terbawa arus sungai. Konon, sesaat setelah kejadian tersebut warna air sungai berubah menjadi merah darah. Tragedi 1740 memakan korban lebih dari seribu jiwa buruh asal Cina. Berikutnya, dengan alasan keamanan, sistem paspor dan pengelompokkan residensi diberlakukan. Lih., Blusse, 2004 57 Lih. Lohanda, 2002, pp. 38-39 58 Lih. Williams, 1960, p. 19 59 Lih. Lohanda, 2002, p. 210 61 Pembagian kelas yang awalnya tak disengaja terbentuk di masa cultuurstelsel dan masa Liberal, kini, di masa Politik Etis, diformalkan. Undang-undang Wijkenstelsel menjadi tembok tebal pemisah antara Bangsa Eropa, Bangsa Asia Asing dan Pribumi. Lebih jauh, undang-undang tersebut tidak hanya membatasi hubungan pribumi-Bangsa Asia Asing secara fisik akibat dikuranginya kontak komunikatif namun juga membatasinya secara mental. Yang saya maksud dengan mental adalah tertanamnya stereotipe-stereotipe di antara mereka, yang saya percaya telah ada sebelumnya hanya kini diperkuat dan diberi ruang hidup. Dengan diletakkannya posisi pribumi dan Bangsa Asia Asing pada sebuah hubungan yang bersifat antagonis, tidak heran di kemudian hari banyak terjadi benturan fisik antara keduanya. Salah satunya adalah bentrokan antar kelompok-kelompok dagang berbasis etnis Rekso Roemekso yang berangggotakan orang-orang Jawa dan Kong Sing yang beranggotakan orang-orang Cina di Solo tahun 1920-an. 60 Tapi, bagaimanapun, segregasi terus dijalankan. A.2. Pendidikan Pendidikan adalah salah satu isu utama kebijakan-kebijakan Politik Etis. Sekolah-sekolah mulai banyak dibuka dan, sebagai konsekuensinya, guru-guru juga banyak didatangkan dari Belanda. Jenjang-jenjang sekolah juga mulai dirapikan. Bagi Pemerintah Kolonial, pendidikan menjadi ujung tombak bagi perbaikan nasib orang- orang jajahan; orang jajahan dengan definisi Politik Etis tentu saja. Di bidang pendidikan, perdebatan awal berkisar di isu-isu seputar gaya pendidikan dan obyek pendidikan. Terdapat dua pihak dengan dua jenis pendekatan yang muncul. Pihak pertama digawangi oleh Snouck Hurgronje dan J. H. Abendanon yang menjadi Direktur Pendidikan zaman Etis 1900-1905. Pihak pertama ini lebih menginginkan pendidikan yang bersifat lebih elit dan bergaya Eropa. Ia dimaksudkan bagi kaum priyayi agar tercipta kelas yang telah di-Barat-kan dan mampu menjalankan tugas-tugas administratif kolonial sehingga memotong biaya administrasi. Di sini, 60 Lih. Siraishi, 2005, pp. 52-54 62 sekarang kita tahu bahwa, lagi-lagi, Politik Etis bukan semata usaha balas budi namun juga usaha untuk mencari jalan lain untuk meneruskan penjajahan yang lebih manusiawi. Di pihak lain ada Idenburg and Gubernur Jendral van Heutsz 1904 –1909. Keduanya memiliki pendekatan yang lebih praktis dan massal. Pendidikan ini akan ditujukan bagi seluruh rakyat Hindia dengan bahasa Melayu dan dimaksudkan untuk, secara langsung, meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia. Yang diberlakukan pada awalnya adalah pendekatan yang pertama karena memang saat itu Abendanon lebih berkuasa secara politik di bidang pendidikan karena jabatannya sebagai Direktur Pendidikan. Pada masa Abendanon, di tataran sekolah dasar, terdapat dua jenis sekolah yaitu Eerste Klass Indlandsche Scholen sekolah bumiputra angka satu, yang diperuntukkan bagi kaum priyayi dan kaum ‘berada’, dan Tweede Klass Inlandsche Scholen sekolah bumiputra angka dua yang diperuntukkan bagi kelas bawah. 61 Kemudian, di tahun 1908, ia mengubah keduanya gar lebih sesuai dengan kebijakan-kebijakan Etis yang segregatif. Tweede Klass Inlandsche Scholen diubahnya menjadi Standaardscholen sekolah umum. Sedangkan Eerste Klass Indlandsche Scholen diubah menjadi HIS enam tahun kemudian. HIS ini lebih dimaksudkan oleh Pemerintah untuk persiapan memasukki sekolah tinggi dan sekolah ketrampilan OSVIA dan STOVIA. Di sisi lain, Standaardscholen memiliki orientasi yang lebih praktis. Sekolah ini diperuntukkan bagi mereka yang tercabut dari lingkaran kehidupan agraris dan mereka yang hidup di lingkaran perdagangan. 62 Artinya, siapa lagi yang akan memasuki sekolah ini kalau bukan anak-anak Bangsa Asia Asing? Secara teoritis, pribumi memang mungkin saja memasukki sekolah ini, akan tetapi dengan kondisi finansial yang jauh lebih buruk dari saudara-saudara Cina mereka, tentu saja, hampir secara otomatis, mereka akan memilih untuk masuk ke sekolah-sekolah pedesaan. Di sini, lagi-lagi, Bangsa Asia Asing, 61 Lih. Ibid., hal. 38-39 62 Lih. Ricklefs, 2001, p. 202 63 terutama Cina, ditempatkan sebagai sesuatu yang ada di tengah-tengah dan dipisahkan dari pribumi. Di tahun-tahun berikutnya setelah masa Abendanon, sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah berbasis ketrampilan khusus didirikan. HBS sekolah menengah berbahasa Belanda, OSVIA sekolah pelatihan calon pegawai negeri pribumi dan STOVIA sekolah pelatihan calon dokter pribumi dibuka dibuka. Keduanya dimaksudkan sebagai kelanjutan sekolah dasar yang telah ada sejak 1893. Siapapun diperbolehkan mendaftar namun karena tingginya uang sekolah pada akhirnya hanya pihak priyayi sajalah yang dapat menikmatinya. Jika dilihat sepintas, dua sekolah tinggi ini diperuntukkan bagi pribumi saja. Memang semua orang yang mampu membayar uang sekolah dapat memasukkinya termasuk Bangsa Asia Asing, akan tetapi, seperti tersurat di nama sekolah ini, sekolah ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing pribumi. Lantas kemana anak-anak Cina pergi bersekolah setelah sekolah dasar baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Standaardscholen atau oleh Tiong Hoa Hwe Koan selanjutnya disingkat dengan THHK? 63 Tahun 1908, memantapkan kebijakan-kebijakan segregatifnya yang lain, Pemerintah Kolonial membangun sekolah menengah khusus anak-anak Cina: Hollandsch-Chineesche School . Namun, karena sekolah ini menggunakan Bahasa Belanda sebagai media proses belajar-mengajar-nya, biayanya pun tinggi. Anak-anak 63 Tiong hoa Hwe Koan adalah organisasi kemasyarakatan yang digadang-gadang sebagai salah satu organisasi masyarakat modern pertama di Hindia. Awalnya, THHK hanyalah sebuah organisasi yang mengurusi perihal keagamaan dan fasilitas-fasilitas yang menunjangnya. Akan tetapi, hanya setahun setelah didirikan di tahun 1900, bersamaan dengan mulainya Politik Etis, THHK telah membuka sekolah bagi anak-anak keturunan Cina: Sekolah Tjina THHK. Tujuan awal sekolah ini adalah sebagai usaha resinisasi; sebuah usaha untuk mengikat kembali identitas mereka dengan tanah air mereka. Selain menggunakan bahasa Mandarin, sekolah ini juga mengintegrasikan ajaran-ajaran Konghucu ke dalam mata pelajarannya. Selain yang terkait dengan urusan keagamaan, hadirnya THHK dengan Sekolah Tjina THHK-nya juga menyuntikkan ideologi pada anak-anak ini. Ideologi yang dimaksud adalah nasionalisme Cina a la Kuo Min Tang yang saat itu, di bawah kepemimpinan Sun Yat Sen sedang mencoba menggulingkan Kekaisaran Manchu yang disokong oleh Inggris. Dengan ideologi yang tentu anti-Barat ini, kehadiran THHK bukanlah kabar baik bagi Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Lih. Lohanda, 2002, pp. 52-55, 72-73, Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4, 2003, pp. 395-400 64 kuli atau pedagang kecil-kecilan tak sanggup membayarnya. Mendapati hal tersebut, ditambah tekanan dari kaum Cina peranakan yang enggan menyekolahkan anak- anaknya di THHK karena terlalu berorientasi ke Cina Daratan, tahun 1927 Pemerintah Kolonial, yang tak terlalu suka dengan kehadiran THHK dengan orientasi politiknya, dengan senang hati, membuka Maleich-Chineesche School yang berbahasa Melayu. Dengan dibukanya MCS, makin kuatlah segregasi yang coba dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Kini, anak-anak keturunan Cina dengan saudara-saudara Jawa atau Sundanya hampir tak pernah duduk di ruang kelas yang sama apalagi dengan anak-anak meneer. Spesifikasi yang dilakukan Pemerintah Kolonial benar-benar membatasi komunikasi yang mungkin terjadi sejak dini. A.3. Politik dan Hukum Di sub bab mengenai kebijakan-kebijakan Politik Etis di bidang hukum ini terdapat dua isu besar: 1. Status kewarganegaraan dan 2. Sistem peradilan. Dari penjabaran dua bidang sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kebijakan-kebijakan Politik Etis membentuk adanya tiga kelas besar: Kulit putih, Bangsa Asia Asing walaupun sebagian besar dari kelompok ini adalah para pemukim Cina, dan pribumi. Dari sudut pandang hukum, terutamanya hukum yang mengatur status kewarganegaraan, orang-orang kulit putih, dengan cukup pasti, merupakan subyek dari Kerajaan Belanda dan, meskipun dengan perlakuan yang berbeda, pribumi juga diletakkan di ketagori yang sama. Di sisi lain, para pemukim Cina, baik yang totok maupun peranakan, secara ambigu diletakkan di antara keduanya “depending on how the dutch government looked at the matter fitted into the kolonial interest ”. 64 Terkadang mereka diletakkan sebagai subyek Kerajaan Belanda dan dianggap warga Negara Hindia-Belanda. Terkadang, mereka dianggap masih merupakan subyek Kekaisaran Cina karenanya Pemerintah Kolonial tak merasa perlu memberi fasilitas apapun seperti telah dijabarkan di penjabaran bidang pendidikan. 64 Lohanda, 2002, p. 40 65 Berdasarkan catatan yang didapat Mona Lohanda terdapat tiga undang-undang 1854, 1892 dan 1910 dan satu surat perjanjian 1911 terkait dengan status kewarganegaraan warga Cina, baik yang totok maupun peranakan, selama masa Hindia- Belanda. 65 Yang mengherankan, mungkin karena logika kebijakan politik Belanda yang berubah-ubah, undang-undang tersebut seringkali berbenturan satu dengan lainnya. Benturan yang pertama terjadi ketika Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan tahun 1854, terutama ayat 109, yang menempatkan posisi pemukim Cina, khususnya yang lahir di Hindia peranakan, pada kelompok yang sama dengan pribumi. Sehingga memiliki keterbatasan yang sama dengan pribumi dan tidak merasakan keuntungan-keuntungan berupa fasilitas bagi orang-orang Belanda atau kulit putih lainnya. 66 Tapi, anehnya, pada undang-undang berikutnya, tahun 1892, warga Cina posisikan sebagai orang asing. Berikutnya, pada tahun 1902, di masa Politik Etis, dengan berbasis prinsip kwarganegaraan jus soli, Pemerintah mengembalikan status warga Cina sebagai subyek Pemerintah Hindia-Belanda. Artinya, kini, seharusnya, warga Cina ini tidak masuk ke dalam kelompok Bangsa Asia Asing. Benturan kedua, dengan anehnya, istilah Vreemde Oosterlingen tetap terus digunakan di Undang-undang Hukum Sipil Wet op de Staatsinricht van Nederlandsch-Indie yang dikeluarkan tahun 1925. 67 Artinya, di masa Politik Etis, Pemerintah memiliki caranya sendiri kala memaknai istilah ‘warga negara’ untuk warga Cina di Hindia-Belanda. Jadi, dengan status kewarganegaraan yang mengambang tersebut, hukum mana yang harus diikuti oleh warga Cina di meja hijau? Menurut Buergerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel yang dikeluarkan tahun 1848, semua kasus legal yang terkait dengan Cina seperti “[t]rading business, bankruptcy, and inheritance should be handled under European Administration of Justice i.e. Raad van Justitie ”. 68 Namun terdapat pengecualian, jika kasus legal tersebut berkaitan dengan kasus kriminal, hukum yang 65 Lih. Ibid., hal 79. 66 Lih. Willmott, 2009 67 Lih. Lohanda, 2002, p. 79 68 Ibid., hal. 80 66 dipakai adalah ayat-ayat di dalam Wetboek van strafrecht voor Inlanders dimana ayat- ayat tersebut dimaksudkan untuk pribumi sesuai dengan tajuknya dan pengadilannya adalah Landraad. Untuk menambah semua ambiguitas pemposisian Cina yang terjadi, di ayat 3 dalam ‘Dienstplichtbesluit voor Nederlandch-Indie’ yang dikeluarkan tahun 1917, Pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan semua laki-laki berbadan sehat yang tinggal di Hindia-Belanda untuk wajib militer. Akan tetapi, wajib militer dengan bentuk Indie Werbaar ini pun berbeda dengan milisi pribumi. Indie Werbaar ini mirip dengan tentara Gurkha milik Inggris atau legiun asal Aljazair milik Perancis yang meski diakui sebagai warga Perancis namun tetap dipisahkan. Peliknya, warga Cina ini juga dipisahkan dari milisi. Hal serupa juga terjadi dunia politik praktis Hindia-Belanda yang mana warga Cina memiliki perwakilan Volksraad-nya sendiri dan tidak menjadi satu bagian dengan perwakilan pribumi. Singkatnya, politik segregasi yang dijalankan Pemerintah Kolonial selama masa Politik Etis, yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok berbasis etnis, adalah sebuah politik yang penuh dengan ambiguitas. Ambiguitas ini muncul karena, sejak awalnya, usaha pengangkatan ekonomi pribumi yang menjadi senjata utama Pemerintah Kolonial sesungguhnya adalah usaha melanjutkan dominasi mereka di segala bidang. Segregasi bukanlah demi kemajuan pribumi. Hal tersebut hanyalah bahasa yang digunakan untuk merengkuh dukungan pribumi. Pemerintah Kolonial adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan tersebut.

B. Orde Baru: identitas ekonomis warisan kolonial dalam politik asimilasi

Setelah Indonesia merdeka, dalam artian dipimpin bukan oleh pemerintah kulit putih, ternyata periihal “Chineesche Kwestie”, yang diperkenalkan Belanda melalui Politik Etis, masih berlanjut terutamanya di masa kepemimpinan Jendral Soeharto yang baru berakhir tahun 1998. Bahkan, permasalan ini, di tataran kewarganegaraan masuk 67 ke dalam bagian yang dibahas di BPUPKI dan PPKI. 69 Artinya, pembahasan mengenai siapa yang warga bukan Negara Indonesia serta non-pribumi terus menjadi penting. Lebih jauh, dapat dikatakan, bahwa hal tersebut merupakan salah satu wacana yang mengawali pembangunan Bangsa Indonesia. Tepat dari titik tersebut permasalahan yang semakin besar lahir, tumbuh dan berkembang. Sub bab ini akan membahas wacana besar tentang hubungan antar-etnis yang ada di masa setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia. Fokus utamanya adalah masa Orde Baru 1966-1998. Orde Baru selanjutnya disebut Orba adalah masa ketika banyak kebijakan terkait kehidupan antar-etnik di Indonesia dikeluarkan. Itulah kenapa masa ini dijadikan fokusnya. Di masa tersebut serangkaian jalur birokrasi dibuat hanya khusus mengatur perihal hubungan antar-etnik. Sejak tahun 1966 hingga 1998, kebijakan-kebijakan memunculkan badan-badan yang mengatur masalah etnik ini dari yang bertataran nasional hingga regional, bahkan hingga tataran Rukun Warga dan Rukun Tetangga. Tapi, yang menarik, ketika Pemerintah menyibukkan diri dengan urusan yang terkait dengan etnik, kebijakan-kebijakan yang hadir justru dimaksudkan aga r masyarakat ‘melupakan’ permasalahan ini. Tentu dengan definisi kata ‘melupakan’ a la Orde Baru. Sekarang ini sangatlah lazim kita membaca selebaran-selebaran, baik dalam bentuk salinan lunak di internet atau salinan keras di papan-papan pengumuman kampus, tentang lomba menulis yang, dalam peraturannya, mencantumkan tulisan: “tulisan dilarang berbau SARA”. Secara spontan, saya seringkali bereaksi, “terus kalau tidak berbau SARA, kita harus menulis apa? Apalagi ini Indonesia yang, katanya, majemuk di segala sisi”. Nah, ini adalah salah satu warisan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pada masa Orba yang masih dilestarikan. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya kebijakan-kebijakan Orba. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan, dampak kebijakan-kebijakan Orba adalah yang kedua terkuat perngaruhnya terhadap kehidupan 69 Lih. Prasetyadji, 2008, p. 12