Symptom dalam karya sastra yang berhadapan dengan Ideologi dominan

171 teoritik, fantasi adalah penyokong sebuah ideologi yang membuatnya terus berjalan tanpa adanya gugatan. Dengan bekal cara kerja fantasi yang telah dikembangkan Zizek di bukunya Seven Plagues of Fantasy, saya akan mencoba membaca identitas Cina yang coba dibangun oleh multikulturalisme pada karya sastra. Pertanyaan utamanya, apakah fantasi ‘baru’ a la multikulturalisme ini benar-benar baru dan menyediakan identitas baru bagi masyarakat Cina? Atau ia sebenarnya tetap terpengaruh dengan ideologi- ideologi pendahulunya dalam mengidentifikasi masyarakat Cina? Baiklah, sekarang saya akan mencoba membaca ideologi-ideologi yang ada di dalam karya sastra dari berbagai masa agar jalannya pembahasan lebih terang. A.1. Wacana superioritas kritis Kwee Tek Hoay di masa politik segregasi kolonial Bagian yang menarik dari DBD adalah bahwa ia ditulis dengan kesadaran atas politik segregasi kolonial yang tinggi. Sikap KTH di titik itu sangat menarik yaitu bahwa ia tidak percaya dengan pemisahan rasis semacam itu. Itu terbukti dari lingkup narasinya yang juga bercerita tentang orang-orang pribumi Indonesier. Ia juga merumuskan sebuah masalah yang mana merupakan masalah nasional – dalam artian Hindia-Belanda – yaitu pemberontakan PKI 1926. Kenyataan ini cukup berbeda dengan karya-karya penulis Cina yang lain yang ‘sibuk’ menarasikan lingkungannya sendiri dengan orang-orangnya sendiri. Tidak hanya sampai di sana, KTH juga mengungkapkan visinya tentang hubungan sosial yang lebih baik yang merangkul semua golongan. Itu terlihat ketika ia berbicara tentang agama dan pandangan politik. Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti KTH mampu lepas dari kesadaran ideologi kolonial yang melingkupi kehidupannya yang mana ia merupakan anggota dari kelompok masyarakat yang lebih diuntungkan dibandingkan dengan pribumi; ia adalah seorang Cina yang satu kelas di bawah orang kulit putih dan di atas Indonesier. Bagaimana kah dampaknya? Di DBD, tokoh Tjoe Tat Mo, yang merupakan suara dari KTH, ketika berbicara dengan tokoh-tokoh pribumi seperti Noerani dan Moestari tentang hubungan mereka, politik, agama etcetera, terkesan berada di atas semua tokoh tadi. Ia terkesan memiliki 172 pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan dua orang yang disebut terakhir tadi. Ia lebih tahu tentang segalanya. Karenanya ia dengan mudahnya memberi masukan pada dua orang tadi apa yang harusnya dilakukan. Yang menarik, superioritas KTH ini terkadang terkesan berlebihan. Hal tersebut terlihat ketika Tat Mo membicarakan tentang komunisme dan orang-orang komunis pada Noerani. Seperti telah saya kutip di atas, Tat Mo mengatakan bahwa orang-orang komunis itu tidak mengerti tentang komunisme termasuk Mas Boekarim, ayah Noerani, dan Radeko. Sehingga mereka, orang-orang komunis tadi, melakukan hal bodoh seperti memberontak pada Pemerintah Kolonial Belanda. Karenanya, sebelum Noerani berangkat ke Digoel untuk menyusul ayahnya, Tat Mo mengajari Noerani tentang komunisme agar tidak terperdaya dengan orang-orang komunis di Digoel dan membenarkan pengertian mereka tentang komunisme. Bagaimana mungkin Tat Mo lebih mengerti tentang komunisme dibandingkan dengan Mas Boekarim dan Radeko yang jelas-jelas propagandis PKI dan telah lama terlibat dalam organisasi tersebut? Datang darimana keberanian klaim-klaim Tat Mo tersebut? Saya melihat superioritas golongannya lah yang menjadi sumber masalahnya. Wajar saja kan seseorang yang melihat dirinya lebih tinggi merasa lebih tahu meskipun sebenarnya dasar pengetahuannya tidak begitu jelas? Dugaan saya ini berangkat dari absennya narasi tentang latar pendidikan Tat Mo. Jika saja dijelaskan bahwa Tat Mo belajar ilmu politik, semisal di Universitas Beijing di bawah bimbingan Mao Zedong, saya akan mengatakan bahwa klaim-klaim Tat Mo masuk akal. Superioritas lain ada di ranah sosial, dari narasi DBD kita tahu bahwa Moestari adalah seorang ningrat. Ia juga berpendidikan cukup baik dan kemudian bekerja menjadi seorang asisten Wedana – sebuah jabatan yang mana cukup tinggi. Terlihat di beberapa kesempatan posisinya membuat Moestari mendapatkan posisi yang ditinggikan oleh orang-orang lain pribumi. Namun tampaknya hal tersebut hampir tidak berpengaruh ketika ia berhadapan dengan Tat Mo. Tat Mo berbicara dengan Moestari, yang jelas kurang akrab dengannya, seperti ketika ia berbicara dengan Noerani. Bukankah itu berarti Tat Mo memasukkan keduanya ke dalam kelompok yang sama sebagai pribumi yang statusnya tidak lebih baik dari dirinya? Jelas di titik ini Tat Mo membayangkan 173 dirinya lebih ningrat lagi dibanding Moestari yang ningrat. Singkatnya, identifikasi Tat Mo atas posisinya dan posisi orang-orang di sekitarnya adalah identifikasi ideologis kolonial. Jika dipikirkan kembali sejenak, bisa saja kita mempertanyakan klaim superioritas Bangsa Cina yang saya ajukan ini dengan mengatakan bahwa klaim-klaim Tat Mo ini berangkat dari faktor umur, dengan pengalamannya di dunia jurnalistik, yang terpaut jauh jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pribumi yang berinteraksi dengannya Noerani dan Moestari. Namun, hal yang kurang lebih serupa muncul di interaksi antara Noerani dan Dolores, anak perempuan Tat Mo yang seumuran dengan Noerani, bahkan sejak pertemuan pertama keduanya. Noerani dan Dolores bertemu pertama kali di sebuah padepokan di Giricahya milik Kyai Achmad Bhakti. Di tempat tersebut, Dolores sedang mencari tempat baru untuk berpikir dan menulis. Sedangkan, Noerani, di sisi lain, hendak mencari kabar tentang keberadaan Moestari. Pertemuan mereka bermula secara kebetulan. Noerani menemukan salah satu tulisan Dolores yang tercecer dan lantas ia berusaha mencari tahu siapa penulisnya dengan maksud untuk mengembalikan puisi tersebut. Bertemulah Noerani dengan Dolores. Sesaat setelah berkenalan, Noerani dengan kalut mengatakan niatnya untuk mengakhiri hidupnya karena tak kuat menopang beratnya permasalahannya. Jelas saja, Dolores melarangnya. Dolores berusaha melarangnya dengan mendasarkan diri pada perintah agama: “ [a]pakah kau bilang? Kau hendak cari kamatian? Hendak bunuh diri sendiri? Bagaimana bisa jadi kau, yang masih begitu muda dan cantik, serta terpelajar, bisa dapet itu pikiran nekat Atas nama Allah dan atas namanya Buddha Gautama, yang pelajarannya aku anut dan jungjung tinggi, aku minta, ah, tida: aku perentah Kau batalken itu niatan ngeri, dan berilah ketika padaku ake menimbang kau punya ka’adaan. Tida ada satu kasusahan hati dan kajengkelan pikiran yang tida bisa terhibur, apalagi kau punya kesukeranyang aku rasa tiada laen cuman soal percintaan ” 151 Tampak dengan cukup meyakinkan Dolores memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk menggunakan referensi teks agama, bahkan lebih dari satu, untuk menenangkan 151 Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 4, 2003, pp. 303-304 174 Noerani yang gundah-gulana. Setelah kejadian tersebut, Dolores pun mengajak Noerani untuk tinggal di rumahnya guna menenangkan hatinya. Di rumahnya, Dolores memperkenalkan dirinya lebih jauh. Di satu kesempatan ia berkata, “[k]etahuilah, Noerani, aku ini ada satu pengarang yang membantu ayahku menulis cerita- cerita dengan di dasarken pada penghidupan yang betul dari manusia segala bangsa. Satu ahli dari etnology, sifatnya bangsa-bangsa manusia, kapan dikasih liat selembar rambut, sering kali lantes bisa unjuk dengen jitu kebangsaannya orang yang punya itu rambut. ” 152 Sudut pandang yang digunakan Dolores untuk memperkenalkan dirinya dan ayahnya adalah sudut pandang intelektual. Dengan memperkenalkan dirinya dengan cara semacam itu Dolores hendak membantu Noerani dengan pengetahuannya tentang manusia. Yang menarik, cara Dolores meyakinkan Noerani bahwa ia dapat membantu ini cukup janggal mengingat usia mereka yang seumuran. Dolores seakan-akan mampu, seperti ayahnya, melihat hal-hal dengan lebih obyektif dengan tidak terperangkap sisi emosional. Bahkan, lebih jauh, Dolores kemudian mengajari Noerani untuk menulis puisi agar perasaanya memiliki wadah yang lebih konstruktif. Sejalan dengan itu, ia juga memberi beberapa referensi penyair-penyair Barat pada Noerani. Rasa superior Dolores begitu kentara di interaksinya dengan Noerani. Dengan narasi seperti di atas, KTH - yang sesungguhnya telah menciptakan narasi yang cukup progresif di masanya karena berani menyatukan dunia pribumi dan non-pribumi dalam payung masalah yang sama – harus berhadapan dengan kesadaran turunan ideologi kolonial politik segregasi. Ideologi dalam bentuk ter-mutakhirnya telah menjadi sebuah kesadaran yang tidak mampu lagi dipandang sebagai barang yang asing oleh subyek. Ideologi bukan lagi pandangan-pandangan yang keberadaan eksternalnya dalam bentuk dogma atau peraturan administratif disadari oleh subyek. Ia adalah nilai-nilai dan kenyataan-kenyataan umum yang telah dipandang lumrah adanya. Artinya, kesadaran dan sudut pandang kolonial yang tersisa di narasi DBD bukanlah sebuah pilihan atau keinginan si pengarang namun sebuah pandangan umum yang 152 Ibid., hal. 307 175 menjadi lumrah jika kemudian digunakan dalam karya sastra. Di Hindia-Belanda kehidupan intelektual dan pergerakan modern kaum Cina peranakan memang lebih maju dibandingkan dengan saudara Indonesier-nya. Hal tersebut terbukti dengan pendirian organisasi modern non-kulit putih pertama di Hindia-Belanda adalah Tiong Hoa Hwe Koan THHK pada 1900 seperti dicatat oleh KTH sendiri di esainya Atsal Moelahnja Tomboelnja Pergerakan Tionghua jang Modern di Indonesia . Boedi Oetomo sendiri yang dianggap sebagai tonggak pergerakan nasional berbasis pribumi baru berdiri delapan tahun setelahnya. Kenyataan ini tentu tak lepas dari posisi masyarakat Cina di Indonesia yang memang mengenyam pendidikan jauh lebih dahulu dibandingkan dengan pribumi. Apalagi setelah berdirinya THHK, pendidikan kaum Cina semakin melesat. Sekolah berbasis kaum pribumi sendiri baru ada setelah sekolah Taman Siswa dibuka di bulan juli 1922. Hampir sedari awal, anak-anak Cina sekolah bersama dengan anak-anak kulit putih – sebuah hal yang hanya mungkin terjadi untuk pribumi jika mereka datang dari keluarga ningrat. Walhasil, di masa awal abad ke-20, tulisan-tulisan yang beredar memang didominasi oleh penulis-penulis dari kaum vreemde oosterlingen tadi. Di dunia sastra, misalnya, karya-karya sastra dengan tradisi bahasa Melayu Lingua Franca sebagian besar ditulis oleh penulis-penulis Cina dan Indo – tentu dengan beberapa pengecualian seperti Mas Marco Kartodikromo dan Semaun. Jika dilihat dari dunia penerbitan, kemajuan kaum Cina ini semakin sulit terbantahkan. Segala kemajuan di dunia intelektual tersebut tentu adalah hal yang muncul sehari-hari di dunia yang dihidupi KTH. Karenanya lumrah saja jika KTH menempatkan Tat Mo dan Dolores di narasinya lebih tinggi daripada Noerani atau Moestari. Baginya, itulah kenyataannya. Begitulah kesadaran yang dibentuk oleh tatanan masyarakat saat itu. Superioritasnya tidak datang dari sebuah pemikiran tertentu yang ia geluti. Superioritasnya adalah caranya melihat posisinya dan orang lain, termasuk pribumi, yang sangat masuk akal jika ditilik dari nilai-nilai kolonial. Superioritasnya adalah caranya untuk ‘ada’ di dunia kolonial. Jadi, meskipun ia mengajukan penyatuan identitas-identitas yang ada di Hindia Belanda dengan 176 menggencarkan interaksi antar Bangsa – seperti yang terlihat dalam interaksi Noerani dan keluarga Tjoe – hal tersebut tidak berarti kesetaraan antar identitas. Superioritas yang juga merupakan bagian dari bentukan politik kolonial tetap hadir di tengah-tengah kesatuan identitas tadi. Lebih jauh, jika kemudian kita melihat adanya sikap anti-pati terhadap PKI dan komunisme yang muncul di DBD, itupun bagian dari keberhasilan Pemerintah Kolonial Belanda membangun kesadaran subyek-subyek dan berada di gerbong yang sama dengan superioritas kaum Cina tadi. Narasi di DBD memang berusaha menyatukan kehidupan dua dunia pribumi dan Cina yang dipisahkan melalui dogma segregasi kolonial akan tetapi penyatuan tersebut bukan berarti penyetaraan karena jelas terlihat ketimpangan khas hubungan sosial kolonial. Di sini KTH memang telah menyadari politik pemisahan dalam segregasi namun belum benar-benar dapat menggenggam dampak dari pemisahan tersebut pada identitasnya sebagai anggota kelompok masyarakat yang lebih diuntungkan dibandingkan dengan identitas pribumi, yaitu superioritas. Karenanya meskipun ia telah sangat kritis terhadap ideologi kolonial namun ia – dalam narasi novelnya – menciptakan-ulang tatanan masyarakat kolonial dengan meletakkan masyarakat Cina di atas masyarakat pribumi. Penyatuan yang ia junjung tinggi ternyata tidak sama artinya dengan kesetaraan. Tetapi, yang jelas, dilihat dari kuatnya ideologi kolonial kekritisan narasi ciptaan KTH adalah sebuah pencapaian yang penting karena memberi para pembacanya – terutamanya yang lahir jauh setelah masa kolonial – gambaran tentang ambiguitas dan kontradiksi hubungan ideologi kolonial dengan subyek-subyek kritisnya yang berusaha melampauinya. Menggunakan bahasa teknis psikoanalisa, sumbangan besar KTH adalah memberi kita symptom-symptom subyek yang berhadapan dengan ideologi kolonial. Pada dasarnya, symptom selalu berbentuk kontradiksi-kontradiksi yang muncul hampir secara spontan seperti superioritas masyarakat Cina di dalam narasi yang sesungguhnya berangkat dari kesadaran kritis terhadap ideologi kolonial. Secara teoritik, symptom muncul dari usaha subyek untuk mengartikulasikan ‘ketidakbebasan’-nya yang tentu bahasanya tak disediakan oleh ideologi yang menindasnya. Walhasil, muncullah ia 177 dalam bentuk-bentuk yang aneh dan kontradiktif i.e. subyek menjadi subyek-yang- terbelah . Dalam kasus DBD, KTH ingin membahasakan permasalahan yang ada di Hindia-Belanda sebagai akibat dari politik segregasi yang dijalankan Pemerintah Kolonial Belanda. Namun karena ia telah menduduki posisi tertentu di tatanan Simbolik kolonial – sebagai warga kelas dua – ia telah secara ideologis mengidentifikasi dirinya secara ideologis dengan ideologi kolonial. Kenyataan tersebut membuatnya tak mampu melihat inti dari ideologi kolonial. Ia memang memahami bahwa terjadi pemisahan namun ia tetap tak dapat sampai pada kesimpulan bahwa pemisahan tersebut diciptakan dengan sebuah alasan, yaitu kepentingan ekonomis Belanda yang secara tak langsung membuat masyarakat Cina setingkat di atas pribumi. Dengan kondisi seperti di atas, KTH mengidentifikasi tokoh-tokoh Cina di novelnya seperti Pemerintah Kolonial mengidentifikasi masyarakat Cina. Jadi, dari mana kah symptom-symptom tadi berasal? Pertanyaan ini dapat kita jawab jika kita kembali ke konsep kekerasan Zizekian di bagian Kerangka Teoritik. Menurut saya, ketidakmampuan KTH untuk benar-benar menyatukan identitas Cina dan pribumi dikarenakan fokusnya pada kekerasan subyektif dan bukan obyektif. Pemersatuan identitas yang diusung oleh KTH berangkat dari keprihatinannya atas pemisah-misahan sosial yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial. Kondisi keterpisah- pisahan inilah yang benar-benar menggoresnya. Dalamnya goresan ini tampak salah satunya ketika ia mengomentari soal agama yang semuanya sama yaitu mengajarkan kebaikan. Berdasarkan pemikiran semacam itu tentu manusia tak selayaknya dipisah- pisahkan dan disusun tinggi rendahnya. Pemisah-misahan ini, bagi saya, hanyalah kekerasan subyektif. Hal tersebut bukanlah ide sesungguhnya dari politik segregasi. Segregasi kolonial bukan semata-mata dimaksudkan untuk memisahkan manusia satu dengan manusia lainnya. Namun, ia dimaksudkan untuk efisiensi ekonomis dan tentu politis. Konsep Bangsa yang digunakan – yang dekat sesungguhnya dekat dengan konsep warna kulit ras – oleh Pemerintah Kolonial hanyalah pembahasaan-ulang dari tatanan ekonomi yang diinginkan. Kelas vreemde oosterlingen – yang di dalamnya 178 masyarakat Cina bernaung – dibentuk berdasarkan kepentingan ekonomi kolonial dan bukan ras. Jadi, berjalannya sistem ekonomi inilah yang merupakan ide utama dari segregasi. Singkat kata, sistem ekonomi kolonial sebagai – menggunakan istilah Marxis – economic base inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian karena ia menempati posisi sebagai kekerasan obyektif; kekerasan yang memberi makna atas apa yang layak disebut kekerasan dan apa yang tidak; kekerasan yang memutuskan siapa harus bekerja apa dan dengan siapa. Kesimpulannya, symptom superioritas – yang menandakan sulitnya KTH merumuskan persatuan identitas - dalam DBD muncul karena ketimpangan ekonomi sebagai bentukan sistem ekonomi kolonial tak terbaca. Artinya, persatuan identitas akan dengan lebih mudah dirumuskan jika kesetaraan ekonomi terwujud. A.2. Superioritas ekonomis dan inferioritas kultural di Lucy Mei Ling Di atas kita telah melihat bagaimana sulitnya seorang pengarang, yang bahkan sehebat KTH, untuk melepaskan diri sekaligus melampaui wacana identitas yang disediakan oleh ideologi dominan. KTH, dengan kesadaran kritisnya terhadap politik segregasi, berusaha menyatukan dunia yang dipisahkan oleh politik segregasi Belanda. Ia ingin menyatukan tokoh-tokoh di DBD, baik yang Indonesier maupun yang vreemde oosterlingen, lewat pengangkatan permasalahan ‘nasional’ semacam pemberontakan PKI. Akan tetapi, ketika ia masuk lebih dalam hubungan sosial antara tokoh pribumi dan Cina-nya, sudut pandang yang ia gunakan masih dengan jelas membawa kesadaran segregatif. Bagaimana kemudian Motinggo Busye menghadapi kebijakan-kebijakan a la Soeharto yang tak kalah tiran dibandingkan dengan Belanda? Mampukah ia, dengan konteks Orba, memberikan wacana identitas pribumi-non-pribumi yang kritis sehingga memberi sumbangan berupa symptom seperti halnya KTH di atas? Sekedar pengingat, Soeharto dengan Orde Baru-nya memiliki hubungan yang unik – untuk tidak mengatakan kontradiktif – terhadap komunitas Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya jabarkan – semoga dengan cukup komperhensif – bahwa di satu 179 sisi kebijakan-kebijakan Orde Baru sangatlah menindas terhadap ekspresi kultural masyarakat Cina di Indonesia. Di masa tersebut, merayakan Imlek adalah sebuah tindakan yang mungkin berujung di meja hijau. Memberi anak dengan nama khas Cina dengan tiga kata-nya di masa Orde Baru adalah sebuah keberanian yang sangat dekat dengan kebodohan. Membuka toko dengan dengan nama ber-huruf kanji Cina juga merupakan tindakan yang hampir sama taraf kebodohannya. Aparat pemerintah di masa Orde Baru tidak akan segan- segan menindak usaha ‘makar’ yang jelas-jelas tak sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden semacam itu. Di sisi yang lain, di masa Orde Baru pedagang-pedagang besar Cina bermunculan. Nama-nama seperti Salim Sudono atau Ciputra menjadi tak asing ketika membicarakan arah kebijakan ekonomi Orde Baru. 153 ‘Keunikan’ lain adalah konsep ‘etnis’ yang ditawarkan oleh pemegang kekuasaan Orde Baru. Jika di masa kolonial, masyarakat digolongkan berdasarkan ‘Bangsa’-nya, setelah merdeka penggolongan berdasarkan ‘etnis’. Jika sebagai ‘bangsa’ masyarakat Cina dipisahkan dari pribumi – dan tidak diperlakukan sama di beberapa bidang seperti ekonomi dan politik - karena dianggap memiliki ras yang berbeda, dalam konsep ‘etnis’ mereka seharusnya dianggap sebagai bagian dari Indonesia seperti halnya etnis-etnis lainnya. Tetapi, yang terjadi, etnis yang satu ini tidak mendapatkan hak dan kewajibannya seperti etnis-etnis lainnya. Mereka tetap dipertanyakan ke-Indonesia-an- nya dengan bentuk-bentuk birokratis seperti SKBRI dan cap non-pribumi. Yang artinya, bagi Orde Baru yang membedakan ‘etnis’ dan ‘bangsa’ hanyalah penyebutannya semata karena pemaknaan yang muncul tidak ada bedanya. Untuk membuat segalanya semakin rumit kondisi yang ada, arah kebijakan Orde Baru berpegang pada konsep asimilasi yang berarti mem-pribumi-kan masyarakat Cina. Jika memang masyarakat Cina adalah sebuah etnis di Indonesia, kenapa diperlukan asimilasi? Kenapa etnis lain – semisal Jawa atau Sunda – tidak dikenakan kebijakan yang sama? Dengan kata lain, memang Cina diterima sebagai salah satu etnis di Indonesia, namun tetap dengan label-label tertentu. Kontradiksi-kontradiksi di atas adalah jantung pemikiran Orba pada 153 Untuk daftar pengusaha- pe gusaha ya g e jadi ti pe ge angan ekonomi Indonesia di era Soekarno ini lih. Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: kasus Indonesia, 2002, p. 128 180 masyarakat Cina. Bagaimana kemudian Lucy Mei Ling menanggapi kontradiksi semacam ini yang merupakan kesadaran utama masanya? Saya kira Motinggo Busye dengan novelnya yang bercerita tentang seorang gadis Taiwan yang lantas menjadi orang Cina di Indonesia ini menggambarkan kontradiksi masa kepemimpinan Soeharto dengan sangat baik. Di satu sisi, ia mencerminkan semangat kritis atas wacana identitas Cina yang ditawarkan Orba. Di sisi yang lainnya, ia tak memiliki referensi bahasa yang cukup mumpuni di luar bahasa Orba untuk menarasikan masyarakat Cina. Novel ini mulai ditulis di pertengahan tahun 1970- an dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1977 yang merupakan masa keemasan Orba sebelum kemunculan berbagai oposisi, meskipun masih belum kuat, di akhir tahun 1980-an. Ditilik dari latar tersebut, judul yang digunakan novel ini adalah sebuah hal yang sesungguhnya dapat dengan mudah dianggap sebagai usaha subversif – atau menggunakan istilah yang lebih lazim digunakan otoritas mas Orba, makar – terutama karena di masa tersebut penggunaan nama Cina adalah sebuah hal yang dilarang. Di halaman-halaman antar bab, novel ini mengisinya dengan gambar-gambar yang khas produk kebudayaan Cina seperti kipas, alat musik, hiasan dinding dan lain-lain. Mengingat dilarangnya penggunaan barang-barang tersebut di ruang publik, apalagi di perayaan-perayaan masyarakat Cina, butuh keberanian untuk mencantumkannya – sebuah hal yang patut diapresiasi dari novel ini. Terlihat benar keinginan Motinggo Busye untuk mengangkat sisi-sisi masyarakat Cina yang dihilangkan Orba yaitu sisi kultural. Akan tetapi kemudian, novel ini seperti kehabisan referensi lain untuk membicarakan masyarakat Cina dan, pada akhirnya, mengikuti bahasa yang disediakan Orba – bahasa ekonomi. Seperti yang terlihat di dalam narasi Lucy Mei Ling, cerita-cerita yang dihadirkan untuk membangun tokoh Lucy adalah cerita-cerita tentang betapa bergelimangnya harta keluarga Lucy. Ayahnya adalah seorang pengusaha sukses. Kemanapun ia pergi, ia selalu menggunakan mobil yang merknya bukan main-main, Rolls Royce Pada hari pernikahannya dengan Sanjaya, ia dihadiahi uang yang 181 jumlahnya membuat Sanjaya tercengang. Bahkan, keluarganya memiliki hotel-hotel langganan di tempat-tempat wisata. Berbanding terbalik, latar ekonomis keluarga Sanjaya tidak mendapat jatah di narasi Lucy Mei Ling. Bagaimana sisi kultural identitas Lucy sebagai Cina? Hampir tidak ada cerita-cerita sisi kultural dari Lucy kecuali namanya dan nama-nama keluarganya. Tidak ada narasi tentang prosesi kultural a la Cina di pernikahannya. Ia, dan beberapa tokoh Cina lain di dalam novel, juga sangat jarang menggunakan istilah-istilah berbahasa Mandarin atau dialek-dialek daerah di Cina yang lain. Menariknya, sisi kultural ini malah disajikan dalam bentuk gambar- gambar yang muncul di setiap halaman jeda antar bab di novel tersebut. Gambar- gambar yang muncul adalah gambar-gambar yang khas Cina e.g. kipas dengan ornament kanji, alat musik, lukisan pemandangan dengan kanji di sampingnya dan lain- lain. Tampaknya yang lolos dari sensor Orba hanyalah bentuk-bentuk non-narasi seperti itu. Gambar-gambar tersebut adalah symptom dari keinginan Motinggo Busye untuk menggambarkan secara kultural masyarakat Cina namun terbentur ideologi dominan yang secara simbolik tidak menyediakan bahasa untuknya. Seperti diungkapkan Zizek, “[t]he symptom arises where the world failed, where the circuit of the symbolic communication was broken: it is a kind of prolongation of the communication by other means; the failed, repressed word articulates itself in a coded, cyphered form. ” 154 Gambar- gambar tadi adalah ‘other means’ dan ‘cyphered form’ yang merupakan dampak dari kegagalan mencari bahasa Simbolik untuk lebih jauh menarasikan tokoh Cina di Lucy Mei Ling. Bahasa yang tersedia adalah bahasa dengan referensi yang mengacu pada cukong-cukong yang dijadikan peliharaan Soeharto. Di titik ini, maksud Motinggo Busye untuk menarasikan masyarakat Cina – dan membuatnya ada - terjebak dengan kuatnya politik Orba yang mengganti identitas dan posisi masyarakat Cina di Indonesia. Absennya narasi kultural atas masyarakat Cina dan diangkatnya narasi ekonomi di Lucy Mei Ling adalah bentuk ‘kepatuhan’-nya terhadap ideologi asimilasi Orba. 154 Lih. Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, p. 79 182 Logika asimilasi tersebut, yang menghilangkan identitas Cina dan meleburnya dengan begitu saja ke dalam identitas pribumi, terpampang dengan semakin jelas di Lucy Mei Ling ketika menarasikan hubungan antara Sanjaya dan Lucy di masa awal pernikahan mereka. Setelah menikah dengan Sanjaya, Lucy tampak sangat mengagumi Indonesia dan dengan sangat cepat menjadi sangat nasionalis. Tidak lama sebelum berangkat ke Indonesia beserta suami dan anaknya, Lucy berkata, “[a]ku ingin sekali melihat negeri khatulistiwa yang subur makmur itu. ” 155 Dan seperti tak akan merasa kehilangan anaknya yang akan pergi jauh, ayahnya berkata, “[y]a. Kau harus mengenal negeri suamimu. Anakmu harus belajar udara equator yang panas itu sejak kecil, agar dia bisa menyesuaikan diri nantinya. ” 156 Tidak berhenti sampai di situ, ketika telah berada di Indonesia untuk beberapa hari saja, Lucy telah berani menyatakan, “[a]ku sudah menjadi orang Indonesia kini Anakku Indonesia Hidup dan matiku akan di Indonesia, karena ini tanah airku yang baru. ” 157 Menurut saya, sentimen nasionalisme Lucy dan dorongan tak bersyarat ayahnya agak berlebihan. Berlebihan karena sebelumnya hampir tidak ada obrolan yang menceritakan tentang Indonesia di antara Sanjaya dan Lucy. Bahkan tidak ada tawar-menawar di antara mereka tentang kewarganegaraan dan tempat tinggal nantinya. Lucy tiba-tiba menerimanya dengan begitu saja. Ia terlihat sama sekali tak keberatan meninggalkan Taiwan dan posisinya sebagai warga Negara Taiwan. Anehnya ayahnya juga mendorong perpindahan kewarganegaraan Lucy tersebut. Menurut saya adegan-adegan ini adalah visi Orba atas orang Cina yang tak mampu ditolak oleh Motinggo Busye. Bagi Orba, masyarakat Cina harus rela meninggalkan sama sekali akarnya dan menerima Indonesia dengan cara yang digariskan oleh undang- undang yang ada. Mereka harus rela melepaskan ekspresi-ekspresi kulturalnya dan menggantinya dengan ekspresi-ekspresi yang Indonesia baca: pribumi karena mereka tak punya pilihan lain selain Indonesia – tentu a la Soeharto yang mewajibkan 155 Lih. Busye, 1977, p. 465 156 Ibid., hal. 465-466 157 Ibid., hal. 470-471 183 penghapusan identitas etnis Cina. Di titik ini, wacana asimilasi Orba benar-benar mengurung kesadaran Motinggo Busye ketika menulis novel ini. Narasi tentang gadis yang lahir dan dibesarkan di Taiwan – dengan bahagia karena latar keluarganya yang berkecukupan - namun dengan mudahnya menjadi orang Indonesia bahkan sangat nasionalis ini bagi saya juga menyimpan bentuk symptom yang lain. Ada proses perubahan identitas di diri Lucy yang tidak hadir pada narasi novel. Absensi semacam itu juga merupakan bentuk symptom karena sebelumnya narasi mengambil latar di Taiwan. Bagaimana mungkin kemudian kenyataan tersebut tidak berbekas sama sekali ketika Lucy memutuskan untuk menjadi orang Indonesia? Ada sebuah permasalahan yang tidak dijabarkan dan langsung meloncat ke ‘solusi’-nya yaitu, menerima ke-Indonesia-an-nya dan melupakan sejarahnya. Kebijakan-kebijakan asimilatif mengarahkan agar masyarakat Cina menjadi pribumi dengan jalan menghilangkan latar kultural mereka seperti perubahan nama. Hal tersebutlah yang dimunculkan dalam novel Lucy Mei Ling. Jadi, tidak ada tempat bagi proses dan pergulatan batin Lucy dalam usahanya menjadi orang Indonesia. Karenanya narasi semacam itu absen. ‘Kepatuhan’ novel tersebut pada ideology asimilasi ini – yang merupakan sumber dari symptom-symptom yang ada – dikarenakan ketidakmampuan narasi novel tersebut membahasakan-ulang obyek a identitas Cina yang diberikan oleh ideology asimilasi. Narasi Lucy Mei Ling terus berputar pada pendalaman penokohan Lucy yang orang asing yang ‘harus’ menerima nasionalisme Indonesia versi Orde Baru dengan begitu saja. Karena ‘kepatuhan’ narasinya pada ideologi asimilasi Orba, Lucy Mei Ling memberi sebuah keuntungan untuk pembaca dan kritikus di masa Reformasi yang ingin memahami lebih lanjut. Novel ini memberi kita gambaran tentang batas-batas ideologis Orba terkait dengan masyarakat Cina . Di masa Orba, istilah ‘bangsa’ yang digunakan di masa kolonial dihapuskan. Istilah tersebut digantikan dengan istilah ‘etnis’. Menjadi sebuah etnis berarti masyarakat Cina seharusnya diperlakukan dengan setara seperti etnis-etnis lainnya karena melalui istilah etnis ia disetarakan dengan etnis Dayak, Batak, 184 Jawa, Madura dan lain-lain. Bukankah begitu makna asmilasi? Semua orang menjadi sama dan setara. Sayangnya perubahan yang terjadi hanya sebatas istilah karena, yang pertama, etnis Cina, tidak seperti etnis-etnis lain, tidak diperkenankan berekspresi secara kultural. Di masa kepemimpinan Soeharto, jika diselenggarakan sebuah festival kebudayaan, kebudayaan Cina atau peranakan selalu absen. Jadi, asimilasi, di masa Orba, tidak berarti meleburkan identitas-identitas yang ada karena, seperti diperlihatkan oleh narasi Lucy Mei Ling, tetap diciptakannya pemisah antara pribumi dan non-pribumi berupa keuntungan-keuntungan ekonomis. Singkatnya, istilah etnis bagi Orba memiliki logika yang sama dengan ‘bangsa’ yang mana pengelompokkannya berdasarkan kepentingan ekonomi. Sesungguhnya visi Orba bukanlah menyatukan identitas-identitas yang ada namun mempertahankan kekuasaannya. Itulah kenapa identitas Cina warisan kolonial tidak banyak dipikirkan kembali oleh Pemerintahan Suharto – ada sebuah keuntungan yang dapat diambil dari kondisi paska-kolonial tersebut. A.3. Multikulturalisme dan kekerasan di empat novel masa Reformasi Pada Masa Reformasi terlihat dengan cukup jelas bahwa ada semangat yang berbeda ketika para pengarang menarasikan identitas Cina terima kasih tentunya pada keruntuhan tirani Orba. Setelah 1998 ada sebuah kebebasan untuk mengungkapkan hal- hal yang selama masa ‘penjajahan’ militeristik Orba dilarang kemunculan di ruang- ruang dan kesadaran publik – sebuah hal yang tentunya berpengaruh pada narasi, dan identitas, masyarakat Cina di Indonesia. Yang langsung, dengan begitu saja, terlihat adalah nama penulis dan judul karya sastra yang dengan terang-terangan ditulis atau bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Hal tersebut jelas tidak mungkin mendapatkan ruang di masa Orba. Kita lihat ada nama marga ‘Ng’ di belakang nama Clara yang jelas menandakan bahwa ia merupakan seorang perempuan dari etnis Cina. Ia juga menggunakan nama makanan khas masyarakat Cina sebagai judul novelnya dimsum. Fakta lain adalah judul tiga novel lain yang dengan jelas memberitahu calon pembacanya bahwa novel-novel tersebut akan bercerita tentang masyarakat Cina Ca-Bau-Kan, Putri Cina dan Acek Botak. Pada masa berkuasanya Suharto yang cukup 185 lama, bahkan terlalu lama, para pengarang yang datang dari etnis Cina tidak akan menunjukkan nama marganya seperti halnya Clara Ng. Lihat saja nama-nama seperti Marga T atau Mira W yang tidak menunjukkan identitas kultural mereka. Judul-judul novel mereka pun tidak menunjukkan bahwa mereka sedang menceritakan masyarakat Cina atau seorang tokoh etnis Cina e.g. Mimpi-mimpi Terpendam, Perempuan Kedua, Merpati Tak Pernah Ingkar Janji karenanya, seperti telah saya sebutkan di atas, Motinggo Busye memiliki keberanian yang besar dengan judul novel seperti Lucy Mei Ling. Dengan kebebasan yang tersedia ini, bagaimana para pengarang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, menanggapinya dalam narasi yang diciptakannya? Untuk menjabarkan logika narasi ketika mengungkapkan identitas Cina dalam novel-novel masa Reformasi ini, saya memutuskan untuk membahasnya berdasarkan latar belakang pengarangnya. Saya melihat ada kecenderungan yang berbeda di keduanya meskipun keduanya saling mempengaruhi dan memiliki kesamaan. Harapannya dengan pembagian tersebut, saya dapat memperlihatkan tidak saja kekhasan narasi kedua kelompok pengarang di atas namun juga sekaligus kenyataan bahwa ideologi dominan mempengaruhi semua pengarang. Hal yang terasa begitu saya membaca karya-karya yang telah saya ringkas di atas adalah adanya dua logika yang mengatur narasi ke empat novel ini. Kedua logika tersebut menyangkut dengan identifikasi posisi masyarakat Cina dan ‘jalan keluar’ yang diambil para pengarang atas permasalahan tersebut. Yang pertama, di sisi identifikasi posisi masyarakat Cina saat ini, adalah penempatan masyarakat Cina sebagai korban kekerasan tertentu di narasinya. Kedua, berangkat dari identifikasi tersebut, para pengarang memutuskan untuk memberi tempat khusus di narasinya untuk menyuarakan bentuk-bentuk khas penyusun identitas Cina di narasinya. Bahkan, untuk yang kedua, penyuaran pengangkatan ini menjadi semacam semangat utama penulisan novel-novel ini. 186 A.3.a. Multikulturalisme dalam bentuk wacana masyarakat Cina sebagai korban dan perayaan kultural Lamentasi kontradiktif Putri Cina Melalui buku Andrew Heywood yang telah dibahas di bagian Kerangka Teoritik, ideologi multikulturalisme adalah ideologi yang menitikberatkan pada pengakuan identitas-identitas yang dipinggirkan. Lebih lanjut, pengakuan tersebut adalah jalan mengangkat harkat mereka yang menjadi korban. Melalui pengakuan tersebut, diharapkan adanya kesetaraan antara korban, katakanlah minoritas, dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain, katakanlah, mayoritas. Pengakuan ini adalah pengakuan terhadap hak-hak minoritas terutamanya yang terkait dengan ekspresi kulturalnya. Di bagian ini saya akan menunjukkan bagaimana dalil-dalil multikulturalisme tersebut terlihat dalam dua novel berikut ini. Yang pertama akan saya bahas adalah dua novel yang ditulis oleh dua orang pengarang yang berbeda latar etnisnya yang saya pikir ada di tahap yang sama terkiat dengan identifikasi identitas Cina-nya: Putri Cina oleh Sindhunata dan Ca Bau Kan oleh Remy Sylado. Yang jadi fokus pertama di sini adalah tokoh utama di Putri Cina yaitu si Putri Cina sendiri. Nada utama si Putri Cina saat menceritakan dirinya sendiri dan keadaan sekitar serta kejadian yang ia saksikan adalah nada lamentatif i.e. kemurungan, kesedihannya melihat nasibnya dan mengiba adalah caranya mengekspresikan diri. Namun tidak hanya sampai di sana, Putri Cina juga menceritakan bentuk-bentuk kebudayaan Cina dan peranannya di Indonesia yang ditempatkan sebagai dasar penilaian kenapa si Putri Cina merasa ia tak pantas diperlakukan dengan kejam. Jadi, melalui lamentasinya si Putri Cina menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia, dan kaumnya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Tampak sekali ia ingin menunjukkan bagaimana masyarakat Cina bukan saja kaum yang sekedar melintas atau numpang tinggal tapi juga merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang sayangnya dilupakan. 187 Dalam Putri Cina terdapat dua wacana besar utama – yang sangat terpengaruh dengan multikulturalisme - yang terkait satu dengan lainnya sebagaimana telah saya sentuh di Bab III. Yang pertama adalah wacana korban dan berikutnya adalah wacana perayaan bentuk-bentuk kultural masyarakat Cina. Dua wacana tersebut terkait satu dengan lainnya karena wacana korban menjadi sebuah pembacaan masalah yang digunakan untuk membenarkan wacana perayaan. Dengan kata lain, pembaca diajak memahami kondisi masyarakat Cina sebagai korban kemudian diajak menuntaskan kondisi korban tersebut dengan pengangkatan perayaan kultural. Jadi, pertama kali kita harus memahami wacana korbannya. Pertama, masyarakat Cina di Indonesia, berdasarkan narasi Putri Cina, merupakan korban dari kekerasan fisik. Di dalam novel tersebut, tokoh Putri Cina menceritakan sebuah kisah tentang sebuah kerajaan bernama Medang Kemulan yang mana di dalam wilayah kerajaan banyak orang Cina yang menetap dan mencari penghidupan terutama dengan berdagang. Suatu saat di kerajaan tersebut terjadi pergolakan karena ketidaksukaan rakyat pada rajanya tidak tertahankan lagi. Bingung dan khawatir akan kehilangan singgasananya, sang raja memerintahkan agar ada sebuah ‘pengalihan isu’. Sebagai tindak-lanjut-nya, ketidaksukaan rakyat diarahkan pada para pemukim Cina dengan menyebarkan isu bahwa penderitaan rakyat disebabkan oleh keserakahan dan ketidakpedulian para pemukim Cina yang terdiri dari para pedagang. Hasilnya, rakyat pun melampiaskan amarahnya pada orang-orang Cina. Mereka membakar rumah orang-orang Cina. Mereka juga membunuh orang-orang Cina yang ditemuinya. Cerita Putri Cina tersebut, menurut saya, adalah metafora bagi kejadian di Indonesia di tahun 1998 saat gelombang reformasi menyapu di Indonesia. Saat itu, ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi di banyak kota di Indonesia dan menyuarakan kemunduran Soeharto, beberapa pihak - yang hingga kini tak jelas siapa karena tampaknya Pemerintah enggan melakukan investigasi dengan sungguh-sungguh - memicu kerusuhan. Walhasil, terjadi kekerasan dengan skala yang besar dengan isu 188 anti-Cina di beberapa kota besar di Indonesia Jakarta, Solo, Lampung, Medan dan Palembang. Toko-toko milik orang Cina dibakar bahkan sebagian sekaligus dengan pemiliknya yang dikunci di dalam. Selain itu, banyak laporan juga tentang pemerkosaan perempuan-perempuan Cina. Jadi, Putri Cina adalah sebuah pernyataan bahwa masyarakat Cina adalah korban di pergolakan politik di tahun 1998 yang telah lalu. Bahkan, tidak berhenti sampai di titik itu, narasi Putri Cina juga memasukkan beberapa catatan sejarah tentang kekerasan yang ditujukan terhadap masyarakat Cina e.g. pembantaian pemukim Cina di Batavia di tahun 1740. 158 Saya pikir masuknya catatan sejarah tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa masyarakat Cina selalu menjadi korban di setiap pergolakan yang terjadi di Indonesia. Yang kedua, Sindhunata membaca bahwa masyarakat Cina di Indonesia adalah korban dari manipulasi sejarah terutamanya yang terkait dengan peran mereka di Indonesia. Karenanya di dalam narasi Putri Cina terdapat beberapa bagian yang menceritakan bagaimana sebenarnya secara sosio-kultural masyarakat Cina memiliki peranan yang cukup penting. “[m]ereka membaur dalam kebudayaan pribumi, dan memperkaya kebudayaan pribumi. Mereka juga ikut memajukan dan memakmurkan hidup kaum pribumi. Kepada kaum pribumi, mereka memberikan ilmu yang mereka bawa dari Negeri Cina. Maka dibuatlah di sini bersama penduduk pribumi usaha gula, penyulingan alkohol, dan alat-alat rumah tangga. Penduduk pribumi mereka ajari cara membuat tahu, mi, kecap, juga makanan seperti bakpao dan kompyang .” 159 Kutipan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa beberapa produk kebudayaan yang selama ini dianggap merupakan produk kebudayaan pribumi ternyata berasal dari Cina yang dibawa oleh para pendatang Cina di satu masa. Berikutnya, secara historis, Putri Cina juga mengangkat peran ‘politik’ di perkembangan kerajaan-kerajaan di Jawa. Di kasus tokoh Putri Cina, dari kedua suaminya Prabu Brawijaya dan Arya Damar ia 158 Untuk keterangan lebih lanjut mengenai pembantaian yang dilakukan VOC pada para pemukim Cina terutama mengenai latar belakang serta konteks ekonomi, sosial dan politiknya ini lih. Blusse, 2004, hal. 171-174 159 Ibid., hal. 104 189 memperoleh dua orang anak laki-laki Raden Patah dan Raden Kusen. Dua orang anaknya tersebut lantas memberontak pada Majapahit yang dipimpin ayahnya dan berhasil. Setelahnya, keduanya mendirikan Kerajaan Islam terbesar di Jawa – Kerajaan Demak. Melalui narasi tersebut, Sindhunata ingin mengatakan bahwa secara politis masyarakat Cina memiliki andil juga dalam pergolakan politik di Jawa. Dengan, pertama-tama, menunjukkan kerumitan identitas masyarakat Cina di awal novelnya, ia membuat landasan berpikir bagi para pembacanya bahwa ada masalah dengan identitas Cina yang selama ini dikenal; ada sebuah penindasan yang terjadi terkait dengan identitas tersebut. Dengan begitu kemudian ia dapat melanjutkan narasi dengan mengungkapkan bagaimana selama ini, di sejarah Indonesia, masyarakat Cina menjadi korban kekerasan baik fisik maupun non-fisik. Secara fisik, di beberapa waktu yang telah lalu, mereka diburu, diperkosa dan dibunuh serta properti-properti milik mereka dihancurkan. Kekerasan non-fisik yang mereka alami adalah penghilangan peran, baik yang sosio-kultural maupun yang politis, mereka dari sejarah. Dengan semua cerita yang bersumber dari identifikasi masyarakat Cina sebagai korban tersebut Sindhunata membangun narasi wacana korbannya. Jadi, wacana korban yang diinginkan oleh Putri Cina adalah wacana korban yang memberi keadilan bagi pihak yang diidentifikasinya sebagai korban. Akan tetapi narasi pengangkatan peran masyarakat Cina dalam wacana korban ini memiliki masalah. Salah satu bentuk wacana korban Putri Cina adalah sejarah dengan sudut pandang Cina sebagai korban. Dan tepat di sudut pandang melihat sejarah tersebut masalah bersemayam. Saya kira ‘sejarah’ yang diangkat ini, yang menyatakan bahwa di setiap masanya masyarakat Cina selalu menjadi korban, sangat berlebihan. Seperti yang telah kita lihat di Bab II, masyarakat Cina tidak selalu menjadi korban, atau bahkan pihak yang paling ditindas, di sejarah pembentukan Indonesia i.e. di masa kolonial, masyarakat Cina berada satu golongan di atas pribumi – posisi yang jelas lebih menguntungkan dan lebih dekat dengan kekuasaan dibandingkan dengan posisi pribumi. Versi ‘sejarah’ yang meragukan ini sebenarnya muncul mungkin tanpa disadari oleh si 190 pengarang, Sindhunata, karena tokoh-tokoh Cina yang ia jadikan protagonis seperti si Putri Cina dan Giok Tien sekeluarga adalah orang-orang yang lebih diuntungkan karena mereka adalah bagian dari keluarga kerajaan, namun hal tersebut seperti tidak dipertimbangkan dalam pemposisian tokoh-tokoh Cina tersebut sebagai korban. Si Putri Cina, atau Giok Tien, tak pernah mengungkapkan sisi diuntungkannya mereka dalam lamentasi-lamentasinya. Memang dalam satu adegan narasinya, tentang pembantaian masyarakat Cina di Batavia tahun 1740, si Putri Cina mengakui bahwa masyarakat Cina diletakkan di atas pribumi oleh Belanda, namun hal tersebut tak membekas dalam komentar-komentar dan kesimpulan-kesimpulannya. Di bagian tersebut si Putri Cina mengatakan: “Sayangnya, orang-orang Cina itu tak merasa, penjunjungan ini sebenarnya hanyalah akal licik Kompeni belaka. Dengan akalnya itu, Kompeni membuat warga Cina menjadi sasaran iri dan curiga kaum pribumi yang masih miskin. ” 160 Dengan pengetahuan semacam itu, tentu si Putri Cina seharusnya sadar bahwa yang ‘korban’ bukan saja orang-orang Cina yang dibunuh, namun juga pribumi juga yang terperdaya oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang menghasut. Kenapa lantas kondisi batin pribumi-pribumi tersebut tak didalami dan diberi ruang dalam narasi Putri Cina? Apakah yang membuat mereka tak layak menjadi seorang korban? Bukankah hal tersebut adalah sebuah keanehan? Berangkat dari keanehan itulah saya pikir ada semacam ahistorisme dalam sejarah yang disajikan dalam Putri Cina. Bentuk wacana korban yang lain yang saya catat di Putri Cina adalah pengangkatan bentuk-bentuk kebudayaan yang terkait dengan masyarakat Cina baik yang dibawa dari Negeri asalnya maupun yang ditemukan di kemudian hari di negeri barunya. Contoh yang menunjukkan bagaimana Sindhunata ingin sekali mengenalkan bentuk-bentuk budaya Cina Daratan yang dibawa oleh para pemukim Cina adalah banyaknya kutipan puisi karya penyair-penyair Cina. Sebagian besar di antara puisi- 160 Lih. Sindhunata, 2007, p. 104 191 puisi tersebut muncul dari penokohan si Putri Cina. Salah satu contohnya adalah ketika si Putri Cina menggambarkan perasaannya atas posisi dan identitasnya yang tak jelas melalui puisi seorang penyair Cina Kuno, T’ao Ch’ien: “Manusia ini tak punya akar. Dia diterbangkan ke mana- mana seperti debu yang berhamburan di jalanan.” 161 Mengikuti di belakangnya, muncul kutipan-kutipan dari Han San, Chuang Tzu, Liu Tsung-yuan dan lain-lain. Di kesempatan yang lain, Sindhunata memberi porsi lebih pada narasi novelnya untuk menjabarkan dengan detil ritual sembahyang si Putri Cina. Dalam narasinya tersebut, Sindhunata menjelaskan bentuk dan makna yang ada di dalam ritual tadi. “Bersujudlah ia di kimsin atau patung Kongco Hok Tek Ceng Sin. Kongco Hok Tek Ceng Sin adalah pelindung orang miskin. Ia tak menuntut persembahan apa-apa. Ia juga mau ditempatkan di mana saja. Jambangan pecah pun dapat dijadikan tempat pemujaannya. Katanya, akan mudah terkabullah bila orang memohon rezeki lewat perantaraan Konco Hok Tek Ceng Sin… Karena kemurahan hatinya, ia diangkat menjadi petugas di Pintu Langit Selatan untuk menjaga kebun buah dewa. Karena itu orang-orang memuja dia sebagai dewa bumi. Kongco Hok Tek Ceng Sin digambarkan sebagai orang tua, putih jenggot dan rambutnya, dan selalu tersenyum ramah. Ia ditemani seekor harimau, yang namanya Hu Jiang Jun. Harimau itulah yang membantu Kongco Hok Tek Ceng Sin mengusir roh jahat dan menolong rakyat dari malapetaka. ” 162 Di kutipan di atas, terlihat memang Sindhunata berusaha memperkenalkan ritual Konghucu dengan tata caranya. Ia berusaha membangun identitas Cina yang berangkat dari bentuk-bentuk kebudayaannya. Ia ingin memberi keadilan pada masyarakat Cina dengan memberinya ruang di kesadaran umum karena baginya identitas tersebut ditindas di masa lalu. Pertanyaannya, apakah pemberian keadilan semacam itu tepat sasaran dan mampu menghindarkan kelompok masyarakat yang telah ratusan tahun bermukim di Nusantara ini dari bahaya kekerasan yang masih terus mungkin terjadi? Sebelum menjawab pertanyaan berat tersebut, saya terlebih dahulu ingin memperjelas 161 Ibid., hal. 9 162 Ibid., hal. 39 192 kejanggalan kontradiksi yang ada di narasi Putri Cina. Kontradiksi terkuat yang ada di narasi novel ini adalah posisi masyarakat Cina yang dianggap sebagai korban – paling tidak melalui ungkapan-ungkapan tokoh Putri Cina dan Giok Tien – meskipun jika dilihat dari penokohan keduanya kehidupan mereka jauh lebih mapan dibandingkan dengan kebanyakan orang. Bukankah sebelum terjadinya kekacauan mereka adalah keluarga kerajaan yang mapan kehidupannya? Kenapa hal tersebut tidak dipertimbangkan oleh Putri Cina dan Giok Tien dalam lamentasi mereka? Dengan begitu, perayaan kultural sebagai jalan keluar dari keterkungkungan menjadi korban tersebut menjadi kontradiktif. Kalau mereka tidak selalu menjadi korban kenapa ekspresinya dirayakan? Bukankah si Putri Cina tak pernah dilarang aktivitas keagamaannya di dalam novel ini? Bagi saya, narasi semacam itu adalah narasi yang symptomatic . Bagaimana kontradiksi tersebut menjadi sebuah symptom dan bukan merupakan kontradiksi literer biasa? Wacana kontradiktif dalam Putri Cina merupakan symptom karena ia menunjukkan ketidakbebasan Sindhunata. Ketika Sindhunata memunculkan posisi masyarakat Cina sebagai korban, terselip cerita-cerita yang menunjukkan hal yang sebaliknya – cerita-cerita yang entah kenapa seperti tak dihiraukan. Titik berat terus-menerus dengan nada lamentatif pada posisi korban yang ada dalam tokoh Putri Cina dan Giok Tien menunjukkan bahwa ada semacam tembok bahasa yang dihadapi oleh Sindhunata; sebuah tembok dengan sensor yang mengatur hal yang dapat diceritakan dan yang tidak. Kehidupan ekonomi Putri Cina dan Giok Tien adalah hal- hal yang tak lulus sensor. Sensor tersebut adalah multikulturalisme. Multikulturalisme yang mengedepankan perayaan kultural yang mewajibkan pemposisian sebagai korban tidak memberi ruang wacana-wacana tentang Cina yang mapan secara ekonomis. Dengan begitu, bagi saya, novel Putri Cina menunjukkan kepada kita kontradiksi- kontradiksi yang ada dalam konsep multikulturalisme yang hanya menitikberatkan kesetaraan secara kultural namun tak menyentuh kesetaraan ekonomi. Di satu sisi, multikulturalisme ingin menghilangan ketimpangan yang ada, namun di sisi lain, 193 menjaga ketimpangan yang lain ekonomi tetap ada. Paling tidak, hingga titik ini, terlihat bahwa multikulturalisme malah menjadi hambatan bagi kesetaraan sepenuhnya karena ideologi ini menghalangi pandangan Sindhunata untuk mencari kesetaraan di antara ketimpangan ekonomis yang nyata adanya. Perayaan kontradiktif a la Ca Bau Kan Bagaimana dengan Ca Bau Kan? Kebebasan lebih dalam berekspresi setelah runtuhnya represi Orba tidak hanya dinikmati dan digunakan oleh masyarakat dan pengarang Cina, seperti yang terlihat dari hadirnya dua novel di atas, untuk menceritakan barang ‘haram’ semacam kehidupan masyarakat Cina. Para pengarang pribumi juga memanfaatkan momen kebebasan ini dengan mengeluarkan karya-karya yang mengulik keberadaan dan kehidupan saudara-saudaranya yang ada di komunitas Cina di Indonesia. Bahkan ‘tren’ tersebut dimulai oleh seorang pengarang pribumi kenamaan bernama Remy Sylado dengan menerbitkan karyanya Ca Bau Kan hanya setahun setelah kejatuhan Soeharto. Dan karya tersebut telah diadaptasi dalam bentuk film dengan judulnya yang sama dengan sutradara oleh Nia Dinata. Sebelumnya memang telah novel yang ditulis oleh pengarang pribumi, seperti yang telah dibahas di atas, namun terdapat perbedaan-perbedaan mencolok antara novel-novel yang ditulis di masa Orde Baru dan novel-novel yang ditulis setelahnya sebagaimana yang akan dibahas di bagian ini dan berikutnya. Bagi saya, novel-novel yang ditulis oleh pengarang pribumi setelah masa Orde Baru cenderung lebih dekat dengan yang ditulis oleh pengarang-pengarang Cina di masa yang sama daripada dengan, misalnya, Lucy Mei Ling . Jadi, saya kira ideologi sebuah masa jauh lebih dominan pengaruhnya dalam penulisan sebuah karya dibandingkan dengan latar belakang etnis pengarangnya meskipun hal tersebut jelas memiliki pengaruh – sebuah hal yang jadi inti diskusi bagian ini. Di Lucy Mei Ling terlihat dengan jelas bagaimana ideologi asimilasi yang dipromosikan Orba melalui badan-badan kepanjangantangan-nya memiliki pengaruh 194 yang cukup besar pada logika penarasian tokoh-tokoh Cina-nya e.g. nasionalisme berlebihan Lucy dan kerelaan ayahnya. Di karya tersebut juga tampak betul logika penggantian identitas Cina ke arah identifikasi yang lebih ekonomis e.g. latar belakang ‘mewah’ Lucy yang jelas merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan Orba. Apakah kemudian hal-hal tersebut meninggalkan jejak di narasi Ca Bau Kan mengingat novel ini ditulis ketika Indonesia masih di bawah cengkeraman Soeharto dan politik asimilasinya dan diterbitkan hanya setahun setelah jatuhnya Orba? Atau ideologi multikulturalisme dengan wacana korbannya telah benar-benar menyediakan bahasa baru untuk menarasikan masyarakat Cina seperti dalam Putri Cina dan Dimsum Terakhir ? Sejauh apakah pembacaan wacana korban di Ca Bau Kan dan Acek Botak yang akan dibahas di bagian selanjutnya? Dengan tajuk seperti Ca Bau Kan saya kira Remy Sylado semacam terinspirasi dengan keberanian yang ditunjukkan Motinggo Busye. Ia, meskipun tak menggunakan nama khas Cina sebagai judul novelnya, ia memilih sebuah julukan yang mana para calon pembacanya tak perlu memutar otak untuk mengetahui bahwa novel di hadapannya bercerita tentang kehidupan masyarakat Cina. Dari sisi tersebut, Ca Bau Kan juga sama lantangnya dengan Putri Cina dan Dimsum Terakhir. Namun tentu Ca Bau Kan memiliki lingkungan ideologis yang berbeda. Setelah masa Reformasi, pengarang cenderung ‘bebas’ memilih temanya. Judul tersebut jelas berangkat dari kebebasan yang ditawakan reformasi dan gelombang pasang multikulturalisme. Lebih jauh, terkait dengan judul, Remy Sylado telah memulai tren novel yang menggunakan judul yang dengan jelas hendak bercerita tentang masyarakat Cina i.e. judul menjadi salah satu sarana untuk menyatakan kebebasan bercerita. Ketika kita membaca Ca Bau Kan, kita akan langsung tersadar akan betapa kayanya pengetahuan Remy Sylado tentang kebudayaan dan kebiasaan masyarakat Cina di Indonesia. Seperti yang telah saya jabarkan di Bab sebelumnya – paling tidak sebagian besarnya – Remy Sylado berusaha dengan keras memunculkan dan memperkenalkan masyarakat Cina kepada pembacanya. Ia menarasikan perayaan hari 195 besarnya, menjelaskan golongan-golongan yang ada di dalam tubuh kelompok masyarakat Cina dan bahkan membuat semacam kamus untuk dialek-dialeknya. Selain itu, melalui sepak terjang Tan Peng Liang, ia mengangkat peran masyarakat Cina di dalam perjuangan Bangsa Indonesia untuk merdeka dari Belanda. Dengan dua fokus tersebut, menurut saya Ca Bau Kan ditulis dengan kesadaran penuh mengenai penindasan yang terjadi pada masyarakat Cina i.e. novel ini ditulis untuk mengangkat posisi masyarakat Cina sebagai korban dari penindasan. Memang latar belakang tersebut tidak terlihat dengan terang di narasi Ca Bau Kan, bagian pengantar novel tersebut lah, sebagaimana telah saya tuliskan di Bab II, yang menunjukkan dengan terang wacana korban tersebut. Meskipun begitu, sesungguhnya di dalam narasinya kita masih dapat melihat dampak dari latar belakang yang meletakkan masyarakat Cina sebagai korban tersebut. Dampak dari wacana korban tesebut terlihat terutamanya dari ‘berlebih’-nya informasi yang disuguhkan pada pembaca mengenai budaya masyarakat Cina. Terlihat sekali bahwa Remy Sylado memang merancang novelnya untuk menjadi ajang memperkenalkan budaya dan peran masyarakat Cina di Indonesia. Contoh terbaiknya adalah kamus yang telah saya sebut sebelumnya. Ketika narrator, yang menggunakan orang ketiga, menjabarkan penokohan Tan Peng Liang, ia menuliskan sejumlah dialek khas Cina Peranakan yang ia sebut sebagai dialek Semarangan: “[j]ika ia berkata “dia”, yang diucapkannya adalah “diak-e; kata “di mana” menjadi “ada mana” atau “dah mana”; “ambilkan” jadi “ambik-ke”; “tidak dapat” jadi “ndak isa”; “lihat” jadi “liak”; “cantik” jadi “ciamik”; “sial” jadi “cialat”; dan seterusnya.” 163 Alih-alih memasukkan dan memperkenalkan lema-lema tersebut melalui percakapan sehingga terkesan lebih menyatu dengan narasi keseluruhan novel, Remy Sylado memilih untuk menggabungkannya dalam sebuah “glosarium”. Mungkin ini dapat dibaca sebagai dampak dari kegemaran Remy Sylado pada studi Bahasa linguistik seperti yang ditunjukkan di beberapa buku karyanya. Namun pembacaan saya, pembuatan 163 Lih. Sylado, 2001, p. 65 196 “glosarium” tersebut dimaksudkan lebih untuk membuat para pembacanya mengerti benar tentang budaya Cina Peranakan terutama di Jawa Tengah. Karenanya lema-lema tersebut disatukan ke dalam sebuah bentuk yang non- fiksional: sebuah “glosarium”. Contoh lainnya adalah penokohan tokoh-tokoh Cina yang perannya cukup besar yang mengedepankan latar belakang kulturalnya sehingga memiliki ke-khas-an linguistik. Tan Peng Liang yang suami kedua Tinung adalah seorang Cina Peranakan yang lahir di tengah-tengah masyarakat Sunda. Hal tersebut membuatnya memiliki dialek khas campuran Melayu, Cina dan Sunda. Tan Peng Liang, yang tokoh utama dan suami ketiga Tinung, memiliki dialek yang sangat kental pengaruh bahasa Jawa-nya karena memang ia dibesarkan di Semarang. Kemudian tokoh-tokoh yang tergabung dalam Kong-Koan, yang memusuhi Tan Peng Liang asal Semarang, memiliki dialek yang dekat dengan dialek Betawi dan rata-rata merupakan Cina Totok dan cukong. Penokohan semacam itu, bagi saya, adalah strategi lain dari Remy Sylado untuk memperkenalkan golongan-golongan dalam masyarakat Cina secara kultural. Padahal latar belakang tersebut sedikit sekali pengaruhnya terhadap narasi keseluruhan. Hampir tidak ada tindakan khas tokoh-tokoh tersebut yang berangkat dari latar belakang kulturalnya. Malahan tokoh-tokoh tersebut memiliki kesamaan-kesamaan yang tak dapat dipungkiri. Meraka semua adalah pedagang culas yang tega melakukan apapun demi usahanya e.g. Tan Peng Liang yang Sunda adalah seorang rentenir di daerah miskin, Tan Peng Liang asal Semarang mencetak uang palsu demi keuntungan dan orang-orang di Kong-koan ingin membakar gudang tembakau milik Tan Peng Liang asal Semarang. Singkatnya, apa maksud dari penokohan semacam itu jika bukan untuk mengenalkan secara rinci kemajemukan masyarakat Cina di Indonesia? Begitu menda lam dan ‘berlebih’-nya ini jelas berangkat dari wacana korban yang meletakkan masyarakat Cina sebagai korban dari penindasan kultural rezim Orde Baru. Di masa Orde Baru, identitas dan ekspresi kultural masyarakat Cina dihilangkan secara struktural melalui berbagai macam peraturan yang membuat masyarakat Cina sebagai sebuah identitas yang khas di Indonesia ‘hilang’. Sehingga khalayak pribumi 197 atau bahkan Cina sendiri tak mampu mengenali identitas Cina secara kultural. Walhasil, identifikasi yang terjadi hanya berada di tataran ekonomis semata i.e. Cina sebagai pedagang. ‘Berlebih’-nya informasi yang disuguhkan novel tersebut adalah usaha untuk memunculkan identitas kultural tersebut. Dengan latar belakang penindasan Orde Baru, Remy Sylado merasa perlu menyisihkan, dalam porsi yang besar, di novelnya untuk menjadikan Cina ‘ada’ lagi di kesadaran pembacanya. Sederhananya, karena kekosongan referensi kultural tentang siapa itu masyarakat Cina di kepala masyarakat luas, informasi yang memadai adalah sebuah hal yang tak terhingga pentingnya. Harapannya, posisi masyarakat Cina sebagai sebuah etnis yang mana dijunjung sekaligus dilupakan oleh Orde Baru dapat disadari bersama. Itulah logika yang saya kira bermain di kepala Remy Sylado ketika menuliskan Ca Bau Kan. Bukti lain yang menunjukkan bahwa pembacaan Ca Bau Kan tentang identitas Cina yang terpaku pada penindasan Orde Baru semata ini terdapat pada kesadaran tokoh-tokoh di dalamnya yang anggota Kong-koan. Diceritakan di Ca Bau Kan, beberapa waktu setelah rapat BPUPKI, anggota-anggota Kong-koan Lie Kok Pien, Oey Eng Goan, Thio Boen Hiap dan lainnya berkumpul dan membicarakan pidato Liem Koen Hian yang menjadi perwakilan masyarakat Cina. Mereka juga membicarakan nasib orang-orang Cina di Hindia Belanda setelah merdeka dan posisi yang harus diambil. Beginilah Remy Sylado menarasikan perbincangan tersebut: “Ini sudah Juli 1945. Tapi Oey Eng Goan, selaku ketua Kong Koan masih terganggu atas peristiwa 1 Juni yang lalu, tentang seorang-orang Tionghoa yang hadir di sidang Donkoritsu Zunbi Chosakai Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Oey Eng Goan tak puas. Itu berkali-kali dikatakannya. “Bagaimanapun Wo tidak suka pernyataan Liem Koen Hien terhadap pidato Bung Karno di Donkoritsu Zunbi Chosakai. Tidak seharusnya Liem omong begitu. Apa-apaan dia meralat yang kepalang dia ucapkan?” Lie Kok Pien, yang selalu tak sejalan dengan Oey Eng Goan, meremehkannya. Katanya, “Itu urusan dia. Urusan kita bukan itu, tapi apa sikap kita di depan seandainya Indonesia betul-betul menerima kemerdekaannya dari Jepang.” “Tidak,” kata Oey Eng Goan. “Omongan Liem di Donkoritsu Zunbi Chosakai tidak taktis. Itu bisa dianggap generalisasi terhadap semua Tionghoa. Harusnya dia tak perlu meralat. Sebab dia harus tahu, semua Tionghoa di seluruh dunia, memiliki satu kebangsaan, yaitu Tionghoa, dan dua kewarganegaraan, yaitu Tiongkok dan negeri di mana dia berdiri untuk sementara.” “Itu betul. Seratus persen betul,” kata Thio Boen Hiap mendukung Oey Eng Goan. 198 “Sebentar,” kata Lie Kok Pien, merasa nasteng. “Wo memang tidak bilang itu salah. Yang Wo pikirkan, seandainya, nah, perhatikan, Wo bilang ‘seandainya nanti Indonesia dapat kemerdekaannya, apa tatanan status quo masih bisa bertahan? Maksud Wo, kenapa kita tidak fleksibel. Ingat pepatah kita, ‘qianli zhi xing, shi yu xia’. Di dalam pidato Bung Karno itu, tergambar dengan jelas tentang cita-cta satu kebangsaan yang – seperti katanya ‘bhineka tunggal ika’ – artinya inter-rasial dan inter-tribal” 164 Untuk kutipan ini saya akan mengutipnya dengan utuh agar adegan ini dapat dimengerti secara kontekstual. Di kutipan tersebut, terutamanya di bagian akhir perkataan Oey Eng Goan, ada semacam kesadaran atas rapuh dan rentannya kondisi mereka dan masyarakat Cina di Indonesia. Ada semacam ketakutan akan nasib mereka setelah Hindia Belanda merdeka. Orang-orang tersebut seperti mengerti bahwa akan nada kekerasan terhadap mereka dikarenakan tatanan masyarakat yang berubah jika Hindia merdeka. Mereka takut bahwa identitas Cina mereka tidak akan diterima dan menjadi sumber malapetaka di kemudian hari. Saya melihat ketakutan para anggota Kong-koan ini, sebagai kesadaran Remy Sylado tentang kejadian Mei 1998 yang menyusup masuk ke dalam narasi. Ketakutan Eng Goan tak ubahnya adalah ketakutan Remy Sylado akan terulangnya kejadian seperti ketika Mei 1998. Hal tersebut semakin menunjukkan bagaimana penindasan Orde Baru adalah titik berangkat Remy Sylado ketika menyusun Ca Bau Kan . Sehingga kesadaran sejarahnya pun adalah kesadaran yang merupakan respon atas kekuasaan Orde Baru. Ia tidak menggambarkan tokoh-tokoh tersebut sebagai manusia-manusia kolonial yang hidup di masa kolonial. Jadi, sekali lagi, wacana korban adalah semangat, yang berusaha membawa keadilan bagi para korban kekuasaan Orde Baru, yang merupakan respon atas penindasan di masa Orde Baru saja karenanya pembacaan sejarahnya berhenti hanya sampai di sana. Tatanan kolonial bukanlah bagian dari kesadaran dan pertimbangan ketika melihat masyarakat Cina di Indonesia. Logika wacana korban Remy Sylado dalam novelnya tersebut jelas memiliki semangat multikulturalisme karena ia berusaha mengangkat bentuk-bentuk kebudayaan 164 Ibid., hal. 321-322 199 yang terpinggirkan ke permukaan dan mengajak pembacanya untuk menyadarinya sekaligus menerimanya. Meskipun dengan rincian naratif yang berbeda, akan tetapi ada benang merah yang menyambungkan Ca Bau Kan dengan novel-novel yang telah terlebih dahulu dibahas di bab ini yaitu bahwa ada sebuah masyarakat yang selama ini ditindas identitasnya sehingga perlu diangkat kembali sebagai sebuah bentuk keadilan. Artinya, sama seperti novel-novel di atas yang juga diterbitkan di masa Reformasi, multikulturalisme adalah semangat utamanya. Dan satu hal lagi yang penting untuk dicatat adalah bahwa multikulturalisme, lewat wacana korban, yang ketiga novel tersebut angkat adalah sebuah tanggapan atas penindasan masa Orde Baru. Di Ca Bau Kan tanggapan tersebut berupa pengangkatan informasi tentang bentuk-bentuk kebudayaan masyarakat Cina yang mana sejalan dengan pengangkatan peran masyarakat dalam sejarah Indonesia di Putri Cina. Sayangnya, karena terlalu berfokus pada penindasan yang terjadi di masa Orde Baru, Ca Bau Kan seakan melupakan kenyataan bahwa permasalahan dengan masyarakat Cina dimulai sejak masa kolonial dengan politik segregasinya. Akibatnya isu lain di luar penindasan kultural terhadap masyarakat Cina menjadi tak tergarap. Isu tersebut adalah posisi sebagian kecil pedagang Cina yang diuntungkan bisnisnya karena dijadikan mesin ekonomi Orde Baru dan memperkuat stereotip ekonomis terhadap masyarakat Cina secara keseluruhan. Dengan langsung memposisikan masyarakat Cina sebagai korban semata – meskipun ada sebagian yang diuntungkan - dan tidak melihatnya ke belakang lebih jauh ke masa kolonial, Ca Bau Kan kemudian terjebak ke dalam mitos ekonomi, dalam bentuk stereotip, yang disuburkan Orde Baru dengan memanfaatkan warisan kolonial berupa posisi ekonomis masyarakat Cina yang unggul di atas pribumi. Di masa Orde Baru, pedagang-pedagang besar Cina yang rata-rata Cina Totok dikelompokkan untuk dijadikan mesin penggerak ekonomi Orde Baru. Kelompok yang disebut cukong tersebut lantas menjadi acuan stereotip pedagang dan kaya-raya versi Orde Baru dan menjadikan seluruh masyarakat Cina, bahkan yang bukan pedagang serta miskin sekalipun, korban dari segala bentuk kekerasan. Sisi bukan-korban sebagian masyarakat 200 Cina yang ada di masa Orde Baru seperti yang ditunjukkan dengan keberadaan cukong- cukong tadi muncul hampir secara alami baca: tidak kritis di narasi Ca Bau Kan. Lihat saja tingkah laku tiga kelompok kultural tokoh Tan Peng Liang asal Sewan yang rentenir, Tan Peng Liang asal Semarang yang pencetak uang palsu dan anggota-anggota Kong-koan yang ingin memonopoli jalannya perdagangan di Hindia Belanda yang ada di Ca Bau Kan yang semuanya adalah pedagang culas, keji dan penuh dengan trik untuk mengelabui lawan bisnisnya. Bahkan, apa yang disebut sebagai peran masyarakat Cina dalam perjuangan menuju Indonesia yang merdeka, sebagaimana diwakilkan lewat Tan Peng Liang, adalah peran ekonomis. Tidak seperti peran pejuang pribumi yang angkat senjata seperti yang dilakukan bekas wartawan Max Awuy, Tan Peng Liang menjadi pemasok senjata dari Thailand. Artinya, ia tetap berada di ranah ekonomi dengan menjadi pedagang senjata. Bahkan di kondisi perang dan kekacauan, Remy Sylado masih menokohkan Tan Peng Liang sebagai pedagang ulung dan penuh perhitungan seperti yang terlihat di kutipan di bawah: “Jeng Tut tertawa kecil. “Tuan tidak perlu ada di situ,” katanya dengan segera pula. “Tuan berdagang. Tuan cari untung. Dan saya sedang bicara soal keuntungan Tuan.” “O?” Tan Peng Liang seperti terpesona. “Bagaimana jalannya?” “Terus terang, senjata,” kata Jeng Tut. “Nah, apakah Tuan berminat bekerja menyelundupkan senjata kepada mereka? Ini kerja sambil menyelam meminum air. Modal Tuan bukan hanya uang,tapi juga keberanian dan kepetualangan. Tuan dapat untung dari saya, saya dapat untung dari Inggris.” Tan Peng Liang tertawa dalam cara yang tidak disangka oleh Jeng Tut. “Kedengarannya menarik.” “Kalau begitu kenapa Tuan ketawa?” “Tidak apa-apa. Saya ingin berhitung dulu.” “Baik.” Jeng Tut berdiri, siap hendak pergi. “Kalau Tuan berminat, besok kita lanjut kembali. Tapi, terus terang saya ingin bilang, sebelum Tuan memutuskan untuk menyatakan minat Tuan haruslah Tuan ketahui, bahwa perjalanan ke Malaya melalui pesisir barat, itu beresiko tinggi.” “Seentengnya Tan Peng Liang berkata “Saya biasa menempuh jalan yang sulit dan riskan.” Jeng Tut berjalan tanpa menoleh. Hanya tangannya dilambaikan ke belakang. “Syukurlah,” katanya. 165 Di lain kesempatan, Tan Peng Liang juga memperlihatkan kecenderungannya sebagai pedagang ketika dalam masa perjuangan: 165 Ibid., hal. 272-273 201 “ Untuk melawan dan mengucar-kacirkan Belanda, bukan dengan bedil, sebab bedil selalu kalah. Coba saja sampeyan ingat perang dengan bedil yang pernah terjadi di sini, mulai dari Pattimura, Hasanuddin, Diponegoro, sampai Cut Nyak Dien, semuanya dikalahkan hanya oleh muslihat tipu. Ya toh? La sekarang, sebab bedil kalah, ya, kita perlu pakai perang dengan senjata ekonomi, uang. ” 166 Di dua kutipan tersebut, segala stereotip atas masyarakat Cina yang dikembangkan Orde Baru terakumulasi dengan naifnya. Berbeda dengan tindakan Remy Sylado yang sebelumnya memberikan informasi lebih dengan pendekatan yang sedikit non-fiksional glosarium di titik bahasa kultural, di sisi kehidupan ekonomi Tan Peng Liang, ia hanya menyajikan dengan begitu saja tanpa, katakanlah, sudut pandang yang mendalam. Yang ia sajikan hanyalah tingkah laku Tan Peng Liang sebagai pedagang dan bukan, misalnya, sejarah ia, atau orang Cina lainnya, menjadi seorang pedagang dan dalam konteks yang seperti apa. Jatuhnya novel ini pada mitos ekonomis masyarakat Cina versi Orde Baru menurut saya justru karena novel ini begitu terpaku dengan wacana korban yang analisisnya dimulai pada masa Orde Baru. Meskipun Ca Bau Kan berlatar-waktu akhir abad ke-20 dan awal abad 21 yang mana Indonesia masih bernama Hindia Belanda di bawah Kerajaan Belanda, namun pembicaraan seputar tatanan segregatif yang khas Politik Etis Belanda tidak muncul. Pembacaan sejarah yang dilakukan dalam novel tersebut adalah pembacaan sejarah dengan kacamata wacana korban yang sesungguhnya hanyalah tanggapan atas penindasan Orde Baru. Kong-koan, sebagai sebuah badan perwakilan untuk masyarakat Cina yang didominasi Cina Totok, yang khas politik segregasi di Hindia Belanda memang memiliki porsi yang lumayan banyak di narasi. Sayangnya, cerita-cerita tentang anggota-anggota Kong-koan hanya berkisar pada ketidaksukaan mereka pada tingkah laku Tan Peng Liang yang dianggap sombong dan tidak tahu peraturan. Pertemuan-pertemuan mereka hanya diisi dengan pembicaraan seputar cara-cara untuk memberi pelajaran pada Tan Peng Liang. Tidak ada penjelasan mengenai latar belakang anggota-anggotanya secara ekonomis dan politis atau hal lain 166 Ibid., hal. 211-212 202 yang membuat mereka masuk ke dalam Kong-koan. Hanya ada satu adegan yang sedikit membahas dampak dari politik segregasi tersebut terhadap orang-orang Cina yaitu ketika Lie Kok Pien, Oey Eng Goan dan Thio Boen Hiap membahas pidato Liem Koen Hian di Donkoritsu Zunbi Chosakai Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan. Adegan tersebut, selain menunjukkan kesadaran yang tidak wajar seperti telah dijabarkan sebelumnya, juga menunjukkan – meski tidak secara kentara dan bahkan mungkin secara tak sengaja – adanya kedekatan masyarakat Cina dengan mantan penguasa saat itu yang belum lama lengser, Belanda. Mereka yang diuntungkan semasa Hindia Belanda – sebagai hasil dari politik segregasi yang mengedepankan sisi ekonomis masyarakat Cina - jelas merasa terusik ketika kemerdekaan Hindia Belanda telah di ambang pintu. Namun, di adegan tersebut saya pikir Remy Sylado tidak benar- benar mengarah pada dampak politik segregasi kolonial karena ketakutan Eng Goan, yang berusaha ditenangkan oleh Kok Pien, adalah ketakutan tak diterima secara rasial. Jadi, saya rasa tidak ada pendalaman serius pada politik segregasi dalam Ca Bau Kan. Dari pembicaraan di atas kita telah melihat bagaimana sesungguhnya wacana korban tak mampu membaca dengan utuh penindasan Orde Baru dan kondisi masyarakat Cina. Wacana korban juga mengandung semacam ahistorisme karena ternyata waktu yang dipertimbangkan hanya sampai Orde Baru dan tidak sampai masa kolonial padahal wacana ekonomi atas masyarakat Cina di masa Orde Baru hanyalah adaptasi dari politik segregasi Pemerintah Kolonial Belanda. Hasilnya jelas kemudian Ca Bau Kan tak mampu kritis melihat mitos dan stereotip masyarakat Cina dan cenderung mengulanginya. Tapi hal tersebut bisa saja dianggap wajar mengingat Ca Bau Kan memang sebagian darinya ditulis di masa Orde Baru dan diterbitkan hanya setahun setelah rezim militeristik Soeharto jatuh. Pertanyaannya sekarang, bagaimana dengan Acek Botak yang sama-sama ditulis oleh pengarang pribumi dan ditulis hampir sepuluh tahun setelahnya? Atau Dimsum Terakhir yang ditulis oleh pengarang keturunan Cina? 203 Sebelum beranjak ke dua novel selanjutnya, saya ingin terlebih dahulu membaca kecenderungan multikulturalis di dua novel di atas. Saya ingin menunjukkan bagaimana multikulturalisme telah menjadi ideologi karya-karya sastra untuk bercerita tentang identitas Cina. Andre Heywood – dengan mengutip pemikir-pemikir yang fokus pada permasalahan multikulturalisme seperti Bikkhu Parekh dan Will Kymlicka – menyimpulkan bahwa pada dasarnya politik multikulturalisme, yang merupakan bagian dari studi politik identitas, adalah politik pengakuan politics of recognition yang berangkat dari “the idea that identity should be fully and formally acknowledged, and that difference should be embraced, even celebrated. ” 167 Yang ia tempatkan sebagai pendukung dalam argumennya adalah gerakan awal multikulturalisme di Amerika Serikat yang berangkat dari kesadaran masyarakat Kulit Hitam-nya di tahun 1960-an. Artinya, multikulturalisme lahir dari sebuah kesadaran atas identitas yang tadinya disingkirkan tidak hadir dari ruang publik. Jadi, pertama-tama harus ada sebuah identitas yang dibentuk dan dipegang teguh bersama agar sebuah perjuangan multikulturalis dapat berjalan. Dua novel di atas, saya kira menggunakan logika yang sama. Keduanya menautkan identitas Cina yang terpinggirkan dalam sebuah wacana yang saya sebut wacana korban karena memang wacana tersebut menempatkan masyarakat Cina sebagai korban. Keduanya juga mengafirmasi posisi masyarakat Cina di Indonesia yang disingkirkan karena identitas nya dihapuskan di masa Orde Baru. Di Putri Cina, kita melihatnya dalam adegan-adegan seperti ketika si Putri Cina menyaksikan wajahnya yang tak ia kenali. Ia merasa sebagai ‘pribumi’ namun mendapatkan perlakuan berbeda. Hal tersebut tentu mengacu pada kenyataan dilarangnya pemakaian nama Cina dan ritual-ritualnya. Selain itu, Sindhunata membangun kondisi identitas Cina sebagai korban ini melalui dua jenis penarasian lainnya. Pertama, ia menarasikan pembunuhan atas masyarakat Cina melalui mata tokoh Putri Cina. Kedua, ia menarasikan penghilangan peran dan kontribusi masyarakat Cina pada perkembangan produk-produk 167 Lih., Heywood, 2004, hal. 46 204 kultural pribumi e.g. makanan. Di Ca Bau Kan, Remy Sylado lebih mengedepankan penghilangan peran dan kontribusi masyarakat Cina pada proses kemerdekaan Indonesia. Itu terlihat dari pendalaman naratif peran Tan Peng Liang sebagai pemasok senjata bagi para pejuang kemerdekaan. Ia juga menyatakannya di bagian pengantar novel tersebut. Berikutnya setelah terbangunnya sebuah kesadaran identitas yang ada di daftar adalah pengangkatan. Seperti dalam kutipan Andrew Heywood, logika yang disajikan setelahnya adalah pengakuan embrace atau bahkan perayaan celebrate. Di perjuangan masyarakat Kulit Hitam yang diusung oleh Andrew Heywood, setelah kemunculan kesadaran identitas, orang-orang kulit hitam mulai membaca kembali sejarah mereka mulai dari penculikan di Afrika hingga perbudakan. Mereka juga kemudian menuntut hak-hak sipil mereka seperti suara dalam pemilihan umum. Di konteks kedua novel, tuntutannya lebih pada pengakuan atas tempat mereka di Indonesia. Keduanya menginginkan agar peran masyarakat Cina diangkat, ekspresi- ekspresi kulturalnya dikembalikan dan dihentikannya kekerasan yang ada. ‘Tuntutan- tuntutan’ tersebut muncul dalam bentuk narasi yang mendalam. Terkait dengan pengangkatan ekspresi kultural, di kedua novel informasi, yang tadinya dilarang oleh Orde baru, muncul hampir secara berlebihan – mungkin karena memang identitas tersebut harus dirayakan. Apalagi multikulturalisme memang memiliki fokus pada pengakuan perbedaan ekspresi kultural yang ada. Di Ca Bau Kan, penggunaan bahasa masyarakat Cina disajikan hampir mirip dengan glosarium. Di Putri Cina, disajikan banyak referen kultural pada permenungan yang dilakukan si Putri Cina dalam bentuk nukilan-nukilan puisi dari masa Cina Klasik. Selain itu, adegan berdoa Putri Cina juga didalami dengan penjelasan mengenai tata cara beserta istilahnya dalam Bahasa Cina dan dewa-dewanya. Dengan penataan dan pendalaman narasi semacam itu, perayaan perbedaan latar belakang kultural dalam pemaknaan multikulturalisme adalah semangat dua novel di atas. 205 A.4. Multikulturalisme setelah symptom-symptom A.4.a. Multikulturalisme dan kekerasan obyektif Kini kita telah mengetahui bahwa multikulturalisme muncul pada dua novel di atas dalam bentuk wacana masyarakat Cina sebagai korban dan jalan keluar atasnya yang diambil yaitu perayaan kultural. Sekarang kita harus berhadapan dengan symptom- symptom dari keduanya. Di sini, yang saya letakkan sebagai sebuah symptom adalah narasi tentang kemapanan ekonomi tokoh-tokoh Cina di dua novel tersebut. Alasannya, narasi tersebut adalah narasi yang tidak diinginkan adanya meskipun sepertinya tak terelakkan kehadirannya. Narasi tersebut terus muncul namun tidak didalami seperti halnya narasi tentang bahasa Kuo-Yu atau dialek per daerah. Contohnya, kali ini dari novel Ca Bau Kan, asal-usul kultural Tan Peng Liang dijelaskan panjang-lebar bahkan diikuti dengan glosarium kata-kata khas masyarakat Cina yang besar di Semarang Jawa Tengah. Hal tersebut tentunya merupakan sebuah pencarian keadilan kesetaraan atas ketidakadilan di masa Orde Baru yang melarang munculnya segala wacana tentang Bahasa Cina. Akan tetapi, hal yang sama tidak ditemukan di wilayah ekonomi. Tan Peng Liang tiba-tiba seorang yang kaya-raya. Tidak dijelaskan apakah dia meneruskan bisnis warisan keluarga atau ia merangkak dari bawah. Tidak dijelaskan pula bagaimana kondisi nenek moyangnya ketika dahulu pertama kali datang ke Indonesia. Dengan bahasa yang lebih gamblang, tidak ada narasi pencarian kesetaraan di wilayah ekonomi meskipun terdapat ketimpangan yang jelas-jelas terpampang di Ca Bau Kan: hampir seluruh tokoh Cina di novel tersebut kaya-raya dan berada dalam jaringan bisnis besar. Berikutnya, symptom yang ada di Putri Cina juga mengarah pada kejanggalan yang sama. Di Putri Cina ada sebuah permintaan agar sumbangan kultural masyarakat Cina – makanan adalah contoh yang diambil oleh Sindhunata – diakui. Permintaan tersebut adalah tuntutan agar masyarakat Cina diperlakukan setara dengang kelompok masyarakat lain yang sumbangannya diakui; sebuah permintaan yang menanggapi penghilangan sejarah yang berbau Cina oleh Orde Baru. Akan tetapi, kita tidak melihat permintaan yang sama atas posisi ‘darah biru’ tokoh Putri Cina dan Giok Tien. Seakan- 206 akan ke-darah-biru-an mereka adalah hal yang semestinya dan begitu adanya tanpa sejarah. Sesungguhnya, pembangunan tokoh-tokoh Cina di dua novel di atas bisa saja berhenti di wilayah kultural dengan penjelasan bahasa dan adat yang mumpuni menurut saya. Namun, kenapa muncul penarasian menggunakan bahasa ekonomi ini? Ada sesuatu yang sepertinya membuat kedua pengarang tersebut tidak puas dengan pembangunan tokoh yang ada. Keduanya seperti menghadapi keharusan untuk menjelaskan identitas Cina menggunakan wacana umum – namun tabu - yang ada di masyarakat tentang kelompok masyarakat yang satu ini dan wacana tersebut menurut keduanya adalah wacana ekonomi e.g. pedagang, pemilik bisnis besar, kaya raya dan lain-lain. Dalam konsep psikoanalisa, symptom bukan saja sebuah kode rahasia yang harus diinterpretasi namun – terutamanya pemikiran Lacan-akhir yang juga diadopsi oleh Zizek - juga sebuah bentuk “signifying formation in which an individual subject organizes its relationship to enjoyment, or jouissance”. 168 Dengan menggunakan kata- kata Zizek sendiri, “ [a ] particular, ‘pathological’, signifying formation, a binding of enjoyment, an inert stain resisting communication and interpretation, a stain which cannot be included in the circuit of discourse, of social bond network, but is at the same time a positive condition of it. ” 169 Dan yang dimaksud dengan “a positive condition of it” adalah kenyataan bahwa “ the only point that gives consistency to the subject...the way we ‘choose something the symptom-formation instead of nothing radical psychotic autism, the destruction of the symbolic universe’...which assures a minimun of consistency to our being-in-the-world ” 170 Artinya, senyapnya penjelasan tentang kehidupan ekonomi di dua novel di atas disebabkan karena narasi-narasi tersebut mer upakan ‘stain’ – seperti kata Zizek – sebagai bentuk pengolahan enjoyment dua pengarang tersebut atas identitas ekonomi Cina; sebuah enjoyment pada obyek a bentukan kolonial dan Orde Baru yang kini tabu 168 Lih., Myers, 2003, hal. 86 169 Lih., Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, hal. 81-82 170 Ibid., hal. 81 207 untuk diceritakan meski masih dipercaya karenanya dijadikan pegangan oleh dua pengarang di atas. Jadi, kenapa pengarang-pengarang di atas sangat sulit membahasakan symptom tadi? Jawabannya karena hal tersebutlah yang sangat membekas. Keyakinan saya bahwa ‘bekas luka’ stain terdalam kedua novel di atas berada di wilayah ekonomi ketimpangan ekonomi berangkat dari perbandingan dengan symptom-symptom pada dua novel dari dua masa sebelumnya DBD dan Lucy Mei Ling . Jika kita bandingkan symptom multikulturalis ini dengan symptom-symptom dalam novel-novel dari masa-masa sebelumnya, mereka terlihat mengalami masalah yang serupa. Di DBD, mirip dengan yang ditemukan dalam Ca Bau Kan dan Putri Cina, pendalaman sekitar economic base Tat Mo, yang merupakan perwakilan KTH dalam novel tersebut, tidaklah banyak. Namun, symptom-symptom superioritas identitas Cina menunjukkan bahwa ada yang salah dengan hubungan pribumi-non-pribumi bentukan politik segregasi Belanda; satu sisi yang belum benar-benar tergarap oleh KTH. Timpangnya posisi pribumi dan non-pribumi secara ekonomi terlihat benar dari sudut pandang tersebut. Walhasil, konsep pembauran identitas yang diusung KTH – walaupun terhitung sangat subversif dan berani di masanya - tidak benar-benar mampu membayangkan peleburan identitas pribumi-non-pribumi dalam narasi DBD. Seperti kini telah kita ketahui, ada superioritas yang menghalangi persatuan antara orang-orang dari vreemde oosterlingen dengan Indonesier e.g. Tat Mo berkomunikasi dengan tetap menjaga posisi yang di atas Noerani dan Moestari sebagai ‘guru’ seseorang yang derajatnya lebih tinggi. Begitu membekasnya tatanan masyarakat segregatif di tataran ekonomi, KTH menjadi sangat sulit melihat dengan mata yang tajam dan harus ‘mengalihkan’ bahasa ekonomi tadi – yang merupakan dasar kategorisasi masyarakat kolonial – ke bahasa-bahasa yang lain seperti rasa memiliki ilmu pengetahuan yang lebih. Dengan kemiripan asal-muasal symptom ini, ada kesan multikulturalisme tak mampu membaca permasalahan yang ditinggalkan oleh tatanan masyarakat kolonial sehingga pengarang-pengarang besar seperti Remy Sylado dan Sindhunata harus 208 ‘memanfaatkan’ symptom-symptom yang sama sebagai alternatif untuk menarasikan kondisi masyarakat Cina di Indonesia. Setelah melihat symptom-symptom yang ada, pertanyaannya, ideologi seperti apakah multikulturalisme ini? Bagaimana cara pandangnya atas kekerasan dan kondisi masyarakat Cina di Indonesia? Jika melihat sejenak ke atas, kita melihat bahwa narasi utama yang diajukan oleh dua novel di atas adalah narasi yang mengedepankan posisi masyarakat Cina sebagai korban dan narasi tentang bagaimana ekspresi kultural masyarakat korban tadi harus dirayakan. Dengan narasi utama semacam itu, tampaknya yang menjadi dasar ‘gerakan’ multikulturalisme adalah kekerasan yang sifatnya subyektif – berdasarkan konseptualisasi Zizek. Dalam Putri Cina, kekerasan yang menjadikan masyarakat Cina sebagai korban adalah kekerasan fisik e.g. pengejaran, perusakan properti, pembunuhan, perkosaan etc. dan penghilangan peran dalam sejarah. Begitu juga yang dapat ditemukan dalam Ca Bau Kan meskipun penghilangan peran di novel Remy Sylado ini berada lebih di tataran politik yang diceritakan lewat perjuangan Tan Peng Liang sebagai pemasok senjata pada pasukan pro-kemerdekaan Indonesia. Kekerasan fisik dan penghilangan dari sejarah tersebut adalah bagian dari kekerasan subyektif karena keduanya berangkat dari sebuah standar yang menganggap bahwa dua hal tersebut tak dapat diterima dan merupakan sebuah kejahatan kemanusiaan. Keduanya merupakan kejahatan yang berusaha menghilangkan eksistensi sebuah kelompok masyarakat i.e.kejahatan yang menolak kehadiran masyarakat Cina sebagai subyek. Di sisi yang lain, multikulturalisme tidak memperhatikan kekerasan obyektif baik simbolik maupun sistemik. Multikulturalisme tidak menyoroti konstruk yang membuat subyek tadi ada apalagi menanggapinya sebagai sebuah kekerasan e.g. konstelasi ekonomi kolonial atau Orde Baru dengan akumulasi kapitalnya. Dengan kata lain, jika kekerasan subyektif – yang menjadi sorotan utama multikulturalisme – mendefinisikan sebuah tindakan sebagai sebuah kekerasan karena ia melanggar aturan, di sisi lain, kekerasan obyektif mendefinisikan aturan tadi sebagai sebuah kekerasan 209 juga karena, pada dasarnya, aturan tersebut yang ‘menjadikan’ sebuah tindakan tadi kekerasan. Salah satu bentuk dari kekerasan obyektif adalah kekerasan simbolik – kekerasan yang terkait dengan tanda dan sistem pemaknaannya. Di luar narasi Cina sebagai korban kekerasan fisik dan perayaan yang menjadi fokus utama, penokohan tokoh-tokoh Cina di dua novel di atas sangat kental nuansa ekonomisnya dan terkesan stereotipikal seperti telah saya bahas sebelumnya. Stereotip masyarakat Cina yang kaya raya karena memiliki usaha besar sama sekali tidak coba untuk dibongkar dalam dua novel di atas. Tidak ada sejarah atas posisi masyarakat Cina tersebut. Tidak ada usaha usaha membangkitkan kontradiksi terhadap gambaran Cina di kepala para pembaca. Bentuk kedua dari kekerasan obyektif yaitu kekerasan sistemik juga tidak tampak dipermasalahkan dalam dua novel di atas. Ideologi-ideologi dari masa lalu dengan penataan sosio-ekonomis-nya yang mewariskan permasalahan identitas Cina untuk masa kini tidak mendapatkan ruangnya. Contoh terbaik untuk menunjukkan kondisi tersebut ada pada novel Ca Bau Kan. Di sebuah kesempatan hampir di akhir novel, ada sebuah cerita yang menempatkan posisi ekonomi masyarakat Cina tadi sebagai sebuah sumbangan dan bukan hasil kekerasan. Hal tersebut tampak dari sebuah pidato perayaan kemerdekaan oleh sepupu pribumi Tan Peng Liang, Soetardjo Rahardjo, yang merayakan sumbangan sepupu Cina-nya dengan kata- kata: “[d]oa kita semua, semoga saudara kita Tan Peng Liang mencapai sukses, dan menjadi sokoguru perekonomian bangsa bagi pembangunan Indonesia. ” 171 Tepat di kutipan tersebut, penanda ‘Cina’ dimaknai sebagai sekelompok orang yang pandai berbisnis dan merupakan penyokong ekonomi Indonesia dan bukan kelompok kultural tertentu – sebuah bentukan dan pemaknaan khas Orde Baru dengan pemanfaatan warisan dari masa kolonial yang tak dikritisi. Dengan pemaknaan-ulang multikulturalisme melalui symptom-symptom kedua novel tersebut, kita mengetahui sebuah lubang menganga dalam multikulturalisme ketika berfungsi sebagai sebuah ideologi. Kini kita mengerti kemana harus 171 Lih., Sylado, 2001, hal. 381 210 mengarahkan perhatian untuk melampaui ideologi semacam itu. Pembahasan lebih lanjut mengenai penataan ekonomi dalam ideologi-ideologi yang lalu sepertinya harus dikaji lebih jauh. Sebelum melangkah lebih jauh mengenai bagaimana kita harus menanggapi pengolahan hasrat dalam multikulturalisme, kita harus bertanya ‘bagaimana lubang sebesar itu menjadi tak terlihat?’ Inilah yang akan dibahas di bagian selanjutnya. A.4.b. Fantasi multikulturalisme Jika saya, sebagai peneliti yang mengkaji novel- novel, melihat ‘keanehan’ – symptom-symptom tadi - pada narasi-narasi di atas tentu hal tersebut karena saya memiliki versi realita yang berbeda dengan para pengarang di atas. Mungkin ketika para pengarang di atas melihat tesis ini nantinya, mereka akan melihat keanehan-keanehan juga di dalamnya. Yang akan saya bahas di bagian ini adalah bagaimana saya tidak dapat melihat keanehan dalam tesis ini sebagaimana para pengarang tersebut tak melihat keanehan di dalam narasi yang mereka ciptakan. Versi realita yang saya bicarakan di atas dekat dengan sebuah konsep dalam psikoanalisa yang disebut sebagai fantasi – sebuah konsep yang hampir mustahil untuk tidak dibicarakan ketika kita membicarakan ideologi melalui mata Zizek. Kedekatan dua konsep tersebut akan terjelaskan dengan kutipan di bawah ini: “ in its ideologi-pen. basic dimension it is a fantasy-construction which serves as a support for our ‘reality’ itself: an ‘illusion’ which structures our effective, real social relations and thereby masks some insupportable, real, impossible, kernel conceptualized by Ernesto Laclau and Chantal Mouffe as ‘antagonism’: a traumatic division which cannot be symbolized. ” 172 Artinya, bagi Zizek dan penelitian ini, setiap ideologi memiliki versi realitanya sendiri dalam bentuk fantasi. Tanpa fantasi tersebut yang menyokongnya, ideologi akan hilang karena tidak akan diamini dan diikuti oleh subyek. Multikulturalisme, tak terkecuali, saya kira juga memiliki fantasinya sendiri; sebuah bangunan gambar yang membuat para pengarang ‘melupakan’ kekerasan mendasar seperti ketimpangan sosial. Di titik 172 Lih., Ibid., Zizek, The Sublime Object of Ideology, 1989, hal. 45 211 inilah pentingnya memahami symptom-symptom di atas dengan menggunakan konsep fantasi. Ketertindasan kultural sebagai obyek a Di bukunya, Zizek menjelaskan perbedaan yang ada antara Marxisme dengan psikoanalisa ketika melihat hubungan antara ideologi dengan ‘kenyataan’ yang ditutupinya. Jika, menurutnya, Marxisme menekankan bahwa ideologi membuat subyeknya tak mampu melihat kenyataan karena tertutupi oleh ideologi itu sendiri, psikoanalisa memiliki pandangan yang satu langkah ke depan: the relationship between fantasy and the horror of the Real it conceals is much more ambiguous than it may seem: fantasy conceals this horror, yet at the same time it creates what it purports to conceal, its repressed point of reference are not the images of the ultimate horrible Thing, from the gigantic deep-sea squid to the ravaging twister, phantasmic creations par excellence?? 173 Artinya, selain mengganggu pandangan subyeknya, dalam fantasi, ideologi membangun versi kenyataannya sendiri. Dan kenyataan tersebut berisi rumusan masalahnya sendiri dan tanggapan yang harus dilakukan atas masalah tersebut e.g. di dalam fantasi kita mendapatkan obyek hasrat ‘baru’ yang untuk menautkan tindakan-tindakan yang kita ambil. Di sini jouissance subyek diarahkan dan subyek menjadi budak jouissance pemberian ideologi tersebut. Gestur dalam dua novel di atas yang menguak symptom-symptom yang ada adalah ketika narasi dipenuhi dengan penempatan masyarakat Cina sebagai korban serta penjabaran ekspresi kultural mereka dan, di saat yang sama, seakan-akan menghindari penjabaran kekerasan obyektif yang berada dalam wilayah ekonomi. Gestur mengulang- ulang dan menghindar tersebut, bagi saya, menunjukkan bagaimana ketimpangan ekonomi hasil kekerasan obyektif tadi adalah ‘luka’ yang paling membekas di dua novel di atas. Akan tetapi, pengulang-ulangan pembangunan tokoh melalui ekspresi kultural dan penempatan masyarakat Cina sebagai korban menunjukkan obyek hasrat baru yang 173 Lih., Zizek, The Plague of Fantasies, 2008, p. 6 212 digunakan oleh multikulturalisme untuk mewadahi ‘luka’ tadi. Dengan kata lain, Multikulturalisme, yang memiliki penekanan pada perayaan ekspresi cultural serta perayaan posisi korban, membuat para pengarang tersebut menokohkan tokoh-tokoh Cina-nya melalui agama, bahasa, makanan, perayaan dan kekerasan fisik yang dialami. Diulang-ulangnya narasi tentang ekspresi kultural ini adalah bukti adanya jouissance - yang dibangun dalam fantasi multikulturalisme ketika mengidentifikasi masyarakat Cina di Indonesia; sebuah jouissance yang menulis-ulang hasrat subyek para pengarang. Hal ini tentu berkaitan dengan pembacaan novel-novel tersebut terhadap sikap Pemerintah Kolonial Belanda dan Orde Baru. Sebagai contoh, kesemuanya novel tersebut setuju bahwa masa Orde Baru adalah masa-masa gelap bagi masyarakat Cina karena penindasan kultural yang terjadi. Itulah yang paling membekas di dalam tokoh- tokoh novel tersebut. Itulah “horror” versi multikulturalisme yang menutupi “horror” yang sesungguhnya. Jika kita lihat di Ca Bau Kan, narasi lebih banyak menjelaskan ekspresi-ekspresi kultural khas Cina daripada menjelaskan tentang posisi tokoh-tokoh Cinanya yang ke semuanya merupakan pemilik bisnis besar. Sejarah bisnis masyarakat Cina tersebut tampak terlupakan justru karena hal tersebutlah yang merupakan kengerian sebenarnya – apalagi mengingat kejadian mengerikan di tahun 1998 yang sebenarnya adalah dampak dari kekerasan sistemik di masa yang lalu; sebuah hal yang menempatkan masyarakat Cina satu garis di atas pribumi. Namun karena penindasan kultural adalah titik acuan obyek a untuk mendef inisikan kata “horror”, narasi Ca Bau Kan menumpuk banyak informasi seputar ekspresi masyarakat Cina. ‘Keuntungan’ masyarakat Cina yang dimulai sejak masa kolonial dan kemudian dibudidayakan kembali oleh Orde Baru. Di novel lainnya, Putri Cina, narasi yang berisi lamentasi si Putri Cina menjadi mood keseluruhan cerita. Kesedihan tokoh Putri Cina sebagai perempuan Cina di Indonesia adalah pengendali narasinya. Hal tersebut terjadi karena pembacaan atas Orde Baru yang semata-mata menindas masyarakat Cina tadi sehingga si Putri Cina dengan gundah-gulananya memproyeksikan dirinya sebagai korban. 213 Padahal, seperti telah saya ungkap di atas, posisi tokoh Putri Cina – seperti halnya Giok Tien yang juga perempuan Cina yang memproyeksikan dirinya sebagai korban - adalah anggota kerajaan yang jelas berada di posisi yang menguntungkan dibandingkan dengan, katakanlah, rakyat pelaku kekerasan yang haus darah. Tidak terelakkan lagi, fantasi multikulturalisme adalah tabir yang menutupi kontradiksi tersebut dengan menyajikan posisi ‘korban’ sebagai obyek hasrat tokoh-tokoh Cina di Putri Cina. Hasilnya tokoh-tokoh Cina di novel tersebut terus membaca dirinya melalui obyek hasrat berupa posisi korban tersebut. Di titik ini fantasi multikulturalisme benar-benar “creates what it purports to conceal” seperti kata Zizek. Meskipun, narasi tentang penyebab kekacauan sebenarnya muncul seperti posisi ‘diuntungkan’ masyarakat Cina namun obyek a yang muncul tak dapat mengakomodasinya dan memberinya makna. Selain membuat para subyek tak dapat lagi membaca permasalahan mendasar berupa ketimpangan ekonomi tadi, fantasi yang mengedepankan perayaan kultural sebagai jalan keluar untuk kesetaraan membuat para subyek berpikir bahwa sisi kultural sama sekali tidak berkaitan dengan sisi ekonomi yang merupakan dasar dari pergerakan di wilayah kultural. Sebagai buktinya, tuntutan yang ada di dua novel di atas adalah tuntutan atas pengakuan sumbangan kultural, yang harapannya akan membuat masyarakat Cina tak lagi menjadi korban dari penghilangan sejarah, yang tidak diikuti dengan tuntutan keadilan ekonomi. Di Putri Cina memang sempat disebutkan bagaimana tokoh Putri Cina menyesalkan kaumnya yang selalu hanya mencari harta dengan terus-menerus menjadi pedagang dan tidak mempedulikan kondisi sekitar. Namun, yang menjadi titik berat di bagian tersebut adalah menjadi pribadi yang penuh kepedulian dan bukan bahwa posisi mereka sebagai pedagang tersebut merupakan bagian dari kekerasan sistemik yang penuh ketimpangan. Juga tidak disebutkan bahwa hal tersebut adalah penghambat bagi leburnya konsep pribumi-non-pribumi. Yang ditekankan hanyalah bahwa masyarakat Cina menjadi target kekerasan fisik karena hal tersebut. Jadi, gamblangnya, ‘saran’ si Putri Cina agar masyarakat Cina tak hanya menjadi pedagang, hanya dimaksudkan agar mereka tak lagi dikejar-kejar atau dibakar 214 tokonya dan bukan pencarian keadilan bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, di dalam pandangan tersebut para pelaku kekerasan tidak dipandang juga sebagai korban sebuah sistem. Ketika kehidupan kultural dipandang terpisah dengan sistem kategorisasi ekonomi masyarakatnya, fenomena superioritas dari masa kolonial yang kita temukan dalam DBD tidak akan terpecahkan. Menghasrati identitas Cina dengan esensialis dan ahistoris Di titik ini – dimana telah ditemukannya obyek a versi multikulturalisme yang mengesampingkan permasalahan yang lebih mendasar ini – kita juga menemukan sisi lain dari fantasi yang menunjukkan bagaimana sebenarnya politik identitas untuk identitas Cina a la multikulturalisme dalam karya sastra. Di bagian skema fantasi ini, Zizek menjelaskan bahwa “ fantasy mediates between the formal symbolic structure and the positivity of the objects we encounter in reality - that is to say, it provides a schema according to which certain positive objects in reality can function as objects of desire, filling in the empty places opened up by the formal symbolic structure. ” 174 Dengan kata lain, fantasi menyambungkan obyek yg subyek temui dengan tatanan simbolik dengan cara membuatnya menjadi obyek hasrat sehingga jarak antara benda dengan tatanan simbolik sebagai lahan pemaknaan jadi hilang. Singkatnya, fantasi membuat kita secara otomatis memiliki sebuah pemaknaan tentang ‘Cina’ sehingga kita tak lagi mempertimbangkan identitas yang berdiri di hadapan kita tersebut. Dalam karya sastra proses penautan sebuah tokoh ke sebuah identitas berada di tataran penokohan – bagaimana sebuah tokoh diberi sifat. Di Ca Bau Kan, tokoh-tokoh Cina-nya selain dibangun berdasarkan ekspresi kulturalnya – terutama melalui dialeknya – juga disertai dengan penokohan yang bersifat ekonomis. Anehnya, sifat ekonomis yang diberikan pada tokoh-tokoh Cina ini serupa dan buruk; sesuatu yang aneh mengingat novel ini merupakan bagian dari usaha untuk melawan diskriminasi 174 Ibid., hal. 7 215 yang ada seperti ditulis dengan jelas di bagian sekapur sirihnya. Sebagai contoh, kali ini dari Ca Bau Kan, Tan Peng Liang yang asal Sunda adalah seorang rentenir yang kikir dan gemar menyiksa para ‘pelanggan’-nya. Tan Peng Liang yang asal Semarang – tokoh utama novel ini – meskipun terlibat dalam perjuangan namun sebagai seorang pengusaha, ia melakukan kecurangan dengan mencetak uang palsu dan menipu. Kemudian para anggota Kong-koan ,terutama Oey Eng Goan, adalah orang-orang yang terhormat tapi mampu melakukan tindakan kejahatan untuk membuat usaha Tan Peng Liang si tokoh utama bangkrut dengan membakar gudang miliknya. Di sini saya melihat usaha pengangkatan identitas kultural masyarakat Cina yang dilakukan dengan mendalam – lewat penjabaran mengenai dialek yang berbeda-beda – diikuti dengan penokohan yang membenarkan stereotip yang telah ada di sebagian besar kepala masyarakat Indonesia. Hal tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa secara inheren – untuk tidak mengatakan secara rasial – masyarakat Cina memiliki satu sisi yang ‘berbahaya’ untuk didekati. Dengan penokohan – pengarahan hasrat untuk memaknai identitas Cina – seperti ini tampaknya pengangkatan identitas kultural masyarakat Cina melalui multikulturalisme tidak menghilangkan warisan identitas obyek a Cina Orde Baru yang melarang masyarakat Cina berada di luar wilayah perdagangan. Tokoh Cina yang dilihat – lantas dibangun - oleh Remy Sylado adalah tokoh Cina sebagaimana Orde Baru namun dengan sentuhan kultural lebih banyak. Dengan kalimat sederhana – dan mungkin sedikit menyakitkan – kita harus mengenal dan menghargai ekspresi kultural masyarakat Cina namun kita juga harus hati-hati dengan sisi lainnya. Dengan cara memaknai sosok Cina yang kita hadapi seperti di atas, fantasi multikulturalisme gagal memaknai kerumitan identitas Cina yang sebenarnya ada di Indonesia. Dalam fantasi multikulturalisme, identitas Cina selalu mereka yang berbahasa dan bertindak ‘Cina’. Mereka yang tak berbahasa dan bertindak ‘Cina’ akan tetap dimaknai dengan sama karena multikulturalisme tidak menyediakan tempat lahan pemaknaan lain. Bagaimana dengan orang-orang yang secara biologis memang Cina namun tak memiliki toko? Atau bagaimana multikulturalisme melihat kondisi 216 sebenarnya dari seorang Cina yang sedari lahir beragama Islam dan tidak merayakan Sincia lagi? Identitas-ide ntitas Cina yang ‘aneh’ tersebut dapat dipastikan dengan segera diidentifikasi ke dalam stereotip seperti yang terus dibawa oleh multikulturalisme. Hal tersebut jelas membuat identitas seseorang seperti tak bergerak kemanapun. Sederhananya, multikulturalisme memiliki pandangan yang esensialis dan ahistoris terhadap sebuah identitas karena penekanan berlebihannya pada sisi kultural dan meletakkan di atas faktor-faktor mendasar seperti ekonomi. Di titik ini, fantasi yang disediakan multikulturalisme dekat dengan konsep perversif. Kondisi pervesif adalah kondisi ketika subyek tidak memasuki tatanan Simbolik dengan baik. Karenanya obyek hasrat subyek pervert belum berhasil dibahasakan-ulang dalam tatanan simbolik – sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Walhasil, subyek masih terus mengejar obyek a dalam bentuk terdahulunya dan terkadang mengacuhkan norma sosial tatanan simbolik. Menggunakan bahasa Zizek sendiri, “the perverse ritual stages the act of castration, of the primordial loss which allows the subject to enter the symbolic order. Or - to put it more precisely - in contrast to the normal subject, for whom the Law functions as the agency of prohibition which regulates access to the object of his desire, for the pervert, the object of his desire is law itself - the Law is the Ideal he is longing for, he wants to be fully acknowleged by the Law, integrated into its functioning …The irony of this should not escape us: the pervert, this transgressor par excellence who purports to violate all the rules ofnormal and decent behaviour, effectively longs for the very rule of Law. ” 175 Dari kutipan di atas terlihat bahwa fantasi adalah sebuah penantian agar si subyek yang berfantasi diberi tata cara oleh tatanan simbolik untuk melampaui fantasi yang ia miliki saat ini. Hal tersebut terlihat dalam fantasi Cina yang dibangun dalam multikulturalisme. Fantasi identitas Cina yang terus diisi dengan figur-figur yang meskipun beragam di sisi kultural namun seragam di sisi ekonomi seperti membutakan diri dari kenyataan bahwa identitas Cina di Indonesia sangat beragam. Fantasi tersebut adalah fantasi yang masih percaya bahwa stereotip adalah sebuah identitas. Subyek 175 Lih., Zizek, The Plague of Fantasies, 2008, p. 17 217 dengan fantasi multikulturalisme seperti menunggu diberi Hukum yang memberitahunya bahwa masyarakat Cina di Indonesia tidak mungkin masuk ke dalam pengelompokkan identitasnya. Kesimpulan singkat dari bagian ini adalah bahwa multikulturalisme hanya mempertimbangkan kekerasan subyektif dalam gerakan dan konsep-konsepnya. Segala permasalahan adalah permasalahan perbedaan ekspresi kultural serta kesetaraan atasnya. Dan penekanan tersebut berangkat dari pandangan bahwa identitas bukanlah sebuah bentukan karena identitas telah ada dan harus dirayakan. Multikulturalisme tidak mempertimbangkan kontradiksi-kontradiksi mendasar seperti ketimpangan sosial dan ekonomi yang sesungguhnya merupakan faktor pembentuk identitas juga karena dalam ideologi ini ekspresi kultural tidak ada hubungannya dengan sistem ekonomi yang dijalankan. Jadi, perayaan a la multikulturalisme sebenarnya adalah perayaan senyap atas ketimpangan sosial dan ekonomi warisan kolonial dan Orde Baru. A.5. Setelah usainya perayaan Sampai di sini, kita telah mengetahui bagaimana multikulturalisme memonopoli cakrawala naratif dua novel dari Indonesia pasca-Orde Baru sekaligus cara dua karya tersebut meloloskan diri melalui symptom-symptom-nya. Di bagian menjelang akhir ini, saya ingin melihat dua karya lain yang saya pikir lebih memiliki ‘jarak’ dengan multikulturalisme. Dua karya di bawah ini – Dimsum Terakhir dan Acek Botak – bagi saya mampu lebih membahasakan hal-hal yang di dua novel sebelumnya hanya menjadi symptom. Saya kira kita akan mendapatkan alternatif yang menarik dari dua novel berikut untuk melihat kembali permasalahan dengan identitas Cina di Indonesia. A.5.a. Dimsum Terakhir: usaha untuk menyasar kekerasan obyektif Sepintas, kita akan menemukan kemiripan fokus narasi Dimsum Terakhir dengan Ca Bau Kan dan Putri Cina. Narasi yang menempatkan masyarakat Cina 218 sebagai korban kekerasan fisik dan pelarangan ekspresi kultural dapat dengan mudah kita jumpai. Sebagai contoh untuk penarasian masyarakat Cina sebagai korban pelarangan adalah pengalaman Siska ketika berada di Hong Kong dan berinteraksi dengan penjaja makanan yang jelas berbahasa Cina dengan dialek Kanton, ia merasa gusar tentang kenyataan bahwa ia tidak mampu berbahasa Cina dengan dialek apapun – sesuatu yang ia anggap telah menjadi pergunjingan atas orang Cina di Indonesia. 176 Di sana jelas terlihat bahwa Siska merasa sebagai korban dari penindasan kultural Orba yang melarang penggunaan dan pembelajaran Bahasa Cina, dengan dialek apapun, di Indonesia. Contoh lain adalah pengalaman Novera ketika ia sakit di hari Imlek. Nung tidak memperbolehkannya untuk tidak datang ke sekolah karena ia takut dianggap ‘meliburkan’ anaknya karena perayaan Imlek yang nantinya pasti membuat Novera terkena sanksi. 177 Pengalaman Novera ini adalah bentuk lain kekerasan atas identitas Cina yang tidak dilarang merayakan hari besarnya. Lebih lanjut, kali ini terkait dengan penarasian masyarakat Cina sebagai korban kekerasan fisik, pengalaman Siska muncul dalam bentuk ingatan tentang kerusuhan Mei 1998 ketika ia sedang di dalam taxi menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Yang ia ingat dari masa tersebut adalah kenyataan bahwa toko elektronik ayahnya yang menghidupi mereka semenjak kecil habis dijarah dan dibakar. Ia mengingat dengan nada penuh kemarahan bahwa “[h]anya tiga jam yang dibutuhkan untuk menguras habis isi toko. Hanya tiga jam yang dibutuhkan untuk mengubah Papa yang mempunyai penghasilan tetap menjadi Papa yang tidak punya apa-apa. Bangkrut mendadak. ” 178 Semua pengalaman tersebut kemudian semacam disimpulkan oleh narator novel ketika mengomentari kondisi Rosi dengan singkat dan mengerikan: “ [l]ebih gawat lagi, dia dapat menyandang predikat teraneh di antara yang aneh. Paling minoritas diantara yang minoritas. Sudah Cina, transgender pula. Mana yang lebih gawat 176 Ng, 2006, p. 86 177 Ibid., hal. 218 178 Ibid., hal. 265 219 daripada itu? Katanya, orang Cina di Indonesia mempunyai tiket gratis pergi ke neraka karena terlalu tertekan ” 179 Terlihat dari empat pengalaman dari empat perempuan Cina tersebut bahwa novel ini setuju bahwa masyarakat Cina di Indonesia adalah korban dari beragam kekerasan subyektif. Di tahap pertama, wacana korban yang ada di Dimsum Terakhir ini mirip dengan narasi Putri Cina. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat narasi korban Dimsum Terakhir lebih konstruktif dibandingkan dengan Putri Cina. Hal tersebut adalah kenyataan bahwa Clara Ng tidak memukul rata ketika melihat sejarah. Sindhunata dengan mudahnya menyejajarkan kekerasan yang terjadi atas masyarakat Cina dari waktu ke waktu. Bagaimana mungkin menyamakan apa yang terjadi di tahun 1740 dan 1998? Secara sekilas saja, hal tersebut tidak masuk akal mengingat di tahun 1740 pelakunya adalah tentara V.O.C. dan bukan perusuh yang datang entah darimana seperti di tahun 1998. Clara lebih menyadari keterbatasan pengetahuannya tentang sejarah sehingga tidak mengumbar ‘dongeng’ seperti Sindhunata. Artinya, narasi korban dalam Dimsum Terakhir tidak dalam rangka perayaan posisi korban. Narasinya yang ‘secukupnya’ semata-mata dimaksudkan untuk penokohan, pemberian pengalaman pada pembacanya sekaligus menitikberatkan bahwa hal-hal semacam itu tak boleh terulang kembali. Di sisi penokohan melalui ekspresi kultural, nada perayaan juga tidak ditemui padahal penjelasan bentuk-bentuk kebudayaan khas Cina Indonesia mendapatkan ruang yang cukup banyak: ada penjelasan mengenai penanggalan penting bagi masyarakat Cina, kebiasaan-kebiasaan di hari-hari besar pakaian, makanan dan lain-lain, dialek khas, etc. Namun semua hal tersebut tidak dinarasikan dengan mood perayaan. Banyak penjelasan ekspresi kultural tersebut yang justru diikuti dengan cerita tentang resistensi – terutamanya oleh empat anak perempuan Nung – terhadap ekspresi-ekspresi tadi. 179 Ibid., hal. 45 220 Beberapa contohnya adalah keengganan Rosy di masa kecil untuk berdandan ketika hari besar, perdebatan Rosy tentang rezeki dengan ibunya, 180 kebencian Siska pada hujan meski tahu hujan selalu dianggap berkah oleh ibunya yang penganut ajaran Buddha teguh, 181 keinginan Indah untuk berpindah agama yang dibalut melalui perdebatan seputar bolehkah ia kemudian berdoa memakai hio dan lain-lain. Narasi semacam itu jelas menunjukkan bahwa Dimsum Terakhir memiliki intensi yang berbeda dengan dua novel sebelumnya dimana pengenalan dan pengakuan atas ekspresi kultural masyarakat Cina ditonjolkan dan dijadikan jalan keluar untuk kekerasan; sebuah hal yang menunjukkan bagaimana masyarakat Cina adalah korban dan pelakunya selalu dari luar. Di Dimsum Terakhir, para korban tadi sekaligus juga para pelaku. Clara Ng jauh lebih dewasa dengan menunjukkan bagaimana ide tentang Cina yang dipercaya dan dijalankan baik oleh orang Cina sendiri maupun, katakanlah, pribumi adalah masalah utamanya. Clara Ng menunjukkan bagaimana identitas kultural Cina terkadang merupakan kekerasan bagi mereka sendiri. Di titik ini, Clara Ng menunjukkan dengan sangat baik bagaimana wacana dominan adalah masalah utamanya dan bukan semata- matanya penyingkiran negara terhadap identitas Cina. Pembacaan saya, kontradiksi-kontradiksi internal masyarakat Cina ini yang sengaja dimunculkan oleh Clara Ng adalah usahanya untuk tidak terjebak pada kekerasan subyektif yang menjadi fokus utama di dua novel sebelumnya. Lebih jauh, hal baru yang dapat kita temui di Dimsum Terakhir dan tidak ditemukan di novel-novel sebelumnya adalah sudut pandang yang meletakkan posisi sebagian besar masyarakat Cina sebagai pedagang – sebuah identitas yang dibentuk dan disuburkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Orde Baru – terutama di daerah-daerah yang biasa disebut Pecinan adalah bagian dari kekerasan. Ini menarik mengingat dengan sudut pandang tersebut Clara Ng tidak hanya merujuk pada kekerasan subyektif namun juga kekerasan obyektif – di kasus ini kekerasan sistemik. Meskipun tidak ditulis dengan 180 Lih., Ibid., hal. 46 181 Lih., Ibid., hal. 58 221 gamblang bahwa posisi masyarakat Cina yang rata-rata pedagang merupakan hasil pembentukan kelas oleh Pemerintah Kolonial, akan tetapi posisi tersebut dipandang oleh empat tokoh utama sebagai sebuah posisi yang mengurung identitas mereka. Di dalam novel Dimsum Terakhir, tidak satu pun dari ke empat anak perempuan Nung yang menetap di rumah dan melanjutkan bisnis keluarga bahkan dua dari empat anak perempuan tadi pekerjaannya sama sekali tidak berhubungan - paling tidak tidak secara langsung – dengan perdagangan Novera yang guru TK dan Indah yang penulis. Penolakan ke empat perempuan tersebut menunjukkan bagaimana identitas Cina di Indonesia dibangun berdasarkan sebuah economic base dan mengutak-atik dasar tersebut berarti menggoncangkan identitas mereka. Dengan begitu, kontradiksi- kontradiksi yang sengaja dibangun ini juga merupakan penolakan menjadi satu identitas dengan tokoh-tokoh Cina di Ca Bau Kan dan Putri Cina. Singkat kata, Clara Ng memecah identitas Cina yang ada. Ia membuat kata ‘Cina’ harus menemukan maknanya lagi – obyek a baru -selain yang diberikan oleh multikulturalisme ataupun ideologi- ideologi sebelumnya. Lebih dari itu, yang terpenting, Clara Ng mampu memberi kita alternatif terhadap cara pandang multikulturalisme yang melepaskan hubungan antara kesetaraan ekonomi dan kesetaraan kultural. Empat perempuan tokoh utama novel mampu memecah identitas Cina – dengan segala resistensinya atas pendisiplinan kultural - karena mereka memiliki economic base yang berbeda dengan, katakanlah, ayahnya sebagai representasi identitas Cina yang telah mapan. Tampaknya ke-urban-an mereka menjadi kunci utamanya di sini. Bahkan, saya melihat, Clara Ng di Dimsum Terakhir tidak hanya sekedar memecah identitas Cina yang ada namun juga memberi alternatif yang ia tunjukkan melalui bentuk-bentuk kultural Cina yang dicampur dengan kondisi urban tokoh-tokoh utamanya. Bentuk terkuat identitas alternatif ini ada di adegan ketika Rosy akhirnya yang dipilih untuk memegang bendera dan memimpin upacara pemakaman Nung padahal seharusnya menurut kepercayaan yang memegang bendera adalah laki-laki. Pemilihan Rosy menandakan bagaimana ekspresi kultural Cina 222 diharuskan melanjutkan pergulatan sejarahnya dengan mengamini konteksnya, kali ini, kehidupan urban dengan mode ekonominya atau bahkan orientasi seksualnya yang beragam. A.5.b. Acek Botak dan wacana korban yang sadar stereotip Setelah membaca untuk pertama kalinya novel Acek Botak – tentu setelah membaca Ca Bau Kan terlebih dahulu – sangat mudah mudah bagi pembacanya untuk melihat banyak kesamaan antara novel tersebut dengan Ca Bau Kan. Dua novel tersebut sama-sama memiliki dua buah cerita yang menjadi pengisi alurnya: cerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Cina yang mengungkap sisi kultural mereka dan peran mereka dalam kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi bagi saya terlalu gegabah jika kita mengira bahwa keduanya memiliki pendekatan yang sama ketika mengangkat kehidupan masyarakat Cina. Ada sebuah kesadaran yang memisahkan – bahkan dengan cukup berjarak – kedua karya tersebut. Kesadaran tersebut adalah kesadaran atas stereotip terhadap masyarakat Cina. Jika di Ca Bau Kan kesadaran atas stereotip masyarakat Cina sebagai sebuah entitas ekonomi tidak begitu kentara, yang terjadi di narasi Acek Botak adalah kebalikannya. Narasi Acek Botak benar-benar berangkat dari kesadaran atas kuatnya stereotip tersebut sehingga novel ini berusaha mencari akar dan penjelasannya agar pembacanya tak terjebak ke lubang yang sama untuk ke sekian kalinya. Seperti halnya Ca Bau Kan, saya melihat Acek Botak juga memiliki wacana korban di narasinya meskipun dengan rincian yang berbeda – terutama perihal stereotip. Di sisi pengangkatan kehidupan sehari-hari dengan kulturnya, Acek Botak lebih fokus dibandingkan dengan Ca Bau Kan. Idris Pasaribu menceritakan tokoh-tokoh utamanya Keluarga Tan dari sisi perkembangan kehidupan ekonominya di berbagai masa. Bagi saya, Idris Pasaribu lebih mengerti kesadaran umum tentang masyarakat Cina yang selalu dipandang sebagai masyarakat yang pedagang dan kaya raya. Sehingga ia mengarahkan narasi novelnya ke arah yang dapat membuat pembacanya mengkritisi 223 atau bahkan melampaui kesadaran umum wacana dominan tersebut. Ia tidak sekedar merayakan apa yang tadinya haram untuk dibicarakan. Saya membaca Acek Botak dengan cukup matang melampaui euforia dan histeria paska-Orde Baru – sebuah hal yang membuat narasi novel ini lebih fokus dan tidak berlebihan ketika menghidupkan tokoh-tokoh Cina-nya. Sebagai contoh, Acek Botak tidak terlalu rinci ketika membicarakan sisi kultural tokoh-tokoh Cinanya. Dalam penarasian terkait dengan prosesi doa yang dilakukan Bun Nyan atau Atak, Idris Pasaribu tidak lantas menjelaskan detil-detil tentang Konghucu atau perangkat lengkap dalam doanya. Ia hanya menjelaskan kepada siapa mereka berdoa dan latar belakangnya. Di satu adegan, ketika baru beberapa hari tiba di Sumatra, Tan Bun Nyan dan keluarganya, yang telah selesai membangun rumah dan membuat ladang, menuju ke kuil Teh Cu Kong untuk berdoa kepada Dewa Bumi karena mereka adalah petani dan Dewa Bumi adalah penaung bagi mereka para pengolah tanah. Dijelaskan juga di sana, ia mengeluarkan patung Dewa Bumi tersebut dan arak serta dupa sebagai persyaratan dalam berdoa. 182 Penjelasan berhenti di sana. Ia tidak membuat glosarium selayaknya dalam Ca Bau Kan atau memberi informasi tentang istilah-istilah dalam Bahasa Mandarin atau dialek lainnya seperti pada Putri Cina. Panjang dan kedalaman narasi yang kurang lebih sama juga ditemui di kesempatan berdoa lainnya yang kali ini kepada Dewa Langit. Di adegan ini, hanya diceritakan ia meletakkan sebuah papan sarana doa dan menyembahnya dengan dupa. 183 Karena bukan merupakan fokus utamanya, adegan- adegan ritual tersebut tidak diperdalam atau diperpanjang. Kedalaman narasi yang berbeda jika kita bandingkan dengan deskripsi kehidupan ekonomi keluarga Tan Bun Nyan. Cara keluarga tersebut bertahan hidup diceritakan dengan pelan dan mendalam dari masa ke masa. Di awal hidup baru di Sumatra, keluarga tersebut bertahan hidup dengan bercocok tanam membuka ladang kemudian menjual hasil panen sayurannya ke pasar. Mereka juga berternak yang 182 Pasaribu, 2009, p. 13 183 Ibid., hal. 16 224 hasilnya juga dijual ke pasar. Di akhir masa kekuasaan Belanda hingga masa kekuasaan Jepang, Atak, yang saat itu telah cukup dewasa, berjualan keliling perkampungan dan perkebunan secara mindring. Sedang A Hong, yang tadinya numpang hidup di keluarga Bun Nyan, juga berternak bebek. Setelah masa kemerdekaan, Atak membuka warung kelontong dan juga kedai kopi. Penjelasan tersebut juga dilengkapi dengan narasi tentang tantangan-tantangan yang dihadapi keluarga tersebut seperti sepinya pembeli, perintah untuk turut latihan dalam Heiho dan seringnya razia di masa awal kekuasaan Jepang. 184 Bahkan petuah-petuah dalam dunia perdagangan juga digarap di novel ini di adegan-adegan obrolan antara Bun Nyan dengan Atak atau Bun Nyan dengan A Hong. Contohnya adalah ketika Bun Nyan menasehati Atak tentang tata cara orang berdagang sebagaimana telah saya kutip di Bab III. Alasan dibalik pendalaman semacam itu tidak lain adalah menunjukkan asal- muasal dan akar dari stereotip ekonomis terhadap masyarakat Cina. Idris Pasaribu ingin menunjukkan bagaimana masyarakat Cina, terutama pedagangnya, dapat mencapai posisi identitas yang ada di wacana dominan dalam masyarakat. Idris Pasaribu hendak menunjukkan bahwa tidak setiap pedagang Cina – apalagi yang lantas menjadi sukses – adalah pedagang yang curang dan berkomplot dengan penguasa. Melalui narasi seperti di bawah ini: “ [p]ekerjaan bertanam sayur-mayur, membersihkannya, mencabutinya setelah ditanam selama 28 hari umur sayuran lalu menjualnya. Atak, istrinya, inu dan ayah mertua serta tiga adik iparnya Atak bekerja keras. Melihat Atak sangat rajin tak bisa diam itu, membuat mertuanya tak bisa diam juga. ” 185 Idris Pasaribu membangun citra pekerja keras dan rajin tadi. Harapannya setelah pencerahan ini, pandangan pembacanya terhadap masyarakat Cina berubah seiring dengan memudarnya stereotip di pikiran mereka. Idris Pasaribu menginginkan agar para pembacanya memiliki pandangan seperti para pribumi dalam Acek Botak yang diwakilkan oleh Kartinah dan Iyem yang menyimpulkan bahwa “keluarga Bun Nyan 184 Ibid., hal. 144 185 Ibid., hal. 159 225 adalah keluarga pekerja keras dan sangat disiplin…[p]antas mereka bisa hidup dengan baik ”. 186 Pernyataan dua orang perempuan pribumi yang ditolong hidupnya oleh Bun Nyan ini kemudian membuat sebuah kesimpulan yang lebih mendasar dan filosofis yang, bagi saya, menunjukkan visi anti-diskriminasi Idris Pasaribu: ” [j]angan pandang suku dan dan sic orang apa. Yang jelas, mereka adalah manusia seperti kita juga. Mereka juga punya hati. Orang baik tetap baik. Orang jahat tetap jahat. Buktinya Parto dan para mandor adalah orang Jawa, tetapi tega-teganya memukuli orang sukunya sendiri. Demikian juga p ara centeng… ” 187 Di titik ini, pendalaman narasi tentang perkembangan ekonomi keluarga Bun Nyan memang dimaksudkan untuk membuyarkan segala stereotip terhadap masyarakat Cina dan menunjukkan bahwa tidak seharusnya siapapun itu dinilai berdasarkan sukunya. Sepertihalnya Dimsum Terakhir, Acek Botak tidak menggunakan mood perayaan ketika menarasikan bentuk-bentuk kultural Cina. Narasi Acek Botak jauh lebih tertarik pada pembongkaran kekerasan simbolik berupa stereotip atas masyarakat Cina. Dan pembongkaran stereotip berarti membuat masyarakat Cina setara dengan kelompok masyarakat yang lain. Kesetaraan di Acek Botak dibangun dengan penempatan ekonomis keluarga Bun Nyan yang rinci. Kesetaraan dalam Acek Botak bukan semata- mata kesetaraan wilayah kultural semata namun juga kesetaraan mendasar: ekonomi. Ide kesetaraan yang terlihat dalam Acek Botak salah satunya terlihat dari bagaimana Atak bergabung dengan milisi pro-Indonesia sebagai tentara biasa – tidak seperti Tan Peng Liang. Hal tersebut tentu sangat dipengaruhi economic base-nya sebagai seorang pedagang kecil yang juga petani. Tan Peng Liang tak mampu melakukannya karena ia adalah pedagang besar. Dengan konsep kesetaraan semacam itu, saya kira Acek Botak – serupa dengan Dimsum Terakhir – percaya bahwa kesetaraan kultural seperti yang ditunjukkan kawan-kawan seperjuangan Atak yang berbeda-beda latar kulturalnya disokong oleh kesetaraan ekonomi. Konsep kesetaraan ini bagi saya jauh lebih masuk 186 Ibid., hal. 174 187 Ibid., hal. 174-175 226 akal dibandingkan dengan konsep kesetaraan kultural multikulturalisme. Paling tidak, konsep kesetaraan yang diajukan novel ini mengarah pada kekerasan yang lebih mendasar. 227

BAB V Penutup

“Why are so many problems today perceived as problems of intolerance, rather than as problems of inequality, exploitation, or injustice? Why is the proposed remedy tolerance, rather than emancipation, political struggl e, or even armed struggle?” 188 Sekali lagi, saya mengulang pertanyaan dari Zizek di atas di bagian penutup ini. Pertanyaan yang diltulis Zizek tersebut adalah sebuah pertanyaan – atau mungkin gugatan – terhadap dominasi wacana multikulturalisme di dunia sekarang ini. Multikulturalisme sekarang ini hampir selalu menjadi wacana yang didengung- dengungkan ketika pembicaraan mengenai perbedaan dan penghargaan atas ekspresi kultural tertentu terjadi. Ideologi tersebut menjadi semacam pintu keluar untuk banyak pintu masuk. Bagi saya bahkan multikulturalisme bukan lagi sebuah ideologi jika dipandang dari cara orang menggunakan istilah tersebut. Multikulturalisme telah menjadi seperti simbol – dan bukan lagi satu set pemikiran dengan implikasi-implikasi teoritis dan praktis – bagi perjuangan menuju kesetaraan di tengah masyarakat yang majemuk; sebuah hal yang membuat kekritisan pada multikulturalisme sekarang ini sebagai salah satu hal tersulit untuk dilakukan. Kritis terhadap multikulturalisme dapat dengan mudah membuat kita diberi cap fundamentalis, konservatif atau bahkan fasis – cap-cap yang meskipun memiliki pemaknaan yang berbeda-beda namun tetap mengacu pada sebuah identitas yang dianggap ‘abnormal’. Itulah kekuatan yang dimiliki multikulturalisme saat ini. Di penelitian ini, yang saya lakukan adalah kembali melihat multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dan sebagai satu set pemikiran yang datang dengan dari konteks terten tu yang lantas ‘diterapkan’ juga di Indonesia. Artinya, saya mencoba melihat implikasinya ketika ideologi ini telah menjadi common sense di Indonesia; sebuah 188 Lih. Zizek, Living in the End Times, 2010 228 common sense yang sangat kuat sehingga mampu mempengaruhi narasi karya-karya sastra – wilayah yang seringkali dipandang independen. Pada dua karya dari masa reformasi – Ca Bau Kan dan Putri Cina – tampak bagaimana kesetaraan identitas pribumi dan non-pribumi yang coba dikonsepkan adalah kesetaraan kultural melalui bentuk-bentuk perayaannya . Di titik tersebut, dua karya tadi ‘dipaksa’ mengarahkan hasrat ke obyek a identitas Cina yang esensialis dan ahistoris versi multikulturalisme dengan versi sejarahnya sendiri; sebuah kondisi yang membuat narasi dua karya tersebut melupakan kontradiksi yang ada. Dengan hanya mengejar kesetaraan kultural – yang mana hanya menyelesaikan perihal kekerasan subyektif – kontradiksi di wilayah ekonomi berupa ketimpangan ekonomi hasil tatanan masyarakat sebelumnya kolonial dan Orde Baru tak terangkat. Kondisi tersebut lah yang lantas membuat narasi-narasi tentang kontradiksi ekonomi harus menepi dalam bentuk-bentuk yang symptomatic. Lebih jauh, kondisi tersebut - selain menunjukkan bagaimana sebuah karya dibentuk kesadaran naratifnya – juga menunjukkan bahwa multikulturalisme sebagai sebuah ideologi tak mampu membaca permasalahan yang sesungguhnya. Multikulturalisme tak mampu menangkap, menulis-ulang dan melampaui jejak-jejak ideologi-ideologi lalu berupa symptom-symptom di karya-karya seperti Drama di Boven Digoel dan Lucy Mei Ling. Namun yang terpenting, bagi saya, kondisi Ca Bau Kan dan Putri Cina tadi adalah seberapapun kuatnya sebuah ideologi mengungkung kesadaran kita, hal yang benar- benar ‘menggores’ subyek – seperti segregasi dan asimilasi dengan segala ketimpangan yang diciptakannya – tidak dapat dengan begitu saja digantikan. Nyatanya, meskipun multikulturalisme terlihat sangat dominan, narasi Ca Bau Kan dan Putri Cina masih dapat menyelipkan symptom-symptom yang menandakan kegagalam simbolisasi multikulturalisme atas ketimpangan ekonomi. Dengan kata lain, seberapapun dua novel tersebut berada dalam pusaran ideologi multikulturalisme, keduanya mampu meninggalkan jejak yang mengarah pada lubang logika multikulturalisme.