Penggambaran sosok musuh dalam film superhero : kritik ideologi atas Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X.

(1)

Abstrak

Cerita-cerita superhero biasa dianggap sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap masalah sosial dan cara masyarakat berfantasi untuk menghadapi masalah tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak cerita superhero yang menggambarkan ketidakmampuan superhero dalam menjawab permasalahan. Cerita-cerita itu menjadi komentar dan kritik terhadap masalah politik dan sosial. Popularitas cerita superhero semakin terangkat setelah pergantian ke abad 21, dengan ditandai menjamurnya film-film superhero Hollywood yang sering merajai pendapatan box-office. Popularitas suatu genre film menandakan adanya suatu momen sosial yang sedang terjadi.

Tesis ini berusaha membaca film superhero dan wacana yang dibawa dengan meilhat tiga contoh film superhero dari Amerika Serikat dan Indonesia, yaitu Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X. Penelitian ini berusaha melihat ideologi dalam ketiga film tersebut, dengan fokus pada sosok musuh yang digambarkan di situ. Sebelum masuk ke bagian tersebut, ketiga film superhero itu diteliti dengan metode analisis struktural naratif Roland Barthes. Analisis tersebut menjadi landasan pembacaan ideologi di tahap berikutnya, sekaligus utopia yang termasuk dalam konsep ideologi, budaya populer dengan menggunakan teori Douglas Kellner. Pembacaan itu dilakukan dengan melihat berbagai oposisi dan tema yang mengemuka dalam Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada pembangunan narasi yang antagonistik, berfokus pada sosok musuh yang berusaha dikalahkan. Ada ambivalensi yang terjadi baik dalam tokoh superhero maupun musuh. Superhero harus menempati ruang antara hukum dan kejahatan, sedangkan musuh memiliki idealisme yang ingin dibangun di masyarakat, sehingga pembedaan antara superhero dan musuh menjadi kabur. Yang ingin dibangun dari narasi semacam ini adalah harapan dapat mengatasi masalah sosial, tetapi tanpa melupakan eksplorasi agar masalah tidak hanya dipandang dari satu sisi. Hal itu juga memperlihatkan bahwa budaya media atau budaya populer tidak hanya mementingkan aspek hiburan, namun juga tidak lepas dari ideologi dan konteks sosialnya.


(2)

Abstract

Superhero stories are usually seen as an expression of disappointment of social problems and as a way for the society to fantasize of facing those problems. However, those stories are developing, showing how superheroes cannot finish the problems. Those stories become a commentary and critique on political and social issues. The popularity of superhero stories were expanding after 21st century, marked with a big number of Hollywood superhero films that rule the box-office. The popularity of a film genre is a sign that there is a social moment happening in the background.

This thesis tries to read superhero films and its discourses by examining three samples of superhero films from United States and Indonesia: Batman Begins, The Dark Knight, and Madame X. This research tries to examine the ideology in those films, focusing on the opponent represented there. The first step of the analysis is to use Roland Barthes' structural analysis of narrative on the films. This method acts as a foundation to ideological and utopian reading of popular culture using Douglas Kellner's theory. This reading is done with examining various oppositions and themes apparent in Batman Begins, The Dark Knight, and Madame X.

The result of this research shows that there is an antagonistic narrative building, focusing on the opponent that the superhero tries to defeat. There is ambivalence in the superhero and its opponent. Superheroes have to be in a space between the law and crime, and the opponents try to promote their idealism in the society, so the line between them becomes blurry. These narratives try to construct a hope of overcoming social problems, without singling out the explorations so that the problems are not seen with only one point of view. It also shows that media culture or popular culture does not only deal with entertainment aspect, but also cannot be separated with the ideology and the social context.


(3)

PENGGAMBARAN SOSOK MUSUH DALAM FILM SUPERHERO

Kritik Ideologi atas Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh :

Nicolaus Gogor Seta Dewa

116322019

Program Pasca Sarjana

Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2015


(4)

PENGGAMBARAN SOSOK MUSUH DALAM FILM SUPERHERO

Kritik Ideologi atas Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh :

Nicolaus Gogor Seta Dewa

116322019

Program Pasca Sarjana

Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2015


(5)

(6)

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Nicolaus Gogor Seta Dewa

NIM : 116322019

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

Judul : Penggambaran Sosok Musuh dalam Film Superhero: Kritik Ideologi atasBatman Begins,The Dark Knight, danMadame X Pembimbing : 1. Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J.

2. Dr. St. Sunardi Tanggal diuji : 27 Januari 2015 Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam skripsi/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 27 Februari 2015 Yang memberikan pernyataan


(8)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Nicolaus Gogor Seta Dewa

NIM : 116322019

Program : Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berjudul:

PENGGAMBARAN SOSOK MUSUH DALAM FILM SUPERHERO: KRITIK IDEOLOGI ATAS BATMAN BEGINS, THE DARK KNIGHT, DAN

MADAME X

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di: Yogyakarta

Pada tanggal: 27 Februari 2015 Yang menyatakan


(9)

Kata Pengantar

Penulisan tesis adalah suatu proses yang penuh liku dan cobaan. Akan tetapi ketika sudah berhasil melewatinya, ada kepuasan tersendiri yang juga bercampur dengan ketidakpuasan karena hasilnya sebenarnya masih bisa ditingkatkan. Yang terpenting adalah di sini saya pernah belajar melakukan latihan proses akademik yang sangat berharga. Karena itulah saya ingin bersyukur dan berterima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini, saya ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya pada pembimbing utama saya, Dr. Baskara T. Wardaya, yang selalu memberi pengarahan yang berharga dalam penulisan tesis ini, terutama dalam bentuk ide, saran, koreksi kebahasaan, dan penajaman materi sehingga tesis ini dapat lebih fokus dari bentuk awalnya. Kemudian kepada pembimbing kedua saya, Dr. St. Sunardi, yang mengajak sekaligus mengarahkan saya untuk mengeksplorasi teori dan pokok bahasan yang pada awalnya masih cukup sulit untuk saya praktikkan.

Terima kasih juga pada dosen-dosen IRB yang telah mengajarkan dan membuka wawasan saya tentang ilmu yang bagi saya masih baru sama sekali, namun begitu berkesan dan memberi cara berpikir yang berbeda: Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. Katrin Bandel, Dr. B. Hari Juliawan, S.J., Dr. Bagus Laksana, S.J., Dr. Haryatmoko, S.J., Yustina Devi Ardhiani, M.Hum., dan Prof. Dr. Agustinus Supratiknya.

Saya juga ingin berterima kasih pada teman-teman saya di IRB yang memberi pengalaman kebersamaan dan intelektual: Emmanuel Satyo Yuwono dan CB. Ismulyadi (sahabat dalam berbagi ilmu dan semangat); Abdullah Totona dan Fredrik Lamser (kawan seperguruan), Imran, Arham Rahman, mbak Kurniasih, mbak Vini Oktaviani Hendayani, alm. mbak Julia Purwantini, pak Daryadi, pak Marsius Tinambunan, Wahmuji, dan Frans Pangrante. Untuk Azizah Nurul Laily, terima kasih atas motivasi dan penyertaan sehingga saya tidak kehilangan harapan untuk menyelesaikan tesis ini. Terima kasih pula pada mbak Desi dan mas Mulyadi yang juga selalu memberi semangat dan menambah suasana kekeluargaan di IRB.


(10)

Abstrak

Cerita-cerita superhero biasa dianggap sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap masalah sosial dan cara masyarakat berfantasi untuk menghadapi masalah tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak cerita superhero yang menggambarkan ketidakmampuan superhero dalam menjawab permasalahan. Cerita-cerita itu menjadi komentar dan kritik terhadap masalah politik dan sosial. Popularitas cerita superhero semakin terangkat setelah pergantian ke abad 21, dengan ditandai menjamurnya film-film superhero Hollywood yang sering merajai pendapatan box-office. Popularitas suatu genre film menandakan adanya suatu momen sosial yang sedang terjadi.

Tesis ini berusaha membaca film superhero dan wacana yang dibawa dengan melihat tiga contoh film superhero dari Amerika Serikat dan Indonesia, yaitu Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X. Penelitian ini berusaha melihat ideologi dalam ketiga film tersebut, dengan fokus pada sosok musuh yang digambarkan di situ. Sebelum masuk ke bagian tersebut, ketiga film superhero itu diteliti dengan metode analisis struktural naratif Roland Barthes. Analisis tersebut menjadi landasan pembacaan ideologi di tahap berikutnya, sekaligus utopia yang termasuk dalam konsep ideologi, budaya populer dengan menggunakan teori Douglas Kellner. Pembacaan itu dilakukan dengan melihat berbagai oposisi dan tema yang mengemuka dalam Batman Begins,The Dark Knight, danMadame X.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada pembangunan narasi yang antagonistik, berfokus pada sosok musuh yang berusaha dikalahkan. Ada ambivalensi yang terjadi baik dalam tokoh superhero maupun musuh. Superhero harus menempati ruang antara hukum dan kejahatan, sedangkan musuh memiliki idealisme yang ingin dibangun di masyarakat, sehingga pembedaan antara superhero dan musuh menjadi kabur. Yang ingin dibangun dari narasi semacam ini adalah harapan dapat mengatasi masalah sosial, tetapi tanpa melupakan eksplorasi agar masalah tidak hanya dipandang dari satu sisi. Hal itu juga memperlihatkan bahwa budaya media atau budaya populer tidak hanya mementingkan aspek hiburan, namun juga tidak lepas dari ideologi dan konteks sosialnya.


(11)

Abstract

Superhero stories are usually seen as an expression of disappointment of social problems and as a way for the society to fantasize of facing those problems. However, those stories are developing, showing how superheroes cannot finish the problems. Those stories become a commentary and critique on political and social issues. The popularity of superhero stories were expanding after 21st century, marked with a big number of Hollywood superhero films that rule the box-office. The popularity of a film genre is a sign that there is a social moment happening in the background.

This thesis tries to read superhero films and its discourses by examining three samples of superhero films from United States and Indonesia:Batman Begins,The Dark Knight, and Madame X. This research tries to examine the ideology in those films, focusing on the opponent represented there. The first step of the analysis is to use Roland Barthes' structural analysis of narrative on the films. This method acts as a foundation to ideological and utopian reading of popular culture using Douglas Kellner's theory. This reading is done with examining various oppositions and themes apparent inBatman Begins,The Dark Knight, andMadame X.

The result of this research shows that there is an antagonistic narrative building, focusing on the opponent that the superhero tries to defeat. There is ambivalence in the superhero and its opponent. Superheroes have to be in a space between the law and crime, and the opponents try to promote their idealism in the society, so the line between them becomes blurry. These narratives try to construct a hope of overcoming social problems, without singling out the explorations so that the problems are not seen with only one point of view. It also shows that media culture or popular culture does not only deal with entertainment aspect, but also cannot be separated with the ideology and the social context.


(12)

Daftar Isi

Judul i

Persetujuan ii

Pengesahan iii

Pernyataan Keaslian iv

Pernyataan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis v

Kata Pengantar vi

Abstrak vii

Abstract viii

Daftar isi ix

Daftar Gambar xi

Daftar Tabel xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Rumusan Masalah ... 11

3. Tujuan Penelitian ... 11

4. Pentingnya Penelitian... 11

5. Tinjauan Pustaka ... 12

6. Kerangka Teoretis ... 16

6.1. Analisis Naratif dalam Kajian Budaya ... 16

6.2. Analisis Struktural Naratif Roland Barthes ... 19

6.3. Budaya Media sebagai Medan Naratif, Ideologis, dan Utopis ... 25

7. Metode Penelitian... 32

8. Sistematika Penulisan ... 33

BAB II SUPERHERO DAN PERKEMBANGANNYA... 34

1. Munculnya Superhero ... 34

2. Superhero Amerika ... 38

2.1. DC Comics... 39

2.2. Marvel Comics... 40

2.3. Periodisasi Komik Amerika ... 40

3. Superhero Jepang ... 43


(13)

5.1. Amerika dan Hollywood... 47

5.2. Perfilman Indonesia Pasca Orde Baru ... 48

6. Superhero dalam Film ... 50

7. Tiga Film yang Diteliti dalam Tesis Ini ... 53

7.1. Batman Begins (2005) ... 53

7.2. The Dark Knight (2008)... 55

7.3. Madame X (2010) ... 57

BAB III ANALISIS NARATIF ATAS BATMAN BEGINS, THE DARK KNIGHT, DAN MADAME X... 59

1. Batman Begins ... 60

1.1. Sinopsis ... 60

1.2. Analisis Fungsional dan Indeksikal ... 62

1.3. Analisis Tindakan dan Narasional ... 74

2. The Dark Knight ... 80

2.1. Sinopsis ... 80

2.2. Analisis Fungsional dan Indeksikal ... 83

2.3. Analisis Tindakan dan Narasional ... 94

3. Madame X... 99

3.1. Sinopsis ... 99

3.2. Analisis Fungsional dan Indeksikal ... 101

3.3. Analisis Tindakan dan Narasional ... 112

4. Kesimpulan Analisis Naratif ... 116

BAB IV PENGGAMBARAN IDEOLOGI MUSUH DALAM FILM SUPERHERO... 118

1. Film Supehero sebagai Medan Ideologis ... 118

1.1. Ketakutan ... 119

1.2. Superhero dan Musuh dalam Ruang Liminal ... 124

1.3. Penegakan Hukum ... 129

1.4. Kelompok Dominan vs Inferior ... 132


(14)

2. Film Superhero dan Kekuasaan ... 138

3. Jenis Musuh dan Ideologi ... 145

4. Utopia dalam Film Superhero ... 149

BAB V PENUTUP... 157

DAFTAR PUSTAKA... 165

Daftar Gambar 1. Diagram Aktan Greimas ... 24

2. Wayne Tower di bagian awal, dan bagian akhir saat akan dihancurkan Ra's al-Ghul... 64

3. Orang tua Bruce dibunuh di daerah kumuh Gotham ... 67

4. Bruce menyatu menyatu dengan ketakutannya... 69

5. Batman menakuti musuhnya ... 71

6. Crane membuat Batman melihat ketakutannya... 71

7. Batman kembali menjadi pengguna ketakutan ... 73

8. Batman mendominasi musuhnya tetapi enggan membunuhnya ... 74

9. Harvey Dent di babak pertama sebagai penegak hukum yang sempurna ... 87

10. Para peniru ditempatkan bersama dengan penjahat lain sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka ... 88

11. Joker menertawakan ketidakmampuan Batman... 89

12. Joker tidak takut tindakannya merugikan dirinya ... 91

13. Kamera menyorot berputar seakan Joker tidak tergantung... 92

14. Dua adegan paralel ... 93

15. Tayangan berita tentang ormas Bogem... 103

16. Adam merasa beruntung memiliki orang-orang yang mau menerimanya .... 104

17. Kanjeng Badai mengintimidasi para waria ... 105

18. Istri Kanjeng Badai membagikan pakaian untuk menutupi tubuh perempuan... 106

19. Kanjeng Badai yang tampak lebih ramah dan dekat dengan masyarakat saat berkampanye... 107


(15)

20. Poster di Pusat Pelatihan Pemuda ... 108

21. Harun disiksa ayahnya ... 108

22. Bogem menyerang pertunjukan tari ... 109

23. Madame X membunuh lawannya... 111

24. Madame X membuat musuh tidak berdaya... 111

25. Adam menyobek gambar Partai Bangsa Bermoral ... 112

26. Batman tidak menjadi diktator karena menyuruh Lucius Fox untuk menghancurkan alatnya... 130

27. Wayne Tower yang megah dibandingkan dengan bagian Gotham yang kumuh ... 133

28. Tokoh wanita dalam tiga film ini berperan sebagai korban... 137

29. Teknologi sebagai utopia untuk melawan kejahatan ... 151

Daftar Tabel 1. Tabel AktansialBatman Begins ... 75

2. Tabel AktansialThe Dark Knight... 94


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

"Ada yang bilang negeri sekompleks ini dengan permasalahan sebanyak ini seharusnya yang dibutuhkan bukan hanya manusia biasa, tapi superhero."1 Demikian Najwa Shihab memberi pendahuluan pada acara Mata Najwa di UGM pada tanggal 30 April 2014 sebelum bertanya siapa superhero favorit beberapa tokoh seperti Mahfud MD, Chairul Tanjung, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Ridwan Kamil, dan Anies Baswedan. Benarkah kita membutuhkan superhero? Benarkah superhero akan menjawab segala permasalahan kita layaknya seorang mesias?

Contoh situasi yang bisa dihubungkan dengan wacana superhero adalah kasus penyerangan tahanan di Lapas Cebongan Yogyakarta tanggal 23 Maret 2013 lalu. Wacana yang terjadi ketika kejadian tersebut pertama diberitakan adalah tentang kecaman pada penyerangnya.2Akan tetapi, saat oknum Kopassus telah diketahui sebagai pelakunya, ada pergeseran yang terjadi, yaitu menjadi dukungan tentang pemberantasan premanisme.3Kopassus yang dulu dicurigai sebagai pelaku sebelumnya dianggap sebagai musuh, namun ketika terbongkar kenyataannya, beberapa orang mengelu-elukan mereka sebagai pahlawan ketika hukum dirasa tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Jadi siapakah yang sebenarnya dianggap pahlawan dan mana yang dianggap sebagai musuh? Setelah film Madame X tahun 2010, rencananya akanada juga film

1

http://www.youtube.com/watch?v=rtilXtYc9t8 (diakses pada 1 September 2014) 2

http://www.beritasatu.com/aktualitas/103832-aksi-solidaritas-di-bundaran-hi-kecam-penyerangan-lp-cebongan.html (diakses pada 10 Juni 2013)

3


(17)

tentang superhero Gundala. Apakah ini akan mengawali tren film superhero di Indonesia? Superhero macam apa yang dirindukan atau dibutuhkan di Indonesia?

Manusia-manusia yang memiliki kekuatan di luar kemampuan manusia biasa

,

teknologi dan keahlian khusus, atau teknik bertempur maupunkekuatan magis, merupakan sebagian karakterisitik superhero yang hidup dalam budaya populer masyarakat

,

baik itu dalam komik

,

film

,

televisi

,

maupun yang lain

.

Hal-hal luar biasa tersebut merupakan sesuatu yang menarik bagi penikmat cerita-cerita superhero. Film-film superhero yang diproduksi Hollywood merupakan jaminan datangnya banyak penonton ke gedung bioskop

,

yang juga berarti banyak pemasukan bagi rumah produksinya

.

Film The Avengers yang dirilis bulan Mei 2012 lalu telah memecahkan rekor pendapatan akhir minggu terbanyak sepanjang masa

,

mengalahkan Harry Potter and the Deathly Hallows Part 2 yang keluar tahun 20114

.

Akan tetapi apa yang menyebabkan banyak orang menggemari film-film jenis ini? Sebenarnya apakah yang menarik dalam film-film superhero sehingga banyak orang rela mengantre untuk menonton?

Cerita-cerita yang ada dalam film-film superhero, khususnya di Amerika, sebagian besar diambil dari komik

.

Nama-nama seperti Superman

,

Batman

,

The Flash

,

dan Wonder Woman merupakan produk-produk DC Comics

,

sedangkan tokoh-tokoh seperti Spider-Man

,

Captain America

,

dan Hulk berada di bawah naungan Marvel Comics

.

Akan tetapi ada juga cerita-cerita superhero yang dibuat original langsung ke film, atau bukan hasil adaptasi. Misalnya filmHancockdan serial televisiHeroes.

4


(18)

Yang seragam dari kisah-kisah superhero tersebut adalah kemampuan mereka yang di luar manusia biasa

.

Ada yang digambarkan bisa terbang

,

memiliki tubuh sekeras baja

,

mampu bernapas dalam air

,

mengendalikan cuaca

,

dan lain-lain

.

Kekuatan atau karakteristik itu sedikit dapat dirangkum oleh Marco DiPaolo dalamkutipan buku War, Politics, and Superheroes: Ethics and Propaganda in Comics and Filmsberikut ini:

Superhero narratives

,

as they are traditionally understood

,

involve colorfully garbed heroic icons that demonstrate uncanny strength, intelligence

,

supernatural powers, and near infallibility

.

Their amazing character traits may be a result of their divine or mythical origins

.

In contrast

,

there are other superheroes such as Iron Man and Green Lantern who are unremarkably “human”

,

but are made supremely powerful by access to advanced technology

,

or

,

through spending years mastering fighting techniques and honing detective skills(DiPaolo

,

2011: 2)

.

DiPaolo menyatakan bahwa narasi-narasi superhero biasanya menggambarkan orang-orang dengan kekuatan fisik, kecerdasan, dan kekuatan supernatural yang luar biasa, hingga hampir mencapai kesempurnaan. Di situ digambarkan bahwa kekuatan mereka bisa berasal dari asal-usul kedewaan atau mistis, namun ada juga yang menjadi kuat karena teknologi atau keahlian bertarung.

Roz Kaveney mendefinisikan superhero dalam bukunya Superheroes! Capes and Crusaders in Comics and Films sebagai manusia dengan kekuatan yang melebihi kemampuan atau berbeda dari manusia biasa, yang dia gunakan untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan melindungi orang tak bersalah. Seperti dapat dilihat dalam kutipan berikut:

A superhero is a man or woman with powers that are either massive extensions of human strengths and capabilities, or fundamentally different in kind, which she or he uses to fight for truth, justice and the protection of the innocent. A substantial minority of people without powers as such share a commitment to the superhero mission, so they are generally regarded as


(19)

Ada juga tokoh-tokoh yang tidak memiliki kekuatan semacam itu, tetapi berkomitmen seperti jenis tokoh sebelumnya, sehingga mereka tetap dianggap sebagai superhero. Misalnya Batman yang seorang manusia biasa namun mempunyai keahlian bertarung dan dukungan teknologi.

Segala kekuatan itu digunakan untuk bisa melawan musuh-musuh mereka yang tidak kalah sakti atau ahli dari mereka

.

Adanya musuh-musuh bebuyutan yang juga memiliki kekuatan super (super-villain) ini adalah salah satu kesamaan yang lain dalam cerita-cerita superhero

.

Tokoh-tokoh itu biasanya digambarkan mengenakan kostum khusus yang berfungsi agar sosok mereka dapat dikenali

,

sekaligus untuk menyembunyikan identitas asli mereka

.

Kemudian

,

walaupun digambarkan sangat kuat

,

mereka biasanya masih memiliki suatu kelemahan khusus

.

Misalnya Superman yang lemah dengan batu kryptonite

.

Karakteristik lain yang penting dalam menggambarkan superhero adalah keterpisahan mereka dari masyarakat. Kaveney mengutarkan itu dalam kalimat berikut: “It is the fate of the superhero to be set apart from the common run of humanity and to experience a degree of estrangement as a result” (Kaveney, 2008: 4). Walaupun para superhero berusaha membaur dengan masyarakat dengancara menyembunyikan identitas asli mereka, tetap saja ketika beraksi sebagai superhero mereka berbeda dari orang pada umumnya.Hal ini terutama penting dipertimbangkan saat melihat teks-teks superhero kontemporer yang mempertanyakan peran kepahlawanan mereka. Apakah karena mereka memiliki kekuatan hebat mereka menjadi berhak untuk menindak kejahatan? Atau sebenarnya mereka sama saja dengan penjahat yang main hakim sendiri (vigilante)? Panggilan nurani karena memiliki kekuatan yang berlebih dan


(20)

norma-norma dalam masyarakat menjadi bertabrakan dan mengakibatkan ambiguitas moral dalam teks-teks superhero modern. Hal ini bisa dilihat dalam filmWatchmendan Spider-Man.

Teks superhero modern yang demikian sayangnya jarang didapat di Indonesia. Indonesia sempat memiliki beberapa superhero yang cukup populer dalam bentuk komik.Misalnya Gundala

,

Godam

,

Pangeran Mlaar

,

dan lain-lain

.

Secara sekilas

,

tokoh-tokoh tersebut sangat mirip dengan toko-tokoh superhero Amerika

.

Tengok saja Godam yang mirip Superman

,

Gundala yang mirip The Flash

,

dan Pangeran Mlaar yang mirip Plastic Man atau Elongated Man

.

Kemiripan tersebut bisa dilihat dari bentuk kostum dan kekuatan mereka

.

Tidak lengkap apabila tidak membahas superhero-superhero Indonesia ini

,

karena bisa untuk membandingkan kesamaan dan perbedaan struktur naratifnya

,

ideologi

,

ataupun wacana yang dibawa

.

Walaupun khusus untuk Indonesia

,

film superhero yang ada sangat terbatas

.

Contohnya adalah filmRama: Superman Indonesia (1974) dan Gundala Putra Petir (1982)

.

Kemudian ada satu judul film superhero yang lahir setelah tahun 2000 dan akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu Madame X (2010). Selain itu masih ada judul-judul seperti Saras 008atau Panji Manusia Milenium, namun keduanya merupakan serial televisi dan bukan film lepas

.

Walaupun superhero sebagai produk budaya populer seakan tampak tidak penting dan inferior dibandingkan karya sastra maupun jenis film lain

,

tetapi dampaknya tidak dapat diremehkan

.

Selain kepopulerannya yang luar biasa di masyarakat sehingga mendatangkan banyak uang

,

efeknya pun cukup luas

.

Contohnya bisa dilihat dari penggunaan istilah-istilah di bahasa sehari-hari

,

khususnya bahasa


(21)

Inggris

.

You can’t do it

.

You’re not Superman

,” “

You are my kryptonite

,” (kau adalah

kelemahanku) “Don’t Hulk out” (jangan mengamuk).Bahkan Marc DiPaolo dalam War, Politics, and Superheroes: Ethics and Propaganda in Comics and Filmsmenyebutkan bahwa cerita-cerita superhero sering berkomentar dan kadang juga membentuk opini publik dan kebijakan pemerintah Amerika Serikat.Ia mengatakan:

...superhero adventures comment upon and sometimes shape American Public Opinion and U.S. government policy

.

Barack Obama

,

Gloria Steinem

,

and Edward Said have all claimed to be inspired by the heroic examples of iconoclastic and anti-establishment superheroes such as Wonder Woman and Spider-Man

.

In contrast

,

Jack Bauer

,

the right leaning

,

invincible counterterrorism agent from the television series

,

24

,

reportedly inspired members of the Bush Administration to endorse torture as an acceptable means of fighting terrorism(DiPaolo, 2011: 1)

.

Jadi

,

walaupun tampaknya tidak seserius karya sastra atau jenis film lain, superhero juga memiliki dampak yang tidak dapat dianggap remeh

.

Pada mulanya, cerita-cerita superhero selalu menggambarkan bagaimana sang superhero mampu mengatasi segala masalah dengan kekuatan mereka, namun teks-teks superhero yang baru mulai mengkritik wacana superhero itu sendiri. Contohnya adalah Watchmen yang menceritakan tokoh Adrian Veidt yang merekayasa ledakan di New York dan menimpakan kesalahannya pada tokoh Dr. Manhattan demi menghindari perang nuklir antara Amerika dan Rusia dan malah mempererat hubungan keduanya. Cerita ini seakan mengatakan bahwa batas antara kepahlawanan dan kejahatan semakin kabur dan kadang superhero sendiri terpaksa menjadi seseorang yang dibenci demi melaksanakan tugasnya dalam menjaga perdamaian. Di sini tampaknya ada kaitan antara metafora superhero dengan wacana kepemimpinan. Sejauh mana seorang pemimpin atau orang yang memiliki keahlian khusus bertanggung jawab pada


(22)

masyarakatnya? Ini tampaknya menjadi sesuatu yang hampir selalu tampak pada cerita-cerita superhero yang bisa dilihat dari dialog di film Spider-Man: “With great power, comes great responsibility.”

Karyn Rybacki dan Donald Rybacki dalam buku Communication Criticism mengatakan bahwa ada memori kolektif pada tren film. Mereka mencontohkan hal ini dengan kasus di Amerika Serikat. Pada Era Depresi, banyak film komedi yang menjadi sumber hiburan bagi orang-orang untuk melupakan masalahnya. Pada Perang Dunia II, film-film propaganda menjadi usaha untuk menumbuhkan kepercayaan dan patriotisme pada negara. Pada era Perang Dingin, film-film “monster”, western, atau alien banyak diproduksi sebagai metafora kehidupan pada era nuklir (Rybacki, 1991: 205). Cerita-cerita superhero sudah ada sejak lama, namun baru mulai pada dekade 2000-an inilah film-filmnya menjadi menjamur dan menjadi jaminan bagi studio film untuk mendatangkan uang.Pembahasan tesis ini ingin mengetahui ideologi atau wacana yang diangkat dalam film-film superhero modern, atau yang diproduksi setelah tahun 2000.

Jika bicara tentang superhero

,

tentunya tidak akan bisa lepas dari komik karena merupakan asal mula cerita-cerita tersebut

.

Akan tetapi

,

di sini media yang dipilih untuk menganalisis superhero adalah film-filmnya

.

Alasannya adalah film-film superhero sudah merangkum cerita-cerita yang dalam komik bisa mencakup ratusan (atau ribuan) edisi

.

Dengan begitu struktur dalam ceritanya juga akan lebih mudah terlihat

.

Selain itu

,

pengaruh media film dirasa lebih luas daripada komik yang audiensnya terbatas

.

Menjamurnya film bergenre superhero (terutama di Holywood, di Indonesia juga akandibuat film Gundala) yang notabene merupakan hasil budaya populer yang sudah cukup lama tetapi kemudian bangkit kembali di era ini dengan membawa konteks


(23)

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, catatan pendapatan menunjukkan bahwa film-film superhero sangat digemari oleh banyak orang.Karyn Rybacki dan Donald Ribacki dalam buku Communication Criticism menyebutkan bahwa film memberikan jalan untuk memvisualisasikan masa lalu, memberikan gambaran masa kini, dan memberikan kemungkinan tentang masa depan (Rybacki, 1991: 205). Dalam buku yang sama, Rybacki juga mengatakan bahwa film menganalisa kejadian dan isu-isu sosial, mendidik penonton tentang bagaimana masyarakat berjalan dan memberi makna tentang isu tersebut.

Tidak dapat dilupakan juga bahwa budaya media seperti film dan lain sebagainya memiliki tujuan komersial. Komodifikasi budaya semacam ini tentunya memiliki berbagai konsekuensi. Produsen mempertimbangkan nilai jual karya-karya yang dihasilkan sehingga lebih mudah diterima oleh konsumen. Hubungan produsen dan konsumen ini terjadi secara timbal balik. Produsen membaca keinginan konsumen, sedangkan konsumen juga terpengaruh hasil-hasil produksi tersebut. Douglas Kellner dalam buku Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern menyebutkan bahwa produk industri budaya harus sesuai dengan pengalaman sosial, menarik banyak orang, dan menawarkan produk yang menarik, mengagetkan, mematahkan yang sudah umum, memuat kritik sosial, atau mengutarakan berbagai ide masa kini.Kellner menulis:

But precisely, the need to sell their artifacts means that the products of the culture industries must resonate to social experience, must attract large audiences, and must thus offer attractive products, which may shock, break with conventions, contain social critique, or articulate current ideas that may be the product of progressive social movements(Kellner, 2003: 16).

Film-film superhero sebagai suatu tren bisa dirasakan sebagai gejala semacam ini. Narasi superhero bisa jadi merupakan suatu fiksionalisasi beberapa isu yang


(24)

berkembang di masyarakat pada masa ini. Richard J. Gray dan Betty Kaklamanidou dalam The 21st Century Superhero menulis: "These new superhero texts, however, not only comment on contemporary social events, but also disseminate American ideology throughout the world" (Gray dan Kaklamanidou: 2011, 4).

Situasi masyarakat yang dimaksudkan di sini secara khusus dapat dikaitkan dengan masalah politik, moralitas, dan hukum. St. Sunardi, dalam kata pengantar buku Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture oleh Paul Heru Wibowo, mengatakan “superhero lahir dalam konteks budaya konsumsi masyarakat kapitalis akhir di mana masyarakat mengalami sejenis insecurity sosial sampai ke tingkat paranoid sehingga membutuhkan sosok heroik untuk memulihkan rasa amannya” (Sunardi dalam Wibowo: 2012: x).Berita tentang Kopassus yang bisa dikaitkan sebagai superhero yang sudah disebutkan di awal juga menimbulkan ambiguitas antara pahlawan dan penjahat. Ambiguitas tersebut juga bisa diamati dalam cerita-cerita superhero.Oleh karena itu tidak lengkap membicarakan suatu kisah kepahlawanan tanpa membahas musuh yang dilawan di situ.

Sosok musuh juga akan dibahas di tulisan ini karena beberapa alasan. Alasan yang pertama sederhana, yaitu analisis yang membahas kisah-kisah superhero kebanyakan lebih memberi penekanan kepada tokoh-tokoh utama itu sendiri, sehingga jarang yang menganalisis tokoh-tokoh musuh. Yang kedua dan yang lebih penting, analisis yang lebih mendalam tentang sosok musuh dirasa lebih akan menunjukkan sisi lain tema-tema dan ideologi yang terkandung dalam narasi. Yang dimaksud sisi lain di sini adalah sesuatu yang tidak umumnya tidak langsung tampak pada pembacaan. Misalnya patriotisme adalah tema yang umum dalam kisah-kisah kepahlawanan. Akan


(25)

tetapi patriotisme terhadap apa dan dari sisi apa? Hal itu hanya bisa dibaca apabila sesuatu yang dilawan olehheroitu dianalisis.

Contoh yang konkret adalah film-film perang atau spionase yang dibuat Amerika Serikat (atau Inggris) baru-baru ini mengalami pergantian musuh. Pada masa Perang Dingin dan sesudahnya, umumnya tokoh utama melawan musuh dengan latar belakang Balkan. Akan tetapi sekarang tren itu mulai berubah menjadi Timur Tengah. Tentu pergantian itu tidak serta merta terjadi, namun karena bisa dipastikan ada kejadian politik dan lain-lain yang melatarbelakanginya. Itulah sebabnya penulis merasa bahwa analisis terhadap sosok musuh dalam narasi-narasi tersebut yang akhirnya bisa mengungkap tema-tema ideologis di dalamnya.

Tesis ini tidak akan membahas banyak film superhero sekaligus, namun mengambil tiga sampel film untuk dianalisis secara mendalam dan membandingkannya dengan film-film superhero lain secara umum. Tiga film yang akan diteliti ialahBatman Begins, The Dark Knight, danMadame X. Ketiga film ini dipilih karena dirilis setelah tahun 2000 dan dirasa mampu untuk menggambarkan wacana yang sedang dibangun narasi film superhero modern. Batman Begins dan The Dark Knight dipilih karena berasal dari Amerika Serikat yang merupakan penghasil utama film-film jenis ini dan ada pergeseran nilai yang diangkat. The Dark Knight sendiri adalah sekuel Batman Begins, walaupun bisa ditonton secara terpisah karena ceritanya berdiri sendiri-sendiri. Film ketiga, Madame X, dipilih karena bisa dikatakan ini adalah satu-satunya film superhero Indonesia yang lahir di era modern sampai sejauh ini setelah Gundala Putra Petirpada tahun 1982. Perbandingan penggambaran dalam film Amerika dan Indonesia dirasa bisa memberi sedikit gambaran wacana yang diangkat masing-masing film.


(26)

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana narasi Batman Begins,The Dark Knight, dan Madame X berfungsi dan membangun penokohannya?

2. Bagaimana sosok musuh digambarkan dan medan ideologis dan utopis difiksionalisasikan melalui narasi dalam Batman Begins,The Dark Knight, dan Madame X?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berusaha mencari tahu representasi yang terdapat dalam tiga film superhero dengan menganalisis struktur naratifnya. Analisis kajian budaya pada film tidak hanya berhenti pada teks itu sendiri, tetapi juga berusaha menganalisis sesuatu yang melampaui teks tersebut (beyond the text). Di sini analisis struktur naratif film dan penokohannya digunakan sebagai landasan untuk pembahasan topik utama penelitian ini.

Setelah landasan tersebut dianalisis, langkah selanjutnya adalah menganalisis bagaimana sosok musuh direpresentasikan dalam tiga film superheroberdasarkan hubungan antartokoh dalam film. Selain itu, tesis ini juga mencari tahu konflik ideologi macam apa yang tampak di film dari penggambaran sosok musuh dan struktur naratif yang ada.

4. Pentingnya Penelitian

Penelitian ini akan menambah khasanah tentang kajian superhero. Subjeknya adalah sesuatu yang populer, dikenal luas, dan sebenarnya banyak diteliti. Sayangnya penelitian yang khusus membahas film-film superhero dengan semiotika tidak banyak


(27)

dilakukan. Kajian gender, sosiologis, atau estetika (dalam komik) adalah yang lebih dominan. Selain itu, analisis yang komprehensif tentang film superhero Indonesia bisa dikatakan lebih sedikit lagi.

Oleh karena itu, ada beberapa hal yang penting dalam penelitian ini. Pertama, tesis ini akan menambah aspek cara penelitian semiotika untuk melihat ideologi dalam budaya populer, khususnya tentang film superhero. Kedua, penelitian ini akan memberi gambaran baru tentang narasi film pada masa kini yang memiliki isu-isu kontemporer. Ketiga, tesis ini juga akan menambah khasanah kajian budaya terhadap film di Indonesia yang menggunakan perbandingan dengan hasil budaya popular yang sama, yaitu film superhero.

5. Tinjauan Pustaka

Beberapa tulisan akademis yang selama ini penulis dapatkan jarang membicarakan naratif superhero secara khusus

,

apalagi yang membahas superhero Indonesia

.

Kebanyakan menggunakan naratif itu secara sekilas untuk menjelaskan hal lain yang lebih ditonjolkan

.

Sebagai contoh

,

buku War

,

Politics

,

and Superheroes: Ethics and Propaganda in Comics and Films karangan Marc DiPaolo yang sebelumnya dikutip lebih membicarakan tentang propaganda dan politik yang terkandung dalam cerita-cerita superhero

.

Ulasan naratif di situ hanya sebatas menceritakan latar belakang superhero

.

Misalnya buku ini membahas apakah The Avengers

,

Star Trek

,

dan Watchmen sebenarnya adalah gambaran ideologi Partai Republik

,

atau tentang perjuangan persamaan hak kaum gay dan ras kulit hitam dalam X-Men

.

Buku ini dapat berguna bagi penulis sebagai sebuah contoh gambaran tulisan akademis tentang


(28)

superhero. Buku ini memang lebih melihat komik dan film sebagai budaya populer dan propaganda, namun banyak sekali contoh tokoh superhero dan ideologi yang mereka representasikan.

Buku lainnya berjudul Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society yang ditulis oleh Danny Fingeroth. Buku ini lebih menggambarkan superhero lewat pandangan subjektif penulisnya yang seorang penulis dan editor komik. Fingeroth berusaha membagi superhero menjadi beberapa kategori, seperti misalnya kelompok yatim piatu (Superman, Spider-Man, Batman) atau thermonuclear families (X-Men, Fantastic Four). Buku ini cukup komprehensif dalam memaparkan tokoh-tokoh superhero karena latar belakang penulisnya yang memang bergelut di bidang itu. Sayangnya sering ada bagian yang dipaparkan secara subjektif menurut pandangan sendiri tanpa ada dasar teorinya. Misalnya kalimat berikut: “No matter what market and technological forces may bring to bear on content, there is certain magic in the combination of words and pictures that can only be conveyed in comic panels” (Fingeroth, 2004: 170). Buku ini berguna untuk mengetahui beberapa pandangan umum tentang superhero sebagai batu loncatan untuk penelitian yang lebih objektif.

Buku yang ketiga berjudul Superheroes! Capes and Crusaders in Comics and Films oleh Roz Kaveney. Hampir sama dengan buku yang ditulis Danny Fingeroth, buku ini mengulas cerita-cerita superhero tanpa menggunakan teori tertentu. Hanya saja penulis ini lebih komprehensif dan kritis dalam menjelaskan. Misalnya saja, Kaveney berusaha mewawancarai para penulis cerita superhero untuk memastikan pendapatnya. Buku ini membantu untuk memperluas pandangan dan pengetahuan tentang narasi superhero. Selain itu, “Superheroes!” mencontohkan metode untuk tidak semena-mena


(29)

memberikan pendapat subjektif, namun berusaha membuktikannya dengan argumen-argumen yang memadai.

Buku lain berjudul Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture yang ditulis oleh Paul Heru Wibowo. Buku ini cukup unik karena ditulis oleh orang Indonesia, yang jarang menyentuh topik ini secara khusus. Pembahasannya pun luas dan memiliki keunikan dari buku-buku tentang superhero lain yang diterbitkan di luar negeri. Penulisnya tidak hanya menjelakan sejarah superhero luar negeri, tetapi juga menambahkan bagaimana konteks wacana tersebut di Indonesia. Banyak sekali tema dan topik yang ingin disampaikan buku ini, sehingga itu menjadi kekuatan sekaligus kelemahannya. Pembaca dapat mengenal berbagai tema yang muncul dalam kisah-kisah superhero, misalnya maskulinitas heroAmerika. Akan tetapi, penulis tampaknya berlama-lama menjelaskan berbagai ringkasan cerita dalam komik maupun film, dan kurang berusaha masuk lebih dalam. Yang dibahas pun tidak hanya cerita-cerita superhero secara khusus, namun juga film-film Western dan laga misalnya. Buku ini bisa menjadi lebih baik apabila isinya lebih menekankan pada analisis temanya. Untuk urusan kelengkapan data, buku ini sudah lebih dari memadai.

Tesis Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang berjudul Menjadi Superhero Jepang di Yogyakarta: Studi atas Konsumsi dan Reproduksi Mitos Superhero Jepang pada Kelompok J-Toku oleh A. Sudjud Hartanto meneliti tentang praktik konsumsi mitos superhero Jepang dalam kaitannya dengan pembentukan kelompok J-Toku sebagai penggemar superhero Jepang dan produsen kostum/film superhero gaya Jepang, dan wacana nasionalisme populer melalui mitos yang diproduksi dan direproduksi oleh kelompok J-Toku. Tesis tersebut menggunakan teori semiotika konotasi Barthes untuk memahami beroperasinya sistem konotasi


(30)

superhero Jepang bagi kelompok J-Toku, teori ideologi Althusser dan Gramsci untuk mengkaji formasi ideologis kelompok tersebut, dan teori subkultur Dick Hebdige dan teori budaya kelab Steve Redhead untuk meneliti gaya anggota-anggotanya. Secara umum penulis ini menggunakan metode etnografis untuk meneliti identitas kelompok J-Toku. Menurut penulisnya, superhero Jepang dipilih oleh kelompok itu karena lebih dekat dengan identitas ketimuran mereka. Walau begitu, gaya superhero Jepang tersebut juga sudah mengalami sintesis dengan budaya Indonesia. Maka identitas yang mereka tampilkan merupakan mitos tandingan dari yangmainstream.

Salah satu kelemahan tesis tersebut adalah pada bagian awal penulisnya sudah langsung menilai bahwa kelompok J-Toku tersebut adalah ekspresi subkultur kelompok kelas menengah. Seharusnya kesimpulan tersebut baru dapat ditarik ketika sudah menjelaskan proses ekonomi sosial yang terjadi di kelompok itu. Selain itu, tesis tersebut kurang mengeksplorasi teori-teori yang digunakan dan cenderung lebih banyak bercerita tentang latar belakang kelompok J-Toku. Analisis dengan teori baru digunakan di bab empat dan lebih seperti mencocok-cocokan.Kesamaan antara tesis A. Sudjud Dartanto dengan tesis ini adalah tentang pembahasan wacana superhero ketika dikonteks-kan ke masyarakat, namun segi metode dan objek yang diteliti berbeda. Tesis ini akan lebih menyoroti bagaimana wacana superhero (khususnya film-filmnya) saling terkait dengan masyarakat dan ideologi yang melatarbelakanginya.


(31)

6. Kerangka Teoretis

6.1 Analisis Naratif dalam Kajian Budaya

Penelitian ini akan menggunakan metode semiotika, khususnya analisis struktural naratif Roland Barthes.Metode Barthes tersebut dirasa lebih lengkap dan dinamis karena menggabungkan berbagai metode analisis naratif yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh orang-orang seperti Todorov, Genette, dan Greimas. Kemudian analisis naratif ini digunakan untuk memperlihatkan ideologi dan utopia yang bekerja dalam teks budaya populer/budaya mediaberdasarkan teori Douglas Kellner dan Karl Mannheim.

Richard Johnson et. al. dalam The Practice of Cultural Studies menulis bahwa strukturalisme naratif penting digunakan dalam pembacaan narasi, karena itu merupakan elemen penting yang tidak langsung tampak di permukaan. Analisisnya berguna sebagai "tulang" (bones)yang bisa menjadi pondasi ketika berikutnya menganalisis konteks narasi tersebut:

Narrative structuralism thus begins with the ‘bones’ of books or films and looks for the underlying, deep structure of a text –the determining elements that shape it yet are not immediately apparent OR are so taken for granted

that they seem invisible(Johnson et. al. : 2004, 158).

Baru setelah struktur dalam teks itu ditemukan, analisis dapat dilanjutkan dengan melihat dimensi ideologis teks tersebut:

These formal structural dimensions to a text become especially important when we contextualize them by considering how they are imbued with ideological dimensions, as it is at this point that the relationship between differential forms of power and their cultural expression becomes apparent(Johnson et. al. : 2004, 160).


(32)

ideologi dalam film. Struktur naratif menjadi bagian yang integral sebelum berbicara lebih jauh tentang konteks dan medan ideologisnya.

Analisis naratif berusaha membongkar hubungan antara penanda dan dunia cerita (story-world) yang tampaknya “alami” untuk memperlihatkan sistem asosisasi kultural dan hubungan-hubungan yang diekspresikan melalui bentuk naratif.Dalam bab pengantar buku The Narrative Reader, Martin McQuillan menyebutkan bahwa proses tekstual tidak hanya meluas pada kontekstualisasi (inter-subjektif, historis, politis, dan lain-lain), namun juga tergantung kepada hal itu. Dengan kata lain, produksi realitas yang berarti (meaningful reality) oleh subjek-dalam-bahasa berarti bahwa pemahaman terhadap realitas tersebut tertulis secara tekstual, sehingga semua pengetahuan subjektif juga berbentuk tekstual.Makna menjadi ada melalui konteks dan konteks ada melalui makna. “In other words, meaning is possible through the context and the context is only possible through meaning” (McQuillan,2000: 10).

Ada beberapa elemen yang harus diteliti dalam analisis narasi. Robert Stam dalam bukuNew Vocabularies in Film Semioticsmengatakan:

Narrative analysis focuses on the interaction of various strata of the narrative work

,

distinguishing such elements as story outline and plot structure

,

the spheres of action commanded by different characters

,

the way narrative information is channeled and controlled through point-of-view

,

and the relationship of the narrator to the inhabitants and events of the story-world(Stam

,

1992: 70)

.

Secara singkat

,

melalui analisis struktur plot

,

tokoh

,

sudut pandang

,

dan narator

,

hasilnya dapat memperlihatkan kesamaan dan perbedaan struktur dalam film-film superhero

,

dan pada akhirnya nanti bisa menunjukkan wacana yang terkandung di dalamnya

.


(33)

Walter R. Fisher yang dikutip dalam bukuCommunication Criticismyang ditulis oleh Karyn Rybacki mengatakan bahwa narasi merupakan kombinasi dari apa yang dimaksudkan pembicara (rhetor) dan yang diinterpretasikan audiensnya. Narasi dapat melakukan berbagai hal terhadap ide-ide maupun gambaran (image). Fisher mengutarakannya seperti ini:

A narrative can affirm new ideas and images, seeking acceptance for them. Narratives can reaffirm existing ideas and images, revitalizing or reinforcing them. A narrative can purify ideas and images by discrediting them. Finally, a narrative can eviscerate ideas and images, showing their impossibility or absurdity(Rybacki, 1991: 108-109).

Ada beberapa cara untuk meneliti struktur naratif film

.

Di antaranya adalah pendekatan formalistik yang menganalisis ceritanya melalui pola hubungan antartokoh dan tindakan mereka secara kronologis (atau disebut fabula) dan melalui plot yang merupakan kronologi kejadian (atau disebut syuzhet)

.

Pendekatan formalistik ini berasal dari pendekatan sastra, namun diadaptasi untuk menganalisis narasi dalam film

.

Teorinya telah disusun lewat buku Poetica Kino yang diterbitkan tahun 1927

.

Para penganut pendekatan ini mempunyai dua konsep yang berbeda

.

Ada yang menganggap bahwa syuzhet merupakan bagian integral dari fabula

,

dan ada yang menganggap bahwa syuzhet memberikan respons untuk fitur-fitur stilistika yang unik kepada mediumnya

.

Analisis naratif (naratologi) sendiri merupakan sebuah cabang disiplin kajian sastra yang dikembangkan dari ilmu linguistik. Naratologi menggunakan berbagai elemen teks seperti plot, fungsi, indeks, dan lain-lain, seperti linguistik menggunakan elemen-elemen dalam bahasa seperti morfem, fonem, atau sintagma, untuk melakukan pembacaan makna. Naratologi dalam sastra erat kaitannya dengan poetika (poetics),


(34)

teori genre, dan semiotika sendiri. Monika Fludernik mengutarakan kesamaan tersebut dalam bukuAn Introduction to Narratologyberikut ini:

Narratology shares many characteristics with poetics because it analyses although only as regards narrative the characteristics of (narrative) literary texts and their aesthetic (narrative) functions. And finally, narratology resembles semiotics in so far as it analyses the constitution of (narrative) meaning in texts (films, conversational narratives, etc)(Fludernik, 2009: 9).

David Bordwell dan Kristin Thompson menulis dalam buku Film Art: An Introduction bahwa narasi (narrative) adalah rangkaian kejadian dalam hubungan sebab-akibat yang terjadi pada suatu tempat dan waktu tertentu. Keterikatan kita dengan cerita tergantung pada pemahaman kita terhadap pergantian kejadian sebab-akibat tersebut. Ini dapat dilihat pada tulisan Bordwell dan Thompson dalam buku tersebut:

Typically, a narrative begins with one situation; a series of changes occurs according to a pattern of cause and effect; finally, a new situation arises that brings about the end of the narrative. Our engagement with the story depends on our understanding of the pattern of change and stability, cause and effect, time and space(Bordwell dan Thompson, 2008: 75).

Analisis struktural narasi yang dilakukan pada tesis ini memang menggunakan teori Roland Barthes sebagai basis, tetapi penyusunannya segmentasi plotnya akan dilakukan seperti yang dicontohkan Bordwell dalam bukunya ketika menjabarkan plot filmCitizen Kaneuntuk memudahkan melihat struktur secara garis besar.

6.2Analisis Struktural Naratif Roland Barthes

Narasi-narasi yang ada di dunia tak terhitung jumlahnya. Demikian Roland Barthes membuka tulisannya yang berjudul Introduction to the Structural Analysis of Narrativesdalam buku Image Music Text. Selanjutnya Barthes juga mengatakan bahwa ada berbagai macam bentuk narasi, baik itu lisan, tertulis, gambar diam dan bergerak,


(35)

serta ada pada tiap zaman dan tempat, dalam tiap jenis masyarakat. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:

Able to be carried by articulated language, spoken or written, fixed or moving images, gestures, and the ordered mixture of all these substances; narrative is present in myth, legend, fable, tale, novella, epic, history, tragedy, comedy, drama, mime, painting (think of Carpaccio’s Saint Ursula), stained glass windows, cinema, comics, news item, conversation (Barthes, 1977: 79).

Ada tiga tingkat makna dalam analisis struktural naratif menurut Roland Barthes, yaitu analisis fungsional, analisis tindakan (actions), dan analisis narasional. Analisis fungsional adalah mendeskripsikan cerita ke dalam satuan-satuan naratif dan menunjukkan hubungannya satu sama lain. Analisis tindakan berusaha menunjukkan posisi dan hubungan para aktan (actant) dalam cerita tersebut. Yang terakhir, analisis narasional adalah menunjukkan deskripsi makna yang dihasilkan dari dua proses analisis sebelumnya dan bagaimana teks menyampaikan dirinya.

a. Analisis Fungsional

Untuk melakukan analisis tingkat pertama atau analisis fungsional, suatu kisah harus dibagi dan dideskripsikan ke dalam satuan-satuan naratif.Baru kemudian dilihat bagaimana satuan-satuan tersebut saling berhubungan membentuk narasi yang utuh. Barthes mengatakan bahwa memahami suatu narasi bukan hanya mengikuti perkembangan cerita, tetapi juga harus memperhatikannya dalam level horisontal dan vertikal. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

To understand a narrative is not merely to follow the unfolding of the story, it is also to recognize its construction in ‘storeys’, to project the horizontal concatenation of the narrative ‘thread’ on to an implicitely vertical axis; to read (to listen to) a narrative is not merely to move from one word to the next, it is also to move on from one level to the next(Barthes, 1977: 87).


(36)

Barthes membagi tindakan (action) dan kejadian (event) ke dalam unit-unit yang lebih kecil, yaitu fungsi dan indeks untuk menunjukkan level horisontal dan vertikal. Fungsi (function) merupakan unit yang menggerakkan cerita secara horisontal, atau perkembangan linear. Misalnya tindakan suatu tokoh yang membeli senjata yang nantinya akan digunakannya untuk membunuh. Kemudian pada level vertikal, Barthes menggunakan unit yang disebut indeks (indices/indexes). Indeks tidak menggambarkan perkembangan tindakan, namun menjelaskan keadaan atau situasi (being). Biasanya indeks menggambarkan sifat pelaku atau keadaan yang ditampakkan dalam kisah.

Kedua unit tersebut masih dibedakan lagi ke dalam bagian yang lebih kecil. Fungsi dibagi menjadi dua, yaitu fungsi pokok (cardinal funtion) atau nukleus dan katalis (catalyzer). Fungsi pokok adalah tindakan (action) yang menyebabkan adanya konsekuensi kelanjutan cerita. Tindakan tersebut menyiratkan adanya pilihan yang tidak tentu, namun cerita mengarah kepada salah satu kemungkinan cabang. “For a function to be cardinal, it is enough that the action to which it refers open (or continue, or close) an alternative that is of direct consequence for the subsequent development of the story, in short that it inaugurate or conclude an uncertainty” (Barthes, 1977: 94). Fungsi-fungsi ini membentuk suatu bagian yang lebih besar, yaitu sekuens (sequence). Sekuens adalah kumpulan fungsi pokok/nukleus yang memiliki suatu hubungan tertentu. Contohnya, tindakan menyiapkan barang bawaan, menyiapkan kendaraan, menaiki kendaraan, dan tiba di tujuan, dapat dinamai sebagai sekuens “bepergian”.

Barthes melakukan penyederhanaan sekaligus pembedaan efeknya terhadap plot atas 31 nama fungsi yang dicatat oleh Propp dan disebutkan oleh Greimas dalam


(37)

bukunya, Structural Semantics5. Barthes menyebutnya sebagai major articulations of praxis yang terdiri dari communication,struggle,dandesire.

Fungsi tidak dapat direduksi hanya menjadi tindakan seperti kata kerja, tetapi harus dimasukkan dalam konteks narasi. Pembedaan ini dilakukan karena bisa saja ada tindakan suatu tokoh yang merupakan suatu indeks karena menunjukkan sifatnya. Dengan kata lain, fungsi merupakan konteks aliran tindakan (doing), sedangkan indeks merupakan konteks keadaan (being). “Functions and indices thus overlay another classic distinction: functions involve metonymic relata, indices metaphoric relata; the former correspond to a functionality of doing, the latter to a functionality of being” (Barthes, 1977: 96).

Indeks sendiri juga dibagi menjadi dua, yaitu indeks sejati (proper index) dan indeks informatif (informant). Indeks sejati merupakan sifat-sifat pelaku, perasaan, filosofi, atau atmosfer suatu keadaan, yang harus ditafsirkan oleh pembaca. Misalnya selera dan cara berpakaian seorang tokoh bisa menunjukkan status sosial dan sifatnya. Indeks informatif sendiri adalah penunjuk waktu dan tempat, yang tidak perlu ditafsirkan lebih lanjut seperti indeks sejati. Misalnya suatu ada suatu kejadian yang bertempat di kapal pada malam hari.

5

Fungsi-fungsi Propp tersebut adalah: Absence, Interdiction, Violation, Reconnaissance (inquiry), Delivery (information), Fraud, Complicity, Villainy, Lack, Mediation-the connective of the donor (assignment of a test), The provision-receipt of magical agent (receipt of the helper), The hero's reaction (confrontation of the test), Spatial translocation, Struggle, Marking, Victory, The Initial misfortune or lack is liquidated (liquidation of the lack), Return, Pursuit-chase, Rescue, Unrecognized Arrival, The difficult task (assignment of a task), Solution: a task is accomplished (success), Recognition, Exposure (revelation of the traitor), Transfiguration:


(38)

b. Analisis Tindakan/Aktansial

Analisis pada tingkat kedua ini adalah melihat dan menjelaskan tindakan para aktan yang tampak sebelumnya pada analisis fungsional. Kedudukan, relasi, dan dinamika aktan juga dijelaskan dalam tahap ini.

Aktan (actant) yang dimaksud di sini bukan sekedar tokoh atau karakter dalam cerita. Aktan adalah suatu pelaku tindakan yang dapat ditempati oleh segala macam entitas, yang bisa merupakan makhluk hidup, benda, perasaan, kelompok, nilai-nilai, atau apapun. Suatu tokoh atau entitas itu juga dapat menempati lebih dari satu posisi aktan. Barthes menjelaskan bagian ini dengan menyebut tokoh-tokoh yang mengembangkan teori aktan, yaitu Propp, Todorov, dan Greimas. Tesis iniakan menggunakan Greimas yang merupakan gabungan dari teori-teori lain dan lebih bisa digunakan pada berbagai macam narasi.

Model aktansial Greimas terdiri dari enam jenis pelaku atau aktan. Pengirim (sender) adalah agen yang menentukan objek yang akan dicari dan subjek yang akan mencari objek tersebut, subjek (subject) adalah agen yang dipanggil pengirim untuk mendapatkan suatu objek, objek (object) adalah sesuatu yang dicari oleh subjek, penerima (receiver) adalah yang diuntungkan dari pencarian (quest) tersebut, penolong (helper) adalah yang membantu subjek dalam pencarian, dan musuh atau penghalang (opponent) adalah agen yang menghalangi usaha subjek untuk mencapai objek yang diinginkan. Relasi antaraktan, yang dinamakan model mitis aktansial (the actantial mythical model), tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:


(39)

Pengirim Objek Penerima

Penolong Subjek Musuh

Gambar 1. Diagram Aktan Greimas (Greimas, 1983: 207)

Teori Greimas memiliki kelemahan dalam hal siapakah yang dimaksud dengan subjek. Bisa saja dalam suatu cerita terdapat lebih dari satu subjek yang akan membuat analisisnya menjadi problematis karena ketidakjelasan ini. Oleh karena itu, kaidah tes subjek harus diperhatikan sungguh-sungguh. Subjek ditentukan oleh hubungan kontrak antara pengirim dan subjek, yaitu saat pengirim memicu hasrat kepada subjek untuk mencari sesuatu atau bertindak menjalankan misi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kompetensi subjek untuk menjalankan misi, adanya perjuangan dalam bentuk konflik atau konfrontasi yang dialami subjek, dan adanya pujian (reward) atau sanksi ketika subjek berhasil atau gagal mendapatkan objek. Hal itu merupakan pendapat Barthes dalam menempatkan tokoh sebagai major articulation of praxis dalam fungsi, yaitu desire, communication, struggle (hasrat, komunikasi, perjuangan). Ketiga hal tersebut adalah penyederhanaan Barthes dari 31 fungsi Propp. Tokoh dipandang bukan sebagai diri mereka sendiri, namun apa partisipasinya dalam bidang tindakan mereka dalam narasi. Barthes menulis:

The most important, it must be stressed again, is the definition of the character according to participation in a sphere of actions, these spheres being few in number, typical and classifiable; which is why this second level of description, despite its being that of the characters, has here been called the level of Actions: the word actions is not to be understood in the sense of the trifling acts which form the tissue of the first level but in that of the major articulations of praxis (desire, communication, struggle) (Barthes, 1977, 112).


(40)

c. Analisis Narasional

Setelah melihat analisis fungsional untuk mendeskripsikan fungsi dan sekuens, dan analisis tindakan untuk melihat hubungan antartokoh dalam kaitannya dengan perkembangan naratif, maka tahap selanjutnya adalah analisis narasional untuk melihat bagaimana kekuatan kisah dalam menceritakan dirinya dan makna apa yang didapat dari situ. Tahap terakhir ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna dengan melakukan integrasi tahap-tahap analisis yang sebelumnya ditempatkan dalam konteks komunikasi narasional. Penekanannya ada pada kemampuan kisah dalam menyampaikan pesan dan efek yang timbul dari cara penyampaian tersebut. Tahap ini berusaha melampaui teks itu sendiri dengan menunjukkan jenis komunikasi macam apa yang terjadi lewat bahasa naratif. Di sinilah pengguna metode dapat menggunakan kreativitasnya untuk menemukan sesuatu yang melampaui teks(beyond the text).

6.3 Budaya Mediasebagai Medan Naratif, Ideologis, dan Utopis

Ada beberapa cara mendefinisikan budaya populer menurut John Storey. Yang paling sederhana adalah budaya yang disukai oleh banyak orang. Sifatnya yang kuantitatif namun sulit untuk diukur menjadikan definisi ini ambigu. Definisi kedua adalah budaya yang lebih inferior dari budaya tinggi (high culture). "Popular culture, in this definition, is a residual category, there to accommodate texts and practices that fail to meet the required standards to qualify as high culture" (Storey, 2009: 6). Karena selera merupakan kategori yang sangat ideologis, pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah sendiri juga menjadi problematis.

Cara mendefinisikan yang ketiga ialah budaya populer sebagai budaya massa (mass culture). Budaya massa adalah budaya yang dibuat untuk konsumsi massa dan


(41)

tujuannya sangat komersial, bentuknya memiliki formula tersendiri dan efeknya manipulatif. Definisi ini erat kaitannya dengan pandangan Frankfurt School terhadap budaya populer.

Budaya populer (popular culture) memiliki konotasi negatif menurut Frankfurt School. Mereka memandang bahwa budaya populer adalah budaya yang sudah distandardisasi dan digunakan untuk menjaga keberlangsungan kapitalisme.Budaya populer di sini merupakan suatu bentuk ideologi dominan, termasuk di dalamnya ideologi patriarkal yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan. Dominic Strinati dalam bukuAn Introduction to Theories of Popular Culturemenyebutkan:

For the Frankfurt School, popular culture is the culture produced by the culture industry to secure the stability and continuity of capitalism. The Frankfurt School thus shares a theory which sees popular culture as a form of dominant ideology with other versions of Marxism, such as those put forward by Althusser and Gramsci. The Marxist political economy perspective comes close to this understanding of popular culture, while variants of feminist theory define it as a form of patriarchal ideology which works in the interests of men and against the interests of women (Strinati, 2004: xvi).

Definisi keempat adalah budaya populer sebagai budaya yang datang dari "masyarakat". Definisi ini kurang dapat diterima karena tidak menyetuh sisi budaya populer itu ditentukan dari atas dan segi komersialnya.

John Storey menyebut definisi kelima budaya populer erat kaitannya dengan teori hegemoni Antonio Gramsci. Budaya populer di sini merupakan alat untuk menghegemoni dan menyebarkan ideologi dominan kepada masyarakat sebagai konsumennya.

Budaya populer dalam definisi keenam berhubungan dengan perdebatan tentang posmodernisme. Budaya posmodern mengklaim bahwa tidak ada lagi pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah. Cara pendefinisian ini membawa efek ganda: "for


(42)

some this is a reason to celebrate an end to an elitism constructed on arbitrary distinctions of culture; for others it is a reason to despair at the final victory of commerce over culture" (Storey, 2009: 12). Dua sisi definisi ini yang dieksplorasi oleh Douglas Kellner tentang teori budaya populer sebagai budaya media.

Kellner dalam buku Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodernmemandangnya dengan cara berbeda. Kellner lebih memilih istilah budaya media (media culture), yaitu “a culture of the image and often deploys sight and sound” (Kellner,2003: 1). Kellner menggunakan istilah tersebut karena langsung merujuk pada berbagai jenis teks yang diproduksi industri dan disebarkan secara masal, seperti film, musik, acara televisi, majalah, dan sebagainya. Perbedaan definisi tersebut merujuk pada penitikberatan teori masing-masing. Frankfurt School lebih membahas tentang dominasi industri terhadap masyarakat, sedangkan Kellner lebih menekankan pada jenis teks dan efeknya di dalam masyarakat.

Masih dalam buku yang sama, Kellner berpendapat bahwa budaya media merupakan artefak yang kompleks, bukan hanya sekedar sarana ideologi dominan dan juga hiburan murni. Budaya media mengartikulasikan berbagai wacana politis dan sosial yang terjadi di masyarakat. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut:

It is my conviction that cultural studies cannot be done wihtout social theory, that we need to understand the structures and dynamics of a given society to understand and interpret its culture. I am also assuming that media cultural texts are neither merely vehicles of a dominant ideology, nor pure and innocent entertainment. Rather they are complex artifacts that embody social and political discourses whose analysis and interpretation require methods of reading and critique that articulate their embeddedness in the political economy, social relations, and the political environment within which they are produced, circulated, and received(Kellner, 2003: 4). Masyarakat yang mengkonsumsi budaya media itu sendiri tidak dipandang sebagai konsumen yang pasif dan menerima berbagai teks begitu saja, tetapi juga bisa menolak


(43)

dan menghasilkan pembacaan atau identitas mereka sendiri: “Media culture thus induces individuals to conform to the established organization of society, but it also provides resources that can empower individuals against that society” (Kellner, 2003: 3).

Peran ideologi dalam budaya media penting untuk dibahas karena bisa memperkuat cara pembacaan suatu teks agar tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata. Ada lima definisi ideologi yang dikumpulkan John Storey. Pertama, ideologi adalah suatu badan ide yang sistematis, yang diartikulasikan oleh masyarakat tertentu. Definisi kedua mengindikasikan adanya penyembunyian atau distorsi realitas. Ideologi menghasilkan sesuatu yang disebut “kesadaran palsu (false consciousness), yang bekerja mendukung kedudukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemahbentuk ideologis” (ideological forms). Penggunaan tersebutmerujuk pada teks (buku, film, acara televisi, lagu, dll) yang secara sadar atau tidak sadar selalu mengambil suatu posisi dalam konflik eksploitasi atau penindasan (oppression). Definisi keempat merupakan konsep ideologi atau mitos Roland Barthes yang bekerja pada level konotasi, yang biasanya dibawa oleh teks secara tidak sadar. Definisi kelima adalah konsep ideologi menurut Louis Althusser. Anggapan Althusser tentang ideologi bukanlah ideologi sebagai badan ide yang abstrak, tetapi sebagai “praktik material” (material practice) yang terjadi sehari-hari. Storey menulis: “Principally, what Althusser has in mind is the way in which certain rituals and customs have the effect of binding us to the social order: a social order that is marked by enormous inequalities of wealth, status and power” (Storey, 2009: 5).

Salah satu definisi ideologi yang bersifat negatif, yaitu pembohongan, juga memiliki sifat positif ketika dikaitkan dengan konsep utopia menurut Karl Mannheim.


(44)

Utopia selama ini dipakai untuk menunjukkan hal-hal yang mustahil atau yang tidak perlu diperhitungkan atau diikuti.Kemudian konsep utopia yang berbau negatif tersebut berubah ketika dipakai Karl Mannheim untuk menjelaskan fungsi ideologi.

Konsep utopia dalam ideologi adalah usaha untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Karl Mannheim mengatakan bahwa suatu keadaan pikiran bersifat utopis apabila itu berbeda dengan realitas. Akan tetapi, tidak semua yang berbeda itu adalah utopia. Pemikiran disebut utopia ketika memecahkan keteraturan yang berlaku saat itu dan melebihi (transcends) realitas. Dalam buku Ideology and Utopia, Mannheim menulis: "In limiting the meaning of the term 'utopia' to that type of orientation which transcends reality and which at the same time breaks the bonds of the existing order, a distinction is set up between the utopian and the ideological state of mind”(Mannheim, 1979: 173).

Sejalan dengan Mannheim, Fredric Jameson juga mengungkapkan bahwa utopia adalah pandangan politik yang membayangkan, dan bahkan merealisasikan, suatu sistem yang berbeda dengan sistem yang ada pada saat ini. Dalam bukuArcheologies of the Future: The Desire Called Utopiaand Other Science Fictions, Jameson menulisThe fundamental dynamic of any Utopian politics (or of any political Utopianism) will therefore always lie in the dialectic of Identity and Difference, to the degree to which such a politics aims at imagining, and sometimes even at realizing, a system radically different from this one(Jameson, 2005: xii). Jameson juga menambahkan bahwa utopia bisa menunjukkan keterkurungan ideologis imajinasi kita yang dibatasi oleh berbagai mode produksi dan sisa-sisa masa lalu. Dia menulis:


(45)

On the social level, this means that our imaginations are hostages to our own mode of production (and perhaps to whatever remnants of past ones it has preserved). It suggests that at best Utopia can serve the negative purpose of making us more aware of our mental and ideological imprisonment (something I have myself occasionally asserted); and that therefore the best Utopias are those that fail the most comprehensively(Jameson, 2005: xiii).

Ideologi dan utopia bila dikaitkan dengan film sebagai hasil budaya populer atau budaya media adalah sebagai penerapan ideologi tersebut. Dalam buku New Vocabularies in Film Semiotics, disebutkan bahwa film sebagai teks tidak hanya gambaran sebuah event, namun juga sebuah event sendiri, sesuatu yang berpartisipasi dalam produksi subjek tertentu (1992: 184). Teori film yang dikembangkan oleh jurnal film Prancis seperti Cahiers du Cinéma dan Cinétique menggunakan teori Althusser untuk membentuk pemahaman yang ilmiah tentang sinema sebagai alat (apparatus) ideologi. Para penulisnya mengklaim bahwa ideologi borjuis sudah termasuk dalam cinematic apparatustersebut.

Jean-Louis Baudry berkata bahwa apparatus itu harus diteliti dalam konteks ideologi yang memproduksinya sebagai efek. Kekhususan cinematic apparatussebagai bentuk representasi dan sebagai praktik material berada pada caranya merealisasikan proses-proses suatu subjek yang dikonstruksi dalam ideologi. “The specific function of the cinema, as support and instrument of ideology, was to constitute the subject by the illusory delimitation of a central location, thus creating a “phantasmization” of the subject and collaborating in the maintenance of bourgeois idealism” (1992: 186).

Jean-Paul Fargier berpendapat bahwa impresi realitas (impression of reality) merupakan bagian penting ideologi yang diproduksi oleh cinematic apparatus. Jean-Louis Comolli dan Jean Narboni yang berargumen dengan kerangka Althusserian mengatakan:


(46)

What the camera registers in fact is the vague, unformulated, untheoreticalized, unthought-out world of the dominant ideology … reproducing things not as they really are but as they appear when refracted through the ideology. This includes every stage of process of production: subject, “styles,” forms, meanings, narrative traditions; all underline the general, ideological discourse(1992: 186).

Yang direkam oleh kamera merupakan dunia ideologi dominan yang abstrak. Hal tersebut terkandung dalam setiap tingkatan proses produksi.

Pada tulisan “Ideology” oleh Luc Herman dan Bart Vervaeck dalam buku The Cambridge Companion to Narrative, definisi ideologi berdasarkan Karl Marx, Louis Althusser, dan Antonio Gramsci, adalah norma-norma dan ide-ide yang tampak alami sebagai hasil kekuatan dominan yang berkelanjutan dan promosi terselubungnya dalam masyarakat. “Building on the work of Karl Marx, Louis Althusser, and Antonio Gramsci, we define ideology as a body of norms and ideas that appear natural as a resultof their continuous and mostly tacit promotion by the dominant forces in society” (Herman dalam Herman, 2007: 217).

Teori Greimas yang meneliti fabula (terdiri dari actions/events; actants/roles, dansetting waktu/tempat) dengan memperhatikan oposisi biner dalam hubungan antara tokoh (actant) digunakan di sini untuk membaca ideologi dalam narasi. “This model splits up roles into clearly delineated unities and therefore has its own ideological leanings, but it also enables the narratologists to see the ideological workings of a story” (2007: 220). Herman memberi contoh, jika peran tokoh perempuan selalu ditempatkan sebagai objek (object), dan tokoh pria sebagi subjek (subject), ini menunjukkan indikasi adanya bias gender.

Ideologi yang ada pada teks pun harus ditempatkan dalam konteks, baik itu waktu, tempat, produksi, dan lain-lain. Cara ini dilakukan sejalan dengan metode


(1)

dibayangkan adalah masyarakat yang terus berubah mengikuti konteks dan wacana yang melingkupi. Masyarakat itu membentuk dinamika dan paradigma mereka sendiri, bukandari pemerintah atau pihak lain, karena hukum dipandang tidak cukup kuat dalam narasi. Teknologi dan fantasi adalah lompatan jalan keluar yang merupakan gambaran utopia.Akan tetapi, musuh sendiri juga memiliki utopia dalam bentuk tindakan mereka yang selalu meningkat intensitasnya. Ini memperlihatkan utopia yang memiliki dua sisi, bisa digunakan sebagai strategi menghadapi masa depan, namun juga bisa digunakan sebagai legitimasi kekuasaan. Seperti utopia yang memiliki paradoks, pertentangan dan perbedaan akan membuat masyarakat melihat suatu permasalahan dengan lebih utuh.

Budaya populer atau budaya media yang pernah dianggap sebagai kepanjangan tangan kapitalisme atau ideologi yang dominan juga mulai dilihat secara berbeda berdasarkan cara pembacaan yang berbeda pula. Benar bahwa budaya populer selalu berusaha mendapatkan keuntungan. Akan tetapi, untuk mendapatkan keuntungan itu pun budaya populer terus menerus berevolusi seperti halnya konsumennya, sehingga dapat diterima. Suatu teks dibuat berdasarkan konteks, yang menghasilkan teks dan konteks yang lain. Budaya populer atau budaya media yang bisa mewakili konteks masyarakat semacam itu tentunya tidak seharusnya dipandang secara negatif. Perbedaan bentuk dan ideologi yang diusung dapat menjadi kritik dan alat untuk mengecek jika terjadi permasalahan. Konsumen budaya populer tidak bisa dipandang sebatas penerima yang pasrah, karena masyarakat juga memiliki kontrol dan pembacaan sendiri. Masyarakat bisa mengkritik dan menolak jika ideologi dalam budaya populer tidak sesuai dengan opini mereka. Semua perdebatan yang terjadi justru dapat memajukan budaya dan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kisah-kisah superhero tidak harus


(2)

mengalamidilema dan kegagalan, tetapi juga bisa menjadi cermin yang merefleksikan berbagai cara pandang.

Dari tesis ini, penulis menemukan bahwa analisis tekstual dalam penelitian budaya populer adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Analisis tekstual yang di sini dilakukan dengan metode analisis struktural naratif Roland Barthes dapat menemukan struktur dan makna yang tidak langsung terlihat di permukaan. Hal ini penting sebagai landasan sebelum membicarakan konteks dan ideologi, karena tanpa melakukan tahap ini terlebih dahulu, yang terjadi kemudian hanya asumsi tanpa didukung fakta yang terkandung dalam teks itu sendiri.

Keterbatasan analisis tekstual adalah ini hanya satu dari bermacam sudut pandang atas pembacaan suatu teks. Tesis ini sudah berusaha menggabungkan analisis semiotika, kritik ideologi, dan kritik genre seperti dianjurkan oleh Douglas Kellner: "Combining, for instance, ideology critique and genre criticism with semiotic analysis allows one to discern how the generic forms of media culturem or their semiotic codes, are permeated with ideology " (Kellner, 2003: 98).Akan tetapi pembacaan yang semacam itu belum mencakup pembacaan yang multiperspektif. Apabila penelitian dilakukan dengan menggabungkan analisis tekstual dan analisis audiens, kemungkinan hasilnya akan lebih lengkap.

Masih banyak yang bisa diteliti dari narasi superhero. Tesis ini misalnya sudah menyebut tentang masalah gender di dalamnya. Akan menarik jika masalah itu diteliti secara khusus, terutama jika nanti superhero wanita sudah lebih banyak muncul dalam film. Masalah ekonomi politik dan pengaruh Amerika yang tampak dalam film superhero juga bisa diteliti lebih lanjut.


(3)

Daftar Pustaka

Abrams, M. H. A Glossary of Literary Terms/Seventh Edition. Boston: Heinle &Heinle, 1999.

Barthes, Roland.Image Music Text. Tr. Stephen Heath. London: Fontana Press, 1977. Bordwell, David dan Kristin Thompson. Film Art: An Introduction. New York:

McGraw-Hill, 2008.

Burke, Liam.Superhero Movies. Harpenden: Pocket Essentials, 2008.

Campbell, Joseph. The Hero with a Thousand Faces. New Jersey: Princeton University Press, 2004.

Corrigan, Timothy dan Patricia White. The Film Experience: An Introduction. Boston: Bedford/St. Martin’s, 2004.

DiPaolo, Marco. War, Politics, and Superheroes: Ethics and Propaganda in Comics and Films. Jefferson: McFarland & Company, Inc, 2011.

Ferreter, Luke. Routledge Critical Thinkers: Louis Althusser. New York: Routledge, 2006.

Finan, Christopher M.From the Palmer Riot to Patriot Act: A History of Fight for Free Speech in America. Boston: Beacon Press, 2007.

Fingeroth, Danny. Superman on the Couch: What Superheroes Really Tell Us about Ourselves and Our Society. New York: The Continuum International Publishing Group Inc., 2004.

Fludernik, Monika. Terj Patricia Hausler-Greenfield dan Monika Fludernik. An Introduction to Narratology. New York: Routledge, 2009.

Gray, Richard J. dan Betty Kaklamanidou, ed. The 21st Century Superhero: Essays on Gender, Genre and Globalization in Film. Jefferson: McFarland & Company, Inc., 2011.


(4)

Greenwald, Glenn. No Place to Hide: Edward Snowden, The NSA, and the U.S. Surveillance State. New York: Henry Holt and Company, 2014.

Greimas, A.-J. Structural Semantics: An Attempt at a Method. Tr. Daniele McDowell, Ronald Schleifer, Alan Velie.Lincoln: University of Nebraska Press, 1983. Herman, David. The Cambridge Companion to Narrative. Cambridge: Cambridge

University Press, 2007.

Herman, Luc dan Bart Vervaeck. Handbook of Narrative Analysis. Lincoln: University of Nebraska Press, 2005.

Heryanto, Ariel, ed. Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics. New York: Routledge, 2008.

Jameson, Fredric. Archeologies of the Future: The Desire Called Utopiaand Other Science Fictions. New York: Verso, 2005.

Johnson, Richard, et. al. The Practice of Cultural Studies. London: SAGE Publications Ltd, 2004.

Kaveney, Roz. Superheroes! Capes and Crusaders in Comics and Films. New York: I. B. Tauris & Co Ltd, 2008.

Kellner, Douglas. Cinema Wars: Hollywood Films and Politics in the Bush-Cheney Era. Chichester: Wiley-Blackwell, 2010.

Kellner, Douglas. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. New York: Routledge, 2003.

Kolker, Robert.Film, Form, and Culture. New York: McGraw-Hill, 2002.

Mannheim, Karl. Tr. Louis Wirth dan Edward Shills. Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. Thetford: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1979.


(5)

McQuillan, Martin, ed.The Narrative Reader.New York: Routledge, 2000.

Rybacki, Karyn dan Donal Rybacki. Communication Criticism: Approaches and Genres. Belmont: Wadsworth Publishing Company, 1991.

Stam, Robert, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis.New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, post-structuralism and beyond. New York: Routledge, 1992.

Storey, John. Cultural Theory and Popular Culture: An Introduction (Fifth Edition). Harlow: Pearson Education Limited, 2009.

Strinati, Dominic. An Introduction to Theories of Popular Culture: Second Edition. New York: Routledge, 2004.

Tsutsui, William M. dan Michiko Ito. In Godzilla’s Footsteps: Japanese Pop Cultures Icon on the Global Stage. New York: Palgrave Macmillan, 2006.

Wibowo, Paul Heru. Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture. Jakarta: LP3ES, 2012.

Sumber Tulisan Akademik

Hartanto, A. Sudjud. "Menjadi Superhero Jepang di Yogyakarta: Studi atas Konsumsi dan Reproduksi Mitos Superhero Jepang pada Kelompok J-Toku". Tesis Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma (Tidak diterbitkan).

Sumber Internet

http://boxofficemojo.com/alltime/weekends/pastrecords.htm (diakses pada 30 Mei 2013)

http://www.youtube.com/watch?v=rtilXtYc9t8 (diakses pada 1 September 2014) http://www.beritasatu.com/aktualitas/103832-aksi-solidaritas-di-bundaran-hi-kecam-penyerangan-lp-cebongan.html (diakses pada 10 Juni 2013)

http://regional.kompas.com/read/2013/06/20/1245430/Elemen.Masyarakat.Teriakan.Hid up.Kopassus.di.Depan.Pengadilan. (diakses pada 10 Juni 2013)


(6)

http://www.nydailynews.com/news/national/comic-book-creator-fights-term-superhero-article-1.1327860 (diakses pada 1 September 2014).

http://www2.boxofficemojo.com/movies/intl/?page=&country=MY&wk=2009W1&id= _fCICAKMAN2PLANETH01 (diakses pada 10 Juni 2013)

http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=raone.htm (diakses pada 10 Juni 2013) http://batman.wikia.com/wiki/Batman_Begins(diakses pada 11 Agustus 2014) http://en.wikipedia.org/wiki/Batman (diakses pada 11 Agustus 2014)

http://danieldokter.wordpress.com/2010/10/07/madame-x-the-rebirth-of-indonesian-superhero/ (diakses pada 11 Agustus 2014)

http://filmindonesia.or.id/article/lucky-kuswandi-malam-di-jakarta-lebih-terasa-jujur-daripada-siang-hari#.U_MrO_ldWJU (diakses pada 19 Agustus 2014).

http://www.cnn.com/2014/12/15/world/asia/australia-hostage-illridewithyou/ (diakses pada 22 Desember 2014)

http://articles.chicagotribune.com/1985-04-19/entertainment/8501230412_1_videotape-box-office-top-videocassette-rental(diakses pada 6 Desember 2014)

http://www.therichest.com/rich-list/the-biggest/10-not-so-super-superhero-film-flops/2/ (diakses pada 6 Desember 2014)

http://edition.cnn.com/2001/US/11/11/rec.hollywood.terror/index.html (diakses pada 6 November 2014)

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/10/09/28/136875-fpi-serukan-aksi-protes-terhadap-festival-film-gay-di-indonesia(diakses pada 2 Desember 2014)

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2012/04/120420_fpiahmadi.shtml(dia kses pada 2 Desember 2014)

http://www.nbcnews.com/id/3340101/t/bin-laden-comes-home-roost/#.VKVfDiuUeSo (diakses pada 2 Desember 2014)