Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

A. Hospes, Nama Penyakit dan Habitat Cacing tambang yang menginfeksi manusia ada 2 jenis yaitu Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Kedua cacing ini disebut cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja tambang yang belum mempunyai sanitasi yang memadai. Telur dari kedua cacing ini lebih sering disebut sebagai cacing tambang. Cacing tambang dewasa dapat dibedakan dari bentuk, ukuran dan morfologi serta mulut. Hospes defenitif kedua spesies ini adalah manusia. Cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan ankilostomiasis. Cacing dewasa meletakkan dirinya pada mukosa usus halus terutama di yeyenum, beberapa di duodenum dan jarang di ileum dengan dua pasang gigi pada A. duodenale dan sepasang benda kitin pada N. americanus Budiawati, 2001. B. Epidemiologi Penyebaran cacing tambang di seluruh daerah khatulistiwa, yang kelembaban dan temperaturnya menguntungkan untuk perkembangan larva di tanah. Tanah gembur pasir, humus merupakan tempat pembiakan yang baik untuk larva cacing tambang. Suhu optimum bagi N. americanus adalah 28 -32 C. Ini adalah salah satu sebab mengapa N. americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A. duodenale Budiawati, 20001. Dalam diskusi biologi pada hookworm, hal ini terjadi karena kombinasi dari sanitasi yang buruk dan lingkungan yang memiliki tingkat endemik yang tinggi Roberts et al., 2005. C. Morfologi dan Siklus Hidup Ukuran A. duodenale sedikit lebih besar dari N. americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan N. americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. N. americanus Universitas Sumatera Utara mempunyai benda kitin, sedangkan A. duodenale ada dua pasang gigi Wardhana et al., 2014. Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan berukuran 40 x 60 μ. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline yang halus, di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur N. americanus tidak dapat dibedakan dari A. duodenale. Jumlah telur per-hari yang dihasilkan seekor cacing betina N. americanus sekitar 9.000-10.000, sedangkan pada A. duodenale 10.000-20.000 butir Wardhana et al., 2014. Gambar 3.1 Telur cacing tambang hookworm CDC, 2014 Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran 250- 300 μm. Setelah dua kali mengalami perubahan akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus Wardhana et al., 2014. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.2 Daur hidup cacing tambang hookworm CDC, 2014 Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut ground itch atau dew itch. Sewaktu larva berada dalam aliran darah dalam jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronkitis atau bahkan pneumonitis Wardhana et al., 2014. D. Patologi dan Gejala Klinik Gejala klinik dan patologis penyakit cacing ini bergantung pada jumlah cacing yang menginfeksi usus; paling sedikit 500 cacing diperlukan untuk menyebabkan terjadinya anemia dan gejala klinik pada pasien dewasa. l. Stadium larva Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan. 2. Stadium dewasa Gejala tergantung pada : a. spesies dan jumlah cacing dan b. keadaan gizi penderita Fe dan protein . Universitas Sumatera Utara Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005- 0,1cc sehari, sedangkan A. duodenale 0,05-0,34 cc. Biasanya tejadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Rasa tak enak diperut, kembung, sering flatus, mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus yang terjadi lebih kurang 2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke dalam kulit. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing Budiawati, 2001. E. Diagnosis 1. Pemeriksaan tinja untuk mengetahui karakteristik telur. 2. Gejala klinis. 3. Pemeriksaan sputum untuk mengetahui ada tidaknya larva. 4. Biakan tinja untuk membedakan telur N.americanus dan A.duodenale dengan metode Harada —mori Waikagul et al., 2002. F. Pengobatan Mebendazole adalah pilihan pengobatan. Selain untuk mengobati infeksi N. americanus dan A. duodenale obat ini juga dapat mengobati infeksi A. lumbricoides. dosis tunggal selain murah, tepat dan efektif. Sayangnya belum ada keterangan tentang resisten albendazole terhadap N. americanus Waikagul et al., 2002. G. Pencegahan Infeksi cacing tambang dilaporkan lebih banyak pada ras kulit hitam daripada kulit putih, pada generasi muda daripada generasi tua, pada laki-laki daripada perempuan. Resiko tinggi infeksi ini terjadi pada petani yang menggunakan pupuk dari tinja, pada orang-orang yang berjalan tanpa menggunakan alas kaki dan pada orang yang mengkonsumsi sayuran mentah Waikagul et al., 2002 Pencegahan yang efektif bergantung pada peningkatan kesehatan dan sanitasi yang adekuat. Universitas Sumatera Utara Hal-hal lain yang harus dilakukan: 1 Mengobati orang yang positif terkena infeksi dan mencegah reinfeksi dengan menghentikan pencemaran tanah. 2 Memberikan edukasi tentang infeksi parasit, hiegenitas perorangan dan sanitasi. 3 Pembuangan tinja yang bersih dan mencegah penggunaan pupuk dari tinja Waikagul et al., 2002.

2.2 Selada Lactuca sativa