BAB 5 PEMBAHASAN
Stomatitis aftosa rekuren SAR merupakan salah satu penyakit mulut yang sering ditemukan pada masyarakat umum.Stomatitis aftosa rekuren adalah ulser
superfisial yang secara klinis memiliki bentuk bulat atau oval, berukuran kurang atau lebih dari 10 mm, dikelilingi eritema halo dan sering terjadi berulang.
4
Penelitian ini melibatkan 16 orang pasien yang berkunjung ke RSGM USU yang menderita SAR.
Jumlah subjek pada penelitian ini adalah 16 orang, dimana 16 orang pasien ini merupakan perempuan.
5.1 Karakteristik Subjek
SAR banyak terjadi pada pasien yang berusia 22 tahun yaitu sebanyak 7 pasien 43,8 dari 16 pasien yang terlibat dalam penelitian ini karena sebagian besar
adalah mahasiswa. Pasien yang paling sedikit mengalami lesi SAR adalah pada usia 18 tahun dan 19 tahun sebanyak 1 pasien 6,2 pada masing-masing usia. Penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Agustiar 2002 bahwa SAR sering terjadi pada usia 21-41 tahun.
22
Disamping itu, penelitian ini sesuai dengan penelitian yang diungkapkan oleh Abdullah dkk 2012 bahwa SAR sering terjadi
pada usia 20-29 tahun.
23
Hal tersebut sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Bruch bahwa SAR mulai terjadi dekade kedua, terus meningkat dan menurun pada
dekade keempat.
24
Pasien pada kelompok usia 18-40 tahun rentan mendapat SAR karena stres dan perubahan hormonal. Stres dan perubahan hormonal merupakan
etiologi SAR.Contoh stres yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah disebabkan oleh kesibukan hidup sedangkan perubahan hormonal adalah karena
menstruasi dan juga produksi hormonal yang tinggi pada usia ini.
10,12
5.2 Teknik mendeteksi bakteri
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh bakteri terhadap SAR. Bakteri dikaitkan terhadap terjadinya SAR. Dalam penelitian ini
Universitas Sumatera Utara
ditemukan adanya pengaruh bakteri Staphylococcus aureus terhadap terjadinya SAR pada pasien RSGM USU. Hal ini sesuai dengan penelitian Donatsky dkk cit.
Marchini menemukan bakteri Streptococcus, Staphylococcus aureus dan Neiserria pada lesi SAR.
4
Dalam penelitian ini juga ditemui adanya pengaruh bakteri Streptococcus terhadap terjadinya SAR. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Andy Sun dkk bahwa ada hubungan antara bakteri dan antigen terhadap terjadinya SAR, dengan melihat respon proliferatif untuk spesies Streptococcus yang berbeda
dalam sel mononuklear.
7
Pada penelitian ini, uji katalase dan koagulase merupakan uji untuk menunjukkan adanya bakteri
Streptococcus α-hemolytic dan Staphylococcus pada SAR. Menurut penelitian Zengin dkk, uji katalase dan uji koagulase digunakan
untuk menunjukan adanya bakteri Streptococcus dan Staphylococcus dalam rongga mulut pasien yang mempunyai penyakit mulut.
25
Uji katalase penting untuk membedakan Streptococcus katalase negatif dengan Staphylococcus yang
menghasilkan enzim katalase katalase positif. Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H
2
O
2
3 ke dalam koloni pada plat agar atau agar miring. Pada kultur yang menunjukkan katalase positif akan terbentuk O
2
dan gelembung udara. Staphylococcus aureus dan Streptococcus intermedius adalah koagulase positif,
sedangkan Staphylococcus yang lain merupakan koagulase negative. Uji koagulase digunakan untuk membedakan Staphylococcus dengan Streptococcus. Staphylococcus
aureus mampu menghasilkan koagulase, yaitu berupa protein yang menyerupai enzim yang apabila ditambahkan dengan oksalat atau sitrat mampu menggumpalkan plasma
akibat adanya serum. Serum tersebut bereaksi dengan koagulase untuk membentuk esterase dan aktivitas penggumpalan, serta untuk mengaktivasi protrombin menjadi
trombin. Trombin akan membentuk fibrin yang akan berpengaruh terhadap terjadinya penggumpalan plasma.
26
5.3 Pengaruh bakteri terhadap SAR