Ekstraksi Fitur dengan Gray Level Co-occurrence Matrix

14

2.4. Ekstraksi Fitur dengan Gray Level Co-occurrence Matrix

Gray Level Co-occurrence Matrix GLCM adalah salah satu metode analisis tekstur orde kedua. Metode ini diperkenalkan oleh Haralick dkk pada tahun 1973. GLCM dapat juga disebut sebagai Gray level Dependency Matrix Gadkari, 2004. GLCM adalah matriks yang berbentuk persegi yang menunjukkan distribusi spasial intensitas keabuan dari sebuah citra Pathak Barooah, 2013. GLCM merepresentasikan hubungan dua piksel yang bertetangga dimana dua piksel yang berhubungan tersebut memiliki intensitas keabuan tertentu serta memiliki jarak dan arah tertentu di antara keduanya. Jarak dinyatakan dengan piksel dan arah dinyatakan dalam sudut. Jarak dapat bernilai 1, 2, 3 dan seterusnya sedangkan arah dapat bernilai 0°, 45°, 90°, 135° dan seterusnya. Parameter dalam membuat GLCM adalah arah dan jarak di antara piksel referensi dengan piksel tetangga serta tingkat keabuan pada citra. Setiap piksel dapat memiliki piksel tetangga dari delapan arah, yaitu 0°, 45°, 90°, 135°, 180°, 225°, 270°, atau 315°. Namun, pemilihan sudut bernilai 0° akan menghasilkan nilai GLCM yang sama dengan pemilihan sudut yang bernilai 180°. Konsep tersebut juga berlaku bagi sudut 45°, 90°, dan 135° Gadkari, 2004. Delapan arah ketetanggaan pada GLCM ditunjukkan pada Gambar 2.10. Gambar 2.10. Delapan arah ketetangaan piksel Parameter selanjutnya adalah jarak. Jarak pada GLCM merupakan jumlah piksel yang berada di antara piksel referensi dan piksel tetangga Ferguson, 2007. Gambar 2.11 menunjukkan contoh pemilihan beberapa jarak jarak bernilai 1, 2, 3 dan 4 pada arah 0°. Pada jarak bernilai 1, piksel tetangga nx tepat berada di sisi kanan arah 0° dari piksel referensinya rx. Sedangkan pada jarak bernilai 2, piksel referensi dan piksel tetangga diapit oleh satu piksel. Universitas Sumatera Utara 15 Gambar 2.11. Jarak pada arah 0° Ferguson, 2007 Langkah awal dalam membuat GLCM adalah membentuk matriks framework. Matriks framework adalah matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan antara piksel referensi dengan piksel tetangga pada arah tertentu Ferguson, 2007. Tingkat intensitas keabuan merupakan faktor yang penting dalam pembuatan GLCM karena dimensi dari matriks ditentukan oleh nilai tingkat keabuan pada piksel didalam citra Gadkari, 2004. Sebuah citra grayscale 2 bit akan memiliki GLCM dengan ukuran dimensi 2 2 x 2 2 . Begitu juga dengan citra grayscale 8 bit yang akan membentuk GLCM dengan ukuran dimensi 2 8 x 2 8 . Gambar 2.12 menunjukkan matriks framework dari citra grayscale berukuran 2 bit. Matriks framework tersebut berdimensi 2 2 x 2 2 sehingga memiliki empat kolom dan empat baris. Baris menunjukkan piksel referensi sedangkan kolom menunjukkan piksel tetangga. Gambar 2.12. Matriks framework Ferguson, 2007 Universitas Sumatera Utara 16 Setelah membuat matriks framework, langkah selanjutnya adalah mengisi entri dari matriks framework. Matriks framework yang telah diisi dinamakan matriks kookurensi. Matriks framework diisi dengan menghitung jumlah kombinasi piksel referensi dengan nilai intensitas r dan piksel tetangga dengan nilai intensitas n. Pada Gambar 2.12, kolom pertama baris pertama diisi dengan nilai kookurensi piksel referensi berintensitas 0 dapat bertetangga pada arah dan jarak tertentu dengan piksel tetangga berintensitas 0. Sebelum mengisi matriks framework, terlebih dahulu dilakukan pemilihan arah dan jarak GLCM. Citra yang akan dijadikan contoh untuk dapat direpresentasikan ke dalam GLCM adalah citra grayscale berukuran 4x4 piksel dengan tingkat intensitas 2 bit serta jarak yang digunakan adalah 1 dan arah yang digunakan adalah 0°. Citra tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.13 a. Setelah dilakukan pemilihan jarak dan arah, maka matriks kookurensi dapat dibuat. Pada Gambar 2.13 b, akan ditunjukkan hasil representasi citra grayscale ke dalam bentuk matriks kookurensi dengan arah 0° dan jarak 1. a b Gambar 2.13. a Citra grayscale b representasi citra grayscale ke dalam matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0º Setelah matriks kookurensi dibuat, maka langkah selanjutnya adalah menambahkan matriks kookurensi dengan transposenya. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh matriks yang simetris. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya akan ditunjukkan pada Gambar 2.14. Universitas Sumatera Utara 17 Matriks Kookurensi + Matriks Transpose = Matriks Simetris Gambar 2.14. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya Langkah selanjutnya adalah melakukan nomalisasi terhadap nilai – nilai elemen GLCM. Matriks simetris perlu untuk dinormalisasi dengan tujuan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap ukuran citra, dengan membagi setiap nilai elemen matriks sehingga total seluruh elemen berjumlah 1 Kadir et al., 2011. Normalisasi matriks ditunjukkan pada Gambar 2.15. 424 224 124 024 224 424 024 024 124 024 624 124 024 024 124 224 0.167 0.083 0.041 0.083 0.167 0.041 0.25 0.041 0.041 0.083 Gambar 2.15. Normalisasi matriks Setelah dilakukan normalisasi matriks, maka perhitungan fitur statistik dari matriks dapat dilakukan. Beberapa fitur statistik yang diusulkan oleh Haralick adalah sebagai berikut. 2.4.1. Energy Energy atau Angular Second Moment ASM menyatakan ukuran keseragaman tekstural dari sebuah citra. Energi pada citra akan bernilai tinggi jika intensitas keabuan terdistribusi secara konstan Kadir et al., 2011. Perhitungan energy ditunjukkan pada persamaan 2.2, dimana P i,j adalah elemen matriks kookurensi yang telah dinormalisasi dan N merupakan banyaknya kolom atau baris pada matriks. Universitas Sumatera Utara 18 Energy = ∑ ∑ � , �− = �− = 2.2 2.4.2. Entropy Entropy menunjukkan ketidakteraturan pada citra. Entropy bernilai kecil jika citra memiliki derajat keabuan yang seragam Kadir et al., 2011. Perhitungan entropy ditunjukkan pada persamaan 2.3. Entropy = ∑ ∑ � , − ln � , �− = �− = 2.3 2.4.3. Contrast Contrast menunjukkan variasi pasangan keabuan pada sebuah citra. Contrast bernilai tinggi ketika terdapat variasi yang besar pada citra Ferguson, 2007. Perhitungan contrast ditunjukkan pada persamaan 2.4. Contrast = ∑ ∑ � , − �− = �− = 2.4 2.4.4. Inverse difference moment Inverse difference moment atau homogeneity menunjukkan kehomogenan citra. Homogeneity bernilai besar jika pasangan elemen pada matriks memiliki perbedaan tingkat keabuan yang kecil Gadkari, 2004. Perhitungan homogeneity ditunjukkan pada persamaan 2.5. Inverse Difference moment = ∑ ∑ � , + − �− = �− = 2.5 2.4.5. Correlation Correlation menunjukkan ketergantungan linear derajat keabuan citra Gadkari, 2004. Perhitungan correlation ditunjukkan pada persamaan 2.6. Universitas Sumatera Utara 19 Correlation = ∑ ∑ � , [ − � − � √� � ] �− = �− = 2.6 Dimana � dan � adalah perhitungan mean sedangkan � dan � adalah perhitungan variance. Perhitungan mean ditunjukkan pada persamaan 2.7 dan persamaan 2.8. Perhitungan variance ditunjukkan pada persamaan 2.9 dan persamaan 2.10. � = ∑ ∑ � , �− = �− = 2.7 � = ∑ ∑ � , �− = �− = 2.8 � = ∑ ∑ � , − � �− = �− = 2.9 � = ∑ ∑ � , − � �− = �− = 2.10

2.5. Normalisasi Data