commit to user
xxv
BAB II LANDASAN TEORI
A. Telaah Pustaka
1.
Kepuasan Kerja
1
Pengertian Kepuasan Kerja
Aktivitas hidup manusia beraneka ragam dan salah satu bentuk dari segala aktivitas yang ada adalah bekerja. Sebelum masuk kedalam bahasan
kepuasan kerja maka terlebih dahulu akan melihat pengertian mengenai kerja, dalam kamus bahasa indonesia 1995;117 kerja diartikan sebagai
perbuatan melakukan sesuatu. Ketika seorang individu bekerja pada suatu organisasi, instansi
ataupun perusahaan maka hasil kerja yang ia selesaikan akan mempengaruhi terhadap tingkat produktivitas organisasi, oleh karena itu,
pandangan dan juga perasaan individu terhadap pekerjaannya harus tetap terjaga pada sisi positif dari pekerjannya dengan kata lain individu
tersebut harus memiliki dan menjaga kepuasan kerjanya agar produktivitasnya dapat terus ditingkatkan.
Adapun pengertian kepuasan kerja job satisfaction menurut Handoko 1991;193 adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya
yang tampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala
commit to user
xxvi sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.
Menurut Mathis dan Jackson 2000;98 kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Kepuasan
kerja juga tergantung pada hasil intrinsik, ekstrinsik, dan persepsi pemegang kerja pada pekerjaannya, sehingga kepuasan kerja adalah tingkat di mana
seseorang merasa positif atau negatif tentang berbagai segi dari pekerjaan, tempat kerja, dan hubungan dengan teman kerja Gibson, Ivancevic dan
Donely, 1996. Menurut Noe, Beck, Gerhart dan Wright 2007;341 kepuasan kerja
adalah a pleasant feeling resulting from the perception that one’s job fulfills or allows for the fulfillment of one’s important job values atau suatu perasaan
yang menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi bahwa suatu pekerjaan telah terpenuhi atau diijinkan menyelesaikan salah satu pekerjaan yang bernilai
penting. Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat
individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian
terhadap kegiatan yang sekiranya sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara garis besar
kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan dari sisi pegawai memandang pekerjannya.
Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah 8
commit to user
xxvii mencapai kematangan psikologis, dan pada gilirannya akan menjadi frustasi,
dampaknya menjadikan karyawan sering melamun, mempunyai semangat kerja rendah, cepat lelah, bosan, emosinya tidak stabil, sering absen, dan
melakukan kesibukan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan, sedangkan karyawan yang mendapatkan kepuasan kerja
biasanya mempunyai catatan kehadiran dan perputaran yang lebih baik, kurang aktif dalam kegiatan serikat karyawan, dan kadang-kadang berprestasi kerja
lebih baik daripada karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja. Handoko, 1991;196.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan atau sikap seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukannya, yang dapat
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal.
2
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja
Tidak ada rumusan sederhana untuk memperkirakan kepuasan tenaga kerja, faktor kritisnya adalah apa yang diharapkan tenaga kerja dari
pekerjaannya dan apa yang mereka terima sebagai penghargaan dari pekerjaan mereka Mathis dan Jackson, 2000;98.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu faktor intrinsik atau faktor yang
berasal dari dalam diri karyawan itu sendiri seperti harapan dan kebutuhan individu tersebut dan yang kedua adalah faktor ekstrinsik, faktor ekstrinsik
yaitu faktor yang berasal dari luar diri karyawan antara lain kebijakan
commit to user
xxviii perusahaan, kondisi fisik lingkungan kerja, interaksi dengan karyawan lain,
sistem penggajian, dan sebagainya. Secara teoritis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian, dan efektivitas kerja. Faktor-faktor
yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang pegawai menurut Job Descriptive Index JDI antara lain :
a.
bekerja pada tempat yang tepat,
b.
pembayaran yang sesuai,
c.
organisasi dan manajemen,
d.
supervisi pada pekerjaan yang tepat,
e.
orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat. Menurut Robbins 2003 dalam Askolani ada empat faktor yang
kondusif bagi tingkat kepuasan kerja karyawan yang tinggi, yaitu seperti dibawah ini.
a. Pekerjaan yang secara mental menantang. Orang lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka peluang
untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan satu varietas tugas, kebebasan dan umpan balik tentang
seberapa baiknya mereka melakukan itu. Karakteristik-karakteristik ini membuat pekerjaan menjadi menantang secara mental.
b. Imbalan yang wajar.
commit to user
xxix Karyawan menginginkan sistem panggajian yang mereka anggap tidak
ambigu, dan sejalan dengan harapan mereka. A p a b ila pembayaran itu kelihatan adil berdasarkan pada permintaan pekerjaan, tingkat
keterampilan individu, dan standar pembayaran masyarakat, kepuasan mungkin dihasilkan.
c. Kondisi lingkungan kerja yang mendukung. Karyawan merasa prihatin dengan kondisi lingkungan kerja mereka jika
menyangkut masalah kenyamanan pribadi maupun masalah kemudahan untuk dapat bekerja dengan baik. Banyak studi yang menunjukan bahwa
para karyawan lebih menyukai lingkungan fisik yang tidak berbahaya atau yang nyaman. Selain itu kebanyakan karyawan lebih suka bekerja tidak jauh
dari rumah, dalam fasilitas yang bersih dan relatif modern, dengan alat dan perlengkapan yang memadai.
d. R ekan kerja yang suportif.
Dengan bekerja orang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau prestasi- prestasi yang berwujud, bagi sebagian karyawan, kerja juga
dapat mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika seorang karyawan memiliki rekan kerja yang suportif dan
bersahabat dapat meningkatkan kepuasan kerja mereka. Perilaku dari bos seseorang juga merupakan salah satu penentu
utama kepuasan. Studi-studi umumnya menemukan bahwa kepuasan kerja dapat ditingkatkan bila penyelia langsung memahami dan secara bersahabat,
commit to user
xxx memberikan pujian atas kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan,
dan menunjukan minat pribadi terhadap mereka. Hal tersebut dibenarkan oleh Malayu S.P. Hasibuan 2004 dalam Askolani, yang menyebutkan kepuasan
kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor dibawah ini.
a.
B alas jasa yang layak dan adil.
b.
Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
c.
Berat-ringannya pekerjaan.
d.
Suasana dan lingkungan pekerjaan.
e.
Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
f.
Sikap pemimpin dalam kepemimpinannya.
g.
Sifat pekerjaan monoton atau tidak. Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan
kerja dirumuskan sebagai respons umum pekerja y a i t u berupa perilaku yang ditampilkan oleh karyawan sebagai hasil persepsi mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pekerjaannya. Seorang pekerja yang masuk dan bergabung dalam suatu organisasi institusi perusahaan mempunyai seperangkat
keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengalaman masa lalu yang menyatu dan membentuk suatu harapan yang diharapkan dapat dipenuhi di tempatnya
bekerja. Kepuasan kerja akan didapat apabila ada kesesuaian antara harapan pekerja dengan kenyataan yang ditemui dan didapatkannya dari
tempatnya bekerja.
3
Pengukuran Kepuasan Kerja
Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada karena setiap
commit to user
xxxi individu
karyawan berbeda
standar kepuasannya,
indikator untuk
mengukurnya pun dapat berbeda-beda tergantung pada perusahaan organisasi yang menetapkannya.
Kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan pekerjaan dan aspek-aspeknya. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus benar-benar
memperhatikan kepuasan kerja, yang dapat dikategorikan sesuai dengan fokus karyawan atau perusahaan, yaitu sebagai berikut.
a.
Manusia berhak diberlakukan dengan adil dan hormat, pandangan ini menurut perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan
refleksi perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indikator emosional atau kesehatan psikologis.
b.
Perspektif kemanfaatan, bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan
kepuasan kerja antara unit-unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan.
Selain hal dia atas, faktor-faktor berikut ini yang mempengaruhi kepuasan karyawan dalam bekerja, yaitu dapat kita lihat dalam gambar 2.1.
Gambar II.I Reward Performance Model of Motivation
Satisfaction Performance
Inner Self Drives Job Itself Team
Self Image Estem External
Self Expectation Internal
Employee
commit to user
xxxii Sumber : Veithzal Rivai 2004 dalam Askolani
Dari gambar tersebut, probabilitas keberhasilan pelaksanaan dipandang oleh seseorang dalam berbagai cara. Sebagai seorang yang akan melakukan
kagiatan, para karyawan tersebut akan menilai kemampuannya, baik pengetahuan maupun keterampilan, untuk memperkenalkan apakah ia akan
mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik atau tidak, sehingga bisa memperoleh imbalan yang diinginkan.
Menurut Robbins 2003 dalam Askolani ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan kerja karyawan, yaitu sebagai
berikut. a.
Angka-nilai global tunggal single global rating Metode angka-nilai global tunggal single global rating tidak lebih dari
meminta individu-individu untuk menjawab satu pertanyaan, seperti misalnya “Bila semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskah anda dengan
pekerjaan anda?”. Kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan antara 1-5 yang berpadanan dengan jawaban dari “Sangat
Dipuaskan” sampai “Sangat Tidak Dipuaskan”.
commit to user
xxxiii a.
Skor Penjumlahan summation score Metode ini mengenali unsur-unsur utama dalam suatu pekerjaan dan
menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsur. Faktor-faktor yang lazim akan dicakup adalah sifat dasar pekerjaan, penyeliaan, upah sekarang,
kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan sekerja. Faktor-faktor ini dinilai pada suatu skala baku dan kemudian dijumlahkan untuk
menciptakan skor kepuasan kerja keseluruhan.
4
Tindakan Karyawan Mengungkapkan Ketidakpuasan
Ketidakpuasan karyawan dapat diungkapkan dengan sejumlah cara. Misalnya, daripada berhenti, karyawan dapat mengeluh, tidak patuh, mencuri
milik organisasi, atau mengelakan sebagian dari tanggung jawab kerja mereka. Berikut ini adalah contoh respon yang biasa diungkapkan karyawan
jika mereka merasa tidak puas menurut Robbins 2003 dalam Askolani. a.
Exit, perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi, mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.
b. Suara Voice, dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki
kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
c. Kesetiaan Loyality, pasif tetapi optimistis menunggu membaiknya
kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi, menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal
yang tepat. d.
Pengabaian Neglect, secara pasif membiarkan kondisi memburuk,
commit to user
xxxiv termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang
dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat.
2.
Kompleksitas Tugas
1
Pengertian Kompleksitas Tugas
Kompleksitas berasal dari kata complex yang berarti terdiri dari bagian- bagian yang banyak dan saling terkait satu sama lain dengan struktur yang tidak
sederhana Rapina, 2007. Kompleksitas tugas merupakan persepsi individu tentang kesulitan suatu tugas. Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa
suatu tugas sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain Pramesthi, 2010. Engko dan Gudono 2007 mendefinisikan kompleksitas tugas
sebagai tugas yang kompleks, terdiri atas bagian-bagian yang banyak, berbeda- beda dan saling terkait satu sama lain
Sedangkan Gupta 1999 dalam Rapina 2007 mendefinisikan kompleksitas tugas dengan mengacu pada teknologi tugas perrow. Teknologi
tugas digambarkan dalam dua dimensi yaitu ketidakpastian tugas dan interdepandensi tugas. Ketidakpastian tugas terdiri atas dua tingkat dimana
anggota-anggota tim merasa tugas-tugas mereka menjadi familiar atau tidak familiar, similar atau tidak similar dengan tugas lain, rutin atau tidak rutin, dan
sering atau tidak sering. Kesulitan tugas mengacu pada kompleksitas dan kemampuan untuk dianalisa dan tingkat dimana prosedur operasi standar telah
dikembangkan. Kompleksitas tugas penting untuk dipertimbangkan karena auditor tidak
terhindar dari tugas-tugas dengan tingkat kompleksitas yang tidak sama, dalam
commit to user
xxxv pelaksanaan tugasnya yang kompleks, auditor yunior sebagai anggota pada
suatu tim audit memerlukan keahlian, kemampuan dan tingkat kesabaran yang tinggi. Penting bagi auditor untuk mengetahui cara memastikan bahwa tugas-
tugas tersebut dapat dilaksanakan secara memuaskan. Jika
suatu tugas
sudah dipahami
dengan baik
sebelum melaksanakannnya, maka banyak hal yang dapat direncanakan terlebih dahulu
dengan baik. Jika tugas belum dipahami, maka selama eksekusi tugas tersebut dibutuhkan lebih banyak pengetahuan yang dapat mengubah pengalokasian
sumber daya, penjadwalan, dan prioritas dalam melaksanakan tugas. Menurut Bonner 1994 dalam Rapina 2007 terdapat tiga alasan
mengapa kompleksitas tugas perlu diperiksa pada situasi audit yaitu :
a.
kompleksitas tugas mungkin berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja auditor,
b.
memberikan bantuan dalam pengambilan keputusan dan teknik pelatihan yang saat ini mungkin diperbaiki jika peneliti memahami tugas audit yang
berbeda-beda,
c.
memahami kompleksitas tugas membantu manajemen KAP menemukan kesesuaian antara tugas audit dan staf audit.
2
Ciri-ciri Kompleksitas Tugas
Kompleksitas tugas terdiri atas dua aspek yaitu kesulitan tugas dan struktur tugas berhubungan dengan kejelasan informasi Bonner, 1994 dalam
Rapina, 2007. Lebih lanjut disebutkan bahwa tugas yang kurang kompleks memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
commit to user
xxxvi
a.
Lebih sedikit bukti informasi.
b.
Bukti informasi konsisten dengan kejadian yang diprediksi.
c.
Kekonsistenan yang tinggi secara relative antara bukti harapan dan keputusan aktual
d.
Tingkat ambiguitas yang relative rendah dalam konteks keputusan dan hasil keputusan potensial yang sedikit.
Sementara tugas yang sangat kompleks memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a.
Lebih banyak bukti informasi
b.
Sejumlah besar bukti tidak konsisten dengan kejadian yang sedang diprediksi.
c.
Mengandung tingkat ambiguitas yang relative tinggi dan hasil keputusan potensial yang banyak.
3.
Locus of Control
1
Pengertian Locus of Control
Konsep tentang locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter 1966, seorang ahli teori pembelajaran sosial, yang dikutip dalam Ayudiati
2010, menyatakan bahwa locus of control merupakan “generalized belief that a person can or cannot control his own destiny” atau cara pandang seseorang
terhadap suatu peristiwa apakah dia merasa dapat atau tidak mengendalikan peristiwa yang terjadi padanya.
Ginintasasi mendefinisikan locus of control sebagai suatu konsep yang menuju pada keyakinan individu mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam hidupnya, locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang
commit to user
xxxvii memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukan action dengan akibat
hasil outcome. Dilihat dari sudut pandang psikologi sosial yang dikutip dari wikipedia
locus of control mengacu pada individuals believe that they can control event that affect them, atau kepercayaan individu bahwa mereka dapat
mengendalikan peristiwa yang mempengaruhi mereka.
2
Karakteristik Locus of Control
Rotter dalam Corsini dan Marsella 1983 dalam Wijaya 2008, membedakan locus of control menjadi dua, yaitu seperti dibawah ini.
a.
Locus of control internal. Individu dengan locus of control internal cenderung mengangap bahwa
ketrampilan skill, kemampuan ability, dan usaha effort lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka. Sehingga
individu yang memiliki internal locus of control memiliki keyakinan bahwa nasib atau event-event dalam kehidupannya berada dibawah kontrol
dirinya. Individu seperti ini menyimpan potensi besar untuk menentukan nasib sendiri, tidak peduli apakah lingkungannya akan mendukung atau
tidak mendukung, memiliki etos kerja yang tinggi, tabah menghadapi segala macam kesulitan baik dalam kehidupannya maupun dalam pekerjaannya.
Meskipun ada perasaan khawatir dalam dirinya tetapi perasaan tersebut relatif kecil dibanding dengan semangat serta keberaniannya untuk
menentang dirinya sendiri sehingga orang–orang seperti ini tidak pernah ingin melarikan diri dari tiap–tiap masalah dalam bekerja.
commit to user
xxxviii
b.
Locus of control eksternal. Individu yang memiliki locus of control eksternal cenderung menganggap
bahwa hidup mereka terutama ditentukan oleh kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan orang lain yang berkuasa.
Dengan kata lain individu yang memiliki external locus of control adalah individu yang memiliki keyakinan bahwa lingkunganlah yang mempunyai
kontrol terhadap nasib atau event-event yang terjadi dalam kehidupannya. Individu yang eksternal locus of controlnya cukup tinggi akan mudah pasrah
dan menyerah jika sewaktu–waktu terjadi persoalan yang sulit. Individu semacam ini akan memandang masalah–masalah yang sulit sebagai
ancaman bagi dirinya, bahkan terhadap orang–orang yang berada disekelilingnya pun dianggap sebagai pihak yang secara diam–diam selalu
mengancam eksistensinya. Bila mengalami kegagalan dalam menyelesaikan persoalan, maka individu semacam ini akan menilai kegagalan sebagai
semacam nasib dan membuatnya ingin lari dari persoalan. Bagi seseorang yang mempunyai internal locus of control akan
memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai external locus of
control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan
mempunyai peran didalamnya. Individu yang mempunyai external locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk
bergantung pada orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan. Sementara itu individu yang mempunyai internal locus of
commit to user
xxxix control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri
sendiri dan diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang menguntungkan, Kahle dalam Wijaya 2008.
4.
Self Efficacy
1
Pengertian Self Efficacy
Self Efficacy adalah peoples beliefs about their capabilities to produce designated levels of performance that exercise influence over
events that affect their lives atau keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk menghasilkan tingkat kinerja yang ditunjuk yang
mempengaruhi hidup mereka. Keyakinan mengenai self efficacy menentukan bagaimana seseorang merasakan sesuatu, berfikir, memotivasi
diri mereka sendiri, dan juga tindakan-tindakan yang dilakukan. Self efficacy dinyatakan sebagai penilaian individu terhadap kapabilitasnya
dalam mengorganisir dan melaksanakan kegiatan yang mensyaratkan pencapaian tingkat kinerja tertentu atau menghadapi situasi yang
prospektif Bandura, 1994.
Gibbson, Invancevich, dan Donnelly 1996 menyatakan bahwa keyakinan mengenai self efficacy dapat juga dikaitkan dengan Pygmalion effect
melalui pengaruh persuasif dari orang lain yang mempunyai harapan positif terhadap individu. Pygmalion effect mengacu pada adanya peningkatan kinerja
atau proses pembelajaran sebagai hasil dari adanya harapan positif orang lain terhadap individu tersebut. Dengan kata lain ketika orang percaya bahwa
commit to user
xl individu tersebut mampu mencapai tingkat kinerja tertentu, maka hal ini
cenderung mengarahkan individu tersebut untuk mencapai kinerja tertentu. Lebih lanjut Pajares 2002 menyatakan bahwa self efficacy berdampak
pada penentuan pilihan. Individu dengan self efficacy yang tinggi lebih bersemangat dan tidak kenal menyerah dalam usaha-usahanya dalam mencapai
tujuan, meskipun berhadapan dengan berbagai hambatan dan pengalaman kegagalan. Sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah cenderung
berdiam diri dan menyerah apabila berhadapan dengan hambatan-hambatan.
2
Sumber-sumber Self Efficacy
Menurut Bandura 1994 keyakinan mengenai tingkat efficacy seseorang dapat dikembangkan melalui empat sumber yang akan dijelaskan sebagai
berikut.
a.
Keahlian yang berasal dari pengalaman mastery experiences Cara ini merupakan cara yang paling efektif untuk membentuk keyakinan
mengenai self efficacy yang kuat di dalam diri seseorang. Pengalaman sukses akan membentuk keyakinan efficacy yang kuat di dalam diri
seseorang. Sebaliknya pengalaman atas kegagalan cenderung melemahkan keyakinan efficacy tersebut, terlebih lagi jika kegagalan tersebut terjadi
sebelum keyakinan efficacy tersebut timbul. Pengalaman sukses akan lebih membentuk keyakinan efficacy yang kuat di dalam diri seseorang apabila
kesuksesan tersebut dicapai tidak dengan cara yang mudah.
commit to user
xli
b.
Pengalaman dari orang lain vicarious experience Ketika seseorang melihat orang lain yang mempunyai kesamaan dengan
dirinya dapat mencapai sukses, maka hal ini dapat meningkatkan keyakinan di dalam diri orang lain yang melihat tersebut bahwa iapun memiliki
kapabilitas untuk dapat melakukan hal yang sama.
c.
Dukungan sosial social persuation Ketika seseorang mendapatkan dukungan sosial melalui tindakan-tindakan
persuasif secara verbal verbal persuation bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai sukses atau tingkat kinerja tertentu, maka hal
ini juga dapat membentuk keyakinan mengenai efficacy di dalam diri seseorang.
d.
Keadaan emosinal emotional state Kondisi emosi dapat mempengaruhi keyakinan efficacy di dalam diri
seseorang karena kondisi emosi ini dapat mempengaruhi seseorang dalam menilai kapabilitasnya. Stress yang dialami individu dapat melemahkan
keyakinan efficacy, namun untuk individu dengan keyakinan efficacy yang tinggi cenderung melihat emosi di dalam diri mereka sebagai fasilitator
yang memberikan energi untuk mencapai tingkat kinerja tertentu.
3
Dimensi-dimensi Self Efficacy
Sesuai dengan teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Bandura 1986 dalam Prasetianingtias 2004, keyakinan mengenai self efficacy terdiri
dari tiga dimensi.
commit to user
xlii
a.
Level atau Magnitude Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas level of task difficulty
yang dapat mempengaruhi pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu. Individu cenderung akan menolak tugas-tugas yang dirasa tidak mampu
untuk ia selesaikan karena diluar batas kemampuannya, dan sebaliknya ia akan cenderung memilih tugas-tugas dimana ia merasa mampu untuk
menyelesaikannya. b. Strength
Dimensi ini berhubungan dengan kemantapan atau kekuatan dalam meyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan tingkat kesulitan. Ketika
dihadapkan pada tugas-tugas yang sulit. Individu dengan tingkat self efficacy yang rendah cenderung cepat menyerah. Sebaliknya individu dengan
keyakinan self efficacy yang tinggi cenderung lebih tekun dan mencurahkan segenap tenaga untuk dapat menyelesaikan tugas tersebut.
c.
Generality Dimensi ini berhubungan dengan sejauh mana kemantapan atas keyakinan
self efficacy yang dimiliki dapat digeneralisasi untuk tugas-tugas atau situasi- situasi yang serupa sehingga menimbulkan penguasaan pada bidang
tertentu.
4
Proses Self Efficacy
Ada empat proses psikologis yang dapat membentuk keyakinan self efficacy di dalam diri seseorang Bandura, 1994.
commit to user
xliii
a.
Proses kognitif cognitive processes Proses kognitif ini melibatkan proses-proses berfikir yaitu dengan
penggabungan, organisasi, dan penggunaan informasi. Melalui pemrosesan informasi ini maka akan memungkinkan seseorang untuk melakukan
tindakan antisipatif terhadap suatu kejadian dan juga mengembangkan suatu cara untuk dapat mengontrol kejadian yang dapat mempengaruhi
hidupnya.
b.
Proses motivasi motivational processes Keyakinan mengenai efficacy akan mempengaruhi tingkat motivasi individu.
Tingkat motivasi ini mencerminkan pilihan atas serangkaian tindakan, intensitas serta ketekunan dalam melakukan tindakan tersebut. Motivasi
dapat timbul di dalam diri seseorang melalui proses-proses kognitif. Individu akan memotivasi diri mereka sendiri dan melakukan sesuatu tindakan-
tindakan antisipatif dengan menggunakan cara-cara berfikir. Mereka menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri dan merancang tindakan-
tindakan yang diperlukan untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut.
c.
Proses afektif effective processes Keyakinan seseorang mengenai kapabilitasnya akan berpengaruh pada
tongkat stress dan depresi yang dialami ketika menghadapi situasi yang sulit. Proses-proses afektif menyangkut keadaan-keadaan emosional dan
reaksi emosi dari individu berkaitan dengan situasi yang dihadapi.
d.
Proses seleksi selection process
commit to user
xliv Seseorang cenderung menghindari aktivitas dan situasi di luar kemampuan
mereka, sehingga dengan pilihan tindakan yang dilakukan mereka dapat menunjukkan kompetensi, minat dan jaringan kerja sosial yang berbeda
yang dapat menentukan pilihan hidupnya.
5.
Pengaruh Self Efficacy pada Perilaku Individu
Bandura 1997 dalam Prasetianingtias 2004 menjelaskan penerapan self efficacy di tempat kerja seperti yang tampak pada gambar II.II dibawah
ini.
Gambar II. II Penerapan Self Efficacy di Tempat Kerja
Pencapaian yang lalu dan
aktual
Kinerja orang lain
Persuasi diri dan sosial
Tinggi “Saya tahu saya
dapat menyelesaikan
pekerjaan tepat waktu dengan mutu
Kepercayaan Self efficacy
Ø Tegas memilih kesempatan terbaik.
Ø Mengatur situasi, menghindari atau
menetralisir rintangan. Ø Merancang tujuan,
menetapkan standar. Ø Rencana, persiapan dan
latihan. Ø Berusaha keras, tekun
dalam usaha. Ø Memecahkan masalah
secara kreatif. Ø Belajar dengan
pengalaman. Ø Menggambarkan
keberhasilan. Ø Pasif
SUKSES Sumber Self
Efficacy Umpan Balik
Pola Perilaku Hasil
commit to user
xlv Sumber : Bandura 1997 dalam Prasetianingtias 2004
Menurut Pajares 2002, keyakinan mengenai self efficacy akan mempengaruhi proses-proses motivasi dan juga perilaku individu dalam
beberapa hal yang akan dijelaskan sebagai berikut.
commit to user
xlvi a.
Keyakinan mengenai self efficacy akan mempengaruhi pilihan tindakan yang dibuat dan juga tindakan yang dilakukan. Seseorang cenderung akan
melaksanakan tugas-tugas dimana ia merasa kompeten dan yakin bahwa ia dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Sebaliknya ia akan menghindari
tugas-tugas yang dirasa tidak mampu untuk diselesaikan karena diluar batas kemampuannya. Pengalaman yang dimiliki akan berpengaruh pada
keyakinan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Keyakinan mengenai kompetensi yang dimiliki oleh seseorang akan
mempengaruhi seberapa besar usaha yang dicurahkan untuk melakukan suatu aktivitas, berapa lama mereka akan dapat bertahan dalam
menghadapi rintangan yang ada dan bagaimana ketekunan mereka dalam menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan. Semakin tinggi tingkat
self efficacy yang dimiliki maka ada kecenderungan bahwa ia akan lebih mencurahkan usaha yang lebih besar, lebih dapat bertahan dan tekun dalam
menghadapi rintangan. b.
Keyakinan mengenai self efficacy di dalam diri seseorang akan mempengaruhi tingkat stress dan kegelisahan yang mereka rasakan ketika
melaksanakan tugas-tugasnya. Tingkat stress dan kegelisahan yang dirasakan tersebut juga akan mempengaruhi pencapaian kinerja individu.
Self efficacy dapat membuat adanya perbedaan cara seseorang dalam berfikir, merasakan sesuatu dan juga dalam bertindak. Terkait dengan perasaan,
tingkat self efficacy yang rendah sering dihubungkan dengan depresi dan rasa ketidakberdayaan yang dialami individu. Seseorang dengan keyakinan self
efficacy yang rendah cenderung berfikir pesimistis dalam menilai kinerja dan
commit to user
xlvii perkembangan pribadinya. Di lain pihak, keyakinan yang kuat di dalam diri
seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya akan memfasilitasi proses- proses kognitif yang dapat mempengaruhi prestasi akademik dan pengambilan
keputusan Bandura, 1994.
B. REVIEW PENELITIAN-PENELITIAN TERDAHULU