Hukum Khulu’ Pengertian Cerai gugat 1. Pengertian Secara Etimologi

Selain hadits di atas Ibnu Katsir juga mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: ُﺔَﺣِءاَر ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ٌماَﺮَﺤَﻓ ٍسْﺄَﺑ ﺎَﻣ ِﺮْﯿَﻏ ِﻲﻓ َﺎﮭَﻗ َﻼَﻃ ﺎَﮭَﺟْوَز ْﺖَﻟ َﺄَﺳ ٍةَأَﺮْﻣِإ ﺎَﻤّﯾَأ ِﺔﱠﻨــــَﺠْﻟا ”Barang siapa diantara wanita yang meminta perceraian kepada suaminya tanpa adanya alasan yang nyata, maka diharamkan baginya mencium harumnya syurga.” HR. Ashabussunan dan disahkan oleh Turmudzi.” 32 Selain itu, suami juga diharamkan menahan sebagian hak-hak istri karena ingin menyakiti hatinya, sehingga istri minta lepas dan menebus dirinya dengan cara khulu’ . Apabila sampai terjadi demikian, maka khulu’-nya batal. 33 Perbuatan tersebut diharamkan, karena Islam menjaga agar perempuan yang sudah ditinggal oleh suaminya tidak dihabiskan pula hartanya. Allah berfirman: ا اْﻮُﺛِﺮَﺗ ْنَأ ْﻢُﻜَﻟ ﱡﻞِﺤَﯾ َﻻ اْﻮُﻨَﻣَأ َﻦْﯾِﺬﱠﻟا ﺎَﮭﱡﯾ َأ ﺎَﯾ ﱠﻦُھ اْﻮُـﻠُﻀْﻌـــَﺗ َﻻَو ﺎًھْﺮَﻛ َءﺎـــَﺴﱢﻨﻟ ٍِﺔَﻨﱢﯿَﺒﱡﻣ ٍﺔَﺸِﺣﺎَﻔِﺑ َﻦْﯿِﺗْﺄَﯾ ْنَأ ﱠﻻِإ ﱠﻦُھ ْﻮُﻤُْﺘَﯿﺗَ أ ﺎَﻣ ِﺾــْﻌَﺒـِﺑ اْﻮُﺒَھْﺬَِﺘﻟ ... ءﺎﺴﻨﻟا : Dan firman Allah SWT: َرَأ ْنِإَو ُﮫْﻨِﻣ اْوُﺬُﺧ ْﺄَﺗ َﻼَﻓ اًرﺎَﻄْﻨِﻗ ﱠﻦُھاَﺪْﺣِإ ُﻢُﺘْﯿَﺗَأ َو ٍجْوَز َنﺎَﻜَﻣ ٍجْوَز َلاَﺪْﺒِﺘْﺳا ُﻢُﺗْد ﺎـــــــًـــﻨْﯿِﺒﱡﻣ ﺎًﻤْﺛإِ ﱠو ًﺎﻧﺎَﺘْﮭُﺑ ُﮫَﻧْوُﺬُﺧ ﺄَﺗَأ ًﺄْﯿَﺷ . ءﺎﺴﻨﻟا : ia berikan kepada istrinya. Tetapi jika istri yang ingin bercerai, ia harus menyerahkan kembali sebagian atau semua apa yang pernah ia terima. 34 Apabila seorang istri ingin melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan, maka ia dapat mengajukan khulu’ kepada suami dengan membayar ’iwadh tebusan sebagai imbalan pelepasan dirinya dari ikatan perkawinan. Setelah suami menyetujui apa yang menjadi kehendak istri, maka suami harus mengucapkan ijab dengan kata khulu’, talaq, atau yang semakna dengan itu, seperti kata suami: ”Saya khulu’ kamu dengan ’iwadh sejumlah ...... sekian.”. Bila suami telah mengucapkan ijab maka istri harus menjawabnya sesuai dengan apa yang diucapkan suami dalam ijab tersebut, seperti jawab istri: ”Saya terima khulu’-nya dengan ’iwadh sejumlah ...... sekian.” jawaban istri dalam khulu’ disebut qabul. Apabila telah terjadi ijab dan qabul antara suami dan istri dalam perkara khulu’ , maka putuslah hubungan suami-istri antara keduanya, dan bagi suami berhak atas ’iwadh yang telah diberikan oleh istri kepadanya. Sebagaimana halnya dalam talaq, dalam khulu’-pun disyaratkan adanya shigat. Shigat khulu’ itu hampir sama dengan shigat talaq, hanya saja dalam khulu’ disyaratkan bagi istri menerima ikrar talaq beserta ’iwadh yang diucapkan oleh suami. Seperti kata suami: ”Saya menalakmu, meng-khulu’-mu dengan 34 Abu Al-A’la Al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1990, h. 49 ’iwadh sebuah ........ uang sejumlah .......... ” lalu dijawab oleh istrinya: ”Saya menerima ikrar itu berikut ’iwadh-nya sekian.” 35 Sayyid Sabiq, menjelaskan bahwa para ahli fiqh berpendapat, disyaratkan penggunaan kata khulu’ atau kata yang terambil dari kata dasar khulu’ atau kata lain yang memiliki arti seperti itu, seperti mubara’ah berlepas diri dan fidyah tebusan dalam shigat khulu’. jika tidak dengan kata khulu’ atau kata lain yang memiliki maksud yang sama, misalnya suami berkata pada istrinya: ”Engkau ter- talaq sebagai imbalan daripada baranguang seharga sekian.” lalu istri menerimanya, maka perbuatan seperti ini adalah talaq dengan imbalan harta bukan khulu’. 36 Ibnu Al-Qayyim berpendapat: ”Barang siapa memikirkan hakekat dan tujuan aqad atau perjanjian, serta tidak hanya melihat kepada kata-kata lafadz, maka ia akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, sekalipun dengan kata talaq. Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Tsabit bin Qais agar menalak istri secara khulu’ dengan sekali talaq. Selain itu Nabi SAW. menyuruh istri Tsabit ber-iddah sekali haid. Hal ini jelas menunjukan fasakh, sekalipun terjadinya perceraian dengan ucapan talaq. 37 Allah menghubungkannya dengan hukum fidyah, karena memang ada fidyah-nya. Sudah maklum bahwa fidyah 35 Ibid, 175 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Ibid. h. 253 37 Ibid, h. 253 tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah-pun tidak menetapkan lafazd yang khusus untuk itu. 38 Adapun syarat dan rukun khulu’ adalah sebagai berikut: 1. Rukun Khulu’ Sebagaimana halnya talaq, dalam khulu’-pun terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi demi sahnya perbuatan khulu’ tersebut. Rukun khulu’ ada 6 enam yaitu: a. Multazim al-’iwadh pihak yang memegang ’iwadh; b. Al-Bud’u yang dimiliki wanitafarju; c. Al-’iwadh imbalan yang diberikan kepada suami sebagai bandingan penguasaan talaq; d. Al-Jawzu suami; e. Al-Ishmah kekuasaan suami untuk memegang talaq dan f. Al-Shighah ijab dan qabul. 2. Syarat Khulu’ Yang dimaksud dengan syarat khulu’ ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun khulu’ itu, yaitu: a. Multazim al ‘iwadh, dengan syarat wanita orang lain yang sudah cakap 38 Ibid., h. 254 berbuat ahliyah al-ada al-kamilah. Tidak ada khulu’-nya orang bodoh dan orang yang belum dewasa. b. Al-Bud’u dengan syarat barang tersebut dimiliki oleh suami walaupun dalam keadaan talaq raj’i. c. Al-’iwadh dengan syarat harta tersebut tidak berbahaya, suci dan milik sah bukan ghasab. d. Al-Jauzu suami, dengan syarat orang tersebut sudah cakap untuk melakukan talaq, seperti tidak bodoh, berakal dan baligh. e. Al-Ishmah, dengan syarat tersebut tidak dilimpahkan kepada orang lain. f. Al-Shighah, dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus berupa ucapan yang menunjukan kepada talaq dan khulu’. 2. Hendaknya qabul itu dilakukan dalam suatu majlis, kecuali jika suami menangguhkan pelaksanaannya. Dalam ijab dan qabul disyaratkan adanya persesuaian dalam jumlah harta ’iwadh. 39 39 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Maczhab al-Arba’ah, Beirut: Daar el-Kutub, t.th., Juz IV, h.420 Secara umum Zaini Ahmad Noeh dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, menyebutkan alasan sorang suamiisteri yang ingin bercerai adalah terdapat beberapa faktor, yaitu: 40 1. Ekonomi, menunjukkan kondisi suami tidak mampu untuk menghidupi isteri 2. Krisis moral, perselingkuhan 3. Dimadu 4. Meninggalkan kewajiban 5. Faktor biologis, seperti suami impoten 6. Pihak ketiga, adanya campur tangan keluarga atau orang tua dalam urusan rumah tangga anaknya 7. Faktor politik Dari penjelasan Zaini Ahmad Noeh di atas, dapat dipahami bahwa ekonomi menjadi alasan yang pertama yang mempengaruhi isteri melakukan gugatan cerai. Hal ini sering terjadi karena ekonomi merupakan kebutuhan utama dalam keluarga, dan tidak jarang para suami mengabaikan tanggung jawabnya meskipun mereka berada dalam strata ekonomi yang tinggi ataupun sebaliknya. Dengan demikian masalah ekonomi sangat berpengaruh terhadap perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama dan dalam hal ini diajukan oleh seorang isteri dalan cerai gugat. 40 Zaini Ahmad Noeh, Perceraian Orang Jawa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, h. 34

C. Alasan untuk Terjadinya Khulu’

Khulu’ dapat dibenarkan apabila ada sebab yang menghendaki adanya khulu’. Misalnya karena suami cacat jasmani atau jelek kelakuannya, atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami, dan istri takut kalau melanggar hukum Allah karena tidak taat kepada suaminya. Ada ulama yang mengatakan bahwa perselisihan yang datang dari pihak istri cukup untuk adanya khulu’. ada pula yang berpendapat bahwa khulu’ tidak diminta sebelum adanya syiqaq atau perselisihan. 41 Mahmud Yunus menerangkan bahwa kesimpulan yang dapat ditarik dari firman Allah Q.S. 2 Al-Baqarah: 229 dan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang sebab-sebab yang membolehkan terjadinya khulu’ adalah sebagai berikut. 1. Jika kedua suami-istri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu pergaulan secara ma’ruf; 2. Karena istri sangat benci kepada suaminya lantaran sebab-sebab yang tidak disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suminya itu. 42 41 H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam,. 42 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1986, Cet Ke-12, h.230 Sayyid Sabiq, mengutip pendapat para ulama sebagai berikut. Syaukani berkata: ”Menurut dzahir hadits-hadits tentang masalah khulu’ ini, bahwa ketidak senangan istri sudah boleh menjadi alasan khulu’ .” Akan tetapi Ibnu Mundzir mengatakan tidak boleh sebelum rasa tidak senang itu pada kedua belah pihak, karena berpegang pada ayat-ayat al-Quran. Demikian pendapat Thawus, sya’by, dan segolongan besar tabi’in. Tetapi segolongan lain seperti Thobari, beliau menjawab bahwa yang dimaksudkan oleh ayat al-Quran itu ialah jika istri tidak dapat melaksanakan hak-hak suaminya, maka hal ini telah menimbulkan kemarahan suami terhadap istrinya. 43 Mengenai keadaan-keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk menjatuhkan khulu’, maka Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh diadakan berdasarkan kerelaan suami-istri, selama kerelaan itu tidak mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasar kebolehan ini adalah firman Allah: ِﺗْﺄَﯾ ْنَأ ﱠ ﻻِإ ﱠﻦُھ ْﻮُﻤُﺘْﯿَﺗَ أ ﺎَﻣ ِﺾــْﻌَﺒـِﺑ اْﻮُﺒَھْﺬَﺘِـﻟ ﱠﻦُھ اْﻮـُﻠُﻀْﻌــَـﺗ َﻻَو ٍﺔَﺸِﺣﺎَﻔِﺑ َﻦْﯿ ٍﺔَﻨﱢﯿَﺒﱡﻣ ... ءﺎﺴﻨﻟا : ﺎَﻤْﯿِﻘُﯾ ﱠ ﻻَأ ْﻢُﺘْﻔِﺧ ْنِﺈَﻓ ِﮫِﺑ ْتَﺪَﺘْﻓ ا ﺎَﻤْﯿِﻓ ﺎَﻤِﮭْﯿَﻠَﻋ َحﺎَﻨُﺟ َﻼـَﻓ َ ﷲا َدْوُﺪُﺣ ... ةﺮﻘﺒﻟا :