1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk berakal mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Mengingat manusia makhluk yang
dikarunia akal dan pikiran disamping rasa dan karsa, maka oleh karenanya manusia dapat mempertimbangkan perbuatan yang bermanfaat dan mudharat juga berguna
dan tidak berguna, baik dan buruk, walaupun akal itu sendiri kemampuannya terbatas. Karena manusia memiliki akal pikiran itu, maka kehidupannya diatur oleh syari’at
agama, salah satu yang diatur oleh syari’at agama adalah perkawinan. “Perkawinan dalam Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi
Allah.”
1
Syari’at Islam tentang perkawinan ini, bertujuan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan di
akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridho ilahi. Namun demikian, dalam suatu ikatan perkawinan tidak selamanya berjalan lancar seperti yang dicita-citakan oleh
pasangan suami isteri, akan tetapi selalu ada tantangan dan hambatan yang
1
Achmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1978, h.11
mempengaruhinya baik besar maupun kecil. Sehingga terkadang tujuan yang murni ini tidak dapat terwujud dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan banyak terjadi
perceraian. Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika
suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti adanya ketidakcocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga yang tidak bisa
didamaikan lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqh disebut dengan Thalaq perceraian. Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai,
tentunya dengan alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci Allah SWT.
2
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami-isteri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara
maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan si isteri, perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut khulu’ Cerai gugat.
3
Khulu’ adalah permintaan isteri kepada suaminya untuk menceraikan melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan dengan iwadh berupa uang atau barang
kepada suami dari pihak isteri sebagai imbalan penjatuhan thalaqnya. Khulu’ merupakan pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan
perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak thalaq yang diberikan kepada laki-laki dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami
2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet. II, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002, h.102.
3
Sayed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: PT. Remaja Rosdakaryoa, 1991, h. 509