onrechtmatige daad . Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan” itu
sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Perjanjian yang di khendaki dalam Buku Ketiga KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat
personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dianggap terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan,
janji kawin, yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4.
Tanpa menyebutkan tujuan Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap tidak jelas tujuannya saling mengikatkan diri.
Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian
tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian
perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
16
B. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1.
Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2.
Cakap untuk membuat suatu perikatan;
16
Abdulkadir Muhammad, II Op, Cit. hal. 79
Universitas Sumatera Utara
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal”.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan
itu.
17
Yang mengenai subyeknya perjanjian ialah : a.
Orang yang memuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum tersebut.
b. Ada sepakat konsensus yanng menjadi dasar perjanjian, yang harus
dicapai atas dasar kebebasan menetukan kehendaknya tidak ada paksaan, kekhilafan dan penipuan.
18
Dengan diperlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak
mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak
yang setuju overeenstemende wilsverklaring antara pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran offerte. Pernyataan pihak yang menerima
tawaran dinamakan akseptasi acceptatie.
19
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
17
R.Subekti I, Op.Cit, hal. 17
18
R. Subekti II, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1976
19
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 73-74
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, dan siapa yang harus melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksana-
kannya. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin
dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak.
20
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata
mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh para pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki
sesuatu yang sama secara timbal balik. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dalam
KUH Perdata dicantumkan beberapa, hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut.
Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian, yaitu bagian inti wezenlijk oordeel dan bagian yang bukan inti
non wezenlijk oordeel. Bagian inti disebutkan esensialia, bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia.
Esensialia : Bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta
constructieve oordel. Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek, perjanjian.
20
Kartini MuljadiGunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
Naturalia : Bagian ini merupakan sifat bawaan natuur perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak
ada cacat dalam benda yang dijual vrijwaring. Aksidentialia : Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjian dalam
hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan- ketentuan mengenai domisili para pihak.
21
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif yang kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan
dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas
orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.
22
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap
menurut hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
1. Orang-orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
23
Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya
21
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 74-75
22
Ibid., hal. 127.
23
Subekti I, Op Cit, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap
yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan
perbuatan hukum yang sah. Juga mereka membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta
pembatalan dari perjanjian itu.
24
Dengan demikian persetujuan semacam ini pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam
pengawasan curatele yaitu mau melaksanakan pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini sering dinamakan kontrak pincang hinkend
contract.
25
Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini bentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung
jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakkan di bawah
pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua atau pengampunya.
26
Kecakapan seorang perempuan yang bersuami dalam KUH Perdata, ada hubungan dengan sistem yang dianut dalam Hukum Perdata Barat Belanda yang
24
R.Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Jakarta, 1973, hal. 18
25
Ibid, hal. 18.
26
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal.78
Universitas Sumatera Utara
menyerahkan kepemimpinan keluarga itu kepada sang suami. Oleh karena ketentuan tentang ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami itu di Negeri
Belanda sendiri sudah dicabut karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kemajuan zaman, maka sebaiknya ketentuan tersebut di Indonesia juga dihapuskan.
Memang dalam praktek notaris sekarang sudah mulai mengizinkan seorang istri, yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat membuat suatu perjanjian di
hadapannya, tanpa bantuan suami. Surat edaran Mahkamah Agung No. 31963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi
di seluruh Indonesia bahwa Mahkamah Agung menganggap pasal-pasal 108 dan 110 KUH Perdata tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum dan untuk menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya, sudah tidak berlaku lagi.
27
Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam: a
Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUH Perdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
b Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata yang mengatur mengenai
kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
28
Tentang Hal Tertentu dalam Perjanjian KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan
dalam Pasal 1333 KUH Perdata , yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu
kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
27
Subekti I, Op. Cit, hal.19
28
Kartini MuljadiGunawan Widjaja, Op. Cit, hal. 155
Universitas Sumatera Utara
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau di
hitung”. Secara sepintas, dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah
ditentukan jenisnya” tampaknya KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan
lebih lanjut, rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan, bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi
dari suatu kebendaan yang tertentu.
29
Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan. Misalnya seorang pedagang mempunyai beras dalam gudangnya dan
berjanji menjual semua atau sebagian dari beras itu kepada orang lain dengan harga sekian rupiah sekilogramnya. Perjanjian ini diperbolehkan, oleh karena
kemudian secara menimbang dapat ditentukan berapa kilogramnya beras yang sebetulnya dijual.
30
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut debitor
pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.
31
Tentang Sebab yang Halal Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata.
Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa:
29
Ibid., hal. 155
30
R. Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hal. 22
31
Kartini MuljadiWidjaja Gunawan, Op, Cit. hal. 156
Universitas Sumatera Utara
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau defenisi dari “sebab” yang
dimaksud dalam Pasal 1320 Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata , dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1.1 Bukan tanpa sebab;
1.2 Bukan sebab yang palsu;
1.3 Bukan sebab yang terlarang.
32
Sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah
sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan undang-undang.
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang di cita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum atau
undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.
33
C. Jenis-Jenis Perjanjian