44
NU dan Muhammadiyah. Di Tarutung memang terdapat kedua kelompok tersebut, tetapi tidak begitu terlihat pada masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang
memang dari daerah asalnya sudah tergabung dalam kelompok tersebut dan tetap menjalankannya di Tarutung. Begitu juga dengan mahzab-mahzab yang ada, yaitu
orang-orang yang sudah menganutnya dari daerah asal dan tetap menjalankannya di Tarutung, tetapi tidak merubah dan mempengaruhi kesatuan masyarakat Islam di
sana. Kehidupan masyarakat Islam di Tarutung berjalan dengan baik tanpa adanya
konflik dalam tubuh Islam tersebut yang diakibatkan adanya perbedaan-perbedaan faham. Tokoh-tokoh Islam di Tarutung juga tidak begitu mempersoalkan tentang
perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak ingin menciptakan jurang pemisah di antara umat Islam. Ketika di beberapa daerah di Indonesia banyak memperdebatkannya,
bahkan sampai menimbulkan konflik akibat adanya aliran-aliran dalam Islam, masyarakat Islam di Tarutung justru malah lebih mempererat hubungan sesama
Islam. Mereka tidak ingin memperdebatkan hal-hal yang justru akan memecah belah masyarakat Islam yang di Tarutung sebagai kaum minoritas.
3.2 Sikap Masyarakat Batak non-Islam Terhadap Keberadaan Masyarakat Islam
Sebelum adanya masyarakat Islam di Tarutung yang terbentuk dalam perkumpulan-perkumpulan etnik, orang-orang Batak di Tarutung sudah memeluk
agama Kristen yang dibawakan oleh Nommensen. Agama Kristen sudah berkembang
Universitas Sumatera Utara
45
pesat di Tarutung dan orang-orang Batak pun banyak mendirikan gereja-gereja di Tarutung untuk tempat beribadah.
Ketika Islam mulai muncul dalam bentuk Persatuan Kaum Muslim PKM, memang pada awalnya masyarakat Batak non-Islam kurang begitu menerima, tetapi
tidak sampai menimbulkan konflik. Mereka bersikap kurang menerima saja, sebuah hal yang wajar dalam suatu masyarakat apabila ada suatu hal yang berbeda yang
berasal dari luar masuk ke wilayah mereka. Sikap kurang menerima Islam hanya terjadi di antara sebagian kecil masyarakat Batak, selebihnya mereka menerima
dikarenakan pada awalnya yang memeluk Islam juga masyarakat Batak sendiri. Masyarakat yang terikat dalam satu nilai filosofi yang dipegang teguh oleh orang
Batak tanpa membedakan agama yaitu Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu arti secara harfiahnya adalah tungku yang tiga batunya.
Tungku sebagai alat memasak di mana periuk atau belanga diletakkan di atasnya untuk memasak. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang
tiga batunya sebagai lambang struktur sosial mereka. Karenanya terdapat tiga golongan di dalam masyarakat Batak, yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha.
Hula-hula yaitu kelompok pemberi isteri, boru kelompok penerima isteri. Sedang dongan sabutuha atau sering disebut dongan tubu, yaitu kelompok yang satu asal
perut, satu nenek moyang, atau satu marga.
42
42
Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal 99 – 100.
Rasa penghormatan yang tinggi dalam struktur kekerabatan yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu yang ditunjukkan
orang Batak ketika berhadapan dengan orang Islam yang juga orang Batak sendiri.
Universitas Sumatera Utara
46
Dari sini mulai tampak hubungan Dalihan Na Tolu dengan munculnya masyarakat Islam di Tarutung, walaupun tetap saja dalam perjalanannya, ada sikap kurang
menerima. Tampaknya masyarakat Batak yang sudah memeluk agama Kristen sudah
terbuka pemikirannya ke arah yang lebih maju, sehingga mereka dapat menerima kaum pendatang dengan baik. Dalihan Na Tolu yang menjadi dasar filosofi orang
Batak terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu “manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula”. Adalah sebuah konsep dasar hubungan kekerabatan yang dipegang
teguh oleh orang Batak. Ketika Islam di Tarutung terbentuk dalam sebuah kelompok yaitu Persatuan Kaum Muslim PKM, orang Batak di Tarutung sudah menerima
Islam dengan baik. Sebab di antara umat Islam tersebut juga ada saudara mereka sendiri, baik saudara semarga ataupun saudara dari kerabat lain seperti yang
ditunjukkan dalam Dalihan Na Tolu. Sikap terbuka dan menerima oleh orang Batak ini ditunjukkan dengan eratnya
hubungan antara umat Islam dan Kristen di Tarutung, khususnya dalam hubungan antara orang-orang lokal dengan para pendatang yang berbeda etnis. Yaitu tidak
hanya sebatas kehidupa n sehari-hari saja orang Batak menerima masyarakat Islam atau dalam kehidupan bertetangga saja, tetapi dalam kelangsungan pemerintahan
juga, sebab terdapat juga orang-orang Islam yang bekerja di instansi-insatansi pemerintahan di sana. Bahkan kapolres Kepala Polisi Resort untuk wilayah
Tapanuli Utara yang berkedudukan di Tarutung pernah seorang Islam, bahkan sempat beberapa kali yang menjabat sebagai kapolres adalah orang yang beragama Islam dan
yang bukan orang Batak. Hal itu memang bukan karena keislamannya dia diangkat
Universitas Sumatera Utara
47
menjadi kapolres, tetapi karena penugasannya yang berada di wilayah Tapanuli Utara dan berkedudukan di Tarutung sebagai ibu kota kabupaten.
Sikap yang baik yang ditunjukkan oleh orang Batak yang bukan Islam terhadap orang Islam yang kebanyakan adalah kaum pendatang, tidak terlepas juga dari peran
pemerintah setempat yang juga menerima keberadaan Islam dengan baik. Pemerintah daerah Tapanuli Utara yang berkedudukan di Tarutung secara tidak langsung telah
mengajarkan dan menunjukkan sikap tentang keberagaman agama dan sikap saling menghormati antarsesama. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang di
mana setiap warga Indonesia bebas memilih keyakinan ataupun agama yang dianutnya. Hal ini benar-benar tercermin dalam kehidupan masyarakat Tarutung,
masyarakat yang hidup rukun dalam perbedaan. Pemerintah juga memberikan sebidang tanah kepada masyarakat Islam yang
ada di Tarutung, yang dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan mesjid. Sebuah mesjid yang akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, yaitu mesjid yang diberi
nama Mesjid Syuhada, atau sering juga disebut mesjid Pancasila. Dengan demikian dalam kehidupan beragama di Tarutung menunjukkan
kemajuan sangat besar, di mana seperti diketahui masyarakat Batak begitu kuat berpegang kepada adat termasuk agama Kristen yang dianutnya semenjak dahulu.
Adat yang masih sangat kental misalnya tampak pada adat Dalihan Na Tolu yang tetap dipegang oleh orang-orang Batak terutama yang tinggal di Tanah Batak yang
beragama Kristen, tetapi juga masih berlaku pada orang-orang Batak yang beragama Islam. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada batas antara sub-sub etnis di
Universitas Sumatera Utara
48
kalangan orang-orang Batak berdasarkan budaya, kecuali yang membedakan mereka adalah soal keyakinan atau agamanya.
Orang Batak sudah lama terikat oleh adat istiadatnya. Mereka memegang teguh akan kebiasaannya, akan tetapi hal itu juga tergantung kepada keadaan dan suasana,
sebab adat itu adalah sebagai karet, boleh diukur, dan dijalin. Adat ada pula yang disesuaikan dengan zaman dan perjalanan sejarah. Ada yang diperhalus, ada pula
yang ditambahi atau dikurangi berdasarkan persetujuan masyarakat bersangkutan. Di Tanah Batak, terutama di Tapanuli Selatan maupun di bagian utara penduduk tidaklah
bercerai berai atau pernah pecah konflik di antara mereka disebabkan perbedaan agama. Kekeluargaan dan pergaulan berlangsung tetap, walaupun ada di antara sanak
saudaranya Islam atau Kristen. Pertalian oleh adat mengikat orang-orang Batak tetap berkaum keluarga.
43
43
E, st. Harahap, op.cit, hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
49
BAB IV KEHIDUPAN KOMUNITAS ISLAM DI TARUTUNG
1962 – 2000
4.1 Interaksi Masyarakat Islam dan Non-Islam