Islam Di Tarutung Tahun 1962 – 2000
Skripsi
Oleh :
Herry Setianto 060706006
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
ISLAM DI TARUTUNG TAHUN 1962 – 2000
Yang Diajukan Oleh : Nama : Herry Setianto NIM : 060706006
Telah Disetujui Untuk Diajukan Dalam Ujian Skripsi Oleh : Pembimbing
Drs. J. Fachruddin Daulay Tanggal,
NIP. 194712251981121001
Ketua Departemen
Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal,
NIP : 196409221989031001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Skripsi Sarjana Dikerjakan Oleh :
Herry Setianto 060706006
Pembimbing
Drs. J. Fachruddin Daulay NIP. 194712251981121001
Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan
Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
Disetujui Oleh :
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen,
Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP : 196409221989031001
(5)
PENGESAHAN :
Diterima Oleh :
Panitian Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP : 195110131976031001
Panitia Ujian :
No. Nama Tanda Tangan
1. ……….. ( ……... )
2. ……….. (……….. )
3. ……….. (………)
4. ……… …………. (………)
(6)
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi untuk meraih gelar kesarjanaan. Tidak lupa salawat beriring salam saya limpakan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan umat islam yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.
Adapun skripsi ini berjudul Islam di Tarutung Tahun 1962 – 2000 . Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Saya sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulis ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi saya maupun bagi kita semua.
Medan, Januari 2011
(7)
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, meskipun banyak hambatan dan kekurangan. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Sastra. Penulisan ini juga tidak akan pernah dapat terwujud tanpa bantuan, kerja sama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi penulis untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada :
1. Ayahanda dan ibunda yang memberi dukungan dan semangat kepada penulis dalam masa pendidikan baik itu dukungan moril maupun materil. Dan tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada kakanda dan adinda yang juga turut serta membantu penulis selama masa penulisan skripsi ini dan memberi semangat. 2. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan.
3. Ketua Departemen Sejarah, Bapak Edi Sumarno, M.Hum, yang telah memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis mejalani masa perkuliahan. Terima kasih juga kepada sekretaris Departemen Sejarah, Ibu Nurhabsyah, M.Si. yang terus memacu semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
(8)
iii
4. Bapak Drs. J. Fachruddin Daulay selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu hingga penulisan skripsi ini selesai tepat pada waktunya. Tanpa kontribusi bapak dan dorongan semangat buat penulis, rasanya skripsi ini jauh dari kesempurnaan.
5. Bapak Samsul Tarigan selaku dosen wali penulis yang telah banyak memberikan nasehat terhadap penulis selama menjalani perkuliahan.
6. Seluruh staf pengajar di Departemen, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini semoga nantinya menjadi manfaat bagi penulis.
7. Kepada para informan yang sudah memberikan keterangan dan penjelasan selama proses pengumpulan data di lapangan. Kepada Bapak Abdulrahman Nasution salah satu pengurus PKM (Persatuan Kaum Muslim) Tarutung yang sudah memberikan dorongan semangat kepada penulis.
8. Kepada Bang Ampera Wira yang banyak membantu penulis selama menjalani perkuliahan.
9. Terima kasih banyak kepada teman-teman stambuk 2006 di ilmu sejarah yang membantu dan memberi dukungan dan semangat dalam mengerjakan skripsi ini seperti Kariani, Sancani, Anggi, Friyanti, Eva, Desi, Desmika, Risma, Erliana, Yudha, Ramlan, Pa’i, Sonang, Hara, Kalvin dan buat sahabat-sahabat penulis Uci, Derni, Degem, Ones, Ica semoga kalian tidak melupakan kebersamaan kita selama masa perkuliahan.
(9)
pengumpulan data di lapangan.
Medan, Januari 2011
(10)
v
ABSTRAK
Kota Tarutung merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara, salah satu kabupaten di Sumatera Utara jika ditinjau dari segi administratif. Pada umumnya masyarakat yang ada di kota Tarutung merupakan etnis Batak Toba, salah satu sub etnis Batak. Mayoritas penduduk di Tarutung beragama Kristen. Kota Tarutung adalah kota di mana masyarakatnya cukup baik menerima kaum pendatang dari luar etnis Batak.
Di Tarutung juga terbentuk sebuah masyarakat Islam yang terdiri dari kaum pendatang dan juga orang Batak Toba sendiri. Sebuah bukti keharmonisan antarumat beragama. Kota Tarutung yang pada awalnya merupakan kota di mana agama Kristen berkembang pesat sejak masa pendudukan Belanda. Kota di mana dahulunya merupakan basis penyebaran agama Kristen dan agama Kristen berkembang pesat, namun di kota ini terbentuk sebuah masyarakat Islam.
Tulisan ini membahas latar belakang penyebab masuknya para pendatang ke Tarutung, juga membahas bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Kemudian membahas mengenai hubungsn sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba selaku tuan rumah. Terlebih lagi hubungan antara masyarakat Islam yang mayoritas pendatang dengan masyarakat Batak Toba yang non Islam.
Tujuan tulisan ini adalah mengetahui latar belakang banyaknya para pendatang yang masuk ke Tarutung, serta mengetahui bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Mengetahui bagaimana hubungan sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba, terutama Batak Toba non Islam.
Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan masyarakat Islam di Tarutung yang terdiri dari berbagai etnis, terutama etnis Jawa dan Minangkabau. Etnis pendatang yang bisa di katakan yang mayoritas di Tarutung, dismping itu juga ada etnis Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan yang juga berada di Tarutung sebagai kaum pendatang.
Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).
Islam di Tarutung telah melalui sejarah yang panjang dalam perjalanannya. Dimulai dari masa tentara Paderi yang masuk ke Tarutung dan berusaha menyebarkan Islam di Tanah Batak bagian utara tersebut. Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat Islam di Tarutung juga mengalami pasang surut sampai pada tahun 1950-an barulah kemudi1950-an Islam mulai menunjukk1950-an keberada1950-annya melalui para pendatang yang masuk ke Tarutung. Mereka juga menjalin hubungan yang baik dengan tuan rumah yaitu etnis Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen. Masyarakat Islam di Tarutung dan juga masyarakat Batak Toba yang non Islam terjalin dalam satu ikatan yaitu sebagai masyarakat Tarutung yang heterogen, menciptakan suatu keharmonisan kehidupan antarumat beragama.
(11)
KATA PENGANTAR ...
i
UCAPAN TERIMA KASIH ...
ii
ABSTRAK ...
v
DAFTAR ISI ...
vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 8
1.4 Tinjauan Pustaka ... 9
1.5 Metode Penelitian ... 10
BAB II MASUKNYA PENDATANG ISLAM DI TARUTUNG ... 13
2.1 Pendatang Dari Luar Tarutung ... 14
2.1.1 Etnis Minangkabau... 14
2.1.2 Pendatang Etnis Jawa ... 18
2.1.3 Orang Batak Dari Wilayah Tapanuli Bagian Selatan... 22
2.2 Faktor-faktor Pendorong Masuknya Pendatang ke Tarutung ... 25
2.2.1 Faktor Penarik Kota Tarutung ... 26
2.2.2 Faktor Pendorong Kedatangan Perantau ... 28
BAB III KEBERADAAN ISLAM DI TARUTUNG ... 32
(12)
vii
3.2 Sikap Masyarakat Batak (non-Islam) Terhadap
Keberadaan Masyarakat Islam... 44
BAB IV KEHIDUPAN KOMUNITAS ISLAM DI TARUTUNG 1962 – 2000 ... 49
4.1 Interaksi Masyarakat Islam dan Non-Islam ... 49
4.2 Kegiatan Agama ... 52
4.3 Pendidikan Agama Islam (Syiar Islam) ... 55
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
5.1 Kesimpulan ... 60
5.2 Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
(13)
kabupaten di Sumatera Utara jika ditinjau dari segi administratif. Pada umumnya masyarakat yang ada di kota Tarutung merupakan etnis Batak Toba, salah satu sub etnis Batak. Mayoritas penduduk di Tarutung beragama Kristen. Kota Tarutung adalah kota di mana masyarakatnya cukup baik menerima kaum pendatang dari luar etnis Batak.
Di Tarutung juga terbentuk sebuah masyarakat Islam yang terdiri dari kaum pendatang dan juga orang Batak Toba sendiri. Sebuah bukti keharmonisan antarumat beragama. Kota Tarutung yang pada awalnya merupakan kota di mana agama Kristen berkembang pesat sejak masa pendudukan Belanda. Kota di mana dahulunya merupakan basis penyebaran agama Kristen dan agama Kristen berkembang pesat, namun di kota ini terbentuk sebuah masyarakat Islam.
Tulisan ini membahas latar belakang penyebab masuknya para pendatang ke Tarutung, juga membahas bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Kemudian membahas mengenai hubungsn sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba selaku tuan rumah. Terlebih lagi hubungan antara masyarakat Islam yang mayoritas pendatang dengan masyarakat Batak Toba yang non Islam.
Tujuan tulisan ini adalah mengetahui latar belakang banyaknya para pendatang yang masuk ke Tarutung, serta mengetahui bagaimana kemudian terbentuknya komunitas Islam di Tarutung. Mengetahui bagaimana hubungan sosiologis antara kaum pendatang dan juga etnis Batak Toba, terutama Batak Toba non Islam.
Dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan bagaimana kehidupan masyarakat Islam di Tarutung yang terdiri dari berbagai etnis, terutama etnis Jawa dan Minangkabau. Etnis pendatang yang bisa di katakan yang mayoritas di Tarutung, dismping itu juga ada etnis Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan yang juga berada di Tarutung sebagai kaum pendatang.
Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan sumber), Verifikasi (kritik sumber), Interpretasi dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Pada tahap heuristik, penulis menggunakan dua metode penelitian yakni, metode kepustakaan (Library Research) dan metode lapangan (Field Research).
Islam di Tarutung telah melalui sejarah yang panjang dalam perjalanannya. Dimulai dari masa tentara Paderi yang masuk ke Tarutung dan berusaha menyebarkan Islam di Tanah Batak bagian utara tersebut. Seiring berjalannya waktu, kehidupan masyarakat Islam di Tarutung juga mengalami pasang surut sampai pada tahun 1950-an barulah kemudi1950-an Islam mulai menunjukk1950-an keberada1950-annya melalui para pendatang yang masuk ke Tarutung. Mereka juga menjalin hubungan yang baik dengan tuan rumah yaitu etnis Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen. Masyarakat Islam di Tarutung dan juga masyarakat Batak Toba yang non Islam terjalin dalam satu ikatan yaitu sebagai masyarakat Tarutung yang heterogen, menciptakan suatu keharmonisan kehidupan antarumat beragama.
(14)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif.1
Ditinjau dari segi administrasi pemerintahan, kota Tarutung dewasa ini adalah ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis kota Tarutung berbatasan dengan Kecamatan Siborong-borong di sebelah utara, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita.
Pada umumnya masyarakat Tarutung adalah orang Batak Toba. Orang Batak ini adalah salah satu dari sub etnik suku Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang terdiri dari sub etnik Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, Angkola, dan Mandailing.2
1 Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah , Yogyakarta: Ar-Ruz Media Group, 2007, hal. 16.
Kota Tarutung mayoritas penduduknya adalah orang Batak Toba yang beragama
(15)
Kristen Protestan dan Katolik. Tarutung merupakan kota di mana masyarakatnya cukup baik untuk menerima pendatang dari luar suku Batak Toba sendiri.
Hal tersebut dapat dilihat sejak masuknya pengaruh Barat ke wilayah Silindung khususnya ke wilayah Tarutung. Nommensen yang tiba di Tanah Batak (di Sibolga) pertama kali tahun 1862 adalah salah seorang penginjil yang datang ke wilayah Silindung yang berhasil menyebarkan agama Kristen di sana. Bahkan untuk mengenang jasa Nommensen tersebut maka oleh masyarakat Kristen di Silindung didirikan sebuah monumen yaitu Salib Kasih yang diresmikan dalam tahun 1997. Pada awalnya memang terjadi konflik mengenai pengaruh Barat yang masuk, tetapi akhirnya pangaruh tersebut dapat diterima.
Dengan adanya pengaruh Barat tersebut, menempa masyarakat Batak Tarutung menjadi masyarakat yang menjalani perubahan budaya baru. Hal ini juga terjadi pada saat banyaknya masyarakat pendatang dari luar Tarutung yang masuk ke Tarutung. Para pendatang ini umumnya adalah orang-orang Minangkabau dan Jawa yang mulai banyak berdatangan sekitar tahun 1960-an. Para pendatang ini dari segi budaya dan agama sangat berbeda dengan orang-orang Batak di Tarutung. Dari pendatang inilah muncul komunitas Islam di Tarutung. Mereka membawa kebudayaan dan agama dari tempat asal mereka dan tetap menjalankannya di wilayah Tarutung.
Pada awalnya Islam di Tarutung juga ada orang Batak Toba sendiri yang sudah menjadi Islam jauh sebelum para pendatang suku Minangkabau dan Jawa datang ke Tarutung. Jika ditinjau secara garis besar kota Tarutung adalah kota yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Bahkan pusat gereja HKBP di Asia Tenggara juga
(16)
3
berada di kota ini.3
Sebelumnya masyarakat Islam yang ada di Tarutung banyak berasal dari daerah-daerah Tapanuli Selatan, yang juga pengaruh dari Minangkabau. Secara lambat laun Islam juga berkembang di wilayah Silindung khususnya di kota Tarutung. Islam yang masuk merupakan pengaruh dari pasukan Paderi yang datang ke Tapanuli dengan niatan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Batak. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil dengan baik, tetapi tetap saja meninggalkan jejak Islam di Silindung khususnya Tarutung dan sekitarnya terutama daerah Pahae yang cukup dekat letaknya dengan Tarutung.
Kota Tarutung juga disebut sebagai kota Wisata Rohani dengan salib Kasih sebagai monumen kebanggaannya, namun di sini dapat pula ditemukan adanya masyarakat Islam.
Kota yang dahulunya sebagai ibu kota pemerintahan Afdeling Batak Landen, yang penduduknya mayoritas beragama Kristen, tetapi kini Islam dapat berkembang secara berdampingan dengan agama Kristen di kota ini. Suatu hal yang menarik, sebuah kerukunan umat beragama yang berbeda yaitu Kristen dan Islam.
Adapun tentang Islam di Tanah Batak khususnya di Tarutung mempunyai sejarah panjang. Agama Islam telah menyebar dengan cepat sekali ke seluruh Tapanuli Selatan setelah kekalahan kaum Paderi. Meskipun invasi Islam di sana sebelumnya mengalami kegagalan, namun para pemimpin Mandailing menganggap bahwa agama asli mereka itu tidak dapat dipertahankan lagi, sehingga mereka kemudian menganut agama Islam dan mengikuti serta mencontoh unsur-unsur
3 Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Utara The Beautiful Land, Jakarta: Seni Jurnal Photography Workshops, 2002, hal. 81.
(17)
budaya Melayu-Islam lainnya. Sementara ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Pada waktu itu belum ada misionaris, apalagi sangat sulit bagi Belanda untuk ikut aktif dalam menyebarkan agama Kristen, sebab tindakan demikian akan sangat membahayakan seluruh strategi pemerintah kolonial Belanda yang sangat mengharapkan dukungan dan bantuan golongan “hitam” ( Muslim anti-Paderi dan pro-adat) di Sumatera Barat. Maka sejak sekitar tahun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses Islamisasi.4
Di kalangan orang-orang Belanda yang anti Islam dengan sebagian didasari oleh pertimbangan imperialis dan sebagian lagi oleh pertimbangan kemajemukan nasional menyatakan “orang Batak sangat terbuka pada peradaban”, seperti terlihat pada orang Mandailing yang tidak hanya menerima Islam, tetapi juga sama beradabnya dengan para tetangga mereka yang muslim, bahkan sekarang telah melampaui orang Melayu (maksudnya orang Minangkabau). Orang Batak menganggap kita sebagai sekutunya, sehingga kita juga harus memperlakukan mereka layaknya sekutu.5
Perkembangan agama Kristen di Tanah Batak sejalan dengan penguasaan Belanda atas wilayah ini menyusul didirikannya sekolah-sekolah. Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah gubernemen atau sekolah Melayu di Tanah Batak bagian selatan hanya di kota-kota agak besar seperti Padangsidempuan, Batunadua, Hutapadang, Angkola, Natal, Hutagodang, Kotanopan, Panyabungan,
4 Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915 – 1940, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001, hal. 18.
(18)
5
Siabu, Tanobato, Maga, Gunungtua, Sibuhuan, Sipirok, Bungabondar, Baringin, Batangtoru, Sibolga, Barus, Singkil, dan lain-lain. Berbeda dengan Zending, mendirikan sekolah hampir di setiap negeri atau kampung, yaitu di mana ada guru di situ ada sekolah Zending.6
Setidaknya hingga dasawarsa kedua abad ke-20, Islam di Silindung mencakup Tarutung penuh fenomena. Sifat mendua pemerintah dan “kebijakan penyekatan” terhadap Islam diuji dalam pemilihan kepala negeri yang baru di Janji Angkola pada tahun 1919. Yaitu dengan calon ketika itu adalah Haji Ibrahim (ketua SI di Pahae) dan calon lain Aristarcus (putera seorang Pendeta Batak di Janji Angkola). Keduanya sama-sama bermarga Sitompul dan merupakan tokoh paling berhak atas “harajaon” di Janji Angkola. Sebenarnya Aristarcus bukanlah penduduk asli Janji Angkola, tetapi ia berasal dari Sigompulon, yaitu beberapa kilometer di hulu sungai dan menjadi guru sekolah di Tarutung. Begitupun akibat perbandingan jumlah rumah tangga Kristen dan rumah tangga Islam mencolok sekali, ialah 400 berbanding 60, Aristarcus berkeras mencalonkan diri. Pemerintah Belanda sangat kesal, karena pemenangnya adalah Haji Ibrahim, meskipun dengan perbedaan angka tipis.
Kontrolir Silindung, Heringa, yang amat tidak senang melihat kenyataan adanya isyarat keharmonisan antaragama di wilayah itu menyarankan kepada Asisten Residen Vorstman untuk mengangkat Aristarcus dan bukan Haji Ibrahim. Memang petunjuk Gubernur Jenderal bulan Agustus 1917 melarang pengangkatan seorang muslim menjadi raja di daerah non-Muslim, Heringa menuding kemenangan Haji
(19)
Ibrahim itu berkat kerja sama antara SI dengan sebuah organisasi Kristen baru, yaitu Hatopan Batak Kristen (HKB).
Menghadapi situasi demikian, Asisten Residen Vorstman yang lebih tua dan arif serta telah merasakan pahit getirnya bergumul dengan kontroversi agama di Sipirok, menjawab dengan melaksanakan pemungutan suara kedua pada bulan Juli 1919. Hasilnya Haji Ibrahim tetap menang dengan perbandingan perolehan suara 228 lawan 204. Oleh karena tidak ada penolakan dari Gubernur Jenderal dari Batavia, Vorstman mengangkat Haji Ibrahim menjadi kepala negeri Janji Angkola. Dalam kasus ini memang pemerintah Belanda adalah benar membatasi kegiatan misi demi tercapainya “ketenangan dan ketertiban”.7
Uraian di atas menunjukkan bagaimana peran agama Islam dalam sejarahnya di Silindung dengan pusatnya di Tarutung. Kemudian sebagaimana diketahui bahwa di Tarutung akhirnya penduduknya mayoritas beragama Kristen, akan tetapi sejak sekitar tahun 1960-an ke Tarutung masuk komunitas orang-orang Jawa dan Minangkabau yang beragama Islam.
Apabila mobilitas Islam dalam tahun 1960-an tertuju pada ideologi, namun munculnya small group orang-orang Jawa dan Minangkabau yang Islam di tengah-tengah mayoritas orang-orang Batak yang beragama Kristen di Tarutung. Yang ingin dikaji dalam skripsi ini adalah hubungan-hubungan sosiologis di antara etnis-etnis tersebut dalam pergaulan kesehariannya.
Hal tersebut di ataslah yang membuat penulis tertarik untuk mendalami kehidupan masyarakat Islam di Tarutung dengan judul “Islam di Tarutung Tahun
(20)
7
1962–2000 ”. Skop temporal yang diambil adalah antara tahun 1962 sampai 2000. Sekitar tahun 1962 merupakan tahun di mana awal pesatnya para pendatang Islam orang-orang Minangkabau dan orang-orang Jawa masuk ke Tarutung. Tahun 2000 merupakan batas akhir penelitian sebagai skop temporal penelitian sejarah ini. Rentang waktu antara tahun 1962 sampai 2000 adalah masa di mana penulis membahas bagaimana perkembangan masyarakat Islam di Tarutung.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam melakukan sebuah penelitian, maka yang menjadi landasan dari penelitian adalah akar masalah yang ada dalam topik yang dibahas. Hal inilah yang diungkapkan dalam pembahasannya. Akar permasalahan merupakan hal yang sangat penting karena di dalamnya diajukan konsep yang dibahas dalam penelitian dan menjadi alur dalam penulisan.
Sesuai dengan judul ”Islam di Tarutung Tahun 1962–2000”, maka dibuatlah suatu batasan pokok masalah. Untuk mempermudah memahami permasalahan dalam penelitian ini maka penulis menurunkan beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ke beberapa pertanyaan sebagai berikut.
1. Apa latar belakang masuknya para pendatang Islam ke Tarutung? 2. Bagaimana terbentuknya masyarakat Islam di Tarutung?
3. Bagaimana hubungan sosiologis masyarakat Islam di Tarutung khususnya orang-orang Jawa dan Minangkabau serta interaksinya dengan masyarakat non-Islam dalam kurun waktu 1962–2000?
(21)
1.3 Tujuan dan Manfaat
Setelah menetapkan apa yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas oleh penulis, selanjutnya adalah apa yang menjadi tujuan penulisan dalam melakukan panulisan ini serta manfaat yang dapat dipetik. Adapun tujuan penelitian ini adalah.
1. Menjelaskan latar belakang masuknya pendatang Islam ke Tarutung. 2. Menguraikan bagaimana terbentuknya komunitas Islam di Tarutung.
3. Menguraikan bagaimana hubungan sosiologis masyarakat Islam orang-orang Jawa dan Minangkabau di Tarutung dan interaksinya dengan masyarakat non-Islam selama kurun waktu 1962-2000.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi masyarakat Tarutung khususnya akan menyadari keberagaman etnis semakin memperkaya berbagai kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Masyarakat agar bisa lebih memahami bahwa keragaman etnis dan budaya adalah khasanah kekayaan dalam persatuan bangsa.
2. Bagi pemerintah, kedatangan masyarakat Islam yang minoritas ke tengah-tengah masyarakat Tarutung yang mayoritas Kristen akan memperkuat simbol kota Tarutung sebagai kota wisata rohani.
3. Dapat menjadi acuan bagi para penulis yang lain manakala penelitian ini dirasa perlu penyempurnaan ataupun sebagai referensi.
(22)
9
1.4 Tinjauan Pustaka.
Ada beberapa literatur yang dapat digunakan dalam mendukung penelitian ini di antaranya sebagai berikut.
Lance Castle dalam bukunya yang berjudul: “Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940”. Dalam buku ini diungkapkan mengenai kehdupan masyarakat Islam di wilayah Silindung yang secara administratif berpusat di Tarutung. Dalam buku ini juga diuraikan bagaimana sikap masyarakat Batak Toba dan sikap mendua pemerintah Belanda terhadap agama Islam, bahkan sempat terjadi penolakan yang diawali oleh penolakan pemerintah kolonial yang berkedudukan di Silindung pada saat itu. Buku ini memang menguraikan mengenai kehidupan masyarakat Tapanuli sebelum tahun 1962, tapi dipandang sangat berguna untuk mengetahui latar belakang sejarah bagaimana kehidupan masyarakat Islam pada masa sejak berakhirnya Perang Paderi terutama setelah pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20.
Kemudian Fritzjof Shuon dalam bukunya, “ Mencari Titik Temu Agama-agama”, terjemahan Saafroedin Bahar, menjabarkan mengenai konsep agama, apa pengertian dari agama. Buku ini mengungkapkan mengenai hubungan antara dua agama yakni Islam dan Kristen. Dalam buku ini dijelaskan mengenai konsep ketuhanan yang dimiliki antara Islam dan Kristen, ajaran Kristen lebih mementingkan aspek Tritunggal dari Yang Ilahi. Tuhan menjelma sebagai manusia dan menebus dunia. Azas turun dalam suatu wujud untuk menertibkan kembali keseimbangan dunia yang terganggu. Menurut ajaran Islam, Tuhan mengukuhkan diri-Nya sendiri
(23)
dengan Keesaan-Nya. Tuhan tidak menjelma menjadi manusia berdasarkan perbedaan rahaniah.8
Ada sebuah buku lama terbitan tahun 1960 berjudul “Perihal Bangsa Batak”. Meskipun buku lama tapi cukup penting karena mengungkapkan awal masuknya ajaran-ajaran Kristen ke tengah-tengah masyarakat Batak oleh orang-orang Inggris sebelum kedatangan Zending. Buku ini juga mengemukakan bagaimana Belanda untuk menguasai Tarutung atau Silindung setelah terlebih dahulu menguasai Tanah Batak bagian selatan, kemudian mendirikan sekolah-sekolah, tetapi lebih banyak mendirikan sekolah-sekolah Zending dalam usaha Kristenisasi. Di sini dijelaskan bahwa pada awalnya orang Belanda tidak membedakan orang Angkola, Mandailing maupun Batak Toba sebagai orang Batak. Mereka yang pertama memperoleh pengetahuan dari pengajaran Kristen di Sipirok adalah berupa kepandaian bertukang dan sebagai guru.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penulisan sejarah yang ilmiah, pemakaian metode sejarah yang ilmiah sangatlah penting. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode itu sendiri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.9
8 Frizjof Shuon, Mencari Titik Temu Agama-agama, terj, Jakarta; Pustaka Firdaus. 1987. hal 119.
Sejumlah sistematika penulisan yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu setiap penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa yang telah lalu.
(24)
11
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam metode sejarah adalah:
1. Heuristik, mengumpukan data atau sumber melalui studi kepustakaan (library
research) dari buku, arsip, artikel. Pengumpulan data tidak hanya berupa
literatur tetapi juga data yang didapatkan dari penelitian lapangan.
2. Kritik sumber, mengusahakan peneliti untuk lebih dekat dengan nilai kebenaran dan keaslian sumber, terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal yaitu menelaah tentang kebenaran isi atau fakta dari sumber, baik sumber tersebut dari buku, artikel, maupun arsip serta wawancara lisan dengan narasumber. Kritik eksternal dilakukan dengan cara pngujian untuk menentukan keaslian sumber baik dari buku maupun wawancara. Adalah sangat penting untuk melakukan kritik eksternal demi menjaga objektifnya suatu data.
3. Interpretasi, merupakan tahap di mana peneliti mencoba menafsirkan data yang diperoleh yang diharapkan dapat menjdi data yang objektif. Dalam hal ini adalah interpretasi dari hasil pengumpulan sumber, kritik tentang objek kajian peneliti terhadap Islam di Tarutung. Interpretasi ini diharapkan dapat menjadi data sementara sebelum peneliti menuangkannya ke dalam sebuah tulisan.
4. Historiografi, adalah tahapan akhir dari penelitian atau dapat juga dikatakan sebagai penulisan akhir. Dengan hasil akhir dari suatu penulisan yang diperoleh dari fakta-fakta yang dilakukan secara sistematis dan kronologis untuk menghasilkan tulisan sejarah yang ilmiah dan objektif. Historiografi ini
(25)
merupakan hasil dari pngumpulan sumber, kritik (baik kritik internal maupun eksternal) serta hasil dari interpretasi.
(26)
13
BAB II
MASUKNYA PENDATANG ISLAM DI TARUTUNG
Masyarakat Batak yang ada di kota Tarutung merupakan masyarakat yang heterogen. Ada dua bentuk heterogenitas yang dimaksudkan. Pertama, Tarutung sebagai kota yang didatangi berbagai etnis Batak lokal yang masing-masing mempunyai kampung-kampung halaman sendiri dan marga seperti Hutabarat, Panggabean, Hutapea, Sitompul, dan beberapa perkampungan marga lainnya di mana mereka kemudian menjadi penduduk kota Tarutung. Di antara etnis Batak yang mayoritas itu ada juga etnis-etnis pendatang, seperti orang-orang Minangkabau dan orang-orang Jawa baik yang berasal dari pulau Jawa ataupun orang-orang Jawa kelahiran Sumatera.
Keberagaman masyarakat yang ada di Tarutung diakibatkan oleh adanya kaum pendatang tersebut yang masuk ke Tarutung. Etnis pendatang ini sebagian besar tujuan mereka datang ke Tarutung adalah untuk merantau atau mencari nafkah.
Dari perpaduan berbagai etnis inilah masyarakat Islam Tarutung terbentuk. Masyarakat menjalankan syariat dan hukum Islam, yaitu mereka yang memeluk satu keyakinan yang sama ialah Islam. Walaupun mereka berbeda dari segi adat dan budaya, tetapi dapat hidup rukun dalam satu kawasan tanah perantauan di Tarutung. Selain dari etnis pribumi, ada juga yang merupakan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Tarutung. Mereka juga menambah keberagaman penduduk di Tarutung. Namun dalam tulisan ini, penulis lebih menekankan pembahasan pada etnis lokal pribumi yang beragama Islam dalam pembahasannya. Sesuai dengan judul di mana
(27)
yang menjadi objek kajian penulis adalah Islam yang memang dikembangkan dan disebarkan oleh kaum pribumi. Islam di Tarutung yang berkembang dan menunjukkan keberadaannya setelah banyaknya kaum pendatang warga pribumi yang masuk ke Tarutung. Meskipun ada juga seorang warga keturunan Tionghoa yang kemudian tinggal di Tarutung yang juga ikut dalam kegiatan Islam di Tarutung. Beliau juga merupakan seorang ulama Tionghoa.
2.1 Pendatang dari luar Tarutung
Orang-orang dari wilayah lain di luar dari kota Tarutung banyak yang datang dan menetap di Tarutung. Kaum pendatang ini datang dengan berbagai alasan. Ketika tinggal menetap di Tarutung mereka pun tetap menjalankan tradisi dan adat kebiasaan serta juga agama yang mereka bawa dari daerah asal. Di antara kaum pendatang ini adalah orang-orang yang berasal dari daerah Sumatera Barat atau etnis Minangkabau, orang-orang Jawa dan juga orang-orang yang datang dari daerah Tapanuli Selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang masih dekat letak geografisnya dengan daerah Silindung.
2.1.1 Etnis Minangkabau
Orang Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya, di mana kaum prianya merantau ke negeri orang untuk mencari nafkah atau untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Alasan mencari penghidupan inilah yang mendorong orang-orang Minangkabau sampai ke Tarutung.
(28)
15
Penyebaran orang-orang Minangkabau jauh dari daerah asalnya salah satunya disebabkan oleh keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada. Ini dapat dihubungkan sebenarnya dengan keadaan bahwa seorang laki-laki tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia mungkin dapat menggunakan tanah tersebut untuk kepentingan keluarga matriliniernya.19
Sistem matrilinial yang dipakai oleh orang Minangkabau merupakan sistem garis keturunan yang didasarkan pada garis keturunan ibu. Pihak perempuan atau isteri adalah orang yang berhak atas harta keluarga berupa warisan, sehingga bagi laki-laki yang ingin menafkahi keluarganya, tidak boleh bergantung pada harta warisan untuk dikelola, melainkan harus bekerja untuk mendapatkan penghasilan sendiri. Kebanyakan orang Minangkabau memang bekerja sebagai petani di daerah asalnya, namun tidak semua. Keadaan alam Minangkabau yang berbukit-bukit sering menjadi kendala untuk dijadikan lahan pertanian, sehingga mereka harus mencari alternatif lain untuk mendapatkan penghasilan. Salah satunya adalah dengan cara merantau ke daerah lain. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencari nafkah di daerah lain, bekerja sesui dengan keterampilan atau keahlian yang dimilikinya.
Berdasarkan sejarahnya, sebenarnya orang Minangkabau sudah datang ke Tarutung sejak masa ekspansi tentara Paderi ke Tanah Batak (1818 – 1820) . Untuk ekspansi ke wilayah Tapanuli, tentara Paderi dipimpin oleh Tuanku Rao yang disebut-sebut masih keturunan dari Sisingamangaraja, yaitu kemenakan Sisingamangaraja. Tuanku Rao kemudian menunjuk beberapa orang pemimpin
(29)
pasukannya untuk memasuki beberapa wilayah di Tapanuli bagian utara. Pada saat itu tentara Paderi yang masuk ke wilayah Silindung tempat kota Tarutung sekarang dipimpin oleh Djagorga Harahap. Ia masuk ke Silindung dan mendirikan bangunan tempat berkumpul tentara Paderi di Sigompulon. Di sinilah tentara Paderi yang terdiri dari orang-orang Minangkabau bertahan.20
Pada saat itu kedatangan orang-orang Minangkabau ke Tarutung adalah dalam misi penyebaran agama Islam dalam tentara Paderi, akan tetapi dari situ sudah dapat dilihat bahwa Tarutung sudah disentuh oleh orang-orang Minangkabau sejak abad ke-19. Selanjutnya orang-orang Minangkabau yang datang ke Tarutung untuk mengadu nasib pertama kali sejak tahun 1950-an. Mereka memilih menetap di kawasan Komplek Mesjid, sekarang termasuk dalam Kelurahan Hutatoruan X. Mereka bekerja sebagai pedagang penjaja makanan seperti pedagang sate keliling, tukang tilam, bahkan ada yang mengusahakan rumah makan. Lokasi Komplek Mesjid ini dipilih untuk pemukiman karena letaknya di pinggir Aek Sigeaon, sehingga memudahkan mereka yang beragama Islam untuk mandi dan bersuci guna melaksanakan sholat pada masa itu ketika sarana air bersih belum sebaik sekarang penyalurannya. Selain itu lokasi Komplek Mesjid juga berada di pusat kota Tarutung.
Dalam pasukan tentara Paderi memang terdapat beberapa orang Batak, bahkan salah seorang pasukan tentara Paderi nantinya akan menjadi orang yang dianggap sebagai salah satu penyebar Islam yang pertama di Tarutung.
Berdagang adalah salah satu bidang usaha yang banyak digeluti oleh orang Minangkabau. Keterlibatan orang Minangkabau dalam kegiatan perdagangan akan
(30)
17
semakin nampak di daerah rantau.21
Dari orang Minangkabau ini sedikit banyaknya Islam mulai tampak di Tarutung. Orang Minangkabau yang ada di Tarutung keseluruhannya adalah pemeluk agama Islam. Mereka juga sering melakukan kegiatan agama di Tarutung. PPM pada dasarnya adalah sebuah perkumpulan tolong menolong, yang juga sebagai tempat silaturahmi sesama perantau Minangkabau. Salah satu cara mempererat silaturahmi adalah dengan melakukan pengajian ataupun perwiridan rutin yang dilakukan tiap minggu. Kegiatan keagamaan ini sangat efektif untuk memperkenalkan ataupun untuk menunjukkan keberadaan orang Minangkabau di Tarutung.
Hal ini yang menyebabkan kebanyakan orang Minangkabau yang ada di Tarutung lebih memilih berdagang sebagai mata pencahariannya. Pada awalnya memang belum begitu banyak orang Minangkabau yang datang ke Tarutung, kemudian pada tahun 1960-an mulai banyak orang Minangkabau yang ada di Tarutung. Bahkan orang Minangkabau ini sudah membentuk perkumpulan mereka di Tarutung yaitu Persaudaraan Perantau Minang (PPM) yang dibentuk pada tahun 1962. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan untuk menghimpun orang Minangkabau yang ada di Tarutung.
Orang-orang Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang tidak begitu besar perannya dalam mengembangkan Islam di Tarutung. Memang pada awalnya kebanyakan para pedagang yang menyebarkan agama Islam di Indonesia termasuk orang-orang Minangkabau, tetapi tidak demikian dengan yang terjadi di Tarutung. Sebelum para perantau Minangkabau datang ke Tarutung, orang-orang Batak di Tarutung sudah banyak yang memeluk agama Kristen yang dibawakan oleh I. L.
(31)
Nommensen pada tahun 1863. Kristen berkembang pesat di Tarutung sehingga ketika Islam mulai menunjukkan keberadaannya, lebih banyak kaum pendatangnya daripada orang-orang lokal. Salah satu kaum pendatang yang dominan ini adalah orang-orang Minangkabau, walau bukan berarti bahwa orang lokal tidak ada yang beragama Islam. Orang lokal sendiri ada yang beragama Islam, di antaranya ada yang bermarga Panggabean, Hutagalung, Hutabarat, dan masih banyak lagi orang Batak Toba yang beragama Islam di Tarutung. Bahkan mesjid yang pertama berdiri di daerah Tapanuli Utara adalah mesjid Al-Jihad yang ada di Tarutung, yang dibangun oleh Oppung Bindu Hutagalung, seorang muslim yang juga adalah bekas tentara Paderi.
2.1.2 Pendatang Etnis Jawa
Pendatang lain yang masuk ke Tarutung adalah orang-orang Jawa, di antaranya ada yang datang dari pulau Jawa. Ada banyak etnis Jawa di Tarutung terutama datang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Mereka datang ke Tarutung untuk berdagang ataupun mencari penghidupan yang lebih baik.
Pada tahun 1970-an memang sedang marak penyebaran penduduk oleh program pemerintah pada saat itu. Transmigrasi, sebuah program pemerintah untuk mengatasi kepadatan penduduk terutama di pulau Jawa, dan banyak orang-orang Jawa yang mengikuti program ini. Kepada mereka disediakan tempat di daerah tujuan transmigrasi. Mereka juga dikenal dengan sebutan orang-orang trans.
Tetapi orang-orang Jawa yang datang ke Tarutung, mereka bukanlah yang mengikuti program transmigrasi. Mereka hanyalah mengikuti persebaran penduduk melalui mobilitas sosial, di mana mereka sendiri yang mencari daerah tujuan. Setelah
(32)
19
sampai di daerah tujuan, mereka berusaha sendiri dan membaur dengan masyarakat setempat.
Migrasi spontan yang dilakukan penduduk dari pulau Jawa memang lebih banyak dibanding dengan program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Jumlah imigran spontan dari Jawa ke luar Jawa selama periode 1966 – 1970 diperkirakan sebanyak 371.000 orang, sebagian besar menetap di Sumatera (80%).22
Salah satu daerah tujuan yang mereka pilih adalah Tarutung, ibu kota kabupaten Tapanuli Utara. Orang Jawa yang pertama kali datang dan menetap di Tarutung diketahui pada tahun 1975, yakni orang Jawa yang berasal dari Jawa Tengah. Mereka juga bermukim di Komplek Mesjid, karena letak daerahnya yang strategis di tengah kota. Selanjutnya pada tahun 1980-an semakin banyak orang-orang dari Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka mayoritas bekerja sebagai pedagang, Begitu banyaknya orang-orang dari pulau Jawa yang tersebar di Sumatera, khususnya Sumatera Utara, mereka kemudian menambah jumlah orang Jawa yang ada di Sumatera Utara sebab sebelumnya memang sudah banyak orang Jawa yang menetap. Mereka ini adalah orang-orang keturunan dari orang Jawa yang dibawa untuk menjadi buruh di perkebunan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Di Sumatera Utara, mereka kemudian tersebar hampir ke setiap kabupaten. Orang-orang Jawa mencari daerah-daerah di Sumatera Utara yang dianggap bisa dijadikan tempat untuk menetap dan bekerja untuk mencari nafkah. Banyak daerah tujuan yang dijadikan tempat untuk mereka bekerja.
22 Sri Edi Swasono, Masri Singarimbun, Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905 – 1985, Jakarta:UI-Press, 1986, hal. 298.
(33)
seperti berdagang bakal pakaian, membuka warung jamu, jamu gendong, tukang bakso keliling, dan lain-lain.
Dalam tahun 1980-an, semakin banyak orang-orang Jawa berada di Tarutung. Bahkan ada juga orang Jawa yang berasal dari Sumatera sendiri. Mereka adalah keturunan dari orang Jawa yang dibawa ke Sumatera Timur pada masa pembukaan perkebunan di Sumatera Timur. Setelah kontraknya di perkebunan selesai, tidak semua mereka kembali ke tanah asalnya, melainkan tinggal menetap di berbagai tempat di Sumatera Timur. Demikian juga dengan keturunan mereka. Orang Jawa ini disebut juga Jawa Deli, yaitu orang Jawa yang tinggal di wilayah Deli (Sumatera Timur) ataupun orang Jawa keturunan kuli kontrak pada masa perkebunan zaman Belanda. Memang pada saat itu bukan hanya di wilayah Kesultanan Deli saja adanya perkebunan tetapi di beberapa tempat di Sumatera Timur, namun orang-orang Jawa keturunan buruh perkebunan ini di Tarutung lebih terkenal dengan sebutan Jawa Deli, ada juga yang menyebutnya Jawa Medan. Dalam tulisan ini penulis lebih memilih menggunakan istilah Jawa Medan untuk menyebut orang-orang Jawa keturunan buruh perkebunan zaman Belanda yang sekarang tinggal di Tarutung.
Oran Jawa yang berasal dari wilayah Sumatera Timur datang dari tanah Deli yang sesungguhnya adalah keturunan orang-orang yang berasal dari pulau Jawa. Tetapi karena adanya pembukaan perkebunan di tanah Deli oleh Nienhuys, maka orang-orang ini dibawa ke Sumatera Timur untuk dijadikan sebagai kuli perkebunan.
Banyak orang Jawa yang merupakan keturunan dari kuli perkebunan zaman Belanda di Sumatera Timur, khususnya di Sumatera Utara sekarang. Mereka tersebar
(34)
21
di berbagai wilayah seperti di Medan, Pematan Siantar, Kisaran, Rantau Prapat, dan wilayah-wilayah lain, termasuk di Tarutung.
Antara orang Jawa yang berasal dari pulau Jawa langsung dengan orang Jawa Medan tidak ada perbedaan ataupun perbenturan budaya. Walaupun orang Jawa Medan sudah lama tinggal di Sumatera, tetapi mereka tidak melupakan kebudayaan dan adat istiadat Jawa. Oleh karena itu ketika orang Jawa Medan ini bertemu dengan orang Jawa yang datang langsung dari pulau Jawa langsung, mereka tetap satu yaitu orang Jawa, orang-orang yang memiliki adat istiadat Jawa.
Dengan adanya pertemuan orang Jawa yang dari pulau Jawa dan orang Jawa yang berasal dari wilayah Sumatera Timur, maka semakin banyaklah orang Jawa di Tarutung. Pada tahun 1986 dibentuklah sebuah perkumpulan orang Jawa di Tarutung. Perkumpulan ini pada awalnya adalah untuk menghimpun orang-orang Jawa yang ada di Tarutung. Di perkumpulan ini orang Jawa yang ada di Tarutung dapat berinteraksi dengan sesama orang Jawa lainnya. Perkumpulan ini dinamakan Perkumpulan Tunggal Wargo.
Lambat laun perkumpulan ini berubah menjadi sebuah perwiritan untuk orang Jawa. Hal ini dikarenakan sudah semua orang yang ada di perkumpulan ini adalah orang Jawa yang beragama Islam. Ada juga orang Batak yang ikut dalam perkumpulan ini, karena dia memiliki isteri orang Jawa. Jadi perkumpulan ini adalah untuk mengumpulkan semua orang Jawa yang ada di Tarutung. Sekalipun ia adalah isteri orang Batak, maka si suami orang Batak tersebut akan ikut perkumpulan ini. Pada saat perkumpulan ini menjadi sebuah perkumpulan pengajian ataupun perwiridan, perkumpulan ini bernama Al-Muhajirin Tunggal Wargo. Muhajirin dapat
(35)
diartikan sebagai berpindah. Hal ini seperti apa yang terjadi pada masa Rasulullah, di mana pada saat mereka hijrah ke Madinah mereka disebut sebagai kaum Muhajirin. Jadi Al-Muhajirin Tunggal Wargo adalah kaum pendatang yang berpindah atau hijrah yang terdiri dari orang-orang atau warga Jawa yang dihimpun menjadi tunggal wargo atau satu warga, satu perkumpulan di Tarutung.
Perkumpulan Tunggal Wargo juga pernah membuat sebuah koperasi simpan pinjam bagi anggotanya. Hal ini dimaksudkan untuk membantu perekonomian setiap anggotanya. Salah satu kegitannya adalah dalam bentuk peminjaman modal usaha, sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan dari orang-orang Jawa ini adalah berprofesi sebagai pedagang, yang membutuhkan modal usaha. Di samping itu koperasi juga sebagai bentuk pengelolaan keuangan oleh Tunggal Wargo, yang berazaskan dari anggota untuk anggota. Sedemikian terorganisirnya perkumpulan ini, bukan hanya sekedar tempat berkumpul dan bersilaturahmi saja, tetapi lebih dari itu.
Di Tarutung orang-orang Jawa ini juga tetap menjalankan adat istiadat ataupun kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari tanah asalnya. Contohnya adalah setiap malam 1 Suro, mereka akan melakukan pengajian ataupun syukuran. Bahkan pada tahun 1990-an pernah diadakan pertunjukan Jaran Kepang di Tarutung, salah satu bentuk untuk menunjukkan tentang keberadaan orang Jawa di Tarutung.
Tidak semua orang Jawa yang ada di Tarutung adalah bertujuan datang untuk berdagang. Tetapi ada juga yang memang ditugaskan di Tarutung. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di pemerintahan ataupun orang-orang militer yang memang ditugaskan di Tarutung. Namun demikian mereka tetap disebut sebagai orang pendatang yang beretnis Jawa.
(36)
23
2.1.3 Orang Batak dari Wilayah Tapanuli bagian Selatan
Orang-orang yang datang ke Tarutung bukan hanya orang-orang Minangkabau dan orang-orang Jawa saja, tetapi juga sub etnis Batak lain yang datang ke Tarutung. Sub etnis orang Batak lain yang dimaksudkan adalah orang-orang Batak Mandailing.
Kebanyakan orang-orang Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan ini datang ke Tarutung dikarenakan pindah tugas, tetapi ada juga di antaranya yang memang sengaja untuk mengadu nasib di Tarutung. Sama seperti perlakuan terhadap orang-orang Minangkabau, kedatangan mereka juga diterima baik oleh orang-orang Batak yang ada di Tarutung, dikarenakan mereka masih satu etnis yaitu Batak. Selain itu juga ada satu nilai budaya dasar yang dipegang teguh oleh orang Batak yaitu Dalihan Na Tolu. Setiap sub etnis Batak memegang teguh Dalihan Na Tolu. Dalam Dalihan Na Tolu tidak ada memandang perbedaan agama, semua satu yaitu etnis Batak.
Berdasarkan sejarahnya, orang Batak tersebar ke berbagai wilayah yang pada asalnya berasal dari Samosir. Perpindahan dari negeri Toba tua ke sekitarnya pada umumnya dikarenakan adanya perselisihan di antara keluarga/marga yang bersangkutan, misalnya karena masalah pembagian harta warisan.23
23 Batara Sangti, Sejarah Batak, Medan: Karl Sianipar Company, 1977, hal. 41.
Sehingga ada beberapa dari keluarga tersebut yang kemudian pergi keluar tanah asalnya yang kemudian mendirikan kampung-kampung baru atau huta di daerah lain. Persebaran inilah yang kemudian menyebabkan banyaknya orang-orang Batak yang tinggal di luar Samosir, tempat orang Batak berasal. Persebaran ini sering juga disebut sebagai
(37)
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa orang Batak yang di Tarutung pada awalnya memiliki garis keturunan sejarah yang sama dengan orang-orang Batak yang berasal dari Tapanuli bagian selatan. Ditambah lagi dengan konsep Dalihan Na Tolu yang dipegang teguh oleh kedua belah pihak. Hal itu yang menyebabkan orang-orang muslim dari Tapanuli bagian selatan diterima dengan baik di Tarutung. Memang Dalihan Na Tolu bagi orang Batak berbeda-beda dalam penyebutannya. Tetapi pada dasarnya, intinya adalah mengenai sistem kekerabatan yang diatur sedemikian rupa. Sistem kekerabatan yang sangat erat, yang kemudian mempengaruhi hubungan antara satu orang dengan orang yang lain dalam kehidupan kesehariannya. Sikap saling menghormati, antara yang tua dan yang muda, antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain yang kemudian terhubung karena adanya perkawinan. Hal inilah yang terjadi pada orang Batak yang di Tarutung dengan orang Batak yang datang dari Tapanuli Selatan.
Orang-orang yang datang dari Tapanuli bagian selatan sudah memeluk Islam sejak adanya penyebaran Islam oleh tentara Paderi. Ketika mereka di Tarutung mereka juga tetap menjalankan ajaran Islam bersama kaum pendatang lainnya dan juga masyarakat lokal yang menganut agama Islam.
Pada tahun 1970-an sudah banyak orang-orang Islam dari wilayah Tapanuli bagian selatan yang datang ke Tarutung. Setelah mereka semakin banyak jumlahnya, maka dibentuklah sebuah perkumpulan untuk orang-orang yang berasal dari Tapanuli bagian selatan. Perkumpulan ini dibuat dalam bentuk perwiridan atau pengajian, yang juga sekaligus sebagai sarekat tolong menolong sesama orang-orang Tapanuli bagian selatan. Mereka ini ada yang datang dari wilayah Padangsidimpuan, Mandailing dan
(38)
25
Angkola. Selain karena pindah tugas ataupun ditugaskan ke Tarutung, orang-orang ini juga datang ke Tarutung untuk berdagang. Di Tarutung sendiri orang-orang Tapanuli bagian selatan ini banyak berkecimpung dalam bidang perdagangan emas. Banyak toko-toko emas yang ada di Tarutung adalah milik orang Tapanuli bagian selatan. Kemudian ada juga beberapa orang Batak Toba yang juga ikut membuka toko emas seperti yang dilakukan oleh orang-orang Batak dari Tapanuli bagian selatan.
Perkumpulan orang-orang yang berasal dari Tapanuli Selatan dan sekitarnya ini tergabung dalam pengajian Tapanuli Selatan. Kegiatan yang dilakukan sama seperti perkumpulan lain yaitu mengadakan pengajian rutin setiap minggunya.
2.2 Faktor-faktor Pendorong Masuknya Pendatang ke Tarutung
Ada berbagai macam faktor yang menjadi penyebab mengapa banyak para pendatang yang masuk ke Tarutung. Faktor pendorong yang berasal dari daerah asal para pendatang dan juga faktor penarik yang ada di daerah tujuan adalah hal yang sangat erat kaitannya. Pada tahun 1960-an dianggap sebagai saat-saat di mana banyaknya kaum pendatang yang masuk ke Tarutung. Mereka datang dengan berbagai alasan. Ada yang datang memang karena keinginan untuk mencari daerah baru di luar daerah asalnya untuk dijadikan sebagai tanah perantauan, dan ada juga yang datang memang karena penugasan atau karena urusan pekerjaan yang mengharuskan dirinya tinggal di Tarutung, seperti yang terjadi pada para pendidik atau guru yang berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil). Begitu juga yang terjadi pada mereka yang bekerja dalam pemerintahan dan polisi ataupun militer.
(39)
2.2.1 Faktor Penarik Kota Tarutung
Tarutung adalah sebuah kota kabupaten yang berada di sebuah lembah. Masyarakat Tarutung sendiri biasa menyebut kota Tarutung sebagai Rura Silindung (Lembah Silindung). Hal ini karena Kota Tarutung dikelilingi oleh jajaran perbukitan yang di antaranya adalah bukit Siatasbarita, tempat berdirinya monumen Salib Kasih sekarang, yaitu tempat di mana dahulunya Nommensen berdoa pada saat pertama kali melihat wilayah Tarutung.
Orang Batak Toba adalah etnis lokal yang mendiami kota Tarutung, yang belakangan menerima pengaruh Barat melalui misi penyebaran agama Kristen Protestan yang masuk ke daerah ini.
Mayoritas mata pencaharian kaum pendatang di Tarutung adalah berdagang. Hal ini juga bisa dikelompokkan berdasarkan etnisnya. Contohnya etnis Jawa yang banyak berdagang makanan seperti bakso dan berdagang jamu. Sedangkan etnis Minangkabau banyak yang berdagang sate dan juga sebagai tukang tilam atau kasur, baik yang membuka toko maupun berkeliling dengan menggunakan sepeda. Bagi pendatang yang berasal dari Tapanuli bagian selatan mereka banyak yang membuka toko mas. Hal ini dikarenakan di daerah asal mereka merupakan tempat pendulangan emas di mana mereka sudah punya kebiasaan mengolah bahan emas.
Para pedagang makanan yang ada di Tarutung mayoritas adalah kaum pendatang, ada yang menjajakan makanan dengan berkeliling baik dengan gerobak ataupun kendaraan seperti sepeda dan sepeda motor, ada juga yang membuka rumah makan. Terdapat beberapa rumah makan muslim yang dikelola oleh kaum pendatang seperti pendatang dari Minangkabau dan juga etnis Jawa. Dalam hal makanan,
(40)
orang-27
orang Batak di Tarutung memang merasa suka terhadap cita rasa khas masakan Minangkabau maupun Jawa, sebab sangat berbeda dengan cita rasa makanan Batak. Hal ini yang membuat pedagang makanan yang berasal dari kaum pendatang menjadi sangat digemari. Bahkan ada beberapa orang dari kaum pendatang yang sudah berhasil dengan kata lain memiliki penghidupa n yang lebih baik dari usaha berdagang makanan. Ada juga dari pendatang yang sudah mampu membeli sebidang tanah dan rumah di daerah Tarutung.
Mengenai makanan yang dijual, memang sudah sejak lama orang Minangkabau yang membuka rumah makan. Bahan makanan yang dijual juga merupakan makanan yang halal, seperti masakan daging kerbau yang juga halal sebab disembelih oleh orang Islam. Di Tarutung memang ada terdapat rumah potong hewan sehingga orang Islam yang ingin membeli daging kerbau tidak perlu khawatir sebab yang menyembelih hewan adalah orang Islam, sehingga dagingnya halal untuk dikonsumsi.
Kaum pendatang yang mendapat cerita dari orang-orang yang sudah merantau ke Tarutung, kemudian mereka datang ke Tarutung. Setibanya di Tarutung, mereka memulai usaha kecil-kecilan hingga kemudian berkembang menjadi penghasilan yang cukup lumayan. Mereka pulang kampung ke daerah asalnya, biasanya ketika lebaran tiba. Banyak dari kaum pendatang ini yang mudik ke kampung halaman terlebih mereka dari etnis Jawa, di mana mereka membawa saudara ataupun teman-temannya dari kampung saat kembali ke Tarutung. Dengan demikian semakin banyaklah orang yang datang ke Tarutung. Mereka tertarik setelah melihat
(41)
teman-teman ataupun kerabat yang merantau ke Tarutung dan memiliki kehidupan yang lebih baik sesudah mengadu nasib di Tarutung.
Tarutung bisa dikatakan sebagai daerah yang dapat untuk dijadikan tempat mengadu nasib atau memperoleh penghidupan yang lebih layak. Walaupun Tarutung bukanlah sebuah kota besar, sebagaimana anggapan selama ini bahwa kota besar tempat untuk mengadu nasib, tetapi di Tarutung orang punya kesempatan mencari nafkah dengan segala keahlian yang ada.
2.2.2 Faktor Pendorong Kedatangan Perantau
Selain faktor penarik daerah tujuan, dalam hal ini kota Tarutung, terdapat juga beberapa faktor pendorong yang berasal dari daerah asal para perantau bahkan faktor pendorong dari dalam diri mereka sendiri.
Kebanyakan kedatangan dari para pendatang ini dikarenakan faktor ekonomi ataupun tidak adanya kepuasan dalam kehidupan di daerah asal. Atau justru karena memang di daerah asal tidak ada pekerjaan yang bisa memperbaiki perekonomian keluarga. Oleh sebab itu mereka memilih merantau atau melakukan migrasi ke tempat lain.
Faktor adat juga menjadi faktor pendorong mengapa mereka merantau ke daerah lain, seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan dipegang oleh pihak perempuan. Bahkan dalam hal pembagian harta warisan pihak perempuan lebih punya peran dan pengaruh. Pihak laki-laki hanya sebagai wali dan juga kepala keluarga, tetapi bukan secara adat. Oleh karena itu pihak laki-laki dalam
(42)
29
urusan mencari nafkah tidak bisa mengandalkan harta warisan semata. Mereka harus bekerja, sementara di wilayah Minangkabau sangat terbatas lahan pertanian, sehingga mayoritas mata pencaharian masyarakat Minangkabau adalah berdagang.
Semakin bertambahnya penduduk orang-orang Minangkabau, maka semakin sedikit peluang untuk bekerja di daerah Minangkabau. Lahan yang terbatas yang disebabkan karena faktor geografis alam Minangkabau yang terdiri dari perbukitan berbatu sehingga tidak cocok untuk dijadikan lahan pertanian. Akibatnya masyarakat Minangkabau harus mencari pekerjaan di luar daerah Minangkabau khususnya bagi kaum laki-laki, sehingga merantau menjadi pilihan untuk memperbaiki perekonomian keluarga.
Bahkan setelah Belanda menaklukkan Paderi, menyusul keberhasilan sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat antara tahun 1850 dan 1870 adalah berkaitan erat dengan daya ekonomi ketika itu. Yaitu alam dagang telah lama mendarah daging dalam kehidupan Minangkabau, di mana jual-beli barter barang merupakan hal yang amat penting.24
Dalam menentukan daerah yang akan dijadikan tanah perantauan, mereka banyak mendengar cerita dari orang-orang yang sudah merantau. Demikian yang terjadi ketika banyak orang Minangkabau yang datang ke Tarutung. Mereka banyak mendengar cerita mengenai keadaan kota Tarutung dari orang-orang Minangkabau yang sudah datang ke Tarutung.
Setelah di Tarutung, mereka membuka usaha dengan kemampuan yang dimilikinya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, orang-orang Minangkabau
(43)
di Tarutung misalnya banyak yang bekerja sebagai pedagang, baik pedagang makanan ataupun pedagang barang-barang lain. Ada banyak orang Minangkabau yang berhasil di Tarutung, mereka dapat meningkatkan taraf hidupnya, sehingga mereka juga memutuskan untuk tinggal menetap di Tarutung.
Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabu, demikian juga pada orang-orang Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka merantau karena ingin meningkatkan taraf hidup,yaitu untuk meningkatkan perekonomian keluarga agar menjadi lebih baik. Jadi merantau karena kecilnya kesempatan bekerja di daerah asal.
Pulau Jawa merupakan pulau yang terpadat penduduknya, di mana banyak orang-orang Jawa yang pernah mengikuti program transmigrasi. Di antara mereka sudah ada yang mengetahui tentang kota Tarutung, dan kemudian ada yang pulang ke Jawa. Bagi mereka yang tidak mengikuti program transmigrasi, mereka datang ke berbagai tempat di Sumatera Utara, juga memilih daerah tujuan Tarutung, karena mendengar cerita dari orang-orang yang pernah merantau. Demikian juga halnya mengapa banyak orang Jawa yang datang ke Tarutung. Mereka banyak mendengar cerita dari orang-orang yang sudah pernah ke Tarutung.
Pada awalnya orang-orang Jawa yang pertama datang ke Tarutung adalah mereka yang pada awalnya datang ke wilayah Medan dan sekitarnya. Selanjutnya mereka mencoba memilih tempat lain di Sumatera Utara, salah satunya adalah Tarutung. Setelah mereka cukup berhasil di Tarutung, mereka pun pulang ke Jawa dan kembali dengan membawa kerabat ataupun teman mereka. Demikian seterusnya hingga semakin banyak orang Jawa yang datang ke Tarutung.
(44)
31
Sementara bagi orang-orang dari Tapanuli Selatan, hampir sama halnya dengan orang Jawa dan Minangkabau. Mereka berusaha mencari daerah untuk mencari penghidupa n yang lebih baik. Orang-orang dari Tapanuli Selatan datang ke Tarutung karena Tarutung juga tidak begitu jauh jaraknya dengan daerah asal mereka. Ditambah lagi mereka juga masih tergolong dalam satu etnis dengan masyarakat lokal yaitu etnis Batak.
Mayoritas alasan masuknya para pendatang ke Tarutung adalah karena faktor ekonomi, yaitu ingin memperoleh pendapatan yang lebih baik dari segi ekonomi. Selain itu faktor sosial atau prestise juga termasuk sebagai faktor pendorong, yaitu menginginkan perubahan tingkat sosial dalam masyarakat setelah melakukan perantauan di daerah lain. Yaitu untuk menambah pengalaman dan kepuasan dalam diri sendiri karena dapat hidup di luar daerah asal, dapat hidup di daerah orang lain dan kembali pulang ke daerah asal dengan membawa hasil.
(45)
Banyak pendapat mengemukakan tentang bagaimana masuknya Islam ke Nusantara, akan tetapi kemudian berkembang ke berbagai wilayah di Nusantara termasuk Sumatera. Di Sumatera salah satu tempat perkembangan Islam adalah wilayah Minangkabau. Adapun seorang Muballig pertama yang mengembangkan Islam di Minangkabau adalah Syekh Burhanuddin. Beliaulah yang menyiarkan Islam secara dakwah di Minangkabau.
Belakangan muncullah tiga orang haji yang baru pulang dari Mekkah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Sepulangnya dari Mekkah mereka membawa faham Wahabi yang didapat dari tanah suci Mekkah. Lambat laun faham inipun berkembang di Minangkabau. Hingga suatu saat lahirlah sebuah gerakan baru yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rentjeh, gerakan Paderi, yaitu gerakan yang bertujuan memurnikan ajaran Islam sekaligus menyebarkan Islam.
Di Minangkabau memang terjadi pertentangan antara kaum muda dan kaum tua, yaitu antara Tuanku Nan Rentjeh dengan gurunya Tuanku Kota Tua. Tuanku Nan Rentjeh menginginkan bahwa untuk menyebarkan dan meluruskan ajaran Islam adalah melalui jalan kekerasan dengan tindakan yang tegas. Sementara Tuanku Kota Tua sebagaimana layaknya seorang guru, lebih memilih jalan damai, tidak perlu dengan kekerasan tetapi dengan kelembutan dan kebijaksanaan. Sangat berbeda dengan kaum muda yang dipimpin oleh Tuanku Nan Rentjeh.31
31 Muhammad Radjab, Perang Paderi, Jakarta: Balai Pustaka, 1964, hal. 16 – 17.
(46)
33
walaupun ada silang pendapat antara kaum tua dan kaum muda, gerakan Paderi tetap saja terbentuk dan melancarkan misinya.
Gerakan Paderi yang dibentuk Tuanku Nan Rentjeh inipun lambat laun semakin besar, bahkan melakukan pergerakan ke wilayah Tanah Batak. Untuk wilayah Tanah Batak sendiri, Islam dibawakan tentara Paderi pertama kali masuk ke wilayah Tapanuli Selatan. Setelah itu baru mulai masuk ke wilayah Tapanuli Utara.
Sebelumnya sudah disinggung mengenai persentuhan Islam di wilayah Tapanuli Utara yakni di Silindung yang dipimpin oleh Djagorga Harahap. Di antara tentara Paderi ini ternyata juga ada terdapat orang Batak yang bermarga Hutagalung, yang kemudian menetap di Silindung dan tidak ikut pulang kembali ke Tanah Minangkabau bersama tentara Paderi yang gagal menyebarkan Islam di Tanah Batak pada saat itu (1818 – 1820). Ada beberapa faktor yang menyebabkan tentara Paderi mundur dari Tanah Batak, salah satu sebabnya adalah adanya wabah penyakit yang tersebar ketika itu. Pada saat itu agama Islam belum sempat berkembang dan tersebar di Tanah Batak oleh tentara Paderi. Namun demikian ada juga orang-orang Paderi yang tinggal menetap di Silindung dan tetap menjalankan Islam. Dari orang-orang yang menetap di Tarutung inilah kemudian Islam berkembang, walaupun tidak begitu pesat perkembangannya. Tetapi pada saat itu sudah muncul benih-benih Islam di Tarutung dan dalam perjalanannya kemudian muncul tokoh-tokoh ulama di sana yang mengembangkan Islam.
(47)
3.1 Masyarakat Islam di Tarutung
Masyarakat Islam atau umat Islam adalah himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam, menjalankan ritus-ritus keagamaan atau upacara-upacara ibadat seperti sholat, haji, dan berzakat.32
Pengaruh Islam yang ada di Tarutung dapat dikatakan berasal dari Sumatera Barat yang awalnya dibawa oleh tentara Paderi, hingga kemudian ada beberapa orang Batak yang di Tarutung yang memeluk Islam dan secara lambat laun mengajarkan Islam kepada orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Pada saat itu Islam terbilang tidak begitu pesat perkembangannya, dikarenakan memang minat untuk lebih memperluas ajaran Islam memang belum begitu besar. Di samping karena sedikitnya orang-orang Islam yang ada di Tarutung, ditambah lagi pada saat itu orang Batak masih memiliki kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dipegang erat oleh orang Batak. Namun demikian tetap saja Islam sudah ada di Tarutung sejak awal abad ke-19. Hal ini bisa dibuktikan dari adanya sebuah perkampungan Islam yaitu kampung Melayu yang disebut sebagai kampung bekas tentara Paderi yang tidak ikut kembali ke tanah Minangkabau. Di kampung Melayu inilah para tentara Paderi yang tertinggal menetap di Tarutung.
Masyarakat yang dalam kesehariannya berpegang pada ajaran yang terkandung dalam Al-Quran, masyarakat yang terikat dalam satu keyakinan yang dibawakan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Masyarakat inilah yang terbentuk di Tarutung, yang terdiri dari berbagai etnik yang berbeda dan berasal dari wilayah yang berbeda, tetapi terhimpun dalam satu kawasan dan membentuk suatu masyarakat Islam.
(48)
35
Kampung Melayu bukan berarti orang-orang yang ada di kampung ini adalah orang-orang dari etnis Melayu, melainkan adalah perkampungan yang terdiri dari orang-orang Batak yang beragama Islam. Disebut kampung Melayu karena pada saat itu setiap orang yang Islam disebut Melayu, yaitu sebutan yang diberikan kepada orang-orang Minangkabau karena semua orang Melayu adalah mereka yang menganut agama Islam. Kampung Melayu ini menurut ceritanya adalah kampung yang didirikan oleh seorang muslim yang bermarga Hutagalung. Masyarakat setempat menyebutnya Oppung Bindu Hutagalung. Ada beberapa orang yang dianggap sebagai ulama yang pertama kali menyuarakan syiar Islam di Tarutung, di antaranya adalah Oppung Bindu, dan ada juga seorang ulama bermarga Panggabean, yaitu Syekh Haji Syafii Panggabean. Namun yang lebih tampak kegiatan penyebaran Islamnya adalah Oppung Bindu, karena beliau juga mendirikan sebuah mesjid di daerah tempat tinggalnya di kampung Melayu.
Menurut keterangan keturunan beliau, Oppung Bindu juga pernah ikut tergabung dalam tentara Paderi yaitu pada saat berada di Bonjol. Oppung Bindu juga yang mendirikan mesjid pertama kali di Lembah Silindung, mesjid tersebut sampai sekarang masih berdiri dan sudah mengalami renovasi. Mesjid Al-Jihad, mesjid yang berada di kampung Melayu, mesjid yang didirikan oleh Oppung Bindu.
Mesjid Al-Jihad didirikan pada tahun 1514.33
33 Dalam sebuah surat kabar Metro Tapanuli yang terbit pada 27 Juli 2009, senyebutkan Mesjid Al-Jihad sudah ada sejak abad ke-16, yaitu tahun 1514. Mesjid ini dianggap sebagai mesjid yang pertama berdiri di Tapanuli Utara.
Sebuah angka tahun yang jauh sebelum masuknya tentara Paderi ke Silindung. Orang-orang Batak memang ada beberapa yang sudah masuk Islam sebelum tentara Paderi menyebarkan Islam di
(49)
Tarutung atau Silindung. Seorang yang bermarga Hutagalung diketahui telah memeluk Islam sejak tahun 1513 yaitu mazhab Syi’ah. Dia adalah seorang pedagang garam yang membawa garam dari pelabuhan Sibolga yang kemudian dijual di Tanah Batak.34
Hal tersebut membuktikan bahwa Islam sudah ada jauh sebelum agama Kristen masuk ke Tarutung, namun pada saat itu memang belum begitu banyak orang Batak yang beragama Islam. Oppung Bindu sendiri adalah orang Batak yang merantau ke luar tanah Batak untuk berdagang. Beliau juga sempat ke Sibolga, hingga kemudian ke wilayah Minangkabau, yaitu daerah Bonjol. Setelah dari Bonjol kemudian Oppung Bindu kembali ke Tarutung dan mendirikan mesjid.
Dari kampung Melayu inilah Oppung Bindu mulai mengajarkan Islam kepada penduduk di sekitar kampung. Kampung Melayu ini sekarang berada di luar kota Tarutung terletak tidak jauh dari sungai Situmandi yang ada di Tarutung. Memang tidak banyak yang menjadi pengikut Oppung Bindu, namun tetap saja Oppung Bindu telah berhasil mendirikan perkampungan orang-orang Islam dan juga mendirikan sebuah mesjid di kampung Melayu. Orang-orang Islam yang ada di kampung Melayu diberi hak untuk mengelola tanah milik Oppung Bindu, di mana tanah itu hanya untuk mereka yang memeluk Islam. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap setia memeluk Islam dan juga memiliki perkerjaan untuk menghidupi keluarga mereka dengan cara menggarap lahan.35
34 Mangaraja Onggang Parlindungan, Op.cit, hal. 75.
Orang-orang Batak yang Islam pada masa Oppung Bindu inilah yang kemudian melanjutkan kiprah Islam di Tarutung hingga kemudian
(50)
37
masuknya para pendatang Islam yang berasal dari luar Tarutung. Mengenai sejarah Oppung Bindu memang ada beberapa yang tidak begitu jelas, yaitu sejak kapan Oppung Bindu masuk Islam. Sebab ketika Oppung Bindu tergabung dalam tentara Paderi, beliau sudah memeluk agama Islam. Tetapi walaupun demikian, Oppung Bindu sudah menjadi orang yang menegakkan Islam di Tarutung.
Ada beberapa hal yang sangat disayangkan, karena ada beberapa orang yang beralih keyakinan dari Islam, yaitu mereka yang tadinya Islam kemudian memeluk agama lain yang dibawakan oleh Nommensen yaitu Kristen.36
Dari masa Oppung Bindu, Islam di Tarutung memang belum begitu kelihatan keberadaannya, hanya berupa sekumpulan orang-orang Islam yang rutin melakukan ibadah wajib yaitu sholat dan ceramah agama. Hal ini disebabkan memang jumlah orang Islam yang sedikit jumlahnya, tetapi dari sini sudah tampak Islam di Tarutung, yang kemudian ditambah lagi dengan adanya kaum pendatang.
Walaupun disayangkan, tetapi hal ini tidak berubah menjadi konflik, karena setiap orang berhak memilih keyakinannya. Hal ini juga menunjukkan keragaman yang ada di Tarutung dan rasa toleransi yang besar.
Secara lambat laun Islam mulai terbentuk di Tarutung, antara orang-orang Batak yang sudah Islam dan juga kaum pendatang dari berbagai etnis yang ada di Tarutung. Pada tahun 1962 sebuah perkumpulan Islam di Tarutung dibentuk, yaitu PKM (Persatuan Kaum Muslim), sebuah perkumpulan yang dimaksudkan untuk menghimpun seluruh umat Islam yang ada di Tarutung dan sekitarnya. Adapun PKM merupakan sebuah perkumpulan Islam yang terorganisir dengan baik, memiliki
(51)
struktur kepengurusan yang diatur sedemikian rupa, terdiri dari pengurus harian, koordinator wilayah, dewan imamah, badan pemeriksa keuangan, dan juga seksi-seksi. Pengurus hariannya terdiri dari:
a. 1 (satu) orang Ketua Umum
b. 4 (empat) orang Ketua (merangkap Ketua Bidang) c. 1 ( satu) orang Sekretaris Umum
d. 4 (empat) orang Sekretaris (merangkap Sekretaris Bidang) e. 1 (satu) orang Bendahara Umum
f. 1 (satu) orang Bendahara
Kepengurusannya diatur sedemikian rupa karena memang tugas PKM adalah mengelola dan bertanggung jawab akan keberlangsungan Islam di Tarutung, yaitu mulai dari pengelolaan pendidikan Islam dalam bentuk Yayasan Al-Falah, dan ada banyak lagi yang berada di bawah kewenangan PKM sebagai induk dari perkumpulan Islam di Tarutung yang anggota-anggotanya terdiri dari berbagai etnis.37
Perkumpulan ini dibentuk juga karena semakin banyaknya umat muslim yang ada di Tarutung. Mereka membentuk perkumpulan masing-masing yang terdiri dari perkumpulan etnis dalam bentuk sarekat tolong menolong. Maka diputuskanlah untuk menghimpun perkumpulan-perkumpulan etnis tersebut dalam satu wadah yaitu PKM (Persatuan Kaum Muslim).
Sejak dibentuknya PKM, masyarakat Islam yang ada di Tarutung mulai terorganisir dengan baik, di mana dalam perjalanan selanjutnya perkembangan Islam di Tarutung tidak terlepas dari peran PKM.
(52)
39
Di dalam PKM ini terdapat beberapa perkumpulan perwiridan di antaranya PPM (Persaudaraan Perantau Minangkabau) perkumpulan orang-orang Minangkabau, Bonapasogit (perkumpulan orang Batak Toba), Perwiridan orang-orang Tapanuli Selatan, dan Perwiridan Al Muhajirin Tunggal Wargo yang terdiri dari orang-orang Jawa. Semua perkumpulan ini digabung dalam satu wadah. Dengan demikian Islam mulai terbentuk di Tarutung, yang tadinya terpisah-pisah dalam bentuk perkumpulan etnis, kini menjadi satu perkumpulan masyarakat Islam yang terdiri dari berbagai etnis.
Secara tidak langsung dapat dikatakan Islam semakin berkembang dengan pesat di Tarutung sejak tahun 1960-an, di mana masyarakat Islam antara orang Batak sebagai etnis lokal bergabung dengan masyarakat pendatang. Namun demikian bisa dibilang Islam yang di Tarutung mayoritasnya adalah masyarakat pendatang, sebab masyarkat Batak sebagai etnis lokalnya banyak yang merantau.38
Mereka yang merantau disebabkan berbagai faktor di antaranya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Ada yang merantau karena meneruskan pendidikan, dan ada juga yang merantau untuk mengadu nasib di luar wilayah Batak atau tanah asalnya.
Masyarakat Batak yang Islam tidak banyak yang menetap di Tarutung, mereka banyak yang merantau. Bahkan ada juga yang beralih memeluk agama lain.
Merantau atau mangaranto dilakukan oleh orang-orang Batak berhubungan dengan nilai-nilai filosofi mereka, yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Setiap keluarga mendambakan banyak keturunan dan panjang umur, gabe, kekayaan
(53)
dan kesejahteraan mamora, wibawa sosial, sangap dan memiliki kemampuan berkuasa, sahala harajaon serta kemampuan untuk dihormati, sahala hasangapon.39
Dalam penerapan merantau sudah terjadi perkembangan, yang sebelumnya merantau untuk mendirikan perkampungan baru di luar kampung asal, menjadi mencari daerah baru yang dianggap lebih baik untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak ataupun dalam rangka memperoleh pendidikan yang lebih tinggi di daerah lain. Hal ini juga yang terjadi pada masyarakat Islam Batak yang ada di Tarutung, sehingga di Tarutung sendiri masyarakat Islamnya lebih banyak kaum pendatang. Nilai-niali filosofi ini tetap dipegang teguh oleh orang Batak baik yang beragama Islam atupun Kristen, bahkan bagi mereka yang masih memegang kepercayaan nenek moyang.
Dari kaum pendatang inilah Islam semakin berkembang pesat di Tarutung. Bahkan para pemuda atau generasi muda Islam yang ada di Tarutung juga dihimpun lagi dalam bentuk remaja mesjid. Hal ini dimulai pada tahun 1976 di mana dibentuk remaja mesjid yang bernama DAMERO. Pada awalnya perkumpulan remaja mesjid ini adalah untuk remaja laki-laki saja. Kemudian dalam perkembangannya semakin banyak remaja putri yang ikut tergabung di dalamnya, lalu namanyapun berubah menjadi RIDA (Remaja Islam Damero), perkumpulan remaja Islam untuk kota Tarutung. Tujuannya untuk menghimpun generasi muda atau remaja yang beragama Islam menjadi dalam satu wadah. Perkumpulan ini kemudian berganti nama menjadi
39 O.H.S Purba; Elvis Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), Medan: CV Monora, 1997, hal 21.
(54)
41
HIKMAT, sampai sekarang menjadi GM PKM (Generasi Muda Persatuan Kaum Muslim).
Dalam perjalanannya perkumpulan remaja mesjid ini tidak berjalan dengan baik, karena ketika para pengurus yang terdiri dari para pemuda/pemudi telah berumah tangga maka dipilih pengurus baru, dan ketika ada pengurus baru program-program kerja dari perkumpulan tidak jarang dirubah, demikian selanjutnya.40
Menurut data yang ada pada Badan Pusat Statistik Tapanuli Utara, mencatat bahwa pada tahun 1981 ada sebanyak 1.959 orang yang beragama Islam di Tarutung dari jumlah keseluruhan penduduk Tarutung adalah 46.315 jiwa. Memang jumlah yang sedikit (4,23%) tetapi hal ini cukup banyak untuk wilayah Tarutung yang memang disebut sebagai wilayah basis penyebaran agama Kristen di Tapanuli Utara. Jumlah tersebut mulai bertambah pada tahun 1995, yakni sebanyak 2.341 jiwa (4,77%) dari jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 48.978. Kemudian pada tahun 1996, jumlah masyarakat Islam di Tarutung mencapai 2.335 jiwa. Pada tahun 1996 juga sudah ada 5 buah mesjid yang berdiri di Tarutung. Jumlah masyarakat Islam di Tarutung memang tidak begitu pesat perkembangannya, tetapi tetap saja mulai menunjukkan peningkatan. Ada sekitar 500 kepala rumah tangga yang beragama Islam yang kemudian berada di bawah naungan PKM sebagai perkumpulan orang-orang Islam di Tarutung.
Hingga terkesan perkumpulan remaja Islam ini jalan di tempat. Namun demikian, ini sudah dapat membuktikan bahwa masyarakat Islam di Tarutung sudah berkembang dengan baik.
(55)
Selain itu PKM juga mengelola proses syiar Islam yang ada di Tarutung ataupun pendidikan Islam di Tarutung dalam bentuk yayasan. Hal ini akan dibahas selanjutnya pada bab berikutnya. Selain pendidikan dalam bentuk yayasan, banyak juga terdapat pengajian-pengajian Al-Quran yang dibuka oleh para ulama yang ada di Tarutung.
Oleh karena sudah semakin baiknya perkembangan Islam di Tarutung, dalam pengertian masyarakat Islam di Tarutung sudah dihimpun dalam satu wadah, sehingga juga terbentuk perkumpulan untuk generasi muda Islam, maka semakin banyak orang yang datang ke Tarutung. Namun pada tahun 1987 ketika terjadi gempa hebat di Tarutung, banyak dari kaum pendatang ini yang kembali ke tanah asalnya setelah adanya gempa. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah yang begitu berarti bagi perkembangan masyarakat Islam di Tarutung. Bukan hanya perkembangan Islam yang semakin baik saja yang terjadi, tetapi hubungan antara umat Islam dengan orang-orang non-Islam juga semakin baik. Bahkan ada juga terjadi perkawinan antara orang Islam dengan orang yang non-Islam, sehingga ada pula yang menjadi mualaf, yakni orang yang baru memeluk agama Islam yang sebelumnya bukan Islam. yang kebanyakan terjadi karena proses perkawinan.
Selain adanya orang-orang yang kemudian memilih memeluk agama Islam karena adanya perkawinan, ada juga orang Islam sendiri yang beralih memeluk agama atau keluar dari agama Islam. Hal ini banyak terjadi sekitar tahun 1970-an, di mana orang-orang Batak yang sudah Islam kemudian memeluk agama Kristen. Salah satu yang dianggap menjadi penyebab adalah karena eratnya hubungan antara Islam dan Kristen pada saat itu, ditambah lagi mereka masih dalam satu etnis yaitu Batak.
(56)
43
Selain itu faktor yang terpenting adalah kurangnya pemahaman tentang agama Islam itu sendiri. Pada saat itu memang sangat kurang pengetahuan akan Islam secara mendalam dalam artian menguatkan keimanan seseorang, yang mereka ketahui hanyalah menjalankan ibadah sholat sebagai suatu kewajiban tanpa dibarengi dengan pengetahuan tentang keimanan terhadap Islam yang mendalam. Keadaan ini menyebabkan keimanan mereka gampang goyah. Namun demikian hal ini juga tidak menjadi masalah ataupun konflik antara kedua agama yang ada di Tarutung karena adanya perpindahan agama tersebut. Islam tetap berhubungan baik dengan agama Kristen sebagai agama mayoritas di Tarutung.
Islam di Tarutung tergabung dalam satu kesatuan keyakinan yaitu ajaran Islam. Memang dalam Islam ada dikenal beberapa aliran ataupun mahzab-mahzab, akan tetapi hal ini tidak begitu tampak pada msyarakat Islam di Tarutung, walaupun di antara masyarakat Islam tersebut ada yang menganut mahzab-mahzab tersebut, tetapi tidak tampak pada kehidupan masyarakat Islam secara keseluruhan di Tarutung.
Perbedaan mahzab-mahzab ataupun aliran-aliran yang ada dalam Islam memang belum terdapat pada masyarakat Islam di Tarutung. Hal ini dikarenakan masyarakat Islam yang di Tarutung adalah masyarakat yang minoritas yang jumlahnya tidak begitu banyak. Usaha yang dilakukan adalah untuk mempersatukan Islam tanpa ada pembatas-pembatas yang lebih rinci dalam bentuk aliran-aliran dalam Islam.41
Selain aliran-aliran dalam Islam yang ada, di Indonesia juga dikenal dua kelompok Islam yang besar. Dua kelompok Islam tersebut adalah Nahdatul Ulama
(57)
(NU) dan Muhammadiyah. Di Tarutung memang terdapat kedua kelompok tersebut, tetapi tidak begitu terlihat pada masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang memang dari daerah asalnya sudah tergabung dalam kelompok tersebut dan tetap menjalankannya di Tarutung. Begitu juga dengan mahzab-mahzab yang ada, yaitu orang-orang yang sudah menganutnya dari daerah asal dan tetap menjalankannya di Tarutung, tetapi tidak merubah dan mempengaruhi kesatuan masyarakat Islam di sana.
Kehidupan masyarakat Islam di Tarutung berjalan dengan baik tanpa adanya konflik dalam tubuh Islam tersebut yang diakibatkan adanya perbedaan-perbedaan faham. Tokoh-tokoh Islam di Tarutung juga tidak begitu mempersoalkan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dan tidak ingin menciptakan jurang pemisah di antara umat Islam. Ketika di beberapa daerah di Indonesia banyak memperdebatkannya, bahkan sampai menimbulkan konflik akibat adanya aliran-aliran dalam Islam, masyarakat Islam di Tarutung justru malah lebih mempererat hubungan sesama Islam. Mereka tidak ingin memperdebatkan hal-hal yang justru akan memecah belah masyarakat Islam yang di Tarutung sebagai kaum minoritas.
3.2 Sikap Masyarakat Batak (non-Islam) Terhadap Keberadaan Masyarakat Islam
Sebelum adanya masyarakat Islam di Tarutung yang terbentuk dalam perkumpulan-perkumpulan etnik, orang-orang Batak di Tarutung sudah memeluk agama Kristen yang dibawakan oleh Nommensen. Agama Kristen sudah berkembang
(58)
45
pesat di Tarutung dan orang-orang Batak pun banyak mendirikan gereja-gereja di Tarutung untuk tempat beribadah.
Ketika Islam mulai muncul dalam bentuk Persatuan Kaum Muslim (PKM), memang pada awalnya masyarakat Batak non-Islam kurang begitu menerima, tetapi tidak sampai menimbulkan konflik. Mereka bersikap kurang menerima saja, sebuah hal yang wajar dalam suatu masyarakat apabila ada suatu hal yang berbeda yang berasal dari luar masuk ke wilayah mereka. Sikap kurang menerima Islam hanya terjadi di antara sebagian kecil masyarakat Batak, selebihnya mereka menerima dikarenakan pada awalnya yang memeluk Islam juga masyarakat Batak sendiri. Masyarakat yang terikat dalam satu nilai filosofi yang dipegang teguh oleh orang Batak tanpa membedakan agama yaitu Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu arti secara harfiahnya adalah tungku yang tiga batunya. Tungku sebagai alat memasak di mana periuk atau belanga diletakkan di atasnya untuk memasak. Orang Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambang struktur sosial mereka. Karenanya terdapat tiga golongan di dalam masyarakat Batak, yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha.
Hula-hula yaitu kelompok pemberi isteri, boru kelompok penerima isteri. Sedang dongan sabutuha atau sering disebut dongan tubu, yaitu kelompok yang satu asal
perut, satu nenek moyang, atau satu marga.42
42 Bungaran Antonius Simanjuntak, Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945, Jakarta: Yayasan Obor, 2006, hal 99 – 100.
Rasa penghormatan yang tinggi dalam struktur kekerabatan yang terkandung dalam Dalihan Na Tolu yang ditunjukkan orang Batak ketika berhadapan dengan orang Islam yang juga orang Batak sendiri.
(59)
Dari sini mulai tampak hubungan Dalihan Na Tolu dengan munculnya masyarakat Islam di Tarutung, walaupun tetap saja dalam perjalanannya, ada sikap kurang menerima.
Tampaknya masyarakat Batak yang sudah memeluk agama Kristen sudah terbuka pemikirannya ke arah yang lebih maju, sehingga mereka dapat menerima kaum pendatang dengan baik. Dalihan Na Tolu yang menjadi dasar filosofi orang Batak terdiri dari tiga nilai dasar, yaitu “manat mardongan tubu, elek marboru, somba marhula-hula”. Adalah sebuah konsep dasar hubungan kekerabatan yang dipegang teguh oleh orang Batak. Ketika Islam di Tarutung terbentuk dalam sebuah kelompok yaitu Persatuan Kaum Muslim (PKM), orang Batak di Tarutung sudah menerima Islam dengan baik. Sebab di antara umat Islam tersebut juga ada saudara mereka sendiri, baik saudara semarga ataupun saudara dari kerabat lain seperti yang ditunjukkan dalam Dalihan Na Tolu.
Sikap terbuka dan menerima oleh orang Batak ini ditunjukkan dengan eratnya hubungan antara umat Islam dan Kristen di Tarutung, khususnya dalam hubungan antara orang-orang lokal dengan para pendatang yang berbeda etnis. Yaitu tidak hanya sebatas kehidupa n sehari-hari saja orang Batak menerima masyarakat Islam atau dalam kehidupan bertetangga saja, tetapi dalam kelangsungan pemerintahan juga, sebab terdapat juga orang-orang Islam yang bekerja di instansi-insatansi pemerintahan di sana. Bahkan kapolres (Kepala Polisi Resort) untuk wilayah Tapanuli Utara yang berkedudukan di Tarutung pernah seorang Islam, bahkan sempat beberapa kali yang menjabat sebagai kapolres adalah orang yang beragama Islam dan yang bukan orang Batak. Hal itu memang bukan karena keislamannya dia diangkat
(60)
47
menjadi kapolres, tetapi karena penugasannya yang berada di wilayah Tapanuli Utara dan berkedudukan di Tarutung sebagai ibu kota kabupaten.
Sikap yang baik yang ditunjukkan oleh orang Batak yang bukan Islam terhadap orang Islam yang kebanyakan adalah kaum pendatang, tidak terlepas juga dari peran pemerintah setempat yang juga menerima keberadaan Islam dengan baik. Pemerintah daerah Tapanuli Utara yang berkedudukan di Tarutung secara tidak langsung telah mengajarkan dan menunjukkan sikap tentang keberagaman agama dan sikap saling menghormati antarsesama. Sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang di mana setiap warga Indonesia bebas memilih keyakinan ataupun agama yang dianutnya. Hal ini benar-benar tercermin dalam kehidupan masyarakat Tarutung, masyarakat yang hidup rukun dalam perbedaan.
Pemerintah juga memberikan sebidang tanah kepada masyarakat Islam yang ada di Tarutung, yang dijadikan sebagai tempat untuk mendirikan mesjid. Sebuah mesjid yang akhirnya diresmikan oleh Presiden Soeharto, yaitu mesjid yang diberi nama Mesjid Syuhada, atau sering juga disebut mesjid Pancasila.
Dengan demikian dalam kehidupan beragama di Tarutung menunjukkan kemajuan sangat besar, di mana seperti diketahui masyarakat Batak begitu kuat berpegang kepada adat termasuk agama Kristen yang dianutnya semenjak dahulu. Adat yang masih sangat kental misalnya tampak pada adat Dalihan Na Tolu yang tetap dipegang oleh orang-orang Batak terutama yang tinggal di Tanah Batak yang beragama Kristen, tetapi juga masih berlaku pada orang-orang Batak yang beragama Islam. Dengan demikian sesungguhnya tidak ada batas antara sub-sub etnis di
(61)
kalangan orang-orang Batak berdasarkan budaya, kecuali yang membedakan mereka adalah soal keyakinan atau agamanya.
Orang Batak sudah lama terikat oleh adat istiadatnya. Mereka memegang teguh akan kebiasaannya, akan tetapi hal itu juga tergantung kepada keadaan dan suasana, sebab adat itu adalah sebagai karet, boleh diukur, dan dijalin. Adat ada pula yang disesuaikan dengan zaman dan perjalanan sejarah. Ada yang diperhalus, ada pula yang ditambahi atau dikurangi berdasarkan persetujuan masyarakat bersangkutan. Di Tanah Batak, terutama di Tapanuli Selatan maupun di bagian utara penduduk tidaklah bercerai berai atau pernah pecah konflik di antara mereka disebabkan perbedaan agama. Kekeluargaan dan pergaulan berlangsung tetap, walaupun ada di antara sanak saudaranya Islam atau Kristen. Pertalian oleh adat mengikat orang-orang Batak tetap berkaum keluarga.43
(62)
49
BAB IV
KEHIDUPAN KOMUNITAS ISLAM DI TARUTUNG
1962 – 2000
4.1 Interaksi Masyarakat Islam dan Non-Islam
Pada bab-bab sebelumnya sudah ada dibahas mengenai persentuhan orang-orang Batak yang mayoritas beragama Kristen di Tarutung dengan masyarakat Islam di Tarutung, di mana masyarakat Batak non-Islam menerima keberadaan masyarakat Islam di sekitar mereka. Sikap masyarakat Batak yang non-Islam cukup baik karena mereka sudah berpikiran maju, sehingga mengakui tentang adanya perbedaan agama yang ada di Indonesia.
Hubungan antara orang Islam dan orang Batak yang bukan Islam berlangsung baik. Kedua kelompok yang berbeda agama ini dapat hidup dengan rukun dalam satu wilayah, bahkan banyak di antara kaum pendatang yang beragama Islam yang menyewa rumah atau tempat tinggal milik orang Batak yang bukan Islam. Orang-orang Batak ini menerima Orang-orang yang beragama Islam dengan baik, salah satu bentuk sikap tersebut tampak adalah dengan bersedia menyewakan tempat tinggal bagi mereka yang beragama Islam.
Di antara orang Islam yang merupakan pendatang ini, ada beberapa orang yang bisa dikatakan telah berhasil mencapai kehidupan yang lebih baik. Dalam artian sudah memiliki penghidupan yang lebih dari cukup dari sebelumnya. Mereka ini juga banyak yang membeli tanah di Tarutung dan mendirikan rumah. Orang Batak yang terkenal dengan adat istiadatnya yang cukup kental memang tidak sembarangan dalam menjual tanah, terlebih lagi kepada para pendatang. Tetapi dalam hal ini
(1)
(2)
L18
(3)
(4)
L20
(5)
(6)