informasi yang lumayan banyak, peneliti mengucapkan terima kasih kepada informan tante Lina, 35 tahun
Setelah mendapatkan informasi dari tante Lina, peneliti merangkum semua hal-hal yang ditanyakan dan melengkapi catatan-catatan kecil field note selama di
lapangan, agar mudah untuk dipahami dan dituangkan kedalam penulisan skripsi ini. Dalam mencari data-data yang dibutuhkan untuk penulisan skripsi ini, peneliti
tidak membuang-buang kesempatan dan waktu yang ada. Tanpa menunda-nunda, keesokan harinya peneliti segera mengunjungi rumah ibu Juliana Telaumbanua
dengan mengendarai sepeda motor lengkap dengan helm berwarna hitam dan jaket yang terbuat dari jeans berwarna biru serta sarung tangan yang berliriskan warna
hitam dan merah, yang memang pada saat itu cuaca sangat terik sekali dan sangat menyengat di kulit.
2. Ibu Telaumbanua sebagai Pembantu Rumah Tangga
Pada hari pertama berkunjung, karena ini merupakan kali pertama peneliti datang ketempat tersebut, peneliti terlihat bingung dan masih seperti orang-orang
yang meraba jka mengunjungi atau mendatangi suatu wilayah yang asing, tapi bukan seorang calon Antropolog namnya jika begitu saja dan dengan mudah menyerah
mencari satu alamat yang baru, tanpa merasa takut dan berkeyakinan untuk mendapatkan informan yaang hendak diteliti, peneliti melihat kesekeliling tapi tak
satu orangpun melintas dan melewati jalanan gang tersebut, tiba-tiba peneliti melihat
Universitas Sumatera Utara
satu rumah terbuka dan tidak tinggal diam peneliti melihat seorang ibu yang bisa dikatakan cukup muda dan mungkin umurnya tidak jauh dari umur peneliti sekarang,
ibu tersebut berdiri di dean pintu rumahnya sambil menggendong anak dengan menggunakan kain gendong panjang yang terbuat dari batik yang tergulung di
tubuhnya, dengan memarkirkan sepeda motor pas didepan rumah ibu muda tersebut, meletakkan helm dikaca spion kemudian berjalan menuju pintu rumah ibu muda itu.
Peneliti pun menghampiri ibu muda tersebut dan bertanya kepadanya, “Buk.. permisi, numpang nanya, ibu kenal sama ibu Juliana Telaumbanua?” Ibu itu sedikit heran,
karena tidak pernah mendengar nama itu dan mengatakan, “saya nggak pernah dengar nama itu dek, coba kamu tanya sama yang punya rumah yang berpagar hitam itu
sambil menunjuk ke arah rumah berpagar hitam yang berada tidak jauh dari rumahnya, hanya beda dua rumah dari rumah yang pesis berada di depan rumahnya,
dia orang lama di gang ini, kalo saya masih baru dek”. Karena terlihat bingung, saya pun segera mengucapkan terima kasih dan segera berlalu menuju rumah berpagar
hitam yang ditunjuk ibu muda tadi. Dengan meminta izin untuk memarkirkan kendaraan, kepada ibu muda itu,
penetilipu segera menuju kerumah yang ditunjuk ibu itu. Rumah yang peneliti tuju, pagarnya tertutup namun pintu samping dari rumah tersebut kelihatan terbuka dan
tanpa berpikir panjang dengan suara kuat layaknya memanggil siempunya rumah dengan sopan sambil membunyikan bel yang ada di samping pagar tersebut,
“Permisi, ada orang?”, tak lama kemudian muncul seorang ibu berambut ikal, berkaca
Universitas Sumatera Utara
mata, dengan postur tubuh sedang keluar dan bertanya, “ada apa dek? Cari siapa?”. Peneliti pun dengan sigap mengutarakan maksud dan tujuannya kerumah itu, “maaf
mengganggu bu, saya ingin bertanya apakah ibu kenal dengan ibu Juliana Telaumbanua?”, ibu itu sedikit berpikir dan mengatakan, “saya enggak tau nama itu
dek, Cuma ada orang yang nyewa rumah saya istrinya boru telaumbanua, julukannya mak wati, itu rumahnya dek, 3 rumah dari rumah saya ini, yang papan rumahnya ya,
disebelah yang ada becak itu dek ” sambil keluar pagar dan menunjuk. Sebelum peneliti mengucapkan terima kasih, ibu itu bertanya tujuan peneliti menanyakan
rumah ibu Telaumbanua tersebut dan peneliti pun menjelaskannya. Sambil mengucapkan terima kasih, peneliti pun berlalu menuju rumah ibu Telaumbanua
tersebut. Dengan perasaan senang dan semangat, peneliti kembali kerumah ibu muda
tadi sambil tersenyum dan permisi mengambil kendaraannya, ibu muda itu pun membalas senyuman sambil sedikit membunda tanda mengiyakan, peneliti pun
bergerak dan segera menuju rumah yang diinformasikan oleh ibu yang ada dirumah berpagar itu, sambil memarkirkan kendaraannya, peneliti pun segera turun dan
mengetuk pintu rumah ibu Telaumbanua yang tertutup, tak lama kemudian muncul seorang anak perempuan remaja dan bertanya,”cari siapa kak?” ada ibu Juliana
Telambanuanya dek? Sambil mengutarakan penjelaskan kepada remaja tersebut maksud dan tujuan peneliti datang kerumah itu. Tak lama kemudian, seorang ibu
berkulit sawo masak, dengan memakai kaos oblong, rambut diikat dan celana pendek
Universitas Sumatera Utara
selutut keluar dari kamar dan menghampiri si peneliti. Dengan sopan dan ramah peneliti kembali menjelaskan maksud dan tujuan datang ke rumah ibu Telaumbanua
tersebut. Tanpa basa-basi ibu itu langsung mempersilakan si peneliti untuk masuk kerumah dan duduk di kursi plastik berwarna hijau.
Peneliti mengulang kembali apa yang menjadi tujuan awal datang kerumah itu,”begini buk, saya dari mahasiswa Antropologi USU, sedang melakukan penelitian
untuk tugas akhir perkuliahan saya skripsi mengenai pengambilan keputusan individu keluar dari bisnis MLM multi level marketing di PT Sophie Paris atau yang
lebih dikenal dengan Sophie Martin, nah kemarin itu saya sudah mewawancarai seorang ibu bernama tante Lina Harefa, dari beliau saya mendapatkan informasi
tentang ibu bu, apa benar ibu pernah menjadi anggota Sophie Martin bu?” Dengan senang hati ibu ini bersedia untuk diwawancarai dan menceritakan tentang kegiatan
bisnis jaringan yang pernah digelutina. Dengan sedikit mengingat-ingat, beliau menjadi anggota bisnis ini sekitar tahun 2007 akhir. Berawal dari ketertarikan
melihat-lihat katalog yang dulunya punya tetangganya juga dan akhirnya menjadi anggota atau member dari Sophie Paris. Menjadi member dari Sophie ini pertama
sekali diantarkan oleh temannya yang bernama mama Karis ke BC atau bussines Centre, atas bantuan mama Karis ini kemudian beliau harus membayar uang
pendaftaran sebesar Rp.50.000, setelah itu beliau diberikan sebuah tas kain berwarna pink berlabelkan Sophie Martin, dimana pada saat itu Sophie belum berganti nama.
Didalam tas tersebut, ada sebuah buku pendaftaran dan buku panduan-panduan
Universitas Sumatera Utara
lainnya serta sebuah katalog. Buku pendaftaran tersebut berupa kertas yang bertuliskan biodata diri anggota Sophie dan ada kolom untuk menulis nama-nama
anggota jaringan kita. Kemudian beliau mengisi semua yang tertera di ketas itu, setelah itu, beliau akan diberikan kartu anggota Sophie dengan tulisan yang tertera
yaitu: nama anggota, nomor ID anggota, nama sponsor orang yang merekrut beliau, nomor ID sponsor, dan setelah itu ibu ini sudah resmi menjadi anggota Sophie Martin
atau Sophie Paris. Ibu Telaumbanua ini sangat menyukai fashion terutama dalam hal berpakaian.
Banyak pakaiannya diambil dari Sophie Paris. Mulai dari pakaian untuk dirinya sendiri, anaknya bahkan untuk suaminya pun ibu ini selalu memesan dari Sophie.
Selama berkecimpung di Sophie Paris pada beberapa bulan pertama ibu ini hanya mengkonsumsi produk Sophie Paris itu sendiri, tanpa memberikan dan
menawarkannya kepada kerabat maupun tetangganya karena tidak ingin terfokus ke bisnis ini, disamping itu beliau juga memiliki kerja tetap sebagai buruh cuci dan
menggosok di rumah orang. “Saya enggak terlalu fokus seratus persen dek ke bisnis ini, karena dulu
kerjaan saya banyak, cuci-gosok dirumah orang, jadi nggak punya waktulah dek buat nawar-nawarin.”
Ibu yang berumur 35 tahun itu bercerita tentang kegiatan yang paruh waktu harus bekerja cuci gosok di 5 rumah yang berbeda. Satu keluarga ada yang 3x 1
minggu, tiga keluarga ada yang setiap hari dan satu keluarga lagi da yang 2x
Universitas Sumatera Utara
seminggu. Kegiatan 3x seminggu itu cuci-gosok dengan upah Rp 300.000 sebulan, yang setiap hari Rp 350.000 dan yang 2x seminggu diberi upah Rp 250.000.
Ibu yang lahir di Gunung Sitoli, Nias ini berkeluarga sejak umur 22 tahun dan menikah dengan Bapak Zendrato Harefa serta memiliki 2 orang anak bernama Ayu
Lestari Harefa dan Samuel Harefa masing-masing duduk dikelas 3 SMP dan 5 SD. Kedua anaknya bersekolah di SMP Negeri 15 Medan dan di SD 060854 Medan.
Ibu yang lebih akrab disapa dengan panggilan “Mak Wati” ini terlihat ramah dalam menjawab pertanyaan dari peneliti. Bersuku Nias dan menikah dengan
sesukunya lantas tidak membuat beliau membedakan suku lain seperti peneliti yang bersuku Batak Toba. Wawancara sambil lalu, ibu ini juga bisa berbahasa batak toba
bahkan lebih lancar, konon ibu ini dulu pernah tinggal lama di daerah Sibolga bersama bapak angkatnya yang bermarga simbolon dan mayoritas tempat tinggalnya
di Sibolga itu adalah suku batak toba. “saya juga bisa dek bahasa batak toba, ise goarmu? Boru aha ho? Piga
halak hamu geleng ni umakmu? Didia jabum? Ise halletmu? Aha karejo natorasmu? Aha karejo halletmu?” ujar, Juli 40 tahun
Yang artinya, “siapa namamu? Borumarga apa kau? Berapa orang kalian anak mamak? Dimana rumahmu? Siapa pacaramu? Apa kerja orangtuamu? Apa kerja
pacarmu? “. Banyak lagi kata-kata ataupun percakapan dalam bahasa batak yang dengan lancar diucapkan ibu ini.
Universitas Sumatera Utara
Mak Wati, begitu para tetangga dan kerabat memanggilnya. Diberikan panggilan itu, karena dulu nama anaknya Wati, namun karena waktu kecil anak
perempuannya sering mengalami sakit yang kadang sembuh, dan terkadang kambuh lagi atas saran kerabatnya, nama itu diganti menjadi Ayu, alhasil anak perempuan itu
tidak pernah mengalami sakit lagi. Ibu Wati ini pun, semakin terlihat “welcome” kepada peneliti, itu terlihat jelas
dengan menyuruh anak perempuannya untuk menyuguhkan teh manis hangat kepada peneliti dan memberikan camilan berupa kerupuk yang ada di dalam toples
berukuran sedang, “Dicicipin dek, cuma itu yang ada dirumah ini”, sambil menawarkan kepada peneliti. “Aduh buk, jadi ngerepotin.”
Sambil menikmati minuman dan camilan yang disuguhkan, ibu ini pun melanjutkan untuk bercerita tentang pengalamannya saat bekerja di bisnis jaringan
yang pernah digelutinya. ” Aku sudah kurang lebih 3 tahun lah berkecimpung di Sophie Martin.
Awal mula gabung itu karena pertama kali main kerumah tetanggaku, nah waktu itu aku kerumahnya buat ngajakin dia keundangan untuk pergi
sama. Karena dia belum siap dek, ya aku tungguin di ruang televisi, kebetulan di lantai dekat televisi itu, ada buku terus aku liat-liat eh..
ternyata buku katalog Sophie dek. Sambil nungguin temanku itu, ya aku liat-liat saja dek katalognya. Menurut aku bagus-bagus dek barangnya,
tasnya, dompetnya, apa lagi pakaiannya. Haha.. Biasalah dek, kayak
Universitas Sumatera Utara
kamu enggak perempuan saja, semua perempuan pasti suka yang namanya bergaya kan??
Ibu ini lebih suka menyebut produk Sophie dengan sebutan Sophie Martin, daripada Sophie Paris, ini terlihat jelas dari jawaban dan cerita yang diterangkan oleh
beliau. Mendengarkan informasi dari bu Wati tersebut, peneliti mencatat dan merekamnya dengan menggunakan catatan kecil dan sebuah handphone sebagai alat
perekam. Ibu wati yang sudah tinggal di Medan selama 17 tahun ini pun mengatakan, tertarik bergabung di Sophie Martin karena suka dengan fashion terutama pakaian,.
“aku suka model-model pakaiannya, bagus dan harganya lumayan terjangkau. Pertama kali pas aku liat katalog itu, aku langsung mesan
sama kawanku itu, eh dia malah bilang untuk jadi anggota saja, karena aku bakalan untung banyak. Pertama berpikir juga, buat apa jadi anggota
karena enggak bakalan tiap hari juga untuk beli-beli. Tapi karena kawanku itu menerangkan seluk-beluk keuntungannya, ya tergiur juga dek
jadi anggota. kata, Juliani Telaumbanua, 35 tahun. Ibu yang kesehariannya sebagai buruh cuci-gosok ini pun terlihat sangat
menikmati pekerjaannya baik dirumah majikan maupun dirumahnya sendiri. Hal ini terlihat pada saat peneliti berkunjung kerumahnya, ternyata ibu ini sedang bersiap-
siap untuk menyetrika. “aku tadi mau nyetrikanya dek di kamar, cuma karena ku dengarnya tadi
kau datang, langsung keluar aku, aku kirain tadi sales-sales dek, agak takut aku sama sales sekarang ngakunya nawarin barang tapi yang lain-
lain kerjanya. Apalagi adekmu ini, masi kecil. Mana tau dia apa-apa,
Universitas Sumatera Utara
nanti ntah apa-apa dibilangin sales itu nurut-nurut aja dia, kan aku yang susah dek”.
Sambil berlalu meninggalkan peneliti, ibu Wati itu pun keluar bersamaan dengan anak perempuannya yang membawa alat setrikaan dan membawa 1 keranjang
penuh kain yang hendak di setrika, ke arah ruang televisi yang sekaligus ruang tamu tempat kami bertanya jawab.
“bisalah aku sekalian nyetrika ya dek, takut enggak keburu besok, udah kerja lagi dirumah orang, kalo enggak dikerjakan sekarang makin banyak
lagi. Maklumlah dek, satu kalinya seminggu aku nyerika dirumah sendiri, itupun yang ku utamakan baju-baju seragam sekolah adek-adekmu ininya,
sama baju yang bagus-baguslah kalo mau ke pesta. Kalau adekmu si Ayu ini, paling nyetrika pakaian rumah saja ku suru namun pakaian pergi-
pergi atau seragam sekolah aku yang nyetrika karena tidak rapi.” Peneliti pun mempersilahkan ibu itu untuk melanjutkan pekerjaannya, dan
meminta maaf karena telah mengganggu waktunya sedikit. Peneliti pun melanjutkan wawancara dengan topik yang di telah peneliti tentukan sebagai bahan penyelesaian
tugas akhirnya. “oh ya buk, ibu selama bergabung di Sophie ini, punya anggota bawahan tidak atau pernah mengajak orang lain untuk jadi anggotamember? “
dengan lancar ibu ini menjawab, “ada dek, adek iparku, dia sama kayak aku suka beli juga tapi dia tas dek”.
Ibu kelahiran 11 juli 1978 ini, bercerita bahwa beliau memiliki bawahan atau yang dalam bisnis jaringan ini biasa disebut dengan downline
15
15
Downline adalah orang yang direkrut untuk bergabung dan memasarkan produk.
. Beliau hanya
Universitas Sumatera Utara
memiliki 1 downline dan sampe sekarang ibu ini tidak tahu apakah adik iparnya itu masih aktif atau tidak, dikarenakan kehilangaan kontak sejak adiknya iparnya
bercerai dari adik kandungnya ibu Wati tersebut. Dalam kesehariannya, ibu Wati ini juga terlihat sebagai seorang ibu yang
sangat cekatan, itu terlihat dari 5 rumah yang dipegangnya untuk bekerja sebagai buruh cuci dan menggosok. “pernah kepikiran untuk aktif juga nawarin Sophie sama
orang-orang, cuma kerjaanku banyak sekali”. Bayangin dek lima rumah, tangan dan kakiku saja udah sampek pecah-pecah karena megang sabun cuci terus sambil
menunjukan telapak tangan dan kakinya”. Ibu Wati ini juga menjelaskan, hingga saat ini, posisinya di bisnis Sophie
Paris masih peringkat pertama president, walaupun sudah memiliki bawahan dan mendapat bonus yang tidak banyak, hanya sekitar 25 ribuan, itu untuk setiap
pendaftaran member baru, beda lagi jika downline atau bawahan kita belanja minimal 500 ribu dalam kurun waktu 1 bulan, maka beliau akan dapat bonus lagi.
“banyak bonus yg ditawarkan, cuma kalau kita juga enggak banyak nyari anggota buat dijadikan member, ya sama saja dek, kalau cuma ngandalin
harga pembelian produk saja, buat dijadikan penambah penghasilan tetap, bisnis ini kurang menjanjikan buat aku secara pribadi dek”.
Universitas Sumatera Utara
Ibu yang memiliki dua orang anak ini juga mengatakan, bahwa beliau bukan tipe orang yang cakap
16
“aku kurang pandai dek buat ngajak orang untuk bergabung disini, waktu adek iparku itu dulu bergabung, dia yang nawari diri langsung buat jadi
anggota, karena Sophie ini termasuk produk yang terkenal juga.” dalam berbicara, terutama dalam hal berkomunikasi
mengajak ataupun dalam istilah berbisnis jaringan ini merekrut orang untuk dijadikan anggota member. Sehingga beliau hanya menawarkan produk saja, dan tidak berniat
menambah anggota dibawahnya.
Sambil meneguk minuman yang telah disajikan, peneliti bertanya, “selain sama adek ipar ibu itu, apa ada lagi yang pernah ibu ajak menjadi member? Seperti
saudara yang lain, teman atau bahkan tetangga dan majikan ibu sendiri?” Menurut ibu Wati ini, beliau pernah menawarkan barang kepada ibu majikan dan teman-teman
ataupun kerabatnya, dan banyak dari mereka yang mengambil juga, hanya untuk ditawarin sebagai anggota kebanyakan dari mereka semua menolak, karena sudah ada
yang bergabung di bisnis jaringan lain seperti Thiensi, Oriflame, dan majikan ibu ini ada yang menjadi anggota Melia Sehat Sejahtera atau yang lebih dikenal dengan
nama Propolis. Pertama sekali menawarkan produk ini selain kepada kerabat dan tetangga,
beliau juga menawarkan kepada majikannya yang bekerja sebagai guru di SD Negeri 060854 yang bernama ibu Melisa, beliau tergerak menawarkan produk ini karena
16
Cakap berarti pandai berkata-kata ataupun mengajak orang lain untuk mengikuti kata-katanya.
Universitas Sumatera Utara
sebagai seorang pegawai baik guru ataupun yang lainnya, pasti harus memiliki barang-barang yang bagus sebagai penunjang penampilan dalam bekerja, akhirnya
beliau membawa katalog Sophie dan memberikan kesempatan kepada majikannya untuk melihat, hal ini mendapatkan respon yang positif dari majikannya, ibu guru itu
tertarik mengambil 2 tas seharga Rp 350.000 dan Rp 326.000. Biasanya untuk harga diatas tiga ratus ribu, ibu Wati ini memberikan cicilan 3
sampai 4 kali dalam waktu satu bulan, atau karena kebanyakan majikannya seorang pegawai yang memiliki penghasilan setiap awal bulan, dia memberikan penyicilan
paling lama satu setengah bulan, dengan biaya awal atau biasa disebut dengan DP sekitar seratus atau seratus lima puluh ribu lebih besar dari biaya cicilan untuk tahap
kedua maupun ketiga, dan sisanya di penyicilan selanjutnya. Ada juga dari majikannya yang membayar lunas, karena takut mengutang dan sering lupa, dengan
harga pengorderan barang seharga tiga ratus ribu lebih. “kalau yang seperti ini, aku senang, bonusnya ada buat aku dek, dan
terkadang aku bilang kalau belanja lunas lagi akan diberikan diskon dan kebanyakan majikanku lah dek yang dapat diskon, maklum pegawai jadi
pas gajian langsung minta katalog dan bayar.” Ibu ini memang kebanyakan menawarkan barang-barang produk Sophie
kepada para pegawai-pegawai baik itu pegawai negeri sipil maupun pegawai yang bekerja di perusahaan swasta. Tidak hanya itu, beliau juga menawarkan produk-
prosuk Sophie ini kepada mahasiswa atau pun mahasiswi yang sekaligus tetangganya,
Universitas Sumatera Utara
beliau juga menawarkannya kepada ibu-ibu rumah tangga yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.
“seperti yang aku bilang tadi dek, kebanyakan sih cuma melihat, ada yang tertarik, mesan dan nyicil, namun untuk menjadi anggotamember
belum ada yang tertarik, bahkan ada yang bilang susah nawarin kayak gini, karena musiman, maklumlah namanya juga manusia, pasti selalu
merasa tidak puas dan terkadang cepat bosan.” Ibu yang memiliki rumah tidak jauh dari kampus itu, memiliki kesempatan
lebih baik dengan menawarkn produk-produk Sophie ini kepada mahasiswa dan mahasiswi yang bermukim di daerah sekitar daerah rumahnya. Kebanyakan dari
pelanggannya itu terutama mahasiswi memesan baju, jilbab, sepatu dan alat-alat make-up. Mereka biasanya diberikan waktu cicilan 5x dalam waktu 2 bulan, karena
kebanyakan dari mereka adalah anak dari perantauan, dan ngekost tidak jauh dari rumah sewa yang ditempati oleh ibu Wati tersebut. Kalau untuk para mahasiswa yang
memesan, beliau juga memberikan cicilan yang sama dengan mahasiswi, namun untuk uang mukanya, lebih banyak dibandingkan para mahasiswi.
“ya tau sendirikan dek, laki-laki kan kadang ada nakal-nakalnya, susahlah kalo mau dimintain bayaran cicilan gitu, cuma aku udah tanda-
tanda orang dek, kalo dia ngambil aku enggak kasih lagi, perempuan juga ada gitu, bahkan sempat juga aku berantam karena dia pura-pura lupa
dan aku akhirnya adu mulut, tapi akhirnya ya bayar juga dek, mulai dari situ, sama anak-anak kuliahan atau yang masih pelajar, kalo mesan
barang dengan harga lumayan besar diatas tiga ratus ribu, aku minta
Universitas Sumatera Utara
uang muka atau panjar dua ratus atau seratus lima puluh ribu dek paling sedikit, kalo enggak gitu, ya aku yang bakalan rugi.”
Ibu yang suaminya bekerja sebagai penarik becak ini pun, memang merasakan betul sulitnya perekonomian sekarang, sehingga tahun kedua menjadi anggota Sophie
beliau selalu meluangkan waktu ditengah-tengah kesibukan bekerjanya untuk aktif dalam bisnis jaringan ini. Ekspresi yang dipancarkan oleh wajahnya terlihat sedih
ketika berbicara mengenai perekonomian. Beliau mengatakan bahwa suaminya bukan seorang yang ligat dalam mencari nafkah, terkadang suaminya hanya dirumah tidur
dan tidak pergi bekerja, sehingga mengakibatkan mereka selalu bertengkar. Hal inilah yang membuat ibu Wati bergiat mencari tambahan untuk
mencukupi biaya anak-anaknya dalam bersekolah, yaitu dengan cara menawarkan dan aktif dalam pertemuan yang dilakukan di BC Sophie Paris. Bahkan terkadang ibu
ini berniat menambah tempat kerja lagi untuk mecuci-gosok. “Kalau hanya mengandalkan suami dengan sifat dan kebiasaan seperti suami saya dek, ya mungkin
anak-anak ini tidak bakal lanjut sekolah lagi”, ujar ibu Wati. Dengan kondisi yang seperti itu, lantas tidak membuat ibu ini pantang
menyerah, disela-sela kesibukannya bekerja sebagai buruh cuci-gosok, selama 1 minggu, ibu ini juga menyempatkan waktu juga menawarkan barang-barang kepada
setiap orang yang dikenalnya, bahkan sampai pada saat selesai ibadah, gerejanya selalu mengadakan diskusi dan pertemuan yang memperbincangkan kesusahan dan
kesulitan selama satu minggu beraktivitas, ibu ini menceritakannya kepada
Universitas Sumatera Utara
pemimbing gerejanya mengenai keluh kesahnya, para teman-teman yang satu kelompok diskusinya merasa iba dan kasian mendengar curahan hatinya, sehingga
banyak dari satu kelompok diskusinya di gereja itu yang membantu perekonomiannya dengan memesan barang-barang yang mereka butuhkan melalui produk Sophie ini.
“Puji Tuhan lah dek, mereka mau membantu, aku enggak bisa pulak dikasih-kasih ala kadarnya ngemis dek, pantang kali sama ku gitu.
Makanya aku bersyukurlah mereka mau memesan orderan sama ku, enggak tanggung-tanggung dek, ada yang belanja sampai hampir satu
juta kemaren itu pemimbing gereja kami, dia mesan baju dan tas buat kado hadiah ulang tahun anak perempuannya. Bayarnya pun kontak dek,
ada juga yang ambil dompet, ikat pinggang, aksesoris, kaos, jam tangan, dll. Ya enggak semuanya sih dek bayar kontan, Cuma ya terima kasih
sekalila mereka sudah mau bantu.” Dari cerita ibu Wati ini, penulis mendapat banyak informasi penting, dan
bahkan sekaligus mendapat banyak pengalaman hidupnya seperti suka dukanya dalam menawarkan produk ditengah-tengah kesibukannya yang sangat banyak. Demi
kebutuhan keluarga dan anak-anak yang sangat disayanginya. Menurutnya, keuntungan yang didapatnya jauh dari kata lumayan, karena
30 dari hasil penjualannya adalah bagian dia. Pernah suatu kali omzet penjualannya mencapai empat juta dan mendapat keuntungan sekitar satu juta dua ratus ribu rupiah
untuk setiap pembelian lunas. Ini merupakan omzet yang benar-benar beliau rasakan enaknya berbisnis jaringan seperti ini. Belum lagi ditambah dengan setiap
Universitas Sumatera Utara
pengorderan yang dibayar cicil, walaupun hasilnya tidak terasa seperti pembayaran lunas, beliau tetap mensyukuri saja.
Tak terasa hari sudah mulai hampir gelap, dan pekerjaan ibu Wati pun sudah hampir habis, peneliti mengakhiri wawancara yang dilakukan pada hari itu, dan
meminta kesediaan ibu Wati ini untuk diwawancarai lagi untuk menyempurnakan skripsi dengan studi life history ini, dengan senang hati ibu ini mengiyakannya.
Dengan saling bertukar nomor handphone untuk menanayakan kesediaan waktu informan agar dapat diwawawncarai kembali, peneliti pun pamit dan mengucapkan
terima kasih atas kesempatan, waktu bahkan suguhan camilan dan the yang disajikan kepada si peneliti.
Sesampainya dirumah, untuk tidak menunda dan membuang waktu peneliti segera membaca kembali catatan penelitian yang dilakukan pada saat dilapangan dan
mengingat-ingat kembali setiap informasi yang disampaikan oleh ibu Wati tersebut, tidak hanya itu, rekamannya juga peneliti dengar kembali sebagai bahan penambah
dan pelengkap informasi manakala peneliti lupa dan ada yang terlewatkan. Peneliti merapikan kembali catatan lapangan tersebut dan mencatat ulang
semua informasi berserta pertanyaan yang peneliti lontarkan kepada informan. Serta peneliti juga menambahkan beberapa pertanyaan lain yang akan peneliti tanyakan
kepada informan itu. Setelah selesai merapikan catatan lapangan itu, peneliti sangat
Universitas Sumatera Utara
semangat untuk menanyakan kesediaan ibu Wati itu untuk diwawancarai lagi. Peneliti menanyakannya melalui handphone dengan pesan singkat dan tidak
menghilangkan rasa hormat kepada beliau mengenai ketersediaan waktunya. Menunggu hampir 15 menit beliau membalas pesan sinngkat dari peneliti dan
mengatakan bahwa beliau memiliki besok waktu sekitar pukul 16.00 WIB. Membaca pesan singkat itu peneliti merasa senang dan mengucapkan terima kasih banyak.
Keesokan harinya, dengan rasa yang bersemangat, peneliti mendatangi rumah ibu Wati tanpa bertanya kepada tetangga sekitar lingkungannya, dengan memakai
baju kaos oblong yang sopan berwana coklat, sepatu kets hitam, dan celana panjang jeans serta tas ransel berukuran kecil yang berisikan buku catatan , alat tulis, dan
handphone sebagai penunjang perlengkapan penelitian. Dibawah teriknya matahari, kelihatan dari kejauhan sekitar dua puluh meter,
peneliti melihat rumah beliau tertutup, tapi itu tidak menjadikan niat pene;iti luntur, malahan peneliti tetap bersemangat dan tetap melangkahkan kakinya menuju rumah
beliau, karena peneliti hanya memiliki tekad untuk segera menyelesaikan penelitian lapangan ini dan lagi pula, peneliti sudah menyesuaikan waktu dengan beliau untuk
diwawancarai. “Permisi…. Ada orang di dalam ??” Ibu Wati,,,, Permisi…
Universitas Sumatera Utara
Dengan nada sedikit kuat dan mengitip dari jendela kaca yang gordennya tersingkap itu, peneliti memanggil ibu Wati dan tidak menunggu lama ibu Wati itu
dating dan membukakan pintu, serta mempersilakan peneliti masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang tamunya tersebut.
“Sebentar ya dek, saya lagi masak, bisa menunggu sebentarkan? Tanggung masakan saya sudah mau selesai, tunggu ya. “
Dengan suara yang sopan dan tegas, beliau meminta izin untuk menyelesaikan kegiatannya memasak didapur. Setelah menunggu sekitar 20 menitan, beliau akhirnya
selesai dan menghampiri peneliti dengan membawa gelas berisikan minuman teh manis hangat dan memberikannya kepada peneliti. “lama ya dek? Ini minumannya,
maaf .. Cuma ini yang bisa saya berikan.” Dengan tidak enak hati karena merasa merepotkan, peneliti mengucapkan terima kasih atas sambutan dan ketersediaan
beliau menyambut peneliti. Beliau membuka percakapan dengan bercerita tentang kegiatannya sepulang
kerja dari rumah majikannya, setiap jam 4 sore beliau harus sudah dirumah untuk memasak dan menyiapkan menu makan malam dan sarapan untuk keesokan paginya.
Hampir setiap hari jika jam menunjukkan pukul 4 sore, itu merupakan jadwal beliau memasak untuk keluarga tercintanya.
“Biasanya aku masak sore dek, dan memang itu udah jadi kebiasaanku, masak sore untuk makan malam, dan untuk sarapan besok paginya, kalau
siang sih kadang aku pulang untuk masak-masak yang ringan buat adek-
Universitas Sumatera Utara
adekmu, kadang juga si Ayu yang masak kalau makanan siang, masak makanan ringan aja dek, ceplok telor, indomi, atau masak nasi goring
yang ala kadarnya,.”ujar, Ibu Juliana Telaumbanua, 35 tahun Ibu ini bekerja mulai dari pukul 07.30 Wib dirumah majikannya, baik itu yang
3x seminggu, 2x seminggu maupun setiap hari kerja. Dan setiap makan siang ibu ini menyempatkan untuk pulang untuk membenahi memberesi rumahnya karena
hampir setiap pagi rumahnya sudah kosong ditinggal oleh penghuninya, ada yang kesekolah dan ada yang bekerja, memasak makan siang buat keluarganya dan melihat
anaknya sudah pulang atau tidak. Terkadang juga ibu ini berjumpa dengan anak- anaknya jika mereka cepat pulang dari sekolah. Bila anak-anaknya cepat pulang, ibu
Wati ini selalu membawa anak perempuannya ketempat kerja untuk membantu bekerja. Tidak hanya itu, beliau juga berjumpa dengan suaminya yang pulang sehabis
bekerja narik becak, dan memang pak Harefa selalu pulang kerumah untuk makan siang.
Sehabis menyiapkan dan berbenah rumah, ibu ini melanjutkan kembali pekerjaan rutinitasnya yaitu bekerja sebagai buruh cuci-gosok dirumah para
majikannya, sampai pukul 4 sore baru beliau beraktivitas dirumahnya sendiri dengan dibantu anak-anaknya Ayu dan Samuel. Biasanya ibu ini menyuruh anak-anaknya
untuk membantunya membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mencuci kain dan mencuci piring, tidak menutup kemungkinan kepada anak laki-lakinya juga ibu ini
memperlakukan kedua anaknya sama, tidak ada membeda-bedakan tugas rumah.
Universitas Sumatera Utara
“antara anakku yang dua itu, enggak pernah aku bedakan dek, mau dia laki-laki ataupun perempuan, sama kerjanya dirumah, ada yang nyapu,
ngepel, cuci kain, cuci piring, masak nasi, masak teh, nyetrika,dll. Itu sudah aku biasakan dek dari kecil. Aduh kalo enggak kayak gitu aku buat,
bisa cepatlah aku mati dek, semua-semua aku yang kerjain, enggak sangguplah,”
Terkadang kalau beliau cepat menyelesaikan pekerjaan rumahnya, beliau datang menghadiri pertemuan yang biasa dilakukan di Bussines Centre Sophie yang
bertepatan di samping gereja beliau yaitu di jalan Sisimangaraja. Pertemuan itu dilakukan 3x seminggu bersama para anggota dari member Sophie, beliau
mengatakan yang dilakukan dalam pertemuan itu membicarakan mengenai hal-hal yang sulit dalam menjalankan bisnis ini, cara-cara menambah anggota bawahan atau
downline, dan produk-produk apa yang sangat diminati oleh para pelanggan, serta berdiskusi mengenai keluhan-keluhan dari setiap pelanggan.
Banyak ilmu yang didapat beliau dari setiap pertemuan di Bussiness Centre itu. Dan terkadang ibu Wati mengaplikasikannya kepada para langganannya dan ada
yang berhasil. Namun, untuk menambah anggotamember, ibu Wati ini memang bukanlah pakarnya. Itu terlihat sampai pada saat ibu ini sudah tidak aktif lagipun,
beliau hanya mempunyai satu orang downline saja dan tidak tahu bagaimana keaktifannya.
Pernah terpikir untuk menambah anggotamember dari keluarga sendiri pun lantas tidak membuang usaha ibu Wati ini berhasil, kebanyakan dari anggota
Universitas Sumatera Utara
keluarganya baik itu sesuku maupun tidak mengatakan bahwa bisnis-bisnis jaringan seperti ini awal mulanya kedok penipuan, indah awalnya dan tragis awalnya.
Mendengar hal seperti itu ibu ini hanya biasa saja menanggapinya, karena selama berusaha di bisnis ini, ibu Wati belum mengalami hal yang merugikan, baik itu
keluhan terhadap bonusnya maupun dari masyarakat ataupun pelanggan yang biasanya mengorder darinya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, ibu ini tetap meluangkan waktu disela-sela kesibukannya sebagai buruh cuci-gosok, untuk
menawarkan barang dari produk Sophie Paris kepada para pelanggannya. Namun semakin membuat para pelanggannya menjadi berkurang. Kebanyakan dari mereka
mengatakan harganya sudah kemahalanlah, modelnya kurang menarik lagilah, dan bahkan foto barang yang ada di katalog terkadang tidak sesuai dengan kenyataan
barang setelah ditangan pelanggan. Itu semua membuat omzet penjualan ibu Wati ini berkurang sangat drastis, bahkan ada dari pelanggan-pelanggannya itu yang
mengatakan produk Sophie udah ketinggalan jaman dan tidak bagus lagi, ada juga dari mereka yang membandingkannya dengan perusahaan bisnis jaringan baru yang
sama dengan Sophie, walaupun setiap perusahaan ada ciri khasnya masing-masing, ada juga yang mengatakan harga barang sama kualitas barang tidak sama, harga
melambung tinggi tetapi kualitas merosot jauh. “banyak keluhan dari pelangganku dek, mereka mengatakan semua
barang yang mereka ambil sekarang-sekarang ini, tidak sebagus, sekuat
Universitas Sumatera Utara
dan seawet ketika mereka memesan barang seperti dulu, lagi pula harganya sudah sangat mahal, jadi dicicil beberapa kalipun mereka tidak
sanggup untuk membayar, dan kualitasnya menurun dan ada juga barang yang bentuk dan ukurannya tidak sesuai dengan foto yang ada di katalog,
kalau pun ditukar pihak dari Sophienya sudah membuat perjanjian setiap barang yang dipesan tidak boleh dikembalikan dan ditukarkan oleh
barang lainnya menggantinya dengan bentuk yang lain. Memang rata- rata keluhan mereka hampir sama,”
Ini yang membuat ibu itu melaporkan kepada pihak Sophie Paris tentang keluhan dari para pelanggan, namun pihak dari Sophienya hanya mengatakan kata
maaf saja. Karena mendengar jawaban yang tidak memuaskan seperti itu, ibu Wati ini pun sempat jengkel dan pernah memarahi satu pegawai Sophie namun keluhan itu
hanya tinggal keluhan yang mungkin sampai sekarang tidak ada jawabannya. “dari kejadian yang udah lewat itu dek, aku pun jadi kesal sekali, mereka
mengatakan kepuasan pelanggan diutamakan, namun kejadian dan keluhan yang aku kasih mereka sama sekali tidak mereka tanggapi, hanya
mengeluarkan kata maaf saja. Enggak apa-apa kalau kesalahannya cuma satu kali, ini hampir semua dari orang-orang yang hadir dipertemuan itu
mengatakan hal yang sama. lontar, Ibu Wati, 35 tahun Sekarang ibu Wati ini, sama sekali tidak pernah mengikuti pertemuan-
pertemuan yang ada di Sophie Paris ataupun menawarkannya kepada para pelanggannya lagi. Hanya saja ada juga saudara yang terkadang masih mau ingin
melihat katalog, namun ibu ini tetap mengatakan, ”saya sudah tidak anggota Sophie lagi, katalognya pun saya sudah tidak punya.” Ibu Wati ini sekarang hanya terfokus
Universitas Sumatera Utara
kepada pekerjaannya sebagai buruh cuci-gosok dengan menambah 2 rumah tangga lagi sebagai majikannya dengan jatah waktu 2x seminggu.
Pengalaman dan cerita yang dipaparkan oleh ibu Wati ini menambah wawasan peneliti tentang hal-hal apa saja yang menjadi keluhan para anggota yang
pernah mengikuti bisnis multi level marketing seperti yang dilakukan oleh ibu Wati ini, bahkan awalnya yang sangat baik dan menjadikan bisnis ini sebagai penambah
pendapatan untuk keluarga malahan menjadi bisnis yang merugikan bagi dirinya sendiri dan sasaran kekesalan para pelanggannya yang dulu sangat baik dalam
memesan barang darinya. Peneliti mencatat setiap hal-hal ataupun perkataan yang diucapkan oleh ibu
Wati ini, bahkan karena terkadang ibu ini terlalu cepat menjelaskan, peneliti menggunakan recorder notes untuk merekan setiap pembicaraan yang terjalin
diantara peneliti dan informan. Tidak hanya itu, ibu ini juga menasehati peneliti untuk tidak bergabung dalam bisnis-bisnis seperti itu, mungkin ibu ini bukan menyesal
untuk bergabung tapi merasa kesal, karena jawaban yang kurang memuaskan dari pihak Sophienya sendiri.
Setelah merasa mendapatkan informasi penting dari Ibu Wati dan merasa cukup, maka peneliti pun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
ibu itu untuk waktu dan minuman serta keikhlasan ibu Wati menerima kedatangan peneliti. akhirnya dengan berjabat tangan sambil mencium tangannya layaknya
Universitas Sumatera Utara
seorang anak yang hendak pamit kepada orang tuanya, dengn tersenyum lebar, peneliti pamitan pulang dari rumah ibu Wati dan bergegas pulang menuju kerumah
peneliti.
Berdasarkan life history dari ibu Wati tersebut peneliti mendapatkan informasi yang sangat berguna sebagai bahan penambah bacaan tugas akhir yang
sedang peneliti selesaikan, semua informasi yang dicatat maupun yang di rekam, peneliti perbaiki dan didengarkan kembali sehingga dapat dibaca dan dirangkum
menjadi sebuah tulisan yang beraturan antara yang satu dengan yang lainnya. Setelah selesai merangkum kembali kata demi kata semua informasi yang didapat dilapangan,
peneliti pun menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang berupa paragraf-paragraf, dimana semuanya harus saling berkesinambungan antara paragraf yang satu dengan
paragraf yang lainnya. Hal itu akan memudahkan siapa saja yang membaca tulisan ini dan mengetahui informasi apa saja yang diterima oleh peneliti pada saat berada
dilapangan. Setelah merasa semuanya telah rampung dari informan, peneliti merasa belum
puas dengan informasi yang diberikan oleh para informannya, untuk itu peneliti berinisiatif untuk mencari dan mendapatkan satu orang lagi yang dapat dijadikan
informan yang sudah tidak aktif di bisnis jaringan yang menjadi kajian topik dari peneliti sendiri. Semakin sibuk dan semakin pusing untuk mencarinya bahkan hampir
Universitas Sumatera Utara
saja tidak ketemu, peneliti mengingat-ingat kembali siapa saja orang-orang yang pernah menawarkan barang kepada para peneliti sendiri terkait dengan bisnis jaringan
multi level marketing tersebut, namun peneliti juga tidak menemukannya. Peneliti juga berbicara dan sharing kepada mama kandung peneliti sendiri, mama juga
mengingat-ingat teman-temannya yang dulu pernah menjadi member anggota dari Sophie Paris tersebut, dan beliau menemukannya, yaitu tante Yetty merupakan
pegawai tata usaha di sekolah tempat mama peneliti sendiri mengajar, yaitu SD Negeri 060827 Medan. Dipanggil tante karena peneliti memang sudah dekat dengan
beliau, dan beliau juga sering datang kerumah peneliti terkait urusan-urusan kepegawaian. Tante Yetty adalah istri dari om Abdullah yang bekerja di KIM
Kawasan Industri Medan. Mereka belum memiliki anak walaupun pernikahannya sudah mencapai angka 5 lima tahun. Tante Yetty ini tinggal tidak jauh dari
tempatnya bekerja yaitu di jalan Karya Pembangunan. Tante Yetty ini sejauh pengetahuan peneliti, merupakan orang yang ramah, sopan , baik dan bukan tipe
orang yang fanatik. Itu terbukti pada saat tante ini datang kerumah peneliti, beliau tidak menolak untuk meminum minuman yang ada dirumah peneliti, walaupun
peneliti dan beliau berbeda agama. “Coba tanya tante Yetty dek, dulu mama pernah ditawari untuk ngambil
barang Sophie, udah lamalah kejadiannya, “ terang mama. Mendengar hal itu lantas dengan sigap peneliti mengirim pesan singkat untuk menanyakan kebenaran hal
tersebut. Peneliti mengirim pesan singkat tersebut sekitar jam 18.10 wib pada hari
Universitas Sumatera Utara
Selasa, mungkin karena memiliki tugas yang banyak tante ini lumayan lama membalasnya, yaitu sekitar jam 19.30 wib. Isi pesannya mengatakan
“sorry lama balas fany, tante tadi banyak urusan.hehehehe… wah member Sophie ya dek?? Dulu waktu nawarin ke mama fany bukan tante
yang jadi anggotanya dek, tapi kakaknya tante. Tante enggak pernah jadi membernya, cuma kadang beli aja kalau ada yang bagus, tapi kemaren
karena kakaknya tante sibuk, dan tante enggak sibuk, kakak tante itu minta tolong nawari produk Sophie ke teman-teman di tempat kerja tante
dek, “ Membaca isi pesan singkat itu, peneliti tertarik untuk menanyakan lebih
dalam lagi seputar bisnis jaringan ini, peneliti ingin bertanya kepada tante Yetty dan kakaknya tentang usaha yang pernah mereka geluti bersama, walaupun tante Yetty
bukan orang yang menjadi member dari bisnis jaringan PT Sophie Paris. Melalui pesan singkat juga peneliti memberitahu tujuan mengapa peneliti bertanya tentang
Sophie Paris kepada beliau, dan beliau bersedia untuk diwawancarai. Peneliti meminta kesediaan waktu tante Yetty tersebut untuk diwawancarai diluar jam kerja
beliau sebagai tata usaha di sekolah SD Negeri 060827 tersebut. Setelah mengatur jadwal dan menyepakatinya, peneliti pun mendatangi
sekolah yang lingkungannya diapit oleh 4 sekolah tersebut, yakni SD Negeri 060823 berada disebelah kiri apabila kita hendak memasuki halaman sekolah, SD Negeri
060855 berada di sebelah kanan, atau bisa dikatakan berhadap-hadapan dengan sekolah sd Negeri 060823, bila kita berjalan lurus kedalam tanpa membelok paling
Universitas Sumatera Utara
ujung adalah SD Negeri 060827 yang merupakan tempat mama peneliti mengajar dan tempat tante Yetty bekerja, dan yang terakhir SD Impres 060854.
3. Ibu Iriani Maksum sebagai Guru Sekolah Dasar