memperjelas hubungan antara kekuasaan Negara yang semakin meluas dengan taraf pembangunan ekonomi khususnya industrialisasi di Negara-negara
berkembang. Stabilitas menjadi suatu keharusan , di sinilah peranan militer dan birokrasi menjadi penting karena mampu menjawab persoalan yang ada.
1.5 Negara Birokratik Otoriter Korporatis
Negara Birokratik Otoriter Korporatis ini, menurut Mochtar Mas’oed, krisis-krisis yang diwarisi dari masa sebelumnya membuat para pendukung rezim
Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang semakin lama semakin otoriter dan represif. Krisis-krisis itu diantaranya inflasi yang merajalela, ketimpangan neraca
pembayaran, beratnya beban pembangunan, besarnya utang, timbulnya ketidakstabilan akibat mobilisasi massa secara intensif, dan percobaan kudeta
politik yang demokratis tidak akan dapat menciptakan kebijaksanaan yang secara ekonomis layak dan secara politis mereka terima.
Selain itu, faktor lain yang membuat otoritarian semakin kuat adalah sifat koalisi kekuasaan yang dominan dalam rezim Orde Baru dan cara pimpinan baru
memahami dan memberikan tanggapan terhadap berbagai tantangan dan kesempatan tertentu. Menurutnya, kepolitikan Orde Baru ini memiliki ciri-ciri
otoritarian birokratik dan koorporatisme Negara, tetapi tidak sepenuhnya sama. Ada enam hal yang menjadi cirinya :
1. Rezim Orde Baru dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga yang
bekerjasama dengan para teknokrat sipil
Universitas Sumatera Utara
2. Beberapa perusahaan besar yang mempunyai hubungan khusus dengan
Negara dan kapitalisme internasional mendominasi perekonomian Indonesia.
3. Pembuatan kebijakan dilakukan melalui pendekatan teknokratik-
birokratik. Namun demikian, tidak semua keputusan bersifat teknokratik, untuk kasus-kasus tertentu dipakai metode pendekatan persuasive.
4. Massa dimobilisasikan. Elite penguasa Orde Baru tampaknya tidak tertarik
untuk mengerahkan massa. Mereka bahkan bersedia menerima kenyataan bahwa rakyat mengakui rezimnya secara apatis. Cara yang dilakukan
adalah memobilisasikan dan menonaktifkan partai-partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan serta menciptakan jaringan organisasi
koorporatis. 5.
Tindakan-tindakan represif untuk mengendalikan oposisi. Pemerintah Orde Baru berulangkali menggunakan tindakan represif terhadap orang-
orang yang mengkritik beberapa kebijaksanaannya. Untuk keperluan ini, rezim Orde Baru dilengkapi dengan berbagai alat kekuasaan darurat dan
sarana-sarana hukum, seperti pembentukan jaringan intelijen dan keamanan yang meluas serta pemberlakuan UU Anti Subversi.
6. Kantor Kepresidenan yang otonom. Kantor Kepresidenan telah
berkembang menjadi suatu birokrasi yang berpengaruh kuat dan otonom. Secretariat Negara sebagai inti kantornya dalam praktiknya menjadi suatu
super birokrasi.
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme utama Negara Orde Baru dalam menanamkan kepatuhan masyarakat adalah bersifat kekerasan, dengan militer sebagai kekuatan utamanya.
Mulai dari intimidasi, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, penculikan hingga pembunuhan miterius meluasnya kekerasan terutama disebabkan oleh cara
pandang para elite dalam menegakkan stabilitas nasional secara berlebihan, dengan alibi suksesnya pembangunan
Seperti yang kita ketahui bersama, posisi Negara pada masa Orde Baru kelihatan sangat kuat power full. Dan sebagaimana yang telah kita ketahui
bersama, arus utama studi politik Indonesia pada era Orde Baru lebih didominasi oleh perspektif teori yang berpusat pada Negara state-centerd ketimbang
masyarakat society. Kajian penulisan ini mengacu kepada basis konstruksi teori masyarakat sipil civil society dalam hubungannya dengan Negara pada masa
Orde Baru. Wacana tentang konsep masyarakat sipil di Indonesia ini, banyak diperani oleh aksi-aksi Lembaga Masyarakat Sipil sebagai salah satu representasi
civil society. Dalam peranannya Lembaga Sosial Masyarakat LSM cukup menonjol dalam perubahan sosial di Indonesia. Hampir semua konsep masyarkat
sipil yang berkembang di Indonesia merupakan adopsi dari konstruksi konsep- konsep politik yang berkembang dibelahan dunia Barat. Wacana masyarakat sipil
yang ada di dunia Barat pada umumnya menggambarkan sebuah “tata sosial dan proses sosial” yang otonom yang terpisah dari kehidupan dan proses politik.
Seperti wacana yang dikemukakan oleh Adi Surya Culla dalam bukunya “Rekonstruksi Civil Society” mengenai masyarakat sipil dalam
Universitas Sumatera Utara
perkembangannya. Yang tidak saja berkisar tentang tata sosial dan proses sosial dalam sebuah Negara. Lebih lanjut dikatakan sebagai berikut :
Bahkan lebih jauh lagi, wacana masyarakat sipil ini telah dikembangkan menjadi “ideology” yang menempatkan Negara sebagai sebuah entitas yang harus
dijahui dan bahkan dimusuhi serta diminimalisasikan peranannya. Di Indonesia, wacana tentang masyarakat sipil gagal untuk memberikan perspektif yang utuh,
baik dari sisi histories terbentuknya masyarakat sipil, posisi ideologis dari aktor- aktor yang ada di dalam masyarakat sipil maupun dari sisi fungsi dan cara kerja
masyakrakat sipil. Mayoritas wacana masyarkat sipil justru menempatkan kelompok-kelompok yang hidup dalam hubungan-hubungan sosial di luar
hubungan produksi dan hubungan koersif tersebut sebagai satu kesatuan dan berperan sebagai kelompok pengimbang kekuatan Negara.
Dalam bahasa intelektual, peran, posisi, dan fungsi dari organisasi- organisasi yang hidup dalam “hubungan sosial spesifik” dapat digambarkan
sebagai berikut : Keterpanaan serta kerinduan akan kehadiran gerakan Ratu Adil kian
cenderung menguat bersamaan dengan kuatnya tekanan realitas saat ini, yakni keberadaan Negara yang sangat dominant serta bercokolnya rezim-rezim yang
mewarisi despotisme dan ruang publik bebas mengalami proses penyempitan dimana-mana, dan kalaupun masih ada, selalu berada dalam baying-bayang
pengawasan Negara melalui aparat keamanan. Pada saat itulah, dalam bayang- bayang pengawasan Negara melalui aparat keamanan, pentingnya melakukan
recovery khasanah cultural yang dimiliki bangsa kita yang dapat mendukung pemberdayaan modern. Singkatnya, bagaimana local knowledge and practices
dapat dibangkitkan kembali untuk menyerang balik pengawasan Negara melalui aparat keamanan sebagai perlawanan sosial, sebagai counter hegemony dan
counter discourse terhadap monopoli Negara.
56
Pada periode Negara otoriter Orde Baru, para aktor masyarakat sipil Indonesia mengonstruksikan civil society vis a vis Negara. Akan tetapi, pada saat
rezim otoriter tersebut ambruk, wacana masyarakat sipil yang berkembang dan dikembangkan adalah bahwa masyarakat sipil merupakan mitra dan stakeholder
56
Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society dalam Islam Indonesia Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hal.219.
Universitas Sumatera Utara
dalam mengelola Negara. Seperti yang dikemukakan Gramsci berikut ini, tentang wacana masyarakat sipil :
Masyarakat sipil adalah wilayah di mana pemilik modal, pekerja dan kelompok lain terlibat dalam perjuangan politik dan tempat dimana pertai politik,
serikat-serikat dagang, lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai organisasi lainnya muncul. Ia bukan hanya wilayah perjuangan kelas, ia juga wilayah semua
perjuangan demokrasi kerakyatan yang timbul dari berbagai cara di mana masyarakat itu dikelompokkan oleh jenis kelamin, suku, generasi, lingkungan
setempat,wilayah, bangsa, dan sebagainya. Jadi dalam masysrakat sipillah persaingan antar hegemoni dengan dua kelas utama itu berlangsung. Dalam
masyarakat sipillah hegemoni kelas dominant itu dibangun melalui mekanisme perjuangan politik dan iedologis.
Tampilnya Negara kuat Orde Baru diawali oleh meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965 yang menewaskan enam perwira tinggi dan satu
perwira utama Angkatan Darat AD. Setelah menerima Supersemar Surat Perintah Sebelas Maret dari Soekarno, Soeharto berniat membubarkan PKI.
Pembubaran ini menuntut pembataian massal yang dilancarkan oleh militer AD bersama kelompok masyarakat yang anti komunis terhadap orang-orang yang
diduga menjadi anggota atau simpatisan PKI. Tampilnya Orde Baru menandai surutnya dua kekuatan politik utama dalam demokrasi terpimpin, yaitu Soekarno
dan PKI, serta mengawali munculnya militer sebagai kekuatan politik dominant diatas pangung politik nasional.Diawal kariernya, penguasa Orde Baru menyusun
pelbagai langkah restrukturisasi politik secara sistematis dan komprehensif. Tujuannya adalah untuk mengkonsolidasi sendi-sendi kekuasaannya serta
menciptakan stabilitas politik yang mantap dan terkendali guna menjamin roda pembangunan. Pembangunan ekonomi dalam hal ini tidak akan berjalan tanpa
stabilitas politik. Hubungan Negara- Masyarakat sipil sendiri di masa Orde Baru,
Universitas Sumatera Utara
yaitu paruh kedua 1960-an, relasi Negara-masyarkat sempat mengalami masa yang baik. Mayoritas masyarakat baru saja bersama militer, yang lalu mengambil
alih kekuasaan Negara, menghancurkan PKI. Setelah Soekarno tersingkir, kekuatan beralih kemiliter dan Indonesia memasuki masa transisi menuju rezim
Orde Baru. Negara masih lemah dan harus melakukan konsolidasi, sedang posisi rakyat sangat kuat dan menikmati euphoria kemenangan dan kebebasan. Tatkala
Negara berhasil menggalang kekuatannya, keadaan berbalik arah, Negara menjadi kuat dan masyarakat menjadi lemah. Sepanjang Orde Baru berkuasa, posisi
hubungan itu terus bertahan, dan terus menerus membuahkan ketegangan antara Negara-masyarakat. Tapi, posisi Negara tetap superior. Posisi tawar masyarakat
yang lemah membuat Negara sangat leluasa menancapkan dominasi dan hegemoninya. Relasi Negara-masyarakat pada era Orde Baru adalah bentuk
hubungan yang tidak sejajar, di mana dominasi Negara adalah cirri utamanya. Negara Orba adalah gigantisme politik yang perkasa didepan sosok masyarakat
yang lemah, bisu dan tanpa daya.
Hubungan Negara-Masyarakat Pada Era Orde Baru di Indonesia.
Periode 1965-1974
1974-1984 1984-1990
1990- Mei1998 Masyarakat
Partisipasi Masyarakat
tinggi pada awalnya, tetapi
berkurang setelah pemilu 1971
Partisipasi masyarakat
dalam politik dan pembuatan
keputusan dikurangi oleh
Negara. Terjadi
pengucilan oleh rezim; sedikit
partisipasi masyarakat
dalam politik Partisipasi
masyarakat pernah sedikit
terbuka, namun tetap di bawah
control ketat Negara;
resistensi masyarakat
meningkat.
Negara Pemerintah
Negara kuat, Negara kuat,
Negara
Universitas Sumatera Utara
lemah pada awalnya, tetapi
menjadi kuat karena
pertumbuhan ekonomi
meningkatkan pendapatan dan
mengontrol sumber daya
karena hasil minyak
melimpah, otonomi Negara
meningkat. otonomi Negara
tetap tinggi meskipun
pendapatan minyak
berkurang. mengalami
konflik internal, namun masih
kuat dan tetap mengontrol
Negara masyarakat.
Negara mengalami
delegitimasi oleh masyarakat.
Sumber : Munafrizal Manan, “Gerakan Rakyat Melawan Elite”, dalam Jamie Mackie dan Andrew Macintyre, “Politics”, dalam Hal Hill ed, “Indonesia’s New Order, The
dynamics of socio-economic Transformation Australia: Allen Unwin, 1994, hal.5.
Pada saat itu peran Soeharto dan militer sangat besar. Kecuali sebagian terbatas pada kelompok pengusaha, segenap lapisan masyarakat ada dalam kontrol
Negara.
57
Negara Orde Baru NOB mengawasi masyarakat secara ekstensif dan mencampuri segala macam urusan disegala bidang kehidupan.
Kekuatan paling efektif yang tersisa hanyalah kalangan bisnis, kelompok kecil berideologi tengah-kanan. Mereka ini diperhitungkan oleh Negara
secara ekonomi dan politik, tapi mereka tidak menentang struktur yang ada. Sebagian orang-orang ini hanya menginginkan pembangunan yang lebih besar
saja.
58
57
Anders Uhlin, Oposisi Berserak : Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998, hal.45.
Negara mengatur semua perilaku dan tindakan warga, termasuk mana yang boleh dipikirkan dan
mana yang tidak. Lebih dari itu juga NOB memonopoli proses pembuatan kebijakan yang menyangkut hidup mereka sendiri, partisipasi mereka
disingkirkan. Mereka yang coba-coba mempengaruhi proses pembuatan kebijakan Negara lewat cara-cara non-konvensional tidak sah dan inkonstitusional.
Universitas Sumatera Utara
Kebebasan berpendapat sebisa mungkin ditiadakan, dan lembaga oposisi diharamkan.
Selain itu juga, Negara Orde Baru membentuk organisasi-organisasi koorporatis yang terawasi penuh. Organisasi koorporatis menurut Mochtar
Mas’oed adalah : Suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya
diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkankeanggotaan, tidak saling bersaing, diatur secara hierarkis dan
dibedakan secara fungsional; dan diakui atau diberi izin jika tidak diciptakan oleh Negara dan hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam bidang
masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian- pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan dalam artikulasi
tuntutan dan dukungan mereka, dengan tujuan menindas konflik kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan, kesetiakawanan dan
kerjasama dalam hubungan antara Negara-masyarakat.
59
Lagi menurut Mochtar Mas’eod, tujuan pokok koorporatisasi ini adalah mengendalikan perwakilan kepentingan kelompok sedemikian rupa guna
mencegah konflik sosial atau ancaman atau pemerintah.
60
58
Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hal.73.
59
Mochar Mas’oed, Ekonomi danStruktur Politik: Orde Baru 1966-1971, Op.cit, hal.13.
Jadi koorporatisasi ini sulit untuk bersikap kritis terhadap Negara Orde Baru. Kehidupan masyarakat
Orde Baru sangat tertutup. Sebisa mungkin masyarakat dijauhkan dari aktivitas politik. Cukup mengikuti pemilu, yang sudah direkayasa sedemikian rupa dan
menutup kontestasi politik sebenarnya seperti seharusnya berlaku pada Negara demokratis. Namun kondisi seperti ini justru mendorong pertumbuhan LSM yang
luar biasa. Banyak aktivis pembaharuan yang memanfaatkan LSM untuk membina basis kelembagaan bagi perjuangannya..
Universitas Sumatera Utara
Pada periode ini, sempat ada keterbukaan politik yang mengurangi kepengapan politik masyarakat. Kekuatan prodemokrasi dan intelektual yang
kembali muncul setelah hampir satu decade tidak aktif adalah mahasiswa. Pada tahun 1998, kampus-kampus mulai menggeliat kembali. Jumlah aktivis
mahasiswa kala itu masih sedikit, namun mereka berani menyerukan suksesi kepemimpinan nasional dan mengadili para koruptor. Mereka adalah generasi
baru yang sejak lahir tidak mengenal Presiden lain kecuali Soharto. Sepanjang 1989, skala dan frekuensi protes mahasiswa terus meningkat, dan penangkapan
mahasiswapun mulai terjadi. Angin “keterbukaan politik” itu masih berhembus sampai awal 1990-an.
Soeharto secara implicit membuka ruang politik ini sedikit lebih longgar. Sebahagian pihak optimis atas perkembangan ini dan menilainya sebagai “era
keterbukaan politik” Indonesia. Isu-isu sensitive mulai dibicarakan publik secara luas dan terbuka. Namun demikian, kondisi seperti ini bukanlah tanda-tanda
dimulainya proses demokratisasi, sebab masih dalam batas toleransi rezim yang kokoh. Kemudian konflik elite mulai muncul. Konflik elite yang dimaksud adalah
konflik antara Soeharto dengan militer, yang telah menjadi lebih kritis. Sementara itu Negara semakin gencar menekan kelompok-kelompok kritis, kekuatan
kelompok-kelompok elemen prodemokrasi belum mampu mengimbangi kekuatan Negara. Tapi tidak diragukan lagi, bahwa basis-basis masyarakat prodemokrasi
mengalami penguatan signifikan disbanding tahun-tahun sebelumnya.
60
Mochtar Mas’oed, Ibid, hal.166.
Universitas Sumatera Utara
Secara berlahan-lahan pilar-pilar politik Negara kuat Orde baru mulai melemah dan membusuk. Dan pada akhirnya kita dapat melihat dan menyaksikan
dengan jelas, rakyat akhirnya bisa menunjukkan kemampuannya mendobrak pintu otoritarianisme Orde Baru yang telah mencengkam bangsa ini selama lebih dari
tiga dekade.
2. HUBUNGAN PUSAT – DAERAH MENURUT UU No. 22 TAHUN 1999 DAN UU No. 25 TAHUN 1999