BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Masa pemerintahan Soeharto telah berlalu beberapa tahun yang lalu. Dan telah digantikan dengan pemerintahan yang mengusung agenda reformasi yang
selama ini banyak di sebut-sebut oleh banyak orang. Secara khusus para akedemisi dan para aktor politik yang berada di Negara Indonesia ini. “Perjuangan
baru dimulai” demikianlah Indonesia berusaha membangkitkan semangatnya untuk kembali membangun negeri ini yang sempat terpuruk oleh pemerintahan
yang berdiri selama lebih dari tiga puluh tahun di bawah kepemimpinan Soeharto. Berangkat dari perubahan rezim di Indonesia, maka penulisan skripsi ini di
fokuskan pada kajian penelitian pada studi tentang hubungan state- society dan hubungan pusat- daerah pasca Soeharto. Dimana pada tahun 1998, rezim
kepemimpinan Soeharto mengalami kejatuhannya. Dan hubungan state-society maupun hubungan pusat-daerah telah banyak mengalami perubahan-perubahan
yang dinilai positip. Pergeseran pola kekuasaan rezimentasi pasca Soeharto dapat kita lihat
dalam berbagai hal. Salah satu yang dapat kita lihat adalah beberapa perubahan penting dalam proses demokratisasi di Indonesia dalam kurun waktu beberapa
tahun terakhir setelah runtuhnya rezim Soeharto. Pergeseran pola kekuasaan rezimitasi merupakan suatu bukti bahwa transisi menuju demokrasi merupakan
salah satu bagian dari sebuah proyek politik besar menuju Demokrasi Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan rezim ini menggambarkan proses kejatuhan Soeharto dalam kerangka demokratisasi yang melibatkan tarik menarik kekuatan di antara para elit yang
menentukan sifat dari perubahan politik tersebut. Pergeseran pola kekuasaan melibatkan aktor-aktor politik yang memiliki kemampuan menciptakan aksi-aksi
yang inovatif dan bermanfaat bagi masa depan demokrasi. Dalam kata-kata O’Donnell dan Schmitter, karakteristik utama perubahan menuju demokrasi
adalah keputusan dan talenta politik individual.
1
Penulisan skripsi ini tentunya memiliki beberapa alasan dalam mengangkat tema yang sudah disebutkan di atas sebelumnya. Untuk itu penulis
akan mencoba memaparkan deskripsi tentang pentingnya tema tersebut untuk dibahas.Rezim otoriter yang dibangun pada masa orde baru di Negara Indonesia
pada saat itu memusatkan perhatiannya pada kekuasaan Negara state-centric. Namun setelah pemerintahan itu berakhir, maka orde reformasi mulai melakukan
pergeseran yang tidak hanya berkonsentrasi pada kekuasaan Negara, tapi juga pada peran masyarkat sipil atau civil society. Betapa sulitnya kita untuk
membayangkan suatu Negara yang tanpa masyarakat sipil, dan demikian juga sebaliknya. Negara dan masyarakat sipil adalah dua hal yang tidak dapat
Menurut pendekatan ini, posisi strategis aktor-aktor politik tergantung pada letak dan keberadaan mereka dalam
keseluruhan proses perubahan. Aktor politik yang berbasis kelas dalam hal ini tidak begitu penting kategorisasi elite berkuasa-pemimpin oposisi, faksi garis
keras-garis lunak dan kelompok moderat-radikal. Pendekatan ini bersifat state- centric karena memberikan perhatian yang besar pada kekuasaan rezim otoriter.
1
Erick hiariej, Politik Transisi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Fisipol UGM, 2004, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
dipisahkan. Keduanya memiliki hubungan yang saling berdekatan dan saling melengkapi. Perlu di ingat pula, civil society merupakan salah satu syarat bagi
terbentuknya kehidupan politik modern yang mencerminkan berfungsinya sistem Negara yang demokratis. Untuk itu, Negara harus dapat membuka dirinya kepada
masyarakat. Bukan saja hanya untuk mempertahankan legitimasinya, tetapi juga melibatkan masyarakat dalam berbagai macam kebijakan yang sesuai dengan
harapan dan kebutuhan masyarakat. Pentingnya penelitian mengenai hubungan Negara-masyarakat pada era transisi di Indonesia dapat kita lihat dalam gambar
berikut :
2
Gambar 1: Kerangka Analisis Hubungan Negara-Masyarakat Pada Era Transisi
Hubungan
Dengan analisis state-civil society pada masa orde baru dapat disimpulkan bahwa civil society masih sangat lemah. Atau bisa dikatakan belum tercipta.
2
Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, Yogyakarta: Resist Book, 2005, hal. 6.
Demokrasi Yang Terkonsolidasi
Negara Masyarakat
Transisi Menuju Demokrasi
Universitas Sumatera Utara
Negara dalam masa orde baru muncul sebagai kekuatan utama yang dominan dalam pengelolaan sosial, ekonomi, dan politik. Negara melakukan penetrasi yang
dalam terhadap semua sektor kehidupan masyarakat dengan metode hubungan patront – client, institusionalisasi sosial poltik, koorperantisme negara, dan
hegemoni ideologi. Secara teoritis, negara orde baru adalah negara organis dengan sifat pluralis dalam state. Menurut Langenberg, orde baru adalah negara sekaligus
sistem negara. Negara menunjuk kepada aspek kelembagaan, sedangkan sistem negara kepada sistem jaringan eksekutif, militer, parlemen, dan birokrasi.
3
Kemunculan rezim otoriter merupakan fenomena yang luas terjadi di sekitar tahun 1960an, baik itu di Amerika Latin Brazil ditahun 1964, Argentina
ditahun 1966, Chile dan Uruguay di tahun 1973 dan di Asia Tenggara Thailand di tahun 1957, Indonesia ditahun 1965, Malaysia ditahun 1969 dan Philipina
ditahun 1972. Cukup menarik perhatian untuk dicatat bahwa setelah merebut kekuasaan, langkah-langkah baru pembangunan bergaya kapitalis gencar
dilakukan oleh hampir semua rezim otoriter di atas. Semua Negara tersebut memakai cara-cara kekerasan untuk mengakhiri ketidakstabilan politik.
Untuk menguatkan kontrol negara terhadap masyarakat, digunakan beberapa ideologi : 1 Pancasila sebagai salah satu negara, 2 dwifungsi ABRI
dimana ABRI mewakili negara, 3 Konsep Bhinneka Tunggal Ika dan wawasan nusantara, 4 Konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang
sejajar dengan ideologi negara.
4
Menurut O’Donnell, rezim Otoritarianisme birokratik muncul dengan memiliki sifat-sifat sebagai berikut
5
1. Pemerintah dipegang oleh militer, tidak sebagai dictator pribadi, melainkan
sebagai suatu lembaga, berkolaborasi dengan teknokrat sipil :
2. Ia didukung oleh entrepreneur oligopolistik, yang bersama Negara
berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. 3.
Pengambilan keputusan dalam rezim Orde Baru bersifat birokratik- teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan
kebijaksanaan yang memerlukan suatu proses bargaining yang lama diantara berbagai kelompok kepentingan.
4. Massa didemobilisasikan.
3
Michael van Langenberg, The New Orde State : Language, Ideology, Hegemony, dalam Arief Budiman, State and Civil society in Indonesia, Australia : Aristoc, 1990, hal. 122.
4
Syamsul Hadi, Strategi Pembangunan Mahatir dan Soeharto ‘Politik Industrialisasi dan Modal Jepang di Malaysia dan Indonesia’, Jakarta: Japan Foundation, 2005, hal.9-10.
5
Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik,Jakarta : LP3ES, 1989, hal.10.
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, persaingan politik yang keras antara partai Komunis Indonesia PKI dan militer, khususnya Angkatan Darat, berakibat jatuhnya rezim
Soekarno ditahun 1965 dan membuka jalan bagi jenderal Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan politik. Yang kemudian dikenal dengan sebutan
Orde Baru, dan kebanyakan berintikan para teknokrat dan petinggi Angkatan Darat. Rezim ini memulai sepak terjangnya mengkonsentrasikan segenap
upaya mereka pada pembangunan ekonomi dengan mengandalkan modal asing. Dengan dihancurkannya PKI, yang merupakan penghalang utama bagi
terbentuknya kelas social dengan hak milik pribadi, pasar kapitalis, dan investasi asing dibuka.
Bangkitnya rezim otoriter dengan intervensi langsung dari kekuatan militer yang terjadi di Indonesia, menempatkan petinggi-petinggi militernya dan
para teknokrat sebagai elemen penting didalam rezim. Selain itu juga rezim di Indonesia ini juga melihat modal asing sebagai mesin alternatif untuk
mempercepat pembangunan ekonomi. Indonesia merepresentasikan rezim otoriter dengan militer sebagai kekuatan utamanya.
Sebagai implikasi daripada hubungan dengan model otoritarian dalam hubungan Negara dan Masyarakat dapat kita lihat dari berbagai macam hal.
Dalam Negara dengan sistem otoritarian, hak-hak masyarakat di kendalikan secara penuh oleh penguasa Negara, kebebasan berbicara di batasi, organisasi-
organisasi di koptasi untuk kepentingan kekuasaan,dan pers dikontrol secara ketat oleh alat penguasa seperti militer, birokrasi, dan organisasi politik rezim.
Implikasi lain yang dengan jelas dapat kita lihat pada masa kepemimpinan Soeharto adalah tidak adanya pertanggung jawaban kekuasaan dan rakyat tidak
memiliki wewenang untuk membatasi kekuasaan penguasa atau pemerintah pada waktu itu. Kekuasaan yang di pegang oleh satu orang pada waktu itu di jadikan
kekuatan penopang sistem pemerintahan yang otoritarian. Sangat jelas berbeda dengan konsep Negara yang demokratis, dimana kekuasaan dikendalikan
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya oleh rakyat. Akibatnya Masyarakat pada saat itu tidak tahu-menahu apa-apa saja kegiatan pemerintah yang sedang dilakukan. Masyarakat tidak dapat
terlibat langsung dalam penentuan kebijakan publik yang tujuannya untuk mensejahterakan Masyarakat.
Perkembangan politik dan budaya politik Indonesia era reformasi, yang sampai pada kenyataan bahwa reformasi yang berlangsung tidak menunjukan
hadirnya efektivitas penggunaan kekuasaan, perubahan atau pembangunan politik, kecuali pada perspektif perebutan kekuasaan. Dalam fokus politik makro lebih
didominasi pada hubungan antar aktor-aktor politik. Bahkan secara keseluruhan politik Indonesia masih terkonsentrasi pada kepentingan Negara dibanding pada
kepentingan masyarakat atau rakyat. Begitu juga tentang kebijakan desentralisasi yang dilandasi dengan gerakan reformasi, bagi Ignas hanya memindahkan
“sentralisme” politik dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah.
6
Peralihan kekuasaan dari Otoritarian menuju Demokratisasi memiliki banyak penyebab. Terjadinya transisi itu disebabkan oleh krisis material atau
krisis ekonomi yang dipicu oleh krisis regional.Awalnya krisis itu melanda Thailand dengan merosotnya nilai tukar mata uang bath terhadap mata uang
Dollar AS. Krisis itu kemudian menjalar ke Philipina, Korea Selatan dan Malaysia dan kemudian berhenti di Indonesia. Krisis ekonomi di Indonesia turut
menghancurkan harapan dan optimisme para ekonomi dunia yang meramalkan Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi di Asia. Pertumbuhan ekonomi yang
6
Ignes Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi Mei 1998-Mei 2003” dalam ANALISIS, Jakarta: CSIS, 2003, hal. 160-172.
Universitas Sumatera Utara
tinggi pada saat itu ternyata tidak mengurangi realitas penduduk miskin yang masih mendominasi di Indonesia. Mereka tidak merasakan keadilan,
pengangguran dalam jumlah besar, persoalan pelanggaran hak asasi manusia, dan lain sebagainya. Pukulan keras dari krisis ekonomi memperlemah kekuasaan
Soeharto, karena basis ekonomi dipenuhi oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itulah yang menjadi penyebab timbulnya semangat perlawanan masyarakat
terhadap Soeharto beserta seluruh basis penopangnya. Dan kemudian menimbulkan perlawanan besar-besaran yang di prakarsai oleh para mahasiswa.
Mereka menuntut pemerintahan Orde Baru segera dibubarkan, dan tak lama setelah itu akhirnya Indonesia mulai memasuki masa transisi menuju demokrasi.
Persoalan berikut yang disajikan penulis adalah persoalan mengenai Otonomi Daerah, sebagai suatu pengaturan politik hubungan Pusat- Daerah.
Berawal dari Pasal 18 UUD 1945, yang sudah mengalami perubahan dalam sidang tahunan MPR bulan Agustus 2000.
Menurut pembahasan Bagir Manan, secara struktur, Pasal 18 lama sama sekali diganti baru. Yang semula hanya satu pasal menjadi tiga pasal Pasal 18 ,
Pasal 18 A, dan Pasal 18 B. Pasal –pasal baru ini memuat paradigma baru dan arah politik Pemerintahan Daerah yang baru pula. Hal-hal tersebut nampak dari
prinsip-prinsip dan ketentuan berikut :
1 Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan Pasal 18 ayat2. Ketentuan ini menegaskan bahwa Pemerintah Daerah adalah suatu pemerintahan
otonom dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemerintahan daerah hanya ada pemerintahan otonomi. Sedangkan Pasal 18 lama, tidak
menegaskan Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai
urusan rumah tangganya.
2 Prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya Pasal 18 ayat 5. Meskipun
secara historis UUD 1945 menghendaki otonomi seluas-luasnya, tetapi karena tidak dicantumkan, maka yang terjadi adalah penyempitan otonomi
daerah menuju pemerintahan sentralisasi. Untuk menegaskan kesepakatan yang telah ada pada saat penyusunan UUD 1945 dan menghindari
Universitas Sumatera Utara
pengebirian otonomi menuju sentralisasi, maka sangat tepat pasal 18 yang baru menegaskan pelaksanaan otonomi seluas-luasnya. Daerah berhak
mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh Undang-Undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan pusat.
Selain itu, campur tangan pusat harus dibatasi pada hal-hal yang benar- benar bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip
kesatuan unity dan perbedaan diversity.
3 Prinsip kekhususan dan keragaman daerah. Mengandung makna bahwa
bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam. Perbedaan potensi daerah menjadi dasar menentukan bentuk dan bentuk dan isi otonomi.
4 Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya. 5
Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Pasal 18 lama, menyebutkan : “hak-hak asal usul
dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Yang dimaksud bersifat istimewa adalah pemerintahan asli atau pemerintahan bumi putera.
6 Prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
Pasal 18 ayat 3. Dengan demikian tidak ada lagi keanggotaan DPRD yang diangkat. Hal yang sama berlaku juga untuk keanggotaan DPR.
7 Prinsip hubungan Pusat dan Daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil Pasal 18 ayat 2. Bahwa daerah berhak secara wajar segala sumber daya untuk mewujudkan Pemerintahan Daerah yang mandiri dan
kesejahteraan rakyat daerah yang bersangkutan.
7
Salah satu hal yang menunjukkan adanya perubahan di era reformasi ini juga dapat kita lihat lewat undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah. Secara khusus Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 ini sudah berulang kali mengalami perubahan demi penyempurnaan. Kajian terhadap isi Undang-
Undang menarik perhatian banyak pihak, serta sering kali membuka perdebatan. Sebagai contoh adalah mengenai seberapa besar Pemerintah Pusat menyerahkan
kewenangannya desentralisasi kepada daerah otonom. Pola sentralistik pada Negara kesatuan seperti Indonesia adalah kehendak untuk menyatukan wilayah
dalam satu kesatuan administrasi pemerintahan, kebijakan politik, dan ekonomi
7
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2004, hal.11-17.
Universitas Sumatera Utara
yang terpusat, dan adanya kesatuan hukum. Ada dua bentuk Negara kesatuan yaitu Negara kesatuan dengan pola sentralistik dan Negara kesatuan dengan pola
desentralistik. Menurut Hendarmin, bahwa akses pola sentralistik Negara kesatuan
umumnya berasal dari cara pandang top-down yakni persepsi bahwa pemerintah pusat adalah pihak yang lebih paham untuk mengatasi permasalahan ketimbang
pemerintah daerah. Daerah dilihat sebagai suatu kesatuan wilayah Negara yang sepenuhnya harus berada dalam kontrol pemerintah pusat yakni sebagai bagian
dari wilayah kekuasaan pusat. Seluruh wilayah Negara kemudian dipahami sebagai bagian dari kepemilikan pemerintahan pusat. Pusat adalah subjek
kekuasaan sementara pemerintah daerah di posisikan sebagai alat kekuasaan Pemerintahan Pusat. Sedangkan Negara kesatuan dengan pola desentralistik
memiliki pengertian yakni memberikan otonomi luas kepada daerah adalah merupakan prinsip manajemen pemerintahan yang rasional. Melalui desentralisasi
pemerataan pembangunan dan kebijakan pembangunan berbasis lingkungan menjadi lebih mungkin untuk dilaksanakan.
Berbeda dengan konsep Sentralisasi pada masa Orde Baru, di mana kekuasaan berada sepenuhnya pada Pemerintahan Pusat. Akibatnya, sering kali
terjadi ketidakmerataan hasil yang diperoleh. Padahal setiap daerah memiliki potensi alam yang berbeda-beda, kultur yang berbeda, dan kondisi geografis yang
berbeda pula. Berangkat dari hal-hal seperti itu, maka konsep Sentralistik tidaklah dirasa cukup untuk memajukan Negara Indonesia ini. Masyarakat semakin
bergejolak menuntut pemerataan keadilan yang selama ini tidak di rasakan.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 dikeluarkan, dengan maksud setiap daerah dapat memajukan daerahnya sendiri, dengan cara penyelenggaraan rumah
tangga Pemerintahan sendiri. Pelaksanaan Otonomi Daerah kelihatannya sederhana. Namun sebenarnya mengandung pengertian yang cukup luas dan
terasa rumit, karena di dalamnya terkandung makna pendemokrasian dan pendewasaan politik rakyat di daerah. Penyebab utama dari di berlakukannya
Otonomi Derah di Indonesia sendiri adalah tuntutan rakyat terhadap pemerataan, keadilan, juga tuntutan terhadap bidang ekonomi dan politik. Kesalahpahaman
sering terjadi sebelum berpindahnya konsep sentralisasi ini ke konsep desentralisasi. Pemerintah sebelum diberlakukannya Otonomi daerah. Misalnya,
pemerintah menganggap pemerataan pembangunan ekonomi sudah cukup merata. Tetapi daerah memandang lain, bahwa hasil dari daerah yang ditarik kepusat jauh
tidak seimbang dengan hasil yang dikembalikan kepada daerah. Potensi sumber daya alam di daerah bahkan seringkali kurang bisa dinikmati oleh masyarakat
didaerah yang bersangkutan. Dan secara keseluruhan, daerah tertentu yang merasa kaya sumber daya alamnya hanya mendapatkan jatah beberapa persen saja,
sedangkan sebagian besar ditarik ke pusat dan penggunaanya tidak cukup jelas. Berdasarkan teori areal division of power, dikenal adanya sistem atau model
pemerintahan daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Sistem ini membagi kekuasaan Negara secara vertikal antara
Pemerintah Pusat di satu pihak, dan Pemerintah Daerah dilain pihak. Di dalam implementasinya terkandung beberapa macam format penyerahan kewenangan
desentralisasi dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah bawahan. Pengertian
Universitas Sumatera Utara
kosep Desentralisasi dan Otonomi Daerah sebenarnya mempunyai tempatnya masing-masing. Istilah otonomi lebih cenderung kepada political aspect,
sedangkan desentralisasi lebih cenderung kepada administratif aspek.
8
8
Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003 hal.4.
Desentralisasi merupakan media dalam pelaksanaan hubungan antara level pemerintahan dalam lingkup suatu negara. Hubungan antar level pemerintahan ini
berbeda penerapannya kepada Negara dengan sistem Liberal dibandingkan dengan Negara dengan sistem Kesatuan. Pada Negara dengan sistem Liberal,
hubungan antar Pemerintahan Pusat dan Daerah dikenal dengan sistem terpisah. Pada sistem ini Pemerintah Pusat tidak secara ketat mengontrol urusan-urusan
pemerintahan yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah memiliki otonomi penuh yang dijamin oleh Konstitusi Negara, untuk
mengatur rumah tangganya sendiri. Pada sistem Liberal dikenal juga adanya urusan-urusan pemerintahan yang tetap menjadi wewenang penuh Pemerintah
Pusat karena berkaitan langsung dengan kepentingan Negara. Sebagai contoh, urusan keimigrasian, moneter, pertahanan dan keamanan, peradilan, sebagian
pendidikan masih ditangan Pemerintah Pusat meskipun pelaksanaannya oleh Pemerintah Negara-Negara bagian. Pada sistem Negara Kesatuan hubungan antar
level pemerintahan berlangsung secara inklusif dimana otoritas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tetap dibatasi oleh
Pemerintah Pusat melalui suatu sistem kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan. Seberapa besar kewenangan yang diberikan menuju
Universitas Sumatera Utara
kemandirian daerah di dalam suatu Negara Kesatuan, tergantung kepada sistem dan political will dalam memberikan keleluasaan pada Daerah.
Sedangkan yang menjadi ciri khas dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah pertama demokrasi dan demokratisasi, yaitu memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah melalui DPRD baik di propinsi maupun di Kabupaten dan Kota. Tidak ada lagi campur tangan
pemerintah pusat, siapa yang akan menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat daerah untuk menentukannya.
Kemudian mengenai hal proses legalisasi terjadi perubahan yang mencolok. Semua peraturan daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi, Kabupaten,
Kota tidak lagi harus diserahkan oleh Pemerintah Pusat. Kedua, mendekatkan pemerintah kepada rakyat. Pemerintah daerah diharapkan dapat melaksanakan
fungsi pemerintahan umum kepada rakyat secara cepat dan tepat. Pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat. Ketiga, sistem
otonomi yang luas dan nyata. Pemerintah Daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan, kecuali di bidang politik luar negeri, dan hal
lainnya. Keempat, tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat dengan tidak dikenalnya lagi adanya daerah tingkat I di Propinsi dan Daerah Tingkat II di
Kabupaten dan Kotamadya. Keenam, penguatan posisi rakyat melalui DPRD. Melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang yang sangat besar bagi
penguatan bagi masyarakat di Daerah dengan diperkuatnya DPRD. Masyarakat dapat berpartisapasi dalam penentuan kebijakan publik. Rakyat mempunyai
kewenangan untuk ikut serta merencanakan dan menentukan kemana daerahnya
Universitas Sumatera Utara
akan dikembangkan. Disamping itu rakyat dapat mengontrol baik kepada Eksekutif maupun kepada Legislatif atas kinerja yang dihasilkan. Dengan
demikian, diharapkan Pemerintah di Daerah dapat berhati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan di Daerah.
Melalui penyelenggaraan Otonomi Daerah, diharapkan memiliki implikasi untuk kedepannya. Implikasi tersebut tampak dalam hubungan Eksekutif-
Legislatif yang baik buruknya tergantung kepada keadaan arah perkembangan masa depan dalam mewujudkan demokrasi. Dimensi yang positif dari penguatan
atau pemberdayaan terhadap lembaga Legislatif Daerah yaitu DPRD akan lebih aktif didalam menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, kemudian
mengadopsinya dalam berbagai bentuk kebijakan publik di daerah bersama-sama Kepala Daerah. Hal itu ditegaskan dalam pemberian hak-hak yang sangat luas
kepada DPRD yang juga diberi atribut “Parlementarian” dimana DPRD dapat menolak pertanggungjawaban Kepala Daerah. Namun yang perlu perhatian
khusus adalah ketika efek negatif mulai muncul kepermukaan. Yaitu konflik yang berkepanjangan antara Kepala Daerah dan DPRD. Hal-hal yang dapat
menimbulkan konflik adalah 1 gaya kepemimpinan Kepala Daerah sangat berbeda dengan pimpinan DPRD 2 Latar belakang kepentingan yang berbeda
antara Kepala Daerah dengan pimpinan DPRD dan 3 dan latar belakang pengalaman dalam berpolitik dan penyelenggaraan pemerintahan yang sangat
berbeda antara Kepala Daerah dengan pimpinan DPRD maupun anggotanya. Jika hal-hal yang negatif ini yang muncul, maka yang menjadi masalah baru dalam
masyarakat adalah menurunnya pelayanan dan perlindungan masyarakat dan bisa
Universitas Sumatera Utara
dipastikan akan melahirkan ketidakpercayaan rakyat terhadap jalannya Pemerintah Daerah.
Konsep Desentralisasi menurut Undang-Undang No.22 Tahun 1999 ini, merupakan dasar dalam pelaksanaan Otonomi Derah di berbagai Daerah yang
tersebar diseluruh Indonesia. Kemungkinan dari implikasi yang ditimbulkan di masa mendatang sangat luas dan cukup bervariasi. Semuanya menyangkut
berbagai aspek penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun perlu kita ketahui dan sadari, keberhasilan dari implementasi sistem ini bergantung dari
seberapa besar kemauan dan kemampuan dari segenap komponen bangsa untuk mempertahankan dan menjaga komitmen nasional yang telah terbentuk.
Perdebatan yang timbul dari perbedaan pendapat boleh berlangsung, namun komitmen dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tidak boleh terhambat. Oleh
karena itu, dalam pelaksanaanya harus terus menerus mengalami penyempurnaan demi perwujudan Otonomi Daerah yang sesungguhnya.
Dua pokok permasalahan yang telah dipaparkan penulis yaitu mengenai Hubungan State-Society dan relasi Pusat dan Daerah, memiliki beberapa hasil
penelitian yang telah ada terlebih dahulu baik itu yang bersumber dari buku- buku maupun tesis-tesis. Salah satunya adalah buku yang berjudul : “Gerakan
Rakyat Melawan Elite” yang ditulis oleh Munafrizal Manan Penerbit : Resist Book, yogyakarta, 2005. Buku ini menjelaskan tentang tumbangnya Soeharto
yang telah banyak membawa dampak terhadap hubungan Negara dengan masyarakat pada era transisi di Indonesia. Posisi Negara yang sangat kuat
pada masa Orde Baru tidak lagi dapat dipertahankan pada era transisi di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. Pada era transisi, Negara tidak tampak lagi terus mempertahankan dominasi dan hegemoninya terhadap masyarakat. Sebaliknya, yang terjadi
adalah relative menguatnya posisi masyarakat terhadap Negara. Posisi masyarakat yang kuat itu tercermin dari keberanian mereka melakukan
resistensi dan kontrol yang gencar terhadap Negara. Dalam bukunya Munafrizal Manan dikatakan, “sejak era transisi dibuka,
keberanian rakyat melancarkan resistensi dan kontrol terhadap Negara meningkat sangat mengesankan sekaligus secara kuantitatif dan kualitatif.
Arus resistensi dan kontrol rakyat yang menciptakan situasi di mana Negara tidak mampu menegakkan hokum terhadap aksi-aksi resistensi rakyat yang
telah melanggar hokum. Situasi ini memaksa Negara mengambil sikap akomodatif atau gerakan rakyat tersebut.”
9
Dimasa Orde Lama dan Orde Baru tidak ada keseimbangan antara perbedaan dan kesatuan. Yang ada adalah serba kesatuan. Setiap perbedaan
dianggap ancaman yang membahayakan. Akibatnya, pemerintahan senantiasa atau selalu lebih cenderung diselenggarakan menuju atau dalam serba
sentralisasi. Bahkan sentralisasi yang otoritarian , melampaui sentralisasi demokratis. Otonomi adalah ancaman, karena itu tidak boleh dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Reformasi telah menggeser ayunan bandul ke arah otonomi seperti diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999, termasuk pula
perubahan pasal 18 UUD 1945 menjadi pasal baru. Dalam praktik, ada tanda- tanda ayunan bandul itu tidak sekedar mencari keseimbangan melainkan
memindahkan imbangan untuk menjadi serba daerah, serba otonomi. Otonomi adalah instrumen pengimbang dan penyeimbang dan menyeimbangkan
kecenderungan memusat dan mendaerah. Hanya dengan demikan, otonomi akan menjadi instrumen kesejahteraan dan ketentraman bagi seluruh
kehidupan bermasyarakat, berbangasa dan bernegara. Buku berikutnya yang menjadi bahan acuan penulis dalam penulisan skripsi
ini adalah “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah” yang di tulis oleh Prof.Dr. Bagir Manan,S.H.,M.CL dengan penerbit Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum
UII Yogyakarta, tahun 2004. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai macam-macam forum diskusi mengenai pemerintahan daerah atau
otonomi. Berikut merupakan inti dari isi buku yang dipaparkan :
10
9
Munafrizal Manan, Ibid, hal. 228.
10
Bagir Manan, op.cit., hal.viii.
Universitas Sumatera Utara
2. PERUMUSAN MASALAH