Paham integralistik tidak menunjukkan adanya demokratisasi, karena kekuasaan Negara dalam hal ini adalah mutlak. Dan lagi didalamnya tidak diperkenankan
kelompok oposisi dan kritik yang datangnya dari masyarakat untuk Negara tidak diperbolehkan.
1.2 Negara Pasca Kolonial
Model ini diperkenalkan oleh Benedict Anderson. Menurutnya, Negara Orde Baru merupakan kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari
Negara kolonial sebelumnya.
48
Dalam hal demikian, model ini mirip dengan Negara Beamtenstaat versi Mc Vey. Tetapi berbeda dengan McVey yang lebih
menekankan gejala-gejala dipermukaan, Anderson lebih menjelaskan dengan memberikan penjelasan secara teoritis tentang kontradiksi yang tajam disetiap
“Negara bangsa”. Kontradiksi ini terjadi antara kepentingan-kepentingan Negara disatu pihak dengan kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris
pada pihak lain.
49
227.
48
Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996 dalam:
Ben Anderson, Old State, New Society:Indonesia’s New Order in Comparative Historical Perspective, Journal of Asian Studies, Vol.XLII, 1983, P.80.
49
Vedi R. Hadiz, Politik, Budaya, dan Perubahan Sosial, Ben Anderson dalam Studi Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 80.
Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum luas.
Pertama, kutub kepentingan Negara secara penuh mensubordinasikan
kepentingan-kepentingan partisipatoris seperti pada situasi rezim militeris atau
kolonialis. Kedua, pada kutub yang lain, keadaan ketika Negara mengalami
Universitas Sumatera Utara
disintegrasi, dan kekuasaan sedang bergeser kepada organisasi ekstra Negara yang berbasis sukarela dan massal, seperti halnya dalam studi revolusi.
50
Model Negara pasca kolonial dipopulerkan oleh Hamza Alavi dalam sebuah penelitiannya dengan menggunakan Negara Pakistan dan Bangladesh
sebagai studi kasus. Menurut Alavi, masyarakat di Negara-negara bekas jajahan, sesudah meraih kemerdekaannya berubah menjadi masyarakat yang secara sosial,
politik, dan ekonomi terkooptasikan kedalam bekas Negara penjajahannya. Setelah kemerdekaan diproklamirkan, tugas berikutnya adalah melaksanakan
pembangunan nasional. Pada tahap ini, Negara-negara Dunia. Ketika bekas jajahan banyak berbeda dengan kapitalisme Barat, bahkan terjadi distorsi
struktural yang berdampak secara sosial, politik, dan ekonomi. Inilah yang disebut masyarakat periferi.
51
Dalam perspektif modernisasi, model Negara pasca kolonial, memiliki dua varian. Pertama, model ini harusnya bersifat netral, mewakili kepentingan
umum,dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah
figure-figur yang modern yang memiliki keahlian tertentu, atau dengan kata lain para teknokrat. Varian pertama ini didukung oleh Gabriel Almond, yang
Pendekatan merupakan cara memahami kekuatan- kekuatan politik didunia ketiga dalam suatu perspektif historis dan struktural yang
luas serta kaitannya dengan proses-proses ekonomi mendalam yang mempengaruhi hampir seluruh kawasan di dunia.
50
Vedi R. Hadiz, Ibid, hal.81.
51
Farchan Bulkin, Kekuatan Politik : Perspektif dan Analisa, Analisa Kekuatan Politik Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1990, hal.83.
Universitas Sumatera Utara
menurutnya, Negara pasca kolonial yang ideal adalah Negara kaum teknokrat. Kedua, dipelopori oleh Samuel P. Huntington, menurut Huntington, ketika
harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama Negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional adalah
menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu Negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka modern, atau tidak modern suatu bangsa bukan
ditentukan oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme, atau nilai-nilai demokrasi, melainkan pada kemampuannya menciptakan dan memelihara stabilitas sosial,
politik, dan ekonomi. Dalam realitas kepolitikan Orde Baru, kedua varian ini tampak jelas.
Sampai pada tahun 1966, sejarah politik Indonesia didominasi oleh susah payah mencari suatu mekanisme politik yang sesuai dengan masyarakat Indonesia
yang majemuk. Sejak Proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Indonesia telah menciptakan beberapa kerangka politik dan konstitusional besar guna mencapai
tujuan seperti yang ditetapkan oleh para pemimpinnya. Selama tahun-tahun pergolakan perang kemerdekaan dimana Republik baru ini berjuang melawan
usaha-usaha Belanda, yang didukung oleh kekuatan sekutu, untuk memperoleh kembali tanah jajahannya. Indonesia pertama kali diperintah oleh suatu kabinet
presidensil, dibantu oleh suatu komite penasihat tetapi tidak memiliki badan politik khusus yang bisa menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Kendati
mendapat dukungan luas dari kelompok politik, berkat ketenaran Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta dimata rakyat, namun pemerintahan itu
Universitas Sumatera Utara
hampir tidak berjalan, disebabkan karena kekurangan sumberdaya dan aparat dan juga karena masa jabatannya yang pendek..
Hubungan antara masyarakat sipil dengan Negara pada waktu itu bisa dikategorikan seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Almond, yang melihat
bahwa Negara bekas jajahan harus diperintah oleh penguasa yang netral, tidak memihak kelompok-kelompok tertentu. Indonesia pada waktu itu menganut
sistem multi partai dengan ditunjukkannya kepartaian yang sangat heterogen. Ini menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan Negara di
Indonesia. Namun yang sangat disayangkan, sistem multi partai yang diterapkan dalam suatu masyarakat yang sangat pluralistic dan terpolarisasi atau terpisah
dalam kutub-kutub yang berjahuan. Partai-partai itu umumnya berdiri berdasarkan kepentingan yang sangat sempit, contohnya: keagamaan, kedaerahan, atau yang
lainnya. Pada akhirnya sulit untuk menemukan partai yang memiliki koalisi yang kuat yang dapat menciptakan suatu pemerintahan yang stabil dan efektif.
Pada akhirnya, hubungan antara masyarakat dan Negara yang tidak stabilpun berpengaruh terhadap kelangsungan pemerintahan yang ada pada saat
itu. Negara yang masih tergolong kepada sebuah pemerintahan yang masih mencari-cari jati diri, disebabkan oleh sedikit banyaknya masih dibayang-bayangi
oleh bekas jajahan kolonial.
1.3 Negara Otoriter Birokratik Rente