hampir tidak berjalan, disebabkan karena kekurangan sumberdaya dan aparat dan juga karena masa jabatannya yang pendek..
Hubungan antara masyarakat sipil dengan Negara pada waktu itu bisa dikategorikan seperti yang dikemukakan oleh Gabriel Almond, yang melihat
bahwa Negara bekas jajahan harus diperintah oleh penguasa yang netral, tidak memihak kelompok-kelompok tertentu. Indonesia pada waktu itu menganut
sistem multi partai dengan ditunjukkannya kepartaian yang sangat heterogen. Ini menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan Negara di
Indonesia. Namun yang sangat disayangkan, sistem multi partai yang diterapkan dalam suatu masyarakat yang sangat pluralistic dan terpolarisasi atau terpisah
dalam kutub-kutub yang berjahuan. Partai-partai itu umumnya berdiri berdasarkan kepentingan yang sangat sempit, contohnya: keagamaan, kedaerahan, atau yang
lainnya. Pada akhirnya sulit untuk menemukan partai yang memiliki koalisi yang kuat yang dapat menciptakan suatu pemerintahan yang stabil dan efektif.
Pada akhirnya, hubungan antara masyarakat dan Negara yang tidak stabilpun berpengaruh terhadap kelangsungan pemerintahan yang ada pada saat
itu. Negara yang masih tergolong kepada sebuah pemerintahan yang masih mencari-cari jati diri, disebabkan oleh sedikit banyaknya masih dibayang-bayangi
oleh bekas jajahan kolonial.
1.3 Negara Otoriter Birokratik Rente
Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di
Universitas Sumatera Utara
Korea Selatan. Arief memulai kajiannya dengan memperkenalkan konsep Negara otoriter birokratik OB. Menurutnya, konsep ini berbeda dengan Negara OB
Donnel. Ciri-ciri Negara Otoriter Birokratik adalah bersifat otoriter, sangat mengandalakan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi
masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-down dari atas kebawah, dan menggunakan ideology teknokratis-birokratis.
52
Dalam penerapannya OB memiliki dua varian, yaitu Negara OB pembangunan dan Negara OB rente. Yang pertama relative bersih tidak korup
dan efisien, tipe pembangunannya kapitalis dengan dukungan kaum borjuasi sehingga berhasil melaksanakan pembangunan. Sedangkan pada Negara dengan
tipe kedua, justru sebaliknya. Kaum borjuasi tidak terbentuk dalam Negara karena mereka mendapatkan fasilitas melalui hubungan personal dengan
penguasa. Lebih jelas lagi, para elite Negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa. Para elite bertindak sebagai rentenir karena menyewakan jabatannya untuk
kepentingan pengusaha. Jabatan birokrasi bagi elite Negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente.
53
Sebagai konsekuensinya, dalam Negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuasi yang kuat tetapi kelompok pengusaha yang tergantung kepada
fasilitas dan perlindungan Negara. Negara OB rente mulai tumbuh dan menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan
pada permulaan tahun 1970-an.
54
52
Arief Budiman, Negara dan Pembangunan, tanpa kota: Yayasan Padi dan kapas, 1991, hal 12.
53
Arief Budiman, Ibid, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dimasa Orde Baru bersifat otoriter birokratik dan koorporatis Negara. Hubungan antara Negara dengan masyarakatpun terbatas. Dimana
kekuasaan dan partisipasi dalam keputusan nasional hampir seluruhnya terbatas pada pegawai negeri, khususnya perwira dan birokrat tingkat tinggi, yang dikenal
sebagai teknokrat. Hubungan antara Negara dan masyarakat
1.4 Bureaucratic Authoritarian