HUBUNGAN PUSAT – DAERAH MENURUT UU No. 22 TAHUN 1999 DAN UU No. 25 TAHUN 1999

Secara berlahan-lahan pilar-pilar politik Negara kuat Orde baru mulai melemah dan membusuk. Dan pada akhirnya kita dapat melihat dan menyaksikan dengan jelas, rakyat akhirnya bisa menunjukkan kemampuannya mendobrak pintu otoritarianisme Orde Baru yang telah mencengkam bangsa ini selama lebih dari tiga dekade.

2. HUBUNGAN PUSAT – DAERAH MENURUT UU No. 22 TAHUN 1999 DAN UU No. 25 TAHUN 1999

Hubungan antara Pusat dan Daerah dalam sistem otonomi yang bagaimanapun luasnya bukanlah patokan statis tetapi patokan dinamik. Hubungan itu harus berjalan antara “memusat” dan “mendaerah”, dalam keseimbangan yang mampu mengemban tuntutan yang senantiasa berkembang baik pada sector kemasyarakatan, kebangsaan maupun kenegaraan. Yang perlu dijaga, agar hubungan keduanya tidak mengorbankan secara berlebihan arah yang lain. Perlu juga untuk disadari, potensi daerah berbeda-beda. Ada daerah yang memiliki financial resources yang cukup bahkan banyak, tetapi kurang pada unsur lain seperti human resources jumlah dan atau mutu. Ada pula daerah yang dalam keadaan sebaliknya, memiliki human resources yang memadai tetapi kurang pada financial resources. Bahkan mungkin ada daerah yang memiliki dengan cukup kedua sumber tersebut atau kurang untuk kedua-duanya. Apabila tidak diatur secara nasional, dapat terjadi ketidakseimbangan antar daerah. Kalau hal ini benar-benar terjadi, maka secara kebangsaan akan menggangu tujuan nasional Universitas Sumatera Utara karena akan terjadi ketidakseimbangan antar daerah dan ini sama halnya dengan yang selama ini dialami yaitu ketidakseimbangan antara pusat dan daerah. Kedua, corak ketidakseimbangan ini pusat dan daerah atau antar daerah, akan menjadi hambatan mencapai secara bersama tujuan dan cita-cita nasional berbangsa dan bernegara. Jadi, persoalan yang mungkin dialami dan dihadapi bukanlah hanya hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga hubungan antar daerah. Karena itu dalam melaksanakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Perimbangan keuangan yang baru, tidak cukup hanya mengatur hubungan antara pusat-daerah, tetapi juga hubungan antar daerah. Harus ada mekanisme, baik atas dasar national public policy maupun mekanisme antar daerah yang memungkinkan aliran-aliran resources antar daerah yang memberi manfaat sebesar-besarnya pada semua daerah. Dengan demikian kesejahteraan dan kemakmuran akan merata pada seluruh rakyat Indonesia. Perubahan-perubahan peran DPRD untuk sementara waktu menimbulkan political shocks. Disatu pihak DPRD serta merta memiliki wewenang yang begitu luas, dilain pihak belum mengetahui secara baik bagaimana menjalankan peran besar tersebut secara wajar, agar pemerintah daerah dapat berjalan efektif, efisien dan stabil. Suasana kebebasan, dengan berbagai kewenangan yang begitu terbuka dapat pula menimbulkan suasana peran yang sangat menekankan aspek kewenangan bahkan kekuasaan belaka daripada unsur-unsur penyelenggaraan pemerintahan yang bertumpu pada prinsip-prinsip managemen atau asas Universitas Sumatera Utara penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kesulitan juga dapat bersumber dari sistem banyak partai yang duduk di DPRD. Dengan banyak partai mungkin sekali akan terjadi hambatan untuk secara tepat mencapai kesepakatan-kesepakatan. Keadaan ini akan mempengaruhi kinerja pemerintahan daerah secara keseluruhan. Pada umumnya, gubernur, bupati, walikota, adalah pilihan DPRD sebelum pemilihan umum tahun 1999. atau sebut saja gubernur, walikota, bupati, warisan Orde Baru. Perubahan perimbangan kekuasaan politik disatu pihak, dan sikap serba sangka terhadap kekuasaan lama, menimbulkan hubungan yang “menegang” antara gubernur, bupati, walikota disatu pihak dengan DPRD dipihak lain. Hubungan semacam ini lebih diperparah apabila ada bukti atau cukup dugaaan para gubernur, bupati atau walikota tersangkut KKN. Ketegangan semacam ini tidak perlu terjadi, kalau pembaharuan pemerintahan yang menjadi salah satu dasar mempercepat pemilihan umum dijalankan juga di daerah. Pemilihan umum yang dipercepat 1999, sejak semula disepakati oleh Presiden Habibie dan DPRMPR untuk memilih kembali Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk pemerintahan baru yang sama sekali terlepas dari Orde Baru. Semestinya hal semacam ini berlaku juga di daerah. Pemilihan umum membentuk DPRD harus pula dimaksudkan membentuk pemerintahan baru di daerah dengan memilih gubernur, bupati, walikota beserta wakil-wakilnya yang baru. Baik secara hukum atau etik, para gubernur, bupati dan walikota sebagai agenda pertama. Disini secara ketatanegaraan tidak berlaku sistem menunggus sampai habis masa jabatan, karena pemilihan umum yang dipercepat, merupakan instrument melaksanakan reformasi pemerintahan. Universitas Sumatera Utara Karena disatu pihak tidak ada agenda pembaharuan pemerintahan,sedang dilain pihak ada hasrat kuat untuk mengganti gubernur, bupati, walikota, maka ditempuh antara lain formula pertanggungjawaban. Secara hukum, jalan ini tidak mudah. DPRD harus dapat membuktikan bahwa seorang gubernur, bupati dan walikota melanggar ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang sebagai dasar menolak pertanggungjawaban. Dalam hubungan “kemitraan” dengan anggota DPRD baru, dapat timbul berbagai pertimbangan baru bagi sebagian kekuatan politik di DPRD. Akhirnya DPRD yang terpecah sendiri sejalan dengan adagium politik. Inilah salah satu ironi reformasi daerah. Pertanggungjawaban gubernur, bupati dan walikota kepada DPRD merupakan konsekuensi logis pelaksanaan demokrasi didaerah yang hanya mengenal satu jenis badan perwakilan. Berbeda dengan yang dipusat yang terdiri dari dua badan perwakilan DPR atau MPR. Selain harus ada pertanggungjawaban, harus ada pula tempat bertanggung-jawab. Dalam demokrasi ada prinsip “tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban”. Tempat bertangungjawab adalah DPRD yang mewakili rakyat. Walaupun demikian, ada pula tanggung jawab yang harus dipikul DPRD, terlebih menurut Undang-Undang Dasar 1945 yaitu menjamin kestabilan politik dan pemerintahan. Jangan sampai mengulang sejarah pemerintahan Republik Indonesia di masa UUDS 1950 yang serba tidak stabil. 61 61 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: PSH Fakultas Hukum UII,2004, hal.50. Universitas Sumatera Utara Untuk membatasi sistem pertangungjawaban yang selalu terbuka, di tengah sistem partai banyak dan pengalaman yang masih terbatas dalam mengelola sistem pertanggungjawaban tersebut, dapat dilakukan berbagai langkah sebagai berikut : 62 1 Kekuatan politik di DPRD dapat menyepakati dan menentukan jenis dan ukuran kebijaksanaan atau tindakan bupati, walikota, atau gubernur sebagai dasar meminta pertanggungjawaban. 2 Kekuatan politik di DPRD dapat didorong untuk berkelompok menjadi dua kelompok utama sebagai partai pendukung pemerintah dan kelompok oposisi. Hal ini akan lebih mempermudah hubungan bupati, walikota, atau gubernur dengan DPRD. 3 Menumbuhkan kesadaran bahwa sistem pertangungjawaban bupati, walikota, atau gubernur kepada DPRD, secara konstitusional didasarkan pada sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang antara lain menghendaki suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Jika bupati, walikota, gubernur setiap saat terancam oleh mosi tidak percaya, akan mempengaruhi fungsi pelaksanaan pemerintahan yang tidak stabil. 4 Mengarahkan peran DPRD tidak terutama dalam “political sphere” tetapi “service sphere”. Hal ini sejalan dengan prinsip umum otonomi yaitu 62 Bagir Manan, Ibid, hal. 50-51. Universitas Sumatera Utara sebagai sarana lebih mengefektifkan public servicer untuk membangun kesejahteraan umum bagi rakyat daerah bersangkutan. Selanjutnya, kita dapat ketahui betapa luasnya dan banyaknya isi rumah tangga daerah. Semua urusan pemerintahan adalah urusan daerah kecuali yang oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah ditetapkan sebagai urusan pusat, yaitu Politik Luar Negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan lain yaitu kewenangan menetapkan kebijaksanaan nasional yang meliputi : 1. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro 2. Dana perimbangan keuangan 3. Sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara 4. pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia 5. pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis 6. konservasi, dan 7. standarisasi nasional Cara-cara menentukan dan batas-batas kebijaksanaan ini perlu dilakukan dengan hati-hati. Rumusan kebijaksanaan tidak hanya mengikat pusat tetapi juga Universitas Sumatera Utara daerah. Apabila tingkat keterikatan daerah begitu tinggi dan luas, akan meniadakan keleluasaan atau kebebasan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kalau hal ini terjadi, maka otonomi luas tidak berarti sama sekali. Dalam kenyataan melalui rumusan kebijakan tersebut daerah menjadi semata-mata pelaksana kebijaksanaan pusat di daerah. Di pihak lain, kebijaksanaan di tingkat nasional sebagai sebagai suatu national public policy, harus tetap ada, agar perjalanan pemerintahan daerah berada pada keseimbangan satu sama lain. Dalam keadaan tertentu memang diperlukan keseragaman, baik untuk efisiensi maupun untuk menjamin persamaan pelayanan, persamaan perlakuan, dan pencapaian tingkat kesejahteraan yang merata antar daerah. Penambahan urusan juga berarti tambahan beban bagi daerah. Beban ini belum tentu dapat dipikul dengan baik oleh daerah, tergantung kepada kesiapan sumber daya. Urusan rumah tangga luas dengan prinsip formal rumat tangga formal ini, dalam pelaksanaan dapat menampakkan kenyataan-kenyataan berikut : 1. telah dikemukakan, kemungkinan resources yang tersedia di daerah terbatas. Daerah tidak mungkin mengurus semua urusan pemerintahan yang secara hukum adalah urusan rumah tangga daerah. Makin terbatas resources yang tersedia, makin terbatas pula urusan yang diatur dan diurus daerah, sehingga otonomi luas dalam kenyataannya adalah otonomi Universitas Sumatera Utara terbatas. Daerah hanya mampu mengatur dan mengurus urusan tertentu saja. 2. Dapat terjadi, suatu urusan atau fungsi pemerintahan tidak dilaksanakan oleh daerah maupun pusat. Daerah mungkin dengan sengaja harus tidak mengurus suatu urusan karena kemampuan terbatas. Sebaliknya pusat juga tidak melaksanakan urusan itu. Apabila hal seperti ini terjadi, rakyat setempat akan dirugikan karena tidak memperoleh pelayanan sebagaiman mestinya. 3. dengan berbagai keterbatasan yang ada di daerah, dalam kenyataan sebagian besar urusan pemerintahan daerah masih akan diselenggarakan pusat. Makin kecil kemampuan dan kemauan daerah mengurus suatu urusan, makin besar wewenang pada pusat. Apabila hal ini terjadi, maka proses sentralisasi tidak dapat dihindari. Sentralisasi akibat ketidakmampuan daerah atau dalam upaya menjamin persamaan perlakuan, berpotensi lebh besar di Negara kesatuan otonomi. Pusat, selain sebagai “sumber” kewenangan daerah, juga memikul tanggung jawab tertinggi secara politik dan hokum mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Hanya ada satu jalan untuk menghindari sentralisasi yaitu kemauan pusat untuk secara terus menerus memberdayakan daerah, dan kemauan daerah untuk selalu memperdayakan diri. 4. Akan terjadi aneka ragam wewenang mengenai urusan tertentu. Suatu urusan tertentu, dengan alasan tertentu diselenggarakan oleh Kabupaten Universitas Sumatera Utara atau Kota tertentu. Urusan ini akan diurus oleh propinsi atau pusat. Di kabupaten atau kota lain yang mampu, urusan yang sama telah menjadi urusan rumahtangganya. Dengan demikian, satu macam urusan pemerintahan, diurus oleh satuan-satuan pemerintahan-pemerintahan yang berbeda tingkatnya. Keadaan ini bukan saja menyulitkan segi-segi teknis pemerintahan, tetapi juga cara dan keluaran pelayanan yang berbeda. Menghadapi hal seperti ini sangatlah penting kebijaksanaan nasional yang harus dipedomani oleh semua daerah maupun pusat. 63 Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah, disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, merespon, memahami berbagai kesenderungan global dan mengambil manfaat dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Dilain pihak, kebijakan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam menghadapi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan symbol adanya trust kepercayaan dari pemerintah pusat ke daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah daerah dan masyarakat. Kalau dalam sistem yang sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi 63 Bagir Manan, Ibid, hal. 54 Universitas Sumatera Utara berbagai masalah, dalam sistem otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi. Pada masa yang lampau, banyak masalah yang terjadi di daerah yang tidak tertangani dengan baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dibidang itu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertahanan, kebakaran hutan, pengelolaan pertambangan, kerusakan lingkungan, alokasi dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai kebutuhan daerah. Dan sekarang, setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, kewenangan itu di desentralisasikan di daerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah pusat tidak lagi mempatronasi, apalagi mendominasi mereka. 64 Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervasi, memantau, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka otonomi daerah, diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah. 65 64 Syaukani, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar : Yogyakarta, 2003, hal 172 . 65 Syaukani,Ibid, hal.173. Universitas Sumatera Utara Visi Otonomi Daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, Ekonomi, serta sosial dan budaya. Di bidang politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik. Di bidang ekonomi, otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ketingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Dibidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial,dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya. Universitas Sumatera Utara BAB III ANALISIS PENGATURAN POLITIK HUBUNGAN NEGARA- MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO DAN HUBUNGAN PUSAT- DAERAH PASCA SOEHARTO

1. Hubungan Negara-Masyarakat Pada Masa Kekuasaan Soeharto