Teori Negara Pasca Kolonial structural-historis dan Konsep Otonomi Relative

Kedua perspektif yang telah di sebutkan diatas, telah sama-sama melihat peran Negara dari perspektif masyarakat. Pendekatan ini di kenal dengan pendekatan yang berpusat pada Negara society-centered aproach. Sehingga sekalipun institusi Negara di perlukan oleh masyarakat akan tetapi peranan mereka sebatas kemauan masyarakat. Munculnya peran Negara didunia ketiga dapat di pahami dengan melihat teori pembangunan dan sistem politik otoriter yang hadir dinegara tersebut.

1.2 Teori Negara Pasca Kolonial structural-historis dan Konsep Otonomi Relative

Teori yang berkaitan dengan subjudul diatas merupakan hasil pemikiran Hamza Alavi yang di dorong oleh perkembangan teoritis yang semakin canggih mengenai peran dan sifat Negara di masyarakat industri maju. Kontribusi terpenting dari Alavi adalah teori menguatnya Negara adalah tentang konsep Otonomi Relatif . Analisis menguatnya Negara pada kondisi dunia ketiga, khususnya Indonesia, untuk memahami menguatnya Negara pada saat ini tidak terlepas dari kolonialisme dan imperialisme yang terjadi secara intensif dan berdampak ekonomi dan politik. 67 67 Soetjipto Wirosardjono, Celah-Celah Pembangunan, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hal. 102-103. Selama kurun waktu yang cukup panjang, konsekuensi-konsekuensi ini telah cukup mewarnai perilaku dan watak dasar dari Negara dan perilaku Negara modern dan kontemporer di dunia ketiga. Sekalipun kondisi-kondisi ekonomi dan politik telah berubah tak dapat di sangkal lagi bahwa pengaruh-pengaruh kolonial itu ada dan dapat di pahami secara rasional. Universitas Sumatera Utara Salah satu usaha untuk memahami Negara dan masyarakat di kawasan Dunia Ketiga, yang punya signifikansi yang kuat sebagai bekas Negara kolonial adalah teori Negara dalam masyarakat periferal atau masyarakat pasca kolonial. 68 Dengan demikian, substansi dalam pemikiran ini, telah melihat kebangkitan fungsi-fungsi Negara di Indonesia yang semakin mengeras menguat di sebabkan oleh suatu proses structural histories yang telah berlangsung sejak periode kolonial Hindia-Belanda. Proses ini diyakini karena sebab-sebab struktur yang penetratif dan eksploitatif pada Negara kolonial sama sekali tidak pernah menghadirkan kelas-kelas borjuasi atau kelas-kelas menengah yang kuat. Struktur masyarakat yang tumbuh sebagai akibat dari kolonialisme yang telah bertahan pada masa pasca kolonial dengan kecenderungan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial. Dengan demikian proses semacam itu mempengaruhi Premis utama yang di kembangkan oleh Alavi adalah sebagai berikut : Bahwa perkembangan Negara pasca kolonial mempunyai “otonomi relative” terhadap kelas-kelas social itu dalam struktur histories masyarakat pasca kolonial. Perspektif teori Negara yang di ajukan berusaha meletakkan sturktur sosial masyarakat yang tumbuh sebagai akibat kolonialisasi dalam waktu yang umumnya panjang dan telah bertahan pada masa kolonial dengan kecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial. Di sini Alavi telah memperluas konsep Negara “otonomi relative” menjadi Negara yang berkembang secara berlebihan over developed state. Inilah yang dapat membedakan sifat khusus dari Negara pasca kolonial dengan Negara pada masyarakat industri maju. Peran yang di pikul oleh Negara kolonial untuk mengendalikan dan menguasai kelas-kelas domestic demi kepentingan Negara dan borjuasi metropolitan telah membuatnya tumbuh secara tidak proporsioanal dengan derajat pertumbuhan dan kematangan kelas-kelas domestik. Oleh karena itu Negara pasca kolonial sistem yang di warisi setelah kemerdekaan juga mempunyai ciri-ciri yang telah berkembang secara tidak seimbang dengan kelas-kelas yang ada. 68 Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001, hal.123 dalam Muhammad A.S Hikam, “Negara Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan Dalam Politik Indonesia”, Prisma LP3ES, No. 3 Mar 1991 hal 15-86. Universitas Sumatera Utara pembentukan Negara dan masyarakat pasca kolonial, yang oleh Alavi di sebut sebagai “post colonial-state” atau Negara pasca kolonial. 69 69 Duto Sosialismanto, Op.Cit, hal.76. Berdasarkan pengalaman sejarah pada umumnya Negara yang bersifat otonom mandiri didunia ketiga itu berada diatas kepentingan kelas. Disini peran Negara relatif punya kekuatan untuk menghadapi dan memperlemah perkembangan masyarakat sipil di dunia ketiga. Negara adalah pemegang inisiatif dan bertindak sebagai komite kecil yang memperjuangkan kepentingan kelas tertentu, Negara mengembangkan kepentingan sendiri yang seringkali berbentuk klaim kepentingan Negara, kepentingan pembangunan, kepentingan nasional, kepentingan kraton dan bahkan kepentingan masyarakat. Peran Negara dalam masyarakat kolonial sangat dominant. Kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi diluar Negara tidak dapat mendominasi kebijaksanaan Negara. Negara dapat menunjukkan kebijaksanaannya sendiri, akan tetapi kebebasan Negara itu bersifat relatif. Oleh sebab itu, dapat di pahami bahwa menguatnya Negara Indonesia masa Orde Baru sekarang memiliki sebab-sebab dan akar histories yang panjang dan sosiologis yang mendalam. Yang menyebabkan munculnya suatu bentuk struktur masyarakat pasca kolonial dimana Negara menjadi sangat dominan terhadap perkembangan masyarakat sipil. Universitas Sumatera Utara 1.3 Peran Birokrasi dan Kontribusi Pendekatan Kultural Sosio- Histroris Terhadap Negara Kuat di Indonesia. Birokrasi mempunyai arti penting dalam pemerintahan. Bahwa pengertian birokrasi dan pemerintah sama dengan Negara, artinya adanya suatu pengertian bahwa apa yang menjadi fungsi Negara sama dengan apa yang dilakukan di perankan oleh birokrasi. Sumbangan penting tehadap menguatnya Negara dalam tradisi sosio-historis masyarakat Indonesia,datang dari kalangan pendekatan kultural. Perkembangan pendekatan kultural ini tidak lepas dari perkembangan ilmu-ilmu sosial dan perjalanan sejarah Indonesia. 70 Perilaku dan pembentukan birokrasi didunia ketiga yang represif dan otoriter menjadi kajian dan pangkal tolak pembahasan Negara bagi para teoritisi kultural. Ini lebih banyak di ambil dari kenyataan bahwa apapun rezim yang berkuasa, para pemimpin otoriter yang ada di dunia ketiga yang sedang menggejala itu biasanya sangat bergantung kepada birokrasi untuk merumuskan dan melaksanakan administrasi kebijakannya dan juga pada pihak militer demi keamanan nasional. Oleh karena itu munculnya kajian terhadap birokrasi sipil maupun militer di Indonesia sebagai mesin kekuasaan sangat relevan dengan proses munculnya Negara. Dengan Kebutuhan akan adanya sebuah birokrasi baik militer maupun sipil yang kuat dan suatu sistem politik yang mampu mendukung stabilitas dan strategi pembangunan. 70 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1968-1971, Jakarta: LP3ES ,1989, hal. Xiv. Universitas Sumatera Utara menggunakan pendekatan historis mencatat adanya persamaan gaya pemerintahan Orde Baru dengan pemerintahan kolonial Belanda, karena keduanya mementingkan administrasi daripada politik dan menitikberatkan keahlian tehknis dan pembangunan ekonomi sebagai nilai-nilai yang utama. Analisa ilmiah tentang Indonesia yang kebanyakan diterbitkan pada dekade 1980-an, dapat digolongkan dan kebanyakan di dominasi oleh para pendukung kultural ini. Pertama adalah, pendekatan sejarah politik di Indonesia yang menekankan subordinansi kepentingan masyarakat society dibawah kepentingan Negara ini di wakili oleh Ben Anderson. Dengan demikian, peran birokrasi baik sipil maupun militer yang selama ini terjadi di Negara dunia ketiga menjadi jelas, khusunya di Indonesia yang di dominasi oleh pendekatan kultural. Telah menghasikan kesimpulan bahwa seiring dengan menguatnya Negara dibarengi dengan melemahnya masyarakat sipil. Terbukti dengan hilangnya indepedensi otonomi masyarakat di tingkat lokal. Kritik terhadap pendekatan kultural sosio historis terhadap semakin meluasnya birokrasi dan menjadikan Negara semakin menghegemoni didunia ketiga adalah sifat pendekatan kultural yang mengabaikan dan selalu menyederhanakan aspek dinamis dari Negara. 71 71 Mochtar Mas’oed, Ibid, hal xiii-xxi. Sebagai suatu kesatuan ekonomi dan politik kita tidak bisa menolak bahwa sekalipun Orde Baru mempunyai birokrasi yang otoriter dan birokratis juga akan selalu di Universitas Sumatera Utara tuntut untuk selalu responsive terhadap perkembangan masyarakat didalam negeri. Jika kita kembali kepada sejarah bangsa Indonesia, maka kita dapat melihat, bahwa sebenarnya Indonesia banyak mengadopsi secara langsung Negara pasca kolonial kepada tata hukum yang berlaku. Sehingga fenomena Negara kuat dan otoriter mudah di pahami. Negara dengan demikian mudah di pahami. Negara dengan demikian berkepentingan terhadap eksistensi diri dengan kepentingannya. Karena bagi Negara modern pasca kolonial hukum dan proses hukum merupakan unsur penting dalam hegemoni yang menetapkan dan mengabsahkan hubungan Negara dengan masyarakat. Secara lebih tepat Negara pasca kolonial sedikit banyak merupakan manipulasi kreatif dan hukum kolonial. Dalam konteks menguatnya Negara kuat Orde Baru, krisis-krisis di akhir pemerintahan Soekarno dengan adanya pergolakan G30SPKI dan protes-protes kaum agama, mahasiswa telah memunculkan militer dan birokrasi sebagai representasi dari Negara karena peningkatan peran mereka setelah adanya krisis Orde Lama selain tentu saja revolusi sosial kemerdekaan yang memunculkan Negara Persatuan Republik Indonesia. Munculnya Negara kuat di Dunia ketiga, di Indonesia khususnya, tidak terlepas dari paradigma dan strategi modernisasi pembangunan yang di anut oleh Negara itu. Ketika dominasi teori pembangunan modernisasi melanda dunia ketiga dan menjadikan industrialisasi sebagai pangkal tolak dari semakin menguatnya Negara yang otoriter dan birokratis. Realitas modernisasi dan industrialisasi dan terdapatnya rezim Negara yang Universitas Sumatera Utara penetratif terhadap perkembangan masyarakat sipil menjadikan kritik yang amat mengena terhadap pembangunan kapitalis. Secara teoritik, Negara dalam teori pembangunan modernisasi hanya di tempatkan pada studi sekunder tidak sentralistis, akan tetapi peran Negara secara empirik sangat kuat bahkan nyata dan otonom. Perspektif menguatnya Negara dalam pembangunan, akan di kaitkan dengan salah satu tema besar dalam pembangunan modernisasi, yakni industrialisasi. 72 72 Sritua Arief, Strategi Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang: Dari Ketergantungan Impor Sampai Ketergantungan Ekspor, Jakarta: UI Press, 1990, hal. 27. Orde Baru sejak kemunculannya membutuhkan sebuah legitimasi baru sesudah menang dalam sebuah perebutan kekuasaan 1960an. Oleh karena itu modernisasi menjadi suatu isu dan gerakan sentral di tahun-tahun itu. Perspektif yang muncul mengenai peranan Negara dalam masyarakat dunia ketiga berkaitan erat dengan asumsi-asumsi dasar yang melandasi teori modernisasi, yakni Negara di idealisasikan sebagai pendorong proses transisi yang di jalankan masyarakat. Secara keseluruhan dari masyarakat tradisional agraris menjadi masyarakat industrial. Teori ini berpendapat, bahwa terdapat hubungan yang erat antar proses industrialisasi yang dilakukan oleh Negara dunia ketiga dengan lahirnya Negara kuat. Menurut teori ini, semakin lambat suatu Negara melakukan proses industrialisasi atau pendalaman industrialisasi, maka semakin di butuhkan Negara yang kuat untuk mengontrol kekuatan-kekuatan dan perbedaan yang nyata pada peranan Negara. Universitas Sumatera Utara Di Indonesia, Negara lahir terlebih dahulu dari masyarakat. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Negara kolonial modern sejak zaman Gubernur Jendral Daendels 1808-11. Negara kolonial lahir terlebih dahulu dari masyarakat. Dan sifat Negara yang represif terhadap perkembangan masyarakat sipil. Besarnya dominasi Negara dan lemahnya unsur-unsur masyarakat inilah yang merupakan pangkal awal dari munculnya otoritarianisme Negara di Indonesia. Ketika Negara sekuler muncul dan berkembang dalam era pasca kolonial khususnya masa Orde Baru, sangat dirasakan kekuatan non-negara masyarakat sipil mengalami kemerosotan dalam peran dan fungsinya. 73 Selain hal-hal yang telah penulis ungkapkan di atas, terdapat perubahan lain di masa pemerintahan Orde Baru yang di pimpin oleh Soeharto dalam kaitan Negara dengan masyarakat sipil. Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia terutama dalam penyelenggaraan pemilu memiliki catatan penting di dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan pemilu di tahun 1971, terdapat pergantian rezim dan system kepartaian. Semenjak munculnya Orde Baru, Golkar muncul sebagai mesin politik pemerintah dan PPP muncul sebagai yang mendominasi. Oleh sebab itu di dalam dinamika dan kesinambungan dan perubahan yang terjadi pada saat terbentuknya kekuasaan Orde Baru yang dengan sendirinya membangkitkan kembali kekuatan-kekuatan politik partai yang berbasis massa Islam. Sebagai contoh: PPP yang mengubah asasnya dari Pancasila menjadi Partai yang berazas Islam dan munculnya PAN yang banyak didukung oleh Muhamadiyah semakin 73 Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan Jawa, Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001, hal.123 dalam Muhammad A.S Hikam, “Negara Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan Dalam Politik Indonesia”, Prisma LP3ES, No. 3 Mar 1991 hal 15-86. Universitas Sumatera Utara melengkapi kekuatan-kekuatan politik yang mengandalkan kekuatan-kekuatan politik pada massa Islam dan sisanya berbagi pada partai yang berbasis massa Nasionalis seperti PDI-P. Dalam pemilu 1971-1997 peta politik pemilu mengalami perubahan tatkala Orde Baru muncul sebagai kekuatan golongan politik dan setelah rekstrukturisasi politik yaitu terkait dengan system kepartaian yaitu “kebijakan fusi” antara unsur-unsur Islam dan non Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan dan PDI-P. Akan tetapi setelah runtuhnya Orde Baru ternyata memberikan dampak kepada Golkar dan partai-partai lainnya. Hal ini yang menjadi masalah setelah runtuhnya Orde Baru. Dominasi politik Partai Islam berhadapan dengan Partai Nasionalis 1971. Pilihan politik masyarakat mengalami perubahan pilihan partai politik masyarakat. Semenjak masa fusi 1971 partai politik berubah menjadi 3 tiga yaitu PPP, PDI-P, dan Golkar. Semenjak Orde Baru, melalui Golkar ternyata mampu membalikkan dominasi partai Islam. Peranan Golkar yang bercorak nasionalis sekuler tampil menjadi satu-satunya kekuatan dominant. Bahkan pada pemilu tahun 1978 partai-partai politik yang bercorak Islam tidak dapat menandingi partai politik Golkar. Kemenangan Golkar itu merupakan cerminan atas kekuatan rezim Orde Baru dan munculnya kepercayaan para pemilih dalam hal ini adalah masyarakat yang pada saat itu Golkar mengutamakan jargon stabilitas dan pembangunan politik. Dengan demikian terjadi perubahan terhadap pola pemilihan partai oleh masyarakat. Maka secara garis besar ada dua pilihan partai politik yang berasal dari masyarakat yaitu : Partai Politik yang bercorak Islam dan Nasionalis Sekuler. Sepanjang pemilu 1971-1997 proses kebijakan Partai Politik yaitu restrukturisasi, Universitas Sumatera Utara dalam bentuk Fusi Partai Politik PPP,Golkar, dan PDI-P.Semenjak diadakannya kebijakan Fusi itu, maka keberadaan Partai Politik Islam semakin kecil karena keberadaan mereka di hilangkan dari percaturan politik nasional Indonesia. Dengan demikian kiprah Partai-partai politik Islam tidak tampak lagi dalam pemilu berikutnya. Hal ini di sebabkan karena sudah di lebur pada PPP. Sehingga dengan melalui kebijakan Fusi, Golkar yang pada saat itu mendominasi suara pemilu menjadikan Negara kuat. Yang di kuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Pilihan masyarakat pada saat itu didasarkan pada keharusan atau kewajiban secara paksa yang dilakukan pemerintah kepada golongan-golongan tertentu dalam masyarakat. Sebagai contoh, Pegawai Negeri yang berkewajiban memilih Partai Golkar dalam pelaksanaan Pemilu. Menguatnya Negara pada masa itu di sebabkan karena kemenangan Golkar yang pada akhirnya menguasai birokrasi pada rezim Soeharto. Dengan demikian kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dipandang sedemikian rendah sehingga hanya dijadikan pendukung dan legitimasi. Negara dalam masyarakat modern yang demokratis ini, seharusnya pembentukan kesatuannya dibentuk oleh perkembangan masyarakat itu sendiri,bukan oleh pemerintah atau Negara. Oleh karena itu usaha pencapaian demokratis harus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat lambat laun menuntut hak berdialog, dan akhirnya untuk mengatur Negara dan kekuasaannya atas masyarakat. Usaha untuk membentuk Negara dalam masyarakat modern ini telah pula dimulai semenjak Negara kolonial, melalui serangkaian respon dan gerakan masyarakat. Respon terhadap Negara tidak hanya dilakukan oleh suatu gerakan Universitas Sumatera Utara politik yang terorganisir tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum secara luas maupun kelompok. Demikian juga respon atau gerakan itu bahkan juga dilakukan oleh masyarakat dalam setiap pergantian Negara kekuasaan Negara, seperti tahun 1942, 1945, 1950, 1957,-1959 dan 1985. Demikian juga halnya yang dapat kita amati dengan apa yang terjadi dengan proses melemahnya masyarakat sipil yang terjadi pada masyarakat sipil di pedesaan Jawa. Dalam penelusuran teori menguatnya Negara nampak dari waktu kewaktu masyarakat sipil dipedesaan Jawa selalu mengalami pergolakan baik secara ekonomi maupun politik. Indonesia adalah Negara yang didominasi militer dan elite birokrat tehnokrat yang legitimasinya dibangun berdasarkan konsep “stabilitas nasional”, semangat antikomunis dan akumulasi capital melalui kolaborasi dengan kapitalis asing maupun lokal. Akan tetapi perkembangan baru yang terjadi telah memaksa legitimasi-legitimasi dari Negara tersebut mengalami krisis. Oleh banyak ilmuan social krisis-krisis tersebut salah satunya disebabkan oleh semakin dominannya Negara, yang membawa konsekuensi pada keterbelakangan masyarakat sipil. Dalam konteks Negara Orde Baru, para ilmuan berpendapat bahwa Negara Orba tersebut telah melakukan hal yang spektakuler. Yakni membangun pemerintahan yang paling stabil selama 26 Tahun jarang mengalami goncangan politik yang berarti. Bahkan Orde Baru adalah pemerintahan yang paling responsive terhadap masyarakat. Di sisi lain, LSM dipandang perlu sebagai kekuatan alternative dalam bentuk kelembagaan dan pendorong terhadap kemandekan kreatifitas dan partisipasi dalam proses pembangunan pedesaan selama ini. LSM cepat atau Universitas Sumatera Utara lambat ketika berhubungan dengan Negara akan secara rasional melakukan respon terhadap kepentingan politik. Organisasi Non Pemerintahan muncul sebagai alternatif terhadap pembangunan masyarakat bawah terutama dipedesaan. Nama ini semenjak 1978 berganti menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat, karena Organisasi Non Pemerintahan dianggap mengandung makna “anti pemerintahan” dan mulai Oktober 1981 perubahan istilah tersebut dipandang resmi. Istilah tersebut mengadung pengertian organisasi yang berasal dan dibentuk sendiri oleh masyarakat yang menaruh perhatian pada suatu masalah tertentu. Kegiatan yang dilakukan LSM sendiri berkaitan langsung dengan masyarakat, seperti pengembangan pertanian, kredit pedesaan, bantuan hukum, teknologi tepat guna, kesehatan masyarakat, dll yang mengarah pada penciptaan program-program kemasyarakatan yang praktis. Kegiatan LSM ini berangkat dari anggapan bahwa pemerintah tidak selamanya mengetahui persoalan-persoalan dalam kehidupan secara jelas sampai ketingkat yang paling bawah. Begitu banyak masalah dalam masyarakat. Pemerintah sendiri tidak akan mungkin mampu melaksanakan atau mengatasi semua masalah tersebut. Telah tampak pula, bahwa komunitas LSM Indonesia telah berperan memperkuat masyarakat sipil melalui berbagai strategi mereka untuk merangsang pembentukan kelompok-kelompok otonom Masyarakat sipil merupakan wacana yang dapat ditampilkan dari berbagai sudut pandang. Masyarakat sipil pada umumnya dimaknai sebagai suatu ruang atau wadah bagi partisipasi masyarakat. Ruang ini mencakup Organisasi Non Pemerintahan Ornop, mahasiswa, organisasi keagamaan, petani dan buruh yang Universitas Sumatera Utara bukan menjadi bagian Negara dan sektor bisnis. Selain sebagai konsep untuk menyatakan realitas, masyarakat sipil juga dapat dipahami sebagai tipe ideal dalam mewujudkan sebuah masyarakat yang diharapkan dalam suatu Negara. Salah satu sisi yang dapat di jadikan sebagai bahan pembanding tentang hubungan masyarakat dengan Negara adalah tampilnya Organisasi Non Pemerintahan Ornop. Ornop sebagai representasi gerakan masyarakat sipil dalam konteks politik Indonesia masih belum begitu jelas, khususnya dalam hal kemampuan mereka membangun dan menata kemandirian sebagai masyarakat sipil. Semenjak runtuhnya kekuasaan Rezim Orde Baru pada Tahun 1998 silam hingga memasuki babak yang baru yaitu, masa era reformasi, masyarakat sipil menjadi sebuah fokus penting dalam wacana politik yang mulai dikenal secara luas. Akar akar gerakan masyarakat sipil di Indonesia sendiri telah tertanam jauh sebelum era Orde Baru. Hal itu tampak mulai dari zaman kolonial. Terbentuknya masyarakat sipil sebagai sebuah indikasi keberdayaan dan kesadaran masyarakat dalam memperjuangkan kepentingan dan partisipasi politik yang otonom yang tidak terlepas dari kebijakan Negara. Negara pada era reformasi tampak jauh lebih membuka ruang yang luas untuk menampung aktor-aktor demokrasi. Sangat berbeda dengan realitas yang kita temukan pada era sebelumnya. Yaitu pada masa Orde Baru dibawah kekuasaan Soeharto. Tampaknya hampir tidak ada ruang yang diberikan bagi keberadaan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingannya. Kebebasan sungguh sangat dibatasi, bahkan cenderung tidak lagi sesuai dengan UUD 1945 secara khusus Pasal 28 tentang hak-hak asasi manusia. Pada era Soeharto, tidak memberikan toleransi pada kemajemukan politik. Universitas Sumatera Utara Pada masa Orde Baru sendiri, kita juga dapat melihat hubungan antara Desa dan Negara di pedesaan Jawa. Tuntutan dari masyarakat desa yang semakin kompleks dan berubah ketika berhadapan dengan perilaku rezim Negara, semakin membutuhkan kejelasan yang semakin memadai. Hubungan antara masyarakat desa dengan Negara pada masa Orde Baru, kita bisa melihat perilaku Negara yang represif-otoriter-intervensionis terhadap perkembangan masyarakat sipil. 74 Berikut merupakan kesimpulan yang dapat diambil dari penelusuran antara masyarakat desa dengan Negara : Terjadi melemahnya masyarakat sipil dipedesaan oleh karena sebab-sebab khusus Negara, sehingga Negara menjadi relative mandiri dan otonom. Dan proses berikutnya Negara menjadi semakin jauh dari perkembangan masyarakat sipil. 75 1. Dalam perspektif Negara dan masyarakat state society, hubungan antara desa dan Negara dengan melihat teori menguatnya Negara telah menunjukkan adanya suatu tingkat ketegangan antara sektor Negara dengan sektor masyarakat di pedesaan. Oleh karena itu dalam setiap periode sejarah, hubungan antara desa dan Negara selalu terdapat kontradiksi-kontradiksi di sekitar masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Kontradiksi itu antara lain adalah bahwa setiap institusi yang berhubungan dengan desa akan bersifat korup, monopolistic dan otoriter. 2. Realitas semakin menguatnya Negara di Indonesia berjalan dalam kurun waktu yang cukup panjang sehingga mengalami pasang- 74 Duto Sosialismanto, Ibid, hal.303 Universitas Sumatera Utara surut, dengan demikian berpengaruh pula dalam perkembangan masyarakat sipil di pedesaan jawa. Konsekuensinya telah terjadi peningkatan peran rezim Negara yang dibarengi dengan semakin melemahnya kekuatan politik rakyat dipedesaan Jawa. Hampir dapat dipastikan dalam kurun waktu rezim Negara apapun keberadaan yang kuat dengan seperangkat kekuasaannya militer dan birokrasi selalu menghadirkan tekanan yang berakibat pada hilangnya otonomi masyarakat sipil di pedesaan. 3. Realitas watak dasar dari Negara yang represif dan otoriter Indonesia dapat dijelaskan dan dipahami dari hasil penelusuran secara histories-struktural terhadap teori Negara. Sejak dulu Jawa sama sekali tidak pernah menghadirkan suatu kebudayaan politik yang demokratis. Aspek dasar yang tidak demokratis itu diwujudkan dalam bentuk dominasi oleh yang kuat terhadap masyarakat yang lemah, kenyataan seperti itu hampir pada setiap kehidupan masyarakat. Fenomena penindasan, ketidakberdayaan dan ketergantungan pada keputusan elit atau Negara tentang hampir segala soal kemasyarakatan. Telah terbukti, dalam penulisan sejarah pedesaan bahwa sejarah masyarakat tani dan buruh adalah sejarah yang penuh kegetiran, dan kekalahan masyarakat lemah. 4. dalam memahami hubungan antara Negara dan masyarakat sipil di Jawa semakin kompleks dan intensif hanya dalam Negara Orde 75 Duto Sosialismanto, Ibid, hal. 303. Universitas Sumatera Utara Baru. Hubungan antara desa dan Negara dalam konteks Negara Orde Baru sekarang ini dimungkinkan hanya karena dukungan situasi politik hubungan itu sebelumnya. Negara tidak pernah bertindak dalam situasi vacum. Negara Orde Baru secara terencana melaksanakan suatu transformasi masyarakat dari tradisional- agraris menuju kemasyarakat kapitalis-industrial. Peran dominan Negara dalam menentukan realitas politik Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari dasar pemikiran strategi pembangunan Nasioanal yang diterapkan oleh rezim Orde Baru. Ideologi pembangunan nasional Orde Baru lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dan ketertiban atau stabilitas politik, aspek politik menjadi penunjang dan diabdikan untuk kepentingan stabilitas dan keamanan 76 76 Mochtar Mas’oed, Op.cit, hal.147 . Penekanan pada masalah ketertiban-stabilitas- keamanan membuat rezim bisa membangun Negara yang kuat strong state. Sebagaimana yang dikatakan Presiden Soeharto waktu itu, salah satu tujuan Orde Baru yang paling penting adalah membangun masyarakat baru yang merasa aman, menikmati arti penting ketertiban, dan mengejar kemajuan dalam suasuana kestabilan. Untuk tujuan itu digunakan sejumlah strategi, antara lain mengkooptasi pelbagai kekuatan sosial politik lewat pembentukan wadah-wadah perwakilan kepentingan. Partisipasi politik masyarakat yang dibutuhkan oleh sistem politik bersifat semu, karena semua telah diarahkan dan disalurkan melalui sejumlah organisasi koorporatis yang sebahagian besar dibentuk dan dikontrol oleh Negara. Universitas Sumatera Utara Negara Orde Baru dengan perangkat aparatusnyaa berusaha sedemikian rupa mengontrol berbagai ruang publik public sphere. Ruang gerak kelompok masyarakat sipil dibatasi dan diawasi dengan berbagai cara. Stigma sebagai gerakan terlarang akan selalu diberikan bagi mereka yang membangkang, dan ini merupakan cara yang paling ampuh untuk membungkam serta menghambat suara- suara kritis dan aktivitas masyarakat sipil. Meskipun demikian, ditengah struktur Negara otoriter semacam itu, tetap bermunculan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang terus-menerus berupaya mengisi ruang sempit yang tersisa dengan melakukan perlawanan terbuka maupun secara diam-diam. Akibat dari aktivitas mereka yang berseberangan dengan kepentingan Negara dilakukannya penangkapan, pemenjaraan, penculikan, penghilangan paksa, dan berbagai bentuk tekanan politik lainnya. Konflik elite menghadirkan konfigurasi politik baru di Indonesia. Soeharto kemudian berpaling memainkan kartu Islam menghadapi militer dan gerakan prodemokrasi yang mulai berani menentangnya. Soeharto mendorong pendirian ICMI yang berguna untuk mobilisasi dukungan umat Islam. Berdirinya ICMI memicu ketegangan serius ditubuh militer, kebingungan, dan frustasi dikalangan gerakan prodemokrasi yang baru, serta perdebatan serius dalam komunitas Islam sendiri. Sekalipun terjadi konflik elite, dominasi Negara atas masyarakat masih kuat. Meski demikian sebagaian orang memandang dominasi itu tidak lagi sehebat dambaan para pemimpin otoriter. Sejumlah masyarakat sipil dengan sejumlah besar LSM yang relative independent saat itu telah muncul dan kemampuan Negara dalam mengontrol dan menekan pembangkangan masyarakat semakin Universitas Sumatera Utara surut. Doktrin otoritarian dimana hegemoni Orba dibangun menjadi semakin usang dan kehilangan manfaat. Struktur ide itu sedang menderita serangan dari berbagai aktor prodemokrasi. Era keterbukaan politik itu ternyata bersemi sesaat saja, sebab mulai 1994 Soeharo kembali memainkan kontrol represifnya. Penangkapan dan tindakan- tindakan represif terhadap para demonstran kembali dilakukan. Statemen- statemen intimidatif dan stigmatif juga sering dilancarkan pemerintah terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat prodemokrasi untuk mendemoralisasi dan melemahkannya. Merespon hal tersebut, gelombang aksi protes muncul dari sejumlah kota. Protes paling keras atas tindakan pemerintah berasal dari sebagian kelas menengah perkotaan. Di Indonesia, fenomena itu pertama kalinya terjadi, sebab sebelumnya kelas menengah dianggap apatis pada politik. Aksi itu dibangkitkan oleh kesadaran akan hak untuk mengakses informasi yang bebas dan independent. Sementara itu Negara semakin gencar menekan kelompok-kelompok kritis, kekuatan elemen-elemen prodemokrasi ini belum bisa mengimbangi dominasi Negara. Namun tidak diragukan lagi, bahwa basis-basis masyarakat prodemokrasi mengalami penguatan yang cukup signifikan sejak tahun-tahun sebelumnya. Penguatan itu terus menebal menyusul letusan tragedy 27 Juli 1996 yang bermula dari konflik intern PDI dengan campur tangan NOB. Tragedy itu memperjelas peta tarik-menarik kekuatan antara Negara dan masyarakat. Negara berusaha mempertahankan status quo yang otoritarian versus rakyat yang berjuang Universitas Sumatera Utara keras menegakkan demokrasi. Tragedy tersebut telah menyuplai energi militansi elemen prodemokrasi, juga menggugah akan pentingnya merapatkan barisan kekuatan rakyat terhadap Negara.

2. Hubungan Pemerintah Pusat-Pemerintah Daerah Pasca Soeharto