Paham Integralistik HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO

BAB II HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA

SOEHARTO DAN HUBUNGAN PUSAT-DAERAH PASCA SOEHARTO DALAM KERANGKA SISTEM POLITIK INDONESIA

1. HUBUNGAN NEGARA-MASYARAKAT PADA ERA SOEHARTO

1.1 Paham Integralistik

Dengan analisis state-civil society, dapat kita ketahui bahwa dalam era kepolitikan orde baru hubungan keduanya masih sangat lemah, bahkan dapat dikatakan belum tercipta sama sekali. Negara dalam masa Orde Baru muncul sebagai kekuatan utama yang dominan dalam pengelolaan sosial, ekonomi, dan politik. Negara melakukan penguatan kekuasaan yang dalam terhadap semua sektor kehidupan masyarakat dengan metode hubungan patront-client, institusionalisasi sosial-politik, koorporatisme Negara, dan hegemoni ideologi. 43 43 Muhammad A.S Hikam, Demokrasi Melalui Civil Society,sebuah Tahapan Reflektf Indonesia, Dalam : Prisma, No.II 1993, hal. 62 Secara teoritis, Negara Orde Baru adalah Negara organis dengan sifat pluralis dalam state. Namun demikian, strategi koorporatisme tidak begitu berhasil karena tidak terciptanya sistem perwakilan kepentingan sebagaimana yang semula diharapkan. Misalnya, KNPI belum mampu mewakili aspirasi kepentingan pemuda, MUI belum dapat mewakili aspirasi kalangan ulama Islam, dan SPSI belum dapat membela keinginan dan tuntutan kalangan buruh. Universitas Sumatera Utara Menurut Langenberg, “Orde Baru adalah Negara sekaligus sistem Negara menunjuk kepada aspek kelembagaan, sedangkan sistem Negara kepada sistem jaringan eksekutif, militer, parlemen, dan birokrasi”. 44 Untuk menguatkan control Negara terhadap masyarakat digunakan beberapa ideology: 1 Pancasila sebagai falsafah Negara. Dilahirkan pula konsep Negara Pancasila dengan sub-sub bagiannya, Seperti Sistem Politik Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila2 Dwifungsi ABRI, yang dalam hal ini ABRI mewakili Negara 3 Konsep Bhineka Tunggal Ikad dan wawasan Nusantara 4 Konsep kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, yang sejajar dengan ideology Negara integralistik-organis atau Negara organik-koorporatis. 45 Selain itu, Orde Baru memperkenalkan “ideologi pembangunan” yang secara konsisten menjadi doktrin yang ampuh untuk memelihara status quo. Pembangaunan sangat bergantung pada sistem Negara dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan. Menurut Langenberg, Pancasila, UUD1945, dan dwi fungsi ABRI digunakan untuk menekankan kehidupan konstitusional, memelihara stabilitas politik, dan membina kesadaran politik dalam rangka mencegah terulangnya instabilitas politik pada tahun 1950-1960an. 46 Berbagai model kepolitikan Orde Baru telah dikemukakan oleh banyak pengamat politik Indonesia, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. 44 Abdul Azis, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996 dalam: Michael Van Langenberg, The New Orde State: Language, Ideology, Hegemony, dalam Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Glen Waverllen, Australia: Aristoc, 1990, hal.122. 45 Abdul Azis ,Ibid, hal 122. 46 Abdul Azis, Ibid, hal 127. Universitas Sumatera Utara Model-model tersebut berupaya menciptakan semacam bangunan dalam memahami kehidupan politik di Indonesia. Dalam paham Integralistik, Negara menjadi mutlak. Kedaulatan Negara mengatasi kedaulatan rakyat. Paham ini bersifat totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam Negara. Dalam Negara yang terpenting adalah , “keseluruhan”, bukan “bagian-bagian”. Namun sebagaimana diketahui, founding fathersI yang bersidang menyusun UUD 1945 menolak gagasan Soepomo tersebut. 47 Sehingga dapat dipahami penggunaan paham integralistik akhir-akhir ini lebih banyak bersifat politis daripada menyangkut hukum tata Negara, khususnya tidak merujuk pada paham integralistik versi Soepomo. Dalam GBHN 19931998 bahkan tertera kalimat yang menyatakan bahwa paham integralistik menjadi penuntun pembangunan nasional. Apakah yang dimaksud dengan paham integralistik “versi baru” ini? Paham ini menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas, sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia disamping sebagai makhluk individu juga adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu diikat oleh kepentingan umum yang Dalam pasal-pasal UUD 1945 ditemui gagasan yang bertolak belakang dengan paham integralistik. Misalnya, pasal 28 menjadi hak-hak dasar manusia. Semula Soepomo menolak pasal ini. Dalam UUD 1945 juga ditemui voting, sedangkan menurut paham integralistik, kepala Negara tidak dipilih, tetapi diangkat. Universitas Sumatera Utara lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengatasi kepentingan individual yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual. Dengan demikian, sebagai satu keluarga besar dengan Negara sebagai “kepala keluarga”, semua anggotanya diwajibkan bekerja demi kepentingan umum atau kepentingan seluruh keluarga. Kepentingan individupun harus diabdikan untuk kepentingan tujuan keluarga. Sebagai satu keluarga tentu saja segenap anggotanya hidup dengan harmonis, rukun dan saling menghargai, serta patuh kepada kepala keluarga. Bila ia melanggar hal ini, berarti dianggap tidak mengabdi kepada kepentingan umum dan harus berhadapan dengan seluruh keluarga karena menggangu harmonisasi kehidupan sosial. Dalam keadaan yang demikian, oposisi dilarang dan dikritik terbuka ditabukan. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak dikenal tirani mayoritas atau minoritas, demikian pula sebaliknya. Maka dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa pada Negara dengan paham integralistik di Indonesia hubungan masyarakat sipil dengan Negara tidak menunjukkan adanya keterbukaan satu dengan yang lainnya. Selain itu juga kita dapat melihat hak-hak dasar manusia tidak sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Negara tidak dengan terbuka melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebagai contoh, Kepala Negara tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan diangkat sendiri oleh jajaran pemerintahan yang lainnya. 47 Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994, hal Universitas Sumatera Utara Paham integralistik tidak menunjukkan adanya demokratisasi, karena kekuasaan Negara dalam hal ini adalah mutlak. Dan lagi didalamnya tidak diperkenankan kelompok oposisi dan kritik yang datangnya dari masyarakat untuk Negara tidak diperbolehkan.

1.2 Negara Pasca Kolonial