Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare
3. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare
Cyber-Warfare seperti dijelaskan sebelumnya dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk konflik bersenjata. Sebagai suatu konflik bersenjata, tentunya alat atau metode berperang bernama cyber-warfare yang digunakan para pihak haruslah tunduk pada ketentuan hukum humaniter internasional.
Hukum humaniter internasional hanya berlaku pada cyber- attack dalam konteks konflik bersenjata. Ketika cyber-attack memenuhi kriteria konflik bersenjata internasional sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya (Article 2 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 dan Article 1 (4) Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949), maka dapatlah dikatakan cyber-attack itu bagian dari cyber-warfare.
Ketika cyber-warfare sebagai konflik bersenjata internasional itu termasuk hal yang tunduk pada ketentuan hukum humaniter internasional, muncul permasalahan yaitu belum adanya konvensi- Ketika cyber-warfare sebagai konflik bersenjata internasional itu termasuk hal yang tunduk pada ketentuan hukum humaniter internasional, muncul permasalahan yaitu belum adanya konvensi-
Konvensi internasional mengenai cyber-warfare sangatlah dibutuhkan, mengingat secara teknis dunia virtual yang bernama cyber/cyberspace itu tidak semua orang dapat memahaminya apalagi jika dikaitkan dengan suatu konflik bersenjata internasional. Butuh suatu kerjasama antara ahli-ahli dalam bidang Informasi Teknologi dan dalam bidang hukum untuk membuat suatu ketentuan spesifik mengenai cyber-warfare.
Gambaran urgensi penerapan hukum humaniter internasional terhadap cyber-warfare ini melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh beberapa organisasi internasional untuk menghadapi segala bentuk ancaman cyber termasuk juga cyber-warfare dalam rangka menjawab tantangan cyber dimasa depan. Seperti dikatakan pada materi publikasi UNIDIR:
While most of the concrete work on cyberdefence is organized by states, international organizations can discuss, coordinate, and develop proposals to enchance global strategies for the creation of appropriate regional and international structures,
institutions, and policies. 156 This spectrum of work ranges from
156 The Cyber Index: International Security Trends and Realities, (New York & Geneva: UNIDIR (United Nations Inst it ute of Disarmament Research), 2013), halam an 93.
establishing or strengthtening norms and principles to prevent the malicious use of new cyber technologies, to brokering of agreements about the application of the law or armed conflict, to promoting national prevention of, preparation for, response
to, and recovery from cyber incidents. 157 For these purposes, international organizations have the power to bring together
the most relevant actors in the cybersecurity domain – governments, the private sector, civil society, and individual
citizens. 158
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
Majelis Umum PBB (MU-PBB) telah menyetujui sejumlah resolusi terkait dan relevan dengan ICT dan keamanan cyber (cyber- security ) yang telah disiapkan untuk menarik perhatian negara-negara
anggota PBB dalam menghadapi tantangan cyber di masa depan. 159 Masalah terkait telekomunikasi dan keamanan informasi
(telecommunication and information security) menjadi agenda pembahasan PBB sejak Federasi Rusia pada tahun 1998 mengajukan draft resolusi nomor A/35/576 kepada komite pertama MU-PBB yang kemudian disahkan menjadi resolusi nomor A/53/70 pada Januari
1998. 160 Resolusi nomor A/53/70 ini kemudian mengalami berbagai pembaharuan sampai dengan resolusi nomor A/68/243 pada 27
Desember 2013. Resolusi yang berjudul “Development in The Field of
157 Ibid. 158 Ibid. 159 Ibid., halaman 94. 160 Ibid.
Information and Telecommunication in The Context of International Security” ini yang menjadi pembahasan adalah:
1) Keamanan informasi (information security);
2) Definisi atau pengertian dasar dari gangguan yang tidak sah dengan penyalahgunaan informasi dan keamanan telekomunikasi (definition of basic notions regarding unauthorized interference with or misuse of information and telecommunications systems );
3) Memperkuat keamanan informasi dan telekomunikasi dunia (strenghtening global information and telecommunications security );
4) Usaha-usaha di tingkat negara (national level efforts);
5) Kerjasama dalam komunitas internasional (cooperation in the international community )
Pada tahun 2003 dan 2004 MU-PBB juga mengeluarkan dua resolusi terkait tema pembahasan “Global Culture of Cyber Security and The Protection of Critical Infrastructures” yaitu resolusi nomor
A/57/239 dan A/58/1999. 161 Hal-hal yang dibahas dalam resolusi ini antara lain:
1) Resolusi nomor A/57/239 membahas tindakan tepat pada waktunya dan sikap kerjasama untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi peristiwa keamanan cyber;
161 Ibid.
2) Resolusi nomor A/58/1999 membahas undangan untuk organisasi internasional yang relevan dengan masalah dan negara-negara anggota yang telah mengembangkan strategi keamanan cyber (cyber-security) dan perlindungan informasi infrastruktur vital, untuk membagi pengalaman praktek terbaik dan tindakan yang dapat membantu negara anggota lainnya dalam usaha-usaha terkait keamanan cyber (cyber-security).
Pada 12 September 2011 wakil-wakil dari China, Federasi Rusia, Tajikistan, Uzbekistan mengajukan permohonan draft proposal untuk pembuatan kode etik keamanan informasi dalam kerangka kerjasama PBB (International Code of Conduct for Information
Security in the Framework of the United Nations 162 ). Dalam draft tersebut diatur prinsip-prinsip dasar untuk memelihara keamanan
informasi dan jaringan, yang mana diatur bahwa setiap negara penandatangan berjanji untuk tidak menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, termasuk jaringan, untuk digunakan dalam pertempuran atau tindakan-tindakan agresi, dan menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia atau untuk memperbanyak senjata informasi dan teknologi yang berkaitan
dengannya. 163
162 Ibid.., halaman 96. 163 Ibid.
Dapat diringkas bahwa usaha-usaha PBB yang dilakukan diatas berintikan pada dua konsep yaitu:
1) Mengembangkan kerjasama internasional untuk menghadapi ancaman cyber (cyber-warfare, cyber-crime, cyber-vandalism, dll).
2) Melarang penggunaan cyber-warfare untuk digunakan dalam konflik bersenjata (dalam draft proposal International Code of Conduct for Information Security in the Framework of the United Nations ).