Skripsi Kajian Perang Sibernetika Cyber

“KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”

PENULISAN HUKUM Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh: Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM : 11010111130403 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG TH. 2015

HALAMAN PENGESAHAN KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Penulisan Hukum (SKRIPSI)

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro

Disusun Oleh: Nama : TRISUHARTO CLINTON NIM : 11010111130403

Penulisan Hukum dengan judul diatas telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak

Semarang, 10 Maret 2015

Mengetahui

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM. Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum. NIP. 195310291980121001

NIP. 196606071992031001

HALAMAN PENGUJIAN KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Dipersiapkan dan disusun oleh:

TRISUHARTO CLINTON NIM: 11010111130403

telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal 27 Maret 2014 Semarang.

Dewan Penguji

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A

NIP. 196211101987031004 NIP. 195811301987031001

Penguji I Penguji II

Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM. Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum NIP. 195310291980121001

NIP. 196606071992031001

Penguji III

Nuswantoro Dwiwarno, S.H., M.Hum. NIP. 196812231993031004

HALAMAN PERSEMBAHAN

Motto:

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat;

ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

(Matius 7:7)

If you fail to prepare, you’re preparing to fall.

Persembahan:

Karya penulisan hukum ini, penulis persembahkan untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasihNya;

2. Keluargaku Mama Darwati, Christopher Willianto, dan Dear Virgin Willona, dan seluruh keluarga besar saya, atas semua doa, kasih sayang, dan semua pengorbanan yang tidak terhingga kepada saya;

3. Sahabat-sahabat dan orang-orang yang saya kasihi, Antonius Samturnip, Andreas Adityo, Haryo Jati Kusumo, Tioplus Andar Bonar Hutagaol, Fadia Idzna, Silvana Mofaryani, Linggar Pradiptasari, Regina Wanda Anugrah Putri, Gracia Mungki Leona, Imam Bukhori, Dinindya Lintang Sekar Mayang, Anindya Vivi Restuviani, Maria Goreti Jutari Risma

Hanjayani atas kasih dan dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini;

4. Kawan-kawan seperjuangan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) terutama kawan-kawan GMNI komisariat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

5. Kawan-kawan ALSA (Asian Law Students’ Association) Local Chapter Universitas Diponegoro;

6. Kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, serta kawan- kawan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, atas segala dukungan, bantuan, dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini;

Tuhan Beserta kita semua.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karuniaNya-lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini yang

berjudul “KAJIAN PERANG SIBERNETIKA (CYBERWARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”. Adapun skripsi ini saya buat sebagai syarat pokok yang harus saya penuhi dalam rangka menyelesaikan studi S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro guna memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Dengan selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materiil. Untuk itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan cinta kasihnya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan dengan baik;

2. Prof. Sudarto, MES, Ph.D., sebagai Rektor Universitas Diponegoro;

3. Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro sekaligus selaku Dosen Wali saya;

4. Bapak Lapon Tukan Leonard, S.H., M.A., sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

5. Bapak Untung Dwi Hananto, S.H., M.H., sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

6. (Alm) Bapak Dadang Siswanto, S.H., M.Hum., sebagai mantan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

7. Ibu Peni Susetyorini, S.H., M.H., sebagai Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

8. Bapak Nuswantoro Dwi Warno, S.H., M.H. sebagai Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

9. Bapak Soekotjo Hardiwinoto, S.H., LLM., dan Bapak Dr. Joko Setiyono, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I dan II bagi skripsi saya, atas segala waktu, bimbingan, dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini;

10. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Diponegoro;

Sebagai manusia biasa, saya menyadari akan ketidaksempurnaan dari skripsi ini dan oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi segenap civitas akademika demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Semarang, 10 Maret 2015

Penulis

ABSTRAK

Kemajuan teknologi informasi komunikasi menjadikan berbagai infrastruktur bergantung pada adanya teknologi sibernetika. Oleh karena itu, muncul ancaman- ancaman terhadap sistem tersebut. Salah satu ancaman yang dibahas dalam kaitan studi hukum humaniter internasional adalah perang sibernetika, yang mana dilakukan oleh entitas-entitas tinggi seperti negara. Ancaman itu dikoordinasikan dengan angkatan bersenjata atau militer guna memperoleh keunggulan terhadap lawan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yang meliputi konvensi-konvensi, keputusan-keputusan, kebiasaan-kebiasaan hukum internasional, teori hukum, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan.

Serangan sibernetika yang dikoordinasikan dengan kepentingan militer memungkinkan munculnya perang sibernetika. Sampai saat ini belum ada ketentuan hukum internasional yang mengatur perang sibernetika sebagai sebuah konflik bersenjata internasional, namun terdapat analogi korelasi prinsip atau asas dalam hukum humaniter internasional terhadap perang sibernetika.

Kata kunci: sibernetika, perang, konflik bersenjata internasional, hukum humaniter internasional

ABSTRACT

The advancement of information and communication technology have been make various infrastructure depend on cyber technology. Therefore, emerging threats to that system. One of the threats which discussed relating to study of international humanitarian law is cyber-warfare, which is done by high entities such as State. Threats coordinate with armed forces or military in order to gain an edge towards enemy.

The research methods used in this study is juridicial normative methods, that is a research that using secondary data which covers conventions, decisions, customary international law, law theory, and documents which related to the problems.

Cyber-attack that is coordinate with military objective allowing the emergence of cyber-warfare. Until this moment there are no international law regulation that regulate cyber-warfare as international armed conflict, however there is correlation of analogy with principal of international humanitarian law against cyber-warfare.

Keyword: cyber, warfare, international armed conflict, international humanitarian law.

LAMPIRAN

1. Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating To The Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), of 8 June 1977

2. United Nations General Assembly Resolution: Development In The Field of Information and Telecommunications in The Context of International Security.

a. A/RES/53/70, 4 Januari 1999

b. A/RES/55/28, 20 Desember 2000

c. A/RES/56/19, 7 Januari 2002

d. A/RES/57/53, 30 Desember 2002

e. A/RES/58/32, 18 Desember 2003

f. A/RES/59/61, 16 Desember 2004

g. A/RES/60/45, 6 Januari 2006

h. A/RES/61/54, 19 Desember 2006

i. A/RES/62/17, 8 Januari 2008 j. A/RES/63/67, 12 Januari 2009 k. A/RES/65/41, 11 Januari 2011 l. A/RES/67/27, 11 Desember 2012 m. A/RES/68/243, 27 Desember 2013

3. The Cyber Threat Landscape

4. Cyber Attack Process

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang merupakan sebuah kenyataan sejarah manusia. Dalam setiap periode waktu, manusia saling berperang satu sama lain demi kepentingan suku, bangsa, agama, dan rasnya masing-masing. Banyak faktor penyebab terjadinya perang, antara lain persaingan ekonomi, penyebaran ideologi, kehormatan, dan kejayaan.

Perang secara umum dapat dipahami sebagai cara kekerasan yang ditempuh suatu bangsa atau negara untuk menyelesaikan masalah atau konflik dengan bangsa atau negara lainnya, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil. Thomas Rid dalam bukunya “Think Again Cyberwar ” menyatakan bahwa Seorang Jendral Prusia era Perang Napoleon yaitu Carl von Clausewitz mendefinisikan perang sebagai an act of violence to compel our opponent to fulfil our will atau yang berarti sebuah tindakan kekerasan untuk menundukan lawan atau musuh untuk

memenuhi keinginan kita. 1 Aktor dalam perang pada umumnya adalah negara melalui

pemerintah yang berkuasa di dalamnya. Ketika perang pecah, pemerintah

1 Thomas Rid, Think Again: Cyberw ar, (Washingt on DC: United St ates of America Department of Defense, 2012), halaman 11.

tersebut akan memerintahkan militer atau kekuatan bersenjatanya atas nama perintah negara untuk bertempur dengan pihak lain yang menjadi musuhnya.

Setiap pihak yang berperang, tentunya menginginkan kemenangan untuk melindungi kepentingannya masing-masing. Untuk memenangkan perang, diperlukan strategi perang yang tepat dan sesuai dengan perkembangan zaman, yang mana perkembangan zaman tersebut bersamaan dengan adanya perkembangan teknologi, terutama dalam kaitan perang adalah perkembangan teknologi persenjataan.

Pada saat ini berkembang teknologi persenjataan sibernetika (cyber-weapon) yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi internet dengan domain operasi yang dinamakan sibernetika (cyber-space). Berkat adanya teknologi cyber-space tersebut muncul suatu strategi perang baru yang mana perang tidak dilakukan secara konvensional yaitu dengan tembak menembak secara langsung, dan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan akibat yang sifatnya merusak. Perang seperti itu kemudian dikenal dengan perang sibernetika (cyber-warfare).

Cyber-warfare muncul karena banyaknya aktifitas manusia yang bergantung dengan teknologi cyber-space yang kemudian menjadikannya kepentingan yang sifatnya vital di setiap negara. Aktifitas manusia tersebut antara lain perbankan, perdagangan saham, media sosial, komunikasi, sampai pada kegiatan sehari-hari yang semuanya terhubung atau Cyber-warfare muncul karena banyaknya aktifitas manusia yang bergantung dengan teknologi cyber-space yang kemudian menjadikannya kepentingan yang sifatnya vital di setiap negara. Aktifitas manusia tersebut antara lain perbankan, perdagangan saham, media sosial, komunikasi, sampai pada kegiatan sehari-hari yang semuanya terhubung atau

Hampir seluruh aktifitas manusia yang terkomputerisasi itu memunculkan suatu ancaman terhadap cyberspace yang disebut dengan cyber-threat . Cyber-threat tersebut kemudian muncul dalam sebuah serangan terhadap cyber-space yang kemudian dikenal dengan cyber- attack . Aktor serangan (attackers) itu dapat berupa negara,

organisasi/kelompok, dan orang perorangan. 3 Dan apabila serangan tersebut meluas lingkupnya dapat menjadi sebuah perang yang terjadi

dalam cyber-space dan kemudian disebut dengan cyber-warfare. Cyber- warfare memungkinkan perang dilakukan dari jarak jauh, tanpa serangan langsung atau tembak menembak, dan cukup memanfaatkan domain internet cyber-space. Akibat yang ditimbulkan dapat bersifat psikis dan fisik yang biasanya terjadi ketika ada konflik yang sudah ada sebelumnya di beberapa negara.

Beberapa peristiwa yang pernah terjadi cyber-warfare di dunia diantaranya dalam perang Israel dengan kelompok Hezbollah pada tahun 2006, adapula pada konflik India dengan Pakistan (2010), kemudian konflik Iran dengan Amerika Serikat dan Israel (2010), serta pada konflik sengketa wilayah Crimea antara Rusia dengan Ukraina (2014). Cyber-

2 Ivan Hilmi Aviant o, Tinjauan Cyber W arfare Berdasarkan Hukum Humaniter Internasional (Studi Kasus: Perang Antara Rusia dan Georgia pada 7 Agustus 2008) , Art ikel Ilmiah, Fakult as

Hukum Universit as Braw ijaya, (M alang: UNBRAW, 2013). 3 St eve Wint erfeld dan Jason Andress, The Basics of Cyber W arfare: Understanding The

Fundamentals of Cyber W arfare in Theory and Pract ice , (Amst erdam: Syngress, 2013), halaman 13.

warfare yang terjadi dalam konflik-konflik diatas dapat dilihat bahwa cyber-warfare disebabkan dari latar belakang politik para pihak yang berkonflik layaknya sebuah konflik bersenjata.

Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China, Rusia sudah membekali militer atau angkatan bersenjatanya dengan unit khusus cyber-warfare. Hal ini menandai lahirnya kecenderungan cyber- warfare sebagai salah satu cara berperang di dunia saat ini. Dimungkinkan perang atau konflik-konflik yang terjadi di dunia pada masa mendatang akan mengurangi penggunaan tembak menembak secara langsung dan mulai menggunakan cyber-warfare sebagai cara melakukan serangan.

Dalam kaitan hukum internasional, terdapat disiplin ilmu yang membahas tentang ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam peperangan atau konflik bersenjata yang dinamakan dengan hukum humaniter internasional. Sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB

Nomor 894 pada tahun 1994 mengatakan bahwa: 4

Hukum

(hukum humaniter internasional) berlaku dari permulaan konflik bersenjata dan berlanjut hingga gencatan senjata sampai tercapai penyelesaian damai umum; atau dalam kasus konflik internal, tercapai penyelesaian damai. Sampai saat itu, hukum humaniter internasional terus berlaku di seluruh teritori negara-negara yang sedang berperang, atau dalam hal konflik internal, seluruh teritori yang dikuasai oleh salah satu pihak yang berkonflik, entah pertempuran itu sendiri sungguh-sungguh terjadi atau tidak terjadi.

kemanusiaan

internasional

4 M alcolm N. Shaw , Int ernational Law Handbook, (Cambridge: Cambridge Universit y Press, 2008), halaman 1198.

Namun sampai saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli mengenai apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai tindakan perang (act of war) atau konflik bersenjata internasional (international armed conflict ), oleh karena belum adanya definisi yang diakui secara universal tentang cyber-warfare. Ditambah lagi belum adanya semacam konvensi (convention), code of conduct, basic principles, mengenai cyber- warfare . Sejauh ini perkembangan hukum yang ada tentang hal ini hanyalah dalam bentuk kerjasama pertahanan (framework of defence) dari beberapa negara yang sudah memiliki kemampuan cyber-warfare.

Kondisi dimana belum adanya ketentuan hukum internasional yang mengatur cyber-warfare layaknya perang dalam hukum humaniter internasional, dapat merugikan negara-negara yang belum memiliki kemampuan bertahan dalam lingkup cyber-warfare. Apabila demikian dimungkinkan munculnya rasa saling curiga antar negara yang sangat mengganggu stabilitas politik internasional bahkan perdamaian dunia.

Berdasarkan paparan tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian atau penulisan hukum yang berjudul KAJIAN PERANG SIBERNETIKA

(CYBER-WARFARE) SEBAGAI KONFLIK BERSENJATA INTERNASIONAL BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah terkait penelitian hukum ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional?

2. Apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap cyber-warfare ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian yang mendapatkan hasil maksimal serta tepat guna, maka penelitian harus memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan tujuan penelitian ini antara lain:

1. Untuk mengetahui apakah cyber-warfare dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata internasional.

2. Untuk mengetahui apakah hukum humaniter internasional dapat diterapkan terhadap cyber-warfare.

D. Manfaat Penelitian

Berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan pemahaman tentang cyber-warfare sebagai suatu cara baru yang digunakan dalam suatu konflik bersenjata.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi keilmuan hukum humaniter internasional yang harus terus berkembang seriring kemajuan teknologi.

c. Dapat memberikan bahan masukan serta referensi bagi penelitian yang dilakukan selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai kajian perang sibernetika (cyber-warfare) sebagai konflik bersenjata internasional berdasarkan hukum humaniter internasional.

b. Memberikan pedoman bagi penelitian di masa mendatang mengenai pengaturan hukum humaniter internasional terhadap cyber-warfare .

c. Hasil penelitian diharapkan memunculkan suatu implementasi hukum dalam bentuk deklarasi, konvensi, maupun code of conduct yang cukup memadai mengatur cyber-warfare dalam ranah hukum humaniter internasional.

E. Sistematika Penelitian

Dalam menyusun penulisan hukum ini. Penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab dimana setiap babnya terdapat sub-sub bab yang akan menjelaskan secara rinci dan detail dari bab-bab tersebut. Sedangkan sistematika bab-bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Penulis menguraikan hal-hal apa yang mendasari ditulisnya skripsi ini. Untuk lebih jelasnya, penulis membagi bab pendahuluan ini ke dalam beberapa sub bab sebagai berikut:

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional

1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

3. Sumber, Asas, dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional

4. Ruang Lingkup Hukum Humaniter Internasional

5. Pengertian dan Jenis Konflik Bersenjata

B. Tinjauan Umum Perang Sibernetika (Cyber-Warfare)

1. Pengertian Cyber-Warfare

2. Sejarah dan Perkembangan Munculnya Cyber-Warfare

3. Karakteristik Cyber-Warfare

4. Perkembangan Pengaturan Cyber-Warfare

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini membahas Metode Penelitian yang digunakan dalam menyusun penulisan hukum ini. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Metode Pendekatan Masalah

B. Spesifikasi Penelitian

C. Metode Pengumpulan Data

D. Metode Analisa Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini membahas Hasil Penelitian dan Pembahasan yang menguraikan secara jelas dan lengkap tentang hasil penelitian. Dalam bab ini akan disajikan data-data yang diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian yang dilakukan melalui penelitian studi pustaka (library research ) sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang telah ditentukan. Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Cyber-Warfare sebagai Konflik Bersenjata Internasional

1. Cyber/Cyberspace sebagai Domain Perang Masa Depan

2. Aktor Cyber-Warfare

3. Ancaman dan Dampak Cyber-Warfare terhadap Keamanan dan Perdamaian Dunia

B. Relevansi Hukum Humaniter Internasional Terhadap Cyber-Warfare

4. Pengaruh Kemajuan Teknologi dalam Bidang Persenjataan dalam Hubungannya dengan Hukum Humaniter

5. Aplikasi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare

6. Urgensi Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Cyber-Warfare

BAB V PENUTUP

Bab ini terdiri dari sub bab sebagai berikut:

A. Kesimpulan

B. Saran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Hukum Humaniter Internasional

Presiden Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross/ICRC ) yang bernama Dr. Jakob Kellenberger menyatakan

bahwa: 5

The laws of war were born of confrontation between armed forces on the battle-field. Until the mid-nineteenth century, these rules remained customary in nature, recognised because existed since time immemorial and because they corresponded to the demands of civilisation. All civilisations have developed rules aimed at minimising violence – even this institutionalised form of violence that we call war – since limiting violence is the very essence of civilisation

Kutipan pernyataan kata pengantar yang disampaikan Dr. Jakob Kellenberger itu mewakili sekian banyak cerita lahirnya hukum humaniter internasional. Peradaban (civilisation) manusia yang tak pernah lepas dari perang yang membuat manusia selalu berpikir bagaimana cara meminimalisasi kekerasan yang terjadi dalam perang dengan dasar manusia yang beradab. Paling tidak perang dilakukan secara fair atau ada semacam ‘aturan main’ untuk para pihak yang berperang, untuk menjaga konflik yang ada tidak sampai melebar dan berdampak ke pihak lainnya yang tidak ikut berperang.

5 Jean-M arie Henckaert s and Louise Dosw ald-Beck, Customary International Humanitarian Law: Volume I Rules , (Cambridge: Cambridge Universit y Press, 2005), halaman ix.

Pemikiran-pemikiran seperti itu mengilhami lahirnya hukum perang (the law of war) sampai dengan perkembangannya hingga periode modern saat ini. Perlu pula ditegaskan dalam studi ini, bahwa akhir-akhir ini timbul istilah baru dalam khasanah hukum internasional yaitu international humanitarian law yang diterjemahkan menjadi hukum

humaniter internasional, atau hukum internasional humaniter. 6 Istilah ini merupakan suatu istilah yang masih relatif baru di Indonesia, sebab selama

ini orang hanya mengenal dengan sebutan hukum perang (the law of war), dan oleh karena itu tidak mengherankan apabila khalayak ramai belum

mengenalnya. 7

Dalam sub bab ini penulis memaparkan tinjauan umum mengenai hukum humaniter internasional dengan melihat pada aspek pengertian, perkembangan, sumber hukum, asas hukum, prinsip hukum, dan ruang lingkupnya. Selain itu dikerucutkan lagi ke dalam pembahasan mengenai konflik bersenjata dengan melihat pada pengertian dan jenis konflik bersenjata.

1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional

Istilah hukum humaniter internasional atau lengkapnya disebut dengan International Humanitarian Law Applicable in

6 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985), halam an 6.

7 Ibid.

Armed Conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini lazim dikenal dengan

internasional (international humanitarian law ). Selain istilah hukum humaniter internasional beberapa ahli menggunakan istilah lainnya seperti hukum sengketa bersenjata internasional, atau hukum kemanusiaan internasional. Istilah yang berbeda-beda tersebut bermacam-macam karena istilah tersebut berubah-ubah seiring dengan perkembangan hukum humaniter internasional melalui upaya-upaya internasional yang akan dibahas secara lebih rinci pada pembahasan perkembangan hukum humaniter internasional. Namun terlepas dari perbedaan penggunaan istilah-istilah tersebut, pengertiannya memiliki makna yang sama.

hukum

humaniter

Berikut ini beberapa sarjana atau ahli mencoba memberikan definisi atau pengertian mengenai hukum humaniter internasional atau hukum perang atau hukum sengketa bersenjata:

a. Oppenheim-Lauterpacht mendefinisikan law of war are the rules of law of nations respecting warfare 8 . Pendapat beliau

hanya terbatas pada hukum yang harus ditaati bangsa-bangsa yang berperang.

8 Ibid, halaman 7.

b. Sedangkan JG Starke memberikan batasan yang lebih luas daripada pendapat Oppenheim-Lauterpacht. JG Starke mengatakan bahwa, “Hukum Perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum internasional dalam mana kekuatan yang diperlukan untuk mengalahkan musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu-individu pada saat berlangsungnya perang dan

konflik-konflik bersenjata.” 9

c. Jean Pictet mendefinisikan “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his

well being” 10 . Pendapatnya sama sekali tidak menyebutkan perang, pendapat beliau hanya mendefinisikan situasi formal

bagaimana hukum itu ada serta menitik beratkan pada penghargaan Hak Asasi Manusia setiap individu manusia. Terlihat jelas bahwa Jean Pictet adalah seorang yang menganut paradigma hukum positivisme.

d. Geza Herzeg berpendapat, “International humanitarian law is part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit

9 JG St arke, Pengantar Hukum Int ernasional 2 Edisi Kesepuluh, (Jakart a: Sinar Grafika, 2007), halam an 727.

10 Arlina Permat asari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, (Jakart a: ICRC, 1999), halaman 9.

being different.” 11 Pendapat Geza Herzeg agak mirip dengan pendapat Jean Pictet, perbedaannya adalah pendapat Geza

Herzeg ini sudah membahas tentang korelasi hukum humaniter internasional dengan konflik bersenjata internasional.

e. Knut Dormann berpendapat “International Humanitarian Law is applicable only in times of armed conflict and composed of the two following types of rules; first is rules which limit the right of the parties to use means and methods of war; and second is rules which protect the persons and property in times

of armed conflict.” 12 Pendapat Knut Dormann tidak memberikan definisi hukum humaniter internasional, tetapi

pendapatnya menjelaskan mengenai kapan hukum humaniter internasional tersebut diaplikasikan dan mengenai sifat dari hukum humaniter internasional itu sendiri.

f. Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa “Hukum Humaniter Internasional adalah sebagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut

11 Ibid. 12 Knut Dorm ann, Comput er Netw ork Attack and International Humanitarian Law , (Art ikel

Ilmiah, International

Cross, diakses dari ht t p:/ / icrc.org/ CNA_and_int ernational_law , diakses pada 23 Februari 2015.

Commit t ee

of

Red Red

1) Hukum tentang perang (jus ad bellum), yang mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2) Hukum yang berlaku dalam perang (jus in bello), yang

kemudian terbagi dua lagi menjadi:

a) Yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war ) yang kemudian disebut hague laws.

b) Yang mengatur perlindungan bagi orang-orang yang menjadi korban perang, yang kemudian disebut

geneva laws. 14 Agaknya beberapa pendapat ahli/sarjana diatas, JG. Starke

dan Prof. Mochtar Kusumaatmadja lebih memberikan pengertian yang lebih spesifik dan mendalam mengenai hukum humaniter internasional, karena kedua ahli ini menurut penulis sudah menyinggung mengenai sumber dan prinsip dalam hukum humaniter internasional yang mana fundamental dalam kajian hukum humaniter internasional. Selain itu, di Indonesia pembahasan dalam lingkup hukum internasional khususnya hukum humaniter internasional lebih merujuk atau lebih dipengaruhi pada pendapat kedua ahli tersebut.

Dengan mencermati pengertian dan/atau definisi hukum humaniter internasional, maka ruang lingkup hukum humaniter

13 Ibid. 14 Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter 1 Bagian Umum, (Bandung: Amrico, 1985).

internasional dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu aliran luas, aliran tengah, dan aliran sempit. 15 Jean Pictet misalnya

menganut pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik hukum Jenewa,

hukum Den Haag, dan hukum terhadap Hak Asasi Manusia. 16 Sedangkan Geza Herzegh menganut aliran sempit, menurutnya

hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. 17 Sedangkan Starke menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum

humaniter terdiri atas hukum Jenewa dan hukum Den Haag. 18

2. Perkembangan Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional seperti diketahui sebelumnya bahwa perkembangannya dimulai sejak selama peradaban manusia di bumi ada. Sebelum istilah hukum humaniter internasional muncul, hukum yang mengatur para pihak yang berperang lebih dikenal dengan hukum perang. Hukum perang yang dikenal sejak lama itu mengatur etika-etika dan kebiasaan yang diterima universal mengenai perang.

Sejak sebelum tahun masehi pada saat itu diketahui sejarah manusia sudah ada dan diketahui pula sejarah perang. Manusia

15 Haryomat aram , Hukum Humaniter, (Jakart a: CV Radjaw ali, 1994), halaman 15-25. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid.

sudah berkelompok dalam satu bangsa dan saling menaklukan manusia di bangsa lainnya yang biasanya melalui cara-cara kekerasan seperti perang.

Sejak zaman kuno, kerajaan-kerajan yang terlibat perang mempunyai kebiasaan untuk melakukan pernyataan perang (declaration of war) sebelum dilakukan serangan terhadap musuh. Hal ini dilakukan agar musuh dapat mempersiapkan diri sebelum terjadi perang, yang mana persiapan itu seperti mengungsikan warga sipil khususnya wanita dan anak-anak ke tempat yang aman dari zona perang dan melakukan wajib militer (conscription) terhadap warga sipil pria jika dibutuhkan. Dalam bukunya Development and Principles of International Humanitarian Law , Jean Pictet mengisahkan bahwa para panglima tentara Bangsa Mesir ketika pecah perang akan memerintahkan prajuritnya untuk menyediakan kebutuhan para musuh yang tertangkap, juga

mengobati luka-luka mereka. 19

Pada zaman pertengahan, agama dan kepercayaan sudah pesat berkembang dan diyakini oleh banyak masyarakat terutama di benua Eropa dan Asia. Maka dari itu, hukum yang ada dalam agama dan kepercayaan banyak mempengaruhi perkembangan

19 Jean Pictet , Development and Principles of International Humanitarian Law , (Geneva: Henry Dunant Inst it ute, 1985), halam an 7.

hukum perang pada saat itu melalui kitab suci atau pemuka agama. 20

Dalam kitab Al-Qur’an yang diyakini oleh para pemeluk agama Islam dituliskan dalam: Al-Baqarah ayat 190 “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai

orang-orang yang melampaui batas.” 21 Implementasi dari Al- Baqarah ayat 190 tersebut terkandung dalam prinsip hukum perang

modern (hukum humaniter internasional) seperti dalam prinsip pembatasan (limitation principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).

Adapula dalam Al-Qur’an diatur mengenai pengaturan tawanan perang yaitu pada Al-Taubah ayat 5 “Apabila telah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik dimana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.

Pengampun, Maha Penyayang.” 22 Implementasi Al-Taubah ayat 5 tersebut terkandung

dalam asas hukum perang modern (hukum humaniter

20 Arlina Permanasari, Op.Cit., halaman 13. 21 Al-Qur’an, Al-Baqarah 190. 22 Al-Qqur’an, Al-Taubah 5.

internasional) seperti asas kemanusiaan (humanity principle) dan asas kesatrian (chivalry principle).

Bagi warga Eropa khususnya Eropa barat yang mayoritas penduduknya beragama Kristiani, hukum perang tidak dikenal dalam kitab suci pengikut Kristiani. Akan tetapi institusi gereja (Katholik Roma saat itu sangat berpengaruh terhadap setiap pengambilan keputusan politik negara-negara di eropa khususnya eropa barat. Begitupula terhadap ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi prajurit ketika berperang. Meskipun demikian, belum ada kodifikasi peraturan hukum perang yang memadai dan berlaku universal, saat itu masih berlaku hukum kebiasaan dan berdasarkan doktrin militer dari masing-masing negara.

Setelah masa abad pertengahan dimana agama dan/atau kepercayaan sangat berpengaruh, muncul suatu peradaban baru yaitu era pencerahan dimana gaya pemikiran logis/masuk akal (rasional) sudah mulai berkembang dan meninggalkan pemikiran yang sifatnya keilahian. Di era inilah hukum perang mulai berlaku universal di dunia dan mulai dikodifikasikan dan bersifat mengikat negara-negara yang meratifikasinya (legaly binding).

Di benua Eropa terobosan perkembangan itu diawali dari pendirian organisasi internasional yang bernama International Committee of Red Cross (ICRC) pada tahun 1863 yang dipelopori Di benua Eropa terobosan perkembangan itu diawali dari pendirian organisasi internasional yang bernama International Committee of Red Cross (ICRC) pada tahun 1863 yang dipelopori

Pada tahun 1863, di Amerika Serikat muncul Instruction For The Government of Armies of The United States in The Field atau yang lebih dikenal dengan Lieber Code yang memuat aturan- aturan perang bagi prajurit Amerika Serikat. Kodifikasi peraturan hukum perang yang memuat 157 article ini secara garis besar berisi ketentuan rinci pada keadaan perang di darat, tindakan- tindakan dalam perang yang dibenarkan serta perlakuan terhadap

warga sipil. 23 Meskipun peraturan ini diciptakan hanya untuk pasukan Amerika Serikat pada perang saudara di Amerika Serikat,

kodifikasi ini merupakan salah satu terobosan hukum dan kebiasaan perang yang ada pada saat itu. Liber Code sangat mempengaruhi kodifikasi hukum perang di dunia dimana banyak diadopsi oleh negara-negara lain saat itu. The Lieber Code formed the origin of the project of an international convention on the laws of war presented to the Brussels Conference in 1874 and

23 Dinindya Lint ang Sekar M ayang, Penggunaan Senjata Cluster Pada Konflik Bersenjata Non- Int ernasional Suriah dan Hubungannya dengan Pelanggaran Hukum Humaniter Int ernasional ,

(Skripsi Sarjana Hukum, Fakult as Hukum Universit as Diponegoro, 2014), halaman 9-10.

stimulated the adoption of the Hague Conventions on land warfare of 1899 and 1907 24 .

Setelah sukses dari Konferensi Jenewa 1863, Dewan Federal Swiss, atas prakarsa Komite Jenewa pada tahun 1864, mengundang pemerintah semua negara Amerika Eropa dan beberapa negara untuk mengadakan konferensi diplomatik yang bertujuan mengadopsi sebuah konvensi untuk perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang terluka dan sakit di medan perang di darat. Kemudian dikodifikasikanlah Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of The Wounded and Sick In Armed Forces in The Field yang dikenal dengan Konvensi Jenewa I. Konvensi ini secara garis besar memiliki substansi hukum perang sebagai berikut:

1) Perlindungan dan perawatan terhadap prajurit yang terluka dan sakit tanpa membedakan pihak-pihak yang berperang;

2) Perlindungan terhadap sarana dan unit medis;

3) Emblem, lambang, dan tanda identifikasi khusus untuk sarana dan unit medis

Pada tahun 1899 diadakan The Hague Convention II: Laws and Customs War on Land yang lalu dikenal dengan Konvensi Den Haag 1899. Tujuan diadakannya konvensi ini adalah untuk

24 D. Schindler dan J. Toman, The Law s of Armed Conflicts, (Leiden: M art inus Nihjoff Publisher, 1988), halaman 23.

merevisi deklarasi mengenai hukum dan kebiasaan perang yang diuraikan pada Konferensi Brussels 1874. Secara garis besar, substansi yang diatur terdiri atas 4 bagian utama dan 3 deklarasi tambahan sebagai berikut:

1) Penyelesaian damai atas sengketa internasional (pacific settlement of international disputes );

2) Hukum dan kebiasaan perang di darat (law and customs of war on land );

3) Penyesuaian prinsip-prinsip Konvensi Jenewa I mengenai perang di laut (adoption to maritime warfare of principles of Geneva Convention of 1864 );

4) Deklarasi tambahan mengenai larangan peluncuran proyektil dan bahan peledak dari balon udara (on the launching of projectiles and explosives from ballons );

5) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan proyektil yang tujuannya menyebarkan gas pencekik atas gas perusak (on the use of projectiles the object of which is the diffusion of asphyxiating or deleterious gases );

6) Deklarasi tambahan mengenai larangan penggunaan peluru yang mengembang atau merata dengan mudah dalam tubuh manusia (on the use of bullets which expand or flatten easily in the human body ).

Pada tahun 1906 diadakan Konvensi Jenewa II untuk merevisi/mengamandemen dan pengembangan Konvensi Jenewa I dengan nama Geneva Convention For The Amelioration of The Condition of Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea . Dengan 33 Article dibagi menjadi delapan bab, Konvensi Jenewa II 1906 lebih rinci dan lebih tepat dalam terminologi dibanding Konvensi Jenewa I 1864. Ketentuan baru

yang dimasukkan antara lain: 25

1) Mengenai penguburan orang mati dan transmisi informasi;

2) Bantuan sukarela warga sipil terhadap korban perang yang untuk pertama kalinya diakui secara tegas;

3) Hak istimewa penduduk membawa bantuan untuk korban luka dikurangi menjadi proporsi yang lebih masuk akal;

4) Kewajiban untuk memulangkan prajurit yang terluka yang tidak bisa melanjutkan tugas.

Pada tahun 1907 diadakan The Hague Conventions IV: Law and Customs of War on Land yang lalu dikenal sebagai Konvensi Den Haag 1907. Konvensi Den Haag 1907 merupakan konvensi keempat yang diadakan untuk merevisi substansi pada konvensi Den Haag sebelumnya. Hanya terdapat perbedaan tipis dari konvensi Den Haag 1899, karena konvensi Den Haag 1907 ini

25 Ibid., halaman 301-310.

hanya melengkapi ketentuan yang sudah ada sebelumnya seperti membahas hukum dan kebiasaan perang di laut.

Pada tahun 1919 Presiden Komite Palang Merah Amerika Serikat (American Red Cross Committee) Henry Davison menggagas sebuah organisasi yang mirip dengan ICRC yaitu Liga Masyarakat Palang Merah atau League of Red Cross Societes. Organisasi ini kemudian pada tahun 1983 berganti nama menjadi Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (League of Red Cross and Red Crescent Societes ), dan kemudian pada November 1991 berganti nama lagi menjadi Federasi Internasional Palang Merah dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societes/IFRC ). Tujuan utama organisasi ini adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat di negara-negara yang telah mengalami perang dengan bersatu dan memperkuat kerjasama antar negara dalam bidang kesehatan seusai perang untuk membangun lagi tatanan kehidupan yang baru pasca

kehancuran akibat perang. 26

Pada tahun 1928 terbentuk Statues of International Red Cross . Ini merupakan sebuah konstitusi dari pendirian organisasi palang merah dunia yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Diadopsi dari Konferensi Internasional ke-25 Palang Merah di

26 The History of IFRC, diakses dari ht t p:/ / w w w.ifrc.org/ en/ w ho-w e-are/ hist ory/ , pada 22 Februari 2015 pukul 13.17 WIB.

Jenewa pada bulan Oktober 1986 dan telah diubah dengan Konferensi Internasional ke-26 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Jenewa pada bulan Desember 1995 dan oleh Konferensi Internasional ke-29 Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di

Jenewa pada Juni 2006. 27

Pada tahun 1929 diadakan Geneva Convention Relative to The Treatment of Prisoners of War yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa III. Adanya kekurangan ketentuan mengenai perlakuan tawanan perang sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang dirasakan selama perang dunia I, mengilhami dibentuknya suatu konvensi khusus mengenai perlakuan tawanan perang. Berdasarkan pemikiran tersebut disidangkanlah suatu konferensi diplomatik di Jenewa pada tahun 1929. Hasil dari konferensi diplomatik ini adalah suatu ketentuan yang melengkapi ketentuan dalam Konvensi Den Haag 1899 dan Konvensi Den Haag 1907 yang bernama Geneva Convention Relative to The Protection of Civilian Persons in Time of War . Menurut D.Schindler and J.Toman dalam bukunya The Laws of Armed Conflict inovasi yang dihasilkan adalah “consisted in the prohibition of reprisals and collective penalties, the organization of prisoners work, the designation, by

27 Statutes of the International Red Cross and Red Crescent M ovement, diakses dari ht t ps:/ / w w w .icrc.org/ eng/ resources/ document s/ misc/ st at ut es-movement -220506.htm , pada 22

Februari 2015 pukul 13.42 WIB.

the prisoners, of representatives and the control exercised by

protecting Powers.” 28

Pada tahun 1965 di Wina,Austria diadakan Proclamation of The Fundamental Principles of The Red Cross: Humanity, Impartiality, Neutrality, Independence, Voluntary Service, Unity, Universality . Proklamasi ini merupakan proklamasi bersama antara ICRC dan IFRC yang mana memiliki pokok untuk menjamin keberlangsungan gerakan dan misi kemanusiaan internasional. Hal ini tercermin dalam tujuh prinsip dasar yaitu: kemanusiaan (humanity), tidak memihak (impartiality), kenetralan (neutrality), kebebasan/kemerdekaan (independence), pelayanan sukarela (voluntary service), kesatuan (unity), keuniversalan (universality). Proklamasi ini menjadi dasar gerakan kemanusiaan yang dilakukan oleh ICRC dan IFRC.

Pada tahun 1977 diadakan Protocol Additional to The 1949 Geneva Conventions yang pada pembahasannya berintikan ketentuan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata. Protokol ini mengakomodasi dua situasi yaitu pada situasi konflik bersenjata internasional (international armed conflict) dan konflik bersenjata non-internasional (non-international armed conflict) yaitu sebagai berikut:

28 D.Schindler and J.Toman, Op.Cit ., halaman 341-364.

1) Protocol Additional To The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Victims of International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949.

2) Protocol Additional to The Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to The Protection of Non -International Armed Conflicts atau yang dikenal dengan Protokol Tambahan

II Konvensi Jenewa 1949.

Pada tahun 1980 diadakan Convention on Prohibitions or Restrictions on The Use of Certain Conventional Weapons Which May be Deemed to be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects . Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk untuk melindungi warga sipil dari cedera dari senjata yang digunakan dalam konflik bersenjata dan juga untuk melindungi kombatan dari penderitaan yang tidak perlu. Senjata-senjata yang dilarang diantaranya adalah seperti ranjau darat (land mine), jebakan (booby traps), senjata pembakar, senjata yang mengeluarkan sinar yang membutakan mata, selain itu juga diatur mengenai pembersihan material bom atau proyektil seusai perang.

Pada tahun 1998 dibentuk Mahkamah Internasional dengan dasar Rome Statute of The International Court of Justice atau yang dikenal dengan Statuta Roma. Statuta Roma dijadikan dasar pendirian Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal

Court ) pada 17 Juli 1998 dimana negara-negara yang berpartisipasi dalam United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court membentuk sebuah peradilan yang mengadili kejahatan serius seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,

kejahatan perang, dan kejahatan agresi. 29

Pada tahun 2005 dikodifikasikan Protocol Additional to The Geneva Conventions Relation to The Adoption of An Additional Distinctive Emblem . Protokol ini mengatur mengenai tanda/lambang/simbol pembeda dari unit palang merah.

Perkembangan hukum perang yang sekarang dikenal dengan hukum humaniter internasional dalam kajian hukum internasional, mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1863. Sejak saat itu, organisasi internasional dan kodifikasi peraturan mengenai hukum humaniter internasional mulai efektif berlaku dan mengikat negara-negara. Setidak-tidaknya perkembangan ini memberikan batasan-batasan tertentu untuk setiap tindakan dalam perang demi penghormatan hak asasi manusia dan simbol manusia yang beradab.

29 William Driscoll et.al, The Int ernational Criminal Court: Global Politics and The Quest for Justice ,( New York: The Int ernat ional Debate Educat ion, 2004), halaman 30.

3. Sumber, Asas, dan Prinsip dalam Hukum Humaniter Internasional

Sumber Hukum Humaniter Internasional

Hukum humaniter internasional tidak dapat dilepaskan dari studi hukum internasional. Begitupun sumber hukum yang digunakan hukum humaniter internasional sama dengan sumber hukum yang ada pada hukum internasional. Berikut ini beberapa sumber hukum internasional:

a. Perjanjian internasional; Perjanjian

merupakan sumber hukum berdasarkan sudut pandang kepositifannya. Perjanjian internasional adalah persetujuan internasional

internasional

yang ditandatangani antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam satu instrumen atau dua atau lebih instrumen yang saling

berhubungan dan apapun namanya. 30

b. Hukum kebiasaan internasional; Tidak mudah menemukan atau menilai bahwa suatu norma hukum humaniter internasional telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Statuta Mahkamah Internasional, suatu aturan hanya dapat

30 Art icle 2 Ayat (1) a Konvensi Wina 1969.

dikategorikan hukum kebiasaan internasional apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu telah dipraktikan secara umum oleh negara-negara dan telah memperoleh pendapat hukum yang mengakui ketentuan tersebut sebagai

suatu keharusan. 31 Hukum kebiasaan internasional dapat membantu apabila suatu aturan dalam perjanjian internasional

masih belum memperoleh pengesahan dari negara-negara. 32

c. Prinsip-prinsip hukum umum; Prinsip hukum umum merupakan sumber hukum berdasarkan sudut pandang fungsinya. Prinsip-prinsip hukum ini berguna untuk menemukan hukum bagi Hakim dalam hal belum adanya atau kurangnya kejelasan suatu peraturan mengenai suatu kasus. Prinsip hukum umum yang diterima oleh bangsa-bangsa yang beradab ini bersumber pada hukum Romawi yang melandasi sistem hukum modern yang dikembangkan dari Eropa Barat pada abad ke-19. Pada kenyataannya hanya sedikit prinsip-prinsip hukum umum yang dapat dijadikan sumber hukum humaniter internasional. Sebagai contoh prinsip itikad baik dan prinsip proporsional yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional dan telah dikodifikasikan dalam perjanjian internasional.

d. Yurisprudensi atau keputusan pengadilan;

31 Ambarw ati, dkk, Hukum Humaniter Int ernasional: Dalam Studi Hubungan Int ernasional, (Jakart a: PT Raja Grafindo, 2012), halaman 38.

32 Ibid.