4.4.3. Analisis kelembagaan Karakteristik produktifitas plasma
Target produksi yang ditetapkan pada setiap pola tebar dalam pengelolaan teknis budidaya udang windu pada proyek perintis TIR Transmigrasi jawai adalah
sebagai berikut 1 Padat penebaran 4 ekorm
2
, target produksi = 400 kg, 2 Padat penebaran 20 ekorm
2
, target produksi = 1.600 kg, 3 Padat penebaran 15 ekorm
2
, target produksi = 1.200 kg. Dari hasil pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini, Tabel 9 merupakan gambaran hasil panen plasma dalam pencapaian target produksi pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai.
Tabel 9. Realisasi hasil panen terhadap pencapaian target produksi
KEPADATAN 4 ekorm2
20 ekorm2
15 ekorm2
TOTAL Target Panen per petak kg
400 1600
1200 Jumlah Petak Panen
146 65
989 1200
Panen rata-rata per petak kg 311.63
1,152.07 1,280.21
Pencapaian Target 77.91
72.00 106.68
Jumlah Petak mencapai Target 48
30 232
310 Pencapaian Target
32.88 46.15
23.46 25.83
PERIODE MUSIM TANAM 15 ekorm
2
I II
III IV
V Target Panen per petak kg
1200 1200
1200 1200
1200 Jumlah Petak Panen
274 268
245 158
44 Panen rata-rata per petak kg
1,212.89 1,463.30
1,340.85 1,099.73
894.67 Pencapaian Target
101.07 121.94
111.74 91.64
74.56 Jumlah Petak mencapai Target
34 105
69 18
6 Pencapaian Target
12.41 39.18
28.16 11.39
13.64
Dari Tabel 9 dapat dijabarkan sebagai berikut : - Dari keseluruhan petak tambak panen yang dianalisis 1.200 petak tambak
pada pola penebaran benur 4, 20 dan 15 ekorm
2
didapatkan bahwa jumlah
petak tambak yang mencapai target produksi sebanyak 310 petak tambak 25,83, yang berarti sebanyak 990 petak tambak 74,17 gagal dalam
mencapai target produksi. - Berdasarkan pola tebar maupun periode musim tanam didapatkan bahwa
prosentase pencapaian target pada rata-rata hasil panen per petak tambak adalah selalu lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah petak tambak yang
mencapai target produksi, bahkan pada pola tebar 15 ekorm
2
didapatkan bahwa jumlah petak tambak yang mencapai target sebesar 23,46 tetapi hasil
panen rata-rata per petak telah melampaui target yaitu 106,68. - Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hasil panen plasma
adalah bervariasi antar petak tambak. Plasma yang ada pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai terdiri dari
4 kelompok yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Penduduk Lokal atau APPDT. Oleh karena itu plasma pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai
dapat dibagi dalam 4 empat kelompok berdasarkan daerah asal dasal. Pada Tabel 10 dapat dilihat jumlah total hasil panen rata-rata per petak tambak
berdasarkan daerah asal. Tabel 10. Hasil panen plasma berdasarkan daerah asal transmigran
Dari Tabel 10 tersebut diatas dapat dilihat bahwa plasma yang berasal dari Jawa Tengah Jateng mempunyai produktifitas yang paling tinggi dengan total rata-rata
hasil panen per petak tambak sebanyak 1.273,55 kg, kemudian disusul berturut- turut Jawa Timur Jatim sebanyak 1.218,85 kg, Jawa Barat Jabar sebanyak
Daerah Asal Dasal Rata-rata Berat Per Petak
kg -
816.90 APPDT
1,057.75 Jawa Barat
1,118.64 Jawa Tengah
1,273.55 Jawa Timur
1,218.85
1.118,64 kg dan yang paling rendah produktifitasnya adalah plasma lokal atau yang biasa disebut APPDT yaitu sebanyak 1.057,75 kg.
Plasma APPDT menempati posisi paling rendah produktifitasnya hal ini disebabkan karena karateristik plasma transmigran lokal atau APPDT dapat
dikatakan baru mengenal usaha pertambakan karena sebelum ada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai ini mereka mempunyai latar belakang mata pencaharian
yang tidak berhubungan dengan usaha budidaya udang di tambak. Sedangkan plasma transmigran yang didatangkan dari pulau Jawa pada umumnya berasal dari
daerah-daerah yang lingkungannya merupakan daerah usaha pertambakan udang di pulau Jawa. Jadi dapat dikatakan bahwa karakteristik transmigran dari pulau
Jawa sudah lebih familier dengan dunia tambak udang dibandingkan plasma lokal. Oleh karena itu tujuan mendatangkan transmigran dari pulau jawa tersebut adalah
diharapkan mereka dapat menjadi mediator dalam transfer teknologi budidaya udang di daerah yang baru.
Spatial autocorrelation
Hasil analisis spatial autocorrelation dengan menggunakan perhitungan indeks Moran I pada pola tebar 15 ekorm
2
berdasarkan periode musim tanam dan tahun dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation
PERIODE Indeks
Moran I
TAHUN Indeks
Moran I
Musim Tanam I
Random I
Random Periode I
0.191875 -0.003663
1993 0.153122
-0.004219 Periode II
0.329885 -0.003745
1994 0.573217
-0.003891 Periode III
0.152293 -0.004098
1995 0.038725
-0.004167 Periode IV
0.084252 -0.006369
Total 0.347446
-0.003663 Periode V
0.003755 -0.023256
1993-1995
Dari hasil perhitungan analisis spatial autocorrelation pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pada umumnya pola tebar benur 15 ekorm
2
baik berdasarkan periode musim tanam maupun tahun didapatkan hasil nilai Indeks Moran I
secara umum berada diatas nilai I Random. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil
perhitungan indeks Moran I mengarah kepada autocorrelation positif, yang berarti adanya kecenderungan hubungan antar petak tambak yang berdampingan
mencerminkan pola interaksi searah yaitu dengan pengaruh saling meningkatkan hasil produksi.
Pada Tabel 11 berdasarkan tahun didapatkan pada tahun 1995 nilai indeks Moran menurun tajam yaitu 0,038725, hal ini disebabkan karena pada tahun 1995
hasil panen plasma banyak mengalami kegagalan karena adanya serangan penyakit white spot. Puncak serangan penyakit tersebut terjadi pada akhir tahun
1995 dimana pelaksanaan panen terpaksa dilakukan terhadap sejumlah besar petak tambak yang belum waktunya untuk menghindari kerugian dan kematian massal
yang lebih banyak. Berdasarkan periode musim tanam didapatkan nilai indeks Moran tertinggi puncaknya pada periode II, hal ini juga dapat dilihat pada Tabel 9
dimana hasil panen rata-rata per petak tambak tertinggi jatuh pada periode II yaitu 1.463,30 kg. Berdasarkan tahun didapatkan nilai indeks Moran tertinggi pada
tahun 1994, sedangkan pada Lampiran 21 dapat dilihat bahwa grafik tertinggi rata-rata hasil panen plasma juga terjadi pada tahun 1994. Fenomena ini
memberikan gambaran bahwa semakin tinggi nilai indeks Moran maka semakin tinggi pula hasil panen plasma. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi nilai indeks Moran berarti kerjasama kelompok plasma dalam satu hamparan akan semakin baik yang pada kenyataannya juga akan berdampak pada
hasil panen plasma. Hasil analisis spatial autocorrelation berdasarkan perhitungan indeks
Moran I tersebut pada aplikasi pelaksanaan dilapangan dipengaruhi oleh 1 sistem pembinaan yang dilakukan petugas penyuluh lapangan PPL dari
perusahaan inti dan juga 2 interaksi antar plasma di lapangan pada saat pelaksanaan operasional budidaya berlangsung. Hasil perhitungan tersebut juga
menggambarkan bahwa hubungan plasma antar petak tambak yang berdampingan akan lebih berpengaruh dibandingkan dengan antar plasma dengan petak tambak
yang berjauhan. Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa karakteristik produktifitas plasma berbeda menurut kelompok daerah asal. Oleh karena itu hasil
perhitungan analisis spatial autocorrelation tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam penempatan transmigran, yaitu dengan cara tidak menempatkan
plasma secara berdampingan menurut kelompok daerah asal yang sama dalam rangka untuk transfer teknologi yang lebih merata sehingga diharapkan hasil
produksi menjadi meningkat.
Kelembagaan proyek
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan
prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Di Indonesia kemudian kemitraan diartikan sebagai hubungan bapak-anak angkat foster father
partnerships , di mana bapak angkat sebagai inti sedangkan petani sebagai
plasma. Pola kemitraan yang dilaksanakan pada proyek perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah pola Inti - Rakyat yaitu pola kemitraan usaha tambak dengan bentuk
kontrak produksi antara perusahaan inti dan plasma, dimana perusahaan inti berkewajiban menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen,
menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi serta mengusahakan permodalan. Secara teoritis suatu kemitraan akan terjadi dan berjalan langgeng
bila memenuhi dua syarat yaitu syarat keharusan necessary condition dan syarat kecukupan sufficient condition yaitu kebersamaan cohesiveness.
Aturan main rules of the game Proyek Perintis TIR Transmigrasi Jawai adalah merupakan sebuah proyek
percontohan transmigrasi umum dengan pola Tambak Inti Rakyat TIR. Pengembangan pola TIR diatur oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
334KptsIK.21061986. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa: 1. Di Pulau Jawa, setiap perusahaan tambak yang memiliki areal tambak diatas
30 ha harus menggunakan pola tambak inti rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma;
2. Diluar Pulau Jawa: a. di lahan yang sudah berbentuk tambak, setiap perusahaan yang akan
melakukan penambahan areal diatas 50 ha harus menggunakan pola tambak inti rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma;
b. di lahan yang belum berbentuk tambak, setiap perusahaan yang akan mengusahakan tambak diatas 100 ha harus menggunakan pola tambak inti
rakyat dengan perbandingan 40 inti dan 60 plasma; Dalam SK Menteri Pertanian juga disebutkan bahwa perusahaan inti serta
plasma mempunyai masing-masing kewajiban agar terbina kerjasama yang saling menguntungkan dan berkesinambungan. Kewajiban perusahaan inti adalah 1
menyediakan dan atau membangun tambak plasma; 2 menyediakan saluran pengairan yang diperlukan baik untuk tambak inti maupun plasma; 3
memberikan bimbingan teknis pertambakan kepada petambak plasma sesuai dengan perkembangan teknologi; 4 menyediakan sarana produksi untuk
memenuhi kebutuhan petambak plasma; 5 menampung seluruh hasil produksi tambak plasma dengan syarat dan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian; 6 membantu penyelesaian sertifikat lahan tambak plasma; 7 mempekerjakan calon petambak
plasma ditambak yang diusahakan selama tambak plasma dalam periode konstruksi dan belum diserahkan kepada petambak plasma; dan 8 membantu
petambak plasma dalam pengurusan pencairan dan pengembalian kredit. Sedang kewajiban petambak plasma adalah 1 mengusahakan tambak sesuai petunjuk
perusahaan inti; 2 menjual hasil produksi tambaknya kepada perusahaan inti dengan syarat dan harga yang layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan
pemerintah dalam hal ini Menteri Pertanian; 3 mengembalikan kredit sesuai dengan jadwal waktu pada akad kredit; 4 tidak memindahkan haknya atas tambak
kepada pihak ketiga dalam waktu yang ditetapkan kecuali dalam rangka pewarisan tanpa pemecahan lahan.
Sebagai implementasi dari pola kemitraan dalam pelaksanaannya proyek perintis TIR transmigrasi Jawai telah melakukan beberapa kesepakatan yang
tertuang dalam perjanjian antara perusahaan inti dan plasma. Beberapa perjanjian tersebut diantaranya adalah 1 surat kontrak kerjasama antara PT Ciptawindu
Khatulistiwa dengan petani tambak transmigrasi Jawai dapat dilihat pada Lampiran 23, 2 surat perjanjian tentang kerjasama pengelolaan proyek TIR
transmigrasi Jawai antara PT. Ciptawindu Khatulistiwa dengan Koperasi Unit Desa Cipta Bina Sejahtera dapat dilihat pada Lampiran 24, 3 surat perjanjian
tentang kesepakatan pembelian sarana produksi tambak udang dan hasil tambak udang antara PT. Ciptawindu Khatulistiwa dengan petani plasma tambak udang
proyek TIR Jawai dapat dilihat pada Lampiran 25dan 4 tata tertib persidangan forum musyawarah petani tambak udang proyek TIR Transmigrasi di Jawai
Kalimantan Barat dapat dilihat pada Lampiran 26. Rangkuman dari isi perjanjian dan kesepakatan antara perusahaan inti dan
plasma serta KUD pada pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a peran perusahaan inti adalah 1 membangun tambak dengan segala sarana dan prasarananya yang nantinya akan dibayarkan melalui bank dari kredit
investasi, 2 mengelola dana untuk modal kerja atas nama kredit plasma dari bank Kalbar, 3 membeli hasil panen plasma sesuai dengan harga yang telah
disepakati, 4 sebagai penjamin afalist dari kredit investasi dan modal kerja, 5 memegang sertifikat tambak selama kredit belum lunas dan 6 membina
plasma dalam hal teknis budidaya. b peran plasma adalah 1 mengajukan kredit investasi dan modal kerja ke bank
Kalbar, 2 mencicil kredit investasi dengan cara pembayaran dipotong saat panen, 3 menjual hasil panen ke perusahaan inti dan 4 patuh terhadap
instruksi pembina budidaya. c peran KUD adalah 1 merupakan wadah dari perwakilan plasma, 2 sebagai
perantara antara perusahaaan inti dan plasma serta bersama-sama dengan perusahaan inti dalam mengusahakan kredit investasi dan modal kerja, 3
mendapatkan komisi fee dari keuntungan penjualan udang dan pengadaan sarana produksi tambak dan 4 bersama-sama dengan perusahaan inti
mengambil tindakan terhadap plasma yang tidak layak. d sebagai konsekuensi akibat kredit modal kerja dikelola perusahaan inti adalah
1 menyediakan tenaga pengelola, 2 menyediakan sarana penunjang seperti laboratorium, hatchery dan cold storage, 3 menanggulangi keterlambatan
pengembalian kredit berikut bunga kepada bank dan 4 menanggulangi kekurangan modal kerja plasma yang mengalami kerugian panen.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sudah terjadi indikasi adanya keinginan bersama antara perusahaan inti dan plasma dalam
upaya untuk mencapai bentuk hubungan pola kemitraan yang lebih langgeng. Dari aturan main rules of the game yang tertuang dalam perjanjian dan
kesepakatan antara perusahaan inti, plasma dan KUD tersebut ada beberapa hal yang masih perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut dalam pelaksanaannya, yaitu;
1 besaran cadangan resiko 15 dari selisih antara harga penyesuaian dengan harga jaminan, hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengingat usaha tambak udang
adalah termasuk kategori usaha resiko tinggi high risk dan pada pelaksanaan proyek TIR transmigrasi Jawai ternyata cadangan resiko tersebut tidak mencukupi
untuk menutupi kerugian hasil panen plasma, dan 2 belum masuknya komponen maintenance
dalam pemotongan hasil panen plasma, hal ini diperlukan untuk biaya perawatan baik untuk peralatan operasional tambak maupun saluran irigasi
yang tidak sedikit memakan biaya. Disarankan komponen maintenance tersebut dibebankan dalam hitungan tonase berat per kg udang hasil panen dan dikenakan
kepada seluruh plasma baik yang hasil panennya untung maupun yang merugi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan kesadaran plasma bahwa untuk
menuju keberhasilan proyek diperlukan semangat kebersamaan termasuk dalam menanggung biaya perawatan infrastruktur yang telah dibangun.
Pengalaman pada pelaksanaan proyek TIR transmigrasi Jawai menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan aturan main rules of the
game pada pola TIR yang dampaknya akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan proyek. Berikut ini penjabaran kelemahan aturan main dan solusi pada pola TIR, yaitu;
1. Kriteria proses penentuan sebagai plasma. a Plasma yang didatangkan dari pulau Jawa adalah merupakan kewenangan
dari Departemen Transmigrasi, sedangkan keanggotaan menjadi plasma lokal APPDT adalah berdasarkan atas kompensasi kepada masyarakat
setempat akibat tanahnya terkena pembangunan lokasi proyek. Oleh karena itu kelemahan pola TIR adalah seleksi plasma tidak didasarkan atas
kelayakan kemampuan seseorang dalam hal teknis pengelolaan budidaya di lapangan.
b Solusi dari permasalahan tersebut adalah calon plasma tersebut harus melalui tahap seleksi dilapangan yaitu dengan cara magang dan proses
magang inilah yang akan menentukan layak dan tidaknya seseorang ikut menjadi anggota plasma TIR. Sedangkan untuk menghindari pemilik tanah
otomatis menjadi plasma TIR adalah dengan jalan memberikan kompensasi ganti untung kepada masyarakat setempat yang tanahnya
terkena pembangunan proyek. 2. Kesulitan menerapkan sanksi.
a Pada prakteknya sulit untuk menerapkan sanksi kepada pihak yang melakukan kesalahan atau kelalaian di lapangan. Salah satu contoh adalah
keterlambatan perusahaan inti dalam pembayaran panen atau penebaran benur dan juga adanya plasma yang tidak mematuhi aturan teknis
budidaya yang akan mengganggu jalannya proyek. b Solusi dari permasalahan tersebut adalah menerapkan aturan main yang
baku dan disepakati semua pihak yang didalamnya sudah mencakup siapa yang mempunyai wewenang sebagai eksekutor, sehingga apabila terjadi
salah satu pihak melakukan kesalahan atau kelalaian wan prestasi maka sistem atau aturan main tersebut dapat langsung diimplementasikan.
Dampak positif keberadaan proyek TIR Transmigrasi Jawai
Jika mengkaji uraian diatas maka keberadaan proyek tersebut seharusnya akan memberikan dampak positif karena bukan hanya pihak-pihak yang berperan
seperti perusahaan inti, plasma dan KUD saja yang akan mendapatkan keuntungan tetapi masyarakat setempat dan pemerintah daerah Pemda juga akan mendapat
keuntungan. Menurut Walhi 2004, dampak positif tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Keuntungan swasta sebagai perusahaan inti 1. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya investasi dan Modal Kerja, hal ini
dapat dijabarkan sebagai berikut : •
Biaya pembangunan pencetakan tambak berasal dari kredit koperasi yang nota bene adalah merupakan beban kredit Plasma.
• Pembangunan saluran irigasi tambak irigasi untuk pertambakan
pembiayaannya dibantu dari dana Pemerintah, yaitu untuk pembangunan saluran irigasi tambak pemasukan primer dan sekunder dan saluran
irigasi tambak pembuangan sekunder dan tersier dibiayai dari Departemen Transmigrasi serta untuk saluran irigasi tambak tersier
pemasukan dibiayai dari Direktorat Jenderal Perikanan. •
Biaya untuk operasional budidaya udang modal kerja berasal dari kredit koperasi yang merupakan beban kredit plasma.
2. Dari Proses Produksi Perusahaan mendapat keuntungan dari penjualan sarana produksi tambak saprotam
seperti benur, pakan, obat-obatan dan lain sebagainya.
3. Perusahaan mendapat jaminan untuk mendapatkan udang hasil panen Plasma sesuai dengan Perjanjian Inti – Plasma.
4. Perusahaan tidak mengeluarkan biaya upah kerja karena pinjaman biaya hidup untuk setiap musim tanam menjadi beban kredit plasma yang nantinya akan
dipotong pada saat panen. Keuntungan plasma sebagai peserta TIR
1. Plasma secara perorangan tanpa agunan bisa mendapatkan fasilitas pinjaman dana dari bank yang dipergunakan untuk mengelola usaha budidaya udang di
tambak. 2. Plasma dengan cara mencicil kredit mempunyai prospek untuk dapat memiliki
tambak sendiri. Keuntungan Pemda dengan adanya proyek TIR
1. Peluang untuk mendapatkan pendapatan asli daerah PAD, misalnya retribusi udang.
2. Merupakan pengembangan wilayah, karena daerah yang sebelumnya merupakan daerah terisolir dapat menjadi sentra ekonomi baru. Hal ini
ditunjang karena adanya pembangunan jalan, permukiman transmigrasi, fasilitas umum dan lain sebagainya.
3. Adanya multiplier effects sehingga membuka kesempatan lapangan kerja baru seperti misalnya :
- Terjadinya peningkatan aktifitas masyarakat setempat yang bekerja menjadi buruh bongkar muat barang dengan kapasitas yang cukup besar
secara kontinyu dalam menunjang kegiatan operasional proyek. - Terjadinya peningkatan jumlah alat transportasi baik darat maupun air
dalam menunjang aktifitas masyarakat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
- Tumbuhnya jenis usaha baru di lingkungan proyek seperti pedagang makanan dan minuman, usaha pengumpul udang liar hasil tambak,
pertukangan, perbengkelan dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian mengenai dampak positif dengan keberadaan proyek tersebut,
maka dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali proyek perintis TIR transmigrasi Jawai perlu dilakukan suatu pengkajian tinjauan ulang review
tentang pelaksanaan pengelolaan proyek. Mekanisme proses pencairan kredit
Salah satu tahap dalam pelaksanaan pola TIR dalam rangka memenuhi pendanaan untuk operasional budidaya udang adalah pengajuan kredit kepada
perbankan. Pada proyek perintis TIR transmigrasi Jawai pelaksanaan akad kredit dilakukan oleh dan atas nama plasma, sedangkan perusahaan inti berkewajiban
membantu proses pencairan kredit untuk plasma dan bertindak sebagai penjamin afalist.
Dari proses pencairan dan status akad kredit tersebut ternyata menjadi awal dari permasalahan konflik yang sering terjadi dilapangan. Hal ini disebabkan
karena faktor perbedaan persepsi dari perusahaan inti maupun plasma. Pihak perusahaan inti berpendapat bahwa sebagai afalist apabila terjadi kegagalan maka
pihak inti yang akan bertanggung jawab menanggung kerugian. Sedangkan di pihak plasma berpendapat bahwa apabila terjadi kerugian maka plasma yang akan
menanggung hutang. Dengan adanya konflik karena perbedaan persepsi tersebut pada prakteknya di lapangan berdampak terhadap pembinaan teknis budidaya
udang yang dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan PPL yang nota bene berstatus sebagai karyawan perusahaan inti. Hal ini tentunya akan menjadi serius
mengingat keberhasilan proyek ini sangat bergantung dari tingkat keberhasilan budidaya udang dalam mencapai target produksi. Skema alur pelaksanaan
pencairan kredit Proyek Perintis TIR Transmigrasi jawai dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Skema alur pelaksanaan proses pencairan kredit Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka perlu kajian ulang
review mengenai proses pencairan dan status akad kredit agar tidak terjadi friksi
di lapangan yang akan dapat menjadi faktor penyebab kegagalan proyek. Solusi yang dapat dilakukan adalah perusahaan inti yang melakukan akad kredit dan
sekaligus sebagai penjamin afalist. Hal ini berarti mengandung konsekuensi bahwa perusahaan inti bertanggung jawab penuh terhadap proses pengembalian
kredit. Kompensasi yang diberikan kepada perusahaan inti akibat dari pengalihan status kredit tersebut adalah: perusahaan inti diberi wewenang menjadi komandan
di lapangan selama kredit belum lunas. Pemberian wewenang disini harus diatur dan dibatasi agar tidak menjadi otoriter tetapi dalam konteks sebagai upaya
pelunasan kredit sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan. Skema alur pencairan kredit yang direkomendasikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Bank Indonesia Kredit KKPA
BPD Kalbar Bank Pelaksana
KUD Cipta Bina Sejahtera Plasma Akad Kredit
Calon Pemilik Tambak LUNAS Pemilik Tambak
Perusahaan Inti Penjamin Afalist
Pembinaan PPL
Gambar 8. Skema alur pencairan kredit yang direkomendasikan
Mekanisme pengelolaan Kemitraan adalah suatu set kelembagaan dan rencana-rencana organisasi
yang menentukan bagaimana pihak-pihak yang terlibat stakeholder bekerjasama. Sebuah rencana kemitraan bukanlah struktur hukum tentang hak dan
peraturan yang statis, tetapi merupakan proses yang dinamis untuk menciptakan struktur
kelembagaan baru.
Sebagai sebuah proyek
perintis, dalam
pelaksanaannya proyek TIR Transmigrasi Jawai belum mempunyai konsep pola pengelolaan yang pasti sehingga dalam perkembangannya proyek ini sudah
banyak mengalami perubahan dalam mekanisme pengelolaannya. Perubahan tersebut dimaksudkan agar proyek ini diharapkan dapat menemukan pola
pengelolaan yang terbaik. Pada pelaksanaannya mekanisme pengelolaan proyek TIR transmigrasi
Jawai lebih banyak tergantung pada hasil negosiasi kesepakatan antara perusahaan inti dan plasma KUD, hal ini tentunya suatu saat dapat menjadi kendala apabila
terjadi kemacetan dead lock dalam mencapai kesepakatan tersebut. Dalam kasus-kasus tertentu apabila terjadi permasalahan di lapangan Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah selaku pembina proyek TIR transmigrasi berperan serta melakukan pertemuan sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan
tersebut. Mekanisme pengelolaan pada pelaksanaan proyek perintis TIR transmigrasi Jawai dapat dilihat pada Gambar 9.
Bank Indonesia Kredit KKPA
Bank Kalbar Bank Pelaksana
Perusahaan Inti Akad Kredit Penjamin
Pembinaan PPL Calon Pemilik Tambak
LUNAS Pemilik Tambak KUD Cipta Bina Sejahtera
Gambar 9. Mekanisme pelaksanaan pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai Pada Gambar 9 terlihat bahwa badan pengelola merupakan kepanjangan
tangan dari perusahaaan inti di lokasi proyek. Tugas pokok badan pengelola disini lebih dititik beratkan terhadap kegiatan operasional budidaya udang, sedangkan
permasalahan yang menyangkut pengambilan kebijakan policy adalah menjadi kewenangan kantor pusat perusahaan inti. Namun di lapangan badan pengelola
ternyata tidak hanya dihadapkan pada permasalahan teknis saja tetapi juga menangani permasalahan sosial yang akhirnya pada prakteknya permasalahan
sosial ternyata lebih banyak menyita waktu dan perhatian dari badan pengelola. Kondisi seperti ini tentunya menjadi tidak kondusif dalam pengelolaan proyek
mengingat keberhasilan operasional teknis budidaya udang merupakan tolok ukur dalam mencapai keberhasilan proyek. Berdasarkan pengalaman yang terjadi di
lapangan pada pelaksanaan proyek, beberapa permasalahan mendasar yang masih harus ditindak lanjuti yaitu 1 siapa yang berhak menjadi wasit apabila salah satu
pihak melakukan wan prestasi atau kelalaian, 2 seberapa jauh kewenangan dari keterlibatan institusi pemerintah yang terkait dan 3 seberapa jauh sanksi dapat
diterapkan, hal ini menjadi pertanyaan mengingat pada prakteknya dilapangan terjadi kesulitan untuk menjatuhkan sanksi kepada salah satu pihak yang
melakukan wan prestasi kelalaian.
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
BPD Kalbar
Perusahaan INTI
Suplier KUD
Badan Pengelola Perusahaan Inti
Operasional Budidaya Petani Tambak
Plasma
Secara prinsip permasalahan tersebut adalah diakibatkan karena 1 adanya kerancuan atau tidak jelasnya aturan rules yang berlaku pada proyek perintis
TIR transmigrasi Jawai, 2 adanya faktor kepentingan yang berbeda dari masing- masing pihak. Sebagai solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan jalan
perlu di bentuk suatu lembaga yang dinamakan forum komunikasi yang berfungsi sebagai wadah untuk mengakomodir pihak-pihak yang berperan stakeholder
dalam menyampaikan aspirasinya. Lembaga forum komunikasi ini adalah merupakan tempat untuk melakukan proses pengambilan keputusan tertinggi
dalam lingkup proyek yang berfungsi untuk membuat suatu aturan, kesepakatan dan juga penerapan sanksi. Oleh karena itu yang menjadi anggota dari forum
komunikasi adalah pemerintah pusatdaerah, perusahaan inti, KUD, badan pengelola, perbankan, konsultan pendamping, perwakilan kelompok plasma.
Dengan demikian output dari forum komunikasi ini digunakan sebagai pedoman baku guidelines bagi semua pihak stakeholder dalam melaksanakan dan
memonitor kegiatan pengelolaan proyek. Karena pentingnya lembaga forum komunikasi ini dalam menunjang
keberhasilan proyek, maka yang perlu digaris bawahi adalah perlu adanya konsultan yang profesional dibidangnya sebagai leader dan sekaligus sebagai
pendamping dalam lembaga ini mengingat keterbatasan sumberdaya manusia yang ada di daerah. Pengalaman pada proyek TIR transmigrasi Jawai
menunjukkan bahwa dengan adanya pendampingan yang dilakukan oleh konsultan pada pelaksanaannya telah berhasil melakukan beberapa kesepakatan
yang menjadi acuan pelaksanaan proyek namun sayangnya keberadaan konsultan tersebut tidak berlangsung lama. Gambaran yang direkomendasikan mengenai
konsep tentang mekanisme pengelolaan proyek TIR transmigrasi Jawai sebelum lunas kredit dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mekanisme pengelolaan proyek sebelum lunas kredit Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa badan pengelola masih merupakan
kepanjangan tangan dari perusahaaan inti di lokasi proyek, namun peran badan pengelola disini selain harus berkoordinasi dengan perusahaan inti juga sudah
harus melaksanakan keputusan yang telah diambil oleh lembaga forum komunikasi. Dalam mengantisipasi dan melaksanakan peran tersebut lembaga
badan pengelola harus menciptakan sistem kerja yang lebih profesional baik dalam lingkup internal organisasi badan pengelola maupun ke perusahaan inti.
Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi didalam organisasi badan pengelola dapat dilihat pada Gambar 11.
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Bank Konsultan
FORUM KOMUNIKAS
I
KUD Perusahaan
Inti Suplier
OUTPUT :
- Aturan Kesepakatan - Sanksi dan lain-lain
Badan Pengelola Perusahaan Inti
Petani Tambak Plasma
Operasional Budidaya
WEEKLY MEETING WEEKLY MEETING
WEEKLY MEETING PIMPINAN
PERTEMUAN BULANAN
PERTEMUAN MINGGUAN
LAPORAN KE MANAJEMEN
-KERJASAMA DARI SEMUA SEKSI
- USULAN JADWAL PERENCANAAN
- MASUKAN INFORMASI DAN GAGASAN
- DISKUSI PERMASALAHAN DAN
KENDALA
KEPUTUSAN KEBIJAKAN KEPUTUSAN DIAMBIL BERDASARKAN
KAJIAN PERMASALAHAN PROYEK SECARA MENYELURUH OLEH SEMUA
KEPALA SEKSI PELAKSANAAN APLIKASI PEKERJAAN
SESUAI DENGAN KEPUTUSAN YANG TELAH DIAMBIL
PERTEMUAN MINGGUAN BERIKUTNYA MENGKAJI PERMASALAHAN SEBELUMNYA
DAN MENGAGENDAKAN KEMBALI PERMASALAHAN PROYEK
LAPORAN
Gambar 11. Mekanisme koordinasi sistim kerja antar seksi Lingkup kegiatan operasional budidaya di lokasi proyek yang merupakan
tugas dari badan pengelola bukan hanya terfokus dalam hal teknis budidaya udang saja tetapi lebih luas lagi yaitu meliputi pengajuan program, pelaporan,
perhitungan hasil panen plasma dan lain-lain. Oleh karena itu dalam menunjang kelancaran operasional dilapangan diperlukan sistem koordinasi kerja yang baik
dalam hal usulan anggaran antara badan pengelola dengan kantor pusat perusahaan inti. Pada Gambar 12 dapat dilihat mekanisme prosedur pengesahan
anggaran dari badan pengelola kepada perusahaan inti.
Rencana Anggaran Biaya Dari Masing-
Masing Bagian
Pengolahan Data
Analisis Keuangan
ACC ACC
Site Manager
Tidak
Ya Tidak
Usulan Anggaran Operasional Lapangan
Ya
Kantor Pusat Perusahaan
Inti Distribusi ke
Masing- masing Bagian
Analisis Keuangan
ACC
Tidak
Direksi
Ya
Disahkan
Tidak
Pedoman Kerja
Ya
Gambar 12. Prosedur pengesahan anggaran
Selama pelaksanaan proyek perhatian lebih banyak terfokus kepada bagaimana kredit tersebut dapat lunas sesuai dengan target waktu yang ditetapkan,
namun kajian mengenai konsep mekanisme pengelolaan proyek perintis TIR transmigrasi Jawai pasca lunas kredit belum dipersiapkan. Kajian mengenai
konsep pengelolaan proyek pasca pelunasan kredit tersebut sudah harus dipersiapkan jauh hari sebelumnya karena 1 dimaksudkan agar KUD dan
plasma pada saatnya sudah siap menggantikan posisi perusahaan inti sehingga kontinuitas operasional budidaya tetap dapat berlangsung, 2 pengelolaan
budidaya udang dalam satu kawasan memerlukan kerjasama yang terpadu antar plasma dan 3 adanya infrastruktur seperti petak tambak, saluran irigasi dan lain-
lain yang sudah dibangun memerlukan biaya perawatan secara berkala. Gambaran
konsep mengenai mekanisme pengelolaan model TIR pasca lunas kredit dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Mekanisme pengelolaan pasca lunas kredit Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pada fase pasca pelunasan kredit,
posisi perusahaan inti sudah digantikan oleh KUD. Pada fase ini kemitraan antara KUD dengan mantan perusahaan inti tidak selalu harus terputus. Beberapa bentuk
pola kemitraan masih mungkin dapat dilakukan diantaranya 1 pola kemitraan dengan kesepakatan jaminan penyediaan sarana produksi dan pemasaran output
dan kontrak harga, 2 pola kemitraan yang hanya memiliki kesepakatan jaminan penyediaan produksi dan pemasaran output atau 3 hanya sebagai penyedia sarana
produksi. Pada Gambar 13 dapat dilihat bahwa kedudukan lembaga badan pengelola
lebih independent dibandingkan dengan pada saat fase sebelum lunas kredit karena tidak berada dibawah garis koordinasi KUD. Dengan kedudukan seperti itu
maka badan pengelola sudah mempunyai otoritas sebagai komandan di lapangan, hal ini disebabkan karena badan pengelola merupakan lembaga yang mempunyai
tugas melaksanakan hasil keputusan dari lembaga forum komunikasi yang
Konsultan Bank
KUD Suplier
Mantan Perush. Inti
atau Swasta lain
Pemerintah Daerah
FORUM KOMUNIKASI
Petani Tambak Plasma
OUTPUT : - Aturan Kesepakatan
- Sanksi dan lain-lain Badan Pengelola
Operasional Budidaya Pemerintah
Pusat
merupakan otoritas tertinggi dalam ruang lingkup proyek. Oleh karena itu badan pengelola mempunyai kewenangan sebagai eksekutor untuk menjatuhkan sanksi
di lapangan sesuai dengan aturan yang berlaku dan harus dipertanggung jawabkan pada lembaga forum komunikasi. Struktur organisasi badan pengelola sebagai
komandan lapangan tersebut dapat dilihat pada gambar 14.
BUDIDAYA DAN KEUANGAN
ASISTEN TEKNIK
BAGIAN UMUM
PRODUKSI KEAMANAN
KEUANGAN ADMINISTRASI
SITE MANAGER BADAN PENGELOLA
FORUM KOMUNIKASI
AUDIT KONSULTAN
MEKANIK LABORATORIUM
KEPALA UNIT KEPALA BLOK
PLASMA LOGISTIK
Gambar 14. Struktur organisasi badan pengelola Secara umum dapat dikatakan bahwa peran lembaga badan pengelola baik
pada fase sebelum dan sesudah lunas kredit menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan proyek. Hal ini disebabkan karena peran
yang strategis dari badan pengelola, yaitu; 1 badan pengelola adalah lembaga pengambil keputusan di lapangan yang menentukan waktu pelaksanaan penebaran
benur, panen dan lain sebagainya yang akhirnya akan mempengaruhi performa cash flow
keuangan proyek, 2 badan pengelola bertanggung jawab terhadap pembinaan teknis budidaya udang yang dampaknya akan langsung berpengaruh
terhadap tingkat keberhasilan proyek, 3 badan pengelola merupakan lembaga di lapangan yang membuat program kerja yang termuat dalam usulan anggaran yang
akan menentukan performa kinerja operasional proyek, dan 4 profesionalisme kerja badan pengelola dalam hal stock input dan output barang akan berdampak
positif untuk mengetahui performa analisis labarugi per petak tambak pada setiap saat dalam pengambilan keputusan waktu panen. Untuk mengantisipasi peran dari
badan pengelola yang strategis tersebut diperlukan pola sistim kerja baku yang meliputi tugas dan tanggung jawab job description dari masing-masing bagian.
Pada Gambar 15 memperlihatkan implementasi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab job description dari masing-masing bagian pada badan pengelola.
Rencana Pengelolaan
Produksi Rencana
Pelaksana Rencana
Daftar Kebutuhan
Bahan Rencana
Alokasi Input Harian
Aktivitas Monitoring
Pertumbuhan Stock
Rekap Data Mingguan
Internal Estimasi
Pertumbuhan Kebutuhan
Input Rekap Data
Komulatif InputSiklus
Rencana Operasional
Laporan Output Aktivitas
Pemberian Pakan Harian
Aktivitas Manajemen
Kualitas Air Status
Kemajuan Efisiensi
Pemakaian Input
Estimasi Produksi
Distribusi Kumulatif
InputOutput Integrasi Input
Fisik dan Input Finance
Kalkulasi Biaya Produksi
Terima Pakai Barang
Rekap Kartu Stock
Site Manager
Kepala Unit
Kepala Blok PPL
Penggarap Plasma
Pengawas Budidaya
Akunting Logistik
Gambar 15. Implementasi job description badan pengelola
Upaya mengoperasikan kembali TIR Transmigrasi Jawai Sebelum mengkaji kelembagaan dalam upaya untuk mengoperasikan
kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu yaitu 1 status kepemilikan lahan tambak harus
diperjelas mengingat sertifikat lahan tambak pada saat akad kredit adalah atas nama plasma. Status kepemilikan lahan tambak adalah milik Bank Kalbar, hal ini
dikarenakan proyek ini sampai dengan saat ini dalam kondisi stagnan sehingga dapat dikategorikan sebagai kredit macet, 2 status hutang plasma harus diperjelas
mengingat sampai dengan saat ini belum ada plasma yang berhasil melunasi kredit. Dalam penelitian ini tidak dilakukan pembahasan mengenai status hutang
plasma, namun status hutang plasma tentunya akan menjadi pertimbangan Pemda Bank Kalbar dalam mengambil keputusan dalam rangka untuk mengoperasikan
kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai. Menurut Yulianto 1997, kegagalan produksi menyebabkan pelaku
agribisnis melakukan penyesuaian kelembagaan. Kelembagaan tersebut menekankan pada hubungan principal agent, yang pada taraf operasional
ditetapkan melalui sistem kontrak baik formal maupun informal. Kondisi ini menyebabkan principal mau mendistribusikan resiko dan manfaat kepada agent.
Selanjutnya dijelaskan bahwa model kontrak usaha tambak contract farming dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu 1 kontrak menurut model TIR, yaitu
kerjasama antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma, 2 kontrak menurut hubungan sistem bagi hasil formal yang selanjutnya disebut
sebagai kerjasama operasional KSO yaitu kerjasama antara petambak dengan perusahaan menurut perjanjian tertentu, dan 3 kontrak menurut hubungan
tradisional yaitu kerjasama antara petambak dengan pedagang tengkulak yang berlangsung secara informal. Selain kontrak yang telah disebutkan diatas, masih
ada kontrak usaha tambak yang umum dilakukan yaitu sewa lahan, yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh petambak dengan jalan menyewakan lahan
tambak miliknya kepada perusahaan atau perorangan. Berikut ini apabila diasumsikan bahwa plasma sebagai pemilik lahan tambak, maka berdasarkan
kajian struktur kelembagaan terhadap model kontrak usaha tambak contract farming
dapat dijabarkan hal-hal sebagai berikut:
Kelembagaan contract farming model TIR 1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa inti memegang kewenangan penuh
dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran. 2. Hak kepemilikan, menunjukkan sebelum kredit lunas maka lahan masih
dikuasai oleh perusahaan inti sebagai penjamin kredit. Harga udang ditentukan oleh inti, sehingga harga jual udang yang tinggi merupakan insentif bagi
plasma untuk memiliki tambak. 3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma tidak dapat memutuskan
sendiri berkaitan dengan usaha budidaya udang karena terikat dengan aturan main rules yang telah ditetapkan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa perusahaan inti lebih banyak mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, hal ini mengingat
perusahaan inti sebagai penjamin kredit mempunyai resiko lebih besar dibanding plasma karena plasma pada dasarnya belum mempunyai agunan baru calon
pemilik tambak. Kelembagaan contract farming KSO
1. Batas yuridiksi, sama dengan model TIR yaitu bahwa inti memegang kewenangan penuh dalam menentukan penerapan teknologi dan pemasaran.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan bahwa sumberdaya tidak dimiliki oleh perusahaan, tetapi harga udang ditentukan oleh perusahaan dan plasma tidak
berhak menjual kepada pihak lain. 3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma tidak dapat memutuskan
sendiri berkaitan dengan usaha budidaya udang karena terikat dengan aturan main rules yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian diatas, menunjukkan bahwa inti masih memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan dalam hal harga udang dan teknologi. Sistim bagi
hasil yang diterapkan sudah menunjukkan upaya pendistribusian resiko, namun resiko lebih besar masih condong kepada perusahaan inti mengingat kerugian
yang harus ditanggung bila terjadi gagal panen.
Kelembagaan contract farming hubungan tradisional 1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa tengkulak mempunyai kewenangan
penuh dalam keputusan meminjamkan kuantitas sarana produksi. Plasma mempunyai kewenangan penuh dalam menentukan aktifitas budidaya.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan sumberdaya lahan dimiliki oleh plasma tetapi tengkulak mempunyai klaim agar plasma tidak menjual udang ke pihak lain.
Apabila ketentuan ini dilanggar, maka tengkulak akan memutuskan kerjasama pada musim tanam berikutnya.
3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa plasma mempunyai kewenangan dalam hal aktifitas budidaya, namun jumlah input sarana produksi merupakan
kewenangan tengkulak. Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa plasma dan tengkulak
memiliki kewenangan sesuai dengan kepemilikannya dan sudah terbentuk kepercayaan antara satu sama lain.
Kelembagaan contract farming sewa 1. Batas yuridiksi, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan penuh
dalam melaksanakan aktifitas budidaya sedangkan plasma sudah tidak mempunyai kewenangan lagi.
2. Hak kepemilikan, menunjukkan bahwa sumberdaya masih dimiliki oleh plasma tetapi penyewa mempunyai kewenangan untuk memutuskan penjualan
udang. 3. Aturan representasi, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan
penuh atas aturan dalam aktifitas budidaya sebagai kompensasi atas pembayaran sewa lahan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, menunjukkan bahwa penyewa mempunyai kewenangan penuh atas aktifitas kegiatan budidaya sedangkan plasma
memperoleh imbalan berdasarkan kesepakatan nilai harga sewa. Berdasarkan uraian diatas, maka dari segi pengendalian resiko dalam
kerangka contract farming pada kontrak usaha model TIR, KSO, hubungan tradisional dan sewa menunjukkan bahwa pihak plasma memperoleh kemudahan
dalam hal penjualan hasil produksi dan memperoleh input produksi. Pihak perusahaan dalam model TIR melakukan pengendalian resiko melalui aktififitas
budidaya yang dilakukan oleh plasma dengan melakukan pembinaan teknis budidaya yang dibagi dalam sistim kelompok, blok dan unit.
Secara ringkas kerangka kelembagaan menurut model kontrak usaha tambak dapat dijelaskan sebagai berikut 1 Model TIR membagi resiko dengan
jalan struktur kontrak yang berisi hak dan kewajiban, insentif dan sanksi, 2 Model KSO melakukan pendistribusian resiko dengan jalan memberikan insentif
terhadap pekerja, 3 Model hubungan tradisional melakukan penjaminan resiko melalui peminjaman kapital yang mengakibatkan ikatan kepada plasma dan 4
Model sewa melakukan pengalihan resiko melalui kesepakatan harga nilai sewa. Diantara empat model kontrak tersebut, model kontrak usaha TIR secara
implisit dalam aturan main rules of the games menyatakan bahwa salah satu orientasi usaha ini adalah dalam rangka untuk kepemilikan tambak oleh plasma.
Model kontrak usaha KSO dan sewa dapat diatur sedemikian rupa dimodifikasi sehingga kesepakatan dalam aturan main sudah memasukan komponen cicilan
tambak oleh plasma. Oleh karena itu pada kontrak KSO dan sewa biasanya waktu yang dibutuhkan plasma untuk memiliki tambak sendiri bersifat statis tetap
karena sudah ditentukan sebelumnya. Sedangkan model kontrak usaha TIR, plasma dapat memiliki tambak sendiri lebih cepat dari target waktu yang telah
ditetapkan, yaitu apabila plasma memperoleh keuntungan yang besar dari hasil panen maka plasma tersebut dapat menyisihkan sebagian keuntungannya untuk
mencicil tambak lebih besar dari ketentuan yang ditetapkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka model kontrak usaha TIR adalah yang paling tepat diterapkan pada
proyek perintis TIR transmigrasi Jawai karena tujuan utama program pola TIR adalah dalam rangka plasma dapat memiliki tambak sendiri.
Dalam rangka upaya untuk mengoperasikan kembali proyek TIR Transmigrasi Jawai, maka beberapa alternatif kemungkinan yang dapat diambil
oleh Pemda Bank Kalbar adalah sebagai berikut : a. Dikelola oleh Pemerintah Daerah Bank Kalbar.
- Secara keseluruhan total dikelola oleh Pemda Bank Kalbar, alternatif ini dirasakan sulit dilaksanakan mengingat keterbatasan dana yang dimiliki.
- Sebagian dikelola oleh Pemda Bank Kalbar yang sumber pembiayaannya diharapkan dari hasil penerimaan KSO dan atau sewa.
- Dalam rangka keberlanjutan usaha, maka sebagian 10 petak tambak dapat dijadikan sebagai petak percobaan untuk tujuan research and development
RD. b. Menerapkan model TIR dengan mendatangkan investor sebagai inti.
- Penerapan model TIR dapat dilakukan secara total atau sebagian. - Kemungkinan dapat terjadi ada beberapa perusahaan inti dalam satu kawasan
proyek. b. Melakukan kerjasama operasional KSO dengan pihak ketiga.
- KSO dengan pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian. - Pemda Bank Kalbar dalam hal ini menerima bagi hasil berdasarkan
penyertaan modal sharing berupa aset tambak, oleh karena itu diperlukan lembagabadan yang bertugas untuk memonitor pelaksanaan kerjasama
tersebut. c. Disewakan dengan Pihak Ketiga.
- Disewakan kepada pihak ketiga dapat dilakukan secara total atau sebagian. - Pemda dalam hal ini menerima hasil berdasarkan kesepakatan harga nilai
sewa. Untuk menunjang langkah-langkah yang akan diambil oleh Pemda Bank Kalbar ,
maka yang perlu diperhatikan adalah setiap keputusan model kontrak yang akan diambil adalah harus berdasarkan per blok, hal ini disebabkan karena sistem
pengelolaan tata air tambak di lokasi proyek adalah dengan menggunakan pompa yang kemudian dialirkan ke masing-masing petak dalam satu blok bukan satu
pompa untuk satu petak. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka langkah strategis yang harus
diambil oleh Pemda adalah membentuk badan pengelola yang bertugas sebagai lembaga yang bertanggung jawab selain untuk mempersiapkan upaya
mengoperasikan kembali TIR transmigrasi Jawai juga nantinya akan bertugas untuk memonitor pelaksanaan operasional dilapangan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan