Konsep bagi hasil contract farming

peraturan pemerintah. Lembaga formal tersebut antara lain bank swasta, bank pemerintah, koperasi yang terdaftar dan lembaga keuangan lainnya.

2.3.5. Konsep bagi hasil contract farming

Menurut Glover dan Kusterer 1989 dalam acuan Yulianto 1997 di dalam suatu rangkaian aktifitas agribisnis melibatkan bentuk hubungan yang kompleks dan langsung antara perusahaan besar dan petani kecil dalam bentuk contract farming . Didalam sistem ini perusahaan yang mendapatkan produk dengan membeli dari petani lokal melalui kontrak, mengkhususkan pada bebrapa kondisi penjualan dan tanggung jawab perusahaan untuk menyediakan bantuan teknik dan jasa pelayanan. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga pertimbangan dilakukannya contract farming, yaitu: 1. Kontrak mendapatkan beberapa keuntungan baik bagi perusahaan maupun petani khususnya berkenaan dengan resiko dan ketidak pastian. Faktor harga, kuantitas, kuantitas dan standar kualitas sering tidak pasti, sehingga kontrak menyebabkan petani dapat memperoleh pasar yang pasti untuk penjualan outputnya, sedangkan bagi perusahaan menginginkan tersedianya kuantitas dan kualitas produk secara konsisten. 2. Kontrak menimbulkan pengaruh sosial yang luas dan sering berkembang ke arah kontrak yang dapat melibatkan tenaga kerja, anggota-anggota rumah tangga dan masyarakat wilayah secara umum manakala dalam proses pengoperasiannya sering memperkenalkan produk dan teknik baru yang umumnya menyangkut system pengolahan processing dan system pengepakan packing. 3. Di dalam sistem pengoperasiannya melibatkan ukuran-ukuran substansi perusahaan yang kadang-kadang berhubungan dengan institusi pemerintah dan agen pemberi kredit. Koalisi dari berbagai kepentingan dalam agribisnis yang banyak mengandung risiko seringkali menjadi kompleks dan sarat bila dipandang dari sudut petani dan kenyataannya terdapat celah konflik kepentingan, eksploitasi dan perundingan dengan perubahan dinamika internal yang berlangsung setiap saat. Anwar 1993 dalam acuan Yulianto 1997 menyatakan bahwa hubungan antara pedagang atau pengusaha agro-processing dengan para petani dapat terjalin dalam suatu kontraktual aturan main yang disetujui bersama sistem agribisnis. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam keadaan dunia nyata sistem ekonomi yang berlaku mempunyai beberapa variant yang dapat dikelompokan sebagai berikut; a bentuk integrasi vertikal, b bentuk hubungan di luar sistem pasar seperti KUD, PIR dan c campur tangan pemerintah sepenuhnya central planning. Menurut Yulianto 1997, adanya kegagalan dalam mencapai target hasil produksi menyebabkan dilakukannya perubahan penyesuaian kelembagaan agribisnis. Kelembagaan tersebut menekankan pada hubungan principal agent yang pada taraf operasional ditetapkan melalui system kontrak baiksecara formal dan informal. Dengan adanya kegagalan produksi tersebut secara implisit menyatakan bahwa keputusan dalam mengalokasikan sumberdaya mengandung unsur resiko, baik karena resiko alam natural risk ataupun resiko yang bersumber dari aktifitas keputusan manusia man-made risk. Kondisi ini menyebabkan principal mau mendistribusikan resiko danmanfaat kepada agent. Dari hal tersebut pelaku usaha membangun sistem kelembagaan institutional building dalam bentuk hubungan principal-agent yang mampu menampung dan memungkinkan terjadinya pertukaran secara simultan dengan maksud mereduksi risiko kegagalan. Melalui hubungan tersebut selanjutnya ditetapkan model-model kontrak yang mengatur hak dan kewajiban serta sanksi. Untuk menilai keberhasilan kelembagaan kontrak dari suatu kerjasama akan berjalan dengan baik atau tidak, menurut Anwar 1993 dalam acuan Yulianto 1997 perlu didasarkan atas empat kriteria, yaitu 1 efficiency efisiensi dalam arti bahwa dibentuknya kelembagaan adalah untuk menghindari pemborosan, 2 equity pemerataan yaitu kondisi yang memuaskan semua pihak yang terlibat sesuai dengan posisi dan harkatnya, 3 sustainability keberlanjutan yaitu pertumbuhan usaha dapat berlangsung secara terus menerus saling menguntungkan dan 4 interactive decision making yang melibatkan berbagai pihak. Model kontrak usaha tambak contract farming menurut Yulianto 1997 dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu; 1 kontrak menurut model TIR, yaitu kerjasama antara perusahaan sebagai inti dan petambak sebagai plasma, 2 kontrak menurut hubungan sistem bagi hasil formal yang selanjutnya disebut sebagai kerjasama operasional KSO yaitu kerjasama antara petambak dengan perusahaan menurut perjanjian tertentu, dan 3 kontrak menurut hubungan tradisional yaitu kerjasama antara petambak dengan pedagang tengkulak yang berlangsung secara informal. Selain kontrak yang telah disebutkan diatas, masih ada kontrak usaha tambak sewa lahan yaitu kerjasama yang dilakukan oleh petambak dengan jalan menyewakan lahan tambak miliknya kepada perusahaan atau perorangan. III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan batasan penelitian