Prasasti Ciaruteun

b. Prasasti Ciaruteun

ditempatkan pada lahan berpagar seluas sekitar 1000 m2 dan dilengkapi cungkup berukuran 8 x 8 m. Prasasti dipahatkan pada sebongkah batu andesit. Prasasti ini ditulis dengan huruf Palawa berbahasa Sansekerta, dituliskan dalam bentuk puisi India dengan irama anustubh terdiri dari

4 baris. Berdasarkan pembacaan oleh Poerbatjaraka prasasti tersebut berbunyi:

vikkranta syavani pateh srimatah purnnavarmmanah tarumanagarendrasya visnoriva padadvayam

yang artinya sebagai berikut:

―ini (bekas) dua kaki yang seperti kaki dewa Wisnu ialah kaki Yang Mulia Sang Purnavarman, raja di negeri Taruma raja yang gagah berani di dunia‖

Di atas tulisan terdapat goresan membentuk gambar sepasang tapak kaki dan di tengahnya terdapat gambar laba- laba.

Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai

Penulis, Ahmad Yanuana

Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut Samantho ketika berziarah

ke Prasasti Batu Tulis ke Prasasti Batu Tulis

vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam.

Terjemahannya menurut Vogel: Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia

yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.

Batu Tulis Ciaruteun ini pada

Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa

awal diketemukannya masih ada

II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan di tengah Sungai Ciaruten . Tarumanagara

pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muhara.

pada

masa

c. Prasasti Kebon Kopi I ( Prasasti Telapak Gajah) Prasasti Kebon Kopi I oleh masyarakat juga disebut

Batu Tapak Gajah. Prasasti Kebon Kopi I berada pada lahan berteras seluas sekitar 1500 m2. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup dengan ukuran 4,5 x 4,5 m. Prasasti Kebon Kopi I dipahatkan pada sebongkah batu dengan bentuk tidak beraturan. Pada permukaan batu yang menghadap ke timur terdapat pahatan yang membentuk 2 telapak kaki gajah. Di antara kedua pahatan tersebut terdapat 1 baris tulisan setinggi 10 cm. Prasasti ditulis dalam bentuk puisi anustubh yang artinya sebagai berikut: ―Di sini nampak sepasang tapak kaki ... yang seperti Airawata, gajah penguasa taruma (yang) agung dalam ... dan (?) kejayaan‖.

Prasasti ini dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor.

Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

jayavi shalasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam

Terjemahannya: ―Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa. ‖

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.