Depok pada Zaman Padjajaran

II. Depok pada Zaman Padjajaran

Pada akhir abad ke-15 Kerajaan Padjajaran diperintah oleh seorang raja yang diberi gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan yang lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi.( Kerajaan Pajajaran, berkuasa sejak tahun 1482 hingga tahun 1579). Pelantikan raja yang terkenal sebagai Sri Baduga Maharaja, menjadi satu perhatian khusus. Pada waktu itu terkenal dengan upacara Kuwerabhakti, dilangsungkan tanggal 3 Juni 1482. Tanggal itulah kiranya yang kemudian ditetapkan sebagai hari Jadi Bogor yang secara resmi dikukuhkan melalui sidang pleno DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor pada tanggal 26 Mei 1972).

Pengganti Sri Baduga Maharaja adalah Surawisesa (puteranya dari Mayang Sunda dan juga cucu Prabu Susuktunggal). Ia dipuji oleh Carita Parahiyangan dengan

45 sumber http://www.cikalbogor.20m.com/shopping_page.htm 45 sumber http://www.cikalbogor.20m.com/shopping_page.htm

Surawisesa dalam kisah tradisional lebih dikenal dengan sebutan Guru Gantangan atau Munding Laya Dikusuma. Permaisurinya, Kinawati, berasal dari Kerajaan Tanjung Barat yang terletak di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, sekarang. Kinawati adalah puteri Mental Buana, cicit Munding Kawati yang ke semuanya penguasa di Tanjung Barat.

Baik Pakuan maupun Tanjung Barat terletak di tepi Ciliwung. Di antara dua kerajaan ini terdapat beberapa kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran diantarnya adalah Kerajaan Muara Beres di Desa Karadenan (dahulu Kawung Pandak). Ini sangat penting artinya pada zaman Padjajaran karena sampai Karadenan terbentang benteng yang sangat kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta yang di bantu oleh Demak, Cirebon dan Banten. Di Muara Beres ini bertemu silang jalan dari Pakuan ke Tanjung Barat terus ke Pelabuhan Kalapa dengan jalan dari Banten ke daerah Karawang dan Cianjur. Kota pelabuhan sungai ini jaman dahulu merupakan titik silang. Menurut Catatan VOC tempat ini terletak 11/2 perjalanan dari Muara Ciliwung dan disebut jalan Banten lama (oude Bantamsche weg)].

Depok berjarak ± 13 kilometer sebelah utara Muaraberes jadi wajar apabila Depok dijadikan front terdepan buat tentara Jayakarta pada waktu berperang dengan Padjajaran.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan :

1. Masih terdapatnya nama – nama Kampung/Desa yang menggunakan bahasa Sunda antara lain Parung Serang, Parung Belimbing, Parung Malela, Parung Bingung, Cisalak, Karang Anyar dan lain –lainnya.

2. Di desa Nangerang dan Kawung Pundak sampai sekarang masyarakatnya masih mengunakan bahasa sunda dalam pergaulan sehari –hari

3. Dr. NJ Krom pernah menemukan cincin emas kuno peninggalan zaman Padjajaran di Nangela, cincin emas tersebut sekarang tersimpan di museum Jakarta.

4. Pada tahun 1709 Abraham Van Riebeeck telah menemukan sebuah benteng kuno peninggalan kerajaan Padjajaran di Karadenan.

5. Di rumah penduduk Kawung Pundak (Karadenan) sampai sekarang masih ditemukan senjata - senjata kuno peninggalan zaman Padjajaran. Senjata – senjata ini mereka terima secara turun - temurun. Banyak di antarnya yang kemudian dititipkan kepada Karyawan Faturahman, hampir 900 pucuk Kujang, Keris, Golok, dan Tombak pernah tersimpan di Rumah kediaman Karfat (bale Pakuan) di Karadenan. Sekarang sebagiannya ditipkan kepada Mama Mukawqa Ali di Ciawi Gadog. Di anatarnya menurut pengakuan Karyawan Faturahman di rumahnya masih tersimpan Golok yang pernah digunakan ole Prabu Lingga Buana, ketika berperang membela diri dan belapati rombongan Sunda dalam peristiwa Perang Bubat yang tak terduga itu. Dan Golok bersama kesaktian Prabu Lingga Buana tersebut sudah dapat menghabisi nyawa ratusan tentara Majapahit yang mengeroyoknya. Penulis sempat melihat dan memegang sendiri Golok tersebut, pada akhir bulan September 2016 lalu. Benar tidaknya cerita beliau, wallahu alam bi shawab.