Bogor Sebagai Alur Kehidupan

2. Bogor Sebagai Alur Kehidupan

Topografi Pakuan Pajajaran dibentuk oleh dua sungai, yaitu Cisadane dan Cihaliwung sehingga tak heran kalau kedua sungai itu selalu disebut dalam rajah pantun. Sisipan ha pada Cihaliwung hanyalah melengkapi suku kata menjadi delapan buah untuk kepentingan matra. Oleh karena itu tak perlu disalah tafsirkan dengan selokan kecil Cihaliwung pada alur Cikahuripan di belakang Pajaratan Embah Dalem di Batutulis.

Kelengkapan alami di Pakuan ini disempurnakan oleh Dalem Aria Natanagara dengan pembuatan saluran yang menghubungkan Cisadane dan Ciliwung. Karya besar ini sebenarnya tidak kalah nilainya dengan Parit Pakuan Karya Prabu Siliwangi yang membentang sepanjang jalur rel kereta api dari Jembatan Bondongan sampai Station Batutulis.

Pembangunan saluran buatan itu sebenarnya dimaksudkan untuk mengairi pesawahan yang waktu itu masih dibangun. Akan tetapi oleh orang-orang tua peristiwa itu ditanggapi dari sisi lainnya. Pak Cilong menganggap pembuatan saluran itu sebagai suatu "perkawinan alur hidup". Ia mengartikan kejadian itu dengan "Ngadanikeun nu laliwung" (menyadarkan yang pada bingung).

Menurut Pak Cilong, dane atau dani artinya sadar atu eling, arti kiasannya jernih, benih yang sewarna dengan putih. Sedangkan liwung diartikan bingung atau kusut pikiran, arti kiasannya keruh, kusam yang sewarna dengan hitam.

Pandangan orang tua ini sejalan dengan pandangan umum yang menilai kehidupan dari sudut serba-dua. Misalnya jasad yang fana (terdiri atas materi dan menjadi sarang nafsu) dan jiwa yang abadi (yang lembut supra-materi dan menjadi sumber budi). Demikianlah putih dan hitam yang dijadikan perlambang kehidupan dan itu pulalah makna Cisadane dan Ciliwung yang, menurut Pak Cilong, airnya dipadukan melalui alur Cipakancilan.

Sejalan dengan hal di atas, ada kenyataan ganjil pada cara berpakaian orang Baduy di Kanekes. Tumbuhan tarum untuk bahan mencelup pakaian terdapat di seluruh daerah ini. Akan tetapi tradisi mereka tetap mengharuskan orang Kajeroan tetap berikat kepala putih, sedangkan orang Panamping berikat kepala biru kehitaman (karena dicelup dengan tarum atau nila?).

Tentu saja kenyataan seperti ini bukan hanya masalah teknis. Lihat saja pada Sundapura (Kota Sunda), ibukota kerajaan Taruma yang dibangun Purnawarman. Kata Sunda (menurut Macdonell) mengandung arti putih atau bersih, ini sejalan dengan arti dani atau dane. Sedangkan Tarum mengandung arti nila yaitu warna antara biru dengan hitam, dan ini sejalan dengan arti liwung.

Brigjen Polisi Purnawarman R. Gojali Suriamijaya dan Alm. Dadang Ibnu, salah satu pembantu pahlawan nasional Oto Iskandardinata, dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang Galuh adalah harimau kumbang, sedangkan lambang Pajajaran adalah harimau putih. Di sini yang ditonjolkan bukan Brigjen Polisi Purnawarman R. Gojali Suriamijaya dan Alm. Dadang Ibnu, salah satu pembantu pahlawan nasional Oto Iskandardinata, dari Sukaraja mengajukan kisah yang sama, bahwa lambang Galuh adalah harimau kumbang, sedangkan lambang Pajajaran adalah harimau putih. Di sini yang ditonjolkan bukan

Orang Pulau Jawa sendiri menyadap kata wyaghra dari bahasa Sangsakerta yang mengandung arti harimau atau pahlawan. Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I sarga 1, dikisahkan bahwa Purnawarman yang selalu unggul dalam peperangan itu dijuluki Wyaghra Ning Tarumanagara atau Harimau Tarumanagara. Jadi, ada tradisi yang mengasosiasikan harimau dengan perbuatan kepahlawanan.

Ki Buyut Rambeng dalam lakon Dadap Malang menggunakan sebutan maung selang untuk para senapati Pajajaran. Konon, harimau ini kecil tetapi terkenal garang (menurut Coolsma, "tijger met zwarte grondkleur roode strepen" = harimau dengan bulu dasar hitam bergaris merah)].

Patung Harimau peninggalan masa silam belum ditemukan, tetapi agama Budha memperkenalkan patung singa pengawal seperti tampak di pelataran Candi Borobudur. Singa adalah lambang Sidharta Gautama yang sebelum menjalani kehidupan sebagai Budha menjadi pahlawan bangsanya dengan gelar Ksatria Sakyasimha (singa bangsa Sakya).

Ikonografi di Borobudur menampilkan patung singa-pengawal dengan sikap duduk seragam seperti Spinx dekat Piramida Gizeh di Mesir. Duduk pada kaki belakang dan bertopang pada kedua kaki depan yang dilipat menjulur ke depan sambil menegakkan dada. Itulah sikap santai, tenang dan anggun tetapi penuh kewaspadaan tanpa menampilkan sikap mengancam. Dengan sikap duduk seperti itu, hewan jenis harimau dan singa dapat langsung berdiri dengan sekali gerakan lompat.

Masyarakat traditional di Jawa Barat pada tahun 1930-an selalu membuat tabungan (cengcelengan) berbentuk harimau dengan sikap duduk seperti singa- pengawal di Borobudur itu. Hal ini tentu saja diwarisinya turun-temurun.

Itulah kajian yang melatar-belakangi sikap duduk patung harimau di depan Balai Kota Bogor.

Pertanyaannya sekarang adalah, adakah sebenarnya harimau yang berwarna putih? Pertanyaan yang sama dapat pula diajukan untuk patung badak putih atau sosok wayang Anoman. Pernahkan pula ada burung rajawali yang berbulu ekor 8 helai, bersayap 17 helai dan berbulu leher 45? Mungkin ada, entah di mana. Yang jelas ada dalam mitos dan legenda atau kisah orang-orang tua.

Tapi bila kita saksikan bagaimana kisah kepergian Surawisesa atas perintah ayahnya (Siliwangi) ke Malaka dalam lakon pantun digubah menjadi kepergian Mundinglaya Dikusuma ke Kahiyangan mencari Lalayang Salakadomas, dan tokoh Alfonso d'Albuquerque digantikan posisinya oleh tokoh Sunan Ambu, dapatlah disimpulkan bahwa kisah-kisah ajaib seperti itu bernilai simbolik/perlambang (siloka) dan menyembunyikan sesuatu kenyataan. Tidak mungkinkah kisah gaib harimau kumbang dan harimau putih itu juga melambangkan kaitan historis antara Tarumanagara (tarum=nila=hitam) dengan Sunda (putih)?.

Terlepas dari itu semua, orang sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau putih hanyalah hiasan simbolik yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moral sebagai bagian warga negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed" (=Kerajaan Sunda diperintah dengan penuh Keradilan, kata Tome Pires) Terlepas dari itu semua, orang sependapat bahwa harimau menjadi lambang kepahlawanan dan putih melambangkan kesucian, kemurnian, kejujuran dan keadilan. Patung harimau putih hanyalah hiasan simbolik yang mudah-mudahan mampu mengingatkan kita apa arti keadilan dan kejujuran dalam ajaran moral sebagai bagian warga negara Republik Indonesia. "The Kingdom of Sunda is justly governed" (=Kerajaan Sunda diperintah dengan penuh Keradilan, kata Tome Pires)

Ciliwung-Cisadane menjadi identitas topografinya (waruga). Sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya, Kotamadya Bogor memiliki bendera pengenal yang berwarna tarum dan putih dengan lambang daerah di tengahnya. Silahkan baca saja bendera itu dengan Kotamadya Bogor di atas lahan Ciliwung dan Cisadane.

Uraian ini ditambahkan sebagai pelengkap dengan maksud memandang ke sisi lain tempat orang-orang tua yang bijak merenungkan sesuatu di luar wujud materi. Manusia modern pernah beranjak terlalu jauh dan menganggap dirinya berhadapan, bahkan berhak menaklukkan alam. Namun pengalaman membuktikan bahwa mereka hanya sebagian dari alam itu. Menaklukkan alam berarti memusnahkan diri sendiri karena lingkungan hidup itu bukan untuk para penghuninya, melainkan terdiri atas para penghuninya.

―Hana nguni, hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggul nya aya tu catangnya. Pajajaran (1482 - 1579) . Artinya: ―Adanya masa kini akan menyebabkan adanya masa datang, tak adanya masa kini maka tak ada juga masa mendatang, karena adanya masa lalu maka ada masa sekarang, Bila tak ada masa lalu, maka tak ada juga masa sekarang. Ada akar pohon menyebabkan adanya Batang Pohon, Bila tidak ada akar pohon maka tak aka nada batang pohon. Adanya Tunggul Pohon karena ada batang pohonnya…‖