STANDAR KOMPETENSI GURU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
BAB V STANDAR KOMPETENSI GURU DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Standar Kompetensi
Dalam kamus Ilmiah Populer, standar diartikan alat penopang; di pakai sebagai patokan atau ukuran baku. 103 Sedangkan Kompetensi memiliki arti
kecakapan; kewenangan; kekuasaan; kemampuan. 104 Sedangkan dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, di
jelaskan bahwa: ”Kompetensi” adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan prilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasi oleh guru atau dosen dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan. 105 Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal,
keilmuan, tehnologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan
profesionalisme. 106
B. Standar Kompetensi Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam
103 Pius A Partanto, Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Suraabaya: Arkola, tt), hal. 723
104 Ibid., hal. 353 105 Undang-undang Guru dan Dosen (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 3 106 Mulyasa, StandarKompetensi dan Sertifikasi Guru (Bandung: Rosdakarya, 2008), hal.
Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Guru dan Dosen penjelasan Pasal 10 ayat (1), Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial yang diperoleh melalui pendidikan profesi. 107
Standar pendidik dan tenaga kependidikan disebut juga dalam SISDIKNAS pasal 28 ayat (3), Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: (a) Kompetensi pedagogik; (b) Kompetensi kepribadian; (c) Kompetensi
Profesional; (d) Kompetensi sosial. 108 Di ungkapkan oleh Muhaimin, dalam bukunya yang berjudul ”Paradigma
Pendidikan Islam”, bahwa dalam pola pemahaman sistem tenaga kependidikan (guru) di Indonesia, terdapat tiga dimensi umum kompetensi yang saling menunjang membentuk kompetensi profesional tenaga kependidikan, yaitu (1) Kompetensi personal (kepribadian); (2) Kompetensi sosial; dan (3) Kompetensi
profsional (Sahertian, 1994, hal. 56). 109 Kompetensi disebutkan juga oleh Muhaimin dan Abdul Mujib, dalam
pendidikan Islam, pendidik akan berhasil menjalankan tugasnya apabila mempunyai ”kompetensi personal-religius, sosial-religius, dan profesional-
religius”. 110
1. Kompetensi Pedagogik
108 Undang-undang Guru dan Dosen, op.cit., hal. 7 Undang-undang Republik Indonesia, SISDIKNAS (Bandung: Fokus Media, 2006 ), hal. 77-78
109 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: PT. Rosdakarya, 2008), hal. 115
110 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hal. 173
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik. 111 Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 112
Sudah menjadi keharusan bagi seorang pengemban tugas sebagai pengajar untuk memiliki penguasaan yang cukup atas ilmunya yang akan ia ajarkan. Ia juga dapat menggunakan sarana-sarana pendukung dalam menyampaikan ilmu. Allah memerintahkan setiap orang untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan yang diinginkan-Nya. Karakter ini berlandaskan sabda Rasulullah Saw. Berikut: ”Sesungguhnya Allah menyukai seorang diantara kalian yang bila bekerja ia
menyelesaikan pekerjaannya (dengan baik)”. (H.R. Al Baihaqi). 113 Lebih lanjut, dalam RPP tentang Guru dikemukakan bahwa: Kemampuan
pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi hal- hal sebagai berikut. 114
a. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan Landasan pendidikan dalam kontek Islam, adalah Al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad Saw. Yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al
111 Undang-undang Guru dan Dosen, Op.cit., hal. 44 112 Mulyasa, Standar kompetensi dan Sertifikasi Guru, Op.cit., hal. 75 113 Husein Syahatah, Quantum Learning, Sukses Belajar Cara Islam, (Jakarta: PT Mizan
publika, 2004), Diterjemahkan dari Ath-Thariq At-Tafawwuq: Ru’yah Islamiyyah. Hal. 49 114 Mulyasa, Op.cit., hal. 75 publika, 2004), Diterjemahkan dari Ath-Thariq At-Tafawwuq: Ru’yah Islamiyyah. Hal. 49 114 Mulyasa, Op.cit., hal. 75
Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Q.S. al-An’am: 38). 116
Dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang- orang yang berserah diri. (Q.S. an-Nahl: 89). 117
Banyak Ulama’ memahami frase ”segala sesuatu” masuk kedalamnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berbeda. Pembenaran mereka atas hal ini adalah bahwa, baik ilmu pengetahuan yang dicapai melalui analogi dan Hadits
adalah bagian dari syari’at (Razi, jilid 4, 1324 H: 40-41). 118 Sedangkan ayat di atas, menurut hampir seluruh ahli tafsir, menjelaskan bahwa Al-Qur’an memuat
prinsip-prinsip yang mampu untuk mengarahkan prilaku manusia. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Qur’an melengkapi manusia dengan ilmu yang berguna (ilmu nafi’) (Ibnu Katsir, jilid 2, tt: 582) yang mengatur hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Dengan kata lain, Al-
115 Zakiah Daradjat, dkk, Op.cit., hal. 19 116 Depag RI, Op.cit., hal. 192 117 Ibid., hal. 415 118 Abdur Rahman Shalih Abdullah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-
Qur’an serta implementasinya (Bandung: CV. Diponegoro, 1991), Cetakan 1. Hal. 42
Qur’an mengajarkan kepada manusia pandangan yang pasti mengenai dirinya sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. 119
Beberapa argumen tentang pendidikan. Pertama, banyak ayat-ayat Al- Qur’an, dapat kita temukan adanya ungkapan tarbiyyah (pendidikan) , Rabb yang menurut para ahli leksikografi bahasa arab, diturunkan dari akar kata tarbiyyah. Argumen kedua, Nabi sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai mu’allim (pendidik). Nabi selalu memberikan pengajaran kepada manusia prinsip-prinsip Islam, dan memerintahkan kepada mereka yang telah menerima pengajarannya
untuk mengajarkan pengetahuannya kepada orang lain. 120 Sabda Nabi:
Contoh petunjuk dan ilmu yang Allah kirimkan kepadaku adalah bagaikan hujan lebat turun kebumi. Tanah subur menyerap air hujan bakal menghasilkan buah-buahan dan rumput berlimpah…Ini adalah contoh orang yang memahami ajaran Allah, mempelajari dan mengajarkan apa
yang diketahuinya kepada orang lain. (H.R. Bukhari). 121
b. Pemahaman terhadap peserta didik Peserta didik adalah salah satu komponen dalam pengajaran, disamping faktor guru, tujuan, dan metode pengajaran. Sebagai salah satu komponen maka dapat dikatakan bahwa peserta didik adalah komponen yang terpenting diantara
119 Ibid., hal. 42 120 Ibid., hal. 43 121 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (Pustaka Azzam,
2007), Jilid I Cetakan ketiga. Hal. 70 2007), Jilid I Cetakan ketiga. Hal. 70
Pandangan tentang peserta didik, setidak-tidaknya terdapat 3 jenis pandangan tentang anak, yaitu: 1). Pandangan lama, menyebutkan bahwa anak adalah orang dewasa yang kecil. Karena itu segala sesuatunya perlu dipersamakan seperti halnya orang dewasa. 2). Anak adalah sebagai anak. Anak tidak bisa dan tidak mungkin dipersamakan sebagai orang dewasa. Ia memiliki ciri-ciri sendiri. 3). Anak adalah hidup di dalam masyarakat dan dipersiapkan untuk hidup di dalam masyarakat. Sebagai calon anggota masyarakat, maka ia harus dipersiapkan sesuai dengan masyarakat setempat. 123
Tujuan guru mengenal peserta didiknya dengan maksud agar guru dapat membantu pertumbuhan dan perkembangannya secara efektif. Adapun aspek peserta didik yang perlu dikenal, antara lain: 124
1. Latar belakang masyarakat
2. Latar belakang keluarga
3. Tingkat inteligensi
4. Hasil belajar
5. Kesehatan badan
6. Hubungan-hubungan antar pribadi
7. Kebutuhan-kebutuhan emosional
8. Sifat-sifat Kepribadian
122 Departemen Agama, Wawasan Tugas Guru dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 46-47
124 Ibid., hal. 47 Ibid., hal. 49
9. Macam-macam minat belajar siswa. Mengenal dan mengajarkan sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam
proses belajar mengajar dalam pendidikan Islam. Al-Ghazali, yang dikutip fathiyah Hasan sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik,
yaitu: 125
1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT., sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli). Firman Allah:
”Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (Q.S. al-An’am:
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S. Ad-Dzariyat: 56). 127
2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (Q.S.ad-Dhuha: 4). Artinya belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan, demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik dihadapan manusia dan Allah.
3. Bersikap tawadlu’ (rendah hati)
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (Mahmudah), dan meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah).
125 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op.cit., hal. 113-114
127 Depag RI, op.cit., hal. 216 Ibid., hal. 862
6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkrit) menuju pelajaran yang sukar (abstrak). Atau dari ilmu yang fardlu ’ain menuju ilmu yang fardlu kifayah.
7. Belajar ilmu sampai tuntas kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Q.S. al-Insyirah:7
8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat yang dapat memberikan kebahagiaan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan dunia akhirat.
11. Peserta didik harus tunduk kepada nasehat guru, sebagaimana tunduknya orang sakit kepada dokternya.
c. Pengembangan kurikulum Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
kompetensi dasar dan tujuan pendidikan. 128 Kurikulum Pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam.
Arifin (1993: 237) menyatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia muslim yang beriman, bertaqwa, dan berilmu
128 Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: Rosda karya, 2006), hal. 46 128 Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: Rosda karya, 2006), hal. 46
Islam sebagai agama wahyu yang sangat mementingkan hidup masa depan yang berorientasi duniawi-ukhrawi telah menempatkan dasar teoritis dalam ayat- ayat Al-Qur’an, antara lain tercantum dalam surat al-Hasyr (59): 18.
”Hai orang-orang mukmin, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri manusia memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilakukan bagi hari esoknya; dan bertaqwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah maha mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. al-Hasyr: 18). 130
Dari ayat Al-Qur’an diatas, dapat diakui bahwa sumber ilmu pengetahuan itu yang diharapkan Allah SWT. Menjadi penopang kemantapan keimanan (umat manusia sebagai khalifah Allah). Menurut Arifin (1991: 113), dapat disederhanakan kedalam tiga sumber orientasi teoritis ilmiah, yaitu: 1). Pengembangan kepada Allah SWT. Yang maha mengetahui sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan; 2). Pengembangan kearah kehidupan sosial manusia, yang semakin komplek dan menekankan ilmu pengetahuan dan tehnologi; 3). Pengembangan kearah alam sekitar yang diciptakan-Nya sebagai penopang kehidupan manusia. 131
Sahabat Ali Bin Abi Thalib r.a. Pernah berkata ”Didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian
sendiri, oleh karena ia diciptakan untuk generasi zaman yang berbeda dengan generasi zaman kalian”. 132
129 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar- Ruzz, 2007), Cetakan 1. Hal. 59
130 Depag RI, Op.cit., hal. 919
132 Abdullah Idi, Op.cit., hal. 60-61 Ibid., hal. 61
Harapan tersebut menunjukkan bahwa konsep kurikulum Pendidikan Islam mempunyai jangkauan ke masa depan bagi anak didik, yakni berupaya menciptakan suatu sosok kepribadian yang mendukung melalui pendidikan. Pengembangan sosok pribadi yang dikehendaki tersebut bisa dicapai melalui kurikulum pendidikan Islam. 133
Adapun di dalam teori kurikulum, Muhaimin, menyebutkan terdapat 4 pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu: 134
1. Pendekatan subyektif akademik;
2. Pendekatan humanistik;
3. Pendekatan tehnologik; dan
4. Pendekatan rekonstruksi. Sumber bahan dan materi kurikulum Pendidikan Islam dapat
dikembangkan melalui bahan yang terdapat dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu:
1. Q.S. al-Baqarah: 129; 151. dan Q.S. al-Jum’ah:2 ”Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As- Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Baqarah: 129). 135
”Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan
133 Ibid., hal. 61 134 Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam (Bandung: Nuansa, 2003),
Hal. 150 135 Depag RI, Op.cit., hal. 33 Hal. 150 135 Depag RI, Op.cit., hal. 33
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata”. (Q.S. al-Jum’ah: 2). 137
2. Q.S. an-Nahl: 44 ”Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan
kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. an-Nahl: 44). 138
3. Q.S. Luqman: 13; 17 ”Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia
memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Luqman:13). 139
”Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (Q.S.
Luqman:17). 140
4. Hadits Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan oleh Abu Daud: ”Perintahkanlah anak-anakmu untuk menunaikan shalat dikala ia
berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika bandel mematuhi shalat dan pisahlah tidur mereka dikala berumur sepuluh tahun”. (H.R. Abu Daud).
5. Q.S. Luqman: 14
136 Ibid., hal. 38 137 Ibid., hal. 932 138 Ibid., hal. 408
140 Ibid., hal. 654 Ibid., hal. 655
”Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Q.S. Luqman:14). 141
6. Q.S. 18: 65 ”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”. (Q.S. al-Kahfi: 65). 142
7. Q.S. 9: 22 ”Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-
lah pahala yang besar”. (Q.S. at-Taubah: 22 ). 143
8. Q.S. 2: 31 ”Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!". (Q.S. al-Baqarah: 31). 144
9. Q.S. 86: 5 ”Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?”.
(Q.S. at-Thoriq: 5). 145
10. Q.S. 88: 17,18,19 ”17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan. 18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?. 19.Dan gunung- gunung bagaimana ia ditegakkan?” (Q.S. al-Ghasyiyyah: 17, 18, 19). 146
141 Ibid., hal. 654 142 Ibid., hal. 454 143 Ibid., hal. 281 144 Ibid., hal. 14
146 Ibid., hal. 1048 Ibid., hal. 1055
Sedangkan Al-Ghazali menempatkan ilmu pengetahuan berikut agar dijadikan bahan kurikulum lembaga pendidikan, yakni: 147
a Ilmu Fardlu ’Ain (wajib dipelajari), yakni ilmu agama yang dipelajari dari Al-Qur’an: Fiqih, Hadits, dan tafsir.
b Ilmu Fardlu Kifayah (untuk menyokong kehidupan di dunia), yakni Metafisika, Ilmu kedokteran, Ilmu Tehnik, Ilmu pertanian dan industri.
d. Pelaksanaan Pembelajaran yang Mendidik dan Dialogis Pembelajaran bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai setrategi,
metode dan pendekatan kearah pencapaian tujuan yang telah direncanakan. 148 Dalam pelaksanaan pembelajaran diperlukan suatu metode untuk
mencapai tujuan pendidikan yang baik dan sempurna. Mendidik dengan cara dialogis adalah suatu metode yang melahirkan sikap-sikap saling keterbukaan antara guru dan murid, akan mendorong saling memberi dan menerima (take and
give) antara guru dan murid dalam proses belajar mengajar. 149 Misal dalam tanya jawab yang dialogis, dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, tanya jawab
dengan para sahabatnya: Kata Nabi: Apakah kamu mempunyai seekor unta ?
Orang tersebut menjawab: ya saya punya Kata Nabi: Berwarna apa kulit untamu itu? Jawabnya: Berwarna merah Kata Nabi: Apakah diantara unta-unta itu ada yang berwarna abu-abu? Jawabnya: Ya, ada Kata Nabi: Dari mana warna itu berasal? Orang itu menjawab: Kemungkinan berasal dari faktor keturunan
147 Abdullah Idi, Op.cit., hal. 65 148 Ahmad Zayadi dan Abdul majid, Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
(PAI) Berdasarkan Pendekatan Kontekstual (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2005), Hal. 8 149 Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Op.cit., hal. 181
Nabi menjawab: Kemungkinan anak lelakimu yang terakhir itu berkulit hitam berasal dari keturunan. (H.R. Al-Bukhari). 150
Dalam penerapan metode ini, pikiran, kemauan, perasaan, dan ingatan serta pengamatan terbuka terhadap ide-ide baru yang timbul dalam proses di mana anak didik tidak lagi dipandang sebagai objek pendidikan melainkan juga sebagai subjek. Dengan metode ini proses pembelajaran akan berjalan secara demokratis, dimana anak didik ditempatkan sebagai pribadi yang mandiri, tidak bergantung
kepada seorang guru. 151
e. Perancangan Pembelajaran Perancangan pembelajaran merupakan salah satu kompetensi pedagogis yang harus dimiliki guru, yang akan bermuara pada pelaksanaan pembelajaran. Perancangan pembelajaran sedikitnya mencakup tiga kegiatan, yaitu identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar, dan penyusunan program
pembelajaran. 152
1. Identifikasi kebutuhan Kebutuhan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan kondisi yang sebenarnya, atau sesuatu yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan Identifikasi kebutuhan, antara lain untuk melibatkan dan memotifasi peserta didik agar kegiatan belajar dirasakan sebagai bagian dari kehidupan dan mereka merasa memilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
150 Ibid., hal. 186
152 Ibid., hal. 181 Mulyasa, Standar Kompetesi, Op.cit., hal. 100 152 Ibid., hal. 181 Mulyasa, Standar Kompetesi, Op.cit., hal. 100
b Peserta didik di dorong untuk mengenali dan mendayagunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk memenuhi kebutuhan belajar.
c Peserta didik di bantu untuk mengenal dan menyatakan kemungkinan adanya hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan belajar, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
2. Identifikasi Kompetensi Kompetensi merupakan sesuatu yang ingin dimiliki peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode dan media pembelajaran, serta memberi petunjuk terhadap penilaian. Oleh karena itu, setiap kompetensi harus merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (thinking skill). Kompetensi yang harus dipelajari dan dimiliki peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan 2. Identifikasi Kompetensi Kompetensi merupakan sesuatu yang ingin dimiliki peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus dirumuskan dalam pembelajaran. Kompetensi yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap materi yang harus dipelajari, penetapan metode dan media pembelajaran, serta memberi petunjuk terhadap penilaian. Oleh karena itu, setiap kompetensi harus merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak (thinking skill). Kompetensi yang harus dipelajari dan dimiliki peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan
3. Penyusunan Program pembelajaran Penyusunan program pembelajaran akan bermuara pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), sebagai produk program pembelajaran jangka pendek, yang mencakup komponen program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program. Komponen program mencakup kompetensi dasar, materi standar, metode dan tehnik, media dan sumber belajar, waktu belajar dan daya dukung lainnya.
f. Pemanfaatan tehnologi pembelajaran
Abad 21, merupakan abad pengetahuan, sekaligus merupakan abad informasi, dan tehnologi, atau disebut juga dengan era globalisasi. Oleh karena itu sudah sewajarnyalah apabila dalam abad ini, guru dituntut untuk memiliki kompetensi dalam pemanfaatan tehnologi pembelajaran, terutama internet (e-
learning), sebagai sarana pembelajaran. 154 Tehnologi dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh orang
terhadap objek, dengan atau tanpa alat bantuan perkakas, atau alat mekanis untuk mengadakan perubahan tertentu dalam objek tersebut. Secara luas tehnologi juga
bisa berarti penerapan pengetahuan untuk melaksanakan pekerjaan. 155 Tehnologi komunikasi, baik yang berkarakteristik audio visual, audio,
ataupun grafis, sebenarnya dapat juga dimanfaatkan untuk sektor pembelajaran di
153 Ibid., hal. 102 154 Mulyasa, Op.cit., hal. 106 155 Halim dkk, Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka pesantren, 2005), Cetakan 1.
hal. 161 hal. 161
Beberapa keuntungan menggunakan fasilitas internet sebagai media pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu; Pertama, jangkauan lebih luas tanpa terhalang batas kultural dan geografis. Kedua, informasi/pesan dapat sampai pada sasaran dengan cepat. Ketiga, siapapun dapat mengakses internet, artinya tidak hanya terbatas santri yang ada di pondok pesantren. Keempat, Tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kelima, dapat membuka peluang atau kesempatan melakukan
hubungan komunikasi (dialog) keagamaan secara langsung. 157
g. Evaluasi hasil belajar (EHB) Evaluasi dalam bahasa Arab biasanya dari kata “muhasabah”, berasal dari
kata “ ” yang berarti menghitung, memperkirakan. Al-Ghazali
menggunakan kata tersebut dalam menjelaskan tentang evaluasi diri ( ﺔﺎ
ا ) setelah melakukan aktivitas.
Evaluasi adalah suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan anak didik untuk tujuan pendidikan. 159 Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau tehnik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan setandar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek mental-psikologis dan spiritual-religius, karena manusia hasil
156 Ibid., hal. 162 157 Ibid., hal. 170 158 Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, I (Darul kutub Alamiyah: 1992), hal. 43 159 Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda karya,1993), hal. 276-277 Kerangka Dasar Operasionalisasinya (Bandung: Trigenda karya,1993), hal. 276-277
Surat al-Hasyr ayat 18 dijadikan oleh Al-Ghazali sebagai landasan berpijak dalam menguraikan tentang evaluasi diri:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Hasyr: 18 ). 161
Al-Ghazali mengatakan, Evaluasi dalam pendidikan Islam sangat di anjurkan, sebagai bahan perbaikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
Telitihlah dirimu semua sebelum kamu semua ditelitih, dan timbanglah amal-amalmu semua sebelum ditimbang dirimu sekalian. (al-Hadits). 162
Bila aktivitas pendidikan Islam dipandang sebagai suatu proses untuk memcapai tujuan-tujuan tetentu, maka evaluasi pendidikannya pun harus dilakukan secara kontinyu (terus-menerus), dan prinsip kedua, evaluasi harus
160 Khoiron Rosyadi, Op.cit., hal. 284 161 Departemen Agama R.I, op.cit., hal. 919 162 Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, Ayyuha Al-Walad
(Surabaya: Al-hidayah, tt), hal. 19 (Surabaya: Al-hidayah, tt), hal. 19
2. Kompetensi Kepribadian (personal-religius)
a. Pengertian Kepribadian dalam Perspektif Islam Kepribadian dalam kamus populer disebut dengan ”Personalitas” yang juga memiliki arti kedirian; Individualitas; Orang pribadi; Keindividualan. 164 Sedangkan dalam bahasa arab, pengertian etimologi kepribadian dapat dilihat pengertian term- term padanannya seperti huwiyyah, aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah, dan syahsiyyah. 165 Untuk memperjelas pengertian kepribadian diatas, maka dapat di deskripsikan sebagai berikut:
1. Huwiyyah dan Aniyyah Huwiyyah berasal dari kata huwa (kata ganti orang ketiga tunggal) yang memiliki arti ”dia”. Menurut seorang psikolog-falsafi muslim yaitu Al-Farabi mengemukakan bahwa Huwiyyah berarti eksistensi individu yang menunjukkan keadaan, kepribadian dan keunikan yang dapat membedakan
individu tersebut dengan individu yang lain. 166 Istilah huwiyyah menempatkan individu sebagai diri-objek, dalam arti satu
konstruk kepribadian individu yang dipelajari atau diamati oleh individu lain melalui tehnik interview, pengisian angket, atau pengamatan secara langsung.
163 Tim Dosen Fakultas tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, op.cit., hal. 234 164 Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, op.cit., hal. 592 165 Abdul Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hal. 18-19 166 Ma’an Ziyadah, al-Mausu’ah al- Falsafah al-‘Arabiyyah, (Arab: Inma’ al-Arab,
1986), jilid I, hal. 821.
Huwiyyah jika disederhanakan dalam suatu pertanyaan; ”Menurutmu, siapa aku?” jawabannya ”Kamu adalah....” Jawaban atas pertanyaan itu merupakan rumusan dari huwiyyah. 167
Kata Aniyyah barasal dari kata ”Ana” (aku). Kata Aniyyah disini memiliki kesamaan makna dengan huwiyyah, yaitu sama-sama berarti personality. Bedanya, huwiyyah adalah personality individu yang disimpulkan oleh orang lain, sedangkan Aniyyah adalah personality individu yang disimpulkan dari
pengamatan diri sendiri. 168
2. Nafsiyyah Nafsiyyah berasal dari kata ”nafs” yang berarti pribadi. Orang arab sering menyesali dirinya dengan sebutan nafsi(oh diriku atau oh pribadiku !). Istilah nafs dapat dijumpai didalam Al Qur’an, antara lain sebagai berikut:
a. Nafs berarti diri atau seseorang yang tercantum dalam Q.S. ali Imran (3):
Artinya: Maka Katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu. 169
b. Nafs berarti diri atau seseorang, juga terdapat pada Q.S. Yusuf (12): 54
167 Abdul Mujib, op.cit., hal. 21
169 Ibid., hal. 20 Depag RI, op.Cit., hal. 85
Artinya: Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar Aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". 170
c. Q.S. adz- Dzariyat (51): 21
Artinya: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?. 171
d. Q.S. al-Syams (91): 7
Artinya: Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya).
Dan terdapat dalam Q.S. al- Fajr (89): 27. Nafs sebagai totalitas manusia yang memiliki dimensi raga dan jiwa, yang terdapat dalam Q.S. al- Maidah (5): 32; Q.S. al- Qashash (28): 19, 33. Nafs yang mengartikan tentang person sesuatu, hal ini diterangkan dalam Q.S. al- Furqan (25): 3; Q.S. al- An’am (6): 130. Nafs sebagai diri tuhan terdapat dalam Q.S. al- An’am (6): 12, 54. Nafs sebagai roh, terdapat dalam Q.S. al- An’am (6): 93. Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku, terdapat dalam Q.S. ar- Ra’d (13): 11; Q.S. al- Anfal (8):
171 Ibid., hal. 357 Ibid., hal. 858
Secara etimologi, dzatiyyah memiliki arti identity, personality, dan subjectivity. Dalam teminologi psikologi, dzatiyyah memiliki arti “tendensi” individu pada dirinya yang berasal dari substansinya sendiri. 172
4. Khuluqiyyah Khuluqiyyah adalah bentuk jama’ dari kata akhlaq yang memiliki arti character, disposition dan moral constitution. Al-Ghazali menjelaskan bahwa khuluq adalah suatu kondisi (hay’ah) dalam jiwa yang suci, dan dari kondisi itu tumbuh aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan terlebih dahulu. 173
5. Syakhshiyyah Syakhshiyyah berasal dari kata ”Syakhsh” yang berarti ”pribadi” kata itu kemudian diberi ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (masdar shina’a) Syakhshiyyah yang berarti ”kepribadian”. Dalam kamus bahasa Arab modern, istilah Syakhshiyyah digunakan untuk maksud personality
(kepribadian). 174 Dalam Undang-undang Guru dan dosen, dapat dilihat pengertian
kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. 175
b. Kompetensi Kepribadian Guru dalam pendidikan Islam
172 Abdul Mujib, op.cit., hal. 23 173 Ibid., hal. 26 174 175 Ibid., hal. 25 Undang-undang Guru dan Dosen, op.cit., hal. 44
Kompetensi kepribadian sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi para peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa pada umumnya. 176
Dari uraian tersebut, maka dapat dirumuskan ruang lingkup kompetensi kepribadian guru dalam pendidikan Islam, sebagimana yang di jelaskan Muhaimin, bahwa Imam Al-Ghazali, Al-Nahlawy (1979), Al-Abrasyi (1969), Al- Kailany (1986), Al-Qurasyi (1984); dalam dimensi personal atau kepribadian menyatakan bahwa seorang guru harus meneladani Rasulullah, dalam arti tujuan, tingkah laku, dan pola pikirnya bersifat Rabbani; ikhlash dalam bekerja atau bekerja karena mencari ridlo Allah SWT; menjaga harga diri dan kehormatan; menjadi teladan bagi para peserta didiknya; menerapkan ilmunya dalam bentuk perbuatan; sabar dalam mengajarkan ilmunya kepada peserta didik dan tidak mau
meremehkan mata pelajaran lainnya. 177 Sedangkan menurut AL-Ghazali, yang dikutib oleh Muhaimin dalam
bukunya, kompetensi peronal-religius mencakup: (1) kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukannya sebagaimana anaknya sendiri; (2) peneladanan pribadi Rasulullah Saw; (3) bersikap objektif; (4) bersikap luwes dan
bijaksana dalam menghadapi peserta didik; (5) bersedia mengamalkan ilmunya. 178
176 Mulyasa, op.cit., hal. 117
178 Muhaimin, op.cit., hal. 115 Ibid., hal. 97-98
Dalam pendapat lain, yang diungkapkan oleh Muhaimin dan Abdul Mujid, bahwa personal-religius misalnya memuat tentang: nilai kejujuran, keadilan, musyawarah, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban, dan sebagainya. 179
1. Kepribadian yang mantap (matang dan terkontrol) Kematangan (mantap) diperlukan oleh orang yang mengharapkan kepribadiannya dihormati dan dihargai oleh manusia, terlebih seorang guru dan teladan generasi muda. Orang-orang yang tidak matang kepribadiannya, prilaku mereka mengisyaratkan adanya kekurangan pada akal dan sifat kejantanan yang sempurna, serta hilangnya kehormatan ilmu. Orang yang kondisinya seperti ini
membuat murid-murid mencemooh dan melecehkannya. 180 Imam Nawawi menekankan sifat ini. Dia berkata ”hendaknya ia menjaga
tangannya dari hal-hal yang tidak berguna, menjaga kedua mata agar tidak jelalatan tanpa alasan, menghadap kepada hadirin secara proporsional sesuai
dengan keperluan berbicara”. 181
2. Stabil (Istiqoomah) Diceritakan dari Aisyah r.a. berkata: Nabi ditanya: ”Manakah amal yang paling dicintai oleh Allah ?” Beliau menjawab, yang dilakukan secara terus menerus meskipun sedikit, Beliau bersabda lagi: ”Dan lakukanlah amal-amal itu apa yang kalian sanggup untuk melakukannya”.
Firman Allah SWT:
179 Muhaimin dan Abdul Mujib, loc.cit., hal. 173
181 Muhammad Abdullah Ad duweisy, Op.cit., hal. 69 Ibid., hal. 69
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
Telah dijanjikan Allah kepadamu". (Q.S. Fushilat: 30). 182
Merupakan suatu keharusan bagi seorang pelajar dan atau pendidik, untuk bersungguh-sungguh, kontinyu (terus menerus) dan tidak kenal berhenti dalam
belajar. Hal itu telah diisyaratkan dalam firman Allah Swt. 183
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-Ankabut: 69). 184
Syekh al-Imam al-Ajjal Ustadz Sadiduddin mendendangkan syair Imam Syafi’i untukku:
182 Depag RI, Op.cit., hal. 777 183 Ma’ruf Asrori, Etika Belajar Bagi Penuntut Ilmu, Terjemah Ta’limul Muta’allim
(Surabaya: Al-Miftah, 1996), hal. 47 184 Depag RI, Op.cit., hal. 638
”Kesungguhan akan mendekatkan sesuatu yang jauh dan membukakan pintu yang terkunci. Hak Allah yang paling utama bagi makhluknya adalah orang yang berita-cita tinggi justru diuji dengan hidup yang sempit”. 185
3. Dewasa Tugas mendidik antara lain, harus dilakukan bagi seorang pendidik yang sudah dewasa, baik dewasa dalam ilmunya dan juga umurnya. Sebab anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban. Di negara kita Indonesia, seseorang dianggap dewasa sejak ia berumur 18 tahun atau dia sudah kawin. Menurut ilmu pendidikan adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 18 bagi seorang perempuan. Bagi
pendidik asli, yaitu orang tua anak, maka mereka boleh mendidik anaknya. 186 Langeveled berpendapat, seorang pendidik harus orang dewasa, sebab
hubungan anak dengan orang yang belum dewasa tidak dapat menciptakan situasi pendidik dalam arti yang sebenarnya. Adapun salah satu ciri kedewasaan adalah kewibawaan, dan kewibawaan bersumber pada kepercayaan dan kasih sayang antara pendidik dan anak didik. 187
4. Arif dan bijaksana Allah memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktivitas, seperti mengajar, mendidik para murit-muritnya (berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal
185 Ma’ruf Asrori., loc.cit., hal. 47 186 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Rosdakarya,
2005), Cetakan ke lima. Hal. 80 187 Khoiron Rosyadi, Op.cit., hal. 182 2005), Cetakan ke lima. Hal. 80 187 Khoiron Rosyadi, Op.cit., hal. 182
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya]. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. ali-
Imran: 159). 189
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka. (Q.S. asy Syuura: 38). 190
5. Berwibawa
188 Samsul Nizar, Op.cit., hal. 72-73
190 Depag RI, Op.cit., hal. 103 Ibid., hal. 789
Wibawa diartikan sebagai sikap atau penampilan yang dapat menimbulkan rasa segan dan hormat, sehingga anak didik merasa memperoleh pengayoman dan perlindungan. 191 Pendidik yang berwibawa itu diisyaratkan dalam Al-Qur’an surah al- Furqan: 63 dan 75, yaitu:
Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang- orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang- orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan. (Q.S. al-Furqan: 63). 192
Artinya: Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) Karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan
penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya. (Q.S. al-Furqaan: 75). 193
Seorang guru sudah seharusnya memiliki kepribadian yang kuat serta berwibawa, sehingga dapat menjaga kewibawaan ilmu dan kewibawaan seorang yang memiliki ilmu. Ia tidak takut kepada ancaman orang yang tidak menyukainya. Sikap seperti ini sudah ditunjukkan para ulama’ terdahulu. Bukti
semua itu terdapat dalam firman Allah. 194
191 Khoiron Rosyadi, op.cit., hal. 185 192 Depag RI, Op.cit., hal. 568 193 Ibid., hal. 569 194 Husein Syahatah, Quantum Learning, Sukses Belajar Cara Islam, (Jakarta: PT Mizan
publika, 2004), diterjemahkan dari Ath-Thariq At-Tafawwuq: Ru’yah Islamiyyah. Hal. 50
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita Telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang Kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada Mengetahui. (Q.S. al-Munafiquun (63):8).
6. Menjadi suri tauladan yang baik (Uswatun hasanah) Seorang guru adalah sebagai panutan para murit-muritnya. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak- tanduk, dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka. Bahkan bentuk perkataan, perbuatan dan tindak tanduknya, akan
senantiasa tertanam dalam kepribadian anak. 195 Sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab:
Dalam membina umat, yang bermakna juga sebagai upaya pendidikan, Rasulullah telah menunjukkan betapa penting arti keteladanan. Perkataan atau
195 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, (Jaklarta: Pustaka amani, 1999), Cetakan ke-2. Hal. 142 196
Depag RI, Op.cit., hal. 670 Depag RI, Op.cit., hal. 670
Seorang anak, bagaimana pun besarnya usaha yang dipersiapkan untuk kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan utama, selama ia tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dari nilai-nilai moral yang tinggi. Atas dasar itu seorang penyair melontarkan kecaman yang pedas terhadap pengajar yang tindak-tanduknya bertentangan dengan ucapannya:
Wahai orang yang mengajar orang lain. Kenapa engkau tidak juga mengajari dirimu sendiri. Engkau terangkan bermacam obat bagi segala penyakit agar semua yang sakit sembuh, sedang engkau sendiri ditimpa sakit, obatilah dirimu dahulu. Lalu cegahlah agar tidak menular kepada orang lain. Dengan demikian engkau adalah seorang yang bijak.
Apa yang engkau nasihatkan akan mereka terima dan ikuti, ilmu yang engkau ajarkan akan bermanfaat bagi mereka. 198
7. Berakhlaq mulia Akhlaq merupakan fitrah bagi setiap insan. Diatasnyalah risalah Islam tumbuh dan karenalah Rasulullah saw diutus. Allah telah memuji utusan-Nya tersebut sebagai sosok yang memiliki akhlak mulia. Aisyah mengatakan ”Akhlak beliau adalah Al-Qur’an”. Seorang da’i atau pendidik harus memiliki akhlak yang
198 Khoiron Rosyadi, op.cit., hal. 187 Abdullah Nashih Ulwan, op.Cit., hal. 143 198 Khoiron Rosyadi, op.cit., hal. 187 Abdullah Nashih Ulwan, op.Cit., hal. 143
Adapun akhlak seorang pendidik, dalam mendidik, idealnya sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw. Sebagaimana sayyidah Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah saw. Beliau berkata: ”Akhlaknya adalah Al-Qur’an”. Kesempurnaan (keutamaan) akhlak Rasulullah saw, yaitu terdiri atas 6 hal,
yaitu: 200
a Pertama, kekuatan akal, ketajaman perasaan dan ketepatan firasat. Sungguh dalam diri Rasulullah terdapat cara berpikir yang sehat, managemen berfikir yang benar, dan sistematika berfikir yang baik.
b Kedua, gigih dalam menghadapi kesulitan. Sikap semacam ini merupakan tuntutan bagi beliau dalam menghadapi para musuh.
c Ketiga, zuhud terhadap kesenangan duniawi, qona’ah (rela menerima), tidak mudah condong kepada keindahan dunia, dan tidak lengah (larut) dalam kenikmatannya. Dengan prilaku zuhud semacam itu beliau mampu mengajak (mendidik) para sahabat bersikap zuhud serta tidak mencari keuntungan duniawi dengan mendustakan asma Allah.
d Keempat, tawadhu’ terhadap orang lain, meskipun terhadap murit- muritnya sendiri, serta rendah hati meskipun beliau adalah orang yang sangat ditaati (pemimpin).
199 Musthafa Muhammad Thahan, Pemikiran Moderat Hasan Al banna (Bandung: PT Syamil Cipa Media, 2007), hal. 195
200 Abd Al-Fattah Abu Ghuddah, 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), cetakan ke-1. Hal. 35-39 200 Abd Al-Fattah Abu Ghuddah, 40 Setrategi Pembelajaran Rasulullah (Yogyakarta: Tiara wacana, 2005), cetakan ke-1. Hal. 35-39
f Keenam, menjaga dan menepati janji. Sebagaimana pada diri Rasulullah telah tertanam ke-enam sifat-sifat terpuji tersebut.
Menurut Al-Ghazali: ”Pendidik harus terdiri dari orang-orang yang bisa membuang akhlak tercela dari dalam diri anak didik dengan tarbiyyah dan menggantinya dengan akhlak yang baik (akhlaqul al karimah). Adapun syarat kualitatif yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain; pintar (’alim), tidak tergiur oleh keindahan dunia dan kehormatan jabatan, memiliki guru yang waspada yang jelas silsilahnya hingga Rasulullah Saw; memperbaiki diri dengan riyadloh dengan menyedikitkan dalam makan, bicara, tidur, serta memperbanyak melakukan sholat, sedekah dan puasa. Disamping itu, seorang guru harus menjadikan akhlak-akhlak yang baik sebagai landasan prilaku kesehariannya seperti sabar, membaca shalawat, syukur, tawakkal, yakin, qona’ah, ketentraman jiwa, lemah lembut, murah hati, hilmun, jujur, malu, menepati janji, berwibawa, tenang, tidak terburu-buru, dan lain-lain”. 201
Sebagaimana di katakan oleh Ibnu jama’ah, yang dikutib oleh Abd al- Amir Syams al-Din. Bahwa akhlak seorang guru yang termasuk kode etik seorang guru, yaitu memiliki sifat-sifat akhlak mulia (akhlaqiyyah), seperti menghias diri
201 Imam Al- Ghazali, Ayyuha al-Walad fi Nasihati al- Muta’al limiin Wa Mau Idzotihim liya’lamu Wa Yumayyizu “Ilman Nafi’an Min Ghoiyrihi (Indonesia: al-Haramain jaya, tt), hal. 13-
(tahalli) dengan memelihara diri, khusyu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat yang kuat. 202
8. Ikhlash Quraish Shihab mendefinisikan ikhlash adalah upaya memurnikan dan menyucikan hati, sehingga benar-benar hanya terarah kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan usaha itu, hati masih diliputi atau di hinggapi oleh sesuatu selain Allah, misalnya pamrih dan semacamnya. 203
Ikhlash merupakan sebagian sifat-sifat guru pendidikan Islam yang harus dimiliki. Pendidik hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata karena Allah dalam seluruh pekerjaan edukatifnya, baik berupa perintah, larangan, nasehat,
pengawasan, atau hukuman. 204 Ikhlash dalam perkataan dan perbuatan adalah termasuk pondasi iman dan
merupakan keharusan dalam islam. Allah tidak akan menerima suatu amal perbuatan tanpa dikerjakan secara ihlash. 205 Perintah untuk ikhlas, tercantum
dalam Al-Qur’an:
202 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 98
203 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Volume 15, op.cit., hal. 446
205 Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., hal. 337 Ibid., hal. 338
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan), dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (Q.S. al-Bayyinah: 5). 206
Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.S. al-Kahfi: 110). 207
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asy-Syaikhan (Bukhori dan Muslim)
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang sesuai dengan niatnya”. (H.R. Bukhari dan
Muslim). 208
Sebagaimana menurut Al-Qurthubi dalam tafsirnya, ikhlas dikaitkan pada kondisi (al-hal) ibadah seseorang yang terhindar dari perbuatan penyekutuan
206 Depag. RI, op.cit., hal. 1084 207 Ibid., hal. 460 208 Imam az-Zabidi, Ringkasan Hadits Shahih al-Bukhari (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),
hal. 1
Tuhan dengan sesuatu (syirik). Ikhlas mengingatkan pada seseorang akan arti pentingnya suatu niat dalam melakukan satu perbuatan, sebab niat mengandung komitmen kejiwaan seseorang untuk melakukan perbuatan baik atau menjauhi perbuatan buruk. 209
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, karakter mukhlish dibagi dalam tiga tingkatan: pertama, tidak menganggap bernilai lebih terhadap perbuatan yang dilakukan, sehingga ia tidak menghendaki imbalan dan tidak puas berhenti disitu saja; kedua, merasa malu terhadap perbuatan yang telah dilakukan sambil berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya dan berharap agar perbuatannya dalam cahaya tawfiq (pertolongan)-Nya; dan ketiga, berbuat dengan ikhlas melalui keikhlasan dalam berbuat yang didasarkan atas ilmu dan hukum-
hukumnya. 210
9. Taqwa Sifat terpenting lainnya yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah taqwa, yang sebagaimana di definisikan oleh para ulama’ ialah:
“Menjaga agar Allah tidak melihatmu di tempat larangan-Nya, dan jangan sampai anda tidak di dapatkan di tempat perintah-Nya. Mengerjakan apa
yang di perintahkan Allah dan meninggalkan larangan-Nya”. 211
Firman Allah:
209 Abdul Mujib, op.cit., hal. 321
211 Ibid., hal. 320 Abdullah Nashih Ulwan, Op.cit., hal. 339
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Q.S. ali-Imran: 102). 212
Sebagaimana sabda Nabi: ”Taqwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah perbuatan
buruk dengan perbuatan yang baik, niscaya akan menghapusnya, dan gaulilah orang-orang dengan budi pekerti yang baik”. (H.R. Ahmad, Hakim dan Tirmidzi).
Karenanya, pendidik setelah mengetahuinya, hendaklah memurnikan niat dan bermaksud mendapatkan keridloan Allah dalam setiap amal perbuatan yang dikerjakan, agar diterima oleh Allah, dicintai anak-anak dan muridnya. Disamping
itu apa yang dinasehatkan bisa membekas pada diri mereka. 213 Sebagaimana janji Allah bagi orang-orang yang betaqwa, dalam firman
Allah Swt:
Mereka berkata: "Apakah kamu Ini benar-benar Yusuf?". Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan Ini saudaraku. Sesungguhnya Allah Telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami". Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyia- nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". (Q.S. Yusuf: 90). 214
10. Sabar dalam mengajarkan ilmu Menurut Al-Ghazali, karakter shobir (sabar) terkait dengan dua aspek, yaitu: pertama, fisik (badani), yaitu menahan diri (sabar) dari kesulitan dan kelelahan badan dalam menjalankan perbuatan yang baik. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang berat; kedua,
212 Depag RI, op.cit., hal. 92
214 Abdullah Nashih Ulwan, Loc.cit., hal. 339 Depag RI, op.cit., hal. 363 214 Abdullah Nashih Ulwan, Loc.cit., hal. 339 Depag RI, op.cit., hal. 363
a Sabar dari keinginan perut dan kelamin, disebut dengan al-iffah (menjaga diri) dan kebalikanya disebut dengan al-jaz’u (keluh kesah).
b Sabar dari kekayaan, disebut dengan dhabth al-nafs (menahan diri), dan kebalikanya disebut dengan al-Bathr (sombong).
c Sabar dalam berperang, disebut dengan al-syaja’ah (keberanian), dan kebalikannya disebut dengan al-jubn (penakut).
d Sabar dalam menahan amarah, disebut dengan al-hilm (santun), dan kebalikannya disebut dengan al-tadzammur (menggerutu).
e Sabar dalam menghadapi bencana, disebut dengan sa’ah al shadr (lapang dada), sedangkan kebalikannya disebut dengan dhayyiq al-shadr (sempit dada).
f Sabar dalam menyimpan rahasia orang lain, disebut dengan kiman al-sirr (menyimpan rahasia), dan kebalikannya disebut dengan katum (pemegang rahasia yang sekali-kali menjadi bom waktu dalam menyebarkan rahasia orang lain).
g Sabar dalam kelebihan harta benda disebut dengan al-zuhud, dan kebalikannya adalah al-hirsh (rakus).
h Sabar menerima yang sedikit, disebut dengan al-qona’ah (menerima apa adanya), sedang kebalikannya adalah al-syarr (merasa kurang).
215 Abdul Mujib, op.cit., hal. 323
11. Jujur Yang dimaksud dengan jujur adalah menyampaikan sesuatu dengan keadaan yang sebenarnya, tidak dengan ditambah-tambahi ataupun dikurangi. 216 Allah SWT telah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. (Q.S. at-Taubah: 119). 217
Quraish Shihab, mendefinisikan ”ash-shodiq” adalah suatu yang benar, yaitu berita yang benar yang sesuai kandungannya dengan kenyataan. Dalam
pandangan agama, ia adalah yang sesuai apa yang diyakini. 218 Siapa yang selalu bersama sesuatu, maka sedikit demi sedikit ia akan
terbiasa dengannya, karena itu Nabi Saw. Berpesan” Hendaklah kamu (berucap dan bertindak) benar. Kebenaran mengantar kepada kebajikan, dan kebajikan mengantar ke surga. Dan seseorang yang selalu (berucap dan bertindak) benar
serta mencari yang benar, pada akhirnya di nilai di sisi Allah sebagai shiddiq. 219 Abdul Mujib mengatakan dalam bukunya”kepribadian dalam psikologi
Islam”. Kepribadianyang jujur, sebab kesaksian menuntut pada ucapan dan
216 Mudjab Mahali, Adab dan Pendidikan Dalam Syari’at Islam (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 110
217 Depag RI, op.cit., hal. 301
219 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, volume 5, op.cit., hal. 745 Ibid., hal. 745 219 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, volume 5, op.cit., hal. 745 Ibid., hal. 745
12. Adil Langit dan bumi tegak di atas keadilan. Inilah wasiat Allah kepada hambanya, sebagaimana firman Allah Swt:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an-Nahl: 90). 221
Dari sini, hendaknya kita para guru hendaknya mencarinya, menerapkannya dan berusaha mewujudkannya diantara murid-murid kita. Jangan sampai terlihat kecenderungan dan keberpihakan pribadi. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, ”Jika seseorang murid mendahului rekannya datang kepada Syaikh untuk belajar, maka ia tidak didahulukan dengan dua pelajaran, kecuali keduanya telah mempelajari satu pelajaran. 222
220 Abdul Mujib, loc.cit., hal. 254 221 Depag RI, op.cit., hal. 415 222 Muhammad Abdullah Ad-Duweisy, Menjadi Guru yang Sukses dan Berpengaruh
(Surabaya: Elba, 2006), hal. 78
Muhammad Abdullah Ad-Duweisy mengutip dari Ibnu Sahnun, ia berkata ”jika gaji seorang guru telah di sediakan untuknya, lalu ia tidak berbuat adil, yakni di antara anak-anak, maka dia di tulis termasuk orang-orang yang dzalim. 223
Dalam undang-undang guru dan dosen disebutkan, kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. 224
Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. 225 Sedangkan kompetensi profesional (profesional-relegius), dapat
diidentifikasi berdasarkan pendapat para ulama’ muslim berikut ini: 226 Menurut Al-Ghazali mencakup:
a Menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan peserta didik; dan
b Terhadap peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya di beri ilmu-ilmu yang global dan tidak detail. Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy mencakup:
223 Ibid., hal. 79-80 224 Undang-undang Guru dan Dosen, op.cit., hal. 44 225
E. Mulyasa, op.cit., hal. 135 226 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),
Cetakan keempat. Hal. 98 Cetakan keempat. Hal. 98
b Mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan baik, sesuai dengan karakteristik materi pelajaran dan situasi belajar-mengajar.
c Mampu mengelola peserta didik dengan baik.
d Memahami kondisi psikis dari peserta didik.
e Peka dan tanggap terhadap kondisi dan perkembangan baru. Sedangkan menurut Muhammad Athiyah Al-Abrosyi mencakup:
a Pemahaman tabiat, minat, kebiasaan, perasaan dan kemampuan peserta didik.
b Penguasaan bidang yang diajarkan dan bersedia mengembangkannya. Menurut Ibnu Taimiyah, yang dianalisis oleh Majid ’Irsan Al Kilani
Kompetensi profesional mencakup:
a Bekerja keras dalam menyebarkan ilmu
b Berusaha mendalami dan mengembangkan ilmunya. Menurut Brikan Barky Al-Qurasyi mencakup:
a Penguasaan dan pendalaman atas bidang ilmunya.
b Mempunyai kemampuan mengajar
c Pemahaman terhadap tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik. Dilihat dari dimensi Profesionalnya, Imam Al-Ghazali, menyangkut
tentang: (1) Menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan peserta didik; dan (2) Terhadap peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu-ilmu tentang: (1) Menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan peserta didik; dan (2) Terhadap peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu-ilmu
bersifat Islami dalam menghadapi masalah tersebut. 227 Disebutkan oleh Muhaimin dan Abdul Mujib, dalam bukunya ”Pemikiran
Pendidikan Islam”, Profesional-religius menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional, dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan
berdasakan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam. 228
Kompetensi profesional-religius ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 229
a Mengetahui hal-hal yang perlu di ajarkan, sehingga ia harus belajar dan mencari informasi tentang materi yang diajarkan.
b Menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didiknya.
c Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponen-komponen secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara
227 Muhaimin, op.cit., hal. 116
229 Muhaimin dan Abdul Mujib, loc.cit., hal. 173 Ibid., hal. 174 229 Muhaimin dan Abdul Mujib, loc.cit., hal. 173 Ibid., hal. 174
d Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada anak didiknya sebagaimana firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. as-Shaf: 2- 3). 230
e Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan. Sebagaimana firman Allah Swt:
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
mamang benar orang-orang yang benar!". (Q.S. al-Baqarah:31). 231
f Memberi hadiah (tabsyir/reward) dan hukuman (tandzir/ punishment) sesuai dengan usaha dan upaya yang di capai anak didik dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi dalam proses belajar, firman Allah:
231 Depag RI, op.cit., hal. 928 Ibid., hal. 14
Sesungguhnya kami Telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni
neraka. (Q.S. al-Baqarah: 119). 232
g Memberi uswatun hasanah dan meningkatkan kualitas dan keprofesionalannya yang mengacu kepada futuristik tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan guru. Secara umum kompetensi profesional guru menurut Mulyasa, sebagai
berikut: 233
a Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan Islam, baik filosofis, sosiologis, yuridis (hukum), religi (agama), psikologis.
b Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan peserta didik.
c Mampu menangani dan mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya.
d Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi.
e Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang relevan.
f Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran.
g Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta didik.
233 Ibid., hal. 31 Mulyasa, op.cit., hal. 135 233 Ibid., hal. 31 Mulyasa, op.cit., hal. 135
a Mengembangkan kurikulum, yang meliputi:
1. Memahami standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD)
2. Mengembangkan silabus
3. Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
4. Melaksanakan pembelajaran dan pembentukan kompetennsi peserta didik.
5. Menilai hasil belajar, dll.
b Menguasai materi standar, yang meliputi:
1. Menguasai bahan pembelajaran (bidang studi)
2. Menguasai bahan pendalaman (pengayaan)
c Mengelola program pembelajaran, yang meliputi:
1. Merumuskan tujuan
2. Menjabarkan kompetensi dasar
3. Memilih dan menggunakan metode pembelajaran
4. Memilih dan menyusun prosedur pembelajaran
5. Melaksanakan pembelajaran
d Mengelola kelas, yang meliputi:
1. Mengatur tata ruang kelas untuk pembelajaran
2. Menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif
e Menggunakan media dan sumber pembelajaran
234 Ibid,. hal. 136-138
1. Memilih dan menggunakan media pembelajaran
2. Membuat alat-alat pembelajaran
3. Menggunakan dan mengelola laboratorium dalam rangka pembelajaran
4. Menggunakan perpustakaan dalam rangka pembelajaran
5. Menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar.
f Menguasai landasan-landasan kependidikan, yang meliputi:
1. Landaan filosofis
2. Landasan psikologis
3. Landasan sosiologis
g Memahami dan melaksanakan pengembangan peserta didik, yang meliputi:
1. Memahami fungsi pengembangan peserta didik
2. Menyelenggarakan ekstra kurikuler (ekskul) dalam rangka pengembangan peserta didik.
3. Menyelenggarakan bimbingan dan konseling dalam rangka pengembangan peserta didik.
h Memahami dan menyelenggarakan administrasi sekolah, yang meliputi:
1. Memahami penyelenggaraan administrasi sekolah
2. Menyelenggarakan administrasi sekolah
i Memahami penelitian dalam pembelajaran, yang meliputi:
1. Mengembangkan rencana penelitian
2. melaksanakan penelitian
3. Menggunakan hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
j Menampilkan keteladanan dan kepemimpinan dalam pembelajaran.
1. Memberikan contoh perilaku keteladanan
2. Mengembangkan sikap disiplin dalam pembelajaran k Mengembangkan teori dan konsep dasar kependidikan.
1. Mengembangkan teori-teori kependidikan yang relevan dengan kebutuhan peserta didik.
2. Mengembangkan konsep-konsep dasar kependidikan yang relevan dengan perkembangan peserta didik.
l Memahami dan melaksanakan konsep pembelajaran individual, yang meliputi:
1. Memahami setrategi pembelajaran indivual
2. Melaksanakan pembelajaran individual.
4. Kompetensi Sosial (sosial-religius)
Dalam undang-undang guru dan dosen Pasal 10 ayat (1), disebutkan yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik,
sesama guru, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. 235 Sebagaimana juga dikutip oleh Mulyasa, dalam Standar Nasional Pendidikan di
jelaskan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d, dikemukakan bahwa yang
235 Undang-undang Guru dan Dosen, op.cit., hal. 44 235 Undang-undang Guru dan Dosen, op.cit., hal. 44
Adapun kompetensi sosial dalam Islam, sebagaimana konsep pendidikan sosial dalam pandangan Al-Ghazali yang dikutip oleh Hamdani Hasan dan fuad Ihsan, berkaitan erat dengan konsepnya tentang manusia yaitu:
”Akan tetapi manusia itu dijadikan Allah SWT dalam bentuk yang tidak dapat hidup sendiri. Karena tidak bisa mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal serta menyiapkan alat-alat untuk itu semuanya. Dengan demikian
manusia memerlukan pergaulan dan saling membantu”. 237
Muhaimin, mengatakan ciri dasar yang terkait dengan kompetensi sosial, yakni prilaku guru pendidikan Islam yang berkeinginan yang bersedia memberikan layanan kepada masyarakat melalui karya profesionalnya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam. 238
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir dalam bukunya, mengatakan bahwa Kompetensi sosial menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran dakwah Islam. Sikap gotong-royong, tolong menolong, egalitarian (persamaan derajat antara manusia), sikap toleransi, dan sebagainya
E. Mulyasa, op.cit., hal. 173 237 Hamdani Hasan, fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2001), hal. 255 238 Muhaimin, loc.cit., hal. 115 2001), hal. 255 238 Muhaimin, loc.cit., hal. 115
Persamaan derajat antara manusia (egalitarian), disebutkan oleh Quraish Shihab dalam tafsir ”Al-Mishbah”, bahwa semua manusia derajat kemanusianya sama di sisi Allah, tidak ada perbedaan antara satu suku dengan yang lain. Tidak ada juga perbedaan pada nilai kemanusiaan antara laki-laki dan seorang perempuan. 240
a Sikap Tolong-menolong Bahwa antara seseorang dengan orang lain senantiasa terkait dalam hubungan saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Oleh sebab itu, agama Islam mendorong umatnya untuk saling menolong dan saling membantu, tentu saja yang dimaksud dengan saling menolong di sini adalah tolong-menolong
dalam hal kebaikan. 241 Firman Allah SWT:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. (Q.S. al-Maaidah: 2). 242
239 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., hal. 96 240 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah;Pesan, Kesan dan Keserasian AL-Qur’an
(Jakrta: Lentera Hati, 2002), hal. 260
H. Hasan Alfat, dkk, Akidah Akhlak (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), hal. 73 Depag RI, op.cit., hal. 157 H. Hasan Alfat, dkk, Akidah Akhlak (Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt), hal. 73 Depag RI, op.cit., hal. 157
hubungan segi kemasyarakatan dan cinta kasih. 243 ”Al-Ghazali mengutamakan pentingnya hubungan antara murid dan guru,
karena keberhasilan pendidikan hanya tergantung pada hubungan cinta kasih anatara keduanya. Hubungan ini manandai bila murid merasa tenang
terhadap gurunya, tidak takut padanya, tidak lari dari ilmunya”. 244
Dalam pendapat lain Al-Ghazali juga mengatakan: ”Ketahuilah bahwa setiap manusia itu pasti memerlukan pergaulan dengan
sesamanya dan dengan dirinya. Oleh sebab itu, ia perlu mempelajari norma-norma kesopanan dalam pergaulan. Setiap orang yang bergaul dengan suatu golongan, tentu memiliki cara-cara dan peraturannya sendiri- sendiri. Kesopanan itu tentulah dengan mengingat kepadanya dengan hubungannya”. 245
Di antara adab sosial yang patut mendapat perhatian secara khusus dari para pendidik adalah mengajarkan tata krama dan berbicara disamping dasar-dasar percakapan kepada anak sejak kecilnya. Ada beberapa tata cara berbicara,
yaitu: 246
1. Berbicara berlahan-lahan (tidak tergesa-gesa)
243 Dahlan Tamrin, Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya (, 1988), hal. 46 244 Ibid., hal. 47 245 Al-Ghazali dikutip oleh Hamdani Hasan, Fuad Ihsan, loc.Cit., hal. 255 246 Abdullah Nasihih Ulwan, Pendidikan Social Anak (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1992), hal. 133
Hal ini dimaksudkan agar orang yang mendengar dapat memahami maksud yang dibicarakannya. Hal ini sesuai dengan prilaku Nabi di dalam mendidik umatnya. 247 Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Aisyah r.a. Nabi bersabda:
Tidak pernah Rasulullah Saw, berbicara cepat seperti kalian ini. Beliau berbicara dengan kata-kata yang apabila orang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perkataan Rasulullah Saw, itu terperinci, sehingga dapat dipahami oleh setiap orang yang mendengarnya. (H.R. Abu Dawud).
2. Dilarang memaksa diri untuk berbicara secara fasih Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang jayid dari
Ibnu Umar r.a. Bahwa Rasulallah Saw., bersabda: 248
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla membenci para lelaki baligh (suka bicara), dimana ia suka menyela pembicaraan dengan lisannya seperti lembu yang menyela-nyela dengan lidahnya.
248 Ibid., hal. 564 Ibid., hal. 565
Apabila belia berbicara, maka beliau mengulang sampai tiga kali sehingga dapat dipahami. Dan apabila mendatangi suatu kaum, maka beliau mengucapkan salam kepada mereka, beliau tidak terlalu banyak bicara (tapi jelas dan terinci) dan tidak pula sedikit. Beliau membenci orang yang banyak membual dan memaksakan diri di dalam bicara. (H.R. Bukhari dan Muslim).
3. Pembicaraan harus dapat dipahami Cara bicara yang baik diantaranya adalah dengan menggunakan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat budaya suatu kaum sesuai dengan akal, pemahan dan usia mereka. 249 Nabi Bersabda: Ajaklah manusia berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Apakah
kalian suka mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya?. 250
Engkau tidak akan bericara kepada suatu kaum dengan sebuah pembicaraan yang tidak dapat terjangkau oleh akal mereka, melainkan akan menimbulkan fitnah bagi mereka. (H.R. Muslim).
4. Jangan mempersingkat dan memperpanjang pembicaraan Bila berbicara hendaknya jangan terlalu singkat, sehingga merusak inti pembicaraan. Jangan pula memperpanjangnya, sehingga membosankan
249 Ibid., hal. 566 250 Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Hadits ini adalah termasuk hadits mauquf dari
sahabat Ali r.a.
pendengar. Hal ini dimaksudkan agar pembicaraan dapat lebih meresap ke dalam jiwa para pendengar dan lebih menarik perhatian mereka. Muslim meriwayatkan dari Jabir Bin Samurah r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersasabda:
“Pernah aku shalat (jumat)bersama Nabi Saw, shalatnya sedang-sedang saja dan khotbahnya pun sedang-sedang saja”.
5. Pandangan pembicaraan harus tertuju kepada para hadirin Dengan isnad hasan, Thabrani meriwayatkan dari ’Amr bin ’Ash. Ia berkata, ”Rasulullah Saw. Mengarahkan wajah dan pembicaraannya kepada kaum yang terendah. Beliau mengasihinya dengan itu. Beliau juga mengarahkan wajah dan pembicaraannya kepadaku, sehingga aku mengira bahwa aku adalah sebaik-sebaik orang.
c Hubungan sekolah dengan masyarakat Djumransjah mengatakan bahwa, Masyarakat adalah lembaga ketiga setelah keluarga dan sekolah untuk memberikan pengaruh dan arahan terhadap pendidikan anak-anak. Anak-anak secara tidak langsung menerima pendidikan dari para pemimpin masyarakat, pemimpin agama, penguasa yang ada dalam masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk membentuk kebiasaan, pengetahuan, minat dan sikap, kesusilaan, dan kemasyarakatan serta keagamaan
anak-anak. 251
251 Djumransjah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam; Menggali Tradisi Mengukuhkan Eksistensi (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hal. 99
Hubungan sekolah dengan masyarakat dalam sosiologi pendidikan, adalah sebagai salah satu pemecah masalah, sebagaimana diungkapkan oleh Ary H. Gunawan dalam bukunya”Sosiologi Pendidikan”, dengan pendidikan diharapkan berbagai masalah sosial dapat diatasi dengan pemikiran-pemikiran tingkat intelektual yang tinggi melalui analisis akademis. Selain itu, dengan melakukan kesibukan pendidikan, dapat mengurangi kesempatan untuk berbuat kenakalan sampai kejahatan dalam masyarakat oleh anak remaja. 252
Dzakiah Daradjat menjelaskan, bahwa Pada dasarnya sekolah harus merupakan suatu lembaga yang membantu bagi tercapainya cita-cita keluarga dan masyarakat, khususnya masyarakat Islam, dalam bidang pengajaran yang tidak dapat secara sempurna dilakukan dalam rumah dan masjid. Bagi umat Islam, lembaga pendidikan Islam yang dapat memenuhi harapan ialah lembaga
pendidikan Islam. 253
d Peran guru di masyarakat Di antara hak-hak bermasyarakat yang terpenting yang harus diperhatikan dan diingat oleh para pendidik ialah mengajari anak untuk menghormati guru dan memberikan haknya, sehingga anak akan tumbuh dengan sopan santun sosial yang tinggi terhadap gurunya, terhadap orang yang mengajar, disamping mengarahkan dan mendidiknya. Lebih-lebih jika guru itu berkepribadian baik, taqwa, dan berakhlak mulia. 254
252 Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan; Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 68-69
254 Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hal. 74 Abdullah Nasihih Ulwan, Pendidikan Social Anak., Op.cit., hal. 69
Nabi Muhammad Saw. Telah mengajarkan kepada para pendidik wasiat- wasiat yang mulia, petunjuk-petunjuk yang lurus dalam memuliakan ulama’, dan menghormati guru-guru agar orang banyak mengetahui keutamaan mereka, agar wali murid melaksanakan kewajibannya terhadap guru anaknya, dan agar sesama
murid mempunyai tata krama. 255 Secara garis besar peran manusia sebagai makhluk sosial ini ada dua hal,
yaitu: yang pertama, hubungan manusia dengan sang maha penciptanya (hubungan vertikal) yang bersifat individu. Sedangkan yang kedua adalah hubungan horizontal, yaitu hubungan antara sesama manusia untuk berperan di tengah-tengah lingkungna masyarakat dan berusaha menciptakan lingkungan yang harmonis antara sesamanya. Hubungan ini secara luas juga mencakup seluruh aspek kehidupan dan lapangna pergaulan sosial yang bersekala global, baik
hubungan dengan sesamanya maupun hubungan denga alam sekitarnya. 256 Di kutib oleh Ahmad Budisusilo. Dalam masyarakat umum, guru adalah
tetap merupakan satu sosok atau figur yang mampu memberi inspirasi, penggerak dan pembimbing dalam kegiatan kegiatan sosial kemasyarakatan. Ini tidak lepas dari status guru sebagai panutan bagi siswa siswinya disekolah yang secara mendalam melekat dalam dirinya, dan lebih luas figur itu dianggap sebagai ‘panutan’ pula bagi masyarakat umum disekitarnya. Tentu saja ini berpengaruh pada kuatnya sorotan dan kontrol masyarakat pada segala tindak tanduk seorang guru termasuk kepribadiannya. Kondisi ini mau tidak mau membuat guru harus mendudukkan dirinya sebagai figur yang tidak bisa seenaknya bertingkah laku
255 Ibid., hal. 69-70 256 Triyo Supriyatno, Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Teo-Antropo-Sosiosentris
(Malang: P3M dan UIN Malang, 2004), hal. 97 (Malang: P3M dan UIN Malang, 2004), hal. 97
Di lihat dari dimensi sosialnya, Imam AL-Ghazali, An-Nahlawy, Al- Abrasyi, Al-Kailany, Al-Qurasyi menyatakan bahwa seorang guru harus bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta didik; suka memaafkan terhadap peserta didik, mampu menahan diri, menahan amarah, lapang dada, sabar dan tidak mudah marah karena hal sepele; mampu mencegah peserta didik dari akhlak yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara sindiran dan tidak tunjuk hidung; dan
bersikap adil diantara peserta didiknya. 258
Tabel Hasil Analisis Standar Kompetensi Guru
No Pembahasan
Sumber Refrensi
Keterangan
1 Kompetensi Guru UU. Guru dan Dosen Pasal 10 Ayat (1): (UU RI No. 14 Th. 2005), Kompetensi Guru Jakarta: Sinar Grafika.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Meliputi Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, Kompetensi Profesional yang diperoleh melalui Pendidikan Profesi. (hal:7).
Penjelasan Masing-Masing Kompetensi: Pasal 10 Ayat (1)
Kompetensi Pedagogik Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
257 Sudrajat, Drs. 2007. Kompetensi Kepribadian Guru. http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak/ 2007/052007/14/99forumguru.htm 258
Muhaimin, loc.cit., hal. 116 Muhaimin, loc.cit., hal. 116
Kompetensi Profesional Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Kompetensi Sosial Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. (hal:
2 Kompetensi Guru Mulyasa. 2008. Standar 1.Kompetensi Pedagogik
Kompetensi dan
a Kemampuan Mengelola
Sertifikasi Guru,
Pembelajaran
Bandung: PT.Remaja
b Pemahaman Terhadap
Rosdakarya.
Peserta Didik
c Perencanaan Pembelajaran
d Pelaksanaan Pembelajaran Yang Mendidik Dan Dialogis
e Pemanfaatan Tehnologi Pembelajaran
f Evaluasi hasil belajar
g Pengembangan peserta didik.
2. Kompetensi Kepribadian
a Kepribadian yang mantap, stabil, dan dewasa.
b Disiplin, arif dan berwibawa.
c Menjadi teladan bagi peserta didik.
d Berakhlak mulia
3. Kompetensi Profesional
a Memahami jenis-jenis materi pembelajaran.
b Mengurutkan materi pembelajaran.
c Mendayagunakan sumber pembelajaran.
d Memilih dan menentukan materi
pembelajaran.
4. Kompetensi Sosial
a Berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik.
b Hubungan sekolah dengan masyarakat.
c Peran guru di masyarakat.
3 Kompetensi Guru - Abdul Mujib dan Jusuf 1.Kompetensi Pedagogik. Dalam Perspektif
a Pemahaman wawasan & Pendidikan Islam
Mudzakkir. 2006. Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta:
landasan kependidikan.
Kencana.
b Pemahaman terhadap
- Mulyasa. 2008. Standar
peserta didik.
Kompetensi dan Setifikasi
c Pengembangan
Guru, Bandung: Rosda
kurikulum.
karya.
d Pelaksanaan pendidikan yang mendidik & dialogis.
e Perencanaan pembelajaran.
f Pemanfaatan tehnologi pembelajaran.
g Evaluasi hasil belajar.
2. Kompetensi Personal- religius (kepribadian). a.Kepribadian yang mantab
& terkontrol & terkontrol
c. Dewasa
d. Arif & bijaksana
e. Berwibawa
f. Menjadi uswah hasanah
g. Berakhlak mulia
h. Ihlash
i. Taqwa j. Sabar (dlm mengajarkan ilmu) k. Adil.
3. Kompetensi Profesional- religius.
a Mengetahui hal-hal yang perlu diajarkan.
b Menguasai keseluruhan bahan materi yang akan disampaikan pada anak didiknya.
c Mempunyai kemampuan menganalisis materi yang diajarkan dan menghubungkannya dengan kontek keseluruhan komponen- komponen secara keseluruhan melalui pola yang diberikan Islam tentang bagaimana cara berfikir (way of thinking) dan cara hidup (way of life) yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi.
d Mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat sebelum disajikan pada anak didiknya.
e Mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan.
f Memberi hadiah (tabsyir/reward) dan f Memberi hadiah (tabsyir/reward) dan
g Memberi uswatun hasanah dan meningkatkan kualitas dan keprofesionalannya yang mengacu kepada futuristik tanpa melupakan peningkatan kesejahteraan guru.
(hal: 95-96).
4. Kompetensi Sosial- religius.
a Sikap tolong-menolong
b Berkomunikasi & bergaul secara efektif dan efesien.
c Hubungan sekolah dengan masyarakat.
d Peran guru di masyarakat
Muhaimin Dan Abdul Kompetensi guru dijelaskan
Mujib. 1993. Pemikiran
pada halaman (173-174).
Pendidikan Islam,
Sebagaimana Kompetensi Bandung: Trigenda karya guru, disebutkan Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, hal. 95-96.