Kendati hadîts di atas sama sekali tidak menyebutkan tentang perkawinan lintas agama (antara muslim dengan ahl al-kitâb), namun

manapun. 55 Kendati hadîts di atas sama sekali tidak menyebutkan tentang perkawinan lintas agama (antara muslim dengan ahl al-kitâb), namun

pendapatnya tentang kebolehan memakan hewan sembelihan ahl al-kitâb memberikan indikasi ke arah bolehnya mengawini wanita-wanita mereka. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan, karena di dalam Q.S. 5: 5, penyebutan perihal kebolehan mengawini wanita-wanita ahl al-kitâb bersambung, bahkan didahului oleh kebolehan memakan hewan-hewan sembelihan mereka. Sehingga, ulama klasik selalu menghubungkan antara keduanya. Dan jika ijtihad mereka

menyatakan haram, maka keharaman tersebut pastilah untuk keduanya (mengawini wanita ahl al-kitâb dan memakan hewan sembihan mereka). 56

Walaupun Ibn ‘Abbâs ra pada dasarnya membolehkan bentuk perkawinan di atas, namun ia juga tidak menafikan adanya pengaruh perkawinan itu pada si muslim. Sehingga, ia khawatir jika perkawinan tersebut mengakibatkan murtad atau goncangnya akidah si muslim. Oleh karena itu, di akhir pendapatnya, Ibn ‘Abbâs ra menyebutkan ayat "wa man yatawallahum minkum fainnahû

minhum". 57 Hal ini dapat dikatakan sebagai antisipasi bagi si muslim untuk

bahwasannya beliau (jika) ditanya tentang (boleh-tidaknya) memakan hewan-hewan sembelihan para Nasrani Arab, maka beliau berkata: “Tidak apa-apa dengannya (yakni boleh memakannya), dan beliau membaca ayat: ”wa man yatawallahum minkum fa innahû minhum”. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/217.

55 Namun menurutnya, jika ahl al-kitâb tersebut adalah kafir harbî, tidak diperbolehkan. Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muh ammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II,

Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1404 H), h. 297.

56 Sebagai perbandingan, dapat kita lihat kembali komentar ‘Alî ibn Abî T âlib ra tentang keengganannya memakan hewan sembelihan Nasrani Arab, yang berbanding seimbang dengan

keengganannya mengawini wanita-wanitanya. Lihat: Abû Bakar Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478. Namun, terdapat pendapat yang berbeda dari Abû ‘Iyâd (yakni antara perkawinan dan makanan hukumnya berbeda; tidak seiring). Dalam hal ini, ia tidak setuju seorang muslim mengawini wanita musyrikat yang tidak ada perjanjian dengan umat Islam (yakni selain kafir Mu’âhadah). Namun beliau memberi keringanan bagi orang Islam untuk memakan sembelihan mereka di ( Dâr al-Harb). Selengkapnya, lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 188.

57 Dalam hal ini, lihat juga: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-As bahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. II/ 489. Dan juga: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î,

Juz: I/353. Riwayat ini dinilai lebih kuat daripada riwayat sebaliknya, yakni riwayat Ibn ‘Abbâs ra yang menyatakan tentang larangan Rasulullah saw perihal memakan sembelihan Nasrani Arab.

mempertimbangkan perbutannya sebelum menentukan pilihan; menjalin hubungan perkawinan lintas agama (dengan wanita ahl al-kitâb).

Tokoh “sahabat muda” lainnya adalah al-Hasan ibn ‘Alî ra. 58 Sebagaimana ayahnya, ia tidak serta merta menyatakan haramnya perkawinan antara seorang

muslim dengan wanita ahl al-kitâb, namun mencoba untuk berfikir rasional dengan mengedepankan faktor “hâjah/kebutuhan” dalam masalah perkawinan dimaksud. Yakni bahwa, Perkawinan tersebut diperbolehkan jika dibutuhkan saja. Namun jika tidak diperlukan lagi, maka hal itu tidak perlu dilakukan. Dan, dengan semakin banyaknya jumlah wanita muslimah, menjadikan perkawinan antara

seorang muslim dengan wanita ahl al-kitâb bukan lagi suatu kebutuhan/ hâjah. 59

Walaupun pada dasarnya, al-Hasan ra tidak mendukung perkawinan seorang muslim dengan wanita ahl al-kitâb. Namun, beliau juga tidak menafikan akan munculnya suatu keadaan; di mana seorang muslim dihadapkan pada suatu pilihan sulit; yakni harus menikah dengan non muslimah, mungkin karena minimnya, atau bahkan sama sekali tidak ada muslimah di daerah tersebut. Jika demikian halnya, beliau menyarankan agar dia mencari wanita ahl al-kitâb yang baik-baik.

Dari beberapa deskripsi di atas, dapat dikatakan bahwa, pada masa sahabat telah terjadi perdebatan tentang boleh-tidaknya seorang muslim menikah dengan non muslim. Namun, perlu diingat bahwa perdebatan tersebut masih terbatas pada

Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ:, Juz. 9/217.

58 Beliau adalah putra pertama ‘Alî ibn ‘Abî T âlib dengan ‘Âisyah bint Rasulullah saw. Maka wajar, jika terdapat banyak riwayat yang menjelaskan tentang begitu besarnya kasih sayang

Rasul kepada al-Hasan ra, apalagi sebelum al-H usain lahir. Dan diakui pula bahwa al-H asan; secara fisik sangat mirip dengan Rasulullah saw. Ia lahir pada bulan Ramad ân 3 H. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VIII/33

59 Dalam sebuah riwayat dari al-Hasan ibn ‘Alî ra, dinyatakan bahwa, ketika ia ditanya seorang lelaki; bolehkah dia (lelaki tersebut) menikahi wanita ahl al-kitâb? Hasan pun menjawab:

“Ada masalah apa antara dia dan Ahl al-kitâb, (padahal) Allâh telah memperbanyak (jumlah) wanita muslimah! Namun, jika ia harus melakukannya, hendaklah ia mencari wanita yang pandai menjaga diri (hisânan), bukan mufâhisyah. Orang tersebut bertanya: Siapakah “ mufâhisyah” itu?, Hasan menjawab: “Ia adalah wanita yang jika ada seorang lelaki bermain mata dengannya, ia meresponnya”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al- Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Pada generasi berikutnya, al-Suyûtî juga menyebutkan riwayat tersebut dalam tafsirnya; al-Dûrr al-Mantsûr, dari jalur al-T abarî. Lihat: Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn al-Kamâl al-Suyûtî, al-Dûrr al-Mantsûr, Juz. III, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1993), h. 26.

satu masalah saja, yakni perkawinan lelaki Muslim dengan wanita 60 ahl al-kitâb. Sedangkan, untuk wanita muslimah yang menikah dengan lelaki ahl al-kitâb,

sama sekali tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, seakan mereka telah sepakat bahwa hal itu dilarang. 61 Demikian juga wanita non muslimah; selain ahl

al-kitâb (Yahudi-Nasrani), sama sekali tidak ada pendapat yang memperbolehkan (untuk dinikahi lelaki muslim). 62

60 Lihat kembali pendapat-pendapat sahabat, berikut perbedaanya; karena dari perbedaan pendapat tersebut akan terlihat dengan jelas bentuk peta perdebatan di masa mereka, yang dapat

diklasifikasikan dalam dua kelompok, sebagai berikut: (1) Wanita ahl al-kitâb dapat dinikahi lelaki muslim berdasarkan zâhir al-nass (Q.S. 5: 5). Pendapat ini dipegang mayoritas sahabat, seperti:

‘Umar ibn al-Khattâb ra, ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra, ‘Alî ibn Abî T âlib ra, Hudzaifah ibn al-Yamân ra, Jâbir ibn ‘Abdillâh ra, Sa’d ibn Abî Waqqâs , dan al-Hasan ibn ‘Alî ra. Kendati mereka berbeda di dalam menentukan kriteria, cakupan, serta batasan ahl al-kitâb. Namun mereka sepakat bahwa, pada dasarnya lelaki muslim diperbolehkan mengawini wanita ahl al-kitâb (Yahudi dan Nasrani); (2) Wanita ahl al-kitâb tidak dapat dikawini seorang muslim, karena penyelewengan yang telah mereka lakukan masuk dalam kategori syirk, bahkan yang terbesar. Pendapat ini dilontarkan oleh ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra, yang kemudian dipegang dan disebarkan oleh para muridnya. Setidaknya lihat: (1) Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. (2) Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al- Mukhtasar, Juz. V/2024.

61 Padahal beberapa statemen telah dilontarkan tentang pengharaman hubungan perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, namun tidak satupun muncul

pendapat yang menyanggahnya. Di antara sahabat yang mengharamkan perkawinan tersebut adalah ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, dalam beberapa kebijakannya untuk menceraikan paksa pasangan- pasangan muslimah dengan suami ahl al-kitâb. Lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al- Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV/7. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I/185. Bandingkan dengan: ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm Abû Muhammad al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII/313. Di samping itu, beberapa riwayat qaulî, baik dari ‘Umar ra maupun Jâbir ibn ‘Abdillâh ra, yang menyatakan bahwa, lelaki muslim boleh menikahi wanita ahl al-kitâb, namun tidak sebaliknya, lelaki ahl al-kitâb tidak boleh menikahi wanita muslimah. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. Lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al- Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172

62 Ketentuan ini berdasarkan pengamalan zâhir al-nass Q.S. 2: 221, dan selama itu pula tidak terdapat satupun riwayat yang menceritakan terjadinya perkawinan antara seorang lelaki

muslim dengan wanita selain ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani). Sedangkan terdapat beberapa riwayat yang berkata sebaliknya, seperti riwayat tentang beberapa sahabat yang menceraikan istrinya setelah turun Q.S. 60: 10, di H udaibiyah. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga: Abû al- Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Sebenarnya terdapat riwayat yang menjelaskan perkawinan H udzaifah ra dengan Wanita Majusi, dan langsung diperintahkan ‘Umar ra untuk menceraikannya. Namun riwayat tersebut sangat lemah, dan yang lebih kuat adalah riwayat tentang pernikahannya dengan wanita Yahudi. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Sa’îd ibn Mansûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I/193. Sedangkan tentang mengawini budak Majusi sebagaimana terdapat dalam riwayat yang disampaikan ’At â’ ibn Abî Rabâh dan ‘Amr ibn Dînâr, hanya merupakan statemen pribadi, dan belum ada riwayat lain yang menyatakan perihal pembuktiannya. Demikian juga dengan komentar Ibn al-Qass âr, yang menyatakan pendapat kelompoknya bahwa, untuk bolehnya menikahi Majusi, maka disyaratkan mereka (wanita Majusi)

Dari permasalah di atas (yakni tentang menikahi wanita ahl al-kitâb), para sahabat berbeda pendapat dalam menentukan cakupan dan batasannya. Yakni, apakah istilah tersebut hanya berhubungan dengan agama saja, ataukah juga berhubungan dengan keturunan/nasab pemeluknya, atau bahkan berhubungan

dengan tempat awal pertumbuhan suatu risâlah. 63 Namun, ternyata perdebatan ini belum juga terselesaikan di masa mereka, dan pada akhirnya memunculkan

perdebatan yang lebih luas pada masa-masa berikutnya. 64

3. Diskusi tabi’i perihal Perkawinan Lintas Agama. Transformasi keilmuan oleh para sahabat kepada generasi setelahnya merupakan titik tolak kemunculan para tabi’i, beserta keberagaman pemikiran

65 mereka. Dan, setidaknya terdapat 21 nama tabi’i yang mempunyai keahlian

harus mempunyai kitab (suci), juga mendapat tantangan keras dari kelompok lainnya. Di samping juga tidak ada riwayat lainnya yang membuktikannya. Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

63 Sebagaimana klasifikasi sebelumnya, pada permasalahan ini, pendapat-pendapat sahabat juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Penganut agama Nasrani di kalangan orang-

orang Arab tidak termasuk ahl al-kitâb. Pendapat ini dipegang oleh ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, dan diikuiti beberapa sahabat lainnya. (2) Penganut agama Nas rani di kalangan orang-orang Arab termasuk ahl al-kitâb. Pendapat ini dipegang mayoritas sahabat, termasuk ‘Alî ibn Abî T âlib ra, ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra, dan ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ra. Walaupun pendapat ‘Umar ibn Khatt âb ra tidak banyak mendapat dukungan dari para sahabat besar lainnya. Namun pendapatnya sangat berpengaruh di kalangan sahabat secara umum, karena pada saat itu, ia sedang menduduki jabatan tertinggi di Madinah, sebagai khalifah kedua. Paling tidak, lihat: (1) al-Syâfi’î, Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh, Musnad al-Syâfi’î, h. 309. (2) Abû Bakr Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/217.

64 Perdebatan tersebut berlanjut ke masa tabi’i, tâbi’ al-tâbi’în, para tokoh salaf, bahkan sampai sekarang. Seperti perdebatan tiga tokoh mufassir pasca sahabat, yaitu: Mujâhid, Qatâdah,

dan ‘Âtâ’. Selengkapnya lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Lihat juga: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Bandingkan dengan riwayat lain dalam kitab yang sama: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al- Razzâq, Juz. VII/187

65 Terdapat beberapa deskripsi tentang pengertian tabi’i. Menurut al-Khât ib al-Baghdâdî, tabi’i adalah: “ man sahiba al-sahâbî”, yakni orang yang menemani sahabat. Dengan demikian,

belum dikatakan sebagai tabi’i, jika hanya bertemu saja, melainkan harus adanya syuhbah antara mereka. Pendapat tersebut sejalan dengan Ibn Katsîr yang juga mensyaratkan syuhbah. Sedangkan al-Hâkim mensyasatkan musyâfahah dari sahabat. Dalam hal ini Ibn H ajar al-‘Asqalânî mensyaratkan adanya unsur keimanan. Maka, jika beberapa pendapat tersebut digabungkan, akan memunculkan sebuah definisi yang mencakup semuanya, yaitu: ” man laqiya al-sahâbî mu'minan wa mâta 'alâ al-islâm”, ”Orang yang bertemu sahabat dalam keadaan iman dan meninggal dalam keadaan Islam”. Adapun para ahli H adîts mempunyai definisi tersendiri dalam hal ini, yaitu ” man laqiya wâhidan min al-sahâbah fa aktsar”, “Siapa saja yang bertemu seorang sahabat atau lebih”.

dalam bidang tafsir al-Qur’ân. 66 Namun, di antara mereka yang paling menonjol dalam pembidangan ini adalah Mujâhid, kendati di setiap madrasah terdapat

beberapa nama tokoh tabi’i. 67 Oleh karenanya, dalam pembahasan ini, penulis mencoba untuk merunut pendapat-pendapat Mujâhid dan para tabi’i lainnya dalam

kaitannya dengan perkawinan lintas agama.

68 a. Mujâhid ibn Jabr (w. 105 H) Di antara pendapat Imam Mujâhid dalam kaitannya dengan perkawinan

lintas agama sebagaimana diriwayatkan oleh beberapa muridnya ialah, komentarnya berkaitan dengan penafsiran Q.S. 60: 10, terutama pada redaksi “wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir”. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa, dengan

turunnya ayat tersebut, para sahabat nabi diperintahkan untuk menceraikan istri-

Lihat: Muhammad ibn ‘Abdullâh ibn ‘Alî al-Khad irî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-Watan li al-Nasyr, 1999), h. 45-46.

66 Mereka adalah: (1) Rafî’ ibn Mihrân al-Bas rî, Abu al-‘Âliyah al-Riyâhî, w. 90 H, (2) Muhammad ibn Ka’b al-Qurazî, Abû Hamzah/Abû ‘Abdillâh, w. 90 H, (3) Sa’îd ibn Jubair al-

Asadî, w. 95 H, (4) al-Dahhâk ibn al-Muzâhim al-Hilâlî, w. 120 H/Khurasân, (5) Abd al-Rah mân ibn Zaid ibn Aslam al-Madânî, w. 120 H, (6) Mujâhid ibn Jabr, Abû al-Hajjâj maulâ al-Sâib al- Mahzûmî al-Makkî, w. 103 H, (7) Ikrimah maulâ Ibn ‘Abbâs, w. 105 H, (8) T âwûs ibn Kîsân, Abû Abd al-Rahmân al-Yamân, w. 106 H/waktu haji, (9) H asan al-Basrî, w. 110 H, (10) ‘Atiyah ibn Sa’îd ibn Janâdah al-Aufî, Abû al-H asan al-Jadalî, w. 111 H, (11) ‘At â’ ibn Abî Rabah Aslam, w. 115 H, (12) Qatadâh ibn Da’âmah al-Suddûsî al-A’mâ, H âfiz Abû al-Khattâb, w. 117 H, (13) Muhammad ibn Sirin al-Ans ârî, w. 120 H, (14) Qais ibn Muslim al-Jadalî al-Makkî, w. 120 H, (15) al-Sudî al-Kûfî, w. 127 H, (16) ‘Abdullâh ibn Abî Najîh al-Makkî, w. 131 H, (17) Rabî’ ibn Anas (Basrah), w. 136 H/Marwa, (18) Muh ammad ibn Sa’îd ibn Busyr, w. 146 H, (19) al-Nu’mân ibn Tsâbit al-Kûfî (Abû Hanîfah), th. 80-150 H, (20) Muh ammad ibn Ishâq, w. 150 H/Baghdad, (21) Abû al-Hasan, Muqâtil ibn Sulaimân al-Azdî, w. 150 H. Lihat: Muh ammad ibn Muhammad al-Adnarawî, Tabaqât al-Mufassirîn, Juz. I/9-18.

67 Terdapat empat madrasah tafsir yang terkenal (di kalangan tabi’i), yaitu: (1) Mekah, dan tokoh-tokohnya adalah: Mujâhid ibn Jabr, Sa’îd ibn Jubair, ‘Ikrimah, dan ‘At â’ ibn Abî Rabah

Aslam, (2) Madinah, dengan beberapa tokohnya: Sa’îd ibn al-Musayyab, Muh ammad ibn Ka’b, al- Qurazî, dan Zaid ibn Aslam, (3) Bas rah dengan para pemukanya: al-H asan al-Basrî, Qatâdah ibn Da’âmah, dan Abû ‘Âliyah, (4) Kufah, dengan para pemukanya: al-Sudî, al-Nakhâ’î, dan al- Sya’bî. Lihat: Muhammad ibn Abdullâh ibn ‘Alî al-Khad irî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I/88.

68 Dia adalah Mujâhid ibn Jabr, Abû al-H ajjâj, Maulâ Qais ibn al-Sâib al-Makhzûmî. Seorang tabi’i yang sangat mendalam keilmuannya, tsiqqah, dan banyak meriwayatkan Hadîts. Ia

mengaku telah membaca al-Qur’ân di depan Ibn ‘Abbâs sebanyak 30 kali. Namun di sisi lain, beberapa ulama klasik mencurigainya telah memasukkan riwayat-riwayat dari ahl al-kitâb ke dalam tafsirnya. Dalam hal ini, Bakr ibn ‘Iyâsy bertanya pada A’masy; mengapa orang-orang pada masa itu sama menjauhi tafsir Mujâhid? Ia menjawab: ”Karena mereka menganggap Mujâhid telah mengambil informasi dari ahl al-kitâb dalam tafsirnya”. Ada yang menyatakan bahwa, ia mengambil sahifah Jâbir. Mujâhid meninggal dalam keadaan sujud (ketika s alat) tahun 103 H, pada usia 83 tahun. Lihat: Muh ammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al- Kubrâ, Juz. VI/20.

istri mereka yang masih kafir, dan memilih tinggal bersama orang-orang kafir lainnya di Mekah. 69

Pada kesempatan lain ia juga mengomentari Q.S. 2: 221, tentang larangan mengawini wanita musyrikah. Dalam komentarnya tersebut, ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan redaksi “al-kawâfir” dalam ayat tersebut adalah para wanita penduduk Mekah (yang masih musyrik). Namun, setelah itu turunlah

Q.S. 5: 5 yang menghalalkan wanita-wanita ahl al-kitâb bagi orang Islam. 70

Dari dua riwayat di atas, Mujâhid tampak lebih mengedepankan konteks ketika dua ayat tersebut turun, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “al-kawâfir” pada Q.S. 60: 10 adalah wanita-wanita kafir (musyrikah) Mekah,

demikian juga dengan “al-musyrikât” pada Q.S. 2: 221, yang tak lain adalah para wanita musyrik Mekah. Ia juga melanjutkan komentarnya tentang kebolehan menikahi ahl al-kitâb, namun dengan pengecualian yang didahului “tsumma”. Hal ini merupakan sebuah indikasi, bahwa Mujâhid memasukkan ahl al-kitâb dalam kategori musyrik, kemudian dikecualikan; untuk dapat dinikahi oleh orang Islam. Akan tetapi, ia sama sekali tidak menyinggung perihal kriteria, cakupan maupun

batasan istilah tersebut. 71 Dengan demikian, kendati dalam penafsirannya, ia berangkat dari konteks

sosial ketika ayat turun, namun menurutnya, khitâb dalam dua ayat tersebut bukan hanya untuk musyrik Arab saja; melainkan semuanya. Bahkan ahl al-kitâb pun masuk di dalamnya. Dan, dari semua kategori musyrik itu, ahl al-kitâb dikecualikan dalam hal perkawinan dan halalnya makanan antara mereka dengan

umat Islam. 72

69 Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

70 Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

71 Bandingkan pendapat Mujâhid dengan pendapat tabi’i lainnya, terutama Qatâdah, yang sejak awal telah melakukan pemisahan antara musyrik dan ahl al-kitâb. Lihat: Abû Bakr Abd al-

Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176.

72 Hal ini terekam dalam riwayat Al-T abarî, yang menyebutkan bahwa menurut Mujâhid Q.S. 2: 221 mencakup para wanita Mekah dan wanita-wanita musyrikah lainnya. Kemudian dari

mereka, dihalalkanlah wanita-wanita ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Bandingkan pendapat ini dengan pendapat Ibn ‘Abbâs ra yang menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 khusus dalam redaksi ( wa lâ tankihû al-musyrikât) telah dinasakh, dan dari sebagian wanita

Hal ini mempertegas dugaan penulis bahwa, Mujâhid pada dasarnya memasukkan ahl al-kitâb dalam kategori musyrik, namun para wanitanya dapat dinikahi oleh orang Islam, karena adanya pengecualian/istitsnâ, sebagaimana ditunjukkan oleh Q.S. 5: 5. Pendapat ini sejalan dengan pendapat beberapa tabi’i lain, seperti: Ikrimah, Sa’îd ibn Jubair, Hasan al-Basrî, Zaid ibn Aslam, dan lain-

lain, yang kesemuanya itu bermuara dari pendapat Ibn ‘Abbâs ra. 73

74 b. Sa’îd ibn Jubair (w. 95 H) Pendapat Sa’îd ibn Jubair tidak jauh berbeda dengan Mujâhid, dan

mayoritas ulama lainnya; bahwa orang Islam boleh menikahi ahl al-kitâb. 75

musyrikah dihalalkanlah para wanita ahl al-kitâb. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

73 Hal ini dapat dilihat dalam sebuah riwayat yang dibawa Abû T alhah tentang pernyataan Ibn ‘Abbâs ra Q.S. 2: 221 mencakup semua orang-orang musyrik. Namun, kemudian Allâh

mengecualikan para wanita ahl al-kitâb (untuk dapat dinikahi oleh orang Islam). Demikian pula pendapat yang dpegang oleh beberapa tabi’i, seperti Mujâhid, Ikrimah, Sa’îd ibn Jubair, H asan al- Basrî, Zaid ibn Aslam, Rabî’ ibn Anas, dan lain-lain, yang kesemuanya itu bermuara dari pendapat Ibn ‘Abbâs ra. Selengkapnya, lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dalam hal ini, al-Qurt ubî menyebutkan jumlah yang lebih besar daripada Ibn Katsîr. Dan ia menyatakan bahwa para ulama yang menyatakan halalnya ahl al-kitâb adalah para sahabat dan tabi’i yang meliputi Sa’îd ibn al- Musayyab, Mujâhid, Ikrimah, Sa’îd ibn Jubair, H asan al-Basrî, Tâwûs, al-Sya’bî, dan Dahhâk, demikian juga beberapa fuqahâ di kota-kota besar (al-Amsâr). Lebih lanjut al-Qurtubî menjelaskan bahwa, tidak layak untuk mengatakan bahwa Q.S. 2: 221 telah disalin oleh Q.S. 5: 5. Karena Surah al-Baqarah merupakan surah-surah awal yang turun di Madinah, sebaliknya, al-Mâ’idah termasuk surah-surah akhir yang turun di Madinah. Bahkan menurutnya, pendapat yang layak diterima adalah sebaliknya, yakni adanya kemungkinan bahwa Q.S. 5: 5 menasakh hukum pada Q.S. 2: 221.

74 Ia adalah Sa’îd ibn Jubair, Abû ‘Abdillâh, maulâ Walibah ibn al-H ârits dari bani Asad ibn Khuzaimah. Ia berguru pada Ibn ‘Abbâs ra, Ibn ‘Umar ra, dan beberapa sahabat lainnya.

Mujâhid menceritakan bahwa, pada suatu hari, Ibn ‘Abbâs ra menyuruh Sa’îd ibn Jubair untuk menceritakan sebuah Hadîts, namun ia menolak sembari berkata: “Bagaimana mungkin saya dapat menyampaikan Hadîts, sedangkan tuan ada di sini?”. ‘Ibn ‘Abbâs ra menjawab: “Bukankah termasuk nikmat Allâh, jika engkau sampaikan H adîts sedangkan aku berada di sini. Jika apa yang kau sampaikan benar, maka demikianlah adanya. Namun jika salah, aku akan membenarkannya”. Ketika Ibn ‘Abbâs ra telah tua, dan penglihatannya tidak lagi jelas, ia mengalihkan orang-orang yang bertanya kepadanya, untuk bertanya kepada Sa’îd ibn Jubair. Demikian juga dengan Ibn ‘Umar ra, ketika ada orang yang bertanya kepadanya masalah waris, ia menyuruh orang tersebut untuk bertanya kepada Sa’îd, dan beliau mengatakan dia (Sa’îd) lebih tahu daripada aku. Namun, Sa’îd mati muda (pada usia 49 tahun) dihukum oleh penguasa saat itu (al-H ajjâj), tahun 94 H. Lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al Tabaqât al Kubrâ, Juz. VI/267-277.

75 Dan secara tidak langsung pendapat tersebut menolak pendapat kelompok lain yang menyatakan bahwa, Q.S. 5: 5 telah dinasakh oleh Q.S. 2: 221. al-Qurt ubî lebih lanjut menjelaskan

bahwasannya, dalam hal ini tidak mungkin terjadi nasakh, karena Q.S. 2:221 turun lebih dulu (yakni periode awal Madinah) daripada Q.S. 5: 5 (yang turun pada tahun 8 H), di mana ayat yang turun lebih dulu tidak mungkin menyalin ayat yang turun belakangan. Lihat: Abû ‘Abdillâh

Kendati demikian, Sa’îd sama halnya dengan Mujâhid; tidak memberikan penjelasan lanjutan sama sekali, perihal kebolehan tersebut.

Pendapatnya (tentang kebolehan menikahi wanita ahl al-kitâb), juga dapat dilihat dari ungkapan Sa’îd ibn Jubair; ketika menyikapi perkawinan seorang muslim dengan wanita Nasrani. Dalam riwayat tersebut, ia menyatakan bahwa tidak ada masalah (yang perlu dipertentangkan) dalam kasus perkawinan orang

Islam dengan wanita Nasrani. 76 Namun, ketika ia menjelaskan maksud “al-musyrikât” dalam Q.S. 2: 221,

Sa’îd ibn Jubair memberikan deskripsi yang sedikit berbeda dengan Mujâhid, karena menurutnya “al-musyrikât” adalah “para penyembah berhala”. Dengan

demikian, ia sepertinya membedakan antara musyrik dengan ahl al-kitâb. Sehingga, halalnya wanita ahl al-kitâb untuk dinikahi lelaki muslim, bukan karena adanya pengecualian sebagaimana terdapat dalam Q.S. 5: 5, melainkan karena ahl

al-kitâb bukanlah termasuk musyrik. 77

c. Qatâdah ibn Da’âmah (w. 117 H) 78

Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64

76 Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muh ammad Ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. III/475. Pendapat ini diperkuat pernyataannya yang lain, bahwa orang yang

menikah dengan wanita Yahudi, Nasrani, maupun budak, sudah termasuk dalam kategori muhsan. Sebagaimana riwayat yang dibawa Ibn Abî Syaibah dari Sâlim, ketika ia bertanya langsung kepada Sa’îd ibn Jubair tentang kasus seorang lelaki (muslim) yang menikahi wanita Yahudi, Nasrani, atau budak perempuan. Apakah dengan begitu, ia sudah dapat dikatakan muhs an?, Sa’îd ibn Jubair pun menjawab: “Ya”, bahkan walaupun hanya dalam waktu sehari. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad Ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. V/537.

77 Hal ini berbeda dengan pandangan Ibn Katsîr yang menyatakan bahwa antara Mujâhid dan Sa’îd ibn Jubair tidak terdapat perbedaan pandangan tentang, bolehnya mengawini wanita Ahl

al-kitâb adalah karena adanya pengecualian pada Q.S. 5: 5. Lihat kembali: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Namun penulis sama sekali tidak menemukan, demikian juga Ibn Katsîr pun tidak menunjukkan data yang mengarah pada pendapatnya tersebut (yakni ungkapan Sa’îd ibn Jubair sendiri tentang adanya pengecualian itu). Tentang bukti bahwa Sa’îd ibn Jubair membedakan antara musyrik dan Ahl al-kitâb dapat dilihat pada riwayat yang dibawa oleh al-Baihaqî Dari H ammâd. Dalam hal ini, ia berkata: Saya bertanya pada Sa’îd ibn Jubair tentang penjelasan ayat ( wa lâ tankihû al-musyrikât hattâ yu'minna), ia menjawab: “(mereka adalah) penyembah berhala”. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

78 Ia biasa dikenal sebagai Qatadâh ibn Da’âmah al-Suddûsî al-A’mâ al-H âfiz, Abû al- Khattâb. Ia mempelajari serta mengajarkan al-Qur’ân beserta artinya, meriwayatkan H adîts dari

Anas ibn Mâlik serta beberapa sahabat lainnya. Dan meninggal pada tahun 117 H. Lihat: Muhammad ibn Muhammad al-Adnarawî, Tabaqât al-Mufassirîn, h. 14

Qatâdah memberikan pemisahan yang jelas antara musyrik dan ahl al- kitâb, yakni bahwasannya musyrik adalah selain ahl al-kitâb. Hal ini berbeda dengan Mujâhid yang memasukkan ahl al-kitâb dalam kategori musyrik, kemudian dikecualikan dalam hal perkawinan dan halalnya makanan bagi orang Islam, sebagaimana ditunjukkan Q.S. 5: 5. Perbedaan tersebut dapat kita cermati dari ungkapan Qatâdah, yang menjelaskan pendapatnya di atas ketika menafsirkan

Q.S. 2: 221. 79 Walaupun dalam memahami Q.S. 2: 221, ia berangkat dari konteks sosial

ketika ayat turun (yakni, kasus pada masa nabi). Namun dalam penerapannya, ia memberlakukan ayat tersebut secara umum; seperti yang dilakukan oleh

80 Mujâhid. Hal ini tergambar dalam ungkapannya bahwa, al-musyrikat,

sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 2: 221 adalah para wanita musyrikah Arab, yang tidak mempunyai kitab (suci) untuk dibaca. 81

Dengan demikian, Qatâdah sekilas tampak menyempitkan makna musyrik dalam Q.S. 2: 221, yang hanya mencakup para penyembah berhala di Mekah (Arab). Namun, lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, wanita-wanita selain ahl al- kitâb adalah musyrikât. Ia juga memandang, kendati zâhir al-nass dalam redaksi Q.S. 2: 221 bersifat umum, namun ia diberlakukan secara khusus, sehingga tidak ada yang dinasakh sedikitpun. Dan menurutnya, para wanita ahl al-kitâb tidaklah

masuk dalam cakupan ayat tersebut. 82

79 Pendapat Qatâdah ini dapat dilihat dalam sebuah riwayat yang dibawa Al-S an’anî dari Ma’mar. ia menjelaskan bahwa ketika Qatâdah, menjelaskan Q.S. 2: 221, ia berkata: “Wanita-

wanita musyrikât adalah (non muslimah) selain ahl al-kitâb”. Selengkapnya, lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176.

80 Lihat kembali ungkapan Mujâhid yang menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 mencakup para wanita Mekah dan wanita-wanita musyrikah lainnya. Kemudian dari mereka, dih alalkanlah

wanita-wanita ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Padahal, sebelumnya ia menyatakan bahwa, Q.S. 60: 10 ditujukan pada para sahabat nabi agar menceraikan istri-istri mereka yang lebih memilih tinggal di Mekah bersama orang-orang kafir. Pernyataan ini, sekilas tampak ada kekhususan khitâb pada ayat tersebut. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

81 Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388.

82 Pendapat ini tergambar dalam riwayat yang disampaikan al-T abarî, yang mengutip pernyataan Qatadâh: “Bahwasannya maksud firman Allâh SWT " wa lâ tankihû al-musyrikât hattâ

yu'minna", adalah siapa pun wanita (non muslim) selain ahl al-kitâb, masuk dalam kelompok “al- Musyrikât”. Dan ayat tersebut secara zâhir bersifat umum. Namun muatannya adalah khusus, tidak

Penjelasan di atas merupakan pendapat Qatâdah berkenaan dengan kebolehan mengawini wanita ahl al-kitâb. Sedangkan, dalam hal perkawinan lelaki muslim dengan wanita musyrikah, maupun lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah, Qatâdah dengan tegas menolaknya. Dan menyatakan bahwa, istri-istri musyrikah yang menolak untuk masuk Islam haruslah dicerai. Demikian juga, jangan sampai ada seorang muslim yang mengawinkan para wanita

muslimah dengan lelaki Yahudi, Nasrani, ataupun musyrik. 83 Dengan demikian, Qatâdah telah menentukan posisinya dalam masalah ini,

dengan menyatakan kebolehan lelaki muslim mengawini wanita ahl al-kitâb, namun tidak sebaliknya; orang-orang non muslim tidak diperkenankan mengawini

wanita muslimah.

d. ‘Atâ’ ibn Abî Rabâh Aslam (w. 115 H) Jika ketiga tabi’i di atas telah memisahkan antara musyrik dan ahl al-kitâb, baik dengan istitsnâ, maupun pemisahan dan pembedaan karakter keduanya.

Maka, hal ini berbeda dengan pendapat ‘Atâ’, 84 yang mana menurutnya; ahl al-

ada ayat lain yang menasakhnya, dan (yang pasti) wanita ahl al-kitâb tidaklah masuk dalam kategori tersebut”. Setelah melakukan tarjîh atas beberapa pendapat yang ada, al-T abarî menyatakan bahwa pendapat Qatadâh ini merupakan pendapat yang paling baik. Selengkapnya lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. al-Qurt ubî juga menyebutkan riwayat dari Qatadâh dan Sa’îd ibn Jubair tentang kekhususan dalam ayat tersebut bagi ahl al-kitâb. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa, lafaz Q.S. 2: 221 bersifat umum, namun terdapat kekhususan dalam masalah wanita ahl al- kitâb, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 5: 5. Oleh karenanya, keumuman tersebut tidak dapat melampaui ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

83 Tentang haramnya mengawini wanita musyrikah, dapat dilihat pada penafsirannya atas Q.S. 60: 10. Sebagaimana riwayat Al-Tabarî dari Qatadâh bahwa, para sahabat diperintahkan

untuk menceraikan istri-istri mereka (wanita musyrikah Arab) yang menolak masuk Islam. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. XII/64. Dan pada pembahasan sebelumnya telah penulis jelaskan bahwa, walaupun penafsiran Qatadâh tampak khusus (berangkat dari kasus pada masa Nabi), namun ia memperluas cakupan ketentuan hukumnya, bukan hanya untuk masa Nabi. Sedangkan, penjelasan Qatadâh tentang haramnya menikahkan wanita muslimah dengan lelaki non muslim dapat dilihat dari riwayat yang dibawa Al-Tabarî dari Qatadâh dan al-Zuhrî, ketika menjelaskan ayat " wa lâ tunkihû al-musyrikîn", keduanya mengeluarkan statemen bahwa: “Tidak halal bagimu menikahkan (wanita muslimah) dengan lelaki Yahudi, Nasrani, maupun musyrik; orang-orang yang tidak beragama Islâm”. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388.

84 Nama lengkapnya adalah ‘At â’, Abû Muhammad ibn Abî Rabah Maulâ keluarga ibn Maisarah ibn Abî Khutsaim al-Fihrî, Nama ayahnya adalah Aslam. ‘Atâ’ tumbuh dewasa di

Mekah. Ia menagajarkan al-Qur’ân dan juga terkenal sangat dalam keilmuannya, terpercaya (tsiqqah), dan banyak meriwayatkan Hadîts. Menurut Abû Ja’far; ia adalah orang yang paling tahu Mekah. Ia menagajarkan al-Qur’ân dan juga terkenal sangat dalam keilmuannya, terpercaya (tsiqqah), dan banyak meriwayatkan Hadîts. Menurut Abû Ja’far; ia adalah orang yang paling tahu

sebagai ahl al-kitâb, karena mereka bukanlah dari kalangan bani Isra’il. 85

Pengambilan sikap tersebut membawanya pada sebuah konsekuensi bahwa, lelaki muslim tidak diperkenankan menikahi wanita Nasrani Arab, demikian juga dengan memakan hewan sembelihan mereka. Pendapat ini semakin jelas, ketika ia menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang muridnya, Ibn Juraij, perihal dimaksud. Dan dengan tegas ia menjawab bahwa, menurutnya,

tidak ada istilah ahl al-kitâb selain hanya untuk bani Isra’il. 86 Oleh karenanya,

perkawinan lintas agama yang sah hanyalah, jika dilakukan oleh lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb (dari bani Isra’il). Dan perkawinan tersebut juga akan menyebabkan “ihsân” bagi para pelakunya. Maka jika mereka melakukan zina,

yang pasti hukumannya adalah rajam. 87

e. al-Sudî (w. 127 H) dan Muqâtil ibn Sulaimân (w. 150 H) 88

tentang manasik haji. Bahkan Abd al-Rah mân pernah berkata: “Imannya Abû Bakr tak tertandingi oleh penduduk bumi, sedangkan imannya ‘At â’ tak tertandingi pula oleh ahli Mekah (saat itu)”. Ia meninggal pada tahun 115 H, di usia 88 tahun. Pada saat itu, Maimun berkata: “Ia tidak tergantikan oleh generasi setelahnya”. Lihat: Muh ammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Basrî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. VI/22. Lihat juga: Muh ammad ibn Muhammad al-Adnarawi, Tabaqât al-Mufassirîn, h. 14

85 Pernyataanya tersebut terekam dengan jelas dalam riwayat yang disampaikan Abd al- Razzâq dari ibn Juraij. Dalam hal ini ‘At â’ menyatakan: “Nasrani Arab bukanlah ahl al-kitâb.

Sesungguhnya ahl al-kitâb adalah bani Israil, yaitu orang-orang yang telah datang pada mereka kitab Taurât dan Injîl. Adapun orang-orang (selain bani Isra’il) yang masuk agama mereka bukanlah termasuk golongan mereka/ Ahl al-kitâb”. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. III/187

86 Hal ini dapat lihat pada riwayat Al-S an’anî dari Ibn Juraij. Ia pernah bertanya kepada ‘Atâ’ tentang orang-orang Nasrani Arab, dan tanpa ragu ‘At â’ menjawab, bahwa umat Islam tidak

boleh menikahi wanita-wanita mereka (Nasrani Arab). Lebih lanjut Ibn Juraij menjelaskan: “Ia (‘Atâ’) juga tidak menganggap orang Yahudi, kecuali hanya dari kalangan bani Israil. Dan apabila ia ditanya tentang orang-orang Nasrani, maka pasti demikianlah jawabannya (yakni hanya dari kalangan bani Isra’il)”. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VI/72.

87 Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/308. Riwayat tersebut disampaikan ‘Amr ibn Dînâr dari ‘Atâ’, tentang pernyataanya

bahwa: “Menikahi wanita ahl al-kitâb adalah ihsân (terjaga)”. Dalam hal ini, al-S an’an î juga menyebutkan riwayat yang sama namun dari jalur berbeda, yakni dari Ibn Juraij.

88 keduanya biasa dikenal dengan: al-Sudî al-Kûfî dan Abû al-H asan, Muqâtil ibn Sulaimân al-Azdî.

Kedua tokoh ini banyak menggunakan sabab al-nuzûl dalam melakukan tafsir al-Qur’ân; termasuk dalam permasalah ini. Namun, terkadang pemaparan mereka tanpa disertai dengan penjelasan lebih lanjut berkenaan dengan deskripsi sabab al-nuzûl tersebut. Dengan demikian, mereka tampaknya bermaksud memahami teks al-Qur’ân (dengan apa adanya) berdasarkan konteks turunnya ayat-ayat tersebut.

Muqâtil menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 turun setelah kasus yang terjadi pada Abû Martsad al-Ghunawî. Namun apa yang disampaikan tersebut, banyak bertentangan dengan beberapa riwayat lain, baik dalam hal kasus, maupun tokoh

yang ada di dalamnya. 89 Beberapa riwayat lain menjelaskan bahwa, tokoh dalam

kasus tersebut bukanlah Abu Martsad al-Ghunawî ra, melainkan anaknya, Martsad ibn Abî Martsad al-Ghunawî ra. Demikian juga, ayat yang turun setelah peristiwa itu bukanlah Q.S. 2: 221, melainkan Q.S. 24: 3, yang berkenaan dengan

pelarangan menikahi orang yang berzina, bukan masalah beda agama. 90

89 Untuk membuktikan hal ini, dapat kita lihat perbandingan antara riwayat Muqâtil dengan beberapa riwayat lain. Khususnya, dalam kasus Martsad ibn Abî Martsad al-Ghunawî

sebagaimana telah dijelaskan di muka. Lihat: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al- Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/328. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ: VII/153. Bandingkan juga dengan: Ahmad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, al-Mujtabâ min al-Sunan, Juz. VI/66. Adapun riwayat dari Muqâtil tersebut dapat dilihat pada: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dalam hal ini, Muqâtil menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 turun dalam masalah Abû Martsad al-Ghunawî, yang nama aslinya adalah Kanâz ibn H usain al-Ghunawî. Ia diperintah Rasulullah saw (secara rahasia) untuk mengeluarkan salah seorang sahabat yang tertawan di Mekah. Sesampainya di sana, ia bertemu kembali dengan seorang wanita (’Ânaq) yang pernah dicintainya pada masa jahiliyah. Ketika wanita tersebut mendekatinya, ia berkata: “ Islam telah mengharamkan sesuatu yang ada masa jahiliyah”. Perempuan itu berkata: “Nikahilah aku!”. “Tidak! Sampai aku meminta izin pada Rasulullah saw” jawabnya. Dan sesampainya di Madinah, ia mendatangi Rasul untuk meminta izin kepadanya, namun beliau melarangnya, karena dia adalah seorang muslim sedangkan wanita tersebut adalah musyrikah.

90 Dalam riwayat panjang yang disampaikan al-Turmudzî dinyatakan bahwa, setelah Martsad bertemu ‘Anâq, seorang pelacur musyrikah. Ia mengajak Martsad berzina, namun

ditolaknya. Dan, sekembalinya dari Mekah, entah kenapa ia meminta izin kepada Rasulullah saw untuk mengawini ‘Anâq. Namun tanpa alasan yang jelas beliau melarangnya, hingga turun Q.S. al- Nûr/24: 3. Ayat tersebut tidak lain hanya menjelaskan tentang pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang berzina, selain sama-sama pezinah, atau orang musyrik. Dan, sama sekali tidak terdapat redaksi yang menyebutkan larangan bagi orang Islam untuk menikahi orang musyrik. Lihat: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/ 328, No. Hds. 3177. Lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al- Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ: VII/153, No. Hds. 13639.

Berbeda dengan al-Sudî, ia tidak masuk dalam pertentangan riwayat sebagaimana di atas. Namun, ia mempunyai wacana tersendiri tentang sabab al- nuzûl ayat tersebut dengan menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 turun setelah kasus yang terjadi antara ‘Abdullâh ibn Rawâhah; dan budak wanitanya yang kemudian di jadikannya istri, setelah mendengarkan penjelasan Rasulullah saw tentang

beberapa keutamaan budak tersebut. 91

f. Hasan al-Basrî (w. 110 H), Ikrimah (w. 105 H), Dahhâk (w. 120 H), Tâwûs(w. 106 H), al-Sya’bî, dan Sa’îd ibn al-Musayyab. Enam orang tokoh ini mempunyai pendapat yang sama dalam permasalahan perkawinan lintas agama, yang secara garis besar terdapat

kemiripan dengan pendapat Mujâhid. Yakni, bahwasannya ahl al-kitâb; kendati masuk dalam ketegori musyrik (Q.S. 2: 221), para wanitanya boleh dinikahi oleh

orang Islam karena ada pengecualian/istitsnâ pada Q.S. 5: 5. 92 Namun Ikrimah dan al-Hasan mempunyai metode analisis tersendiri,

walaupun hasilnya sama dengan yang lain. Dalam hal ini, mereka berdua tidak menyebutkannya sebagai istitsnâ/pengecualian, melainkan nasakh pada sebagian materi ayat saja. Yakni, bahwa Q.S. 5: 5 hanya menyalin sebagian muatan yang ada dalam Q.S. 2: 221 (tidak semuanya), dan mereka adalah para wanita ahl al-

91 Hal ini dapat dilihat pada riwayat yang dibawa Asbât dari al-Sudî sendiri, ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, ia menyatakan bahwa: “Ayat tersebut turun dalam masalah ‘Abdullâh

ibn Rawâhah, yang mempunyai seorang budak wanita berkulit hitam. Pada suatu ketika, ‘Abdullâh ibn Rawâhah marah kepadanya, lalu menamparnya. Namun, akhirnya iapun tersadar dan mendatangi Rasulullah saw untuk menceritakan semuanya. Rasulullah bertanya kepadanya: “Budak bagaimana, yang kau miliki?” ia menjawab: “Ia melakukan salat, puasa, berwudu dengan baik, dan (tentunya) telah membaca dua kalimat syahâdat”. Rasulullah pun bersabda: “Ia adalah seorang wanita beriman”. Mendengar ucapan itu ‘Abdullâh berkata: “Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq, aku akan memerdekakan, dan menjadikannya istriku”. Maka, setelah ia melakukan hal itu, beberapa sahabat lain mencemoohnya, karena mereka pada saat itu lebih suka menjalin perkawinan dengan wanita-wanita musyrikah, karena pertimbangan keunggulan nasab mereka. Maka, turunlah ayat " wa la amah mu'minah khairun min musyrikah". Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. II/388. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dan juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347

92 Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Ia menyebutkan sebuat riwayat tentang pernyataan Ibn ‘Abbâs ra

bahwa, Q.S. 2: 221 memuat semua orang musyrik di luar Islam, namun para wanita ahl al-kitâb dikecualikan darinya. Dan lebih lanjut Ibn Katsîr menegaskan bahwa, beberapa orang tabi’i, termasuk Hasan al-Basrî, Ikrimah, D ahhâk, Tâwûs, al-Sya’bî, dan Sa’îd ibn al-Musayyab juga berada dalam kelompok pendapat ini.

kitâb. Dengan demikian, musyrik/musyrikah selain ahl al-kitâb masih berlaku ketentuan materi Q.S. 2: 221. 93 Di samping itu, keduanya juga mempunyai

kesamaan pandangan tentang hukum perkawinan wanita muslimah dengan non muslim, yang menurut mereka sama sekali tidak diperbolehkan. Dan dalam hal ini, sama sekali tidak ada pengecualian bagi ahl al-kitâb; seperti pendapat

Qatâdah. 94 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa perdebatan di kalangan tabi’i

tidak jauh berbeda dengan apa terjadi pada sahabat. Karena bagaimanapun pendapat para sahabat sangat berpengaruh pada generasi setelahnya terutama yang langsung bertemu dengan mereka (baca: tabi’i). Dan perlu diketahui juga bahwa

keberagaman pendapat sahabat banyak terjadi ketika mereka sudah tidak tinggal dalam satu komunitas lagi sebagaimana masa sebelumnya (saat Rasul masih hidup). Dan hal itu terjadi ketika mereka dihadapkan pada kasus, permasalahan, serta pertanyaan dari kaumnya, atau para tabi’i di mana beberapa sahabat tersebut tinggal.

Perbedaan pendapat pada masa tabi’i (dalam masalah perkawinan lintas agama) tampak lebih beragam, dibandingkan perdebatan sahabat dalam kasus serupa. Namun, bagaimanapun, masih berakar pada pemahaman serta pengamalan zâhir al-nass, karena permasalahan hanya berkutat pada perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb saja. Sedangkan masalah-masalah lain seperti; antara lelaki muslim dengan wanita musyrikah, atau antara wanita muslimah

93 Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa, Hasan al-Basrî dan Ikrimah ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, berkata: “Sebagian (muatan) ayat tersebut dinasakh, yakni tentang

wanita-wanita ahl al-kitâb, yang mana mereka halal untuk dinikahi orang-orang Islam ”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. II/388.

94 Pendapat ‘Ikrimah dan al-H asan al-Basrî dapat dilihat pada sebuah riwayat yang dibawa al-Tabarî tentang penjelasan keduanya, terhadap Q.S. 2: 221, khususnya redaksi “ wa lâ tunkihû al-

musyrikîn hattâ yu’minû”. Dengan tegas keduanya menyatakan: “Wanita-wanita muslimah diharamkan atas para lelaki mereka, yakni lelaki musyrik.” Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. hal ini, jelas serupa dengan apa yang disampaikan Qatâdah bahwa wanita muslimah tidak boleh dinikahkan dengan lelaki non muslim, baik Yahudi, Nasrani, maupun musyrik. Lihat kembali: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. II/388.

dengan lelaki non muslim sama sekali tidak diperdebatkan, seolah-olah mereka telah sepakat untuk menolaknya. 95