Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa, selama periode Mekah, nabi saw

musyrik. 19 Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa, selama periode Mekah, nabi saw

sama sekali tidak menunjukkan respon terhadap kasus-kasus perkawinan lintas agama. Dan hal itu baru dilakukan setelah beliau dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, memusatkan kegiatan dakwah, ekonomi, serta membentuk dan

membenahi tatanan sosial yang ada di sana. 20 Walaupun demikian, respon yang beliau tunjukkan sama sekali tidak

tampak muncul dari inisiatif pribadi, melainkan perintah dan ketetapan wahyu.

Hal ini dapat dilihat dari sikap pasif beliau atas kasus-kasus perkawinan lintas agama yang terjadi di kalangan para sahabat, sebelum turunnya wahyu. Sedangkan setelah wahyu turun, para sahabat langsung mengamalkan zâhir al- nass, sehingga beliau tidak banyak berkomentar dalam hal ini. Dan bahkan, tidak diketemukan hadîts-hadîts qaulî tentang proses pelaksanaan ayat-ayat perkawinan beda agama tersebut. Hal ini memberi indikasi bahwa para sahabat dapat secara langsung memahami pesan-pesan nass sebelum kemudian mengamalkannya. Sehingga, nyaris tidak diketemukan dialog antara mereka dengan nabi saw dalam rangka pemahaman muatan nass dimaksud.

Permasalahan baru muncul setelah beliau meninggal, ketika para sahabat tidak lagi hidup dan tinggal dalam satu komunitas (Madinah) saja, melainkan tersebar di berbagai daerah Islam yang baru. Mereka berhadapan dengan berbagai hal yang sama sekali baru, dan membutuhkan kebijakan serta kearifan dalam memutuskan suatu masalah. Di samping itu, situasi politik pada masa al-Khulafâ al-Râsyidûn; terutama ‘Umar ibn al-Khattâb, semakin menunjukkan prestasi yang

19 Di antaranya adalah pernyataan Qatâdah dalam sebuah riwayat darinya tentang penafsiran Q.S. 2: 221, iapun berkata: “Wanita-wanita musyrikah adalah orang-orang (non

muslimah) selain Ahl al-kitâb”. Lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1408 H), h. 92.

20 Wael B. Hallaq menjelaskan bahwa, di Madinah nabi Muh ammad saw melanjutkan peran dalam kapasitasnya (sebagai hakam), yang untuk beberapa waktu mendasarkan putusannya

pada hukum adat dan praktek-praktek kesukuan yang berlaku. Di samping itu, dari penjelaskan al- Qur’ân dapat dilihat sesampainya di Madinah, beliau memikirkan misinya sebagai misi yang membawa hukum Tuhan seperti Taurat dan Injil. Lihat: Wael B. Hallaq, A History of Islâmic Legal Theories, h. 4.

membanggakan, dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan, sehingga mengharuskan khalifah untuk dapat menjaga kemaslahatan serta wibawa umat Islam di hadapan para penganut agama lain di daerah-daerah yang baru

dikuasainya tersebut. 21 Dan yang paling mendasar adalah, semakin berkembangnya pemikiran di

kalangan umat Islam, menuntut terpenuhinya berbagai penjelasan tentang muatan kitab sucinya (al-Qur’ân), yang mana keinginan-keinginan tersebut belum muncul pada saat Rasulullah saw masih hidup. Sehingga, apa yang belum menjadi diskusi pada masa Rasul, harus mereka selesaikan. Dan secara khusus, dalam masalah perkawinan lintas agama, sama sekali tidak ada penjelasan dari beliau tentang

kriteria, cakupan dan batasan tentang beberapa istilah seperti: kâfir, musyrik, ahl al-kitâb dan al-muhsanât. 22

Padahal beberapa istilah tersebut sangatlah penting untuk memberikan pemahaman terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan perkawinan lintas agama. Dan karena keterbatasan (adanya penjelasan) tersebut, menuntut generasi

21 Lihat beberapa penjelasan tentang kebijakan politik ‘Umar ibn Khatt âb ra, khususnya berkaitan dengan perkawinan lintas agama. Bahkan pada masanya, perkawinan tersebut hampir

tidak bisa terjadi, bahkan dengan perempuan ahl al-kitâb sekalipun; seperti kasus perkawinan Hudzaifah ra dengan seorang perempuan Yahudi. Selengkapnya, Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III, Cet. I, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), h. 474. Adapun penjelasan tentang beberapa perkawinan yang diputus cerai oleh ‘Umar ibn Khatt âb ra, dapat dilihat dalam beberapa kitab rujukan, di antaranya: Abû Abdillâh Muh ammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al- Madînah, Juz. IV, Cet. III, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), h. 7. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim Abû al-Husain al-Naisabûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al- Kutub al-’Ilmiyyah, 1988), h. 185. Bandingkan juga dengan: ‘Alî ibn Ah mad ibn Hazm Abû Muhammad al-Zâhirî, Juz. VII, al-Muhallâ, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt), h. 313

22 Tentang al-Muhsanât, setidaknya terdapat beberapa pengertian, di antaranya: (1) Wanita-wanita terjaga, yang mampu menjaga kemaluannya dari perbuatan zina. Lihat: Muh ammad

ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. III/1017. (2) Menurut Anas ibn Mâlik makna kata tersebut adalah para wanita merdeka yang telah menikah dengan lelaki merdeka pula. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al- Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. III/1962. (3) Sedangkan Imâm Muslim lebih menyederhanakan pengertian tersebut, hanya dengan perkawinan, yakni mereka adalah adalah para wanita yang telah menikah. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim, Juz. II, (Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt), h. 1079. Namun, hal ini bisa saja berbeda jika diberlakukan secara khusus dalam hal perkawinan lintas agama.

sepeninggal Rasul untuk berijtihad, dan dari sinilah perbedaan pendapat dimulai. 23

2. Perkawinan Lintas Agama dalam Perdebatan Sahabat. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya bahwa, perbedaan pendapat dalam Islam; khususnya masalah perkawinan lintas agama, sama sekali belum terjadi pada masa Rasul saw, melainkan sejak masa sahabat,

yang kemudian terus berlanjut; bahkan sampai sekarang. 24 Beberapa sahabat yang pendapat dan perbuatannya berpengaruh pada

sahabat-sahabat lain maupun generasi setelahnya (dalam masalah ini), dan banyak dikutip dalam kitab-kitab tafsir yang lahir berikutnya, adalah: ‘Umar ibn al-

Khattâb, ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra, ‘Alî ibn Abî T âlib ra, ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ra, ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra, Jâbir ibn ‘Abdullâh ra, dan al-H 25 asan ibn ‘Alî ra.

23 Perbedaan pendapat di antara sahabat berkisar pada penentuan ahl al-kitâb sebagai bagian dari musyrik atau bukan. Dan di antara pendapat sahabat yang paling tampak bertentangan

dengan mayoritas sahabat pada saat itu adalah, pendapat Ibn ‘Umar. Beliau menyatakan bahwa penyelewengan yang dilakukan Yahudi dan Nasrani adalah syirik yang terbesar. Karena mereka telah menuhankan nabi masing-masing. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ûb î , al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/63. Hal ini sangat wajar; jika beliau ungkapkan, karena sebagai agama tauh î

d, dan lahir dari sumber yang sama dengan Islam, Yahudi-Nasrani telah melakukan penyelewengan yang berimbas pada tercemarnya ajaran tauhîd tersebut, yakni dengan diakuinya Î sâ dan ‘Uzair bukan sebagai nabi/rasul melainkan dianggap sebagai anak Allâh. Lihat juga: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2024.

24 Adapun perselisihan pendapat di kalangan sahabat, setidaknya dapat dilihat dari pendapat Ibn ‘Umar ra dan Ibn ‘Abbâs ra. Selengkapnya lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn

Muhammad Ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. III, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), h. 475. Bandingkan dengan: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/217. Perdebatan masalah tersebut pada saat ini, juga dapat dilihat pada: Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995), hal. 91. Dan: Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet. I, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004),

25 Sebenarnya terdapat 10 orang sahabat yang digolongkan dalam kelompok mufassir. Namun, tidak semuanya berkomentar dalam masalah perkawinan lintas agama agama. Oleh

karenanya, penulis memasukan juga beberapa nama sahabat besar yang pendapatnya sangat berpengaruh di kalangan mereka, bahkan golongan berikutnya. Adapun 10 mufassir dari kalangan sahabat tersebut ialah:(1). ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ra, w. 68 H/Taif, (2). ‘Abdullâh ibn Mas’ûd ibn al-Hârits ibn ‘Âqil Abû ‘Abd al-Rahmân al-Hadzlî al-Makkî, w. 32 H/Baqî’, (3) ‘Abdullâh ibn ‘Umar ibn al-Khattâb al-Qurasyî al-‘Adawî, w. 73 H/Mekah, (4) ‘Abdullâh ibn al-Zubair ibn al- ‘Awwâm Abû Bakr al-Asadî al-Qurasyî, w. 73 H/Mekah, (5) ‘Abdullâh ibn al-‘Amr ibn al-‘ Âss al- Sahâmî al-Qurasyî, w. 68 H/Mekah, (6) Ubay ibn Ka’b ibn Qais ibn ‘Ubaid ibn Zaid ibn Mu’awiyyah ibn ‘Amr ibn Mâlik ibn al-Najjâr, w. 33 H, (7) Zaid ibn Tsâbit ibn al-D ahhâk ibn Zaid Abû Khârijah al-Ans ârî al-Khazrajî, w. 48 H. (8) Abû Hurairah, ‘Abdullâh/Abd al-Rah mân ibn al Sahr al-Dausî, w. 57 H/Mekah. (9) Anas ibn Mâlik ibn al-Nad r, Abû Hamzah al-Khazrajî, w. 91 H. (10) Jâbir ibn ‘Abdillâh ibn ‘Amr ibn H aram ibn Salamah al-Ans ârî, w. 99 H/Madinah.

Namun dalam pembahasan ini penulis akan membaginya berdasarkan periode kekhalifahan. Namun dalam hal ini, penulis tidak memulainya dari khalifah pertama, melainkan kedua; ‘Umar ibn Khatthâb ra, karena tidak diketemukan

satupun riwayat tentang komentar Abû Bakr ra perihal perkawinan lintas agama. 26

a. ‘Umar ibn al-Khattâb ra 27 Selama pemerintahannya, paling tidak terdapat tiga hal penting berkenaan

dengan perkawinan lintas agama: (1) perkawinan beberapa tentara Islam termasuk Jâbir ibn Abdillâh ra dan Sa’d ibn Abî Waqqâs ra, setelah penaklukan kota Kufah, (2) perkawinan Hudzaifah ra saat menjadi gubernur di Madain dengan seorang wanita Yahudi, (3) beberapa perkawinan lintas agama yang di putus cerai oleh

khalifah.

a.1. Perkawinan Tentara Islam setelah Penaklukan Kufah Terdapat riwayat tentang perkawinan mereka dengan wanita ahl al-kitâb di Kufah. Dalam hal ini, Jâbir ibn ‘Abdillâh ra 28 menjelaskan bahwa beberapa orang

Selengkapnya lihat: Muhammad ibn Muhammad al-Adnarawî, Tabaqât al-Mufassirîn, Juz. I, Cet.

I, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-H ikam, 1997), h. 3-7.

26 Kendati terdapat empat khalifah sepeninggal Rasul yang menjadi penerus beliau. Namun, dalam masalah perkawinan lintas agama, penulis sama sekali tidak menemukan satupun

riwayat tentang pendapat maupun komentar khalifah pertama, Abû Bakr ra. Hal ini, sangat mungkin disebabkan oleh singkatnya masa pemerintahan beliau, hanya sekitar dua tahun, namun beliau sangat disibukkan oleh gejolak politik Madinah, dan beberapa pemberontakan di berbagai daerah. Di samping itu, beliau sangat terkenal sebagai sahabat yang gemar mencontoh nabi, padahal sebagaimana diketahui bahwa dalam hal ini, respon nabi juga tidak begitu tampak. Oleh karenanya, dapat diduga bahwa, dalam permasalahan ini, sikap Abû Bakr juga tidak jauh berbeda dengan sikap nabi saw. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa, pada saat itu perkawinan lintas agama juga terjadi. Dan atas beberapa alasan inilah, penulis memulai pembahasan ini sejak pemerintahan ’Umar ra, khalifah kedua.

27 Nasab beliau dari jalur ayah adalah: ‘Umar ibn Khatt âb ibn Nufail ibn Abd al-‘Uzzâ ibn Riyah ibn ‘Abdillâh ibn Qart ibn Zurâh ibn ‘Adî ibn Ka’b ibn ibn Lu’ay ibn Ghâlib ibn Fihr.

Sedangkan ibunya adalah H antamah bint Hâsyim ibn al-Mughîrah ibn ‘Abdillâh ibn ‘Umar ibn Mahzûm. Sedangkan nenek dari ibunya (ibu dari ibunya ‘Umar) Syifâ bint Abd Qais ibn ‘Adî ibn Sa’d ibn Tamîm. Dan beliau adalah khalifah kedua, yang langsung diangkat menggantikan Abû Bakr ra pada hari Rabu, bulan Jumâd al-akhîrah saat hari kewafatan Abû Bakr. Selengkapnya lihat: Muhammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al- Sahîhain, Juz. III, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), h. 86. Ia menjadi khalifah lebih lama dibandingkan Abû Bakr ra yang hanya dua tahun. Sehingga, wajar jika beberapa kebijakan yang diambilnya begitu membekas di kalangan umat Islam. Dan Di dalam kitab Musannaf-nya, Abd al-Razzâq al-San’anî menyebutkan bahwa, ‘Umar ra menjadi khalifah selama 10 tahun, 4 bulan, 4 hari. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammam al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. I, Cet. II, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 95. Ia terkenal sangat selektif dalam menerima berita dari orang lain, bahkan h adîts sekalipun. Di samping itu, ia juga sangat berhati- hati dalam rangka menetapkan suatu hukum. Seperti tergambar dalam penanganan suatu kasus perkawinan dengan saksi yang kurang memenuhi syarat. Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, (Beirut: Dâr al-Kutub, tt), h. 1108.

(termasuk dia dan Sa’d ibn Abî Waqqâs) menikahi wanita ahl al-kitâb, karena (pada saat itu) mereka hampir tidak menemukan wanita muslimah. Namun ketika kembali (ke Madinah), mereka menceraikan para wanita tersebut. Dan lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, Wanita-wanita ahl al-kitâb halal bagi orang-orang Islam, namun tidak sebaliknya, para wanita muslimah tidaklah halal bagi laki-laki ahl al-

kitâb. 29 ‘Umar ibn al-Khattâb ra, yang pada saat itu menjabat sebagai pimpinan

tertinggi umat Islam, tentunya mendapatkan berita tentang perkawinan tersebut. Namun, dalam hal ini tidak ditemukan satupun riwayat tentang pelarangan beliau, berkenaan dengan perkawinan dimaksud. Hal ini berbeda dengan perkawinan

yang dilakukan oleh Hudzaifah ra, di mana khalifah ‘Umar ra begitu pro aktif turut campur di dalamnya. Bahkan, terjadi dialog panjang antara keduanya, sampai Hudzaifah ra menceraikan istrinya tersebut.

a.2. Perkawinan Hudzaifah ibn al-Yamân 30 Hudzaifah ibn al-Yamân adalah salah seorang sahabat dekat Rasulullah

saw, bahkan dialah satu-satunya orang yang pernah diajak Rasul untuk berdiskusi

28 Dia adalah Abû ‘Abdillâh, Jâbir ibn ‘Abdillâh ibn ‘Amr ibn H aram ibn Sawâd ibn Salamah ibn al-Ans ârî. Ia termasuk sahabat yang terkenal. Ayahnya adalah salah satu dari 12

orang ahli nasab. Terdapat beda pendapat tentang wafatnya Jâbir antara tahun 74-78, dia adalah sahabat terakhir yang meninggal di Madinah. Lihat: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-As bahi, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Muhaqqiq: Taqî al-Dîn al-Nadwî, Juz. I, Cet. I, (Damascus: Dâr al- Qalam, 1991), 76. Jâbir bersama ayahnya termasuk peserta bai’ah ‘Aqabah kedua. Lihat: Abû Bakar Ahmad ibn ‘Amr ibn al-D ahhâk al-Syaibânî, al-Âhâd wa al-Matsânî, Juz. III, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-Rayâh, 1991), h. 399. Saat ia hendak mengikuti perang Badar, dicegah oleh ayahnya agar ia menjaga saudara-saudarinya yang berjumlah 9 orang. Dinyatakan bahwa, Jâbir mengalami kebutaan sebelum meninggal pada usia 94 tahun, dan terdapat 1540 riwayat H adîts yang melalui jalurnya. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Dimasyqî al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. IX, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, tt), h. 22.

29 Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. Hadîts tersebut juga dicantumkan al-Baihaqî dalam kitab Sunan-nya Lihat: Abû Bakr

Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172.

30 Nama lengkapnya adalah H udzaifah ibn al-Yamân (H asl/Husail) ibn Jâbir ibn ibn Usaid (dikatakan juga) ‘Amr Abû ‘Abdillâh al-‘Absî, H âlif sahabat ‘Ansâr. Pada mulanya, Ayah

Hudzaifah pernah punya hutang darah (membunuh) salah seorang kelompoknya, lalu ia melarikan diri ke Madinah dan menjadi Hâlif bani Abd al-Asyhâl (al-Yamâniah), maka ia dijuluki al- Yamân. Hudzaifah mengikuti beberapa peperangan termasuk Uh ud. Pada masa ‘Umar ia diangkat sebagai gubernur Madain, dan menetap di sana sampai meninggal. Ia meninggal berselang 40 hari setelah ‘Utsmân ibn ‘Affân ra. Lihat: Ah mad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqâlanî al-Imâm al-H âfz, al- Isâbah fî Tamyîz al-Sahâbah, Juz. II, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah , 1995), h. 39-40. Ada juga riwayat yang menyatakan bahwa ia meninggal di awal tahun 36. Lihat: Abû ‘Umar, Khalîfah ibn Khiyât al-Laitsî al-‘Usfûrî, Târîkh Khalifah ibn Khiyât, Juz. I, Cet. II, (Beirut: Dâr al- Qalam, 1397 H), h. 42.

perihal orang-orang munâfiq. 31 Ia sering kali diberi kepercayaan untuk menangani perkara-perkara besar, sejak masa Rasulullah saw sampai ‘Usmân ibn ‘Affân ra. 32

Dan pada saat pemerintahan khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb, yakni ketika menjadi pejabat di Madain Hudzaifah ra melakukan perkawinan dengan wanita Yahudi. Berita tentang perkawinan beliau terdengar oleh khalifah, maka dengan segera khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb melayangkan surat kepadanya, agar ia segera menceraikan istrinya tersebut, dan terjadilah dialog panjang antara keduanya

sebagaimana terekam dalam beberapa riwayat. 33 Dari dialog tersebut, tampaknya Hudzaifah ra terkejut atas surat khalifah.

Ia kemudian melakukan klarifikasi atasnya; apakah larangan itu berhubungan

dengan urusan agama atau tidak. Hal ini tampak dalam surat balasannya, “apakah dia haram bagiku?". 34 Namun jawaban yang diberikan khalifah tampak

31 Dalam sebuah riwayat sebutkan bahwa Rasulullah saw memberitahukan kepadanya nama-nama beberapa orang munâfiq, ahli kufr, dan orang-orang yang wahyu telah turun dalam

(menjelaskan masalah) mereka. Namun Rasul tidak memberitahukan semuanya kepada H udzaifah. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. VI/1711. Dia banyak berjasa dalam perjuangan Islam, termasuk usulannya untuk menyalin mushaf lama dan memunculkan mushaf standar (Mushaf al-Utsmânî) yang berawal dari pengalamannya di lapangan ketika melihat keberagaman qirâ’ât. Lihat: Muhammad ibn ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Ma’âfirî al-Mâliki, al-‘Awâsim min al-Qawâsim fî Tahqîq Mauqif al-Sahâbah ba’da Wafât al-Nabî, Muhaqqiq: M. Jamîl Ghâzî, Juz. I ,Cet. III, (Beirut: Dâr al-Jail, 1408 H), h.

32 Di antara tugas yang pernah diembannya pada masa nabi, ialah: sebagai pengintai saat perang Khandak, sebagai kelompok pemanah, dan juga pengawai urusan zakat. ‘Umar juga pernah

menjadikannya sebagai pejabat di Madain, dan menaklukan beberapa daerah di luar Arab. Bahkan dengan panjang lebar Abû ‘Umar menggambarkan perannya dalam beberapa peperangan termasuk di Nahawand. Sebagai berikut: Setelah memenangkan di Nahawand, H udzaifah langsung menuju ibukota Nahawand, dan mengadakan perdamaian dengan penduduk di sana dengan 1800 dirham /tahun. Ia kemudian menuju Dainûr, Mus’ab dan M â

h. Selengkapnya, lihat: Abû ‘Umar, T â rîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/21.

33 Di antara riwayat tersebut menyebutkan bahwa, setelah Hudzaifah ra menikahi seorang wanita Yahudi, ‘Umar ra mengirimkan surat kepadanya agar dia segera menceraikan istrinya

tersebut, (dalam suratnya) ia berkata : “Saya kuatir kalian akan meninggalkan para wanita muslimah, dan menikahi para wanita pelacur”. Di dalam riwayat yang lain: “H udzaifah membalas surat tersebut, dan ia berkata: “Apakah ia (wanita Yahudi) itu h aram (dikawini)?”, ‘Umar ra menjawab: ”Tidak, akan tetapi aku khawatir kalian mengambil (jadi istri) para pelacur dari mereka. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al- Kubrâ, Juz. VII/173. Riwayat ini dikuatkan beberapa riwayat lain, termasuk apa yang di sampaikan oleh Sa’îd ibn Mans ûr dari jalur yang sama (Abû Wail). Lihat: Sa’îd ibn Mans ûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-‘Asîmî, 1414 H), h. 193.

34 Dalam riwayat lain dinyatakan dalam surat balasannya, ia berkata, “Jika ia h aram (untuk kunikahi), maka ia akan kuceraikan”. Namun, dalam surat balasannyanya, ‘Umar ra menjawab,

“Aku tidak menganggapnya haram, tapi aku kuatir kamu akan mengambil pelacur dari mereka sebagai istri”. Lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al- Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/474 “Aku tidak menganggapnya haram, tapi aku kuatir kamu akan mengambil pelacur dari mereka sebagai istri”. Lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al- Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/474

Dalam hal ini, Khalifah ‘Umar ra memberikan alasan yang sangat rasional, yakni, “kemaslahatan para wanita muslimah, juga keselamatan pejabat bawahannya”. Dan sebagai pimpinan tertinggi pada saat itu, ia merasa sangat bertanggung jawab atas kehidupan umat Islam beserta kesejahteraannya, sembari terus memantau kegiatan yang dilakukan oleh para pejabatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa teguran khalifah ‘Umar ra terhadap Hudzaifah ra lebih

bernuansa politis daripada religius (hukum agama). 35 Dari dua kasus di atas, yakni perkawinan beberapa tentara Islam (pada saat

penaklukan Kufah) dengan ahl al-kitâb, dan kasus perkawinan Hudzaifah ra dengan wanita Yahudi, Khalifah ‘Umar ibn Khattâb ra menunjukkan sikap yang berbeda. Pada kasus pertama sama sekali tidak diketemukan satu pun komentar beliau. Sedangkan, pada kasus perkawinan Hudzaifah ra terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan ketidaksetujuannya atas perkawinan tersebut. Padahal kedua perkawinan tersebut sama-sama dengan ahl al-kitâb, hanya saja dalam kondisi dan pelaku yang berbeda. Dan hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bab-

bab selanjutnya. 36

a.3. Perkawinan lintas agama yang diputus cerai oleh khalifah Di samping dua kejadian di atas, terdapat beberapa kasus perkawinan lintas agama yang oleh khalifah ‘Umar ra langsung diputus cerai atau dapat diteruskan dengan syarat tertentu, yakni bagi pasangan yang non muslim haruslah

35 Indikasi tersebut dapat dilihat dari sebuah riwayat yang dibawa al-T abarî dari Wahb. Ia menjelaskan bahwa ‘Umar ra berkata: “Lelaki muslim boleh menikahi wanita Nasrani, namun

lelaki Nasrani tidak dapat menikahi wanita muslimah. Dan sesungguhnya ‘Umar ra tidak suka pada perkawinan T alhah dan Hudzaifah dengan wanita Yahudi-Nasrani adalah, agar perbuatan mereka tidak diikuti oleh umat Islam, dan pada akhirnya mereka akan meninggalkan para wanita muslimah, ataupun dengan adanya beberapa alasan lain. Oleh karena itu, ia memerintahkan keduanya agar menceraikan istri-istri mereka yang non muslim tersebut”. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 388. Pada masa berikutnya, Ibn Katsîr juga mengutip riwayat tersebut, dan mengikuti pendapat al- Tabarî yang menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah yang paling s ahîh. Lihat: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

36 Lihat kembali: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al- Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. Bandingkan dengan riwayat yang berbeda dalam kitab yang sama,

lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Dan lihat juga: Sa’îd ibn Mans ûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I/193.

masuk Islam terlebih dahulu, sebagaimana tergambar dalam beberapa riwayat tentang peristiwa dimaksud. 37

Beberapa riwayat tersebut menjelaskan bahwa, khalifah ‘Umar ibn al- Khattâb ra memutuskan cerai terhadap beberapa perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, baik mereka berbeda agama sejak sebelum menikah ataupun setelah menikah, yakni dengan masuk Islam atau murtadnya salah satu pasangan. Namun, yang perlu diingat dalam beberapa kasus di atas adalah, bahwa perkawinan yang diputus cerai tersebut hanyalah antara wanita

muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb saja, dan tidak sebaliknya. 38

37 Di antara riwayat tersebut ialah bahwa, seorang lelaki dari bani Taghlab menikahi putri Zurârah ibn ‘Adas al-Tamîmî, lalu perempuan tersebut masuk Islam, dan suaminya mendatangi

‘Umar ra. Maka ‘Umar ra berkata padanya: “Engkau pilih masuk Islam, atau kalian benar-benar akan aku pisahkan”. Lelaki tersebut berkata: “Jangan bilang orang Arab bahwa aku masuk Islam karena farji perempuan”, iapun menolaknya. Maka ‘Umar ra memisahkan kedua”. Lihat: Abû Abdillâh muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahli al-Madînah, Juz. IV/7. Dalam kasus tersebut, jika ada pasangan non muslim, kemudian salah satunya masuk Islam, maka perkawinannya putus, kecuali pasangannya menyusul untuk masuk Islam pula. Riwayat ini senada dengan apa yang terdapat dalam al-Munfaridât, sebagaimana disampaikan oleh Yazîd ibn ‘Alqamah bahwa, pada saat kakek dan neneknya menikah, keduanya dalam keadaan Nas rani. Kemudian neneknya masuk Islam, maka keduannyapun dipisahkan. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I/185. Masih terdapat banyak riwayat lain dalam kasus serupa, yakni perceraian paksa karena salah satu pasangan (suamu-istri) masuk Islam, seperti disebutkan dalam kitab al-Muhallâ, bahwasannya ‘Ubadah ibn al-Nu’mân dari bani Taghlab menikahi seorang wanita dari bani Tamîm, lalu istrinya masuk Islam. Maka, ‘Umar ra berkata padanya: “Kau bisa masuk Islam, atau (kalau tidak?) dia akan kuceraikan darimu. Lelaki itupun menolak, maka ‘Umar ra akhirnya menceraikan keduanya. Lihat: Abû Muhammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII/313 Dalam riwayat lain dengan kasus yang berbeda disebutkan bahwa, Handalah ibn Busyr menikahkan anak perempuannya dengan anak saudara lelakinya yang beragama Nas rani, maka ‘Auf ibn al-Qa’qa’ pergi menemui khalifah ‘Umar ra dan menceritakan hal itu pada beliau, oleh sebab itu, ‘Umar ra mengirimkan surat, (didalamnya tertulis:) “Jika sang suami masuk Islam, maka ia tetap menjadi istrinya, namun jika ia tidak masuk Islam, keduanya akan dipisahkan”. Lelaki tersebut tidak mau masuk Islam, maka ‘Umar ra memenuhi kata-katanya untuk memisahkan keduanya. Dan selanjutnya ia dinikahi oleh ‘Auf ibn al-Qa’qa’”. Lihat: Abû Muh ammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII/313. Berbeda dengan kasus pertama (di atas), dalam kasus ini perbedaan agama telah tampak sejak sebelum perkawinan. Maka, setelah diketahui oleh khalifah, ia serta merta mengirimkan surat kepada mempelai lelaki, “jika tidak masuk Islam, maka perkawinan tersebut putus”.

38 Untuk membuktikan beberapa riwayat yang mendukung kesimpulan di atas, lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah,, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz.

IV/105. Dinyatakan bahwa, seorang lelaki Nas rani dari bani Tsa’lab, ‘Ubbâd ibn Nu’mân, yang mempunyai istri seorang wanita dari bani Tam î m. Dalam perjalanan perkawinan mereka, sang istri masuk Islam, sedangkan ‘Ubbâd masih dalam keaadaan Nasrani. Maka ‘Umar ra memisahkan keduanya karena sang suami menolak untuk masuk Islam. Lihat juga: Abû Ja’far Ah mad ibn Muhammad ibn Salamah ibn Abd al-Mâlik ibn Salamah al-T ahâw î , Syarh Ma’an î al-Âtsâr, Muhaqqiq: M. Zuhr î al-Najjâr, Juz. III, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1399 H), h. 259. Dalam kitab tersebut terdapat suatu riwayat yang menjelaskan bahwa, sepasang suami-istri

Dengan demikian, ‘Umar ra mengamalkan zâhir al-nass (Q.S. 5: 5); bahwa lelaki muslim dapat mengawini wanita ahl al-kitâb. Sedangkan wanita muslimah tidak dapat dinikahkan dengan lelaki ahl al-kitâb, kendati tidak ada ayat al-Qur’ân yang secara tegas melarang bentuk perkawinan tersebut. Di samping itu, beliau juga membatasi cakupan ahl al-kitâb, dengan tidak memasukkan Nasrani Arab dalam kategori tersebut, bahkan ia berjanji tidak akan membiarkan

mereka, sampai mereka masuk Islam. 39

b. ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra 40 Pada saat tampuk kekuasaan Madinah berada di tangannya, telah terjadi

beberapa kali penaklukan daerah di luar Arab, bahkan sampai Afrika, sehingga

terjalin komunikasi yang lebih luas jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. 41 Dan, beberapa tahun menjelang kewafatannya, yakni pada tahun 28

Nasrani dari bani Taghlab, dipisahkan oleh ‘Umar ra, setelah istri tersebut masuk Islam, karena sang suami menolak untuk turut serta masuk Islam bersamanya. Bahkan suaminya sesumbar, “Aku rela memutuskan perkawinan ini, karena malu kepada orang-orang Arab, karena jika tidak, mereka akan mengatakan bahwa, aku masuk Islam hanya karena kemaluan seorang perempuan”. Dalam hal ini, khalifah turut campur tangan, setelah sang istri melaporkan kasus itu kepadanya.

39 Sikap tegas ‘Umar ra ini terlihat dari pernyataannya, bahwa: “Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahl al-kitâb, dan tidaklah halal hewan-hewan sembelihan mereka. Akupun tidak

akan membiarkan mereka, sehingga mereka masuk Islam, atau aku akan memukul leher (memerangi) mereka”. Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h.309.

40 Beliau adalah ‘Utsmân ibn al-‘Affân ibn al-‘Âss ibn ‘Umaiyyah ibn ‘Abd Syams ibn Abd Manâf ibn Qushaiy ibn Kilâb ibn Murrah ibn Ka’b ibn Luaiyy ibn Ghâlib ibn Fihr. Ibunya

adalah Urwâ bint Kariz ibn Rubai’ah ibn Habîb ibn ‘Abd Syams. Dan ibunya Urwâ adalah Ummu Hâkim bint Abd al-Mutallib, yakni bibi Rasulullah saw. Sedangkan ibunya, Ummu al-H âkim adalah Fâtimah (juga nenek Rasul dari pihak ayah) bint ‘Amr ibn ‘Aidz ibn ‘Imrân ibn Mah zûm. Terdapat perbedaan pendapat tentang julukan ‘Utsmân antara “Abû Abdillâh dan Abû ‘Amr”. ‘Utsmân ra meninggal pada hari Jum’at, 18 Dzul Hijjah tahun 35 H. Lihat: Mâlik ibn Anas Abû Abdillâh al-Asbahî, al-Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. I/ 80, 138. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/102. Bandingkan juga dengan: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. I/74.

41 Di antara perluasan daerah yang dilakukannya adalah: Hamadzan di bawah pimpinan al- Mughirah ibn Syu’bah; Syawwal/Jumad al-Ûlâ 24 H. Tapi menurut Abû ‘Ubaidah, H udzaifah

yang memimpin Pasukan pada tahun 22 H. Menurut Abû ‘Amr al-Syaibânî, daerah Rayy ditaklukkan oleh Barrâ’ ibn ‘Âzib th. 24 H. Kemudian, penduduk Rayy melakukan perlawanan. Maka ditaklukkan kembali oleh Abû Musâ al-‘Asy’arî, th. 25 H. Penaklukan Bardza’ah, th. 25 H. Penaklukkan Sâbûr tahun 26 H. Pada tahun 28 H, ‘Abdullâh ibn Zubair membawa berita tentang penaklukan Afrika. ‘Utsmân juga melakukan renofasi serta penambahan bangunan Masjid al- Harâm, dan melakukan haji sejak 24-34 H. Namun pada masa kejayaan tersebut, ia banyak memecat beberapa pejabat, di antaranya: Abû Musa al-Asy’arî, ia dipecat dari Gubernuran Basrah, dan Utsman ibn Abû al-‘Âss dari Gubernuran Persi, lalu menyerahkan kedua daerah tersebut kepada kerabatnya, ‘Abdullâh ibn ‘Amir ibn Karîz, yang masih terlalu muda, dan pada saat itu

H, ia menikahi Nâilah bint al-Farâfisah, seorang wanita dari keluarga Nasrani, sebagaimana terekam dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh ‘Abdullâh ibn al-

Sâib. 42 Yang mana, di dalam riwayat tersebut, terdapat indikasi bahwa Nâilah masih dalam keadaan Nasrani ketika dinikahi oleh ‘Utsmân ra, kemudian ia

masuk Islam. Namun data sejarah yang lain menyatakan bahwa, kendati Nâilah pada saat perkawinan masih dalam keadaan Nasrani. Akan tetapi, ia telah masuk

Islam sebelum dikumpuli oleh ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra. 43 Kehidupan Nâilah tidak banyak dikutip oleh para sejarawan Islam klasik,

kecuali pada masa-masa akhir kehidupan ‘Utsmân ra. Karena pada saat ‘Utsmân ra terbunuh, ia sedang berada di rumah Nâilah. Sang istri mendampingi khalifah

tidak begitu lama, hanya sekitar delapan tahun (tahun 28-36 H), sebelum akhirnya ‘Utsmân ra menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya dalam tragedi berdarah yang tak kunjung terselesaikan. Setelah peristiwa tersebut, Nâilah tampak begitu pro-aktif; bila dibandingkan istri-istri ‘Utsmân lainnya, di dalam menuntut pembalasan atas darah suaminya yang tertumpah, dengan mengirimkan surat disertai pakaian ‘Utsmân ra yang bersimbah darah saat terbunuh, kepada

Mu’awiyah ra. 44

baru berusia 24/25 th. Lihat: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Us fûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/33, 34.

42 Lihat: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Us fûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/34. Pada umumnya riwayat tentang perkawinan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra dengan Nâilah bint

al-Farâfisah al-Kalbiyah berakhir pada ‘Abdullâh ibn al-Sâib dari keturunan (bani) al-Mut allib. Dalam hal ini ia menyatakan, bahwa: ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra, telah menikahi (Nâilah) bint al- Farâfisah al-Kalbiyah. Sedangkan, ia adalah (satu-satunya wanita) Nasrani di antara istri-istri ‘Utsmân. Kemudian, ia masuk Islam di tangan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra”. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. No. Hds. 13759.

43 Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibn Katsîr dalam kitabnya, al-Bidâyah wa al- Nihâyah, bahwasannya, ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra telah menikahi Nâilah bint al-Farâfis ah, yang

masih dalam keadaan Nasrani. Namun, ia segera masuk Islam, sebelum ‘Utsmân ra mengumpulinya. Selengkapnya, lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al- Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/163.

44 Terdapat banyak riwayat yang menjelaskan detik-detik akhir kehidupan khalifah ‘Utsmân ibn al-‘Aff â n ra di kediaman N â ilah. Termasuk riwayat dari Ummu Hilâl bint Wakî’ yang

mendengar langsung dari Nâilah sendiri, bahwa pada malam sebelum terbunuh, khalifah ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra merasakan beberapa firasat bahkan membuatnya tidak bisa tidur, dan sebentar- sebentar berkata: “Orang-orang akan membunuhku”, namun Nâilah terus menghiburnya. Dan, akhirnya ‘Utsmân pun berkata: “Aku mimpi bertemu Rasulullah saw, Abu Bakar dan ‘Umar, mereka berkata kepadaku: “Berbukalah bersama kami, malam ini”. Selengkapnya, lihat: Ah mad ibn Hanbal, Abu Abdillâh al-Saib â nî, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/73. ‘Utsmân ra meninggalkan empat orang istri. Mereka adalah: Nâilah, Ramlah, Ummu al-Banîn, dan Fakhâtah.

Dengan demikian, terdapat kejelasan bahwa ketika ‘Utsmân ra menikahi Nâilah, ia masih dalam keadaan Nasrani, hanya saja belum terdapat informasi yang lebih jelas apakah ia masuk Islam sebelum atau sesudah dikumpuli oleh ‘Utsmân ra. Namun, keterangan yang dibawa Ibn Katsîr menyuguhkan persepsi pertama, yakni ia telah masuk Islam segera setelah perkawinan mereka (sebelum dikumpuli ‘Utsmân ra). Walaupun demikian, tetap saja akad nikah mereka dilakukan dalam perbedaan agama, yakni Islam dan Nasrani.

c. ‘Alî ibn Abî Tâlib ra 45 Dia adalah salah satu orang terdekat Rasulullah saw, dan menjadi khalifah

keempat menggantikan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra. 46 Kendati demikian, dalam

masalah perkawinan lintas agama, tidak banyak riwayat yang beliau sampaikan, kecuali hanya beberapa saja. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa, menurutnya, orang-orang Arab tidaklah beragama Nasrani, kecuali dengan meminum khamr. Oleh karena itu, ia melarang umat Islam memakan daging

hewan sembelihan mereka. 47 Demikian juga dalam riwayat yang lain disebutkan

Selengkapnya lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/219.

45 Nama lengkap beliau adalah: ‘Alî ibn Abî T âlib ibn Abd al-Mutallib ibn Hâsyim. Ia sangat dihormati, bahkan oleh lawan perang maupun politiknya sekalipun. Hal ini terbukti, ketika

Mu’awiyyah mendengar berita kewafatan ‘Alî ibn Abî Tâlib ra, ia membaca istirjâ’ dan langsung menangis. Maka istrinya, “Fakhâtah bint Qurt ah” berkata padanya: “Engkau kamarin memusuhinya, namun hari ini kenapa engkau menagis atasnya?”, Mu’awiyyah menjawab: “Celakalah engkau! Sesungguhnya aku menangis karena orang-orang telah kehilangan kebaikan, keutamaan serta kedalaman ilmunya”. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII, (Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, tt), h. 16.

46 ‘Alî ra tercatat beberapa kali diutus nabi saw untuk beberapa kepentingan, baik sebagai pemimpin patroli (dalam menjaga keamanan) di sekitar Madinah, bahkan menjadi seorang hakim

di Yaman. Lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1997) h. 124, 257. Lihat Juga: Muh ammad ibn Yazîd Ibn Mâjah Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz. II, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 772. Dan karena seringnya bergaul dengan Rasulullah saw, membuat kepribadiannya betul-betul terbentuk dengan baik, demikian juga dengan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Sehingga dalam sebuah hadîts, Rasulullah saw menjelaskan bahwa korelasi keilmuan beliau dan ‘Alî ra, laksana kota dan pintu gerbangnya. Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî, al- Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/137. Lihat juga: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XI/65. Di samping itu, banyak terdapat riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya yang sederhana, kendati telah menjadi orang nomor satu di Madinah. lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VIII/3-4.

47 Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Namun, berdasarkan ungkapan tersebut, ‘At â’ ibn Abî Râbah menganggap bahwa, 47 Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Namun, berdasarkan ungkapan tersebut, ‘At â’ ibn Abî Râbah menganggap bahwa,

Dari dua riwayat ini, ‘Alî ibn Abî Tâlib ra tampak begitu moderat menyikapi non muslim, secara khusus “ahl al-kitâb”. Ia tidak serta merta melarang terjadinya perkawinan antara wanita mereka dengan lelaki muslim. Namun, dengan melihat kebusukan yang dilakukan orang-orang Nasrani Arab, ia kemudian menyatakan pendapat pribadinya untuk tidak memakan makanan yang mereka sembelih, begitu juga dengan menikahi para wanitanya.

Setelah masa khalifah 4 berakhir, muncullah beberapa pendapat sahabat muda dalam kasus (perkawinan lintas agama) ini, yang kemudian dipegang oleh

para pengikut mereka dengan segala perbedaan yang ada di dalamnya. Di antara mereka adalah, ‘Ibn ‘Umar ra, Ibn ‘Abbâs ra, dan al-Hasan ibn ‘Alî ra.

Sikap ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra 49 tidak jauh berbeda dengan ayahnya, ‘Umar ibn al-Khattâb ra, di dalam menilai perkawinan lintas agama. Bahkan

(dalam sebuah riwayat) ia tampak lebih serius menyatakan keharamannya dengan menganggap perbuatan ahl al-kitâb sebagai bentuk syirik yang paling besar, karena mereka telah menganggap makhluk (nabî Îsâ as dan ‘Uzair as) sebagai

tuhannya. Padahal menikahi wanita musyrik tidaklah diperbolehkan. 50 Namun dalam riwayat lain, ia tidak langsung menyatakan bahwa perbuatan ahl al-kitâb

‘Alî ra tidak memasukkan Nasrani Arab sebagai Ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173

48 Lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478.

49 Beliau adalah salah satu sahabat yang banyak meriwayatkan h adîts, termasuk orang saleh dan ulama besar, meninggal di Madinah 74 H, bersamaan dengan tahun meninggalnya Rafî’

ibn Khudaij, Abû Sa’îd al-Khudrî, dan Salamah ibn al-Akwâ’. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. IX/93. Lihat juga: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Usfûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/71.

50 Di antara riwayat tersebut dibawa oleh Imam Nâfi’, sebagaimana diungkapkannya, bahwa: Ibn ‘Umar apabila ditanya tentang perkawinan (seorang muslim dengan) wanita Nasrani

dan Yahudi, ia menjawab: “Sesungguhnya Allâh mengh aramkan wanita-wanita musyrikat atas orang-orang mukmin, dan aku tidak mengetahui suatu bentuk syirik yang lebih besar dari perkataan seorang wanita bahwa tuhannya adalah Îsâ (Nasrani), atau (ia berkata; tuhannya ialah) seorang hamba dari hamba-hamba Allâh (Uzair-Yahudi)”. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2024.

adalah syirik yang terbesar. Kendati demikian, ia tetap pada pendiriannya, tidak menginginkan terjadinya perkawinan dengan ahl al-kitâb. 51

Kendati sedikit berbeda, namun kedua riwayat tersebut sama-sama menafikan adanya perkawinan lintas agama, walaupun dengan ahl al-kitâb yang oleh mayoritas ulama diperbolehkan berdasarkan zâhir al-nass Q.S. 5:5. Dalam hal ini, tidak terdapat banyak informasi tentang upaya ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra di dalam mengkompromikan antara Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5, yang nampak bertentangan tersebut.

Hal ini berbeda dengan ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ra, yang lebih lunak di dalam menyikapi perkawinan mereka. Dalam kapasitasnya sebagai turjumân al-

Qur’ân, yang secara langsung mendapat doa dari beliau saw, Ibn ‘Abbâs ra tidak terlalu banyak menggunakan ra’yu, melainkan materi al-Qur’ân

sebagaimana dipahaminya. Sikap ini ditunjukkan Ibn ‘Abbâs ra 53 ketika memberikan komentar tentang Nasrani Arab, yang menurutnya tidak ada masalah,

jika seorang muslim memakan hewan sembelihan mereka. 54

51 Riwayat tersebut disampaikan Maimûn ibn Mihrân. Ia menyatakan bahwa ‘Ibnu ‘Umar ra, membenci nikahnya wanita ahl al-kitâb (dengan lelaki muslim), dan beliau membaca ayat:

“Dan janganlah kalian mengawini wanita-wanita musyrik, hingga mereka beriman”. Lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/475.

52 Terdapat banyak riwayat tentang kekhususan doa Rasulullah saw terhadap ‘Ibn ‘Abbâs ra tersebut, termasuk pernyataan Ibn ‘Abbâs ra sendiri yang dilansir muridnya, Sa’îd ibn Jubair,

bahwa Rasulullah saw menaruh tangannya di pundak Ibn ‘Abbâs ra seraya berdoa: “Ya Allâh, berilah ia pengetahuan agama, dan ajarilah dia ta’wil”. Lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al- Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/266. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustîy, Sahîh Ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, XV, Cet. II, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 531. Dalam kitab ini, disebutkan sabab al-wurûd- nya, yakni doa Rasul saw itu terucap, setelah Ibn ‘Abbâs ra dengan suka hati menyediakan air bersuci untuk Nabi. Kendati dengan sedikit perbedaan, namun kedua riwayat tersebut sama-sama dari Sa’îd ibn Jubair.

53 Nama lengkapnya adalah ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ibn ‘Abd al-Mut allib al-Hâsyimî, sepupu Rasulullah saw, yang terkenal dengan kedalaman ilmunya terutama dalam tafsir al-Qur’ân

(mendapat julukan Turjuman al-Qur’ân), meninggal di Tâ’if, antara tahun 68-70 H. Lihat: Mâlik ibn Anas, Abû Abdillâh al-Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. I/61, 260. Ibunya adalah ( Umm al-Fadl) Lubâbah bint al-Hârits al-Hilâliyah; saudari Maimunah bint al-H ârits (Umm al- Mukminin). Ia adalah anak terakhir dari 10 lelaki bersaudara, yang banyak menurunkan para khalifah bani Abbâsiyah. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ al-Qurasyî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/290. Di antara tabi’i yang berguru padanya adalah Mujâhid, Sa’îd ibn Jubair, al-‘A’raj, dan ‘Ikrimah. Lihat: Muh ammad ibn Muhammad al-Adnarawî, Tabaqât al- Mufassirîn, Juz. I/3.

54 Sebagaimana riwayat yang dibawa Tsaur ibn Zaid al-Dailamî, dan oleh al-Baihaqî, dikutip dalam kitabnya. Dalam hal ini, Tsaur ibn Zaid, menyatakan: Dari Ibn ‘Abbâs ra,

Dengan demikian dapat diduga bahwa, Ibn ‘Abbâs ra lebih cenderung untuk menyatakan bolehnya mengawini wanita-wanita ahl al-kitâb dari kalangan