Antara Muslim dan Non Muslim dalam Hubungan Perkawinan

C. Antara Muslim dan Non Muslim dalam Hubungan Perkawinan

Ayat-ayat yang membicarakan tentang perkawinan lintas agama sebagai- mana disebutkan di dalam al-Qur’ân, turun dalam waktu dan situasi yang berbeda. Oleh karenanya, demi mendapatkan pemahaman yang optimal, analisis seharusnya dilakukan secara menyeluruh dan komprehensip, agar tidak menghasilkan pemahaman yang partial dan terpotong-potong. Sebagaimana diketahui bahwa, pemahaman yang terpotong-potong dapat menimbulkan kesimpulan yang cenderung bertentangan satu sama lain, dan tentunya semakin memperuncing perdebatan dalam permasalahan ini.

Berkenaan dengan ayat-ayat yang secara langsung menunjukkan sikap al-

Qur’ân terhadap perkawinan lintas agama, setidaknya terdapat dalam Q.S. 60: 10-

11, 2: 221, dan juga 5: 5. Tiga ayat pertama, yakni 60: 10-11, dan 2: 221 berbicara tentang keharaman perkawinan lintas agama, sedangkan yang terakhir (5: 5), menjelaskan perihal kebolehannya, sehingga, hal ini sekilas tampak bertentangan.

Dari sisi kronologis turunnya ayat-ayat tersebut, tiga ayat pertama turun lebih dulu, jika dibandingkan ayat keempat (5: 5). 98 Dengan demikian, beberapa

analisis yang dapat dilakukan dalam hal ini, ialah:

Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. X/351. Lihat juga: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 170.

98 Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tentang asbâb al-nuzûl ayat-ayat tersebut secara runtut sebagai berikut: (1) Terdapat indikasi bahwa Q.S. 2: 221 turun pada masa awal-awal

tahun hijriyah, baik diyakini turun berdasarkan sabâb al-nuzûl, maupun tidak. Jika benar bahwa, ayat tersebut turun setelah peristiwa yang terjadi pada Martsad ibn Abî Martsad al-Ghunawî, maka turunnya ayat tersebut sebelum akhir tahun ke-3 Hijriyah. Karena pada bulan S afar tahun 3 H, dia meninggal dunia. Lihat: Muh ammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Basrî, al-Tabaqât al- Kubrâ, Juz. I, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al- ’Ilmiyah, 1997), h. 42. Demikian juga, jika ayat tersebut turun tidak dengan sabâb al-nuzûl, maka tentunya ia turun di sekitar tahun tersebut, karena ia tergabung dalam surah al-Baqarah yang merupakan surah pertama yang turun di Madinah. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. (2) Berdasarkan banyaknya riwayat yang ada, para ulama sepakat bahwa Q.S. 60: 10 dan 11 turun pada saat perjanjian H udaibiyah yang terjadi pada tahun 6

H. Yang dengan ayat tersebut, umat Islam telah mampu mengambil sikap untuk menolak permintaan kafir Quraisy dalam mengembalikan para perempuan yang hijrah ke Madinah, setelah mereka menjalani ujian untuk mengetahui keseriusannya menjadi seorang mukminah. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al- Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Ayat-ayat tersebut menyatakan perihal pelarangan terjadinya perkawinan antara orang Islam dengan non muslim, musyrik. (3) Sedangkan Q.S. 5: 5 turun setelah fath Makkah, tepatnya pada saat haji wadâ' tahun 10 H, yang merupakan tahun-tahun

1. Analisis Ayat-ayat tentang Perkawinan Lintas Agama

a. Takhsîs al-‘Âmm (Pengkhususan terhadap ayat-yat yang bersifat

umum) Dalam praktek kerja takhsîs al-‘âmm, ayat yang bermuatan umum sebagian materinya dikeluarkan dari keumuman ayat tersebut. Sehingga, bagian yang dikecualikan tersebut mempunyai hukum khusus yang membedakannya dari hukum asal. Dengan demikian, antara yang ‘âmm dan yang khâs sama-sama tetap berlaku, namun dalam cakupannya masing-masing. Di dalam takhsîs, bentuk

mukhassis bisa berupa dalil 'aqlî, naqlî, maupun yang lain. 99 Bagi para ulama yang menerapkan takhsîs, memandang bahwa Q.S. 2: 221 bermuatan umum dan

mencakup semua jenis syirik, namun kemudian sebagian materinya dikeluarkan oleh ayat 5: 5. Dengan demikian, kendati ahl al-kitâb telah melakukan perbuatan

syirik, akan tetapi para wanitanya boleh dikawini oleh umat Islam. 100 Dalam hal ini terdapat riwayat, sebagaimana disampaikan dari Nu’mân ibn

Mundzir dari Makhûl bahwa, setelah turunnya ayat 2: 221, para sahabat tidak berani melakukan perkawinan dengan wanita musyrik, sampai akhirnya turunlah

ayat 5: 5, yang memperbolehkan wanita-wanita ahl al-kitâb untuk dikawini. 101

terakhir kehidupan nabi Muh ammad saw. Menurut Ibn ‘Abbâs ra ayat tersebut merupakan penjelasan atas keraguan para sahabat di dalam menikahi non muslimah, sebagaimana terekam dalam sebuah riwayat yang disampaikan al-T abrânî, bahwa Ibn ‘Abbâs ra, berkata: “Setelah turun Q.S. 2: 221, maka orang-orang (Islam) mencegah diri untuk tidak menikahi (wanita musyrikah), sehingga turunlah Q.S. 5: 5, merekapun lalu menikahi wanita-wanita ahl al-kitâb”. Lihat: Abû al- Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XII/105. Lihat juga: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

99 Lihat: Abû Ishâq Abd al-Rahîm ibn Mûsâ al-Lakhamî al-Qarnat î al-Syâthibî, al- Muwâfaqât fi usûl al-Ahkâm, Jld. II, Juz. II, (Beirût: Dâr al-Fikr, tt), h. 155

100 Hal ini dapat dilihat dalam sebuah riwayat yang dibawa Abû T alhah tentang pernyataan Ibn ‘Abbâs ra bahwa, Q.S. 2: 221 mencakup semua orang-orang musyrik. Namun, kemudian Allâh

mengecualikan para wanita ahl al-kitâb (untuk dapat dinikahi oleh orang Islam). Demikian pula pendapat yang dipegang oleh beberapa tabi ’i, seperti Mujâhid, Ikrimah, Sa ’îd ibn Jubair, Hasan al- Basrî, Zaid ibn Aslam, Rabî ’ ibn Anas, dan lain-lain, yang kesemuanya itu bermuara dari pendapatnya Ibn ‘Abbâs ra. Selengkapnya, lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Bandingkan dengan: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388.

101 Dalam hal ini Makh ûl mengatakan: “Janganlah kalian menikahi wanita Majusi, baik merdeka, budak, di rumah, maupun di waktu perang, sehingga mereka masuk Islam. Karena

sesungguhnya Allâh telah mengharamkan wanita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allâh memberi kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-M⠒idah, maka

Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa, sebenarnya ahl al-kitâb juga termasuk musyrik. Buktinya, para sahabat tidak berani mengawini mereka setelah turunnya ayat 2: 221 tersebut, karena mereka meyakini bahwa, ahl al-kitâb termasuk orang musyrik.

Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa sebagian materi Q.S. 2: 221 telah dinasakh oleh Q.S. 5:5. 102 Namun jika dicermati, antara takhsîs dan nasakh

pada sebagian keumuman ayat, tidaklah berbeda. Karena nasakh dalam kategori ini, tidak dapat menghapus/menyalin muatan mansukhnya secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian saja. Dengan demikian, hasil dari kedua perangkat analisis tersebut tidaklah berbeda. Yakni kendati ahl al-kitâb adalah musyrik,

namun para wanitanya boleh dikawini oleh lelaki muslim.

b. Pemakaian konsep al-Jam’u wa al-Taufîq 104

dihalalkan bagi mereka wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, dan yang lain ditinggalkan (tidak dihalalkan)”. Lihat: Abû Abdillâh Mu hammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Juz. I/92. Sebelumnya, Ibn ‘Abbâs ra juga telah me negaskan perihal yang sama, dan telah kami sebutkan dalam pembahasan bab II (tentang respon nabi terhadap perkawinan lintas agama). Dalam pernyataannya disebutkan bahwa, setelah turun Q.S. 2: 221, kaum muslimin sama sekali tidak berani mengawini wanita musyrikah, sehingga turun Q.S. 5: 5, yang menjelaskan kebolehan bagi mereka menikahi wanita ahl al-kitâb. Lihat: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XII/105. Lihat juga: Ichtianto, H, Dr, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara RI, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Depag RI, 2003), h. 25

102 Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah H asan al-Basrî dan Ikrimah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, berkata:

“ Sebagian (muatan) ayat tersebut dinasakh, yakni tentang wanita-wanita ahl al-kitâb, yang mana mereka halal untuk dinikahi orang-orang Islam ”. Lihat: Mu hammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid

Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. 103 Lihat: ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî fi Fiqh al-Imâm

Ahmad ibn Hanbal al-Syaibânî, Juz. VII, Cet, I, Beirut: (Dâr al Fikr, 1405 H), h. 100. Tentang korelasi antara Q.S. 2: 221 dan 5: 5. Lihat juga pendapat Ibn ‘Abbâs ra yang menyatakan bahwa, Q.S. 2: 221 khusus dalam redaksi “walâ tankihû al-musyrikât” telah dinasakh, dan dari sebagian wanita musyrikah, dihalalkanlah para wanita ahl al-kitâb. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171.

104 Istilah ini tidak begitu dikenal dalam literatur klasik, melainkan dengan istilah " al- jam'u baina al-qaulain", yakni menggabungkan dua qaul/ungkapan/pendapat, yang mana dengan

teori ini, pendapat-pendapat yang berseberangan diharapkan akan dapat disatukan dan diberlakukan sesuai dengan konteksnya masing-masing. Teori ini juga banyak dipakai oleh para ulama, termasuk Ibn H ajar al-'Asqalânî sebagaimana dikutip oleh al-Suyût î dalam al-Itqân. Lihat: Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn al-Kamâl al-Suyûtî, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, Juz. I/83. Demikian juga Ibn Qudâmah yang mencoba untuk menggabungkan pendapat tentang lafaz -lafaz mu'arrab. Lihat: Abû Muhammad, 'Abdullâh ibn Ah mad ibn Qudâmah al-Maqdisî, Raudah al- Nâzir wa Junnah al-Munâzir, Muhaqqiq: Abd al-'Azîz Abd al-Rahmân al-Sa'îd, Cet. II, (Riyâd: Jamî'ah al-Imâm M. ibn Sa'ûd, 1399 H), h. 65.

Teori ini adalah usaha untuk menggabungkan antara dua hal, dalam hal ini adalah ayat-ayat tentang perkawinan lintas agama, yang akhirnya akan diberlakukan pada konteksnya masing-masing. Bagi yang memakai teori ini, menyatakan bahwa ahl al-kitâb bukanlah orang musyrik. Oleh karena itu, ayat 5:

5 yang turun setelah ayat 2: 221, bukanlah sebagai takhsîs maupun nasakh dari sebagian keumumannya. Akan tetapi, ia merupakan penjelasan atas keraguan umat Islam untuk mengawini wanita ahl al-kitâb. Karena dalam pandangan

mereka ahl al-kitâb adalah musyrik, padahal sebenarnya tidak demikian. 105

Kenyataan ini diperkuat oleh surat al-Bayyinah: 1 dan 6, yang menunjukkan adanya perbedaan antara musyrik dan ahl al-kitâb. 106 Jika tidak

demikian, maka tidak perlu disebutkan secara tersendiri. Hal ini diperkuat oleh pendapat Qatâdah, yang menyatakan bahwa, Wanita-wanita musyrikah adalah non

muslimah selain ahl al-kitâb. 107 Dengan demikian, baik kelompok yang menyatakan adanya takhsîs,

nasakh (pada sebagian materinya), maupun yang tidak mengakui keduanya, tidaklah menolak pemberlakuan kedua ayat tersebut. Oleh karena itu, perbedaan analisis yang mereka lakukan tidaklah membawa mereka pada pemahaman yang berbeda, apalagi berseberangan. Karena semuanya sepakat, bahwa seorang muslim berhak mengawini wanita ahl al-kitâb. Hanya saja, pada umumnya

105 Tercatat beberapa ulama yang melakukan pemisahan secara jelas antara musyrik dan ahl al-kitâb. Dan pada generasi awal, pendapat ini dilontarkan oleh seorang tabi ’i, Qatâdah,

sebagaimana riwayat Al-San’anî dari Ma’mar: ia menyebutkan bahwa ketika Qatâdah, menjelaskan ayat "wa lâ tankihû al-musyrikât", ia berkata: “Wanita-wanita musyrikât adalah (non muslimah) selain ahl al-kitâb”. Selengkapnya, lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176.

106 Dalam menjelaskan ayat tersebut, Ibn Qudâmah menegaskan tentang keberadaan wawu ataf yang menghubungkan antara " al-musyrikîn dan ahl al-kitâb", yang menurutnya, memberi

pengertian bahwa ahl al-kitâb bukanlah orang musyrik, begitu juga sebaliknya. Lihat: ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî fi Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibânî, Juz. VII/100.

107 Pernyataan tersebut diungkapkannya ketika menjelaskan Q.S. 2: 22. Lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Juz. I, Cet. I, (Beirut:

Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1408 H), h. 92. Lihat juga: Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San'anî, Tafsîr al-Qur'ân, Muhaqqiq: Mustafâ Muslim Muhammad, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1410 H) , h. 89. Dan juga: al-Nuhh âs, Ma'ânî al-Qur'ân al-Karîm, Muhaqqiq: Muhammad 'Alî al-S abbûnî, Juz. I, Cet. I, (Makkah al-Mukarramah: Jamî'ah Umm al-Qurâ, 1409 H), h. 180.

mereka berpendapat bahwa ahl al-kitâb hanya terbatas pada Yahudi dan Nasrani. 108

c. Kaedah-Kaedah Pemahaman Ayat dengan dan tanpa asbâb al-Nuzûl

(al-‘Ibrah bi Umûm al-Lafz au bi Khusûs al-Sabab) Permasalahan tentang perbedaan pemahaman berkenaan dengan ayat-ayat perkawinan beda agama telah terselesaikan di atas. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, kebolehan untuk mengawini ahl al-kitâb tersebut diberikan secara bebas ataukah terdapat batasan-batasan tertentu, sehingga yang perlu dikaji lebih dalam adalah materi ayat 5: 5. Namun yang perlu diingat adalah, bahwa ayat tersebut sama sekali tidak menyebutkan alasan ataupun motifasi adanya kebolehan

dimaksud. Di samping itu tidak ada batasan kecuali hanya dengan kata “al-yaum” dan “al-muhsanât”, yang mana keduanya masih dapat diberi penafsiran yang beragam.

Oleh karenanya dalam hal ini, penulis akan mencoba untuk memakai serta membandingkan dua pendekatan, yaitu: (1) Keumuman makna lafaz (secara redaksional), yang biasa diistilahkan dengan "umûm al-lafz" dan (2) Sebab khusus yang melatar belakangi turunnya ayat, disebut juga dengan istilah " khusûs al- sabab". Dalam hal ini perlu kita uji terlebih dahulu, pendekatan mana yang sesuai dengan ayat diatas, apakah dengan umûm al-lafz atau mungkin khusûs al-sabab, atau bahkan menggabungkan keduanya dengan mencari unsur ketiga, seperti

kajian kebahasaan. 109

108 Perbedaan analisis kerap kali menghasilan perbedaan dalam memahami suatu obyek. Namun teori ini tidak selamanya benar, seperti dalam kasus di atas. Lihat kembali: (1) Tentang

takhsîs, lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. (2) Tentang nasakh pada sebagian muatan ayat. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388 lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171. (3) Tentang Pembedaan Musyrik dan Ahl al-kitab, lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al- Marûzî, al-Sunnah, Juz. I/92. Lihat juga: Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an'anî, Tafsîr al- Qur'ân, Juz. I/89. Bandingkan dengan: al-Nuhh âs, Ma'ânî al-Qur'ân al-Karîm, Juz. I/180.

109 Kedua pendekatan ini banyak diperdebatkan oleh para ulama. Namun, pada umumnya mereka (seperti Imam Hanafî, Ahmad dan para pengikutnya) lebih cenderung untuk menggunakan

kaedah "al-'Ibrah bi 'Umûm al-Lafz", daripada "al-'Ibrah bi Khusûs al-Sabab". Karena menurut mereka, keumuman yang ada pada suatu redaksi merupakan petunjuk yang paling kuat dalam

Selama ini belum kami temukan riwayat yang secara jelas menunjukkan bahwa ayat tersebut turun dengan sabab al-nuzûl. Kendati banyak riwayat yang berhubungan dengannya, yang menurut sebagian ulama terkadang dianggap sebagai sabab al-nuzûl. Namun, menurut penulis tidaklah demikian, karena sabab al-nuzûl haruslah terdapat indikasi yang jelas tentang korelasi sebab-akibat dengan ayat yang turun. Sedangkan riwayat yang berhubungan dengan pemberlakuan ayat tersebut, adalah kejadian beberapa tahun setelah wafatnya Nabi. Yaitu perkawinan para tentara muslim (termasuk Jâbir ibn ‘Abdillâh ra dan Sa’d ibn Abî Waqqâs ra) pada saat penaklukan kota Kufah; masa pemerintahan

khalifah ‘Umar ibn Khattâb ra. 110

Tiadanya sabab al-nuzûl dan batasan tentang muatan ayat di atas, bukan berarti ayat tersebut tidak dapat dipahami dalam rangka mengetahui ada-tidaknya batasan tentang kebolehan mengawini ahl al-kitâb. Dalam riwayat tersebut, Jâbir ra menyebutkan, bahwa ia dan para sahabat lain mengamalkan materi ayat 5: 5, (dengan mengawini para wanita ahl al-kitâb) adalah, karena tidak banyak didapati

melakukan upaya pemahaman suatu lafaz . Lihat: Muhammad ibn Ismâ'îl al-Amîr al-S an'anî, U U sûl al-Fiqh, Ijâbah al-Sâil Syarh Bughyah al-Âmil, Muhaqqiq: Husain ibn Ahad al-Siyaghî dan Hasan M. Maqbûlî al-Ahdân, Cet. I, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1986), h. 253, 333. Akan tetapi menurut Imam Mâlik, al-Muzanî, dan Abu al-Tsaur yang juga dikuatkan oleh Imam H aramain dan al-Ghazalî (dengan mengambil sebagian pendapat al-Syâfi'î), menegaskan bahwa kekhususan sebab yang ada merupakan mukhassis bagi keumuman lafaz/redaksi. Lihat: 'Alî ibn Abd al-Kâfî al-Subukî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj 'alâ Minhâj al-Wusûl ilâ 'Ilm al-Usûl li al-Baidâwî, Juz. II, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1404 H), h. 185. Perdebatan tersebut tidak berjalan statis, karena pada kasus-kasus tertentu mereka beralih pada kaedah sebaliknya, seperti yang dilakukan kalangan Mâlikiyah dan Syâfi'iyah. Selain itu, pada umumnya mereka melakukan pembedaan antara kalâm al-Syâri' dan Ghair al-Syâri'. Lihat: 'Alî ibn 'Abbâs al-Ba'lî al-H anbalî, al-Qawâ'id wa al-Fawâid al-Usûliyyah, wa mâ Yata'allaq bihâ min al-Ahkâm, Muhaqqiq: M. Hamîd al-Faqî, (Kairo: Matba'ah al-Sunnah al-Muh ammadiyyah, 1956), h. 241. Lihat juga: 'Alî ibn Muh ammad ibn 'Alî al-Ba'lî, Abu al-Hasan, al-Mukhtasar fî Usûl al-Fiqh 'alâ Madzhab al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Muhaqqiq: M. Muzhar Baqâ, (Makkah al-Mukarramah: Jamî'ah al-Mâlik 'Abd al-'Azîz),

h. 110. 110 Sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abû al-Zubair, dengan mendengar sendiri

pernyataan Jâbir ibn 'Abdullâh yang kala itu ditanya perihal perkawinan lelaki muslim dengan wanita Yahudi dan Nas rani. Jâbir menjawab: "Kami menikahi mereka pada masa penaklukan kota Kufah, bersama Sa'ad ibn Abî Waqqâs, karena kami nyaris tidak menemukan banyak wanita muslimah. Namun, ketika kami kembali, kami menceraikan mereka". Ia juga menambahkan: "Mereka tidak mewarisi (harta) orang Islam, demikian pula sebaliknya. Perempuan-perempuan mereka halal bagi kita, akan tetapi perempuan-perempuan kita haram bagi para lelaki mereka".Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172.

wanita muslimah yang dapat dikawini. Dan yang perlu diingat adalah, pada saat umat Islam berada di atas kejayaan dan sedang menikmati kemenangannya. 111

Apa yang disampaikan Jâbir ra tersebut senada atau mungkin menjadi inspirasi bagi qâdî Abû Ya’lâ yang kemudian melontarkan pendapatnya bahwa penyebutan al-yaum pada ayat tersebut bukanlah tanpa makna. Beliau melanjutkan dengan mengatakan bahwa yang dimaksud kata “pada hari ini” dalam ayat tersebut; adalah hari diturunkannya ayat di atas (Q.S. 5: 5), yang tentunya mempunyai korelasi historis dengan Q.S. 5: 3, sebagaimana ditunjukkan

oleh redaksi "al-yauma yaisa al-ladzîna kafarû" dan "al-yaum akmaltu…". 112 Pada Q.S. 5: 3 tersebut, terdapat penjelasan tentang keputus-asaan orang-

orang kafir yang tidak mampu lagi mengganggu orang-orang Islam. Di samping itu, ayat tersebut juga menunjukkan keunggulan agama Islam di atas yang lain. Hal ini didukung dengan adanya peristiwa penaklukan kota Mekah bagi kemenangan kaum muslimin. Yang tentunya membuktikan bahwa umat Islam ada saat itu, (dalam beberapa hal) telah lebih unggul dibandingkan non muslim, termasuk sisi sosial-politiknya. Sehingga, kebolehan mengawini wanita-wanita

111 Dalam riwayat tersebut Jâbir ra menjelaskan bahwa (setelah penaklukan Kufah) beberapa orang (termasuk dia dan Sa ’d ibn Abî Waqqâs) menikahi wanita ahl al-kitâb, karena

(pada saat itu) mereka hampir tidak menemukan wanita muslimah. Namun ketika kembali (ke Madinah), mereka menceraikan para wanita tersebut. Dan lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, Wanita-wanita ahl al-kitâb halal bagi orang-orang Islam, namun tidak sebaliknya, para wanita muslimah tidaklah halal bagi laki-laki ahl al-kitâb. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘ Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172

112 Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/297. Q.S. al-Mâ’idah/5: 3, “….Pada hari ini, orang-orang kâfir telah putus asa untuk

(mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ku-ridlai Islam itu jadi agama bagimu ”. Tentang ayat ini khususnya redaksi "al-yauma yaisa al-ladzina kafarû", terdapat perbedaan pendapat apakah ia turun pada saat penaklukan kota Mekah (8 H) ataukah pada saat pelaksanaan al-hajj al-akbar (10 H). Beberapa riwayat yang diajukan al-Tabarî (termasuk dari Ibn Juraij, Mujâhid, dan Ibn Zaid) memberi indikasi bahwa, ayat tersebut turun pada saat al-hajj al-akbar (10 H). Berbeda dengan al-Qurtubî yang lebih memilih riwayat dari al-D ahhâk bahwa, ayat tersebut turun ketika terjadi penaklukan Mekah 8 Ramadân 8 H/9 H. Pada saat itu, juru bicara Rasul berkata: "Barang siapa berkata ( lâ ilâha illa Allâh) dia aman, barang siapa yang meletakkan senjata dia aman, dan barang siapa yang menutup pintunya, dia juga akan aman". Sedangkan untuk redaksi " al-yaum akmaltu lakum dînakum " beberapa riwayat menyatakan bahwa, ia turun pada hari jum'at 9 Dzu al-H ijjah 10 H, pada saat al-hajj al-akbar (Haji Wada'). Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/417. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/46.

ahl al-kitâb, seakan tidak ada dampak negatif sama sekali. Apalagi didukung dengan sangat kecilnya kuantitas para wanita muslimah. Sehingga, mengawini

wanita di luar Islam adalah kebutuhan pada saat itu. 113 Dengan demikian, berarti kebolehan yang diberikan Islam kepada umat

lelakinya dalam rangka mengawini wanita non muslim ( ahl al-kitâb), bukan tanpa batasan, akan tetapi berdasarkan beberapa pertimbangan sebagaimana di atas. 114

Jika tidak demikian, mungkin ayat tersebut bisa saja turun dan diamalkan pada

113 Pendapat tentang diperbolehkannya lelaki muslim untuk mengawini wanita ahl al-kitâb (hanya ketika terdapat hâjah/kebutuhan saja), pertama kali dilontarkan oleh al-H asan ra. Ketika itu

beliau ditanya seorang lelaki; bolehkah dia (lelaki tersebut) menikahi wanita Ahl al-kitâb? Hasan pun menjawab: “Ada masalah apa antara dia dan ahl al-kitâb, (padahal) Allâh telah memperbanyak (jumlah) wanita muslimah! Namun, jika ia harus melakukannya, hendaklah ia mencari wanita yang pandai menjaga diri ( hisânan), bukan yang mudah berbuat keji (mufâhisyah)? Orang tersebut berkata: “siapa “mufâhisyah” itu?. Hasan menjawab: “Ia adalah wanita yang jika ada seorang lelaki bermain mata dengannya, ia meresponnya ”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Pada generasi berikutnya, al-Suyûtî juga menyebutkan riwayat tersebut dalam tafsirnya; al-Dûr al- Mantsûr, dari jalur al-T abarî. Lihat: Jalâl al-Dîn Abd al-Rah mân ibn al-Kamâl al-Suyûtî, al-Dûr al-Mantsûr, Juz. III/26.

114 Pertimbangan yang dimaksud, adalah pertimbangan atas beberapa keadaan mikro dan makro umat Islam dalam tata kehidupan sosial, di mana mereka berada. Hal ini dapat dilihat

bahwa turunnya Q.S. 5: 5 adalah pada saat umat Islam sedang berada pada masa kejayaan, dan menikmati kemenangannya atas orang-orang kafir. Lihat kembali: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/417. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/46. Demikian juga riwayat tentang pengamalan ayat tersebut, sebagaimana dijelaskan jâbir ibn 'Abdullâh ra, bahwa para sahabat melakukan perkawinan tersebut pada saat benar-benar membutuhkannya, di samping juga sedang menikmati kemenangan atas penaklukan kota kufah. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. Namun, jika sutuasi dan kondisi tidak mendukung dilakukannya perkawinan tersebut, maka sejarah membuktikan telah terjadinya perdebatan panjang dalam pelaksanaannya, seperti yang terjadi antara 'Umar ra dan H udzaifah ra. Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Sa ’îd ibn Mansûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Dâr al- ‘ Asîmî, 1414 H), h. 193. Bandingkan dengan: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/474. Di samping itu, dalam riwayat yang dibawa al-Tabarî dari Wahb dijelaskan bahwa ‘Umar ra berkata: “Lelaki muslim boleh menikahi wanita Nasrani, namun lelaki Nasrani tidak dapat menikahi wanita muslimah. Dan sesungguhnya ‘ Umar ra tidak suka pada perkawinan Talhah dan Hudzaifah dengan wanita Yahudi-Nasrani adalah, agar perbuatan mereka tidak diikuti oleh umat Islam, dan pada akhirnya mereka akan meninggalkan para wanita muslimah, ataupun dengan adanya beberapa alasan lain. Oleh karena itu, ia memerintahkan keduanya agar menceraikan istri-istri mereka yang non muslim tersebut ”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 388. Pada masa berikutnya, Ibn Katsîr juga mengutip riwayat tersebut, dan mengikuti pendapat Al-Tabarî yang menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah yang paling s ahîh. Lihat: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Azîm, Juz. I/347.

saat pertama kali nabi saw dan para sahabat menginjakkan kaki (hijrah) ke Madinah. Karena pada saat itulah, umat Islam pertama kali berbaur dengan ahl al- kitâb dalam jumlah besar, seharusnya umat Islam melakukan perkawinan dengan mereka, jika hal itu tanpa kriteria dan batasan tertentu. Ternyata tidak demikian, karena pada saat itu, sebagai warga baru yang terusir dari daerah asalnya, umat Islam masih lemah, jika dibandingkan ahl al-kitâb.

Unsur kedua yang membatasi perkawinan tersebut adalah ihsân dalam ayat tersebut disebutkan “al-muhsanât”. Tentang hal ini terdapat dua pendapat dalam menafsirkan kata tersebut, bagi Ibn ‘Abbâs ra artinya adalah “al-harâir”, sedangkan bagi yang lain termasuk al-Hasan dan al-Sya’bî artinya adalah “al-

115 'afâ'if”.

Perbedaan interpretasi tersebut, sebenarnya hanya bermuara dari perbedaan pandangan tentang hal mana yang lebih penting. Pada masa awal Islam status “merdeka” adalah sebuah kebanggaan tersendiri, karena dengannya ia bisa terhormat. Dan bagi orang merdeka, tentunya akan lebih mudah untuk menjaga diri, jika dibandingkan dengan budak. Namun, dengan berkembangnya zaman, dengan semakin kecilnya populasi budak, maka interpretasi tersebut seakan tidak aplikatif lagi. Maka kemulyaan seseorang lebih diukur dari kemampuannya dalam menjaga diri. Dalam hal ini, al-Sya’bî menambahkan kreteria “al-muhsanât” bagi ahl al-kitâb ialah: jika mereka dapat menjaga diri “al-'afâ’if” dan mau melakukan

mandi jinâbah, jika berhadats besar. 116 Pada saat ini, dimana keadaan telah banyak berubah, dengan semakin

banyaknya jumlah wanita muslimah. Disamping itu, umat Islam tidak memegang kekuasaan terbesar dunia, bahkan sampai sekarang kekuatan ekonomi berada di tangan orang-orang Yahudi, dan teknologi dikuasai orang-orang Nasrani. Maka muncul pertanyaan, masih perlukan umat Islam mengawini ahl al-kitâb?. Masalah serupa pernah dihadapkan kepada al-Hasan, ketika ada seseorang (muslim) yang hendak mengawini wanita ahl al-kitâb. Beliau tidak menjawab, bakan balik

115 Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/297.

116 Lihat: Husain ibn Mahmûd al-Farrâ Abû Muh ammad al-Baghawî, Ma'âlim al-Tanzîl, Juz. I, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 18.

bertanya: “Ada masalah apa antara dia dengan ahl al-kitab, padahal Allâh benar- benar telah memperbanyak jumlah wanita muslimah?”. 117

Dengan demikian, sebenarnya ayat tersebut lebih sesuai jika dipahami berdasarkan khusûs al-sabab, jika saja ditemukan riwayat tentang sabab al-nuzûl- nya yang betul-betul sesuai dengan ayat tersebut. Sehingga, aplikasinya untuk masa-masa selanjutnya termasuk sekarang ini adalah dengan jalan qiyâs.

2. Perkawinan Lintas Agama bagi Seorang Muslim Suami adalah kepala keluarga, yang mempunyai beberapa hak dan kewajiban. Dan sebagai pemimpin, tentunya dia mempunyai wewenang dan tanggung jawab di dalam rumah tangga yang dipimpinnya. Dalam posisi tersebut,

ia berhak ditaati oleh istri dan anggota keluarga lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nisâ’/4: 74. 118 Namun, posisi yang ia dapatkan menuntutnya untuk

dapat mempertanggung jawabkan keluarganya di hadapan Allâh, kelak di akhirat. 119

117 Lihat kembali: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Lihat juga: Jalâl al-Dîn Abd al-Rah mân ibn al-

Kamâl al-Suyûtî, al-Durr al-Mantsûr, Juz. III/ /25. Hal ini, senada dengan analisis yang dilakukan M. Rasyîd Ridâ dalam tafsirnya (al-Manâr). Kendati ia mencoba memperluas cakupan ahl al-kitâb, namun jika melihat kejadian sekarang ini, perkawianan dengan ahl al-kitâb justru akan berpotensi mendatangkan fitnah. Oleh karenanya, beliau lebih cenderung untuk tidak menyetujuinya. Lihat kembali: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. IV/159.

118 Q.S. al-Nisâ’/4: 74, “Kaum laki-laki itu ad alah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),

dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahka n sebahagian dari harta mereka …..”. Terdapat banyak riwayat tentang sabab al-nuzûl ayat ini, termasuk riwayat dari al-H asan ra, bahwa suatu hari datanglah seorang perempuan menghadap Rasulullah saw mengadukan sang suami yang telah menamparnya. Mendengar hal ini, beliaupun bermaksud menjatuhkan qis âs atas kasus tersebut, namun turunlah Q.S. T âhâ/20: 114 yang menegur beliau agar tidak tergesa-gesa memutus suatu perkara sebelum wahyu (tentang perihal tersebut) turun. Dan kemudian turunlah Q.S. 4: 74, sebagaimana di atas. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl âyi al-Qur’ân, Juz. IV/59. Namun bukan berarti suami berhak melakukannya dengan semena-mena. Karena hal itu hanya merupakan tahapan terakhir yang boleh dilakukan ketika istri melakukan nusyûz (pembangkangan), setelah tidak dapat lagi dinasehati maupun didiamkan sendiri. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/653.

119 Lihat: Q.S. al-Tah rîm/66: 6, “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu …”. Terdapat banyak

penjelasan perihal bentuk penjagaan diri dan keluarga dari api neraka. Menurut 'Alî ra, Mujâhid, dan Qatâdah, maksudnya adalah "Melakukan penjagaan diri dengan amal perbuatan masing- masing, sedangkan penjagaan terhadap keluarga adalah dengan wasiyat (agar kepada Allâh dan menjauhi larangannya)". Oleh karenanya, dalam sebuah keluarga muslim, seorang anak harus segera dikenalkan dengan Islâm, dan salat sebagai identitas (lihat. T âhâ/20: 132). Hal ini tak lain adalah sebagai salah satu perwujudan tanggung jawab terhadap keluarga sebagimana dijelaskan di

Oleh karenanya, di dalam menentukan pasangan hidup, para calon suami hendaknya berhati-hati, karena istri yang mendampinginya kelak, (tentunya) akan mempunyai peran sangat besar di dalam mewarnai corak kehidupan keluarganya, terutama terhadap anak-anak mereka. Dengan mempertimbang-kan berat- ringannya pertanggungjawaban di akhirat, maka Islam melarang mereka menikahi wanita kafir. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 60: 10 "wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir", "…Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)

dengan perempuan-perempuan kafir…". 120 Pada potongan ayat di atas, kendati memakai redaksi al-kawâfir; yang

berarti para wanita kafir, namun para ulama mengartikannya sebagai “para wanita

musyrik”. Hal ini berangkat dari sisi historis ayat tersebut, yakni bahwa ayat di atas turun ketika Rasulullah saw mengadakan perjanjian dengan para penyembah berhala (musyrik) di Hudaibiyah. Dengan turunnya ayat tersebut para sahabat yang pada saat itu masih mempunyai istri-istri musyrikah, mereka segera menceraikannya, termasuk diantaranya adalah ‘Umar ibn al-Khattâb. Ia menceraikan dua istrinya sekaligus; yaitu (1) putrinya Abû Umaiyyah ibn al- Mughirah yang akhirnya di kawin oleh Mu’awiyyah bin Abû Sufyân (2) Ummu Kaltsûm bint Jazûl al-Khazâ’iyyah, ibu dari ‘Abdullâh bin ‘Umar, yang akhirnya

ia dikawini oleh Abû Jahm ibn Hudzâfah ibn Ghânim. 121

atas. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVIII/171. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al- Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/355.

120 Kata "al-‘isam" merupakan bentuk jamak dari " al-'Ismah" yang berarti "Sesuatu yang menjadi pegangan" yakni akad nikah. Dengan demikian, makna redaksi tersebut adalah, "Barang

siapa yang mempunyai istri kafir, maka ia tidaklah dianggap (sah) sebagai istri, karena perbedaan agama". Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukanî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/301. Dengan ayat ini, para sahabat diperintahkan agar menceraikan istri-istri mereka yang menolak Islam dan lebih suka hidup bersama orang-orang kâfir di Mekah. Hal ini merupakan pengharaman Allâh atas perkawinan antara orang mukmin dengan orang-orang musyrik, ataupun meneruskan perkawinan dengan mereka. Menurut Abd al-Rahmân ibn Zaid ibn Aslam bahwa, ketentuan hukum Allâh yang demikian itu karena adanya perjanjian antara umat Islam dengan kafir Quraisy Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Azîm, Juz. IV/449.

121 Di antara beberapa sahabat lain yang melakukan hal serupa adalah T alhah ibn ‘ Ubaidillâh ra ibn ‘Utsmân ibn ‘Amr al-Taimî, ia menceraikan istrinya bernama Urwâ binti

Rabî’ah ibn Hârits ibn Abd al-Mu tallib. Namun setelah mantan istrinya tersebut masuk Islam, iapun dikawin oleh Khâlid ibn Sa ’îd ibn ‘Ass. Dua sahabat diatas adalah dua dari sekian sahabat

Jika dicermati, maka larangan yang terdapat pada ayat di atas adalah bagi mereka yang sudah terlanjur mempunyai istri-istri wanita musyrik. Oleh karenanya, bagi mereka yang belum menikah atau tidak mempunyai istri musyrikah, Allâh mengingatkan (dalam Q.S. 2: 221) agar mereka jangan sampai

mengawini wanita-wanita musyrik. 122 Pada ayat tersebut dinyatakan bahwa budak yang beriman lebih baik

daripada wanita musyrik. Hal ini membuktikan bahwa di dalam mencari pasangan hendaknya mendahulukan kualitas agama di atas yang lain. Di samping itu, penyebutan kata wa lau a'jabatkum menunjukkan bahwa, ketertarikan lelaki terhadap wanita merupakan subyektifitas yang tidak selalu benar, karena pada

umumnya, sesuatu yang menarik hanya bersifat duniawi. Oleh sebab itu, di dalam sebuah hadîts, Rasul menunjukkan beberapa kecenderungan yang biasa dijadikan dasar bagi lelaki untuk menikah, yaitu; kecantikan, harta dan keturunan. Sedangkan agama sering kali dikesampingkan, oleh karenanya, di akhir h adîts

yang menceraikan istri-istrinya setelah turunnya ayat (60: 10) tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/ 68-

70. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/449. 122 Lihat: Q.S. 2: 221, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu …”. Perbedaan background dan orientasi tersebut (di atas) dapat kita cermati dari perbedaan bentuk kasus yang mengiringi Q.S. 2: 221, yang sama sekali berbeda dengan bentuk kasus yang menjadi sabab al-nuzûl Q.S. 60: 10. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, Q.S. 60: 10 merupakan ketentuan putusnya hubungan perkawinan antara para sahabat nabi dengan orang-orang musyrik Quraisy, pada saat peristiwa H udaibiyah. Sedangkan Q.S. 2: 221 (menurut sebagian riwayat) turun setelah kasus Martsad ibn Abi Martsad ra, yang hendak menikahi ‘Anâq, seorang wanita Musyrikah Quraisy. Dengan demikian, jika kedua ayat ini digabungkan dan dipahami secara bersamaan, maka akan melahirkan suatu pemahaman bahwa, tidak ada jalan yang membenarkan terjadinya perkawinan antara orang Islam dengan orang Musyrik, baik telah maupun akan terjadi. Tentang berbagai penjelasan dimaksud pada Q.S. 60: 10, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al- Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Dan juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/449. Bandingkan dengan penjelasan Q.S. 2: 221, lihat: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/301. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64. Dan juga: Ism⠒îl ibn ‘ Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/449. Ataupun: Abû ‘ Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al- Qur’ân, Juz. III/64.

tersebut Rasul saw mengingatkan agar umat Islam menjadikan agama sebagai pertimbangan pertama, sebelum masuk pada pertimbangan yang lain. 123

Perintah untuk menjadikan agama sebagai pertimbangan pertama di dalam melakukan perkawinan, berikut pelarangan mengawini wanita musyrikah; adalah karena akibat dan dampak negatif yang akan muncul dari perkawinan tersebut sangatlah besar. Perkawinan tersebut dikhawatirkan akan merugikan si pelaku muslim dan keluarganya, secara umum. Hal ini di karenakan aktifitas syirik yang mereka lakukan akan dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Sehingga mereka terjerumus dalam kesesatan, dan pada akhirnya masuk ke dalam api

neraka. 124

Pernyataan di atas bukanlah tanpa alasan; karena syirik adalah dosa terbesar disisi Allâh yang tidak akan diampuni oleh-Nya (Q.S: 4: 48). 125 Dan

123 Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Abû Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat perkara; karena harta, keturunan (pangkat),

kecantikan, maupun agamanya. Maka carilah perempuan yang mempunyai (keunggulan) agama, niscaya engkau akan bahagia". Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. II/1086. Lihat juga: Sulaimân ibn al-A sy’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. I/624. Dan juga: Ah mad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, al- Mujtabâ min al-Sunan, Muhaqqiq: ‘Abd al-Fattâh Abu al-Ghadah, Juz. IV, Cet. II, ( Halb: Maktabah al-Matbû'ât al-Islâmiyyah, 1986), h. 68. Demikian juga: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/428. Dan: ‘Alî ibn ‘Umar Abû al-Hasan al-Dâr Qutnî al-Baghdâdî, Sunan al-Dâr Qutnî, Juz. III/302. Menurut Ibn Mâjah, (dalam redaksinya yang memakai kalâm khabar) hadîts tersebut merupakan kecenderungan umum manusia dalam mencari pasangan hidup, dan bukanlah perintah. Dan "perintah" terdapat pada redaksi akhirnya "fa izfar bi dzât al-dîn ". Lihat: Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz. I/597.

124 Q.S. al-Baqarah/2: 221, “Mereka (orang-orang musyrik tersebut) mengajak ke neraka, sedangkan Allâh mengajak ke surga dan ampunan atas izin-Nya”. Para mufassir menegaskan

redaksi tersebut sebagai sebuah peringatan bahwa bergaul dengan orang-orang musyrik akan dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk lebih cinta dunia daripada akhirat dan segala konsekuensinya. Mereka akan mendorong kita melangkah lebih jauh sesuai dengan keinginan mereka dengan pendidikan yang mereka berikan pada anak-anak. Perbuatan-perbuatan mereka tak lain hanya akan mendorong ke jalan api neraka. Oleh karenanya, bergaul dan menjalin hubungan musâharah dengan mereka merupakan sebuah kekhawatiran besar yang harus dihindari. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/341.

125 Q.S. 4: 48, " Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang

siapa yang mempersekutukan Allâh, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". Terdapat riwayat tentang kasus yang mengiringi turunya Q.S. 4: 48 ini, sebagaimana disampaikan Abû Ayyûb al-Ansârî bahwa, seorang lelaki datang pada nabi saw dan mengadukan kelakuan keponakan (anak saudara lelaki)nya yang masih bergelut pada hal-hal yang haram, namun masih bertauhîd dan menjalankan s alat. Setelah meminta pertimbangan dari nabi, iapun berusaha siapa yang mempersekutukan Allâh, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar". Terdapat riwayat tentang kasus yang mengiringi turunya Q.S. 4: 48 ini, sebagaimana disampaikan Abû Ayyûb al-Ansârî bahwa, seorang lelaki datang pada nabi saw dan mengadukan kelakuan keponakan (anak saudara lelaki)nya yang masih bergelut pada hal-hal yang haram, namun masih bertauhîd dan menjalankan s alat. Setelah meminta pertimbangan dari nabi, iapun berusaha

Kendati demikian, bagi seorang muslim boleh mengawini wanita non muslim ahl al-kitâb, berdasarkan zâhir al-nass Q.S. 5: 5. 126 Ayat tersebut turun

ketika fath Makkah (8 H), yang tentunya pada saat itu umat Islam (dalam beberapa hal) telah lebih unggul dibandingkan dengan non muslim. Namun secara praktis, riwayat yang menyebutkan adanya pengamalan ayat tersebut baru terjadi

pada masa khalifah ‘Umar bin Khattâb ra. Walaupun dalam riwayat lain,

menyadarkannya, namun tidak berhasil. Maka turunlah ayat "Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu". Di samping berdosa besar, syirik juga merupakan zalim yang tak terampuni, sebagaimana riwayat Anas ra dari nabi saw, beliau bersabda: "Z alim itu ada tiga, yaitu: (1) Z alim yang tidak akan diampuni; yakni syirik, (2) Z alim yang diampuni Allâh; yaitu z alim terhadap diri sendiri, dan (3) Zalim yang tidak akan ditinggalkan Allâh, adalah Z alim antar sesama manusia". Lihat: Ism⠒il ibn ‘ Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/675. Dalam sebuah riwayat dari Ibn 'Umar ra dinyatakan bahwa, ketika turun Q.S. al- Zumar: 53 (di antara muatannya adalah "larangan berputus asa dari rahmat Allâh, termasuk bagi pada pendosa"), seorang lelaki berdiri dan berkata: "Bagaimana dengan syirik, wahai nabi Allâh?". Nabi tampak tidak suka dengan pertanyaan itu, dan membaca Q.S. 4: 48 tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/128.

126 Artinya: "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu h alal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.

(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzinâ dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi". Menurut Ibn 'Abbâs ra, kebolehan mengawini wanita ahl al-kitâb adalah suatu kekhususan bagi mereka ( ahl al-kitâb) yang terdapat perjanjian damai dengan umat Islam, bukan kafir harbî. Namun, pendapat lain tampak lebih longgar, yakni tanpa mempertimbangkan antara kafir dzimmî dan harbî. Di samping itu, masih terdapat perbedaan pendapat tentang " Ihsân" yang menjadi syarat bagi wanita ahl al-kitâb untuk dapat dinikahi oleh orang Islam. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/64. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al- Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22. Abû al- Sa'ûd menjelaskan bahwa, penyebutan hari sebanyak tiga kali merupakan ta'kîd (menguatkan pernyataan), yang pada hakekatnya adalah hari yang sama, yakni penaklukkan Mekah atau (dalam riwayat lain) haji akbar/wada'. Lihat: Muhammad ibn Muhammad al-'Imâdî Abu al-Sa'ûd, Irsyâd al-'Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur'ân al-Karîm , Juz. III, ()Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tt), h. 9.

127 Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. Sebenarnya, terdapat indikasi pengamalan ayat tersebut sejak masa Rasul.

beliau juga melarang bentuk perkawinan tersebut, bahkan hampir menghukum para pelakunya. 128 Perbedaan keputusan ‘Umar ibn al-Khattâb ra dalam hal ini,

banyak didasarkan oleh beberapa pertimbangan, yang lebih dari sekedar pemahaman zâhir al-nass. 129 Praktek perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb juga

telah dilakukan oleh 'Utsmân ibn al-'Affân ra pada masa-masa akhir pemerintahannya. Dan dengan perkawinan tersebut, ia mampu menunjukkan keluhuran ajaran agama Islam, bahkan sang istri; Nâilah bint al-Farâfis ah, juga

masuk Islam oleh karenanya. 130 Dari praktek perkawinan antara para sahabat (dan generasi muslim awal

pada umumnya) dengan wanita ahl-al-kitâb, dapat dicermati bahwa, setidaknya

terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan utama mereka, yaitu: (1) perempuan yang hendak dinikahi, harus betul-betul dapat menjaga diri; al- muhsanât, (2) perkawinan tersebut tidak menyebabkan umat Islam terpandang hina, (3) hendaklah si lelaki berstatus sosial lebih tinggi, (4) perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb hanya merupakan alternatif, jika kesulitan mencari wanita muslimah; dan (5) lelaki tersebut harus mampu menunjukkan keluhuran ajaran agama Islam, bahkan optimis akan dapat membantu istrinya menjadi seorang

Namun tidak terdapat keterangan yang perihal dimaksud, seperti riwayat yang disampaikan Ibn ‘ Abbâs ra. Lihat kembali: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn A hmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XII/105.

128 Tentang kasus Hudzaifah ra, lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Sa ’îd ibn Mansûr, Sunan Sa’îd

ibn Mansûr, Juz. I/193. Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fî al- Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. III/474. Sedangkan beberapa perkawinan yang diputus paksa olehnya, lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV, Cet. III, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), h. 7. Bandingkan dengan: Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim Abu al-Husain al-Naisabûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), h. 185. Dan juga: Abû Mu hammad, ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al- Zâhirî, Juz. VII, al-Muh allâ, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt), h. 313

129 Di antara beberapa pertimbangan tersebut ialah: (1) Kemaslahan umat Islam, terutama para wanitanya. Karena dengan semakin banyaknya lelaki muslim yang lebih suka mengawini

wanita ahl al-kitâb, akan sangat mungkin menjadikan mereka enggan untuk mengawini wanita muslimah. (2) Faktor hâjah atau kebutuhan, ia membolehkan jika hal itu memang betul-betul dibutuhkan, karena sedikitnya jumlah atau bahkan tidak adanya wanita muslimah yang dapat dikawini, seperti yang terjadi pada saat penaklukan kota Kufah, (3) Menjaga kewibawaan umat Islam di mata non muslim. Dalam hal ini, ia melarang para pejabat seperti H udzaifah ra menikahi ahl al-kitâb. (4) Menjaga kewibawaan umat Islam di mata non muslim serta upaya pengamalan nass, seperti beberapa putusan cerai paksa yang dilakukan ‘Umar terhadap pasangan suami non muslim dengan istri muslimah.

130 Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172 130 Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172

boleh dilakukan, 131 karena perkawinan tersebut akan membuahkan madârat yang lebih besar dibandingkan maslahah-nya. 132

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengamalan Q.S. 5: 5 tidaklah berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan beberapa ayat lain (dalam tema yang sama), serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat Islam. Apalagi perkawinan adalah bagian dari agama (ibadah), di samping juga merupakan salah satu bentuk hubungan sosial (sebagaimana telah penulis jelaskan di awal pembahasan bab ini).

Oleh karenanya, beberapa pertimbangan yang dipakai umat Islam generasi awal, juga masih relevan untuk diterapkan pada saat ini. Karena pertimbangan tersebut berangkat dari perpaduan antara pemahaman zâhir al-nass dan orientasi penerapannya. Atas dasar inilah perbedaan waktu, situasi, dan kondisi tidak lantas menyebabkan perubahan dalam ketentuan hukum, karena orientasi penerapan ayat

131 Lihat kembali penjelasan al-Manâr: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. IV/159. Lihat juga: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan

keserasian al-Qur’ân, Vol. III/30. 132 Hal ini bukanlah sebuah ketakutan yang tidak berdasar, melainkan suatu kewaspadaan

yang sejak awal telah diajarkan oleh al-Qurân. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 2: 120, “ Orang-orang Yahudi dan Nasranî tidak akan senang kepadamu, sampai kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah! “Sesungguhnya petunjuk Allâh adalah petunjuk (yang benar) ”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu (tentang agama yang benar), maka Allâh tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”. Ayat ini menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ri dâ kepada nabi. Oleh karenanya, beliau dilarang mencari sesuatu yang dapat membuat mereka rid â (karena hal itu tidak akan terjadi). Dan hendaknya mencari rid â Allâh di dalam mengajak mereka, karena itulah jalan kebenaran yang akan dapat menyatukan antara nabi (dan umat Islam) dengan mereka. Di samping itu, antara Yahudi dan Nasrani selalu terjadi pertentangan, sehingga mustahil untuk mencari rida mereka, dengan menuruti keinginan masing-masing dari keduanya. Lebih lanjut, al- Tabarî menjelaskan bahwa ayat tersebut turun setelah Yahudi dan Nasrani mengajak nabi agar mengikuti agama mereka. Dan masing-masing mengklaim bahwa hanya agama merekalah yang merupakan agama petunjuk. Sehingga hujjah yang diajarkan Allâh kepada nabi menyatakan bahwa petunjuk hakiki hanyalah milik Allâh. Sedangkan menurut al-Wâh idî, ayat tersebut turun dalam masalah perpindahan qiblat. Selama qiblat umat Islam adalah Bait al-Maqdis, mereka mengharap agar Nabi betul-betul akan mengikuti mereka. Namun mereka putus asa setelah Allâh memindah kembali qiblat (umat Islam) ke ka'bah. Namun, secara lebih luas al-Jauzî menyebutkan tiga riwayat sabab al-nuzûl yang sedikit berbeda satu sama lain. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/565. Lihat juga: Abu al-Hasan, ‘Alî ibn Ahmad al-Wâhidî, al-Wajiz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Az îz, Juz. I/129. Bandingkan: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/138.

tersebut bersifat umum, yang menghubungkan antara dua kemaslahatan; dunia dan akhirat.

Hanya saja menurut hemat penulis, perlu adanya reorientasi tentang kriteria ahl al-kitâb, dengan tidak lagi dibatasi oleh nama dan simbol-simbol keagamaan tertentu, yang mengesampingkan aktifitas para penganut agama- agama tersebut. Akan tetapi, lebih ditekankan pada penilaian secara obyektif terhadap aktifitas mereka, baik secara ritual (ibadah) maupun sosial (mu'amalah)- nya. Sehingga, ahl al-kitâb dalam hal ini adalah para penganut agama samawî non Islam, yang masih memegang prinsip-prinsip ajaran agamanya dengan benar, dan terdapat titik temu dengan Islam dari sisi akidah (tauhîd) dan amaliyah.

Di samping itu, perdebatan para ulama tentang “al-muhsanât” yang menjadi syarat bagi perempuan ahl al-kitâb agar dapat dinikahi oleh seorang muslim, perlu kiranya ditinjau kembali. Selama ini, “al-muhsanât” diartikan sebagai “wanita merdeka” atau wanita yang dapat “menjaga kehormatan” dari

perbuatan zina. 133 Dari kedua makna tersebut, mayoritas ulama lebih memilih untuk mengartikannya sebagai “wanita merdeka” Padahal, seiring dengan

perkembangan zaman, pola pikir manusia juga semakin berkembang. Hal ini tentunya menuntut re-interpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemaknaan

tersebut, apalagi secara formal, perbudakan telah dihapukan dari muka bumi. 134

133 Lihat kembali penjelasan tentang keduanya, yang dinyatakan bahwa al-muhsanât, adalah wanita-wanita terjaga, yakni mereka yang mampu menjaga kemaluannya Lihat:

Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. III/1017. Sedangkan pendapat lain dalam hal ini, mengartikannya sebagai para wanita merdeka. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. III/1962.

134 Q.S. 4: 25, “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang

beriman, dari budak-budak yang kamu miliki …..sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya..” Dalam hal ini, baik wanita terseb ut merdeka ataupun budak, sama-sama disebutkan kata "mu'minât", yakni mereka haruslah para wanita yang beriman. Sedangkan penyebutan "muhsanât" dalam ayat tersebut mempunyai implikasi pemaknaan yang berbeda. Pada bagian pertama, "muhsanât" berarti “para wanita merdeka ”, sedangkan pada bagian kedua, " muhsanât" maksudnya adalah “para budak wanita yang mampu menjaga harga diri ”. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/476. Karena memang terdapat perbedaan antara wanita merdeka dan budak di dalam kemampuannya menjaga harga diri mereka. Para budak, dengan segala keterbatasannya sering kali menjadi komoditas seksual oleh para majikannya. Sehingga kemampuan untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, adalah nilai plus tersendiri bagi mereka.

Dengan demikian, makna yang mungkin masih relevan untuk diterapkan pada saat ini adalah “penjagaan diri”. Namun, terlalu sempit kiranya jika makna tersebut hanya dibatasi oleh kemampuan seseorang menghindari perbuatan zina, karena masih terdapat banyak penyelewengan lain yang sejajar dengan zina. Padahal, penyelewengan-penyelewengan tersebut akan dapat membentuk karakter pelakuknya menjadi semakin buruk. Dan jika hal itu terus terpupuk dalam diri

seseorang, tentunya akan dapat mempengaruhi anggota keluarga yang lain. 135

3. Perkawinan Lintas Agama bagi Seorang Muslimah Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, dalam struktur rumah tangga, suami adalah pemimpinnya. Walaupun sang istri biasanya mempunyai pengaruh yang sangat besar, namun suami mempunyai wewenang dalam keluarga, yang terkadang seorang istri tidak mampu menolaknya. Hal ini dikarenakan, adanya tradisi superioritas lelaki sebagai pimpinan dalam keluarga tersebut. Di sisi lain, Allâh melarang umat Islam menjadikan orang-orang non muslim, termasuk ahl al-

kitâb sebagai pimpinan mereka. 136 Maka atas dasar inilah, seorang perempuan muslimah dilarang menjalin hubungan perkawinan dengan lelaki non muslim.

135 Dengan demikian, mencari sosok pasangan hidup yang berakhlak baik merupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Umar ra: “Demi

Allâh! Seorang lelaki tidaklah mengambil faedah setelah Islam yang lebih baik dari istri yang baik, berbudi pekerti baik, penuh kasih sayang lagi berpotensi banyak anak. Demi Allâh! Seorang lelaki tidaklah mendapat kejelekan setelah syirik yang lebih buruk dari istri yang berperangai buruk lagi berlidah besi (kasar)”. Lihat: Abû Bakr A hmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ Al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VIII/82

136 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Mâidah/5: 57, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah

ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allâh jika kamu betul- betul orang-orang yang beriman ”. Terdapat beberapa riwayat tentang sabab al-nuzûl ayat ini, termasuk yang disampaikan Ibn 'Abbâs ra bahwa, Rifâ'ah ibn Zaid ibn al-Tâbût dan Suwaid ibn al- Hârits menampakkan keislamannya, kemudian menjadi munâfiq. Padahal orang-orang Islam mempunyai kedekatan dengan keduanya. Maka turunlah ayat tersebut. Pada ayat tersebut, di samping "ahl al-kitâb", juga disebutkan "al-Kuffâr" yakni orang-orang kâfir, namun yang dimaksud adalah orang-orang musyrik. Dengan demikian, larangan tersebut berlaku untuk semua kelompok kâfir, baik Ahl al-kitâb maupun musyrik. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/629. Lihat juga: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/100. Sedangkan al-Qurtubî, lebih cenderung memilih riwayat dari Ibn 'Abbâs ra bahwa, ayat tersebut turun setelah sekelompok orang-orang Yahudi dan Musyrik dan menertawakan orang-orang Islam ketika melakukan sujûd. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/209.

Pelarangan tersebut tidak hanya ditujukan bagi para muslimah saja, melainkan juga para walî mereka, karena bagaimanapun seorang walî mempunyai andil yang sangat besar dalam perkawinan seorang perempuan (muslimah),

terutama yang masih gadis. 137 Hal ini, tentunya merupakan langkah antisipatif, sebelum terjadinya perkawinan. Namun jika perkawinan sudah terlanjur

dilakukan, maka harus segera diputuskan setelah mengetahui keharamannya. Ketentuan di atas berdasarkan Q.S. 60: 10, yang pada masa awal turunnya ditujukan untuk para sahabat setelah peristiwa Hudaibiyah (6 H). Kendati demikian, ia dapat diberlakukan secara umum, dengan berpegang pada kaedah "al-'ibrah bi umûm al-lafz lâ bi khusûs al-sabab". Dalam ayat tersebut, secara

redaksional terdapat kalimat lâ hunna hillun lahum, wa lâ hum yahilûna lahunna. 138 Pada redaksi pertama, ditunjukkan dalam bentuk masdar/infinitive

137 Q.S. al-Baqarah/2: 221, "Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik

dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu …". Redaksi ayat tersebut secara jelas menegaskan bahwa, perempuan-perempuan muslimah tidak boleh kawinkan dengan lelaki musyrik. Dan hal ini merupakan ijmak umat Islam, karena ketentuan tersebut langsung dijelaskan oleh nass sarîh. Namun, para ulama cenderung meluaskan cakupannya pada kategori kafir (yang mencakup musyrik dan ahl al-kitâb), sebagaimana kemutlakan yang terdapat dalam Q.S. 60: 10. Namun jika mereka telah masuk Islam, perkawinan tersebut tidak lagi haram. Dan oleh karena standarnya adalah agama, maka orang yang bertatus sosial lebih rendah asalkan seagama, dianggap lebih baik daripada non muslim, kendati berstatus sosial lebih tinggi. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/341. Lihat juga: al-H usain ibn Mas'ûd al-Farrâ' al-Baghâwî, Abû Muh ammad, Ma'âlim al-Tanzîl, h. 255. Dan juga: al-Nasafî, Tafsîr al-Nasafî, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr al- ‘ Ilmiyah, tt), h. 221.

138 Q.S. al-Mumtahanah/60: 10, “Hai orang-orang yang beriman jika datang berhijrah kepadamu wanita-wanita yang beriman, maka (hendaklah) kamu uji keimanan mereka. Allâh lebih

mengetahui keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka pada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidaklah halal bagi para lelaki kafir itu, begitu juga para lelaki kafir itu tidak halal bagi mereka…”. Berdasarkan banyaknya riwayat yang ada, para ulama sepakat bahwa, turunnya Q.S.

60: 10 erat hubungannya dengan perjanjian H udaibiyah. Perjanjian tersebut mengatur hubungan kependudukan antara Mekah dan Madinah. Di mana sejak saat itu, orang-orang Mekah yang pergi ke Madinah haruslah dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Namun tidak sebaliknya, orang (Islam) Madinah yang ke Mekah, harus tetap tinggal di Mekah. Perjanjian tersebut tidak mengatur tentang orang-orang perempuan, maka ketika beberapa dari mereka datang ke H udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, turunlah Q.S. 60: 10 (serta beberapa ayat dalam surah tersebut), yang menolak untuk mengembalikan mereka ke Mekah. Bahkan mereka akan diterima, jika telah menjalani beberapa pengujian dan menyatakan keimanan tanpa adanya tendensi keduniaan. Pengujian yang dimaksud adalah pernyataan mereka yang didahului sumpah " bi Allâh al-ladzî lâ ilâha illâ huwa " bahwa mereka: (1) Tidak hijrah karena kemarahan suami, (2) Tidak hijrah karena suka berpindah dari satu tempat ke tempat lain (3) Tidak hijrah karena cinta harta benda (4) Benar-benar hijrah hanya karena cinta Allâh dan Rasul-Nya. Dan sejak saat itulah, Islam mengatur proses putusnya hubungan perkawinan antara umat Islam dengan Musyrik Mekah, sebagaimana dijelaskan Q.S. 60: 60: 10 erat hubungannya dengan perjanjian H udaibiyah. Perjanjian tersebut mengatur hubungan kependudukan antara Mekah dan Madinah. Di mana sejak saat itu, orang-orang Mekah yang pergi ke Madinah haruslah dikembalikan lagi ke tempat asalnya. Namun tidak sebaliknya, orang (Islam) Madinah yang ke Mekah, harus tetap tinggal di Mekah. Perjanjian tersebut tidak mengatur tentang orang-orang perempuan, maka ketika beberapa dari mereka datang ke H udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, turunlah Q.S. 60: 10 (serta beberapa ayat dalam surah tersebut), yang menolak untuk mengembalikan mereka ke Mekah. Bahkan mereka akan diterima, jika telah menjalani beberapa pengujian dan menyatakan keimanan tanpa adanya tendensi keduniaan. Pengujian yang dimaksud adalah pernyataan mereka yang didahului sumpah " bi Allâh al-ladzî lâ ilâha illâ huwa " bahwa mereka: (1) Tidak hijrah karena kemarahan suami, (2) Tidak hijrah karena suka berpindah dari satu tempat ke tempat lain (3) Tidak hijrah karena cinta harta benda (4) Benar-benar hijrah hanya karena cinta Allâh dan Rasul-Nya. Dan sejak saat itulah, Islam mengatur proses putusnya hubungan perkawinan antara umat Islam dengan Musyrik Mekah, sebagaimana dijelaskan Q.S. 60:

selanjutnya. 139 Di antara hikmah pelarangan tersebut adalah, menghindari besarnya efek

negatif dari perkawinan yang terjadi antara seorang muslimah dengan lelaki non muslim. Apalagi sifat wanita yang pada umumnya lemah, akan dapat memperbesar efek negatif yang akan timbul kelak. Yakni terabaikannya

keselamatan di hari kemudian, karena pasangan hidupnya akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk menjerumuskannya ke dalam api neraka. 140

Padahal salah satu hikmah dari perkawinan adalah lahirnya ketentraman, cinta dan kasih sayang dalam keluarga. 141 Sedangkan menjadikan teman setia dan berkasih

10, 11. Dan aturan hukum tersebut berlaku sejak saat itu, sampai seterusnya. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64. Lihat juga: Ism⠒il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Azîm, Juz. IV/449. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVIII/55. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Alî al- Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/294. Lihat juga: Muh ammad ibn Muhammad al-'Imâdî Abû al-Sa'ûd, Irsyâd al-'Aql al- Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur'ân al-Karîm, Juz. VIII/238.

139 Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur ’ân, Vol. XIV/174

140 Tentunya, dengan melakukan dosa seperti yang mereka kerjakan. Lihat: Q.S. 2: 221, "Mereka (orang-orang musyrik tersebut) mengajak ke neraka, sedangkan Allâh mengajak ke surga

dan ampunan atas izin-Nya …". Untuk beberapa penjelasan tentang ini, lihat kembali: Ism⠒îl ibn ‘ Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘ Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al- Qur’ân, Juz. III/64. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/341.

141 Lihat: Q.S. al-Rûm/30: 21, “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tertram

kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”. Dalam hal ini Ibn Katsîr menyatakan bahwa pertalian antara suami-istri merupakan suatu hubungan kasih sayang yang sangat kuat dan agung. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/363. Di sisi lain, al-Qurt ubî menegaskan bahwa, kasih sayang seorang lelaki pada perempuan berangkat dari hubungan intim mereka sebagai suami-istri, yang mana keduanya saling melengkapi dan mem butuhkan. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV/18 kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir ”. Dalam hal ini Ibn Katsîr menyatakan bahwa pertalian antara suami-istri merupakan suatu hubungan kasih sayang yang sangat kuat dan agung. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/363. Di sisi lain, al-Qurt ubî menegaskan bahwa, kasih sayang seorang lelaki pada perempuan berangkat dari hubungan intim mereka sebagai suami-istri, yang mana keduanya saling melengkapi dan mem butuhkan. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV/18

Di samping itu, dalam perkawinan seorang muslimah dengan lelaki non muslim terdapat sebuah kekhawatiran besar, yakni murtadnya perempuan tersebut, karena tidak mampu mempertahankan agama yang dianutnya. Bagaimanapun demokratisnya sebuah keluarga, tetap saja suami adalah kepala keluarganya. Dan hal ini sering kali merupakan keterbatasan tersendiri bagi seorang perempuan. Padahal, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu misi utama Yahudi dan Nasrani adalah menjadikan umat Islam masuk

dalam kelompok mereka. 143

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, tampak jelas bahwa wanita muslimah sama sekali tidak diperkenankan kawin dengan lelaki musyrik, sebagaimana larangan serupa juga berlaku bagi para lelaki muslim (terhadap wanita musyrikah). Namun permasalahannya adalah, tidak terdapat satupun ayat al-Qur’ân yang dengan tegas menyatakan keharaman perkawinan (antara lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah) tersebut. Padahal, dalam perkawinan antara

142 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 60: 1, “Hai orang-orang yang beriman, jangan engkau mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia (penolong) …". Ayat ini turun

berkenaan dengan kasus H âtib ibn Abî Balta'ah yang menjadi informan orang-orang Quraisy untuk mengetahui aktifitas nabi dan para sahabat di Madinah (terutama persiapan untuk fath Makkah). Ia melakukan itu semua demi melindungi anak-anak dan harta bendanya yang masih ada di Mekah. Karena ia sendiri bukanlah orang Quraisy, melainkan Halif 'Utsmân. Walaupun apa yang dilakukannya sangat membahayakan bagi umat Islâm, namun ia tidak diberi sanksi khusus oleh Rasul. Bahkan ketika 'Umar ra bermaksud memukulnya, beliau melarangnya, karena mengingat begitu besar jasa Hâtib ra pada perang Badar. Di samping itu, ia juga termasuk orang-orang yang terusir dari Mekah, demi mempertahankan keimanan. Dengan demikian, setiap orang Islam haruslah mengedepankan kepentingan agamanya di atas segala kepentingan lain, termasuk diri dan keluarganya sendiri. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/55. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al- Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/442. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/46.

143 Q.S. 2: 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, sampai kamu mengikuti agama mereka.... ”. Perihal beberapa penjelasan tentang ayat ini, lihat kembali:

Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. I/565. Lihat juga: Alî ibn Ah mad Abu al-Hasan al-Wâhidî, al-Wajîz fi Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, Juz. I/129. Bandingkan: Abd al-Rah mân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/138. Kendati ayat tersebut (yakni Q.S. 2: 120) memakai khitâb mufrad ('anka), yang tentunya ditujukan pada nabi Muh ammad saw. Namun sebagai kitab petunjuk bagi umat Islam, tentunya peringatan yang ada di dalamnya tidak hanya khusus bagi Rasul, akan tetapi berlaku umum untuk semua umatnya.

lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb, terdapat nass yang dengan tegas memperbolehkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 5: 5. 144

144 Hal ini berhubungan dengan perangkat analisis yang menghubungkan antara Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5, sebagai berikut: (1) Bagi para ulama yang menggunakan teori takhsîs, maka

dalam proses analisisnya, Q.S. 2: 221 diberlakukan secara umum. Dan dari keumuman tersebut, terdapat hukum khusus sebagaimana tercantum dalam Q.S. 5: 5. Dengan demikian, maka semua non muslim (kafir) adalah musyrik dan tidak boleh terjadi perkawinan antara mereka dengan umat Islâm. Akan tetapi, dari sekian musyrik yang ada, hanya wanita-wanita ahl al-kitâb yang boleh dikawini oleh orang Islam, karena hanya mereka yang dikecualikan oleh Q.S. 5: 5. Sedangkan non muslim yang lain baik lelaki ahl al-kitâb, maupun lelaki dan perempuan (musyrik) non ahl al-kitâb tetap tidak boleh menikah dengan orang Islam. Sebagaimana riwayat yang dibawa Abû T alhah tentang pernyataan Ibn ‘Abbâs ra bahwa, Q.S. 2: 221 mencakup semua orang-orang musyrik. Namun, kemudian Allâh mengecualikan para wanita ahl al-kitâb (untuk dapat dinikahi oleh orang Islam). Pendapat ini juga diikuti oleh beberapa tabi ’i, seperti Mujâhid, Ikrimah, Sa ’îd ibn Jubair,

Hasan al-Basrî, Zaid ibn Aslam, Rabî ’ Ibn Anas, dan lain-lain. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Demikian juga dengan pernyataan Makh ûl: “ ...Sesungguhnya Allâh telah mengharamkan wan ita-wanita musyrik dalam surat al-Baqarah, kemudian Allâh memberi kemurahan/anugerah kepada umat Islam dalam surat al-M⠒idah, maka dihalalkan bagi mereka wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, dan yang lain tetap h aram...”. Lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Juz. I/92. (2) Sebagian ulama menyatakan bahwa, sebagian muatan Q.S. 2: 221 dinasakh oleh Q.S. 5: 5. Sehingga ketentuan berbeda, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 5: 5, menyalin ketentuan umum dalam Q.S. 2: 221. Pendapat ini dipegang oleh H asan al-Basrî dan Ikrimah. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Lihat juga: ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî fi Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibânî, Juz. VII/100. Sebelumnya, dalam sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbâs ra juga menyatakan hal serupa. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171. Dengan demikian, muatan Q.S. 2: 221 yang tidak dinasakh oleh Q.S. 5: 5, tetap berlaku sebagaimana mestinya (yakni haram), termasuk tentang perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah; (3) Adapun pendapat lain menyatakan bahwa, ahl al-kitâb dan Musyrik adalah kelompok yang berbeda, walaupun keduanya masuk dalam kategori kafir. Pendapat ini dilontarkan pertama kali oleh seorang tabi ’i, Qatâdah, sebagaimana riwayat al-San’anî dari Ma’mar: ia menyebutkan bahwa ketika Qatâdah, menjelaskan Q.S. 2: 221, ia berkata: “Wanita-wanita musyrikât adalah (non muslimah) selain ahl al-kitâb”. Selengkapnya, lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Lihat juga: Abû Abdillâh Muh ammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al-Marûzî, al-Sunnah, Juz. I/92. Bandingkan dengan: Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Tafsîr al-Qur'ân, Juz. I/89. Dan juga: al-Nuhh âs, Ma'ânî al-Qur'ân al-Karîm, Juz. I/180. Pada pendapat ketiga ini terdapat permasalahan, yakni tidak adanya kejelasan aturan hukum perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah, karena antara Q.S. 2: 221 dan 5: 5 diberlakukan berbeda, padahal Q.S. 5: 5 hanya menjelaskan kebolehan perkawinan antara lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb, namun tidak sebaliknya (antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah). Kendati demikian, Qatadâh, sebagai pelopor pendapat ini menyatakan bahwa perempuan muslimah tidak boleh dikawinkan dengan lelaki ahl al-kitâb. Sebagaimana riwayat al- Tabarî dari Qatadâh dan al-Zuhrî, ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, keduanya mengeluarkan statement bahwa: “Tidak halal bagi kalian menikahkan (wanita muslimah) dengan lelaki Yahudi, Nasrani, maupun musyrik; orang-orang yang tidak beragama Islam ”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Dengan demikian, analisis berbeda yang dipakai oleh tiga kelompok tersebut, mengarah pada satu kesimpulan yang sama, yaitu lelaki muslim boleh mengawini wanita ahl al-kitâb. Sedangkan

Permasalahan di atas dapat dikembalikan lagi pada kaedah dalam masalah perkawinan, yaitu “Pada asalnya, abdâ’ itu haram”. 145 Dan dalam upaya untuk

menghilangkan keharaman tersebut maka disyari’atkanlah nikah/perkawinan. Sehingga, dalam hal ini, nikah merupakan salah satu cara untuk menghalalkan sesuatu yang pada dasarnya adalah haram, karena dengan nikâh, hubungan intim

lekaki-perempuan menjadi halal. 146 Di samping itu, dalam fungsinya sebagai salah satu bentuk ibadah, kendati juga bernuansa sosial, terdapat aturan dan

batasan-batasan tersendiri yang harus dipatuhi oleh umat Islam dalam melakukan perkawinan. Dan secara umum, terdapat kaedah, “Pada dasarnya (asal) dalam masalah ibadah adalah mendiamkannya”. Maksudnya adalah bahwa, masalah

ibadah itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan oleh syâri’; Allâh SWT, dan Rasul-Nya, sehingga tidak ada peluang ijtihâd di dalamnya. Maka dari itu, rekayasa dalam masalah tersebut tidaklah dibenarkan, bahkan masuk dalam

kategori bid’ah. 147 Dengan demikian, jika kaedah di atas diterapkan dalam masalah

perkawinan, maka perkawinan yang diperbolehkan hanyalah “perkawinan syar’î”, yakni bentuk perkawinan yang mendapat legalisasi dari aturan-aturan pokok Islam baik al-Qur’ân maupun hadîts. Belum lagi, jika dihubungkan dengan kaedah umum, “Asal segala sesuatu adalah dilarang/haram”, yakni setiap sesuatu, pada dasarnya, haruslah dipandang sebagai “tidak boleh/ dilarang”, dan baru dianggap

sesuatu yang didiamkan oleh nass, yaitu tentang perkawinan lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah, sama sekali tidak masuk dalam pembahasan maupun perdebatan mereka. Seakan semua sepakat bahwa hal itu dih aramkan, apalagi tidak ada satupun riwayat yang memperbolehkannya.

145 Kaedah ini biasanya memakai redaksi " al-aslu fi al-abdâ' al-hurmah au al-tahrîm". Kata abdâ’, adalah bentuk jamak dari al-bud', yang berarti “kemaluan perempuan”. Hal ini

merupakan kinâyah, yang dalam istilah balaghah termasuk dalam kategori " min itlâq al-mahall wa irâdah al-hall". Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang kaedah tersebut, lihat: Muhammad ibn Bahâdur ibn ‘Abdillâh Abû ‘Abdillâh al-Zarkasyî, al-Mantsûr fî al- Qawâ’id, Juz. II/347. ia menyebutkannya dalam redaksi " al-aslu fi al-abdâ' huwa al-hurmah".

146 Karena tanpa ikatan perkawinan, hubungan lelaki-perempuan (dalam arti jimâ’) adalah dilarang dan termasuk zina; suatu perbuatan dosa besar yang harus dijauhi. Sebagaimana firman

Allâh SWT dalam Q.S. Isrâ/17:32, dengan redaksinya " wa lâ taqrabû al-zinâ innahû kana fahisyatan wa sâ’a sabîlâ", “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk ”.

147 Lihat: Abû al-Fadl Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-Asqalânî al-Syâfi’î, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, Juz. III, (Beirut: Dâr al-Ma ’rifah, 1379 H) , h. 54. Dengan redaksi" al-aslu fi al-

'ibâdah al-tawaqquf", “Pada dasarnya (asl) dalam masalah ibadah adalah tawaqquf/bersikap diam atasnya”.

boleh jika terdapat nass sarîh yang menjelaskan hal sebaliknya. 148 Kaedah ini banyak di dasarkan pada beberapa penjelasan ayat al-Qur’ân yang menyatakan

148 Lihat: Ibrâhîm ibn ‘Alî ibn Yûsuf al-Sairâzî Abû Ishâq al-Fairûzabâdî, al-Tabsirah fî U U sûl al-Fiqh, h. 534. Dalam redaksinya" al-aslu fi al-asyyâ qabla wurûd al-syar'i al-hazru lammâ

warada al-syar'u bi al-ibâhah", "Asal sesuatu sebelum adanya aturan (syara') adalah dilarang/haram, sebelum adanya aturan ( syara') yang memperbolehkannya". Kaedah ini, bertolak belakang dengan kaedah yang menyatakan bahwa, “Asal segala sesuatu adalah boleh”. Lihat: Ibrâhim ibn ‘Alî ibn Yûsuf al-Sairâzî, Abû Is hâq al-Fairûzabâdî, al-Tabsirah fî Us U ûl al-Fiqh, Muhaqqiq: M. Hasan Hito, h. 535. Dalam redaksinya " al-aslu fi al-asyyâ al-ibâh ah". Lihat juga: Muhammad ibn Bahâdur ibn ‘Abdillâh Abû ‘Abdillâh al-Zarkasyî, al-Mantsûr fî al-Qawâ’id, Juz. II/71. Dengan redaksi " al-aslu fi al-asyyâ al-hillu au al-ibâhah". Bandingkan dengan: ‘Abd al- Mâlik ibn ‘Abdillâh ibn Yusuf al-Juwainî, al-Waraqât, h. 28. Dengan memakai redaksi " al-asl fi

al-asyyâ annahâ 'alâ al-ibâhah illâ mâ hazarahu al-syar'u", "Asal segala sesuatu adalah boleh (ibâhah), kecuali sesuatu yang dilarang syara'". Jika kaedah ini diterapkan dalam masalah perkawinan, maka dasar pemikirannya adalah, ba hwa “perkawinan” haruslah dipandang sebagai sesuatu yang diperbolehkan, kecuali beberapa bentuk perkawinan yang jelas-jelas telah dilarang berdasarkan nass sarîh. Sedangkan perkawinan yang tidak dijelaskan keharamannya oleh nass haruslah dianggap boleh. Para pendukung kaedah ini mengambil dasar kaedah dari beberapa ayat al-Qur’ân, terutama ayat-ayat yang melarang upaya pengharaman sesuatu yang jelas-jelas telah dihalalkan oleh Allâh SWT. Di antara beberapa ayat tersebut ialah: Q.S. al-Tah rîm/66: 1, “Hai nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allâh telah menghalalkannya bagimu ”. Juga Q.S. al-A’râf/7: 32, “Katakanlah: Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allâh yang telah dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapakah yang mengharamkan) rizki yang baik? Katakanlah: Semuanya itu disediakan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah, kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”. Secara aplikatif, terdapat kesamaan antara kelompok pertama dan kelompok kedua di dalam menggunakan ayat-ayat al-Qur ’ân maupun hadîts, serta penerapannya. Misalkan, tentang pemahaman ayat-ayat perkawinan. Bagi kelompok yang menganggap bahwa, Asal segala sesuatu adalah boleh; mereka menjadikan ayat-ayat tentang pelarangan beberapa bentuk perkawinan (yang dijelaskan dalam nass) sebagai suatu istitsnâ/pengecualian atas pemberlakuan kaedah umum. Dan yang menjadi dalil pokok adalah " uhilla lakum mâ warâa dzâlikum", dalam pengertian, diperbolehkannya semua bentuk perkawinan yang tidak masuk dalam pengecualian tersebut. Sedangkan bagi kelompok yang memandang bahwa, Asal segala sesuatu adalah dilarang; mereka menganggap bahwa nass tentang pelarangan beberapa bentuk perkawinan, baik al-Qur’ân maupun hadîts, adalah merupakan dalil pokok, sedangkan pengecualiannya adalah hal-hal yang tidak disebutkan dalam nass tersebut, sehingga mereka menjadikan ayat "uhilla lakum mâ warâ’a dzâlikum", sebagai pengecualian/istitsnâ. Namun, karena mereka berangkat dari sudut pemahaman yang berbeda, maka sangat mungkin akan terjadi perbedaan pemahaman atas berbagai hal yang tidak dijelaskan oleh nass. Namun sejauh pengamatan penulis, hal itu jarang atau bahkan nyaris tidak pernah terjadi, karena para ulama pada umumnya bersikap diam (tawaqquf) atas hal-hal yang sama sekali tidak didukung oleh nass baik sarîh maupun tidak, berdasarkan kaedah “Pada dasarnya (asl) sesuatu itu adalah didiamkan ”. Lihat: Muhammad ibn Bahâdur ibn ‘Abdillâh Abû ‘Abdillâh al-Zarkasyî, al-Mantsûr fî al- Qawâ’id, Juz. I/176. Dengan redaksi " al-aslu fi al-asyyâ al-ibâh ah au al-tahrîm au al-waqf". Dalam kitab yang tersebut juga disebutkan redaksi yang sedikit berbeda, yakni "al-aslu fi al-asyyâ’ al-ibâhah au al-hazr", lihat: Juz. I/334. Namun, jika didukung oleh nass sarîh, maka nass tersebut langsung dapat diterapkan berdasarkan makna hakikinya, karena terhadap nass sarîh tidak diperlukan upaya ijtihâd atasnya. Apalagi terdapat kaedah " lâ ijtihâda fî mûrid al-nass", “Tidak ada celah ijtihâd dalam permasalahan yang telah ada nass sarihnya”. Namun jika madlûlnya tidak sarîh, maka nass tersebut akan dapat diterapkan berdasarkan beberapa metode istinbât, dan tentunya melalui jalan ijtihâd.

bahwa, segala sesuatu itu adalah milik Allâh SWT. Oleh karenanya, haram bagi manusia untuk melakukan tasarruf, kecuali atas izin–Nya. 149

Di sisi lain, juga terdapat banyak riwayat yang menyatakan tidak diperkenankannya lelaki ahl al-kitâb mengawini perempuan muslimah, kendati hanya datang dari para sahabat. Demikian juga pada masa sahabat maupun para ulama salaf, perkawinan tersebut tidak pernah terjadi, kecuali langsung mendapat respon negatif dari mereka, dan bahkan diceraikan secara paksa. Seperti putusan khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb ra yang menceraikan secara paksa beberapa pasangan keluarga lintas agama; antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-

kitâb, karena para suami menolak untuk masuk Islam . 150

Belum lagi pernyataan Ibn 'Abbâs ra dan beberapa sahabat lain bahwa, lelaki muslim boleh menikahi wanita ahl al-kitâb, namun sebaliknya lelaki ahl al-

kitâb sama sekali tidak berhak menjadi suami dari wanita muslimah. 151 Dalam hal ini, seakan telah terjadi ijmak bahwa seorang muslimah dilarang menikah dengan

lelaki ahl al-kitâb. Namun terlepas dari itu semua, analisis yang telah penulis paparkan (sebelumnya) paling tidak, dapat dijadikan pengantar untuk memahami

beberapa teori analisis yang selama ini dipakai oleh para ulama. 152

149 Dalam hal ini, terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang kepemilikan Allâh yang bersifat mutlak. Seperti: Q.S. 2: 284, “Kepunyaan Allâh-lah segala apa yang ada di langit

dan apa yang ada di bumi ”. Juga Q.S. al-Nisâ/4: 131, 170, Q.S. al-M â’idah/5: 120, Q.S. al- An’âm/6: 12, Q.S. Yûnus/10: 55, 66, Q.S. al-Ra ’d/13: 31, dan lain-lain.

150 Dalam hal ini, banyak terdapat riwayat; khususnya tentang putusan 'Umar ibn al- Khattâb ra yang memutus cerai secara paksa beberapa pelaku perkawinan lintas agama antara

lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah. Baik perbedaan agama tersebut terjadi setelah terjadi perkawinan, ataupun sebelumnya. Lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn al-H asan al- Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV/7. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I/185. Bandingkan dengan: Abû Muh ammad, ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al- Zâhirî, Juz. VII, al-Muhallâ, h. 313.

151 Riwayat tersebut disampaikan oleh ‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbâs ra, beliau berkata: “ Sesungguhnya Allâh Telah mengutus Muhammad saw dengan membawa kebenaran (Islam),

untuk memenangkannya di atas setiap agama. Maka agama kita (Islam) adalah agama yang terbaik, millah kita di atas millah-millah, para lelaki kita dapat menikahi wanita-wanita mereka (ahl al-kitâb), namun para lelaki ( ahl al-kitâb) mereka tidak dapat menikahi wanita-wanita kita (para muslimah)”. Lihat: Abû Bakr A hmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al- Baihaqî al-Kubrâ, Juz.. VII/172.

152 Beberapa teori analisis tersebut adalah: Takhsîs al-Âmm, Nasakh pada sebagian muatan ayat, dan al-Jam'u wa al-Taufîq (yang membedakan antara musyrik dan ahl al-kitab). (1) Tentang

takhsîs, lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. (2) Tentang

Beberapa analisis di atas, pada akhirnya menuju pada satu kesimpulan yang sama, yakni bahwa, perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah tidak diperbolehkan, kendati keberadaannya tidak disebutkan dengan tegas dalam al-Qur'ân.

4. Pengaruh Perkawinan Lintas Agama terhadap Kehidupan Rumah Tangga Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa, tidak semua perkawinan lintas agama diperbolehkan, ataupun dilarang. Dan satu-satunya perkawinan yang diperbolehkan; dalam hal ini, adalah antara lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb. Namun perkawinan tersebut tidak serta merta dapat dilakukan, melainkan dengan beberapa persyaratan dan dalam kondisi tertentu. Oleh karenanya,

pelaksanaan perkawinan lintas agama tampak begitu dibatasi dan tidak semua lelaki muslim boleh melakukannya. Kenyataan tersebut tentunya berawal dari suatu konsep dasar bahwa keluarga ideal dalam Islam adalah, terdiri dari pasangan suami-istri yang seagama. Karena dengan demikian, mereka mempunyai kesamaan visi dan misi dalam kehidupan bersama terutama untuk jangka panjang,

akhirat. 153

nasakh pada sebagian muatan ayat. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388 lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171. (3) Tentang Pembedaan Musyrik dan ahl al-kitab, lihat: Abû Abdillâh Muh ammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj al- Marûzî, al-Sunnah, Juz. I/92. Lihat juga: Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an'anî, Tafsîr al- Qur'ân, Juz. I/89. Bandingkan dengan: al-Nuhh âs, Ma'ânî al-Qur'ân al-Karîm, Juz. I/180. Perbedaan analisis kerap kali menghasilan perbedaan kesimpulan dalam memahami suatu obyek. Namun teori ini tidak selamanya benar. Karena pada kasus di atas, semua analisis yang dilakukan (dalam memahami Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5) mengarah pada satu kesimpulan yang sama, yakni kebolehan lelaki muslim mengawini wanita ahl al-kitâb. Akan tetapi, untuk masalah perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah, dua analisis pertama dapat berada pada satu kesimpulan, yakni perkawinan tersebut tidak boleh. Sedangkan analisis ketiga tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Oleh karenanya, ulama yang menggunakan analisis ketiga (al-jam'u wa al-taufîq) biasanya mengambil beberapa riwayat untuk mendukung pendapatnya, atau mengembalikan permasalah pada keumuman Q.S. 60: 10.

153 Oleh karenanya, dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa, agama haruslah dijadikan prioritas utama dalam memilih calon pasangan hidup seorang muslim. Sebagaimana riwayat dari

Abû Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat perkara; karena harta, keturunan (pangkat), kecantikan, maupun agamanya. Maka carilah perempuan yang mempunyai (keunggulan) agama, niscaya engkau akan bahagia". Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al- Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. II/1086. Lihat juga: Sulaimân ibn al-Asy ’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. I/624. Dan juga: Ah mad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, al-Mujtabâ min al-Sunan, Juz. IV/68. Demikian juga: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/428.

Di samping itu, perkawinan tersebut akan menimbulkan konsekwensi hukum dan sosial yang berbeda, jika dibandingkan dengan perkawinan seagama. Hal ini disebabkan oleh karena perkawinan (dalam Islam), di samping merupakan perbuatan sosial, ia juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Dengan kata lain bahwa, di dalam perkawinan orang Islam, terdapat dua dimensi kepentingan; dunia dan akhirat; di satu sisi, mereka ingin menyalurkan kebutuhan bilogis dan naluri seksualnya, namun di sisi lain, mereka juga menghendaki agar perkawinan

yang dilakukannya bernilai ibadah. 154 Padahal, untuk mencapai prestasi akhirat, mereka tidak harus berkepentingan dengan non muslim. Sehingga wajar, jika

terdapat perbedaan konseksuensi hukum maupun perlakuan sosial, terhadap

perkawinan lintas agama dan para pelakunya, karena perkawinan tersebut sangat berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif, sebagai berikut:

a. Ketidakjelasan Arah Pendidikan Anak tentang Ilmu-ilmu Keagamaan

berikut Masa Depannya. Dalam konsep Islam, akhirat adalah tujuan, sedangkan dunia adalah merupakan perangkat untuk meraih tujuan tersebut. Atas dasar inilah, umat Islam menjadikan akhirat sebagai pertimbangan utama (dalam setiap perbuatan), namun bukan berarti kehidupan dunia dapat dikesampingkan, karena bagaimanapun ia juga sangat diperlukan (Q.S. al-Qasas/28: 77). Dan hal terbaik yang seharusnya ditempuh adalah berusaha melakukan keseimbangan antara perbuatan-perbuatan

154 Apalagi, dalam Islam, perkawinan dinyatakan sebagai penyempurna separoh agama, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Anas ibn Mâlik ra, Rasulullah saw bersabda: “Apabila

seorang ‘abd/muslim menikah, maka telah sempurna separuh agama(nya). Maka bertaqwalah kepada Allâh dalam separuh yang lain ”. Lihat: Abû Bakr A hmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Syu’ab al-Îmân, Juz. IV/382. Dengan redaksi yang sedikit berbeda, al-T abrâni menyebutkan hadîts tersebut sebanyak dua kali dalam kitab al-mu'jam al-Ausat (Juz. 7 dan 8). Keduanya memakai redaksi "istakmala" bukan "kamula" sebagaimana riwayat al-Baihaqî. Sehingga, makna yang dimunculkan adalah "menyempurnakan (agamanya)" bukan "sempurna (agamanya)", yang tentunya terdapat usaha ( ikhtiyâr) di dalam mewujudkanhal itu. Lihat: al- Tabrânî, Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. VII/332, VIII/335. Menurut al-Qurtubî, makna hadîts tersebut adalah bahwa, perkawinan merupakan penjagaan diri dari zina. Sedangkan menjaga diri dari perbuatan zina adalah salah satu dari dua hal yang mendapat jaminan masuk surga (bagi para pelakunya). Sesuai dengan riwayat yang menjelaskan bahwa siapapun yang mampu menghindari kejelekan dua hal (lidah dan kemaluan), ia akan masuk surga. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IX/ 277.

yang bernuansa duniawî dan ukhrawî, demi meraih prestasi dalam dua kehidupan tersebut. 155

Setidaknya berdasarkan alasan di atas, seorang muslim mempersiapkan anak-anak mereka agar berpegang pada ajaran Islam, sebagaimana orang tuanya. Dan demi mewujudkan keinginan tersebut, mereka memperkenalkan beberapa

ajaran Islam, sejak usia dini. 156 Mempersiapkan anak-anak agar menjadi penganut agama yang taat,

tentunya merupakan planning setiap penganut agama, termasuk umat Islam. Oleh karenanya Rasulullah saw menyatakan bahwa pengaruh orang tua sangatlah besar

bagi anak, di dalam menentukan agama dan keyakinan yang dianutnya kelak. 157

155 Q.S. al-Qasas/28: 77, “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allâh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat; dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)

duniawî, dan berbuat baiklah (kepada orang lain), sebagaimana Allâh telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan ”. Ayat tersebut sebenarnya merupakan peringatan dan teguran terhadap Qârûn, namun juga menjadi pelajaran bagi umat Muh ammad saw. Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa, manusia sebaiknya tidak menyia-nyiakan bahkan seharusnya mencari kemurahan Allâh SWT berupa kekayaan dan harta benda. Namun mereka tidak boleh lupa untuk menbelanjakannya di jalan yang dirid ai Allâh SWT. Sehingga mereka akan mendapatkan kedua-duanya, yakni kenikmatan dunia dan kebahagiaan akhirat. Dalam ungkapan yang berbeda Ibn ‘Umar ra menjelaskan: “Tanamlah untuk duniamu, seakan engkau hidup selamanya. Dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati esok ”. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. X/105. Lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. III/ 952. Dan juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIII/278.

156 Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa riwayat, termasuk apa yang dibawa oleh Ibn Huzaimah dari Abû al-Rabî ’ ra. Yang mana dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa, Rasulullah

saw bersabda: “Ajarkanlah salât pada anak (sejak) berusia tujuh tahun. Dan pukullah dia, jika meninggalkannya (apabila) usianya telah mencapai sepuluh tahun ”. Lihat: Muhammad ibn Ishâq ibn Huzaimah Abû Bakr al-Sulamî al-Naisabûrî, Sahîh ibn Huzaimah, Juz. II, (Beirût: al-Maktab al-Islamî, 1970), h. 102. Dalam riwayat lain dinyatakan bahwa, disamping s alât, orang tua juga seharusnya melatih anak agar belajar mandiri, sebagaimana disampaikan Abu Syu ’aib ra, Rasulullah saw, bersabda: “Perintahlah anak-anak kalian untuk melakukan salât (sejak) berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka, jika meninggalkan (s alât) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah diantara mereka dalam tempat tidurnya ”. Lihat: Ahmad ibn Hanbal Abû ‘Abdillâh al- Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/187.

157 Dalam sebuah riwayat dari Abû Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw, bersabda: “ Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua orang tuanya (kelak) yang menjadikannya Yahudi,

Nasrani, ataupun Majusi”. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al- Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. I/465. Dalam hal ini, Abû Dâwûd mengutip pendapat H ammâd ibn Salamah yang memahami kata “fitrah” sebagai ikatan janji yang diemban oleh setiap manusia sebelum mereka memasuki alam dunia: “Qâla: alastu bi rabbikum, qâlû: bal⠔. Lihat: Sulaimân ibn al-Asy’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. II/642. Dalam riwayat lain, penyebutan “fitrah” diungkapkan dalam redaksi “millah”. Lihat: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘ Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/447. Lihat juga: Ah mad

Hal ini tak lain karena, semua penganut agama yang taat, baik muslim maupun non muslim, sama-sama menginginkan keturunan mereka menjadi orang yang selamat (menurut pandangan agama masing-masing). Dengan kata lain, dalam hal ini terdapat motifasi yang sama namun dengan jalan yang berbeda. Yakni keinginan untuk meraih keselamatan di akhirat, dengan menjadi penganut agama

yang taat. 158 Dengan demikian, jika unsur pokok dalam suatu keluarga (suami-istri)

menganut agama yang berbeda, pasti akan terjadi tarik ulur tentang penanaman ajaran agama kepada anak-anak mereka. Dan masing-masing (suami-istri), tentunya menghendaki anak-anaknya sejalan dengan apa yang mereka yakini agar

kelak selamat (menurut ajaran agama masing-masing). Pada saat ini, banyak di antara pelaku perkawinan lintas agama, memberi kebebasan kepada anak-anak mereka untuk memilih satu di antara agama yang dianut oleh kedua orang tuanya. Atau bahkan memberikan kebebasan (secara penuh) pada mereka untuk menentukan pilihan mereka terhadap agama dan

keyakinan yang mereka sukai. 159 Prinsip semacam ini, sama sekali bertentangan

ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/4 81. Hal ini memperjelas apa yang disampaikan Hammâd ibn Salamah tentang janji manusia tersebut, bahwa mereka bersedia berada pada satu millah, yakni agama tauhîd, dengan mengakui Allâh SWT sebagai Rabb-nya.

158 Padahal dalam pandangan Islam, apa yang dilakukan non muslim, tak lain hakekatnya adalah kesesatan yang kelak menjerumuskan pelakunya kejurang api neraka. Sedangkan apa yang

diatur oleh Allâh SWT pada hakekatnya merupakan jalan lurus yang menuju surga dan ampunannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al Baqarah/2: 221, “Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allâh mengajak ke surga dan ampunan atas izin-Nya …”. Para mufassir menegaskan redaksi tersebut sebagai sebuah peringatan bahwa, bergaul dengan orang-orang musyrik akan dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk lebih cinta dunia daripada akhirat dan segala konsekuensinya. Mereka akan mendorong kita melangkah lebih jauh sesuai dengan keinginan mereka dengan pendidikan yang mereka berikan kepada anak-anak. Perbuatan- perbuatan mereka tak lain hanya akan mendorong ke jalan api neraka. Oleh karenanya, bergaul dan menjalin hubungan musâharah dengan mereka merupakan sebuah kekhawatiran besar yang harus dihindari. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/341.

159 Lihat penjelasan Rabbi Jonathan Romain (berdasarkan penelitiannya pada the Association of InterChurch Families ) bahwasannya anak-anak yang hidup dalam keluarga dengan

dua keyakinan yang berbeda, biasanya cenderung mengikuti salah satu orang tua yang lebih kuat dalam memegang keyakinannya. Lihat: Anthony Wade, Interfaith is Difficult for Children , (http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.asp). Di ambil pada dua keyakinan yang berbeda, biasanya cenderung mengikuti salah satu orang tua yang lebih kuat dalam memegang keyakinannya. Lihat: Anthony Wade, Interfaith is Difficult for Children , (http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.asp). Di ambil pada

dianggap remeh. 160 Atas dasar inilah, dalam perkawinan beda agama, sang suami harus punya

keyakinan dan kemampuan untuk mengajak istrinya memeluk agama Islam, dengan cara yang bijaksana. Hal ini dilakukan demi menjaga keharmonisan hubungan mereka, juga keselamatan akidah dalam keluarga, terutama anak-anak mereka kelak. Di antara para tokoh yang telah berhasil melakukan hal itu adalah

‘ Utsmân ibn al-‘Affân, yang dapat menjadikan perkawinan mereka sebagai salah satu media dakwah, walaupun sangat mungkin terdapat unsur politik di

dalamnya. 161

b. Putusnya Ikatan Perkawinan karena Perbedaan Agama Dalam poin ini, penulis tidak akan banyak membahas tentang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik, karena telah terjadi ijmak berdasarkan nass al-Qur’an bahwa perkawinan tersebut tidak sah. Oleh karenanya, para sahabat segera memutuskan tali perkawinan dengan pasangan masing-masing,

hari kamis, 6 maret 2008. hal ini tentunya berangkat dari sikap orang tua, yang memberikan kebebasan pada anak-anak mereka, di dalam menentukan keyakinan yang mereka anut.

160 Lihat: Q.S. al-Tah rîm/66: 6, “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu …”. Terdapat banyak

penjelasan perihal bentuk penjagaan diri dan keluarga dari api neraka. Menurut 'Alî ra, Mujâhid, dan Qatâdah, maksudnya adalah "Melakukan penjagaan diri dengan amal perbuatan masing- masing, sedangkan penjagaan terhadap keluarga adalah dengan wasiyat (agar kepada Allâh dan menjauhi larangannya)". Oleh karenanya, dalam sebuah keluarga muslim, seorang anak harus segera dikenalkan dengan Islam, dan salat sebagai identitas (Q.S. T âhâ/20: 132). Hal ini tak lain adalah sebagai salah satu perwujudan tanggung jawab terhadap keluarga sebagimana dijelaskan di atas. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVIII/171. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al- Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/355.

161 Lihat : Abû Bakr Ahmad ibn al Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. Lihat juga: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al- ‘Usfûrî, Târîkh

Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/34. Pada umumnya riwayat tentang perkawinan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra dengan Nâ’ilah bint al-Farâfi sah al-Kalbiyah berakhir pada ‘Abdullâh ibn al-Sâib dari keturunan (bani) al-Mutallib. Di sisi lain Ibn Katsîr menjelaskan dalam kitabnya, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, bahwasannya, ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra telah menikahi Nailah bint al-Farâfi sah, yang masih dalam keadaan Nasrani. Namun, ia segera masuk Islam, sebelum ‘Utsmân ra mengumpulinya. Selengkapnya, lihat: Abu al-Fidâ Ism⠒il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/163.

yang masih berpegang teguh pada keyakinan dan aktifitas syirik mereka, setelah turun pelarangan perihal dimaksud saat peritiwa Hudaibiyah. Dan setelah kejadian tersebut, tidak satupun sahabat maupun generasi setelahnya yang melakukan

pernikahan dengan orang musyrik, baik lelaki maupun perempuan. 162 Oleh karenanya, jika perkawinan tersebut terjadi lagi, seperti pada masa-masa sekarang,

maka dapat dinyatakan “batal demi hukum”, karena aturan hukum yang ada, menyatakan hal sebaliknya. Dan juga tidak perlu ada perceraian, karena perceraian hanya diperuntukkan bagi perkawinan yang sebelumnya telah dianggap sah.

Hal ini berbeda dengan perkawinan antara orang Islam dengan ahl al-

kitâb, yang terdapat penjelasan bahwa lelaki muslim diperbolehkan menikahi para perempuan ahl al-kitâb. 163 Namun tidak sebaliknya, yakni tidak terdapat

penjelasan al-Qur’ân yang (secara tegas) menyebutkan tentang perkawinan lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah. Keduanya seringkali menjadi

162 Ketaatan para sahabat pada instruksi al -Qur’ân dapat dilihat pada riwayat yang disampaikan oleh Ibn ‘Abbâs ra, sebagaimana diriwayatkan oleh al- Tabrânî, bahwa Ibn ‘Abbâs ra,

berkata: “Setelah turun Q.S. 2: 221, maka orang-orang mencegah diri untuk tidak menikahi (wanita musyrikah), sehingga turunlah Q.S. 5: 5, merekapun lalu menikahi wanita-wanita ahl al- kitâb”. Lihat: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn A hmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XII/105. Lihat juga: Abu al-Fidâ Ism⠒il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Q.S. 2: 221 tersebut turun pada tahun-tahun awal hijriyah, sehingga sejak saat itu para sahabat telah mencegah diri untuk tidak menikahi perempuan musyrikah. Namun bagi para sahabat yang telah terikat perkawinan dengan mereka, pada saat itu perkawinan mereka belum juga diputuskan, sampai turun Q.S. 60: 10-11 yang secara tegas memerintahkan pemutusan ikatan perkawinan dengan orang-orang musyrik, ketika terjadi peristiwa H udaibiyah tahun 6 H. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9.

163 Sebagaimana dijelaskan dalam Q .S. 5: 5. dalam menjelaskan ayat tersebut, para sahabat dan tabi’i memahaminya sebagai kebo lehan memakan sembelihan serta menikahi

perempuan ahl al-kitâb. Namun mereka mengingatkan agar umat Islam tidak condong untuk mengikuti ajakan serta pengaruh perempuan tersebut. Mereka pada umumnya menghubungkan penjelasan ayat tersebut dengan Q.S. 5: 51, “wa man yatawallahum minkum fa innahû minhum”. Di samping itu, dari sekian banyak pendapat tentang perempuan ahl al-kitâb, mayoritas ulama menyatakan bahwa ahl al-kitâb hanya terbatas bagi penganut Yahudi dan Nasrani, Walaupun masih terdapat perdebatan tentang kriteria mereka. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Lihat juga: Abû al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/28. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/74. Juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22.

perdebatan dan diskusi panjang di kalangan umat Islam, terutama dalam rangka menerapkan materi Q.S. 5:5.

Sejak generasi awal (para sahabat), ayat tersebut tidak dilaksanakan dengan bebas, padahal secara redaksional tidak terdapat persyaratan khusus di dalam penerapannya. Hal ini, disebabkan oleh adanya berbagai pertimbangan terutama berkaitan dengan akibat yang sangat mungkin akan muncul pasca perkawinan tersebut. Dan atas dasar itulah, pemerintahan (khalifah ‘Umar ibn al- Khattâb ra) turut campur di dalam menceraikan beberapa kasus perkawinan lintas agama antara lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb, padahal perkawinan tersebut telah dianggap sah oleh Q.S. 5: 5. Namun kejadian tersebut hanya bersifat

kasuistik, karena aturan yang diterapkan padanya hanya merupakan pengecualian, tidak berlaku secara umum. Dengan demikian jelaslah bahwa, perkawinan antara lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb, kendati sah secara hukum, dapat diceraikan karena adanya kekhawatiran akan menimbulkan madarat yang besar

dan bersifat umum. 164 Permasalahan selanjutnya, adalah perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb

dengan perempuan muslimah, yang diceraikan paksa bukan oleh suami melainkan pemerintahan yang berwenang. Hal ini juga terjadi pada masa pemerintahan khalifah ‘Umar ra. Kemungkinan besar, pada saat itu sebagian orang Islam menganggap bahwa tidak adanya aturan (nass al-Qur’ân) yang dengan tegas melarang perkawinan tersebut, menandakan kebolehan perbuatan dimaksud. Namun, ternyata setelah perkawinan itu benar-benar dilaksanakan, khalifah segera

mengambil tindakan tegas untuk menceraikannya secara paksa. 165

164 Kasus tersebut terjadi pada Hudzaifah ra, seorang gubernur Madain, pada masa pemerintahan ’Umar ibn al-Khattâb ra. Ia menikahi seorang perempuan Yahudi tanpa

sepengetahuan sang khalifah, namun setelah diketahuinya, segera saja ia memerintahakan agar Hudzaifah menceraikan istrinya tersebut. Dalam hal ini, alasan beliau adalah kemaslahatan para perempuan muslimah dan kekahwatiran akan tipu daya wanita-wanita ahl al-kitâb, bukan karena menghukumi haram atas perkawinan tersebut. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Sa ’îd ibn Mansûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-‘Asîmî, 1414 H), h. 193. Dan juga: Abû Bakar ‘ Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/474

165 Terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tentang kasus perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah yang kemudian diputus cerai oleh khalifah ‘Umar ibn al-

Khattâb ra, setelah perkara tersebut diajukan kepadanya. Beberapa riwayat tersebut menjelaskan bahwa, perkawinan dapat dilanjutkan jika, sang suami berkenan masuk Islam. Selengkapnya lihat:

Tindakan ‘Umar ra ini, kendati tidak didukung oleh nass yang sarîh (al- Qur’ân), ditanggapi positif oleh semua kalangan umat Islam pada saat itu, termasuk para pembesar sahabat. Hal itu terbukti dengan tidak adanya kasus serupa, yang terjadi pasca keputusan ‘Umar ra tersebut. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa pada saat itu telah terjadi kesepakatan (ijmak) tentang ketidakbolehan dilakukannya perkawinan antara perempuan muslimah dengan

lelaki ahl al-kitâb, walaupun hanya sekedar ijmak sukutî. 166 Jika dirunut pada sumber yang lebih jauh, yakni pada masa Rasulullah

saw, belum diketemukan satupun riwayat yang menjelaskan tentang kasus perkawinan serupa. Dan untuk menyikapi hal ini, terdapat dua cara yang dapat

dilakukan, yakni dengan menganggap bahwa perkawinan tersebut pernah terjadi, atau sebaliknya, menganggap bahwa perkawinan tersebut tidak pernah terjadi. Jika demikian halnya, maka tidak akan pernah diketemukan adanya kepastian hukum, karena semuanya bersifat relatif. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah melihat reaksi orang-orang dekat Rasulullah saw atas keputusan yang dibuat oleh ‘Umar ra. Walaupun sebenarnya, ‘Umar ra sendiri juga merupakan salah seorang sahabat dekat beliau, namun terkenal seringkali melakukan inovasi

(tajdîd). 167

Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV/7. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al- Wahdân, Juz. I/185. Bandingkan dengan: Abû Muh ammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al- Muhallâ, Juz. VII/313.

166 Ijmak sukûtî dapat dipahami sebagai suatu kesepakatan sebagian mujtahid pada suatu masa dalam mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap hukum suatu kejadian, sedangkan

sebagian lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut. Bentuk ijmak ini dipopulerkan oleh al- Âmidî (551-631 H), seorang ulama dari kalangan Syafi ’iyah, di dalam kitabnya ia menyatakan bahwa, “Ijm⒠merupakan ‘ibârah (ungkapan) untuk menyebut suatu kesepakatan para ahl al-halli wa al-‘aqd (mujtahid) dari umat Muh ammad saw dalam suatu masa tertentu atas suatu hukum (kasus) dari beberapa kasus yang ada. Ia menambahkan, “Yang kami maksud dengan ittifâq (kesepakatan), mencakup ucapan, perbuatan, diam dan ketetapan ” Lihat: Saif al-Dîn Abu al- Hasan ’ Alî ibn Abî ’Alî ibn Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm Fî Usûl al-Ahkâm, Jld. I, (Beirut: Dâr al- Fikr, 1997), hal. 167. Lihat juga: Ensiklopedi Islam, jld. V, Cet. II, Oleh tim Penyusun, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 1994), hal. 148

167 Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda: “ Benar-benar ada pada umat-umat sebelum kamu, orang-orang yang memperbaharui (dalam

agama), maka jika hal itu ada pada umatku, dia adalah ‘Umar”. Selengkapnya, lihat: Mu hammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. 3/1349, No. Hds. 3486. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/622. Bandingkan juga dengan: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al- Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. VI, (Kairo: Muassasah Qart abah, tt), h. 55.

Setelah diketahui bahwa para sahabat dekat Rasulullah saw sama sekali tidak menanggapi negatif keputusan ‘Umar ra tersebut, dapat diduga bahwa, kasus serupa tidak tejadi pada masa Rasulullah saw. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang perlu ditempuh adalah melihat kedekatan para pelaku

perkawinan tersebut, berikut para walinya, dengan Rasulullah saw. 168 Dan jika ternyata mereka bukanlah orang-orang dekat Rasul saw, apalagi tidak pernah

bergaul dengan beliau, ataupun bertempat tinggal jauh dari Madinah, dan tidak pernah bertemu beliau, kecuali hanya beberapa saat saja, maka dapat diduga bahwa, orang-orang tersebut tidak banyak mengetahui perkembangan di Madinah

pada saat Rasul saw masih hidup. 169

Jika demikian, maka tindakan ‘Umar ra tersebut bukanlah hasil ijtihad pribadinya, melainkan upaya untuk meneruskan apa yang telah menjadi ketetapan sebelumnya, yang mungkin tidak begitu diketahui oleh umat Islam, terutama yang bertempat tinggal jauh dari Madinah.

c. Tanggung jawab dalam Keluarga Menjadi Semakin Berat Di dalam keluarga, suami-istri terikat janji kesanggupan untuk menerima dan melaksanakan hak serta kewajiban masing-masing. Dalam hal ini, kewajiban

suami adalah memenuhi segala kebutuhan istri sesuai dengan kemampuannya. 170

Lihat juga: Muhammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/92.

168 Orang-orang yang terlibat dalam kasus perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah adalah: (1) Seorang lelaki dari bani Taghlab, (namun tidak disebutkan

dengan jelas siapa namanya) menikah dengan putri Zurârah ibn ‘Adas al-Tamîmî. Lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV/7. (2) Kakek-nenek Yazîd ibn ‘Alqamah. Namun tidak ada penjelasan perihal orang yang memutuskan perkawinan tersebut, ’Umar ra atau orang lain. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abu al- Husain al- Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I/185. (3) ‘Ubadah ibn al-Nu’mân dari bani Taghlab menikahi seorang wanita dari bani Tamîm. Lihat: Abû Muh ammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII/313. Tiga riwayat tersebut menjelaskan tentang pasangan yang pada awalnya sama-sama non muslim. Namun dalam perjalanan keluarga mereka para istri masuk Islam. (4) Handalah ibn Busyr menikahkan anak perempuannya dengan anak saudara lelakinya yang beragama Nasrani. Lihat: Abû Muh ammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al- Muhallâ, Juz. VII/313. Pada umumnya, perkawinan tersebut terjadi antara bani Taghlab dan bani Tamîm.

169 Ternyata orang-orang yang terlibat di dalam perkawinan di atas, baik walî maupun para pelaku, tidak tercatat sebagai sahabat dekat Rasulullahsaw, selama beliau masih hidup.

Lihat: Q.S. al-Nisâ/4: 34, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,...karena mereka (laki-laki) telah menafk ahkan sebahagian dari harta mereka ”. Dalam hal ini, al-Tabarî menjelaskan bahwa lelaki bertanggung jawab atas wanita untuk mendidik, membimbing mereka menjalankan segala kewajiban. Kelebihan yang dimaksud dalam ayat

Dan sebaliknya, kewajiban istri adalah taat atas perintah suami, selama perintah tersebut bukan untuk maksiyat kepada Allâh. 171 Sedangkan di akhirat kelak,

manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas segala sesuatu yang telah diamanahkan kepadanya, termasuk keluarga, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S.

al-Tahrîm [66]: 6. 172

tersebut, disebabkan oleh kewajiban yang diembannya atas perempuan; baik mahar, nafkah, dan segala pembiayaan lainnya. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/59. Bandingkan: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Dimasyqî Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, Juz. I/361. al-Qurtubî menambahkan penjelasan dengan beberapa riwayat tentang sabab al-nuzûl. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. I/161. Besarnya

tanggung jawab suami juga banyak terekam dalam beberapa h adîts, termasuk riwayat Jâbir ibn ‘ Abdullâh ra, bahwasannya Rasulullah saw memberikan khu tbah di Padang Arafah; di dalam khutbahnya (beliau menyebutkan): “Takutlah kalian kepada Allâh dalam urusan wanita, sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amânah (kepercayaan) dari Allâh dan kalian mengambil halalnya farji-farji mereka dengan kalimah Allah, ….dan mereka mempunyai hak yang menjadi kewajiban kalian yaitu memberikan nafkah, dan pakaian mereka dengan baik ….”. Lihat: Muhammad ibn Ishâq ibn H uzaimah Abû Bakr al-Sulamî al-Naisabûrî, Sahîh Ibn Huzaimah, Juz.

IV, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1970), h. 251. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘ Alî ibn Mûsâ Al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. V/6. Dan juga: Ahmad ibn Syu’aib Abu Abd al-Rahmân Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ, Juz. II/321. Bandingkan dengan: ‘Abd ibn Humaid ibn Nasr Abu Muhammad al-Kissî, al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Humaid, Juz.

I, Cet. I, Muhaqqiq: Subhî al-Badrî al-Samrâ’î dan Mahmûd M. Khalil al-Sa’îdî, Cet. I, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1988), h. 341. Lihat juga: ‘Abdullâh ibn ‘Ali ibn al-Jârûd Abû Muhammad al-Naisabûri, al-Muntaqâ min al-Sunan al-Musnadah, Muhaqqiq: Abdullâh ‘Umar al-Barûdî, Juz.

I, Cet. I, (Beirut: Mu ’assasah al-Kitâb al-Tsaqâfiyah, 1988), h. 123. 171 Terdapat banyak riwayat berkaitan dengan ketaatan istri kepada suami, bahkan Rasul

saw mengandaikan sesuatu yang dilarang oleh Allâh, seperti bersujud kepada manusia, menandakan betapa agungnya hak suami terhadap sang istri. Dalam riwayat dari Abû Hurairah ra, dinyatakan bahwasan Rasulullah saw bersabda: “Tidak seharusnya seseorang bersujud pada orang lain. Dan andaikan seseorang boleh bersujud pada orang lain, pasti aku memerintahkan wanita untuk bersujud pada suaminya, karena Allâh telah mengagungkan hak yang selayaknya diterima (suami)nya dari sang istri ”. Lihat: Mu hammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al- Bustîy, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Juz. IX/470. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘ Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. III/465. Lihat juga : Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah, Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 595. Bandingkan dengan: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. IV/381. Demikian juga: Muhammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. II/206. Dan lihat juga: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. V/208. Sedangkan penjelasan tentang larangan menaati perintah untuk durhaka kepada Allah, ditunjukkan oleh riwayat dari 'Ali ra, Rasulullah saw, bersabda: “Tidak (dibenarkan) melakukan ketaatan dalam mendurhakai Allâh, sesungguhya ketaatan itu hanya pada hal yang ma ’rûf”. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. V/260.

172 "Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar lagi

keras, yang tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintakan-Nya kepada mereka dan selalu megerjakan apa yang diperintahkan". Ayat tersebut diawali dengan fi’il amar yang berarti perintah. Dengan demikian menyelamatkan diri dan keluarga dari api neraka menjadi target utama perintah tersebut. Namun, dengan disebutkannya lafaz (anfusakum) sebelum (ahlîkum) merupakan

Dengan demikian, kelak diakhirat, setiap manusia akan memper- tanggungjawabkan tidak hanya dirinya sendiri, melainkan juga keluarga dan siapapun yang berada di bawah kekuasaan serta tanggung jawabnya. Dalam hal ini, baik suami maupun istri akan dimintai pertanggung jawaban kelak di

akhirat. 173 Tanggung jawab tersebut, erat sekali hubungannya dengan beberapa kewajiban ketika di dunia. Dan sebagaimana diketahui bahwa kewajiban pokok

manusia adalah beribadah kepada Allâh SWT, baik dalam perannya sebagai makhluk sosial maupun religius. 174 Di samping itu, orang tua juga bertanggung

jawab untuk mempersiapkan anak-anak mereka agar tidak menjadi generasi yang

indikasi bahwa yang harus diselamatkan pertama kali adalah dirinya sendiri, setelah itu baru orang lain (keluarganya). Beberapa riwayat, terutama dari Âlî ibn Abî T âlib ra dan Ibn ‘Abbâs ra, menjelaskan bahwa tanggung jawab di dalam menyelamatkan keluarga haruslah dilakukan. Dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah mengajarkan ajaran Islam, mendidik, dan berwasiat agar mereka selalu menempuh jalan menuju ketaatan kepada Allâh SWT, dengan melakukan perintah serta meninggalkan larangan-Nya. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al- Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/156. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/502.

173 Setiap manusia, apapun peran dan fungsinya, masing-masing adalah pemimpin yang mengemban amanah dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Sebagaimana

dijelaskan dalam sebuah riwayat dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra, ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban; (1) Imam adalah pemimpin, ia akan dimintai pertanggung jawaban, (2) lelaki adalah pemimpin, ia akan dimintai pertanggung jawaban, (3) wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban, (4) budak adalah pemimpin atas harta majikannya, ia akan dimintai pertanggung jawaban. Ingatlah! Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggung jawaban ”. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. II/848. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al- Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. III/1459. Bandingkan dengan: Sulaimân ibn al-Asy ’ats, Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. II, Muhaqqiq: M. Muhyî al-Dîn Abd al- Hamîd, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 145. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al- Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV208.

174 Lihat: Q.S. al-Dzâriyât/51: 56, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu". Secara redaksional, ayat tersebut bersifat umum, namun secara

praktis tidak demikian, karena terdapat beberapa kreteria tertentu di dalam melakukan ibadah Sehingga, beberapa golongan, seperti anak-anak dan orang gila tentunya tidak masuk dalam khitâb ayat dimaksud. Tentang ayat ini, para ulama; termasuk Ibn Katsîr menjelaskan bahwa, Allâh menciptakan manusia bukanlah karena Dia membutuhkannya, akan tetapi karena adanya perintah ibadah tersebut. Dan manusialah yang kelak akan menikmati hasil ibadah mereka selama di dunia. Oleh karena itu, ayat selanjutnya (Q.S. 51: 57-58), menjelaskan bahwa, “Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allâh, Dia lah Maha Pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh ”. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/303. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVII/50. Dan juga dengan: Muh ammad ibn ‘Alî al- Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/130.

lemah, baik keimanan, pendidikan, perekonomian dan lain-lain, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nis⒠[4]: 9. 175

Tanggung jawab ini akan terasa semakin berat, jika antara suami istri selalu berbeda persepsi atas beberapa hal, terutama visi dan misi kehidupan mereka. Perbedaan tersebut akan tampak semakin jelas, bila keluarga mereka terbangun dari latar belakang agama yang berbeda. Apalagi jika mereka adalah para penganut agama yang taat, karena masing-masing pasti menginginkan seluruh anggota keluarganya sejalan dengan apa yang mereka yakini, demi keselamatan kelak di hari kemudian.

Sebagai bentuk masyarakat terkecil, keluarga mempunyai hubungan dan 176

kedekatan paling erat, dibandingkan dengan bentuk masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kuatnya ikatan antara orang-orang yang ada di dalamnya, karena ia dibangun berdasarkan kesepakatan untuk hidup bersama, di dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan, baik dalam kehidupan di dunia maupun akhirat.

175 "Dan hendaklah takut kepada Allâh orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)

mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allâh dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar". Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa, ayat tersebut turun berkaitan dengan wasiat seorang sahabat sebelum ia meninggal. Wasiyat tersebut jika dilaksanakan, akan sangat merugikan ahli waris yang ditinggalkannya. Oleh karena itu Allâh melarang perbuatan tersebut, dan memerintahkan agar nasib ahli waris juga diperhatikan, agar mereka tidak hidup dalam kesulitan sepeninggal si pewasiyat. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/611. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/645. Dan juga: 'Alî ibn Ah mad Abû al-Hasan al-Wâhidî, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz , h. 253. Keterbatasan ekonomi memang seringkali menyebabkan seseorang melakukan berbagai macam cara untuk dapat bertahan hidup, bahkan tidak jarang dari mereka yang berpindah agama oleh karenanya. Tapi bukan berarti ayat tersebut hanya dapat diterapkan pada kasus itu saja, akan tetapi dapat diberlakukan secara umum untuk segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia menjadi lemah oleh karenanya, seperti akidah, dan ilmu pengetahuan. Bahkan keduanya lebih berharga daripada harta benda, karena harta benda akan dapat menjerumuskan pemiliknya jika tidak dikelola dengan baik sesuai dengan perintah Allâh SWT.

176 Jika semua anggota keluarga yang ada dapat menjalankan peran dan fungsinya masing- masing dengan baik, maka tujuan yang dicita-citakan bersama akan mudah dicapai. Namun jika di

antara mereka tidak mempergunakan peran dan fungsinya dengan baik, sehingga tidak menghiraukan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka akan sangat menyulitkan perjalanan keluarga tersebut. Dan untuk mencapai itu semua, masing-masing suamu-istri haruslah memegang beberapa prinsip dalam perkawinan, yaitu adanya rasa cinta dan kasih sayang, saling melengkapi dan melindungi, serta mu’âsyarah bi al-ma’rûf. Lihat: A. Baso, dan A. Nur Khalis, (ed), 2005, Perkawinan Beda Agama, kesaksian, argumen keagamaan, dan Analisis Kebijakan, kerjasama komnas HAM dan ICRP (Indonesion Conference on Religion and Peace), Cet. I, (Jakrta: Komnas HAM, 2005), h. 200

Kedekatan itulah yang menyebabkan antara pihak-pihak yang ada di dalamnya saling mempengaruhi serta melakukan kontrol satu sama lain. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa, kedua hal tersebut paling banyak dilakukan oleh orang tua,

terutama sang ibu. 177 Oleh karenanya, kendati lelaki muslim berhak menikahi perempuan ahl al-

kitâb, namun jika perkawinan itu justru akan memperberat tanggung jawabnya di akhirat, maka perkawinan tersebut tidak seharusnya dilakukan. Di sisi lain, Allâh SWT juga mengingatkan bahwa anak dan istri itu kerap kali menjadi fitnah,

bahkan musuh (Q.S. al-Taghâbun [64]: 14). 178 Hal semacam ini, akan sangat mudah terjadi dalam keluarga yang latar belakang agamanya berlainan, karena

mereka masing-masing mempunyai pandangan sesuai dengan ajaran agamanya.

177 Setidaknya atas dasar ini, sejak lama Rasulullahsaw telah mengingatkan tentang besarnya pengaruh kedua orang tua bagi perkembangan sang anak, terutama berkaitan dengan

agama. Sebagaimana sabda beliau, “Tak satupun anak yang lahir, kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tua lah yang (kemudian) menjadikannya Yahudi, Nasrani, maupun Majusi ”. Secara redaksional terdapat perbedaan antara riwayat Ah mad dan al-Bukhârî dengan riwayat- riwayat lain. Di dalam riwayat keduanya, diawali dengan redaksi “mâ min maulûdin”, sedangkan riwayat-riwayat lain pada umumnya menggunakan redaksi “kullu maulûdin”. Perbedaan tersebut hanya berhubungan dengan penekanan makna yang dimunculkannya, dan tidak sampai menyebabkan perbedaan muatan (makna) di dalamnya. H adîts tersebut merupakan peringatan bagi setiap umat Islam agar selalu mengawasi perkembangan anak dan menyiapkan mereka supaya menjadi generasi penerus Islam yang berkualitas, secara agama. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. I/456. Lihat juga: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/481. Bandingkan dengan: Sulaimân ibn al-Asy ’ats, Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. 2/642. Dan juga dengan: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al- Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/447.

178 "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu; maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu

memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allâh maha pengampun lagi maha penyayang". Ayat tersebut turun di Madinah, kendati sebagian besar ayat- ayat dalam surahnya turun di Mekah. Tentang ayat ini, terdapat beberapa riwayat yang disinyalir sebagai sabab al-nuzûl-nya, termasuk apa yang disampaikan Ibn ‘Abbâs ra bahwa, ayat tersebut turun dalam menjelaskan tentang kasus yang dihadapi ‘Auf bin Mâlik al-Asyja’î. Hal ini berawal ketika ia mengadukan tentang pembangkangan anak dan istrinya kepada nabi saw. Ketika ‘Auf hendak pergi berperang di jalan Allâh, mereka selalu menangis dan membuat hati ‘Auf menjadi tidak berdaya. Pada umumnya beberapa riwayat tersebut memasukkan keluarga (anak-istri) yang menghalangi seorang muslim menjalani perintah Allâh dan meninggalkan larangannya. Menurut qâdî Abû Bakar ibn al-‘Arabî, yang dimaksud musuh sebagaimana dalam ayat tersebut, bukanlah musuh secara hakiki, akan tetapi perbuatan yang mereka lakukan seperti perbuatan musuh. Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek dari pada menghalangi seseorang dari ketaatan kepada Tuhannya. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz.XVIII/141. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/116.

Dan dengan hal itu mereka mencoba untuk mempengaruhi anggota keluarga yang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, jelaslah bahwa dari beberapa bentuk perkawinan lintas agama yang ada, perkawinan antara lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb dapat ditolelir. Akan tetapi, dengan melihat potensi munculnya akibat negatif dari perkawinan dimaksud, membuat perkawinan tersebut tidak dapat dilakukan secara leluasa, melainkan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan yang ada. Bahkan, menjadi tidak patut dilakukan jika akibat negatif yang dimunculkannya sangat besar, dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat muslim secara luas.

Adapun perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah, tampak didiamkan oleh nass al-Qur’ân maupun sabda-sabda Rasul. Kendati demikian, dengan melihat fakta bahwa perkawinan tersebut tidak pernah terjadi, kecuali langsung mendapat sambutan negatif dari umat Islam, bahkan dicerai paksa oleh khalifah, dapat dipastikan bahwa, perkawinan tersebut tidak diperbolehkan, karena pada prinsipnya, pengecualian (istitsnâ) hanya berlaku pada sesuatu yang disebutkan saja (Q.S. 5: 5).

BAB IV

KONTEKS SOSIO-HISTORIS SEBAGAI PERANGKAT ANALISIS TAFSIR TEMATIK

Bab ini merupakan kelanjutan analisis pada pada bab sebelumnya, namun secara khusus difokuskan pada pengkajian tentang konteks sosio-historis, di dalam menemukan korelasi antara ayat-ayat tentang perkawinan lintas agama dengan keadaan sosial masyarakat Islam, ketika ayat-ayat tersebut turun dan diamalkan oleh mereka. Pada dasarnya, pembahasan ini merupakan perluasan dari sabab al-nuzûl yang merupakan salah satu unsur penting dalam tafsir tematik,

yang tentunya ditujukan untuk mengetahui lebih jelas perihal latar belakang historis turunnya satu atau beberapa ayat tertentu. Dengan demikian, sabab al- nuzûl dalam hal ini tidak hanya diartikan secara mikro; riwayat-riwayat tentang turunnya suatu ayat saja, akan tetapi lebih pada pengetahuan tentang suatu keadaan yang melingkupi masyarakat Islam, pada saat ayat-ayat al-Qur’ân turun.

Hal ini juga dapat disebut sebagai sabab al-nuzûl secara makro. 1

A. Potret Sosio-Historis Masa Rasul dan Sahabat dalam Hubungannya dengan Perkawinan Lintas Agama

Kehidupan Rasulullah saw dan para sahabat, dipandang sebagai tata kehidupan sosial ideal dalam Islam, sehingga ia menjadi rujukan bagi umat Islam di dalam menjalani kehidupan mereka. Namun yang perlu dijadikan acuan (teladan) dalam hal, ini tak lain adalah nilai-nilai kehidupan tersebut, bukan kenyataan kehidupan yang ada pada mereka, karena bagaimanapun permasalahan

1 Upaya memperluas pengetahuan tentang latar belakang historis suatu ayat, sebagaimana dijelaskan di atas, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang situasi sosial

umat Islam ketika ayat-ayat al-Qur’ân turun; untuk selanjutnya mereka amalkan. Jika pengetahuan tentang latar belakang historis suatu ayat hanya dibatasi pada riwayat-riwayat tentang sabab al- nuzûl saja, maka akan terdapat beberapa kelemahan, di antaranya; (1) Riwayat sabab al-nuzûl tidak selalu ada pada tiap-tiap ayat/surah yang turun. (2) Tidak semua riwayat tentang sabab al- nuzûl dapat dipergunakan untuk memahami ayat al-Qur’ân. Jika salah satu atau kedua hal tersebut terjadi, maka tidak ada lagi cara untuk mengetahui banyak tentang latar belakang historis suatu ayat, padahal ia adalah faktor yang sangat penting pada tafsir tematik/ maudû’î. Dan hal ini tentunya merupakan suatu kelemahan yang seharusnya diatasi. Oleh karenanya, memahami sabab al-nuzûl secara makro bukan lagi sesuatu hal yang harus diperdebatkan.

manusia selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. 2 Dalam pembahasan ini, permasalahan penting yang harus diketahui adalah perihal status

umat Islam dalam pergaulan sosial pada masa turunnya wahyu; ayat-ayat al- Qur’ân. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang status perkawinan lintas agama pada saat itu, dan beberapa hal lain yang berkaitan dengannya.

1. Status Sosial Umat Islam dalam Perkawinan Lintas Agama Sebelum dan Setelah Hijrah; Kehadiran Islam untuk pertama kalinya, di kalangan masyarakat Quraisy

Mekah menuai tantangan dan gangguan yang sangat berat. Ia dianggap sebagai hal baru yang dapat merusak kelestarian ajaran warisan nenek moyang mereka.

Dan karena preseden buruk tersebut, Islam menjadi agama yang sulit berkembang pada sepuluh tahun pertama sejak kelahirannya. Sehingga, daftar para pengikut Islam pada saat itu hanya dipenuhi oleh keluarga, karib-kerabat, dan orang-orang

dekat yang mempunyai kekaguman terhadap pribadi nabi Muhammad saw. 3

Kendati demikian, Islam menjadi mudah untuk diterima oleh kaum lemah, terutama para budak dan orang-orang tertindas, karena mereka berharap, Islam

2 Penjelasan tentang keutamaan Rasul dalam fungsinya sebagai panutan (contoh) bagi umat Islam, dapat dilihat pada Q.S. al-Ah zâb [33]: 21, “Sesungguhnya telah ada pada (diri)

Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Terdapat perbedaan pendapat perihal redaksi “uswah hasanah”, yakni fungsi Rasul sebagai suri tauladan bagi orang Islam; apakah hal itu wajib ataukah hanya sunnah. Perdebatan tersebut, akhirnya dapat kompromikan dengan menyatakan bahwa dalam urusan agama, harus (wajib) menjadikan Rasul sebagai panutan, namun dalam masalah-masalah kediniaan, hanya dianjurkan saja. Lihat: al-Qurt ubî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV, Cet. II, (Kairo: Dâr al-Syu’ab, 1372 H), h. 138.

3 Semua ahli sejarah sepakat bahwa agama Islam pada mulanya diterima oleh orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan Rasul, walaupun masih diperselisihkan tentang orang yang

pertama kali masuk Islam. Namun untuk menghilangkan perselisihan tersebut, mereka menyatakan bahwa: (1) Abû Bakr ra adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan (lelaki) dewasa, (2) Khadîjah ra, adalah wanita pertama yang masuk Islam, (3) ‘Alî ibn Abî T âlib ra adalah penganut Islam (pertama) dari kalangan anak-anak, yang mana pada saat itu ia baru berusia 9 tahun, (4) Zaid ibn Hâritsah ra, adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan budak ( mawâlî). Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Târîkh al-Umam wa al- Muluk, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H), h. 537. Lihat juga: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr, al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. III, (Beirut: Maktabah al-Ma’arif, tt), h. 25-26. Bandingkan dengan: Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, Muhaqqiq: M. Muhyi al-Dîn Abd al-Hamîd, Cet. I, (Mesir: Mat ba’ah al- Sa’âdah, 1952), h. 35.

akan mampu mengakhiri menindasan dan penderitaan yang mereka alami. 4 Dari kenyataan di atas, dapat dilihat bahwa para pengikut Islam pada saat itu

merupakan kelompok kecil yang tersisihkan dari pergaulan masyarakat secara luas. Bahkan seringkali menerima perlakuan tidak adil dari para penguasa dan

orang-orang kaya, termasuk boikot perekonomian. 5 Namun berbagai penderitaan yang mereka rasakan, justru semakin mempertebal keimanan serta mempererat

persaudaraan di antara mereka. Dan dengan prinsip al-ukhûwwah, mereka berbagi kesenangan dan kesedihan satu sama lain. 6

Masyarakat Arab terkenal sebagai masyarakat yang dapat memegang tradisi leluhur dengan sangat kuat. Sehingga aktifitas keagamaan mereka, tidak

lebih hanya sekedar pelestarian budaya yang mereka warisi secara turun temurun. Dan siapapun (dari kalangan mereka) yang tidak menjalankan ajaran tersebut, atau mengajarkan sesuatu yang berbeda dengannya, dianggap sebagai penyeleweng

4 Tercatat beberapa orang budak yang telah masuk Islam sejak periode Mekah, seperi Zaid ibn Hâritsah, Bilâl ibn Rabâh, Yâsir, dan anaknya; Amar ibn Yâsir. Mereka menyembunyikan

keimanan demi menyelamatkan nyawa dari kekejaman para majikan. Namun ketika rahasia mereka terbongkar, penyiksaan demi penyiksaan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus kehilangan nyawa demi mempertahankan akidah, walaupun beberapa di antaranya berhasil diselamatkan dan dimerdekakan oleh sahabat-sahabat lain. Berbeda dengan kebiasaan orang-orang kafir, di dalam Islam, kemulyaan seseorang tidak lagi diukur dengan status sosial maupun kekayaan, melainkan ketaqwaan kepada Allâh SWT. Oleh karenanya, Rasulullah saw memperlakukan budak dan orang-orang lemah sebagaimana perlakuan beliau terhadap sahabat lainnya. Bahkan beliau sering berbincang-bincang dan duduk bersama dengan mereka. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar Ibn Katsîr, al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VI/56.

5 Pemboikotan tersebut diprakarsai oleh Abû Jahl, dengan menyeru orang-orang Quraisy agar memutus akses perekonomian dengan klan nabi dan para pengikutnya. Dalam bukunya,

Karen Amstrong menegaskan, "Abu Jahl imposed a boycott on Muhammad's clan, forbidding the Quraysh to marry or trade with the muslims. This meant that nobody sell them any food. The ban lasted for two years, and the food shortages may well have been responsible for the death of Muhammad's beloved wife Khadija, and it certainly ruined some of the muslims financially". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, (New York: The Modern Library, 2002), h. 13.

6 Persaudaraan yang dibangun oleh Rasulullah saw antara Muhajirûn dan Ans âr begitu kuat, sehingga mereka rela berbagi apapun yang mereka miliki, seperti yang terjadi antara Abd al-

Rahmân ibn ‘Auf ra dan Sa’d ibn al-Rabî’ra. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muh ammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. V, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al- Rusyd, 1409 H), h. 341. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb Al-Tabrânî, al- Mu’jam al-Kabîr, Juz. I/252. Hal serupa juga terjadi antara ‘Alî ibn Abî T âlib dan Sahl ibn H unaif, yang mana keduanya selalu berusaha saling melindungi satu sama lain. Bahkan ketika ‘Alî ra terlibat dalam peperangan S iffîn melawan Mu’awiyah ra, Sahl ibn H unaif ra gugur dalam peperangan tersebut. Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî, al- Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/462.

dan tidak menghargai para leluhur. 7 Mereka tidak meyakini kehidupan akhirat, dengan segala kenikmatan maupun siksaan yang ada di dalamnya. Kehidupan

mereka hanya didasarkan pada norma-norma yang berkembang pada saat itu, sehingga tidak ada aturan baku (baca: hukum) yang menjadi pedoman dalam menjalankan aktifitas mereka sehari-hari. Kenyataan ini diperparah oleh kebiasaan mereka yang saling menindas dan merampas hak-hak orang lain, demi

mendapatkan superioritas di antara suku-suku yang ada. 8 Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tidak ada cara lain kecuali berusaha

memperkuat kelompok masing-masing dengan mempersiapkan pasukan perang berikut segala perlengkapannya. Dalam keadaan demikian, para wanita, anak-anak

dan orang-orang lemah sama sekali tidak mendapatkan tempat, bahkan menjadi kelompok yang termarginalkan, karena tidak dapat diandalkan dalam peperangan tersebut. Sehingga, posisi wanita pada saat itu tak lebih hanya sebagai pemuas hawa nafsu semata. Sedangkan anak-anak perempuan yang dirasa tidak membawa keuntungan, mereka rampas hak hidupnya. Dan walaupun dibiarkan hidup,

keberadaan mereka sama sekali tidak diperhitungkan. 9

7 Ketika dakwah Islamiyah diarahkan kepada orang-orang kafir (Mekah), alasan (penolakan) yang paling sering dilontarkan adalah bahwa, apa yang nenek moyang mereka

lakukan telah cukup untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan, sehingga mereka tidak merasa perlu adanya petunjuk lain di luar itu. Hal ini terekam dalam beberapa ayat al-Qur’ân, di antaranya: Q.S. al-Baqarah: 170, al-Mâ’idah: 107, al-A’râf: 28, 95, dan juga al-Syu’arâ: 74. Kenyataan ini juga terekam oleh para ahli sejarah kontemporer, seperti Karen Amstrong, dalam pernyataannya, "At first, the most powerful men in Mecca ignored the muslims, but by 616 they had become extremely angry with Muhammad who, they said, reviled the faith of their fathers, and was obviously a charlatan, who only pretended to be a prophet". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 12.

8 Ketidakpercayaan mereka terhadap kehidupan akhirat terlukis dalam pernyataan Ubay ibn Khalaf yang diabadikan Q.S. Yâsîn/36:78. Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa suatu

hari Ubay ibn Khalaf, seorang musyrik, mendatangi nabi Mah ammad saw dengan membawa tulang belulang, dan mengejek nabi seraya mengatakan: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?". Maka Allâh menjawab dalam ayat berikutnya (Q.S. 36:79), “Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. X/463. Lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. III/767.

9 Beberapa riwayat menjelaskan tentang pernyataan ‘Umar ibn al-Khatt âb ra bahwa, pada masa jahiliyah mereka sama sekali tidak mempertimbangkan keberadaan wanita, sampai Islam

datang dengan al-Qur’ân, dan memberikan hak-hak mereka. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. IV/1866. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. II/1105.

Dalam keadaan demikian, status perkawinan bukanlah sesuatu yang mendapat perhatian khusus, di kalangan mereka. Apalagi tidak ada aturan tentang perkawinan dan perceraian, sehingga memungkinkan seseorang untuk mengawini wanita berapapun ia mau dan mampu. Demikian juga, sebanyak apapun seorang

istri diceraikan, maka sebanyak itu pula istri tersebut dapat dirujuk (kembali). 10 Dan Islam yang pada saat itu masih fokus pada masalah tauhîd serta belum

mengatur masalah perkawinan, dapat diterima dalam keluarga-keluarga tersebut, ataupun salah satu pasangannya. Apalagi ajaran tauhîd yang mereka terima, dapat disembunyikan dengan mudah dari kelompok, keluarga, bahkan pasangan hidup masing-masing.

Dengan demikian, pada saat itu telah banyak terjadi pasangan suami-istri dengan latar belakang keyakinan yang berbeda, yakni antara para penganut agama Islam dengan orang-orang musyrik. Namun, hal itu tidak dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membangun mahligai rumah tangga, asalkan mereka masih mampu merahasiakan keimanan masing-masing. Akan tetapi, ketika keimanan mereka tidak lagi menjadi suatu rahasia pribadi, ancamanpun

datang bahkan dari orang yang paling dekat sekalipun. 11 Namun, ketika salah satu pasangan telah masuk Islam, maka tidak lama

kemudian hal itu (biasanya) diikuti oleh pasangan lainnya. Karena mereka yang telah menerima ajaran Rasulullah saw, akan selalu berusaha menyebarkannya

10 Bahkan ketika masuk Islam, Ghailân ibn Salamah al-Tsaqafî mempunyai 10 orang istri. Namun oleh Rasul dia hanya boleh menetapkan 4 istri dan menceraikan 6 lainnya. Lihat:

Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz.

III, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tt), h. 435. Pada masyarakat Arab pra-Islam (jahiliyah), terdapat beberapa bentuk perceraian dan yang paling sering dipakai adalah talâq, ilâ’ dan zihâr. Namun setelah Islam datang, masing-masing di beri aturan tersendiri, dengan konsekuensi hukum yang berbeda-beda. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/3. Lihat Juga: Muh ammad al-Râzî, Fahr al-Dîn ibn Diyâ’ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fahr al-Râzî, juz. 29, cet, III, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 251. Dan juga: Abû Zakariâ Muhyi al-Dîn ibn Syaraf al-Nawawî, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz. 18, (Beirut: Dâr al-fikr), h. 342 .

11 Penyiksaan tersebut juga dialami oleh Fatimah bint al-Khatt âb, oleh kakaknya sendiri ‘Umar ibn al-Khattâb. Namun di sisi lain, kejadian tersebut juga merupakan jalan bagi ‘Umar ra

untuk mendapatkan hidayah dan menerima da'wah Islâmiyah. Bahkan sejak saat itu, orang-orang Islam dapat bernaung di bawah perlindungannya, dan tidak perlu lagi menjalankan syari’at agama secara sembunyi-sembunyi. Lihat: ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 100.

kepada keluarga terdekat, terutama pasangan hidup masing-masing. 12 Akan tetapi, hal itu tidak selalu berjalan mulus, karena masih tercatat beberapa istri sahâbat

yang tetap berpegang pada keyakinan jahiliyah, kendati suami-suami mereka telah menjadi teman setia Rasulullah saw, seperti Abû Bakr ra, dan ‘Umar ibn al- Khattâb ra. Dengan demikian, status perkawinan mereka pada awal-awal dakwah Islam di Mekah, tetap dianggap sah. Karena pada saat itu, Islam belum menetapkan aturan yang membatasi perkawinan lintas agama, bagi para

penganutnya. 13 Di samping itu, permusuhan yang dikobarkan kafir Quraisy kapada nabi

Muhammad dan para pengikutnya lebih tampak bernuansa politis daripada

religius. Para pembesar Quraisy berfikir bahwa, kehadiran Muhammad akan memudarkan pengaruh mereka di kalangan masyarakat Arab. Sehingga, dengan bermodalkan isu pencemaran terhadap ajaran nenek moyang, mereka berusaha

menghancurkan karir nabi Muhammad dengan berbagai cara. 14 Namun hal itu

12 Pada umumnya, salah satu dari mereka masuk Islam terlebih dahulu. Kemudian berselang beberapa waktu, pasangan merekapun mengikuti jejak tersebut. Namun, sejak umat

Islam hijrah ke Madinah, mereka yang telah masuk Islam lantas pergi untuk tinggal di Madinah, sedangkan pasangan mereka yang masih kafir tetap berada di Mekah. Perpisahan mereka tersebut dianggap sebagai putusnya tali perkawinan, kecuali suami/istrinya yang berada di Mekah segera menyusul ke Madinah sebelum masa ‘iddahnya habis. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn 'Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), h. 187. Namun jika mereka masuk Islam setelah fath Makkah dan tidak melakukan hijrah, maka status perkawinan mereka tidak putus sampai salah satu dari keduanya juga masuk Islam. Sebagaimana hal ini terjadi pada ‘Âtikah bint al-Walîd ibn al- Mughîrah (istri Safwan ibn Umaiyah) dan Ummu al-Hakîm bint al-Hârits ibn Hisyâm (istri ‘Ikrimah ibn Abu Jahl), keduanya masuk Islam lebih dulu daripada suami mereka. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. II, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 169.

13 ‘Umar ra baru memutuskan tali perkawinan dengan dua istrinya yang masih kufur setelah turun Q.S. 60: 10 di H udaibiyah (6 H). Padahal ia telah masuk Islam sepuluh tahun

sebelumnya, yakni pada bulan Dzul Hijjah tahun ke-6 kenabian, yakni 4 tahun sebelum hijriyah (pada usia 26 tahun). Lihat: ‘Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 100. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Dan juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Sedangkan tentang istri Abû Bakr ra, dapat dilihat dalam beberapa riwayat yang berhubungan dengan sabab al-nuzûl Q.S. 60: 8. Selengkapnya lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Dimasyqî Abu al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/447. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. X/207. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al- Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/299.

14 Dalam hal ini Amstrong menjelaskan, "…. The opposition grew, led by Abu al-Hak am (who is called by Abû Jahl), Abû Sufyan, an extremely intelligent man, who had once been a

personal friend of Muhammad, and Suhail ibn Amr, a devout pagan. They were disturbed by the personal friend of Muhammad, and Suhail ibn Amr, a devout pagan. They were disturbed by the

karena hal itu justru dapat menjadi peluang dakwah penyebaran Islam. 15

Keadaan ini tidak berlarut-larut, karena setelah turun perintah hijrah, nabi dan para sahabat segera meninggalkan Mekah dengan segala atribut syirik yang ada di dalamanya. Mereka rela meninggalkan harta benda dan segala kemewahan yang mereka miliki. Tidak tanggung-tanggung, mereka juga meninggalkan sanak

keluarga yang lebih memilih untuk tinggal di Mekah bersama orang-orang musyrik dengan segala kesesatannya. Dan sejak saat itulah awal terjadinya pemisahan antara orang-orang Islam dan orang-orang musyrik, baik secara

geografis maupun tatanan sosial. 16

idea abandoning the faith of their ancestors; all had relatives who had converted to Islam, and all feared that Muhammad was plotting to take over the leadership of Mecca". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 12. Ambisi politik, sebagaimana dituduhkan orang-orang Quraisy kepada nabi, disangkal oleh turunnya beberapa ayat al-Qur'ân, termasuk Q.S. 74: 1-5, 8-

10, 88: 21-22, yang menyatakan bahwa, fungsi utama beliau adalah sebagai " nadzîr", pemberi peringatan.

15 Penyebaran agama melalui jalan perkawinan dirasa sangat efektif, walau terkadang juga tidak berhasil. Hal ini dapat dilihat, ketika Ghailân ibn Salamah al-Tsaqafî masuk Islam, maka

sepuluh orang istrinya seketika itu juga masuk Islam. Lihat: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al- Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. III, (Beirut: Ihyâ al-Turâts al- 'Arabî, tt), h. 435. Demikian juga dengan Ummu Hakîm bint al-H ârits, setelah masuk Islam, ia menyusul suaminya; ‘Ikrimah ibn Abu Jahl yang melarikan diri ke Yaman dan mengajaknya masuk Islam. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/169. Bahkan Khâlid ibn al-Walîd masuk Islam adalah, setelah nabi menikahi sepupunya; Maimunah. Sebagaimana dinyatakan Safdar, “Khalid son of Walid, a cousin of Maimuna, after her marriage of the prophet, repaired to Medina along with his friend Amr bin Ass in the beginning of the eighth year of hegira, and entered into the new faith”. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, First Published, (New Delhi: Low Price Publications, 1993), h. 181

16 Setelah tiba di Madinah, nabi segera membangun sendi-sendi tatanan sosial sebagaimana dicita-citakan Islam. Beliau mengawalinya dengan membuat piagam Madinah, yang

merupakan perjanjian antara tiga pihak; Muhajirûn, Ans âr, dan Yahudi. Piagam ini menjamin hak sosial maupun beragama antara Muslim-Yahudi, dan menetapkan tugas mereka masing-masing. Materi pokok perjanjian tersebut adalah membentuk satu ummah untuk menghadapi pihak asing, melawan siapapun yang memberontak dan melakukan ketidak-adilan, agresi, maupun menyebarkan permusuhan antara orang-orang beriman. Mereka saling membantu dan bahu membahu. Semua persoalan akan diputus berdasarkan hukum Tuhan dan diajukan kepada Muhammad, untuk memperoleh keadilan. Lihat: Afzal al-Rah mân, Muhammad as Military Leader, terj: Anas siddiq, “Nabi Muhammad saw sebagai Seorang Pemimpin Militer”, Cet. I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 258-259

Kendati demikian, umat Islam tidak dapat terlepas dari komunitas non muslim. Karena di Madinah, mereka harus dapat beradaptasi dan hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi yang lebih dulu menempati daerah itu. Keadaan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Nabi untuk melakukan perjanjian dengan orang-orang Yahudi dalam rangka menjaga keamanan bersama dari ancaman luar, terutama orang-orang kafir Mekah. Namun, pengkhianatan atas perjanjian tersebut, memposisikan mereka bukan lagi sebagai kawan, melainkan

musuh umat Islam. 17 Dalam waktu yang relatif singkat, komunitas muslim Madinah dengan

bermodalkan persatuan dan kebersamaan, mereka mampu menunjukkan prestasi

yang mengagumkan. Hal ini dibuktikan dengan dimenangkannya peperangan besar di Badar. 18 Peristiwa ini tentunya menjadi pukulan berat bagi orang-orang

kafir Mekah, karena tidak mampu menghalau pasukan muslim walaupun dengan jumlah personel yang jauh lebih kecil dari mereka. Sedangkan bagi umat Islam,

17 Di antara pemicu pengkhianatan Yahudi adalah kecemburuan mereka atas perkembangan Islam, sekaligus kekhawatiran jika kelak mereka akan dikuasai komunitas baru

tersebut. Dalam hal ini Safdar Hosain mengungkapkan: “Since after his immigration to Medina, the Jews as already abserved, were jealous of the evergrowing power and authority of the prophet and were contantly giving him trouble: most of them were consequenstly expelled”. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 163.

18 Dalam hal ini Ira M. Lapidus menegaskan, “At the batlle of Badr, Muhammad defeated

a large Meccan force, decimated Mecca’s leadership and won tremendous prestige everywhere in Arabia”. Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h. 31. Dalam riwayat yang disampaikan Ibn ‘Abbâs ra dinyatakan bahwa, perang Badar terjadi pada 17 Ramadan. Dan dengan kekuatan 313 personel, pasukan Madinah mampu mengalahkan pasukan Mekah dengan kekuatan 1.000 tentara, bahkan berhasil menawan 70 orang musyrik. Mereka yang ditawan dapat bebas kembali dengan cara membayar tebusan atau mengajarkan baca-tulis pada anak-anak Madinah. Karena pada saat itu orang-orang Madinah tidak bisa baca-tulis, berbeda dengan orang Mekah. Dan dalam hal ini, Zaid ibn Tsâbit ra juga termasuk salah satu sahabat muda yang mendapat fasilitas pendidikan tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Basrî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. II, Cet. II, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1997), h. 14-16. Kekalahan tersebut, tentuya merupakan pukupan berat bagi penduduk Mekah. Hal ini, memunculkan inisiatif pada mereka untuk membunuh nabi Muh ammad saw secara sembunyi-sembunyi, seperti yang dilakukan oleh ‘Umair ibn Wahhâb. Namun setelah bertemu langsung dengan nabi, ia justru masuk Islam dan kembali pada kaumnya sebagai da’i. Lihat: M. Abd al-Qadîr Abû Fâris, Fî Zilâl al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ghazwah Badr al-Kubrâ wa Ghazwah Uhud, terj. Aunur Rafiq, “Analisis Aktual Perang Badar dan U U hud”, Cet. I, (Jakarta: Robbani Press, 1982), h. 109 a large Meccan force, decimated Mecca’s leadership and won tremendous prestige everywhere in Arabia”. Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), h. 31. Dalam riwayat yang disampaikan Ibn ‘Abbâs ra dinyatakan bahwa, perang Badar terjadi pada 17 Ramadan. Dan dengan kekuatan 313 personel, pasukan Madinah mampu mengalahkan pasukan Mekah dengan kekuatan 1.000 tentara, bahkan berhasil menawan 70 orang musyrik. Mereka yang ditawan dapat bebas kembali dengan cara membayar tebusan atau mengajarkan baca-tulis pada anak-anak Madinah. Karena pada saat itu orang-orang Madinah tidak bisa baca-tulis, berbeda dengan orang Mekah. Dan dalam hal ini, Zaid ibn Tsâbit ra juga termasuk salah satu sahabat muda yang mendapat fasilitas pendidikan tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Basrî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. II, Cet. II, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1997), h. 14-16. Kekalahan tersebut, tentuya merupakan pukupan berat bagi penduduk Mekah. Hal ini, memunculkan inisiatif pada mereka untuk membunuh nabi Muh ammad saw secara sembunyi-sembunyi, seperti yang dilakukan oleh ‘Umair ibn Wahhâb. Namun setelah bertemu langsung dengan nabi, ia justru masuk Islam dan kembali pada kaumnya sebagai da’i. Lihat: M. Abd al-Qadîr Abû Fâris, Fî Zilâl al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ghazwah Badr al-Kubrâ wa Ghazwah Uhud, terj. Aunur Rafiq, “Analisis Aktual Perang Badar dan U U hud”, Cet. I, (Jakarta: Robbani Press, 1982), h. 109

Di lain sisi, kemenangan tersebut juga mampu mendongkrak prestise umat Islam di hadapan non muslim, baik musyrik maupun ahl al-kitâb. Karena dengan hal itu, orang-orang Mekah tidak lagi menganggap remeh umat Islam, yang sebelumnya adalah komunitas kecil, lemah, bahkan terusir dari kampung halamannya sendiri. Umat Islam kini telah berubah menjadi sebuah kekuatan besar, yang sewaktu-waktu dapat menghancurkan mereka dan menguasai kembali daerah asalnya. Ketakutan ini juga dirasakan oleh ahl al-kitâb, terutama Yahudi Madinah. Mereka khawatir jikalau kekuatan muslim menjadi semakin besar,

niscaya mereka akan terusir dari Madinah, atau paling tidak akan dijajah umat Islam. 20 Di samping itu, mereka juga memendam kedengkian yang sangat

mendalam, karena Rasul yang selama ini ditunggu-tunggu, tidak berasal dari komunitas mereka (yang telah lama menjalankan ajaran tauhîd). Namun justru

dari kalangan Quraisy yang mayoritas penduduknya adalah paganis (musyrik). 21 Sebenarnya terdapat orientasi yang berbeda antara orang-orang Mekah dan

Yahudi Madinah, karena permusuhan yang dikobarkan orang-orang Mekah berawal dari sebuah anggapan bahwa, nabi Muhammad telah menodai keyakinan ajaran leluhur. Di samping itu, secara politis mereka khawatir jika kekuatan umat Islam akan dapat mengalahkan pengaruh mereka, atau bahkan menguasai kembali

19 Jumlah pasukan Madinah pada saat itu hanya sekitar 313 orang, sedangkan di pihak Mekah mencapai angka 1000 personel. Namun, dengan kekalahan pasukan yang lebih besar,

menandakan bahwa mereka sudah kehilangan kepercayaan diri untuk menghadapi umat Islam pada peperangan tersebut, terlepas dari keyakinan umat Islam bahwa kemenangan tersebut adalah anugerah dari Allâh SWT. Namun bagaimanapun, kemenangan itu merupakan pemicu semangat bagi nabi dan para pengikutnya didalam melanjutkan perjuangan mereka. Sebagaimana diungkapkan Husein Haikal bahwa, “The effect of the Badr in Medina was, however, much more obvious and more closely connected with survival of Muhammad and his fellows”. Lihat: M Husein Haikal, The Life of Muhammad, translated by Ismail Raj al-Faruqi, (Kuala Lumpur: Islamic Book Truts, 1993), h. 242.

20 Dalam hal ini Husein menegaskan: “The Jews associationists, and hypocrites, felt muslim power increas after Badr. They realized that this alien who came to them less than two

years ago as an ascaping emigrant from Mecca had increased his power and influence almost to the point of dominating not only the muslims but their city as a whole”. Lihat: M Husein Haikal, The Life of Muhammad, h. 242

21 Tentang motifasi orang-orang musyrik di dalam memusuhi nabi, lihat kembali: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 12. Sedangkan perihal orientasi permusuhan ahl al-kitab,

lihat kembali: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 163.

kota Mekah. Sedangkan komunitas ahl al-kitâb memusuhi nabi dan para pengikutnya, lebih didasarkan pada sentiment keagamaan, karena mereka kurang dapat menerima Muhamamd sebagai Rasul terpilih, penutup risalah agama samawi. Di samping juga terdapat kekhawatiran jika, daerah mereka kelak akan

jatuh dan menjadi koloni umat Islam. 22 Kendati berbeda orientasi, namun kedua kelompok non muslim tersebut

mempunyai tujuan yang sama, yaitu menghancurkan Islam, atau paling tidak berusaha memarginalkan mereka. Dan karena kesamaan tujuan itulah, orang- orang Yahudi yang sebelumnya terikat perjanjian dengan komunitas muslim, akhirnya membelot dan bergabung dengan kekuatan pasukan Mekah. Namun

kewaspadaan dan kecekatan umat Islam, dapat mengantisipasi munculnya bahaya besar dari persekongkolan tersebut. Bahkan, akhirnya mereka mampu menundukkan orang-orang Yahudi sebelum berlanjut pada penaklukan kembali

kota Mekah. 23 Merasa dipermalukan dalam peperangan Badar, orang-orang Mekah

kembali mempersiapkan pasukan, yang akan dikirim dalam perang Uh 24 ud.

22 Oleh karenanya, (sebagaian besar dari) mereka menyatakan bahwa, masa kenabian telah berakhir, sehingga mereka tidak bersedia mengikuti ajaran nabi Muh ammad saw. Kendati

demikian, terdapat beberapa orang Yahudi yang dengan suka rela mengikuti ajakan nabi, bahkan menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan orang-orang Yahudi lainnya. Di dalam bukunya, Karen Amstrong, menjelaskan "For Jews, the era of prophecy was over, so it was not surprising that they could not eccept Muhammad… But some of the Jews in the smaller clans were friendly and enhanced Muhammad's knowledge of Jewish scripture". Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 17. Tentang kekhawatiran Yahudi perihal pengaruh Muh ammad saw yang semakin meluas dan sangat mungkin berlanjut pada penaklukan daerah mereka. Lihat kembaliM Husein Haikal, The Life of Muhammad, h. 242. Sentimen agama orang-orang Yahudi dan Nasrani tergambar dalam pernyataan dan perilaku mereka terhadap nabi dan para sahabat. Mereka akan selalu melakukan hal itu sampai nabi dan para pengikutnya mau bergabung dengan agama mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 2: 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu, sampai kamu mengikuti agama mereka”. Untuk beberapa penjelasan dalam hal ini, lihat kembali: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/565. Lihat juga: Abu al-H asan, ‘Alî ibn Ahmad al-Wâhidî, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz , Juz. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 129. Bandingkan: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muh ammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II, Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1404 H), h. 138.

23 Lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 20-22.

24 Perang Uhud terjadi pada hari Sabtu, 7 Syawwal (32 bulan pasca-hijrah). Dalam mempersiapkan perang tersebut, orang-orang Mekah menghimpun dana besar-besaran dari para

donatur. Bahkan Abû Safwan mempelopori usaha tersebut dengan menyumbangkan seluruh hasil perniagaannya yang tak kurang dari 5.000 dinar. Paman nabi, ‘Abbâs ibn Abd al-Mut allib, yang masih tinggal di Mekah (kendati telah masuk Islam), berhasil memberikan informasi tersebut

Namun kali ini, dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Usaha mereka membuahkan hasil, karena pada peperangan tersebut pasukan muslim dibuat kocar-kacir olehnya, bahkan terdengar kabar bahwa Rasulullah terbunuh dalam pertempuran tersebut. Namun, kabar tersebut hanyalah taktik orang-orang munafiq untuk melemahkan barisan muslimin. Akan tetapi semuanya sudah terlambat, karena mental pasukan Madinah sudah terlanjur jatuh, dan akhirnya

pulang dengan derita kekalahan terburuk sepanjang sejarah peperangan nabi. 25 Namun, setelah mereka mengetahui bahwa nabi Muhammad masih hidup,

semangat mereka kembali berkobar dan lebih mematuhi beliau daripada waktu- waktu sebelumnya. Maka sejak saat itulah, pasukan nabi nyaris tidak pernah

menderita kekalahan lagi dalam peperangan berikutnya. Keadaan ini berlanjut sampai pada tahun 6 hijriyah, di saat nabi bersama rombongan sahabat bergegas ke Mekah untuk melaksanakan umrah. Kendati berangkat secara damai dan tidak membawa perlengkapan perang, perjalanan mereka dihentikan oleh penduduk

Mekah di Hudaibiyah, dan akhirnya dibuatlah perjanjian di tempat tersebut. 26

kepada nabi di Madinah. Keseriusan orang-orang kafir Mekah dalam mempersiapkan perang U U hud, mendapat respon dan komentar dari al-Qur’ân dengan turunnya Q.S. al-Anfâl: 36. Lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. II/28

25 Pada awalnya, Rasul saw tidak ingin keluar untuk perang Uh ud, karena adanya isyarat (mimpi) akan timbulnya banyak korban dari pihak muslimin. Namun atas desakan kalangan muda

yang tidak ikut pada peperangan sebelumnya (Badar), nabi akhirnya menyetujui usulan tersebut, asalkan mereka mau mematuhi segala perintah beliau. Namun pengkhianatan 300 orang munâfiq pimpinan Abdullâh ibn Ubay ibn Salûl semakin memperkecil jumlah pasukan Madinah. Padahal jumlah pasukan nabi hanya 1.000 orang, sedangkan dari pihak Mekah berjumlah 3.000 personel. Belum lagi kecerobohan 50 orang (regu) pemanah yang ditempatkan di atas bukit, semakin memperjelas kekalahan pihak nabi. Sehingga pada saat itu tercatat 8 orang Muhâjirûn dan 70 Ansâr terbunuh, sedangkan dari pihak Mekah hanya 13 orang saja. Bahkan Rasulullah terluka parah, dengan wajah berlumuran darah dan gigi depannya tanggal, namun nyawanya masih terselamatkan setelah ditemukan oleh Ka’b ibn Mâlik ra, yang kemudian disusul turunnya Q.S. 3: 144. Lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. II/29-

26 Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Dzul Hijjah, 6 H. Yang mana dengan 70 ekor unta dan 20 kuda, rombongan umrah dari Madinah yang berjumlah lebih dari 1.400 orang berangkat

menuju Mekah, tanpa membawa senjata tajan selain hanya pedang yang tetap berada dalam sarungnya. Secara politis, perjalanan umrah tersebut merupakan bukti bahwa, pengaruh dan posisi kaum muslimin (pada saat itu) semakin kuat. Walaupun pada akhirnya, perjalanan mereka dihentikan oleh perjanjian H udaibiyah yang memutuskan adanya penundaan umrah sampai pada tahun berikutnya. Namun, setelah perjanjian tersebut dilanggar oleh orang-orang Mekah, nabi segera merencanakan pembebasan kota Mekah ( fath Makkah) pada 2 tahun berikutnya, yang hanya merupakan unjuk kekuatan tanpa adanya pertumpahan darah. Lihat: Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 28. Bagi orang-orang Yahudi Madinah, perjanjian tersebut merupakan suatu hal yang sangat merugikan mereka. Karena orang-

Perjanjian Hudaibiyah merupakan usaha penduduk Mekah untuk menghambat perkembangan gerakan kaum muslimin. Namun, di sisi lain hal itu membuktikan ketakutan mereka akan pengaruh nabi Muhammad yang semakin

hari semakin besar, bahkan di kalangan orang-orang Mekah sendiri. 27 Oleh karenanya, dalam perjanjian tersebut diatur beberapa hal yang menghalangi

penduduk Mekah berpindah ke Madinah, kendati mereka adalah orang Islam. Namun berdasarkan Q.S. 60: 10 yang turun setelah perjanjian tersebut baru saja selesai dibuat, nabi menolak untuk mengembalikan para wanita beriman yang

hijrah pada saat itu. 28 Keberanian nabi untuk tidak memulangkan para wanita tersebut kembali

ke Mekah menunjukkan bahwa beliau telah berani mengambil sikap politik, terlepas dari kenyataan bahwa hal itu adalah perintah wahyu. Namun ternyata para pembesar Mekah sama sekali tidak menolak keputusan tersebut. Karena dalam tradisi mereka, wanita bukan termasuk kekuatan perang yang layak diperhitungkan. Namun bagaimanapun, kehadiran para wanita tersebut tentunya semakin menambah deretan pengikut nabi yang bergabung dengan para sahabat

lain di Madinah, dan menjadikan jumlah mereka semakin besar. 29

orang Mekah (sekutu mereka), telah melakukan perjanjian damai dengan musuh besar keduanya, yakni umat Islam. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 163-164.

27 Di dalam bukunya, Lapidus menyatakan: “At one level, the treaty (Hudaibiya) was an embarrassment to Muhammad, but at another he made tremendous gains. Meccan hostility was

allayed, and the treaty convirmed what Meccan failures at the battles of Uhud and the Dicht that shown that Muhammad was a power to contend with and that Mecca had given up her efforts to defeat him. Sniffing the wind Arabian tribes continued to throw in their lot with Muhammad”. Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 32. Sebagian sahabat, terutama ‘Umar ibn al-khattâb ra, tidak sabar dengan perlakuan orang-orang kafir Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah, yang tampak sangat merugikan umat Islam. Dan menginginkan lebih baik berperang daripada harus mengalah dengan orang musyrik. Bahkan ‘Umar ra mendesak Rasul saw dan Abû Bakr ra agar tidak terlalu mengalah kepada mereka. Lihat: Sir John Glubb, The Life and Times of Muhammad, (England: Medison Books, 1998), h. 270

28 Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn

Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9.

29 Dalam hal ini, Safdar menegaskan, “The peace at Hudaibiya was the prophet’s glorius victory over the Meccans: by virtue of the treaty every individual, each family, clan or tribe was at

liberty to side with the prophet, to profess his creed, to influence others, to acknowledge him as his spiritual leader, to offer prayers in accordance with his teaching without any risk of persecution from the unbelievers, who were now powerless to ill treat them or to put a ban on them”. Lihat: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 158. Bahkan yang paling mengejutkan adalah masuk Islamnya bebarapa pahlawan dan pembesar Mekah, termasuk Khâlid ibn al-Wâlid. Sebagaimana dinyatakan H. U. Rahman: “One of the most sicnificant consequence of the

Suami maupun istri sahabat yang tidak masuk Islam dan masih tinggal di Mekah, status perkawinan mereka dengan para sahabat masih dianggap sah, sampai turun Q.S. 60: 10. Pada ayat tersebut terdapat ketentuan yang menetapkan putusnya hubungan perkawinan antara para sahabat dengan suami ataupun istri mereka yang masih berbeda keyakinan. Dan sejak saat itulah, Islam mempunyai konsep yang lebih jelas tentang status perkawinan lintas agama. Namun jika dicermati dari kasus di atas berikut ayat yang turun tentangnya, maka akan terlihat bahwa ketentuan tersebut mengatur tentang perubahan status perkawinan, menjadi tidak sah. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, Islam sama sekali tidak

memberikan penilaian terhadap perkawinan tersebut. 30

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sampai pada tahun 6 H, umat Islam telah mencapai status sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya, bahkan sejajar dengan non muslim baik di Mekah maupun Madinah. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan mereka untuk tidak mengembali-kan para wanita muslimah kepada suami ataupun keluarganya di Mekah. Begitu juga dengan ketegasan Islam untuk memutuskan hubungan perkawinan lintas agama bagi umatnya. Hal ini membuktikan bahwa kecintaan mereka terhadap Islam terbukti telah mengalahkan

segalanya. 31

prophet’s increasing prestige at this point in time was, the conversation of Khalid bin Walid (d. 641) and ‘Amr bin ‘Ass (d. 663), who later provided themselves to be the greatest military commanders of the muslims”. Lihat: H. U. Rahman, A Chronology of Islamic History, 570-1000 C.E., (London: East-West University Islamic Studies, 1989), h. 15.

30 Lihat kembali (tentang putusnya perkawinan): Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Lihat juga:

Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVIII/55 (tentang terjadinya perkawinan antara putri Rasul “Zainab” dengan seorang musyrik, Abû al-‘Âss ibn al-Rabî’)

31 Para sahabat membuktikan bahwa kecintaan mereka kepada Islam melebihi segalanya, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Abû ‘Ubaidah ra yang

rela berhadapan dengan ayahnya sendiri (pada saat perang Badar), bahkan ia berhasil membunuhnya. Dan kemudian, turunlah Q.S. 58: 22. "Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allâh dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allâh dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara- saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya…". Untuk beberapa penjelasan dalam hal ini lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr, Abu al-Fidâ’ al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/343. Kecintaan kepada Islam berarti juga cinta kepada Rasul pembawa risalahnya, bahkan melebihi rasa cinta terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, terdapat beberapa riwayat, terutama tentang dialog antara nabi saw dan ‘Umar ra. Selengkapnya

Materi perjanjian Hudaibiyah, jika dicermati secara redaksional sangat merugikan umat Islam, kendati demikian kekuatan mereka menjadi semakin besar setelah peristiwa tersebut. Karena tidak lama kemudian, Rasulullah saw mengirimkan beberapa delegasi ke luar Madinah, untuk menyampaikan surat beliau kepada para pembesar setempat agar mereka masuk Islam, atau paling tidak mengenal agama tersebut. Langkah ini ternyata membuahkan hasil yang sangat memuaskan, karena tidak lama setelah itu, datang beberapa delegasi; perwakilan dari berbagai daerah, untuk melakukan bai’at kepada Rasulullah dan menyatakan

masuk Islam. 32 Bahkan banyak di antara mereka yang kemudian tinggal di Madinah bersama para sahabat lainnya. Komunitas yang semakin besar tersebut,

33 tentunya akan semakin memperkuat posisi mereka di Madinah.

Perjanjian Hudaibiyah juga membawa keuntungan bagi penduduk Mekah. Karena dengan tetap tinggalnya beberapa keluarga sahabat di sana, dapat mereka jadikan sebagai senjata untuk memeras kelompok muhajirin. Sebagaimana hal ini dialami oleh Hâtib ibn Abî Balta’ah, salah seorang pejuang dalam perang Badar, yang rela menjadi informan bagi orang-orang Mekah untuk memberitahukan kepada mereka segala perkembangan dan aktifitas kaum muslimin di Madinah, terutama tentang persiapan perang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena

lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. VI/2445. Lihat juga: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. V, (Kairo: Muassasah Qart abah, tt), h. 293. Bandingkan dengan: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. I/102.

32 Di antara para sahabat yang menjadi delegasi dalam usaha tersebut adalah: (1) ‘Amr ibn Umaiyyah al-Dumrî, diutus kepada raja Najâsyî, (2) Dih yah ibn Khalifah al-Kalbî, menghadap

Qaisar lewat pembesar Busrâ, (3) ‘Abdullâh ibn H udzafah al-Sahmî, menghadap raja Kisrâ, (4) Mu’adz ibn Jabal, diutus untuk penduduk Yaman, (5) Sujâ’ ibn Wahb al-Asadî, menghadap H ârits ibn Abi Syâmir al-Ghassânî, (6) Salît ibn ‘Amr al-‘Amirî, diutus untuk H andah ibn ‘Alî al-H anafî. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al-Kubrâ, Juz. I/198-209.

33 Di antara sahabat yang melakukan perihal di atas adalah, Abû Hurairah ra. Ia masuk Islam ketika masih berada di daerahnya (Daus), kemudian datang ke Madinah hendak menemui

Rasul, namun beliau sedang pergi ke Khaibar. Dan setelah s alat berjamaah dengan Sibâ’ ibn ‘Arfatah al-Ghiffârî (pengganti Rasul saw di Madinah), ia kemudian menyusul Rasulullah saw, dan berperan serta dalam penaklukan Khaibar. Dan setelah peristiwa tersebut, Abû Hurairah tinggal di Madinah, bahkan sampai wafat (tahun 57 di Mekah). Lihat: Muh ammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustîy, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Juz. XI, Cet. II, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1993), h. 187. Lihat juga: Sulaimân ibn al-Asy’ats Abû Dâwûd al- Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. I, Muhaqqiq: M. Muhyî al-Dîn Abd al-Hamîd, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 447.

segera diketahui oleh nabi Muhammad melalui malaikat Jibrîl, yang kemudian disusul dengan turunnya wahyu sebagai peringatan atas pelanggaran tersebut. 34

Kendati tindakan Hâtib ra di atas sangat membahayakan keamanan di Madinah, namun karena ia melakukannya di bawah tekanan lawan, maka Rasulullah saw tidak menjatuhkan hukuman kepadanya. Apalagi ia juga tercatat sebagai salah satu pahlawan dalam perang Badar, yang telah mempertaruhkan segalanya demi kelangsungan perjuangan Islam. Peristiwa tersebut semakin menumbuhkan kewaspadaan umat Islam di Madinah, karena sangat mungkin

masih terdapat sahabat lain yang melakukan pelanggaran serupa. 35 Namun ternyata tidak demikian, karena setelah terbongkarnya sindikat

Mekah yang juga melibatkan Hâtib, akses informasi Mekah terputus dari orang- orang Madinah. Sehingga mereka tidak dapat mengetahui segala persiapan Madinah untuk melakukan penaklukan Mekah. Dan ketika saat itu tiba, pasukan muslim dapat melakukannya tanpa peperangan, maupun pertumpahan darah sedikitpun. Kekuatan pasukan Madinah yang begitu besar ternyata dapat menjadikan penduduk Mekah gentar, sehingga sama sekali tidak ada perlawanan dari mereka. Dan dengan kemenangan tersebut, umat Islam telah membuktikan bahwa mereka bukanlah komunitas lemah yang mudah dipermainkan dan ditindas. Mereka yang dulu dihina dan terusir dari kampung halaman, kini kembali dengan penuh kekuatan dan kemulyaan. Bahkan keadaan telah berubah,

34 Dalam usaha membongkar sindikat tersebut, Rasulullah saw menugaskan tiga orang sahabat; ’Alî ibn Abî Tâlib ra, Zubair ibn ‘Awwâm ra, dan Miqdâd ra, untuk menemukan seorang

perempuan musyrik pembawa pesan dari Hâtib untuk orang-orang Mekah. Dan setelah diinterogasi cukup lama, akhirnya perempuan tersebut mengaku, mengeluarkan sepucuk surat, serta menyerahkannya kepada para utusan Rasul tersebut, dan setelah itu turunlah Q.S. 60: 1. Lihat: Ahmad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/179. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/409. Dan juga: Sulaimân ibn al-Asy’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. II/54.

35 Jasa-jasa Hâtib bukan hanya itu, karena pada bulan Dzul H ijjah ia menjadi delegasi nabi ke Iskandariyah menemui Muqauqis, penguasa daerah tersebut, bersama dengan lima sahabat

lainnya. Dan berhasil kembali ke Madinah dengan membawa beberapa hadiah dari Muqauqis, termasuk dua budak perempuan; Mariyah dan Sîrîn (yang telah masuk Islâm), pada tahun 7 H. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al- Nihâyah, Juz. IV/180, 236. Ia termasuk salah seorang sahabat yang dapat menemui tiga masa khalifah setelah Rasulullah saw, dan akhirnya meninggal pada masa pemerintahan ‘Utsmâm ibn al-‘Affân ra. Lihat: Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 148.

karena umat Islam telah menjadi komunitas dengan status sosial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan non muslim, baik musyrik maupun 36 ahl al-kitâb.

Dalam keadaan demikian, bisa saja umat Islam balik melakukan penindasan kepada mereka, seperti tradisi yang telah lama berkembang pada saat itu. Namun hal itu tidak dilakukan, karena pada hakekatnya Islam membawa misi perdamaian, walaupun untuk mewujudkannya terkadang harus melalui perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan, yang tentunya butuh pengorbanan, bahkan pertumpahan darah. Tidak hanya itu, umat Islam juga siap menjamin keamanan bagi mereka yang telah ditaklukkan, melalui proses perjanjian penanggungan. Bahkan mereka akan diperlakukan sejajar dengan umat

Islam, jika telah menyatakan dua kalimat syahadat.

36 Penaklukan Mekah merupakan peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Islam. Karena, peristiwa tersebut merupakan puncak kemenangan nabi dan para sahabat dalam

memperjuangkan akidah (Islâm) di daerah mereka sendiri. Oleh karenanya, setelah peristiwa tersebut, nabi menegaskan bahwa sejak saat itu umat Islam yang masih tinggal di Mekah tidak perlu lagi hijrah ke Madinah, walaupun telah melakukan bai’at masuk agama Islam. Di samping itu, beliau juga mengumumkan bahwa Mekah adalah kawasan aman dan bebas pertumpahan darah. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al- Mukhtasar, Juz. II/575, III/1120. Fath Makkah merupakan bukti janji Allâh kepada nabi Muhammad dan umat Islam atas anugerah kemenangan, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al- Nasr/110: 1-3 yang telah turun sebelumnya. Oleh karenanya pada saat fath Makkah Rasulullah saw memperbanyak dzikir dengan bacaan tasbîh, tahmîd, dan istighfâr. Dan walaupun Rasul menegaskan perihal tidak adanya hijrah pasca penaklukan Mekah, namun beliau tetap mengumandangkan jihad sebagai bagian dari Islam. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al- Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. I/350, II/986.

37 Setelah Mekah dapat dikuasai umat Islam, nabi tidak melakukan balas dendam atas perlakuan penduduk Mekah pada masa-masa sebelumnya, bahkan beliau memaafkan mereka

semua. Dalam hal ini Masudul Hasan menjelaskan, “The holy prophet grented general amnesty to the people of Mekah there were to be no reprisals and no revenge. In the hour at triumph the holy prophet and his followers freely forgave every body and forgot the persecutions. They had suffered at the hands of the Quraisy in the early days of Islam. All the people of Mekah offered their allegiance to the holy prophet and accepted Islam. That was a major revolution in the history of mankind”. Lihat: Masudul Hasan, History of Islam, Vol. I, Revised Edition, (Chitli Qabar, Delhi: Adam Publishers and distributors, 1995), h. 73. Walaupun Rasulullah memberikan maaf dan pengamanan secara umum pada penduduk Mekah, namun terdapat beberapa orang yang tidak mendapatkan fasilitas tersebut dan tetap menjadi target pencarian umat Islam. Bahkan Rasul memberi instruksi agar mereka dibunuh, jika ketahuan bergelayutan di kelambu ka’bah. Mereka adalah ‘Ikrimah ibn Abî Jahl, Abdullâh ibn Khat l, Maqîs ibn Sabâbah, Abdullâh ibn Saîb ibn Abî Sarah (saudara radâ’ ‘Utsmân ibn al-‘Affân), Dan dua orang perempuan. Namun mereka dapat dimaafkan, ketika telah menyatakan masuk Islam dan berbai’at di hadapan nabi, seperti yang dilakukan oleh ‘Ikrimah ibn Abî Jahl dan Abdullâh ibn Saîd ibn Abî Sarah. Selengkapnya lihat: Sulaimân ibn al-Asy’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abî Dâwûd, Juz. II, Muhaqqiq: M. Muhyî al-Dîn Abd al-Hamîd, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt, h. 65. Lihat juga: Ah mad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân al-Nasâ’î, al-Mujtabâ min al-Sunan, Muhaqqiq: Abd al-Fattâh Abu al-Ghâdah, Juz. VII, Cet. II, (H alb: Maktabah al-Matbû'ât al-Islâmiyah, 1986), h. 105.

2. Penaklukan Kota Mekah sebagai Wujud Peningkatan Status Sosial Umat Islam. Peristiwa penaklukan kota Mekah, atau biasa disebut dengan fath Makkah

merupakan titik balik sejarah umat Islam generasi pertama, yang mengawali perjuangan mereka dengan segala pengorbanan, dan berakhir dengan tersampaikannya misi (ajaran Islam) di wilayah itu. Orang-orang yang sebelumnya dihina, dan tersingkir dari pergaulan sosial, kini telah menjadi penguasa di wilayah tersebut. Penyebaran ajaran tauhîd (Islam) yang pada awalnya dituduh sebagai tindakan makar, telah berubah menjadi kebiasaan dan dianggap sebagai hal yang wajar.

Setelah Mekah dikuasai kembali oleh umat Islam, berarti mereka telah dapat menyatukan dua daerah (Mekah-Madinah) yang sebelumnya merupakan basis musyrik dan ahl al-kitâb. Tidak cukup hanya itu, kaum muslimin juga bertindak sebagai penguasa dari kedua kelompok dimaksud, yang memegang kebijakan atas segala sesuatu. Dengan demikian, umat Islam dapat menjalankan tata kehidupan yang Islami dan mengendalikan kedua kelompok non muslim

tersebut, serta memperlakukan mereka sesuai dengan petunjuk ajaran Islam. 38 Berkaitan dengan perkawinan lintas agama, setelah fath Makkah turun

Q.S. 5: 5 yang menjelaskan kebolehan lelaki muslim mengawini wanita muhsanât

38 Pada dasarnya, Islam adalah ajaran tauhîd berbasis akhlak (moralitas), sehingga jika diterapkan dengan benar, tidak akan ada alasan bagi non muslim untuk tidak menerima ataupun

hidup berdampingan dengannya. Karena misi utama nabi Muh ammad saw dalam menyebarkan Islam adalah, untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti manusia, sebagaimana disampaikan dalam sabdanya: “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allâh) adalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur (mulya)”. Lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II, (Kairo: Muassasah Qart abah, tt), h. 381. Lihat juga: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Adab al-Mufrad, Cet. III, Muhaqqiq: M. Fuad Abd al-Bâqî, (Beirut: Dâr al-Basyâir al-Islâmiyah, 1989), h. 104, kedua kitab tersebut menggunakan redaksi “ Sâlih al-Akhlâq”. Bandingkan dengan: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn 'Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. X/191. Dan juga dengan: Muh ammad ibn Salâmah ibn Ja’far Abû Abdillâh al-Qad â’î, Musnad al-Syihâb, Juz.II, Cet. II, Muhaqqiq: Hamdî ibn Abd al-Majîd al-Salafî, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1986) , h. 192, keduanya menggunakan redaksi “ Makârim al-Akhlâq”. Masih berkaitan dengan hal ini, Masudul Hasan mencoba memberikan sebuah ilustrasi, “In Islam, religion is the mainstay of morality. What scientific ethics call the search for the ideal, Islam calls the search for god. What Plato calls the “good”, Islam calls “god”. This is because life originates in the unity of existence which is a manifestation of the unity of god. The holy prophet held that the moral laws are the reflection of the atributes of the almighty god, and the moral consists in following his attributes as far as possible”. Lihat: Masudul Hasan, History of Islam, h. 86.

dari kalangan ahl al-kitâb. Namun tidak sebaliknya, karena tak satupun terdapat penjelasan yang memperbolehkan wanita muslimah dinikahi oleh lelaki ahl al-

kitâb. 39 Dan terlepas dari perdebatan apakah ahl al-kitâb itu termasuk musyrik atau bukan, kebolehan tersebut merupakan bukti bahwa umat Islam pada saat itu

berada di atas puncak kejayaannya. Di samping itu, dominasi lelaki juga masih begitu kental dalam keluarga ataupun masyarakat secara luas. Hal ini sekilas tampak sejalan dengan ajaran Islam, dalam menentukan posisi suami sebagai tulang punggung suatu keluarga, yang kepadanya tanggung jawab utama

dibebankan, dan kepadanya pula nasab anak-anak mereka dihubungkan. 40

Oleh karenanya, dengan memperbolehkan perkawinan antara lelaki

muslim dengan wanita ahl al-kitâb, Islam telah mengajarkan suatu toleransi yang tidak merugikan, bahkan menguntungkan kedua belah pihak. Karena dengan perkawinan tersebut, ahl al-kitâb yang pada dasarnya berada dibawah umat Islam, status sosisalnya akan terangkat. Demikian juga dengan anak-anak yang

39 Di dalam menjelaskan ayat tersebut, para mufassir baik dari kalangan sahabat maupun tabi’î, menghubungkannya dengan penjelasan Q.S. 5: 51, “ wa man yatawallahum minkum fa

innahû minhum”, yakni jangan sampai umat Islam condong untuk mengikuti ajakan serta pengaruh perempuan tersebut. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Lihat juga: Abu al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/28. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al- Qur’ân, Juz. VI/74. Juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22.

40 Sekilas tampak sama antara prinsip keluarga pada masyarakat Arab pra-Islam dengan konsep keluarga dalam Islam. Namun, jika dicermati lebih dalam, terdapat perbedaan yang

mendasar antara keduanya. Pada masyarakat Arab jahiliyah (pra-Islam), seorang istri atau anak perempuan kurang mendapatkan perhatian, bahkan keberadaannya seringkali tidak diperhitungkan baik dalam keluarga, maupun masyarakat secara luas. Namun, ketika mereka tidak berada di bawah kekuasaan lelaki, dan mampu menunjukkan potensi diri ataupun memenangkan persaingan dengan komunitas lawan jenisnya tersebut, tak pelak kemulyaanpun didapatkannya. Hal ini dapat kita lihat pada sosok Khadijah bint Khuwailid, yang mana dalam kesendiriannya ia adalah seorang pengusaha kaya raya, yang bahkan dapat mempekerjakan sekian banyak lelaki (termasuk nabi Muhammad) untuk menjalankan usahanya. Dengan demikian, tampak bahwa kemulyaan pada saat itu hanya didasarkan pada kekayaan dan kedudukan dalam komunitas sosial. Sedangkan hak asasi yang (secara umum) dibawa oleh seluruh kaum perempuan (sejak lahir) kurang mendapatkan perhatian. Kenyataan tersebut tentu saja berbeda dengan prinpis-prinsip keluarga dalam Islam, yang mana terdapat kesetaraan antara lelaki dan perempuan, kendati masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al- Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. II/293, III/129. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Juz. I/521, II/211. Bandingkan dengan perjelasan ‘Umar ra tentang perlakuan Islam terhadap perempuan, lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. IV/1866. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. I/350, II/986 mendasar antara keduanya. Pada masyarakat Arab jahiliyah (pra-Islam), seorang istri atau anak perempuan kurang mendapatkan perhatian, bahkan keberadaannya seringkali tidak diperhitungkan baik dalam keluarga, maupun masyarakat secara luas. Namun, ketika mereka tidak berada di bawah kekuasaan lelaki, dan mampu menunjukkan potensi diri ataupun memenangkan persaingan dengan komunitas lawan jenisnya tersebut, tak pelak kemulyaanpun didapatkannya. Hal ini dapat kita lihat pada sosok Khadijah bint Khuwailid, yang mana dalam kesendiriannya ia adalah seorang pengusaha kaya raya, yang bahkan dapat mempekerjakan sekian banyak lelaki (termasuk nabi Muhammad) untuk menjalankan usahanya. Dengan demikian, tampak bahwa kemulyaan pada saat itu hanya didasarkan pada kekayaan dan kedudukan dalam komunitas sosial. Sedangkan hak asasi yang (secara umum) dibawa oleh seluruh kaum perempuan (sejak lahir) kurang mendapatkan perhatian. Kenyataan tersebut tentu saja berbeda dengan prinpis-prinsip keluarga dalam Islam, yang mana terdapat kesetaraan antara lelaki dan perempuan, kendati masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al- Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. II/293, III/129. Lihat juga: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Juz. I/521, II/211. Bandingkan dengan perjelasan ‘Umar ra tentang perlakuan Islam terhadap perempuan, lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. IV/1866. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. I/350, II/986

Dan kenyataan di atas tidak akan terwujud, jika seorang wanita muslimah menjadi istri lelaki ahl al-kitâb, karena perkawinan tersebut justru akan menyebabkan harkat dan martabat keluarga mereka jatuh. Di samping itu, anak- anak mereka kelak tentunya akan dihubungkan dengan ayah mereka yang non muslim tersebut. Hal ini akan menempatkan anak-anak tersebut pada strata sosial yang sejajar dengan ahl al-kitâb, padahal ibu mereka adalah seorang muslimah,

yang berstatus sosial lebih tinggi. 41

Di lain pihak, umat Islam juga diuntungkan dengan perkawinan tersebut, karena dengan demikian, umat Islam akan semakin mudah dalam menyebarkan

ajaran Islam. 42 Apalagi, jika lelaki tersebut adalah orang yang betul-betul memahami persoalan agama dan menjalankan syari’at dengan baik, tentunya akan

dapat dengan mudah menyadarkan istrinya itu. Karena Islam datang untuk menyempurnakan agama-agama samawî sebelumnya, maka sebenarnya tidak terdapat pertentangan antara agama mereka. Belum lagi masalah keimanan, di mana seorang muslim mengakui semua utusan Allâh SWT, termasuk rasûl-rasûl

41 Sebagai perbandingan, lihat penjelasan Sayyid Qutub bahwa perkawinan tersebut merupakan bentuk toleransi umat Islam terhadap non nuslim, Lihat: Sayyid Qut ub, Fî Zilâl al-

Qur’ân, Juz. VI, (Beirut: Dâr-Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), h. 32. Namun, jangan sampai alasan toleransi tersebut justru akan merugikan umat Islam sendiri, terutama berkaitan dengan kehidupan akhirat kelak. Oleh karenanya, Quraish Shihab menegaskan bahwa, tidak dibenarkan melakukan kawin beda agama dengan wanita ahl al-kitâb bagi orang yang tidak dapat menampakkan kesempurnaan Islam, apalagi terdapat indikasi bahwa kelak ia akan terpengaruh ajaran non Islam tersebut. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. III, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 30.

42 Banyak tokoh Islam klasik yang berhasil menjadikan perkawinan sebagai media dakwah. Karena dengan kedekatan hubungan suami-istri, seseorang akan sangat mudah untuk

mendidik pasangannya, walaupun pada hekekatnya hanyalah Allâh yang dapat memberi hidayah. Apalagi sebagai suami, yang tentunya akan menjadi panutan dan penanggung jawab utama dalam keluarga, lelaki sangat mungkin akan dapat membimbing istri dan anak-anak mereka dengan baik, berdasarkan ajaran Islam. Di antara tokoh Islam yang dapat melakukan hal ini adalah, ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra. Di mana pada beberapa tahun terakhir pemerintahannya, ia menikahi seorang wanita Nasrani, Nâ’ilah bint al-farâfis ah, yang kemudian menjadi seorang muslimah yang taat. Lihat: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Us fûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Muhaqqiq: Akram Diyâ al-‘Umarî, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1397), h. 34. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. No. Hds. 13759. Bandingkan dengan: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, al- Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/163.

yang diutus kepada ahl al-kitâb, padahal ahl al-kitâb tidak mengakui rasul yang diutus untuk umat Islam. Dengan demikian, sangat mungkin istri-istri mereka akan beriman juga kepada nabi Muhammad saw berkat keimanan umat Islam yang lebih luas tersebut.

Walaupun untuk saat ini dominasi lelaki tidak sebesar masa dulu lagi, namun bagaimanapun dalam sebuah keluarga, suami adalah pemimpinnnya. Dan dialah penanggung jawab utama dalam keluarga tersebut. Dengan demikian, perbedaan aturan hukum antara lelaki dan perempuan dalam perkawinan lintas agama bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan. Karena hal itu justru untuk melindungi hak-hak perempuan, agar mereka tidak berada di bawah kekuasaan

43 lelaki yang salah dan menyesatkan kehidupan akhirat mereka.

Dari sekian ayat yang turun berkaitan dengan perkawinan lintas agama, terdapat perbedaan antara wanita musyrik dan ahl al-kitâb dalam kewenangannya menikah dengan seorang musyrik. Perbedaan tersebut tentunya berawal dari sebuah kenyataan bahwa, terdapat unsur-unsur tertentu yang melatar belakangi hal itu, yang tidak lain adalah masalah ketuhanan. Seorang ahl al-kitâb, dengan segala penyelewengan ajaran agamanya, masih mengakui Allâh sebagai tuhan mereka. Walaupun di dalam bertauhîd kepada-Nya, mereka mengotori keyakinan tersebut dengan menganggap bahwa Allâh mempunyai anak; yaitu ‘Uzair as/Ezra bagi

43 Perbedaan tugas dan tanggung jawab (antara suami-istri) dalam keluarga, tampaknya berkaitan erat dengan potensi dasar mereka secara kodrati, baik fisik maupun psikhis, walaupun

dalam beberapa kasus tertentu terdapat pengecualian, dimana seorang lelaki terkadang tampak lebih feminim ataupun perempuan yang kelihatan maskulin. Dan juga dalam beberapa kasus, terdapat perempuan yang mempunyai potensi keunggulan melebihi lelaki. Namun terlepas dari itu semua, karakter dasar mereka pastilah mencerminkan jenis kelamin masing-masing, yang tentu saja berbeda. Dan dari perbedaan itu pula, agama memberikan tugas dan tanggung jawab yang berbeda antara mereka. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa ayat al-Qur’ân terutama tentang perkawinan, misalkan Q.S. al-Nisâ’/4: 34. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka...”. Dalam hal ini, al-T abarî menjelaskan bahwa lelaki bertanggung jawab atas wanita untuk mendidik dan membimbing mereka di dalam menjalankan segala kewajiban. Kelebihan yang dimaksud dalam ayat tersebut, disebabkan oleh kewajiban yang diembannya atas perempuan; baik mahar, nafkah, dan segala pembiayaan lainnya. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/59. Lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Dimasyqî Abû al-Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/361. al-Qurtûbî menambahkan penjelasan dengan beberapa riwayat tentang sabab al-nuzûl. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. I/161.

orang-orang Yahudi, dan Îsâ as/Jesus bagi Nasrani. Kendati demikian, mereka tidak mengingkari Allâh SWT sebagai tuhan bagi alam semesta, yang kepada-Nya

segalanya bergantung. 44 Hal ini berbeda dengan musyrik yang sejak awal telah meyakini adanya

tuhan, yang selain dan bukan Allâh SWT. Sehingga mereka menafikan Allâh SWT sebagai tuhan bagi alam semesta. Walaupun dalam berargumentasi di depan nabi, mereka menyatakan bahwa mereka hanya menganggap para malaikat

sebagai anak-anak Allâh, bukan tuhan. 45 Demikian juga dengan berhala-berhala yang mereka puja tak lebih hanyalah sebagai perantara untuk menuju kepada

Allâh. 46 Argumentasi tersebut ternyata tidak benar, karena aktifitas ritual mereka

44 Sebenarnya terdapat perbedaan orientasi, antara pengakuan Yahudi dan Nasrani di dalam menghubungkan tokoh-tokoh mereka kepada Allâh SWT. Karena dalam pernyataan orang-

orang Yahudi, bahwa ‘Uzair atau Ezra adalah anak Allâh, tak lebih hanya sekedar penghormatan atas jasa-jasanya di dalam menghimpun, mengkodifikasi, sekaligus mengedit kembali naskah- naskah kitab Taurât yang hilang ketika Jerussalem dihancurkan oleh raja Babilonia, Bukhtanasser. Dan untuk menghormati jasa besarnya tersebut, orang-orang Yahudi memberikan predikat itu, karena ia dianggap sebagai orang yang sangat dekat dengan Allâh SWT. Sedangkan orang-orang Nasrani menyatakan hal serupa memang untuk menganggap ‘Îsâ as benar-benar sebagai anak Allâh. Lihat: Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’ân, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 175. Apa yang dilakukan orang-orang Yahudi di atas, tampaknya tidak jauh berbeda dengan pengakuan Yahudi-Nasrani (di hadapan nabi saw) bahwa mereka adalah anak-anak Allâh (lihat: Q.S. 5: 18,…Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allâh dan kekasih-kekasih-Nya"). Dan tentunya pengakuan tersebut bukanlah untuk mencari hubungan secara biologis, melainkan tingkat kedekatan mereka kepada Allâh. Namun hal itu, juga disangkal oleh al-Qur’ân: “Maka mengapa Allâh menyiksa kamu karena dosa-dosamu?”. Beberapa riwayat menjelaskan bahwa ayat tersebut berkaitan erat dengan Q.S. 2: 111 tentang pernyataan Yahudi-Nasrani bahwa hanya merekalah yang akan masuk surga, karena mereka berhubungan dengan nabi-nabi yang dianggap sebagai anak Allâh. Mereka mengaku tidak akan disiksa, toh kalau hal itu terjadi pasti tidak akan lebih dari 40 hari, sebagaimana pada peristiwa penyembahan terhadap patung anak sapi ( al-‘ijl). Untuk beberapa penjelasan lainnya, lihat: Mu hammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/468. Lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr Abû al-Fidâ’al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/248. Dan juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. II/8.

45 Orang-orang kafir Mekah sangat membenci anak-anak perempuan. Oleh karenanya, ungkapan mereka bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh merupakan suatu

ejekan kepada nabi Muhammad saw. Adapun di antara ayat-ayat yang menjelaskan perihal tersebut ialah: Q.S. al-S affât/37: 149. “Tanyakanlah (wahai Muh ammad) kepada mereka (orang- orang kafir Mekah): "Apakah untuk Tuhanmu anak-anak perempuan dan untuk mereka anak laki- laki””. Juga Q.S. al-Nah l: 57: “Dan mereka menetapkan bagi Allâh anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (Yaitu anak- anak laki-laki)”.

46 Di antara ayat-ayat yang menjelaskan argumentasi di atas ialah Q.S. al-Ah qâf/46: 28: “Maka mengapa yang mereka sembah selain Allâh sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada

Allâh) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan”.

membuktikan bahwa, bukanlah Allâh yang menjadi tujuan ibadah tersebut, melainkan sesembahan itu sendiri. Hal ini terbukti dengan dilakukannya ibadah (ritual) yang sama sekali tidak serupa dengan satupun agama samawî yang pernah diturunkan oleh Allâh SWT, karena memang ibadah tersebut tidak ditujukan

kepada Allâh SWT. 47 Setidaknya berdasarkan kenyataan di atas, Islam membedakan perlakuan

antara wanita musyrik dan ahl al-kitâb dalam perkawinan lintas agama, dengan seorang muslim. Dan menurut penulis, perbedaan tersebut tidak ada sangkut paut sama sekali dengan perbedaan status sosial antara kedua kelompok non muslim tersebut, karena keduanya sama-sama berada di bawah umat Islam. Sehingga,

alasan yang lebih cocok untuk menyatakan perbedaan perlakuan tersebut, adalah masalah akidah. 48

Maka dari itu, toleransi yang diberikan Islam bagi umatnya untuk mengawini wanita ahl al-kitâb adalah karena adanya kedekatan akidah antara keduanya. Dan dari kedekatan itu, sangat mungkin akan menyebabkan si istri tertarik untuk mengikuti agama suaminya, dengan syari’at (Islam) yang lebih sempurna. Harapan tersebut akan sulit terwujud, jika wanita yang dikawininya

47 Di dalam bukunya, Masudul Hasan menyatakan: “The Arabs were pagans, heathens and polytheists. They worshiped many gods and goddesses. Every tribe had its own god. The Ka’ba

was a great idol house where there were as many as 360 idols… Animals were sacrificed at the altar of these deities, and the blood of sacrificial animals was presented as an offering of the deities. They also worshiped the Sun, the Moon, and the Stars, the regarded trees, stones, caves, and other of nature as holy. They believed in ghosts and jinn and made offering to propitiate them. They were steeped in superstitions and resorted to the procces of divination through arrows.”. Lihat: Masudul Hasan, History of Islam, Vol. I/43.

48 Terdapat perbedaan mendasar antara musyrik dan ahl al-kitâb dalam permasalahan akidah. Karena syirik adalah dosa besar yang tak terampuni (Q.S. al-Nisâ/4: 48). Untuk melihat

sabab al-nuzûl dan penjelasan lainnya, lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. V/235. Sedangkan ahl al-kitâb, sebenarnya masih terdapat persambungan akidah dengan umat Islam, hanya saja terdapat beberapa penyelewengan yang dapat mengotori akidah mereka. Oleh karenanya, Islam mengajak pada mereka untuk kembali ke jalan yang benar dan menyatukan antara mereka dengan umat Islam, seperti dijelaskan dalam Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64. Terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda tentang khitâb pada ayat tersebut; apakah ditujukan kepada Yahudi di sekitar Madinah, ataukah para utusan Nasrani bani Najrân, atau bahkan berlaku umum untuk kedua penganut agama tersebut. Di samping itu, ayat tersebut juga pernah dicantumkan nabi dalam suratnya kepada Hiraqlius, penguasa Romawi. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/299. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/105. Dan lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/525.

adalah seorang musyrikah, karena sama sekali tidak ada akar persambungan antara keyakinan mereka dengan akidah Islam. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang terlampau jauh antara kedua pasang suami-istri dalam hal-hal pokok, terutama yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Dan dalam keadaan tersebut, akan sulit bagi suami untuk menjalankan hukum-hukum Allâh dalam kehidupan keluarga mereka. Sehingga ancaman bahaya akibat perkawinan lintas agama, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 2: 221 nyaris tidak dapat dihindari

lagi. 49 Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa, ketentuan al-Qurân tentang

perkawinan lintas agama, sangat berkaitan dengan status sosial umat Islam. Di

mana ketika Islam baru lahir dan para penganutnya masih hidup di tengah-tengah komunitas musyrik, aturan tentang perkawinan lintas agama sama sekali belum diturunkan. Karena pada saat itu, pokok ajaran Islam hanya ditekankan pada penanaman akidah yang kokoh, agar mereka dapat menjaga keyakinannya walaupun hidup dalam suatu komunitas, dengan keyakinan yang berbeda. Atas dasar inilah, tidak heran jika terdapat banyak pasangan beda keyakinan, dalam

kehidupan para sahabat di Mekah, pra-hijrah. 50 Keadaan ini, sedikit demi sedikit berubah ketika umat Islam berhasil

membangun komunitas pertamanya di Madinah, yang telah memisahkan mereka dari kehidupan orang-orang musyrik di Mekah. Dan keadaan tersebut telah mencapai puncaknya pada saat perjanjian Hudaibiyah, tahun 6 H. Di mana (pada

49 Dalam ayat tersebut, terdapat redaksi “ ulâik yad’ûn ilâ al-nâr, wa Allâh yad’û ilâ al- jannah wa al-maghfirah bi idznih”, “Mereka (orang-orang musyrik tersebut) mengajak ke neraka,

sedangkan Allâh mengajak ke surga dan ampunan atas izin-Nya”. Para mufassir menegaskan redaksi tersebut sebagai sebuah peringatan bahwa bergaul dengan orang-orang musyrik akan dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk lebih cinta dunia daripada akhirat dan segala konsekuensinya. Mereka akan mendorong kita melangkah lebih jauh sesuai dengan keinginan mereka dengan pendidikan yang mereka berikan pada anak-anak. Perbuatan-perbuatan mereka tak lain hanya akan mendorong ke jalan api neraka. Oleh karenanya, bergaul dan menjalin hubungan musâharah dengan mereka merupakan sebuah kekhawatiran besar yang harus dihindari. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dan juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/341.

50 Lihat kembali: ‘Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 100. Lihat juga: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bâyan ‘an

Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/68, 70. Dan juga: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XX/9.

saat itu) telah terjadi pemisahan dengan jelas antara orang-orang Islam dan non muslim Mekah, yang tentunya semakin menumbuhkan kewibawaan umat Islam di mata komunitas musyrik tersebut. Karena dengan dibuatnya akta perjanjian, membuktikan bahwa keberadaan mereka betul-betul dipertimbangkan untuk diwaspadai, dan bahkan secara sosial-politik telah sejajar dengan penduduk Mekah. Demikian juga di Madinah; penerimaan kaum ans âr atas kedatangan muhâjirûn, yang disusul dengan kesepakatan bersama antara umat Islam dan komunitas Yahudi, merupakan bukti bahwa umat Islam juga tidak dipandang

rendah oleh mereka. 51 Dua tahun setelah peristiwa tersebut, umat Islam (Madinah) berhasil

membuktikan bahwa mereka adalah kekuatan yang tak terbendung lagi oleh komunitas Mekah. Karena dengan keberhasilan mereka di dalam menaklukan Mekah (tahun 8 H), tidak ada satu kekuatanpun di jazirah Arabia yang dapat menghalangi perjuangan umat Islam. Bahkan mereka berbondong-bondong untuk bergabung dengan komunitas nabi dan masuk Islam, atau hanya sekedar berkoalisi

demi menjaga keamanan daerah mereka dan bersedia membayar 52 jizyah (pajak).

51 Perkembangan tersebut dapat dilihat dari kuantitas umat Islam yang semakin bertambah dan berkembang pada periode Madinah, yang tentunya berbanding terbalik dengan penduduk

Mekah yang semakin berkurang karena adanya emigrasi besar-besaran dari Mekah ke Madinah. Dan kalau dicermati, salah satu motifasi pihak Mekah dalam membuat perjanjian H udaibiyah, adalah untuk menekan jumlah emigran dari Mekah, agar komunitas Madinah tidah semakin berkembang dan kuat. Namun, perkembangan tersebut tidak dapat dibendung lagi, karena bukan hanya Mekah yang menjadi akses Madinah, melainkan juga beberapa daerah di sekitar mereka. Di sisi lain, kegagalan berbagai usaha Yahudi untuk menyingkirkan nabi dan para pengikutnya merupakan pertanda bahwa solidaritas antar sesama kaum muslimin (ansâr dan muhâjirûn) begitu kuat. Bahkan sebaliknya, justru orang-orang Yahudi lah yang akhirnya terusir dari Madinah, akibat pengkhianatan mereka sendiri. Dengan demikian, umat Islam telah menjadi komunitas yang betul- betul dipertimbangkan sejak hijrah ke Madinah. Lihat kembali: Afzal al-Rah mân, Muhammad as Military Leader, h. 258-259. Lihat juga: Saiyid Safdar Hosain, The Early History of Islam, h. 163. Bandingkan dengan: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, h. 31. Dan juga: M Husein Haikal, The Life of Muhammad, h. 242.

52 Tentang fath Makkah, lihat kembali: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, II/575, III/1120. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-

Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. I/350, II/986. Bandingkan dengan: Masudul Hasan, History of Islam, h. 73. Pada dasarnya, Jizyah hanya dibebankan pada ahl al-kitâb. Dan terlepas dari perdebatan apakah Majusi termasuk ahl al-kitâb atau bukan, terdapat banyak riwayat yang menyebutkan bahwa mereka juga dibebani jizyah baik pada masa Rasulullah maupun al- Khulafâ al-Râsyidûn. Termasuk yang disampaikan oleh al-Zuhrî bahwa sesungguhnya Rasulullah saw mengambil jizyah dari Majusi Bahrain, ‘Umar ibn al-Khatt âb mengambilnya dari Majusi Persi, dan juga ‘Utsmân ibn al-‘Affân mengambil dari orang Barbar. Lihat: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Muhaqqiq: M. Fu’ad Abd. al-Bâqî, Juz. I, (Mesir:

B. Perkembangan Situasi Sosial-politik umat Islam pada Masa Pemerintahan al-Khulafâ al-Râsyidûn.

Setelah Rasulullah saw wafat, sempat terjadi konflik internal Madinah di dalam menentukan orang yang menjadi pengganti beliau. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya anak lelaki (hidup) yang ia miliki. Di samping itu, beliau juga tidak memilih satupun orang yang kelak akan menggantikannya. Namun perselisihan itu tidak berlangsung lama, karena Abû Bakr ra dan ‘Umar ra segera dapat mendinginkan suasana tersebut. Dan berkat kebijaksanaannya, akhirnya Abû Bakr disepakati untuk menggantikan Rasulullah saw di dalam memimpin umat Islam. Abû Bakr ra terkenal sebagai sosok sahabat yang mempunyai ketaatan yang tinggi

serta kesesuaian dengan kehidupan dan perilaku Rasul saw. Hal ini membuatnya sangat mudah untuk diterima oleh kalangan umat Islam, sebagai pemimpin. 53

Namun terlepas dari itu semua, terdapat beberapa kelompok yang menganggap bahwa kewajiban mereka selama ini hanya merupakan kontrak politik dengan nabi. Sehingga, setelah kewafatannya, tidak sedikit dari mereka yang menyatakan murtad, menolak membayar zakat, bahkan menciptakan komunitas agama sendiri dan mengakui nabi palsu. Keadaan ini setidaknya mencerminkan bahwa, pamahaman agama sebagian umat Islam pada saat itu belum begitu bagus, karena mungkin kurangnya sosialisasi dari pihak Madinah. Hal ini, oleh sang khalifah, dianggap sangat membahayakan dan langsung

Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt), h. 278. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al- Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/147. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa, orang-orang Majusi diberi pilihan antara perang dan jizyah. Lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/192.

53 Suatu hari ‘Umar ra berkata: “Abû Bakr ra adalah orang terbaik kami ketika Rasulullah wafat”. Kemudian ia menceritakan sebuah peristiwa bahwa, ketika Rasulullahsaw wafat, orang-

orang ansâr berkumpul di Saqîfah bani Sâ’idah. Orang-orang muhajirûn yang mengetahui kejadian tersebut segera berkumpul menemui Abû Bakr ra, dan merekapun mendatangi kaum ansâr yang sedang membicarakan pengganti Rasul. Setelah terjadi perdebatan panjang, Abû Bakr ra akhirnya mampu mengalahkan semua argumentasi kaum ans âr, dan ia mengusulkan dua nama dari kaum muhajirûn untuk menjadi khalifah, yaitu ‘Umar ra dan Abû ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh. Namun tampaknya ansâr kurang setuju, dan mengusulkan adanya dua pimpinan dari masing-masing mereka. Maka segera saja ‘Umar memegang tangan Abû Bakr dan membai’atnya, dan ternyata bai’at tersebut diikuti orang-orang muhajirûn-ansân, dan selesailah perselisihan tersebut. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. VI/2502. Lihat juga: Ahmad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/55. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustîy, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Juz. II/145. Dan juga dengan: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/84.

ditanganinya dengan mengirimkan pasukan ke beberapa daerah tersebut. 54 Di samping itu, Abû Bakr ra juga mengirimkan beberapa pasukan untuk melakukan

perluasan daerah. Sehingga dalam masa pemerintahannya yang singkat, ia telah mampu mempersatukan kembali Jazirah Arabia dan menaklukkan beberapa wilayah di luarnya, termasuk: teluk Persia, lembah Mesopotamia, Hirah, Dumat al-Jandal, perbatasan Pelestina dan Suriah, serta memperkuat perbatasan dengan

Persia dan Byzantium. 55 Kekuasaan tersebut tidak berkurang bahkan semakin bertambah pada masa

selanjutnya, khalifah ‘Umar ibn al-Khattâb ra. 56 Bahkan pada masa pemerintahan- nya, ‘Umar ra membuat berbagai macam terobosan dalam mengembangkan

administrasi Negara dan pemerintahan, termasuk adanya pembagian kekuasaan dalam beberapa propinsi yang meliputi: Mekah, Madinah, Suriah, Jazirah, Basrah, Kufah, Mesir dan Palestina. Setiap propinsi dipimpin oleh seorang gubernur, yang harus bertanggung jawab atas wilayah masing-masing, namun tetap di bawah

pengawasan khalifah. 57

54 Di dalam memerangi orang-orang murtad, Abû Bakr ra mengangkat Khâlid ibn al- Walid sebagai panglima perangnya. Ia termotifasi oleh sabda Rasulullah bahwa, Khalid adalah

sebaik-baik hamba Allah; ia merupakan pedang Allâh yang mengalirkan darah orang-orang kafir dan munafiq. Lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/8. lihat juga: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî, al- Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/337. Namun tiga pasukan yang dikirim untuk memerangi orang-orang murtad, pembangkang zakat dan Musailamah al-Kadzdzâb sempat dibuat kewalahan oleh mereka. Lihat: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb Al-Tabrânî, al-Mu’jam al- Kabîr, Juz. II/70.

55 Lihat: Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 36

56 Orang pertama yang mengusulkan pada ‘Umar ra untuk melakukan perluasan daerah adalah Ahnaf ibn Qais. Ia mengusulkan pada khalifah agar melakukan perluasan kekuasaan ke

daerah non Arab, apalagi pada saat itu terdapat ancaman perang dari Kisrâ Yazdajir. Usulan tersebut disetujui oleh ‘Umar, dan sekaligus mengangkat Ah naf sebagai panglima perangnya. Ekspansi pertama dilakukan ke daerah Khurasân, dan kemudian disusul oleh beberapa daerah lain. Lihat: Ibnu Katsîr, Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al- Nihâyah, Juz. VII/127. Sebenarnya Rasulullah saw telah mendapat isyarat akan adanya ekspansi besar-besaran pada masa ‘Umar, sebagai kelanjutan dari yang seeblumnya telah dilakukan oleh Abû Bakr ra. Lihat: Abd al-Rahmân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 105.

57 Lihat: Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, h. 38. ‘Umar ibn al-Khatt âb ra menjadi khalifah lebih lama dibandingkan Abû Bakr yang hanya dua tahun. Dalam hal ini, Abd al-

Razzâq menyebutkan sebuah riwayat bahwa, ‘Umar ra menjadi khalifah selama 10 tahun, 4 bulan,

4 hari. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’ani, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. I/95.

Demikian juga pada masa ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra, kejayaan dan pengaruh Madinah seakan belum luntur, bahkan terus meningkat. Pada masa pemerintahannya, beberapa daerah di kawasan benua Afrika seperti Barqah, Tripoli bagian barat, Nubia dan Tunis masuk dalam kekuasaan Islam. Demikian juga dengan daerah-daerah di Asia tengah seperti Armenia Utara, Baktria, Kabul, Ghazna, Turkistan, dan daerah-daerah seberang sungai Jihun jatuh ke dalam pangkuannya. Bahkan dengan kekuatan angkatan laut, Chyprus dan Rhodes pun

dapat ditaklukkan. 58 Namun pada masa khalifah ke-empat, ‘Alî ibn Abî T âlib ra, seakan tidak

terdengar lagi adanya perluasan daerah kekuasaan. Karena sejak didaulat menjadi

orang nomor satu dalam pemerintahan, ‘Alî ibn Abî Tâlib betul-betul disibukkan oleh konflik internal yang berawal dari kematian khalifah sebelumnya, ‘Utsmân ibn ‘Affân ra. Bahkan konflik tersebut telah menjadi sebab terbunuhnya sang khalifah, setelah tidak mampu lagi membendung maraknya aksi pemberontakan

yang dipicu oleh pembelotan salah seorang gubernurnya, Mu’awiyah. 59 Dari empat khalifah di atas, hanya Abu Bakar ra yang meninggal dalam

keadaan sakit, sedangkan ketiga khalifah setelahnya, semua mati terbunuh. Mungkin dengan mudah seseorang akan mengambil sebuah alasan bahwa, masa pemerintahan Abû bakr ra adalah yang paling singkat, sehingga kecil kemungkinannya ia akan terbunuh. Apalagi pada waktu itu umat Islam masih termotifasi oleh semangat persatuan dan persaudaraan yang ditanamkan oleh

58 Lihat: Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, h. 40-41. Pada masa pemerintahannya, ‘Umar ibn al-Khatt âb ra telah melakukan penaklukan besar-besaran di hampir

setiap tahunnya, di antaranya ialah: (1) Pada tahun 14 H, pasukan ‘Umar ra menaklukkan Damaskus, Ba‘albak, Basrah dan Ablah, (2) Pada tahun 15 H, terjadi penaklulan Urdun, Perang Yarmuk dan Qadisiyah, penaklukan Kufah, (3) Tahun 16 H, terjadi penaklukan Ah wâz dan Madain, perang Jalûlâ, penaklukan Tikrit, Bait al-Maqdis, Qansurîn, H alb, Intâqiyah, Manbaj, Sarwaj, Qirqîsiya’, (4) Tahun 17 H, ‘Umar ra melakukan penambahan bangunan masjid Nabawi, dan tidak begitu banyak melakukan penaklukan daerah (5) Tahun 18 H, menaklukan pasukan Naisabur, Halwân, Rahâ, Semisât, Harân, Nasîbain, Mûsal dan sekitarnya, (6) Pada tahun 19 H, terjadi penaklukan Qîsâriyah, (7) Tahun 20 H, terjadi penaklukan Mesir, Tustur, Hancurnya kekaisaran Romawi, pengusiran Yahudi Khaibar, Najrân, serta pembagian harta Yahudi Khaibar dan Wâdi al-Qurâ, (8) Tahun 21 H, penaklukan Iskandariyah, Nahâwand, dan setelah itu tidak terdengar lagi adanya kekuatan besar di luar Arab. (9) Tahun 22 H, penaklukan Aderbeijân, Dainûr, Mâsabadzân, Hamadzân, Rayy, ‘Askar, Qûmus, (10) Tahun 23 H, penaklukan Karmân, Sijistân, Makrân, Asbihân dan sekitarnya. Lihat: Abd al-Rah mân ibn Abî Bakr al-Suyûtî, Târîkh al-Khulafâ, h. 119.

59 Lihat: Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, h. 42

Rasulullah saw. Tapi bagaimanapun, harus diakui bahwa sosok Abû Bakr lebih mudah diterima oleh umat Islam daripada tiga khalifah setelahnya. Apalagi pemilihannya dalam musyawarah mufakat, sangatlah berbeda dengan model

pencalonan sebagaimana para khalifah yang lain. 60 Perbedaan situasi politik tersebut sangat mungkin berpengaruh pada

kebijakan khalifah ataupun pemahaman umat Islam (secara umum) atas perkawinan lintas agama. Entah karena masanya yang sangat dekat dengan Rasulullah atau adanya faktor lain, pada masa Abû Bakr ra sama sekali tidak diketemukan riwayat yang menjelaskan tentang perkawinan lintas agama. Hal ini sangat berbeda dengan perode tiga khalifah setelahnya, yang dari mereka dapat

(dengan mudah) kita jumpai sekian banyak riwayat tentang perkawinan dimaksud. 61

Sikap yang tegas dapat kita temukan dari beberapa riwayat yang berasal dari ‘Umar ra, khususnya dalam menyikapi perkawinan antara lelaki ahl al-kitâb dengan perempuan muslimah. Demikian juga, ia sangat berhati-hati terhadap perkawinan lelaki muslim dengan perempuan ahl al-kitâb, bahkan bagi orang-

orang tertentu, ia dengan tegas melarangnya. 62 Ketegasan sikap yang ditunjukan

60 Cermati kembali proses pemilihan Abû Bakr ra sebagai khalifah pertama (pengganti Rasulullah saw), yang dilakukan dengan musyawarah mufakat. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû

Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. VI/2502. Lihat juga: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/55. Bandingkan dengan: Muhammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustîy, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Juz. II/145. Dan juga dengan: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al- Hâkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. III/84. Sedangkan pemilihan tiga khalifah setelahnya, tidak lagi melalui musyawarah mufakat, melainkan penunjukan langsung dari khalifah sebelumnya (seperti pengangkatan ‘Umar ibn al-Khatt âb ra) yang kemudian langsung diangkat menggantikan Abû Bakr ra pada hari Rabu, bulan Jumâd al-akhîrah saat hari kewafatan Abû Bakr. Lihat: Muhammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-H âkim al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al- Sahîhain, Juz. III/86. Atau dengan musyawarah terbatas atas kandidat yang diajukan khalifah sebelumnya (seperti pada pengangkatan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra). Atau bahkan pengangkatan oleh mayoritas umat Islam saja, sebagai solusi penyelesaian konflik internal atas pembunuhan khalifah sebelumnya, (yakni pengangkatan ‘Alî ibn Abî T âlib ra).

61 Penjelasan tentang hal ini, telah penulis paparkan pada bab II, yakni pada pembahasan “Perkawinan Lintas Agama dalam Perdebatan Sahabat”.

62 Khalifah ‘Umar ra tampak benar-benar menghindari terjadinya perkawinan antara perempuan muslimah dengan lelaki non muslim, walaupun seorang ahl al-kitâb. Lihat: Abû

Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV, Cet. III, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H), h. 7. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al-Wahdân, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1988),

h. 185. Dan juga: Abû Muhammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt), h. 313. Bahkan bagi orang tertentu, seperti H udzaifah (yang h. 185. Dan juga: Abû Muhammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm al-Zâhirî, al-Muhallâ, Juz. VII, (Beirut: Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, tt), h. 313. Bahkan bagi orang tertentu, seperti H udzaifah (yang

Fakta di atas tampaknya menjadi pertimbangan utama bagi ‘Umar ra, di dalam melarang perkawinan lintas agama. Dan hal ini dilakukannya untuk

menjaga kemaslahatan umat, terutama kalangan perempuan muslimah, karena jika para lelaki muslim lebih cenderung untuk menikahi perempuan ahl al-kitâb, maka tentunya, minat untuk menikahi wanita muslimah jadi berkurang. Dan dengan

begitu, nasib para perempuan tersebut yang akan menjadi taruhan. 63 Di samping itu, mengawini wanita di daerah yang baru ditaklukkan bukanlah pilihan tepat,

karena para calon suami belum dapat mengetahui dengan baik karakter dan kebiasaan masyarakat daerah tersebut. Dan kemungkinan besar, mereka juga masih memendam kebencian pada para penguasa barunya yang belum begitu di kenal, apalagi dengan latar belakang agama yang berbeda. Hal ini tentu saja akan membahayakan orang-orang Islam yang melakukan perkawinan itu.

Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah, kewibawaan umat Islam di mata non muslim, terutama di daerah taklukan. 64 Hal ini juga tidak dapat

menjabat sebagai gubernur pada masa pemerintahan ’Umar ra) dengan tegas dilarang olehnya melakukan perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb, walaupun pemahaman umum pada saat itu (berdasarkan nass) adalah diperbolehkannya bentuk perkawinan tersebut. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), h. 474.

63 Dalam sebuah surat yang dikirimkan khalifah ’Umar ra kepada H udzaifah ra (setelah ia menikahi seorang wanita Yahudi), khalifah menyatakan: “Saya kuatir kalian akan meninggalkan

para wanita muslimah, dan menikahi para wanita pelacur”. Dan beliaupun memerintahkannya agar segera menceraikan wanita tersebut. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al- Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Lihat juga: Sa’îd ibn Mans ûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. I, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-‘Asîmî, 1414 H), h. 193.

64 Indikasi tersebut dapat dilihat dari sebuah riwayat yang dibawa al-T abarî dari Wahb. Ia menjelaskan bahwa ‘Umar ra berkata: “Lelaki muslim boleh menikahi wanita Nasrani, namun

lelaki Nasrani tidak dapat menikahi wanita muslimah. Dan sesungguhnya ‘Umar ra tidak suka pada perkawinan T alhah dan Hudzaifah dengan wanita Yahudi-Nasrani adalah, agar perbuatan lelaki Nasrani tidak dapat menikahi wanita muslimah. Dan sesungguhnya ‘Umar ra tidak suka pada perkawinan T alhah dan Hudzaifah dengan wanita Yahudi-Nasrani adalah, agar perbuatan

Sikap tegas ‘Umar ra ini, tampaknya tidak diikuti oleh dua khalifah setelahnnya; Utsmân ibn al-‘Affân ra dan ‘Alî ibn Abî T âlib ra. Bahkan, ‘Utsmân

ra menjadi salah satu pelaku perkawinan lintas agama tersebut. 65 Sedangkan ‘Alî ra, kendati tidak melakukan hal serupa dengan ‘Utsmân ra, namun ia juga tidak

melarang terjadi perkawinan itu, kecuali terhadap orang-orang Nasrani Arab, yang

menurutnya tidak lagi memenuhi syarat untuk disebut sebagai penganut agama Nasrani. 66

Perbedaan sikap ini, di samping karena adanya perbedaan faktor intern pribadi masing-masing khalifah, kemungkinan besar juga didasari oleh perbedaan situasi dan kondisi pada saat itu. Karena, walaupun pada masa ‘Utsmân ra masih terjadi banyak perluasan daerah, namun kebanyakan yang dilakukannya adalah meneruskan ekspansi khalifah sebelumnya, ataupun pembebasan daerah kekuasaan setelah terjadi pemberontakan. Sehingga dalam keadaan ini, mengawini wanita ahl al-kitâb bukan lagi sesuatu yang harus dikhawatirkan. Apalagi terbukti bahwa, seorang wanita Nasrani segera masuk Islam, setelah

mereka tidak diikuti oleh umat Islam, dan pada akhirnya mereka akan meninggalkan para wanita muslimah, ataupun dengan adanya beberapa alasan lain. Oleh karena itu, ia memerintahkan keduanya agar menceraikan istri-istri mereka yang non muslim tersebut”. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 388. Riwayat al-Tabarî ini, juga didukung oleh Ibn Katsîr, dan iapun menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah yang paling s ahîh. Lihat: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fidâ al-Qurasyî al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

65 Lihat: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Us fûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/34. Pada umumnya riwayat tentang perkawinan ‘Utsmân ibn al-‘Affân ra dengan Nâilah bint

al-Farâfisah al-Kalbiyah berakhir pada ‘Abdullâh ibn al-Sâib dari keturunan (bani) al-Mut allib. Lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al- Kubrâ, Juz. VII/172. No. Hds. 13759.

66 Karena menurutnya, orang-orang Arab tidaklah beragama Nasrani, kecuali dengan meminum khamr. Oleh karenanya, ia melarang umat Islam memakan daging hewan sembelihan

mereka, demikian juga dengan menikahi para wanitanya. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al- Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Dan juga: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478.

dinikahi oleh ‘Utsmân ra. Namun tanpa disadari sang khalifah, bahwasannya ancaman keamanan justru datang dari kalangan umat Islam sendiri yang merasa

tidak puas dengan sistem kepemimpinannya. 67 Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan masa kepemimpinan ‘Alî ibn Abî

Tâlib ra, bahkan dapat dikatakan bahwa situasi politik pada saat itu lebih buruk daripada masa-masa khalifah sebelumnya. Bagaimana tidak, sang khalifah yang baru menduduki jabatannya, dituntut segera menuntaskan konflik intern umat Islam yang mengantarkan pada peristiwa pembunuhan ‘Utsmân ra. Belum lagi pembelotan sebagian gubernur yang tidak mengakui pengangkatan ‘Alî ra sebagai khalifah, dan menyusun kekuatan untuk melawannya. Keadaan tersebut

tampaknya sangat menguras energi kaum muslimin, karena mereka harus berperang dengan saudara mereka sendiri, dengan tujuan yang kurang dapat

dipahami. 68 Dengan demikian, isu sentral pada masa pemerintahan ‘Utsmân ra dan ‘Alî

ra bukan lagi masalah agama, melainkan politik–kekuasaan. Apalagi, non muslim

67 Di antara beberapa kebijakan yang kurang berkenan di hati para bawahannya adalah, pemecatan beberapa pejabat, yang kemudian digantikan oleh kerabatnya sendiri, seperti yang

terjadi pada Abû Musa al-Asy’arî, yang mana ia dipecat dari jabatan gubernur Basrah, dan Utsman ibn Abû al-‘Âss dari Gubernuran Persi, dan menyerahkan kedua daerah tersebut kepada kerabatnya, ‘Abdullâh ibn ‘Amir ibn Karîz, yang masih terlalu muda, dan pada saat itu baru berusia 24/25 th. Lihat: Khalîfah ibn Khiyât Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Us fûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Juz. I/33, 34. Sedangkan untuk penjelasan lebih lanjut tentang detik-detik akhir kehidupan ‘Utsmân ra, lihat: Ah mad ibn Hanbal, Abû Abdillâh al-Saibânî, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/73.

68 Sebenarnya beberapa antisipasi telah dilakukan khalifah ‘Alî ibn Abî T âlib ra untuk menghindari perang saudara, termasuk surat yang layangkan untuk dibaca dihadapan Mu’awiyah

agar ia segera melakukan bai’at atas pengangkatan khalifah ’Alî ibn Abî Tâlib ra. Namun hal itupun tidak membuahkan hasil dan terjadilah perang S iffîn pada bulan Safar 37 H, yang berlanjut pada peristiwa Tahkîm antara kedua belah pihak di Dumat al-jandal pada bulan Ramadân. Bahkan pembaiatan Mu’awiyah oleh para penduduk Syâm sebagai khalifah tandingan pada bulan Dzul Qa’dah. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VIII/127. Lihat juga: Khalîfah ibn Khiyât, Abû ‘Umar al-Laitsî al-‘Usfûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, h. 44. Padahal sebelumnya, tepatnya pada bulan Jumadil Âkhir, juga telah terjadi pertumpahan darah di Basrah, yakni peristiwa perang Jamal yang dimotori oleh ’Âisyah ra, Talhah ra, dan Zubair ra. Bahkan peperangan tersebut memakan korban sampai 13.000 jiwa termasuk Talhah ra, dan Zubair ra. Peperangan-peperangan tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi, apalagi karena alasan (balas darah), di mana pada saat itu, khalifah ’Alî ra tidak segera menghukum para pembunuh’Utsmân ra. Padahal permasalahan pada saat itu sangat kompleks, dan perlu penanganan segera. Dan akibat kecerobohan mereka tersebut, keselamatan puluhan ribu nyawa umat Islam jadi terabaikan. Lihat: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Qurasyî al- Dimasyqî, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VII/230, 254. Lihat juga: Khalîfah ibn Khiyât, Abu ‘Umar al-Laitsî al-‘Usfûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, h. 44.

pada saat itu bukan lagi merupakan ancaman bagi umat Islam, melainkan mitra kerja. Bahkan mereka tidak lebih mulya dari umat Islam yang sudah lama memegang kekuasaan dan mengendalikan aktifitas mereka. Sehingga, antisipasi akan bahaya yang ditimbulkan oleh non muslim nyaris tidak dilakukan, karena diyakini bahwa hal itu hampir tidak akan terjadi. Di samping itu, konsentrasi umat Islam pada masalah intern mereka begitu menguras tenaga dan pikiran. Karena pergolakan politik pada tataran elit, sedikit banyak juga mempengaruhi pola pikir

dan perilaku masyarakat bawah. 69 Demikian juga dengan munculnya pemberontakan dari kalangan muslim sendiri, merupakan bukti ketidakpuasan

sebagian dari mereka atas tindakan para elit politik, terutama khalifah. 70

Beberapa kenyataan di atas, setidaknya menjadi latar belakang munculnya keberagaman pendapat sahabat di dalam menyikapi perkawinan lintas agama, antara orang Islam dengan non muslim. Namun yang perlu diingat adalah bahwa, perdebatan yang terjadi di kalangan mereka hanya seputar pengamalan Q.S. 5: 5. Untuk mengetahui kapan seharusnya ayat tersebut diamalkan, dan ahl al-kitâb mana yang dapat dimasukkan dalam khitâb ayat tersebut. Sehingga, perdebatan mereka sama sekali tidak melebar sampai memperbolehkan perkawinan yang

tidak disebutkan oleh nass. 71

69 Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa awal munculnya firqah dalam sejarah umat Islam telah dimulai sejak peristiwa Tahkîm antara kelompok ’Alî ibn Abî Tâlib ra, yang diwakili oleh Abû

Mûsâ al-Asy’arî ra, dan kelompok Mu’awiyah ra yang mendelegasikan ’Amr ibn al-’Âss ra. Ketidakpuasan sebagian kelompok ’Alî ra atas tindakan sang khalifah, menjadikan mereka berasumsi negatif, bahkan melakukan takfîr terhadap setiap pihak yang terlibat di dalam Tah kîm tersebut. Akhirnya mereka memisahkan diri, dan kemudian terkenal dengan sebutan kaum Khawârij. Sejak saat itulah, berbagai diskusi terus berkembang seputar akidah yang dihubungkan dengan perbuatan manusia (sesuai dengan pandangan mereka), dan terjadilah pemisahan umat Islam (dalam kelompok-kelompok tertentu) yang terus berkembang bahkan sampai sekarang. Bagi masyarakat akar rumput, hasil ijtihad yang dilakukan oleh para pemuka mereka dianggap sebagai ajaran akidah yang paling benar, sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan takfîr terhadap kelompok lain, karena melakukan hal berbeda dengan apa yang mereka yakini. Untuk penjelasan lebih lanjut perihal âm al-fitnah, pada masa pemerintahan 'Alî ra, lihat: Karen Amstrong, Islam, a Short History, h. 33-36.

70 Lihat kembali: Abu al-Fidâ Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, al- Bidâyah wa al-Nihâyah, Juz. VIII/127, VII/230, 254. Lihat juga: Khalîfah ibn Khiyât , Abû ‘Umar

al-Laitsî al-‘Usfûrî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, h. 44.

71 Yang dimaksud dengan perkawinan yang tidak disebutkan oleh nass al-Qur’ân (secara jelas), adalah perkawinan antara perempuan muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb. Padahal

beberapa statemen telah dilontarkan tentang h aramnya hubungan perkawinan seorang muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, namun tidak satupun muncul pendapat yang menyanggahnya. Di antara sahabat yang mengharamkan perkawinan tersebut adalah ‘Umar ibn al-Khatt âb ra, dalam beberapa

Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa, kajian sejarah sosial sangat bermanfaat di dalam melihat lebih jelas tentang situasi dan kondisi umat Islam, pada masa awal-awal penerapan (tahap demi tahap) aturan tentang perkawinan lintas agama, dalam Islam.

Hal ini juga membuktikan adanya korelasi antara situasi sosial umat Islam dengan ketentuan hukum perkawinan lintas agama. Akan tetapi, korelasi tersebut tidak serta-merta masuk dalam kategori sebab-akibat, yang mana keberadaan sebab mengharuskan munculnya akibat, atau sebaliknya. Akan tetapi, korelasi tersebut lebih dapat dipahami sebagai proses serta pentahapan dalam menerapkan hukum (tadrîj al-ahkâm). Sehingga, perubahan hukum yang terjadi, tidak lebih

hanya merupakan proses pendewasaan umat Islam sebagai subyek hukumnya. Dengan demikian, secara teoritis, beberapa ketentuan pokok dalam permasalahan tersebut, seperti larangan perkawinan antara orang Islam dengan musyrik, dan juga kebolehan lelaki muslim mengawini perempuan ahl al-kitâb, tidaklah berubah karena perbedaan ruang dan waktu.

kebijakannya untuk menceraikan paksa pasangan-pasangan muslimah dengan suami Ahl al-kitâb. Lihat: Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibânî, al-Hujjah ‘alâ Ahl al-Madînah, Juz. IV/7. Lihat juga: Muslim ibn H ajjâj Abû al-Husain al-Qusyairî al-Naisâbûrî, al-Mufradât wa al- Wahdân, Juz. I/185. Bandingkan dengan: ‘Alî ibn Ah mad ibn Hazm Abû Muhammad al-Zâhirî, al- Muhallâ, Juz. VII/313. Di samping itu, beberapa riwayat qaulî, baik dari ‘Umar ra maupun Jâbir ibn ‘Abdillâh ra, yang menyatakan bahwa, lelaki muslim boleh menikahi wanita ahl al-kitâb, namun tidak sebaliknya, lelaki ahl al-kitâb tidak boleh menikahi wanita muslimah. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178. Lihat juga: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/172. Hal ini seakan merupakan indikasi, bahwa pada saat itu telah terjadi kesepakatan atas keharaman perkawinan tersebut, walaupun hanya dalam bentuk ijmâ’ sukûtî.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan lintas agama, sebagaimana dibahas dalam tesis ini, telah menuai berdebatan panjang dalam sejarah pemikiran Islam, khususnya tafsir. Permasalahan mendasar yang menjadi pangkal perbedaan pendapat mereka adalah dalam menentukan kriteria (cakupan serta batasan) musyrik dan ahl al-kitâb. Ketika, musyrik diartikan sebagai "penyembah berhala" dari kalangan orang- orang Mekah saja, maka setelah peristiwa fath Makkah, komunitas mereka

tentunya tidak ada lagi, karena sejak saat itu, semua penduduk Mekah telah bersedia masuk Islam. Jika demikian, maka semua penganut agama (non Islam) pada saat ini, bukanlah orang musyrik, melainkan ahl al-kitâb. Berbeda halnya, jika term tersebut didefinisikan sebagai "penyembah selain Allâh", maka akan dapat memasukkan setiap orang yang mengakui adanya tuhan selain Allâh SWT; termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang telah melakukan penyelewengan ajaran tauhîd.

Perbedaan pendapat tersebut, adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari, apalagi diingkari. Dengan demikian, yang perlu kaji (dalam hal ini) adalah tentang faktor-faktor yang menjadi latar belakang kemunculannya, mengkaji serta mencari titik temu di antara pendapat-pendapat tersebut, dan melakukan kajian ulang dengan menggunakan metode-pendekatan yang penulis tentukan, tafsir tematik; sosio-historis. Dan akhirnya, dapat penulis simpulkan, bahwa:

1. Perbedaan pendapat dan perdebatan para mufassir dalam masalah perkawinan lintas agama, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern mufassir dan juga faktor ekstern. Dalam hal ini, latar belakang mufassir, merupakan faktor intern yang dirasa sangat berpengaruh bagi masing- masing mufassir di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân. Faktor ini dapat dianggap sebagai subyektifitas (dalam arti positif) masing-masing mufassir, baik berkaitan dengan pendidikan-intelektualitas, ideologi, maupun madzhab. Tidak 1. Perbedaan pendapat dan perdebatan para mufassir dalam masalah perkawinan lintas agama, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern mufassir dan juga faktor ekstern. Dalam hal ini, latar belakang mufassir, merupakan faktor intern yang dirasa sangat berpengaruh bagi masing- masing mufassir di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'ân. Faktor ini dapat dianggap sebagai subyektifitas (dalam arti positif) masing-masing mufassir, baik berkaitan dengan pendidikan-intelektualitas, ideologi, maupun madzhab. Tidak

Sedangkan faktor kedua (ekstern), yang juga tidak kalah penting, adalah perbedaan masa masing-masing mufassir, khususnya berhubungan dengan situasi, dan kondisi (daerah/masyarakat) di mana dan kapan mereka tinggal. Karena

bagaimanapun, perbedaan situasi dan kondisi, dapat dijadikan alasan lahirnya keberagaman pendapat dan hasil ijtihad. Di samping itu, seorang mufassir akan termotifasi untuk menentukan metode yang dianggap sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, sebagian besar mufassir juga terpengaruh oleh pendapat para pendahulunya. Sehingga, pendapat yang mereka munculkan tidak lebih hanya sebagai penguat dan pengembangan argumentasi para mufassir yang mereka ikuti. Dan pada umumnya, pendapat tertua yang menjadi rujukan, berakhir pada masa tafsir formatif, sahabat dan tabi'i. Oleh karenanya, dalam tesis ini, penelusuran pendapat dilakukan sampai pada sumbernya, yakni orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat tersebut, dengan mengkaji faktor-faktor yang melatarbelakangi pendapat masing-masing. Dan kemudian berlanjut pada pengkajian ulang oleh penulis, dengan metode dan pendekatan yang telah ditentukan.

2. Secara historis, terdapat korelasi antara situasi sosial umat Islâm dan ketentuan hukum perkawinan lintas agama. Akan tetapi, korelasi tersebut tidak serta-merta masuk dalam kategori sebab-akibat, melainkan sebagai tahapan dalam penerapan hukum (tadrîj al-ahkâm). Sehingga, perbedaan hukum yang terjadi hanya merupakan proses pendewasaan para subyek hukumnya, bukan akhir dari proses tersebut. Dengan demikian, secara teoritis, beberapa ketentuan pokok dalam permasalahan tersebut, seperti larangan perkawinan antara orang Islam 2. Secara historis, terdapat korelasi antara situasi sosial umat Islâm dan ketentuan hukum perkawinan lintas agama. Akan tetapi, korelasi tersebut tidak serta-merta masuk dalam kategori sebab-akibat, melainkan sebagai tahapan dalam penerapan hukum (tadrîj al-ahkâm). Sehingga, perbedaan hukum yang terjadi hanya merupakan proses pendewasaan para subyek hukumnya, bukan akhir dari proses tersebut. Dengan demikian, secara teoritis, beberapa ketentuan pokok dalam permasalahan tersebut, seperti larangan perkawinan antara orang Islam

Dengan demikian, kajian sejarah sosial pada tesis ini sangat bermanfaat di dalam melihat lebih jelas tentang situasi dan kondisi umat Islam, pada masa awal- awal penerapan (tahap demi tahap) aturan tentang perkawinan lintas agama, dalam Islam.

3. Kajian tafsir tematik; sosio historis ini dapat dijadikan solusi alternatif, di dalam menelaah lebih jauh tentang keberagaman hasil penafsiran para ulama berkaitan dengan tema tesis ini, untuk selanjutnya mencari titik temu (benang merah) pendapat-pendapat tersebut.

Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena dalam kajian ini, pendapat-pendapat tersebut dirunut sampai ke akarnya, yakni ketika pertama kali pendapat itu dilontarkan, kemudian dicari beberapa faktor yang melatar-belakangi kemunculannya. Faktor-fator tersebut kemudian dikaji secara mendalam, dalam rangka menemukan pangkal permasalahan yang diperdebatkan, tanpa memihak salah satu pendapat kelompok tertentu.

Berikutnya, penelitian berlanjut pada upaya pengkajian ulang permasalahan tersebut, dengan memberi porsi yang cukup terhadap kajian sejarah sosial pada masa awal ayat-ayat (perkawinan lintas agama), diterapkan. Dan ketika kajian/penelusuran sedang berlangsung, perdebatan yang selama ini telah berkembang (untuk sementara) dianggap tidak pernah terjadi, demi melihat secara obyektif tahapan-tahapan penerapan aturan tentang perkawinan dimaksud. Jika hal itu dapat berjalan dengan baik, maka setidaknya akan dapat ditemukan korelasi antara situasi dan kondisi masyarakat Islam dengan ayat-ayat yang turun berkaitan dengan perkawinan lintas agama.

B. Rekomendasi

Berangkat dari beberapa kesimpulan di atas, dapat penulis jelaskan bahwa, tulisan yang ada di tangan pembaca ini, menurut penulis adalah salah satu dari sekian banyak hasil penelitian; yang dimaksudkan untuk mengkaji permasalahan perkawinan lintas agama, yang akhir-akhir ini mencuat kembali setelah sekian lama tidak terdengar. Dan penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini, masih terdapat banyak kekurangan yang perlu dibenahi, khususnya berkaitan dengan re- interpretasi term musyrik dan ahl al-kitâb. Kedua istilah tersebut kendati tampak sederhana, namun sangat menentukan (dalam kajian perkawinan lintas agama), karena perbedaan di dalam menentukan kriteria mereka, menjadi penyebab utama

perdebatan selanjutnya. Dan, dengan melakukan penelitian lanjutan, maka akan didapatkan hasil penelitian yang saling melengkapi, komprehenshif, serta dapat menjawab permasalahan yang selalu muncul dan berkembang.

BIBLIOGRAFI

Abd al-Rahîm, Muhammad ibn Muhammad, al-Tafsîr al-Nabawî, Khasâisuh wa Masâdiruh, Cet. I, Kairo: Maktabah al-Zahrâ, 1992 M. al-Abnâsî, Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Ayyûb al-Burhân, al-Syadzdz al-Fayyah min 'Ulûm ibn Salâh, Cet. I, Muhaqqiq: Salâh fathi Hilâl, Riyad, Saudi: Maktabah al-Risyd, 1998 M.

Abu al-Nasr, Abd al-Jalîl ‘Îsâ, Ijtihâd al-Rasûl Salla Allâh ‘Alaih wa Sallam, ter. Wawan Djunaedi Soffandy, “Ijtihad Rasulullah”, Cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001 M.

Abû Fâris, M. Abd al-Qadîr, Fî Zilâl al-Sîrah al-Nabawiyyah, Ghazwah Badr al- Kubrâ wa Ghazwah Uhud, terj. Aunur Rafiq, “Analisis Aktual Perang Badr dan Uhud”, Cet. I, Jakarta: Robbani Press, 1982 M.

al-Adnarawî, Muhammad ibn Muhammad, Tabaqât al-Mufassirîn, Cet. I, Madînah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1997 M. al-Akk, Khâlid `Abd al-Rahmân, U U sûl al-Tafsîr wa Qawâ`iduh, Cet. II, Beirut: Dâr al-Nafâiz, 1986 M. Alî Hasan al-‘Arîd, Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, terj. Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994 M.

Amstrong, Karen, Islam, a Short History, New York: The Modern Library, 2002. --------, Muhammad a Western attempt to Understand Islam, London: Victor

Gollancz Ltd, 1991 M. Anshor, Maria Ulfa, dan Sinaga, Martin Lukito (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Cet. I, Jakarta: Kapal Perempuan, 2004 M.

al-Asbahî, Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Muhaqqiq: Taqî al-Dîn al-Nadwî, Cet. I, Damascus: Dâr al-Qalam, 1991 M. --------, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Muhaqqiq: M. Fu’ad Abd al-Bâqî, Mesir: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt. al-‘Asqalânî, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Abû al-Fadl al-Imâm al-Hâfz al-Syâfi’î, al-Isâbah fî Tamyîz al-Sahâbah, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995 M.

--------, Fath al-Bârî Syarh Sahîh al-Bukhârî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379 H. al-Azdî, Abû Dâwûd, Sulaimân ibn al-Asy’ats al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwûd,

Muhaqqiq: M. Muhyî al-Dîn Abd al-Hamîd, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-

B. Hallaq, Wael, A History of Islamic Legal Theories, an introduction to sunni ushul al fiqh, Cambridge: University Press, 1997 M.

--------, The Origins and Evolution of Islamic Law, Cet. I, Cambridge: Cambridge University Press, 2005 M. Badr al-Dîn, Abû 'Abdillâh Muhammad ibn Jamâl al-Dîn 'Abdullâh ibn Bahâdur, al-Nukat 'alâ Muqaddimah Ibn al-Salâh, Muhaqqiq: Zain al-Dîn ibn Muhammad, Cet. I, Riyâd: Adwa al-Salaf, 1998 M.

Badran, Badran Abu al-‘Ianain, al-‘Alâqah al-Ijtimâ’iah baina al-Muslimîn wa ghair al-Muslimîn, Iskandariyah: Muassasah Syabâb al-Jami’ah, 1984.

Bungin, Burhan, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: Grafindo Raja Persada, 2003 M.

al-Baghawî, Husain ibn Mahmûd al-Farrâ’ Abû Muhammad, Ma'âlim al-Tanzîl, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-Baihaqî, Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn 'Alî ibn Mûsâ, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994 M. --------, Syu’ab al-Îmân, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1410 H. Baso A , Khalis A. Nur, (ed), 2005, Perkawinan Beda Agama, kesaksian,

argumen keagamaan, dan Analisis Kebijakan, kerjasama komnas HAM dan ICRP (Indonesion Conference on Religion and Peace) , Cet. I, Jakarta: Komnas HAM, 2005 M.

al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al- Sahîh al-Mukhtasar, Cet. III, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, al-Yamâmah, 1987. --------, al-Adab al-Mufrad, Cet. III, Muhaqqiq: M. Fuad Abd al-Bâqî, Beirut: Dâr al-Basyâir al-Islâmiyah, 1989 M. Cawidu, Harifuddin, Konsep Kufr dalam al-Qur’ân, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1991 M. al-Dailamî, Abû Syujâ’ Syirwaih ibn Syahr Dâr ibn Syirwaih al-H amdanî, al- Firdaus bi Ma’tsûr al-Khitâb, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1986 M.

al-Dâr Qutnî, ‘Alî ibn ‘Umar Abû al-Hasan al-Baghdâdî, Sunan al-Dâr Qutnî, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1966 M. Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan kompilasi hukum Islam (Tesis), Jakarta, 2003 M. al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997 M. Ensiklopedi Islam, Cet. II, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeva, 1994 M. al-Fairûzabâdî, Abû Ishâq Ibrâhîm ibn ‘Alî ibn Yûsuf al-Sairâzî, al-Tabsirah fî

U U sûl al-Fiqh, Muhaqqiq: M. Hasan Hito, Cet. I, Damascus: Dâr al-Fikr, 1403 H.

al-Farmawî, Abd al-Hayyi, al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maud û’î, Cet. II, Mesir: al- Hadârah al-'Arabiyyah, 1977. Glubb, sir John, The Life and Times of Muhammad, England: Medison Books, 1998 M. Goldziher, Ignaz, Madzâhîb fi al-Tafsîr al-Islâmî, terj. Oleh: M. Alaika Salamullâh, Saifuddin Zuhri Qudsi, dan Badrus Syamsul Fata, dengan jdl. “Madzhab Tafsir, dari aliran klasik sampai modern”, Cet. II, Yogyakarta: eLSAQ, 2006 M.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika sampai Ideologi, Cet. I, Jakarta: Teraju, 2003 M. Haikal, M Husein, The Life of Muhammad, translated by Ismail Raj al-Faruqi, Kuala Lumpur: Islamic Book Truths, 1993 M. al-Hâkim, Muhammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1990 M.

al-Hanafî, Abû al-Mahâsin Yûsuf ibn Mûsâ, al-Mu’tasar min al-Mukhtasar min Musykil al-Âtsâr, Beirût: ‘Alam al-Kutub, tt. Hasan, Masudul, History of Islam, Revised Edition, Chitli Qabar, Delhi: Adam Publishers and distributors, 1995 M. Hosain, Saiyid Safdar, The Early History of Islam, First Published, New Delhi: Low Pr ice Publications, 1993 M. Ibn Abî Syaibah, Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Cet. I, Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1409 H.

Ibn Hibbân, Muhammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustî, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Cet. II, Beirut: Muassasah al- Risâlah, 1993 M

Ibn Huzaimah, Muhammad ibn Ishâq Abû Bakr al-Sulamî al-Naisabûrî, Sahîh ibn Huzaimah, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1970 M. Ibn Jamâ'ah, Muhammad ibn Ibrâhîm, al-Munhil al-Râwî fî Mukhtasar 'Ulûm al- Hadîts al-Nabawî, Muhaqqiq: Muhyî al-Dîn Abd al-Rahmân Ramadân, Cet. II, Damascus: Dâr al-Fikr, 1406 H.

Ibn Katsîr, Ismâ’îl ibn ‘Umar al-Dimasyqî Abû al-Fidâ’, al-Bidâyah wa al- Nihâyah, Beirut: Maktabah al-Ma’ârif, tt. --------, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1401 H. Ibn Mâjah, Muhammad ibn Yazîd Abû ‘Abdillâh al-Qazwînî, Sunan Ibn Mâjah,

Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ibn Mansûr, Sa’îd, Sunan Sa’îd bin Mansûr, Cet. I, Riyâd: Dâr al-‘Asîmî, 1414 H. Ibn Qudâmah, Abû Muhammad ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî,

al-Mughnî fî Fiqh al-Imâm Ah mad ibn Hanbal al-Syaibânî, Cet, I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H.

--------, Raudah al-Nâzir wa Junnah al-Munâzir, Muhaqqiq: Abd al-'Azîz Abd al- Rahmân al-Sa'îd, Cet. II, Riyâd: Jâmi'ah al-Imâm M. ibn Sa'ûd, 1399 H. Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad al-Qurtubî Abû al-Walîd, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Ibn Sa’d, Muhammad ibn Sa’d ibn Manî’ al-Hâsyimî al-Bas rî, al-Tabaqât al-

Kubrâ, Cet. II, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997 M. Ichtianto, H, Dr, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara RI, Cet. I, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Depag RI, 2003 M. al-‘Imâdî, Muhammad ibn Muhammad Abû al-Sa'ûd, Irsyâd al-'Aql al-Salîm ilâ Mazâyâ al-Qur'ân al-Karîm, Beirut: Dar Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tt. al-Jâbirî, Muhammad `Abîd, Bunyah al-`Aql al-`Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah Li Nudzûm al-Ma`rifah fî al-Tsaqâfah al-`Arabiyyah , Cet. VII, Beirut: al-Dâr al-Baidâ`, 2000 M.

al-Jauzî, Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad, Zâd al-Masîr fî ‘Ilm al-Tafsîr, Cet. III, Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1404 H. al-Juwainî, ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abdillâh ibn Yûsuf Abû al-Ma’âlî, al-Waraqât, Muhaqqiq: Abd al-Latif Muhammad al-‘Abd, Beirut: Dâr al-Fikr al- Islâmiyah, tt.

--------, al-Burhân fî Usûl al-Fiqh, Muhaqqiq: Abd al-Azîm Mahmûd al-Dîb, Cet.

IV, Mesir: al-Wafâ al-Mansûrah, 1418 H.

al-Khadirî, Muhammad ibn Abdullâh ibn ‘Alî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Cet. I, Riyâd: Dâr al-Watân li al-Nasyr, 1999 M. al-Kissî, ‘Abd ibn Humaid ibn Nasr Abû Muhammad, al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Humaid, Cet. I, Muhaqqiq: Subhî al-Badrî al-Samrâ’î dan Mahmûd M. Khalil al-Sa’îdî, Cet. I, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1988 M.

Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies, Cambridge: Cambridge University Press, 1995 M. M. M. Ghalib, Ahl al-Kitâb, makna dan cakupannya, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1998 M. Madjid, Nurcholish dkk, Fiqih Lintas Agama; membangun masyarakat inklusif- pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004 M. Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995 M.

al-Mâlikî, Muhammad ibn ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Ma’âfirî, al-‘Awâsim min al-Qawâsim fi Tahqîq Mauqîf al-Sahâbah ba’da Wafât al-Nabî, Muhaqqiq: M. Jamîl Ghâzî,Cet. III, Beirut: Dâr al-Jail, 1408 H.

al-Marûzî, Abû Abdillâh Muhammad ibn Nasr ibn al-Hajjâj, al-Sunnah, Cet. I, Beirût: Muassasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1408 H. Misrawi Zuhairi, al-Qur’ân Kitab Toleransi, Inklusivisme, Pluralisme dan

Multikulturalisme, Cet. I, Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007 M. MS. Basri, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori, dan Praktek), Jakarta: Restu Agung, 2006 M. al-Mubarkafûrî, Abû al-‘Alâ Muhammad Abd al-Rahmân ibn Abd al-Rahîm, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi’ al-Turmudzî, Beirut: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyah, 1283 H.

Munawwir A.W, Kamus al Munawwir Arab Indonesia, ed. II, Yogayakarta: Pustaka Progressif, 1984 M. al-Naisabûrî, ‘Abdullâh ibn ‘Alî ibn al-Jârûd Abû Muh ammad, al-Muntaqâ min al-Sunan al-Musnadah, Muhaqqiq: Abdullah ‘Umar al-Barûdî, Cet. I, Beirut: Mu’assasah al-Kitâb al-Tsaqâfiyah, 1988 M.

al-Naisabûrî, Muslim ibn Hajjâj Abû al-H usain al-Qusyairî, Sahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, tt. --------, al-Mufradât wa al-Wahdân, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988 M. al-Nasâ’î, Ahmad ibn Syu’aib Abû Abd al-Rahmân, al-Mujtabâ min al-Sunan, Muhaqqiq: Abd al-Fattâh Abu al-Ghâdah, Cet. II, Halb: Maktabah al- Matbû'ât al-Islâmiyah, 1986 M.

--------, Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ, Muhaqqiq: Abd al-Ghaffâr Sulaimân al- Bandârî dan Sayyid Kasrawî Hasan, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiyah, 1991 M.

Nasir, Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Nasution, Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002 M.

al-Nawawî, Abû Zakariâ Muhyi al-Dîn ibn Syaraf, al-Majmû’ Syarh al- Muhadzdzab, Beirut: Dâr al-fikr, tt. --------, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Cet. II, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al- ‘Arabî, 1392 H. Nawawi, Rif’at Syauki, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah

Akidah dan Ibadah, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2002 M. Nazar, Bakri, Problematika pelaksanaan Fikih Islam, Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994 M. al-Nuhhâs, Ma'ânî al-Qur'ân al-Karîm, Muhaqqiq: Muhammad 'Alî al-Sabbûnî, Cet. I, Makkah al-Mukarramah: Jami'ah Umm al-Qurâ, 1409 H. Poerwodarminto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. V, diolah kembali oleh: pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976 M.

al-Qadâ’î, Muhammad ibn Salâmah ibn Ja’far Abû Abdillâh, Musnad al-Syihâb, Cet. II, Muhaqqiq: Hamdî ibn Abd al-Majîd al-Salafî, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1986 M. al-Qurtubî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Cet. II, Kairo: Dâr al-Syu’ab, 1372 H. Qutub Sayyid, Fî Zilâl al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Rahmân, Afzal, Muhammad as Military Leader, terj: Anas Siddiq, “Nabi

Muhammad saw sebagai Seorang Pemimpin Militer”, Cet. I, Jakarta: Bumi Aksara, 1991 M.

Rahman, H. U., A Chronology of Islamic History, 570-1000 C.E., London: East- West University Islamic Studies, 1989 M. al-Râzî Muhammad, Fakir al-Dîn ibn Diyâ’ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fahr al-Râzî, Cet. III, Beirût: Dâr al-Fikr, 1985 M. Ridâ M. Rasyîd, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Beirut: Dâr al- Kutub al-'Ilmiyah , tt. Rowi, M. Roem, Menafsir ‘Ulûm al-Qur’ân, Upaya Apresiasi Tema-Tema Pokok

‘Ulûm al-Qur’ân, Cet. II, Sidoarjo: al-Fath Press, 2003 M. al-Sabbûnî, Muhammad 'Alî, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-Sabt, Khâlid ibn Utsmân, Qawâ`id al-Tafsîr: Jam`an wa Dirâsatan, Kairo: Dar

Ibn `Affân, 1421 H. Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Biografi Intelektual tujuh belas tokoh, Jakarta: Grasindo, 2003 M. --------, Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007 M. al-Sahhâtah, Abdullâh Mahmûd, Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh, (Kairo:

Universitas Kairo, tt. Saif al-Dîn Abu al-Hasan ’Alî ibn Abî ’Alî ibn Muhammad al-Âmidî, al-Ihkâm fî U U sûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997 M. al-San’anî, Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm, Musannaf Abd al-Razzâq, Cet. II, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H. --------, Tafsîr al-Qur'ân, Muhaqqiq: Muhammad Mustafâ Muslim, Cet. I, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1410 H. al-Sarakhsî, Abû Bakr Muhammad ibn Ahmad ibn Abî Sahl, Usûl al-Sarakhsyi, Kairo: Dâr al-Fikr, tt.

Shihab, ‘Umar, Kontekstualitas al-Qur’ân, kajian tematik atas ayat-ayat hukum dalam al-Qur’ân, Cet: III, Jakarta: Penamadani, 2003 M. Sirâj al-Dîn 'Umar ibn 'Alî ibn 'Ah mad al-Ansârî, al-Muqni' fî 'Ulûm al-Hadîts, Cet. I, Muhaqqiq: Abdullâh ibn Yûsuf al-Jadî', Saudi: Dâr Fawâz li al- Nasyr, 1413 H.

Sou’yb Joesoef, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 M. al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn al-Kamâl, al-Durr al-Mantsûr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1993 M. --------, al-Itqân fî Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-Syâfi’î, Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh, Musnad al-Syâfi’î,(Beirût: Dâr al-

Kutub, tt. al-Syaibânî, Abdullâh ibn Ahmad ibn Hanbal, al-Sunnah, Cet. I, al-Dimâm: Dâr Ibn al-Qayyim, tt. al-Syaibânî, Abû Abdillâh Muhammad ibn al-Hasan, al-Hujjah ‘alâ Ahl al- Madînah, Cet. III, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1403 H. al-Syaibânî, Abû Bakr Ahmad ibn ‘Amr ibn al-Dahhâk, al-Âhâd wa al-Matsânî, Cet. I, (Riyâd: Dâr al-Rayâh, 1991 M. al-Syaibânî, Ahmad ibn Hanbal Abû Abdillâh, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Kairo: Muassasah Qartabah, tt. al-Syâtibî, Abû Ishâq Abd Rahîm ibn Mûsâ al-Lakhamî al-Qarnatî, al-Muwâfaqât fî usûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. al-Syaukânî, Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad, al-Qaul al-Mufîd fî Adillah al- Ijtihâd wa al-Taqlîd, Cet. I, Muhaqqiq: Abd al-Rahmân Abd al-Khâliq, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1396 H.

--------, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. --------, Nail al-Autâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Beirut: Dâr al-Jail, 1973 M. Syihab, M. Quraish, Rasionalitas al-Qur’ân, studi kritis atas tafsir al-Manar, Cet.

I, Jakarta: Lentera Hati, 2006 M.

--------, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Cet. I, Jakarta: Lentera Hati, 2000 M. al-Tabarî, Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H. --------, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 M. al-Tabrânî, Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb, al-Mu’jam al-Kabîr, Mûsal: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1983 M. --------, al-Mu’jam al-Ausat, Cet. II, Mûsal: Maktabah al-‘Ulûm wa al-Hikam, 1405 H. al-Tahâwî, Abû Ja’far Ahmad ibn Muhammad ibn Salamah ibn Abd al-Mâlik ibn Salamah, Syarh Ma’ânî al-Âtsâr, Muhaqqiq: M. Zuhrî al-Najjâr, Cet. I, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah , 1399 H.

al-Tamîmî, Ahmad ibn ‘Alî ibn al-Mutsannâ Abû Ya’lâ al-Mûsilî, Musnad Abî Ya’lâ, Muhaqqiq: Husain Salim Asad, Cet. I, Damascus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1983 M.

al-Turmudzî, Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al- Sahîh Sunan al-Turmudzî, Beirut: Ihyâ al-Turâts al-'Arabî, tt. al-Umarî, Akram Diyâ, Madinah Society at the time of the Prophet, terj. Dari. “al- Mujtama’ al-Madânî fi al-Nubuwwah”, oleh Huda Khattâb, edisi. II, Virginia USA: the International Institute of Islamic Thought, 1995 M.

al-Usfûrî, Abu ‘Umar, Khalîfah ibn Khiyât al-Laitsî, Târîkh Khalîfah ibn Khiyât, Cet. II, Beirut: Dâr al-Qalam, 1397 H. Ushama, Thameem, Methodologhies of The Qur`anic Exegesis, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1995 M. al-Wâhidî Abû al-Hasan, 'Alî ibn Ahmad, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz , Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Wansbrough, John, Quranic Studies, Sources and Methods of Scriptural Interpretation, Foreword, Translations, and Expanded Notes by Andrew Rippin, Oxford: Oxford University Press, 1977 M.

Ya’qub, Ali Mustafa, Nikah Beda Agama dalam al-Qur’ân dan Hadîts, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005 M. al-Zâhirî, Abû Muhammad ‘Alî ibn Ahmad ibn Hazm, al-Muhallâ, Beirut: Dâr al- Âfâq al-Jadîdah, tt. Zain al-Dîn Abd al-Rahîm ibn al-Husain al-'Iraqî al-Hâfiz, al-Taqyîd wa al-Îdâh Syarh Muqaddimah Ibn al-Salâh, Cet. I, Muhaqqiq: Abd al-Rahmân M. 'Utsmân, Beirut: Dâr al-Fikr, 1970 M.

al-Zarkasyî, Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Bahâdur ibn ‘Abdillâh, al-Mantsûr fî al-Qawâ’id, Muhaqqiq: Taisîr Fâiq A. Mahmûd, Cet. II, (Kuwait: Wizârah al-Auqâf wa al-Su’ûn al-Islâmiyah, 1405 H.

al-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azîm, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1996 M.

Website: Download pada hari kamis, 6 maret 2008

http://interchurchfamilies.org/Journal/98su15.shtm http://www.thealabamabaptist.org/ip_templete.asp?upid=7020g/ip_templete.asp http://interchurchfamilies.org/searchangine.shtm

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. PERSONAL

Nama

: Much. Mu’alim

TTL

: Jombang, 02 Juni 1979

NIM

No. Telp/Hp

E-Mail

: bossjabo@yahoo.co.id

Alamat :Plemahan RT/RW: 006/017, Desa. Banyuarang, Kec. Ngoro, Kab. Jombang, Jawa Timur.

B. KELUARGA

1. Orang tua:

a. Bapak: Munadi

b. Emak: Munawaroh

2. Saudara:

a. M. Mundhik

b. Abd. Mufid

C. PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

1. Pendidikan Formal

a. S2 Sekolah Pascasarjana (Ulûm al-Qur’ân/Tafsir), UIN, Jakarta ; 2008

b. S2 Program Pascasarjana (Hukum Islam), IKAHA, Jombang ; 2007

c. S1 Fak. Syari’ah, (al-Ahwâl al-Syakhshiyyah), Jombang ; 2004

d. Madrasah Aliyah al-Anwar; Pacul Gowang, Jombang ; 1998

e. Madrasah Tsanawiyah, Tebuireng, Jombang ; 1995

f. Madrasah Ibtidaiyah, Ngoro, Jombang ; 1992

2. Pendidikan Non Formal

a. Madrasah Tsanawiyyah Diniyah, Tarnas-PaGo, Jombang ; 2000

b. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah, Nurul Huda, Jombang

3. Pelatihan dan Kursus

a. Kursus Bahasa Inggris, Language Center, Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007

b. Pelatihan CEFE (Creation of Enterprises Through Formation of Entrepreneurs) III, Dirjend. UKM, Dep. Perindustrian, Jakarta; 2006

c. Kursus Bahasa Inggris, New English Course (NEC), Jombang, 2004

d. Pelatihan Pendayagunaan Gas Bio (berbahan bakar tinja), Jombang;

e. Pelatihan Guru TPQ (Qiro’ati), Al-Anwar, Jombang; 1997

f. Pelatihan Guru TPQ (Iqro’), Jam’iyyah al-Qurrâ’ wa al-Huffâz (JQH),

Jombang; 1996, dan lain-lain.

D. PENGALAMAN PEKERJAAN DAN ORGANISASI

1. Pengalaman Pekerjaan dan Mengajar

a. Pimpinan Unit Jasa Boga PP. Tebuireng Jombang

b. Guru Kitab Salaf, PP. Tebuireng Jombang ; 2000-2006

c. Guru Kitab Salaf, PP. al-Masruriyah Tebuireng ; 2001-2006 c. Guru Kitab Salaf, PP. al-Masruriyah Tebuireng ; 2001-2006

e. Guru Les B. Inggris, Mts. Tebuireng, Jombang ; 2006

f. Guru Les B. Inggris, MA al-Anwar, Jombang ; 2006

g. Pembina Asrama MA Salaf Tebuireng, Jombang ; 2006

h. Pembina Asrama MAK Tebuireng, Jombang ; 2005

i. Guru Madrasah Diniyah Nurul Huda, Jombang ; 1995-2005 j. Karyawan bag. Adminstrasi Jasa Boga Tbi, Jombang ; 2000-2005 k. Guru Madrasah Diniyah Blimbing, Jombang

; 1996-2000 l. Karyawan bag. Distribusi Jasa Boga Tbi, Jombang

; 1997-2000

2. Pengalaman Organisasi

a. Menteri Pemberdayaan Mahasiswa, BEM-IKAHA; 2003

b. Pimpinan Seni Hadrah & Banjari Jasa Boga Tbi Jombang; 1999-2002

c. Wakil Ketua Jam’iyah Shalawat antar Masjid-Mushalla Desa

Banyuarang & Blimbing; 1997, dan lain-lain.

E. PRESTASI DAN KARYA TULIS

1. Prestasi

a. Mahasiswa terbaik III, S2, Hukum Islam, IKAHA

b. Mahasiswa terbaik II, S1, Syari’ah (AS), IKAHA , 2004

c. Juara III, Lomba Terjemah Kitab Antar Pesantren, Pasuruan , 2002

d. Peserta Ospek terbaik II, IKAHA , 2004

e. Juara I, MTQ se-Kecamatan, Ngoro-Jombang , 1991

2. Karya Ilmiyah

a. Perkawinan Lintas Agama dalam Kajian Tafsir Tematik; Sosio-

Historis; Tesis, UIN Jakarta, 2008.

b. Perkawinan Beda Agama Menurut al-Qur’ân; Suatu Kajian Tematik;

Tesis, IKAHA, 2007.

c. Status Anak Sah menurut Burgerlijke Weatboek (BW), Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan al-Syâfi’î, Skripsi, IKAHA, 2004.

3. Buku

a. English Guidance Book, Team NEC, Jombang , 2006

b. Hadîts-hadîts Pilihan, panduan santri Diniyah, Jombang , 2005

c. Tafsir Surat-surat Pendek, Panduan Santri Diniyah

d. Terjemah al-Nahw al-Wâdih, Panduan Santri Diniyah , 2004

e. al-Tashîl fî al-Sarf wa Tasrîf, Panduan Santri Tbi, Jombang , 2003.

f. Penjelasan Nazm al-Imritî, Panduan Santri Tbi, Jombang , 2003.

g. Penjelasan al-Ajrûmiyah, Panduan Santri Tbi, Jombang , 2003.

4. Artikel

a. Hedonisme di Malam Tahun Baru, Syukur atau Kufur? (Upaya Mengkaji Ulang Kebiasaan Menyambut Malam Pergantian Tahun), Jurnal Bimas DEPAG RI; 2008.

b. Gatot Kaca Kok Nggak Bisa Terbang?; Sebuah Kritik Intelektual Santri Modern; Media Komunikasi Santri Tebuireng; 2005.

c. Valentine’s Day, dan Pengaruhnya terhadap Generasi Muda Islam;

al-Masruriyah Putri; 2005, dan lain-lain.