Non Muslim dan Klasifikasinya, serta Perdebatan tentang Kriteria Ahl al-kitâb

B. Non Muslim dan Klasifikasinya, serta Perdebatan tentang Kriteria Ahl al-kitâb

Di dalam menyebut non muslim, al-Qur’ân memakai beberapa redaksi; kadang kala menyebut langsung agamanya, namun terkadang hanya dengan istilah yang mengindikasikan adanya agama tersebut, seperti ahl al-kitâb. Adapun di antara beberapa ayat yang membicarakan tentang hal ini, dapat dilihat pada tabel berikut:

No Surah

A Tn

Tm Kalimat

Penjelasan pokok ayat

1 al-Bayyinah 1 15 98 al-ladzîna

Perkataan non muslim, bahwa kafarû, ahl al- mereka tidak akan beriman kitâb, al-

sebelum datang bukti yang

musyrikîn

nyata. 20

2 al-Bayyinah 4 15 98 al-ladzîna ûtû

Perpecahan pada ahl al kitâb

al-kitâb

justru terjadi setelah datang bukti yang nyata. 21

3 al-Bayyinah 6 15 98 al-ladzîna

Non muslim akan masuk kafarû, ahl al- neraka jahannam dan kekal di kitâb, al-

dalamnya. 22

musyrikîn

20 Dalam riwayat yang disampaikan Abu al-Habbah al-Badrî; Malik ibn 'Amr ibn Tsâbit al-Ansârî bahwa, ketika turun surat al-Bayyinah, Jibril berkata kepada nabi: "Tuhanmu

memerintahkanmu membacakan (al-Bayyinah) pada Ubay". Kemudian nabi berkata pada Ubay: "Sesungguhnya Jibril memerintahkanku membacakan surah ini kepadanmu". Ubay berkata: "Adakah hal itu peringatan untukku?". Rasul menjawab: "Ya". Maka Ubaypun menangis. Lihat: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/693.

21 Dalam menjelaskan ayat ini, al-Qurt ubî menegaskan bahwa, orang-orang Yahudi dan Nasrani hasud terhadap nabi, dengan melakukan berbagai penyelewengan dan berbuat z alim satu

sama lain demi mendapatkan posisi sebagai pemimpin. Penyebab perpecahan mereka tidak lain hanyalah karena penyelewengan, perbuatan z alim, dan kecintaan pada dunia. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XVII/13. Sebelum nabi Muhammad diutus, ahl al-kitâb tidak memperselisihkannya. Namun, setelah hal itu benar-benar terbukti, justru mereka berselisih satu sama lain. Di antara mereka ada yang beriman, namun juga tidak sedikit yang kufur. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/673.

22 Dalam menjelaskan ayat ini, al-T abarî menyatakan bahwa, sesungguhnya orang-orang yang kufur kepada Allâh dan Rasûl –Nya; Muhammad, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani

maupun orang-orang musyrik, mereka sama menentang kenabian Muh ammad saw. Mereka akan selamanya berada dalam neraka Jahannam, dan mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. XII/667. Predikat " syarr al-bariyyah", yang melekat pada mereka adalah penilaian pada masa Rasulullah saw, dan tidak menutup kemungkinan ada orang-orang kafir (dari umat-

4 al-Kâfirûn

1 17 109 al-Kâfirûn

Ayat 1-6, merupakan sikap toleransi Islam terhadap non muslim. 23

5 al-Hajj

17 19 22 al-ladzîna

Pada hari kiamat, antara

Hâdû, al-

orang-orang beriman dan

Sâbi’în, al-

selain mereka, akan

Nasârâ, al-

ditempatkan terpisah satu

Majûs, al-

sama lain. 24

ladzina asyrakû

6 al-Taubah

30 114 9 al-Yahûd, al-

pernyataanYahudi dan Nasrani

Nasârâ

bahwa ‘Uzair as, dan Isa as adalah anak Allah merupakan

umat lainnya) yang lebih buruk dari dari mereka. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al- Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/673.

23 Surat al-Kâfirûn merupakan pengabaian atas perbuatan orang-orang musyrik. Redaksi al-Kâfirûn, menunjukkan setiap orang kâfir di muka bumi. Akan tetapi surah ini pada awalnya

ditujukan pada orang-orang kâfir Quraisy yang mengajak Rasûl melakukan kompromi dalam menjalankan ibadah (ritual). Lihat: Ism⠒il ibn ‘Umar Ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/726

24 Ketika menjelaskan ayat ini, al-T abarî menegaskan bahwa, kelak di akhirat Allâh akan memisahkan antara orang-orang beriman dan kelompok-kelompok lain, baik dari golongan orang-

orang Munafiq, Musyrik, Yahudi, Nasrani, Sabian, maupun Majusi. Mereka akan diberi pembalasan secara adil, dengan memasukkan orang-orang mukmin ke surga, dan non mukmin ke neraka. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IX/121. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XII/24. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. III/633. Beberapa istilah sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, yakni kelompok-kelompok umat beragama, juga terdapat pada Q.S. 2: 62, "Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang S âbi’în, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allâh, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Hanya saja dalam ayat tersebut, Majusi tidak disebutkan. Tentang ayat ini, al-Wâhidî menjelaskan bahwa, orang-orang (yang sebelumnya) non muslim. Namun (kemudian) ia beriman kepada Allâh, hari akhir, dan beramal saleh (dengan beriman pada nabi Muh ammad), mereka akan mendapatkan janji Allâh, yakni mendapatkan pahala, dan tidak ada kekhawatiran maupun rasa takut di akhirat kelak. Lihat: 'Alî ibn Ah mad Abu al-Hasan al-Wâhidî, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz, h. 110. Dengan ayat ini Allâh mengingatkan bahwa perbuatan baik umat- umat terdahulu kelak diberi balasan sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa riwayat tentang sabab al-nuzûl ayat tersebut. Di antaranya disampaikan Mujâhid, yang mengutip ucapan Salmân al-Fârisî, ia berkata: "Saya bertanya kepada nabi saw tentang penganut agama yang dahulu bersamaku, dan akupun menyebutkan tentang s alat dan ibadah mereka", Maka turunlah Q.S. 22:

18. Namun menurut Ibn 'Abbâs ra ayat tersebut disusul ayat " wa man yabtaghi ghaira al-islâm dînan falan yuqbala minhu ". Hal ini menunjukkan bahwa jalan dan amalan mereka akan diterima, jika sesuai dengan syari'at Nabi Muhammad saw, setelah beliau diutus. Namun sebelum itu, setiap pengikut Rasûl di zamannya masing-masing, berarti mereka telah berada pada jalan petunjuk. Lihat: Muhammad 'Alî al-Sabbûnî, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, Juz. I, (Beirût: Dâr al- Fikr, tt), h. 62.

25 Di dalam tafsirnya, al-Qurtubî menjelaskan bahwa, orang-orang Yahudi menyatakan 'Uzair as adalah Anak Allâh, demikian juga pernyataan orang-orang Nas rani tentang 'Îsâ as,

sedangkan orang-orang Kâfir Arab menyatakan bahwa Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ sedangkan orang-orang Kâfir Arab menyatakan bahwa Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’

Keterangan:

A: Ayat, Tm: Tartîb Mushafî, Tn: Tartîb Nuzûlî. Pada tabel ayat di atas, penyebutan agama-agama di luar Islam memakai beberapa istilah, yang dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:

a. Penyebutan orang-orang di luar Islam. Dalam hal ini disebutkan beberapa istilah, meliputi:

1. Orang-orang di luar Islam yang dihubungkan dengan agama tertentu, yaitu: al- Yahûd, al-Nasârâ, al-Sâbiûn, al-Majûs, Ahl al-kitâb, al-Ladzîna ûtû al-kitâb. Berkenaan dengan penamaan al-Yahûd, al-Qurtubî menjelaskan bahwa penamaan tersebut disandarkan pada putra terbesar nabi Ya’qûb. Demikian juga dengan al-Nasârâ, adalah merupakan bentuk jamak dari kata Nasrân/Nasrânî, sebagaimana pendapat syibawaih. Sedangkan al-Sâbiûn adalah bentuk jamak dari al-Sâbi’î. Mayoritas ulama memasukkan orang- orang Yahudi dan Nasrani dalam kategori ahl al-Kitâb. Sedangkan Sâbi’ûn,

masih terdapat perbedan pendapat apakah mereka ahl al-kitâb atau bukan. 26

2. orang-orang di luar Islam yang tidak secara langsung dihubungkan dengan agama tertentu. Mereka adalah al-Kâfirûn dan al-Musyrikîn.

b. Penyebutan perbuatan yang dilakukan orang-orang di luar Islam , yaitu lafaz "al-ladzîna asyrakû ", "orang-orang yang syirk (menyekutukan Allâh)", "al- ladzina kafaru", "orang-orang yang kufur", dan "al-ladzîna hâdû", "orang-orang

yang menjadi Yahudi". 27 Pada pembagian di atas terdapat istilah ahl al-Kitâb yang berarti “Orang-

orang yang memiliki al-Kitâb ” dan al-Ladzîna ûtû al-Kitâb, maksudnya orang- orang yang diberi al-Kitab. Khitâb dua istilah tersebut, banyak ditujukan pada para penganut dua agama samawî sebelum Islam , yaitu: Yahudi dan Nasrani.

Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. II/82. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al- Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/37.

26 Hal ini disebabkan oleh perilaku (ibadah) Sâbiûn yang terdapat kemiripan dengan ahl al-kitâb dan Majusi. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-

Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. I/433.

27 Untuk penjelasan tentang istilah Yahudi, lihat kembali: 'Alî ibn Ah mad Abu al-Hasan al-Wâhidî, al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-'Azîz , h. 110. Lihat juga: Muh ammad 'Alî al-Sabbûnî,

Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, Juz. I/62.

Sedangkan non muslim lainnya, tidak satupun ayat yang menyebut mereka dengan dua istilah dimaksud. 28 Hal ini memberi indikasi bahwa kedua agama samawî

tersebut mendapat perhatian dan perlakuan yang berbeda dengan non muslim lainnya, termasuk dalam hal perkawinan sebagaimana dibahas dalam tesis ini. 29

Dengan demikian, perlu kiranya dilakukan pemetaan dan klasifikasi tentang non muslim, karena sebagaimana telah dijelaskan bahwa terdapat ketentuan yang ber beda antara mereka dalam masalah perkawinan dengan orang Islam.

1. Klasifikasi Non Muslim Sebagaimana diketahui bahwa semua non muslim masuk dalam kategori kafir (orang yang hatinya tertutup dari Islam), yang untuk selanjutnya terbagi

menjadi dua, yaitu: ahl al-kitâb dan non ahl al-kitâb. Namun pada umumnya, para ulama membaginya dengan kategori ahl al-kitâb dan musyrik. Indikasi adanya

klasifikasi demikian, terdapat dalam Q.S. al-Bayyinah/98: 1 dan 6. 30

28 Kendati demikian, terdapat perbedaan yang jelas antara Islam dan non Islam, yaitu masalah salat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah h adîts dari Abû Sufyân ra, ia berkata: “Saya

mendengar Jâbir berkata: Aku mendengar nabi saw bersabda: "Sesungguhnya perbedaan antara seorang muslim dengan syirik dan kekufuran adalah (dilihat dari perbuatannya untuk melakukan atau) meninggalkan s alat”. Lihat: Muslim ibn Hajjâj Abû al- Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. I/88. Lihat juga: Muh ammad ibn Hibbân ibn Ahmad Abû Hâtim al-Tamîmî al- Bustîy, Sahîh ibn Hibbân bi Tartîb ibn Balbân, Juz. IV/305. Dengan penambahan redaksi "Barang siapa yang meninggalkan s alat, maka ia benar-benar telah kufur". Lihat juga: ‘Alî ibn ‘Umar Abu al-Hasan al-Dâr Qut nî al-Baghdadî, Sunan al-Dâr Qutnî, Muhaqqiq: Sayyid 'Abdullâh Hâsyim Yamânî al-Madanî, Juz. II/53. Dengan demikian, orang-orang non muslim (kafir) adalah mereka yang tidak beragama Islam, hal ini dibuktikan dengan tidak dilakukannya s alat oleh mereka. Namun, tentunya, perbuatan mereka untuk tidak melakukan s alat tersebut didasari atas pemikiran bahwa salat itu tidaklah wajib. Oleh karenanya, orang-orang Islam yang meninggalkan s alat, namun tetap meyakini bahwa salat adalah wajib baginya, maka ia tetap muslim, namun tercatat sebagai pelaku dosa besar. Tentang orang yang meninggalkan s alat karena mabuk, lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. II/178. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al- Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. IV, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), h. 162. Sedangkan, jika meninggalkannya karena tidak sadarkan diri (selain mabuk), lihat: ‘Alî ibn ‘Umar Abu al-Hasan al-Dâr Qutnî al-Baghdadî, Sunan al-Dâr Qutnî, Juz. II/82.

29 Agama-agama yang disebutkan di dalam al-Qur ’ân adalah beberapa agama besar di dunia yang telah ada sejak sebelum Islam lahir. Penyebutan ini, karena adanya persentuhan antara

Islam dan agama-agama tersebut, apalagi pada masa-masa awal kelahiran Islam. Sehingga banyak sekali ayat-ayat al-Qur’ân yang menjelaskan tentang hal itu. Sedangkan agama-agama non Islam lainnya dan atheisme, tidak disebutkan secara tegas dalam al-Qur ’ân, namun semuanya dikategorikan dalam istilah “kâfir”.

30 Q.S. 98: 1, "Orang-orang kafir yakni ahl al-Kitâb dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka

bukti yang nyata". Untuk penjelasan tentang ayat ini, lih at kembali: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/693. Q.S. al-Bayyinah/98: 6, "Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahl al-Kitâb dan orang-orang yang musyrik (akan

Pada dua ayat tersebut terdapat redaksi yang sama, yaitu ungkapan "al- ladzîna kafarû min ahl al-kitâb wa al-musyrikîn", "Orang-orang kafir yakni ahl al-Kitâb dan orang-orang musyrik". Dan jika dipisahkan, maka akan tampak sebuah klasifikasi bahwa, al-ladzîna kafarû merupakan sebutan non muslim secara umum, yang memuat ahl al-kitâb dan al-musyrikîn. Hal ini memberi pengertian bahwa ahl al-kitâb bukanlah orang musyrik, begitu juga sebaliknya. Karena jika tidak demikian, maka tidak perlu ada penyebutan berbeda yang

dihubungkan dengan wawu ataf. 31 Perbedaan ini sangat penting untuk diketahui, karena kedua kelompok tersebut diperlakukan berbeda oleh Islam dalam banyak

hal.

Perhatian dan perlakuan yang berbeda ini dikarenakan adanya perbedaan yang mendasar antara ahl al-kitâb dan musyrik. Karena, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nisâ’/4: 115, kesesatan yang dilakukan oleh musyrik adalah bentuk

kesesatan yang sangat jauh dari kebenaran. 32 Oleh karenanya, dosa karena syirk merupakan bentuk dosa besar yang tidak terampuni. 33 Ketentuan ini, selanjutnya,

masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk". Lihat penjelasan ayat ini: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al- Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/667. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukanî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/673.

31 Lihat: ‘Abdullâh ibn Ahmad ibn Qudâmah al-Maqdisî, al-Mughnî fi Fiqh al-Imâm Ahmad ibn Hanbal al-Syaibânî, Juz. VII, Cet, I, Beirût: (Dâr al-Fikr, 1405 H), h. 100.

32 Q.S. al-Nisâ’/4: 115, “Sesungguhnya Allâh tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain syirik, bagi siapa yang

dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan sesuatu dengan Allâh, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhn ya”. Terdapat beberapa riwayat berkaitan sabab al- nuzûl ayat ini. Di antaranya riwayat tentang bani Ubairaq, yang kembali murtad dan lari ke Mekah setelah diputus bersalah dan akan dipotong tangannya akibat pencurian yang telah mereka lakukan. Namun sesampainya di Mekah, mereka melakukan hal serupa dan akhirnya dibunuh oleh orang- orang musyrik. Setelah itu turunlah ayat tersebut. Namun menurut al-D ahhâk, ayat tersebut turun setelah Rasulullah saw kedatangan seorang lelaki tua (Baduwi), ia berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah orang tua yang bergelimang dosa, akan tetapi saya tidak lagi menyekutukan Allâh setelah aku mengetahui hal itu, dan akupun beriman kepada-Nya. Bagaimana keadaanku di sisi Allâh?". Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. V/366. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukanî, Fath al-Qadîr al- Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/778. Sebelum ayat ini turun, Ibn 'Umar ra menolak untuk memintakan ampun para pelaku dosa besar. Lihat: al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd Rahmân ibn al-Kamâl, al-Durr al-Mantsûr, Juz. II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1993), h. 557.

33 Lihat: Q.S. al-Nisâ’/4: 48, “Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan akan mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Barang siapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar ”.

dipertegas oleh Rasulullah saw dengan menyatakan bahwa, syirk merupakan salah satu dari tujuh hal yang disebut-sebutnya sebagai "al-mûbiqât", yakni sesuatu

yang merusak. 34 Hal itu berbeda dengan perlakuan Islam terhadap ahl al-kitâb, seperti

dijelaskan dalam Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64, 35 yang menjelaskan bahwa antara Yahudi, Nasrani dan Islam terdapat beberapa kesamaan, yaitu adanya ajaran

tauhîd (mengesakan Allâh) dan tidak berbuat syirik terhadap-Nya. Namun ajaran tersebut banyak diselewengkan oleh sebagian besar ahl al-kitâb dengan menyatakan bahwa para Rasul pembawa risalah (agama mereka) adalah anak-

Sebelum ayat ini turun, pada suatu hari Rasulullah membacakan ayat " inna Allâh yaghfiru al- dzunûb jamî'an", "Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa, seluruhnya". Kemudian seorang sahabat berkata: "Bagaimana dengan syirik?". Maka turunlah ayat tersebut yang menyebutkan bahwa syirik merupakan dosa tak terampuni. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. V/235. Menurut al-Syaukânî, semua non muslim/kafir, baik ahl al-kitâb maupun non ahl al-kitâb, masuk dalam cakupan ayat ini, karena mereka semua telah menyekutukan Allâh. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/717. Bandingkan juga dengan: Lihat: al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn Abd Rahmân ibn al-Kamâl, al-Durr al-Mantsûr, Juz. II/557.

34 Riwayat tersebut disampaikan oleh Abû Hurairah dari nabi saw, beliau bersabda: "Jauhilah tujuh hal yang merusak!". Para sahabat bertanya: "Apa saja hal itu, wahai Rasulullah?"

beliau menjawabnya: "Menyekutukan Allâh, sihir, membunuh seseorang (yang diharamkan oleh Allâh kecuali dengan jalan yang h aq), memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling melarikan diri pada saat perang sedang berkecamuk, dan menuduh zina pada wanita terjaga yang tidak mungkin melakukan perbuatan keji tersebut". Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. III/1017.

35 Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64, Katakanlah: “Hai ahl al-kitâb, marilah (berpegang) pada suatu kitab (ketetapan) dan tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah

kecuali Allâh dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allâh. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah!, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allâh)”. Para mufassir menjelaskan bahwa, Allâh memerintahkan kepada nabi untuk mengajak ahl al-kitâb agar kembali berpegang teguh pada kalimat (tauh îd) yang menyatukan mereka dengan umat Islam. Dan supaya mereka tidak mematuhi perintah siapapun yang terdapat unsur maksiyat kepada Allâh. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa khit âb pada ayat tersebut ditujukan kepada Yahudi di sekitar Madinah (akan tetapi mereka menolak, maka kemudian mereka diberi beban jizyah), sebagaimana pendapat ini disampaikan oleh Qatâdah, Rabî' dan Ibn Juraij. Namun menurut Ja'far ibn al-Zubair dan al-Sadyu ayat tersebut ditujukan kepada para utusan Nasrani bani Najrân. Akan tetapi menurut pendapat ketiga, khitâb tersebut berlaku umum untuk kedua penganut agama tersebut. Ayat tersebut juga dicantumkan nabi dalam suratnya kepada Hiraql, penguasa Romawi. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/299. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. IV/105. Dan lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/525.

anak Tuhan. Padahal semua itu merupakan pencemaran terhadap nilai-nilai tauh îd yang menyatukan antara ketiga agama samawî dimaksud. 36

Di samping itu, pada umumnya ahl al-kitâb hanya beriman pada kitab yang diturunkan kepada mereka saja, dan mengingkari al-Qur’ân serta Rasul yang diutus untuk mengajarkannya, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Mâ’idah/5:

68. 37 Pada ayat tersebut, Allâh SWT menegaskan bahwa nilai keberagamaan ahl al-kitâb, tidak akan dianggap oleh-Nya, kecuali mereka juga menjalankan ajaran

al-Qur’ân. Dalam ayat tersebut sama sekali tidak disebutkan kata “al-Qur’ân” ataupun nama yang biasa dipakai untuk menyebut kitab suci terakhir ini. Namun memakai redaksi "mâ unzila ilaikum min rabbikum", "Sesuatu yang telah

diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu". Hal ini untuk meyakinkan

36 Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Taubah/9: 30, “Orang-orang Yahudi berkata: “’ Uzair itu putra Allâh ”. Dan orang-orang Nasrani berkata: “al-Masîh itu putra Allâh”. Demikian

itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan orang-orang kafir yang terdahulu. Allâh melaknati mereka; bagaimana mereka sampai berpaling? ”. Di dalam tafsirnya, al- Qurtubî, menjelaskan bahwa, orang-orang Yahudi menyatakan 'Uzair as adalah Anak Allâh, demikian juga pernyataan orang-orang Nasrani tentang 'Îsâ as, sedangkan orang-orang Kafir Arab menyatakan bahwa Para malaikat adalah anak-anak perempuan Allâh. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. II/82. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/37.

37 Q.S. 5: 68 , “ Katakanlah: “Hai ahl al-kitâb, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran taurât, injîl, dan al-Qur ’ân yang telah diturunkan

kepadamu dari Tuhanmu”. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Mu hammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu ”. Ayat ini merupakan perintah Allâh kepada nabi Muhammad agar menyampaikan kepada ahl al-kitâb perihal kebenaran yang dibawanya. ahl al-kitâb pada umumnya, hanya mempercayai keberadaan kitab masing-masing beserta ajaran yang ada di dalamnya, tanpa mau menerima ajaran yang termuat dalam al-Qur'ân. Padahal ajaran yang ada dalam Taurât, Injîl dan al-Qur'ân adalah saling membenarkan satu sama lain. Oleh karenanya, jika mendustakan salah satu darinya, sama halnya dengan mendustakan semuanya. Menurut riwayat yang dibawa Ibn 'Abbâs ra, ayat tersebut turun setelah Rasul kedatangan tiga orang pembesar Yahudi (Salâm ibn Misykam, Mâlik ibn al-S âif, dan Râfi' ibn Huraimilah), mereka berkata kepada Rasul: "Wahai Muh ammad, bukankah kau menganggap bahwa dirimu berpegang pada ajaran dan agama Ibrâhîm, beriman pada kitab suci kami; Taurât, dan juga bersaksi bahwa kitab tersebut benar-benar dari Allâh SWT?", Rasulullah saw menjawab: "Ya, akan tetapi kalian telah mengubahnya, menentang ajaran-ajarannya; termasuk perjanjian kalian, menyembunyikan sebagian darinya yang harus kalian jelaskan pada manusia, dan aku membebaskan diri (tidak turut campur) atas perubahan yang kalian lakukan". Namun mereka membela diri, seraya berkata: "Sesungguhnya kami mengambil apa yang ada di tangan kami, kami berada di atas kebenaran dan petunjuk, dan kami tidak (perlu) beriman kepadamu, (apalagi) mengikuti ajaranmu". Maka turunlah ayat tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/649. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syaukânî, al-Qaul al-Mufîd fî Adillah al-Ijtihâd wa al- Taqlîd, Juz. II/90.

bahwa al-Qur’ân benar-benar merupakan kitab suci yang diturunkan dari Allâh SWT, Tuhan yang juga telah menurunkan Taurât dan Injîl kepada ahl al-kitâb. Dengan demikian, perlakuan yang lebih lunak terhadap ahl al-kitâb lebih dimaksudkan untuk menyelamatkan akidah mereka yang telah diselewengkan

oleh sebagian para pendahulunya. 38 Kendati demikian, dalam masalah sosial-kemasyarakatan, umat Islam

harus mengedepankan toleransi, dan asas saling menghormati antara penganut agama yang berbeda, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Mumtah 39 anah/60: 8.

Ayat tersebut mengajarkan umat Islam agar memperlakukan penganut agama lain dengan baik selama mereka tidak memusuhi Islam. Karena Islam menghendaki

kehidupan yang aman, tentram dan tidak saling bermusuhan. Para ulama menilai ayat tersebut sebagai dispensasi (rukhsah) dari Allâh SWT untuk tetap menjalin hubungan (sosial) dengan orang-orang non muslim yang tidak memusuhi umat Islam pada masa-masa awal. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa riwayat,

termasuk dari Asmâ bint Abî Bakr ra dan Ibn ‘Umar ra. 40

38 Lihat kembali dialog antara nabi Muh ammad dengan tiga pembesar Yahudi; Salâm ibn Misykam, Mâlik ibn al-Sâif, dan Râfi' ibn Huraimilah. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr

ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/649.

39 Q.S. 60: 8. “Allâh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari

negerimu. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang berlaku adil ”. Ketika pembicaraan ayat berkisar pada hal-hal yang seharusnya dilakukan orang Islam atas permusuhan orang kafir dan larangan menjalin kasih sayang dengan mereka, terdapat selingan pembicaraan agar berbuat baik pada orang-orang tertentu. Ayat ini merupakan kebolehan bagi umat Islam untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir, baik wanita maupun anak-anak, yang tidak memerangi mereka dalam masalah agama. Dalam hal ini banyak terdapat riwayat bahwa ayat tersebut turun dalam masalah Asm⒠bint Abû Bakr dengan ibunya. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Dimasyqî Abû al- Fidâ’, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/447. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. X/207. Bandingkan: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al Tafsîr, Juz. V/299.

40 Tentang kasus Asmâ’, terdapat beberapa riwayat yang disampaikan 'Urwah ra. Ia berkata: Asm⒠bint Abû Bakar ra bercerita padaku: “Ibuku datang kepadaku (dengan penuh

harapan/cinta) dalam masa perjanjian nabi saw, maka akupun bertanya kepada beliau: “Bolehkan aku menyambung (hubunganku) dengannya? ” Beliau menjawab: ”Ya/boleh saja”. Ibn 'Uyainah mengatakan: “Maka turunlah ayat “(Allâh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama) ”. Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2230. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairî al-Naisabûrî, Sahîh Muslim, Juz. II/696. Bandingkan dengan: Sulaimân ibn al-Asy ’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abi Dâwûd, Juz. I/523. Sedangkan perihal kasus ‘Umar ibn al-Khattab ra, tergambar dalam riwayat yang disampaikan oleh Ibn ‘Umar ra, sebagai berikut: “‘Abdullâh ibn Dînâr berkata: saya mendengar ibn ‘Umar ra

Beberapa riwayat tersebut, mengindikasikan tetap berjalannya komunikasi sosial, kendati dengan latar belakang agama yang berbeda. Walaupun kasus yang diangkat dalam riwayat-riwayat tersebut, berkaitan dengan hubungan dalam keluarga, namun Q.S. 60: 8 yang menjadi pokok pembahasan di atas, secara redaksional tidak dibatasi oleh apapun, sehingga dapat diberlakukan secara umum, baik untuk keluarga ataupun orang lain. Dengan demikian, komunikasi sosial antar pemeluk agama yang berbeda tidak terbatas hanya dalam keluarga, melainkan berlaku umum untuk kalangan masyarakat secara luas. Namun dengan catatan, bahwa hal itu tidak menyebabkan ketersinggungan agama yang dapat

mengacaukan tata kehidupan sosial. 41 Apalagi sampai mengarah pada upaya

pemurtadan akidah umat Islam . Di samping tetap menjalin hubungan sosial dengan baik, toleransi beragama tersebut juga diwujudkan dengan memberikan kebebasan bagi tiap-tiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing,

berkata: “‘Umar ra melihat perhiasan indah yang dijual, iapun berkata: “Wahai Rasulullah, belilah perhiasan ini, dan pakailah pada hari jum ’at dan ketika engkau kedatangan (tamu) utusan ”. Rasul saw, bersabda: “Sesungguhnya (lelaki) yang memakai perhiasan ini adalah mereka yang tidak punya bagian (di surga)”. Lalu Nabi diberi sebagian dari perhiasan tersebut. Maka beliau mengirim salah satu darinya kepada ‘Umar ra. Diapun berkata: “Bagaimana saya dapat memakainya, padahal engkau telah mengatakan tentang (keh araman) hal itu? ”. Rasûl bersabda: “Aku tidak memberikannya padamu untuk engkau pakai, akan tetapi untuk menjualnya atau memberikan pada orang lain untuk dipakai”. Maka ‘Umar ra mengirimnya untuk saudaranya di Mekah sebelum ia masuk Islâm”. Lihat: Muhammad ibn Ism⠒îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2230.

41 Lihat kembali: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/447. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj

al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. X/207. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al- Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. V/299.

42 Dalam keadaan demikian, apalagi jika non muslim telah menyatakan perang terhadap umat Islam, seorang muslim harus lebih mengutamakan kepentingan agama di atas segala-galanya,

bahkan keluarga sekalipun. Hal ini dibuktikan oleh Abû ‘Ubaidah ra, yang mana pada saat perang Badar ia berhadapan dengan ayahnya sendiri, bahkan ia berhasil membunuhnya, kemudian turunlah Q.S. 58: 22, "Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allâh dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allâh dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripa da-Nya…". Untuk beberapa penjelasan dalam hal ini, lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr, Abu al-Fid⠒ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/343.

sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Kâfirûn: 1-6. 43 Ayat-ayat tersebut merupakan jawaban yang diajarkan oleh Allâh SWT kepada nabi Muh ammad saw

ketika orang-orang musyrik memberi tawaran kepada beliau untuk saling menyembah tuhan kedua belah pihak secara bergantian. 44 Namun tawaran

tersebut dijawab dengan bentuk toleransi yang sangat moderat. Karena agama, adalah masalah keyakinan yang berhubungan langsung dengan hati, sehingga toleransi dan kerukunan yang sesuai, adalah dengan saling memberi kebebasan

dan tidak saling mengganggu pelaksanaan ajaran agama masing-masing. 45

43 Q.S. Al-Kâfirûn/109: 1-6, “Katakanlah, hai orang-orang kâfir!. Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku

(juga) bukan penyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian kalian bukanlah penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku ”. Lihat kembali: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/726.

44 Dalam tawaran orang-orang Quraisy disebutkan bahwa, mereka akan menyembah Allâh dalam waktu setahun. Namun sebaliknya, Rasul dan para pengikutnya harus menyembah tuhan

mereka dalam waktu setahun pula.Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al- Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/332 Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/726.

45 Di samping itu, Islam menunjukkan jalan kebenaran dengan tidak memaksakan diterimanya kebenaran tersebut. Karena bagi mereka yang berfikiran jernih, dengan sendirinya

akan mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, sebagaimana hal ini termaktub dalam Q.S. al-Baqarah/2: 256, “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barang siapa yang ingkar kepada thâghût dan beriman kepada Allâh, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allâh maha mendengar lagi maha mengetahui ”. Terdapat perbedaan pendapat tentang khitâb pada ayat tersebut, apakah ditujukan untuk sekelompok atau seseorang dari kaum ans âr, yang mempunyai beberapa anak yang mereka masukkan Yahudi atau Nasrani. Namun setelah masuk Islam, ia bermaksud memaksa anak-anaknya agar menganut agama yang sama, akan tetapi Allâh melarang hal itu, agar mereka menentukan pilihannya sendiri untuk masuk Islam. Karena Islam datang dengan kebenaran, penjelasan serta bukti-bukti yang nyata, sehingga tidak perlu dipaksakan. Di samping itu, semua itu tergantung hidâyah dari Allâh, yang akan diberikan atau dijauhkan dari hati mereka. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/15. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘ Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/416. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/267. Di dalam memahami Q.S. 2: 256 tersebut, para ulama berbeda pendapat yang berkisar pada tiga hal. Pertama, ayat tersebut mansûkh, karena pada akhirnya Rasul memerangi orang kafir dan mengajaknya masuk Islam, berdasarkan QS. 9: 73 dan 66: 9. Keduanya dalam redaksi yang sama, yakni " yâ ayyuha al-nabiyyu jâhid al-kuffâr wa al-munâfiqîn ". Kedua, ayat tersebut tidak mansûkh, namun sebagai perlakuan khusus bagi ahl al-Kitâb. Karena itu mereka tidak diperangi, namun menggantinya dengan membayar pajak ( jizyah), sebagaimana pendapat al-Sya’bî, Qatâdah, al- Hasan, dan al-D ahhâk. Mereka mendasarkan pendapat ini pada riwayat dari Zaid bin Aslam tentang perlakuan 'Umar ra terhadap seorang nenek (Nasrani) yang tidak mau memeluk Islam, setelah berdialog dengan sang khalifah. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li-Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/279. Lihat juga: ‘Alî ibn ‘Umar Abû al-Hasan al-Dâr Qut nî al-Baghdâdî, Sunan al-Dâr Qutnî, Juz. I/32. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa Q.S. 2: 256 tersebut, turun berkenaan dengan kasus sahabat ansâr bernama Abu al-H usain, yang menyayangkan tindakan kedua putranya,

2. Diskusi dan Perdebatan tentang Kriteria Ahl al-kitâb Setelah dalam pembahasan sebelumnya dijelaskan tentang pemetaan non muslim, yang terbagi dalam dua kelompok yaitu: musyrik dan ahl al-kitâb, dalam pembahasan ini kajian dilanjutkan pada kriteria ahl al-kitâb. Hal ini sangat penting, mengingat terdapat perlakuan khusus yang diberikan Islam terhadap mereka, khususnya berkaitan dengan perkawinan. Padahal masih terdapat perdebatan di kalangan ulama dalam memberikan penjelasan tentang kriteria, cakupan dan batasan ahl al-kitâb tersebut. Sebagaimana penjelasan berikut:

a. Ahl al-kitâb terbatas pada Yahudi dan Nasrani, dan keduanya termasuk

musyrik.

Pendapat ini dipegang oleh ‘Abdullâh bin ‘Umar ra, dalam salah satu pernyataannya bahwa, ahl al-kitâb adalah orang-orang musyrik. Oleh karenanya, ia tidak sepakat atas perkawinan antara lelaki muslim dengan para wanita ahl al- kitâb. Dan untuk menguatkan pendapatnya ia menyitir Q.S. 2: 221, tentang larangan menjalin hubungan perkawinan dengan musyrik baik lelaki maupun

perempuan. 46 Dalam hal ini, ia tampak mengabaikan zâhir al-Nass Q.S. 5: 5, yang dengan jelas memperbolehkan lelaki muslim mengawini ahl al-kitâb dengan

kriteria al-muhsanât. Akan tetapi, jika dicermati lebih dalam akan terlihat bahwa pernyataannya tersebut didasarkan pada penyelewengan yang dilakukan para pengikut Yahudi dan Nasrani dalam hal tauhîd. Namun, secara konseptual ia tetap

menuruti ajakan seorang pedagang dari Syam untuk masuk agama Nasrani. Namun, setelah ia mengadukan permasalahan tersebut kepada Rasulullah saw, turunlah ayat di atas. Dan pada saat itu pula tidak ada perintah memerangi ahl al-kitâb. Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li-Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/279. Namun dari tiga pendapat tersebut, tampaknya hanya pendapat kedua yang banyak mendapat dukungan dari beberapa riwayat lain. Lihat: Sa ’îd ibn Mansûr, Sunan Sa’îd ibn Mansûr, Juz. III/961, 962.

46 Hal ini tergambar dengan jelas dalam pernyataannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Nâfi, bahwasannya Ibn 'Umar ra apabila ditanya tentang menikahi wanita Nasrani dan Yahudi,

berkata: "Sesungguhnya Allâh telah mengh aramkan wanita-wanita musyrikah atas orang-orang beriman, dan aku tidak tahu sedikitpun syirik yang lebih besar daripada ucapan seorang wanita bahwa tuhannya adalah Îsâ atau seorang hamba dari hamba-hamba Allâh. Lihat: Muh ammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, 1987, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2024. Namun, dalam kesempatan lain Ibn ‘Umar ra tidak dengan tegas menyatakan bahwa Yahudi dan Nasrani adalah musyrik, kendati ia tetap menyitir Q.S. 2: 221 untuk menyatakan ketidaksukaannya pada perkawinan antara lelaki muslim dengan para wanita mereka, sebagaimana riwayat darinya yang menyatakan bahwa beliau tidak menyukai perkawinan (lelaki muslim) dengan wanita ahl al- kitâb, seraya membaca Q.S. 2: 221. Lihat: Lihat: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III, Cet. I, (Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 1409 H), h. 475.

mengakui bahwa ahl al-kitâb tidak masuk dalam kategori musyrik jika mereka betul-betul mengamalkan ajaran dalam kitab suci mereka, terutama dalam hal tauhîd, karena sebagai ajaran yang bermuara dari sumber yang sama dengan Islam, tentunya dalam hal-hal pokok (baca: tauhîd) terdapat kesamaan dengan

Islam pula. 47 Namun berbeda halnya dengan kalangan mayoritas sahabat, yang

menyatakan bahwa, kendati ahl al-kitâb adalah musyrik, namun dalam hal tertentu (hewan sembelihan dan perkawinan), terdapat pengecualian yang membedakan antara mereka (ahl al-kitâb) dengan musyrik yang lain. Sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Ibn ‘Abbâs ra dan diikuti oleh beberapa

48 tabi’i.

b. Ahl al-kitâb adalah penganut Yahudi dan Nasrani yang terbatas secara geografis. Pendapat ini merupakan ketegasan sikap yang diambil oleh khalifah ‘Umar bin Khattâb ra, yang tidak memasukkan Nasrani Arab dalam kelompok ahl al-

kitâb dan ia berjanji untuk memerangi mereka sampai mereka masuk Islam. 49 Walaupun demikian, ia tidak pernah menolak keberadaan Yahudi Madinah

sebagai ahl al-kitâb, kendati iapun sempat mengusir orang-orang Yahudi Khaibar

47 Dalam hal ini, kunci pendapat Ibn ‘Umar ra adalah pernyataannya bahwa, penyelewengan yang dilakukan Yahudi dan Nasrani adalah bentuk syirik yang terbesar, karena

mereka mengakui adanya tuhan selain Allâh. Dan mungkin saja beliau tidak akan berkata demikian, Jika kedua penganut agama tersebut mengamalkan ajaran tauh îd yang terdapat dalam kitab suci mereka (Taurât dan Injîl), kendati mereka adalah non muslim. Apalagi dalam beberapa ayat al-Qur'ân dengan jelas diungkapkan tentang: (a) Peringatan, agar mereka kembali pada akidah yang benar, bahwa mereka tidak akan menyembah kecuali hanya kepada Allâh), lihat: Q.S. Âlu ‘ Imrân/3: 64. Demikian juga peringatan agar mereka menjalankan apa yang ada dalam Taurât dan Injîl, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-M⠒idah/5: 68. (b) Penyelewengan yang dilakukan para penganut Yahudi dan Nasrani, dengan klaim masing-masing bahwa, nabi 'Îsâ dan nabi ‘Uzair adalah Anak Allâh, lihat: Q.S. al-Taubah/9: 30. Dan juga (c) Tantangan kepada mereka, agar melakukan sumpah bersama-sama untuk mengetahui mana agama yang benar, dan mana yang telah diselewengkan/sesat. Lihat: Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 71.

48 Sebagaimana ditunjukkan oleh riwayat dari Ibn 'Abbâs ra tentang penjelasan Q.S. 2: 221, ia menyatakan bahwa Allâh telah mengecualikan para wanita ahl al-kitâb dari hukum yang

ada di dalamnya. Pendapat ini juga diikuti oleh beberapa tabi ’i seperti Mujâhid, Sa'îd ibn Jubair, 'Ikrimah, Makhûl, Hasan, Dahhâk, Zaid ibn Aslam, Ra bî' ibn Anas, dan lain-lain. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

49 Hal ini dapat dilihat dalam pernyataanya: "Bukanlah Nas rani Arab termasuk ahl al- kitâb, dan tidak pula halal sembelihan mereka bagi kita, dan akupun tidak akan membiarkan

mereka sampai mereka beriman atau aku akan memerangi mereka". Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h.309.

pada saat pemerintahanya. Dalam hal ini sama sekali tidak terdapat riwayat (dari ‘ Umar ra) tentang alasannya membedakan perlakuan tersebut.

Namun jika dilihat pada beberapa riwayat lain, maka kita akan menemukan penjelasan bahwa, orang-orang Nasrani Arab; khususnya bani Taghlab, perbuatannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai ahl al-kitâb. Karena mereka suka melakukan kemunkaran, khususnya minum-minuman keras. Atas dasar inilah, beberapa sahabat memberikan berbagai respon negatif terhadap mereka. Dan respon yang diberikan oleh ‘Umar ra adalah dengan menyatakan

bahwa mereka bukan termasuk ahl al-kitâb. 50

c. Ahl al-kitâb merupakan term khusus untuk penganut Yahudi dan

Nasrani yang terbatas secara geografis dan kebangsaan. Pendapat ini dinyatakan oleh seorang tabi’î, ‘At⒠bin Abî Rabâh. Dalam hal ini ia dengan tegas menyatakan bahwa ahl al-kitâb itu hanya merupakan sebutan bagi para penganut Yahudi dan Nasrani dari kalangan banî Isra’il saja, bukan yang lain. Dengan demikian, jelaslah menurutnya bahwa siapapun yang beragama Yahudi atau Nasrani dari luar bani Isrâîl, atau banî Isra’il yang tidak

50 Di antara sahabat yang memberikan respon negatif tersebut adalah ‘Alî ibn Abî Tâlib, dalam sebuah pernyataannya: Sebagaimana diriwa yatkan ‘Ubaidah dari 'Alî ra, ia berkata:

"Janganlah kalian memakan hewan sembelihan Nasrani Arab, karena sesungguhnya mereka tidaklah berpegang agama Nasrani kecuali dengan meminum Khamr". Lihat: Abû Bakr Abd al- Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Dalam riwayat lain juga disebutkan hal serupa namun dalam redaksi kalam khabar yang dinyatakan oleh periwayatnya, bahwa 'Alî ra benci/tidak suka sembelihan Nasrani Arab demikian juga dengan menikahi para wanitanya. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478.

beragama Yahudi-Nasrani, tidak termasuk ahl al-kitâb. 51 Dan pada periode selanjutnya, pendapat ini dipegang oleh beberapa ulama termasuk al-Syâfi’î. 52

Namun jika dicermati dari beberapa riwayat tentang hal ini, terlihat bahwa ‘ At⒠ibn Abî Rabâh mendasarkan pendapatnya tersebut pada pemahaman atas

sikap yang diambil oleh beberapa sahabat termasuk ‘Umar ibn Khattâb ra yang menyatakan bahwa Nasrani Arab bukanlah ahl al-kitâb. Demikian juga dengan ‘ Alî ibn Abî Tâlib yang tidak menyukai perbuatan yang dilakukan orang-orang Nasrani bani Taghlab, yang membuat ‘Alî ra tidak suka pada makanan dan para

wanita mereka. 53 Dan bertolak dari kedua pendahulunya tersebut, ‘At⒠ibn Abî Rabâh mengembangkan pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ahl al-kitâb

hanya terbatas pada penganut Yahudi dan Nasrani dari kalangan banî Isra’il saja, karena kitab Taurât dan Injîl berikut para Rasul pembawanya khusus

diperuntukkan bagi mereka (baca: bani Isra’il). 54

d. Ahl al-kitâb merupakan sebutan umum bagi setiap penganut Yahudi- Nasrani, dan tidak dibatasi oleh unsur geografis maupun kebangsaan.

51 Pendapat ini terlihat dari pernyataannya dalam riwayat: Abd al-Razzâq dari ibn Juraij, ia berkata, ‘At⒠berkata: “Nasrani Arab bukanlah ahl al-kitâb, sesungguhnya ahl al-kitâb adalah

bani Isra’il, yaitu orang-orang yang telah data ng pada mereka kitab Taurât dan Injîl. Adapun orang-orang (selain bani Isra ’il) yang masuk agama mereka bukanlah termasuk golongan mereka/ ahl al-kitâb”. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San’anî, Musannaf Abd al- Razzâq, Juz. VII/187. Dalam redaksi yang sedikit berbeda, Al-S an’anî kembali mencantumkan riwayat yang semakna dalam kitab dan jalur riwayat yang sama. Sebagaimana dinyatakan bahwa Ibn Juraij berkata (baca: bertanya) kepada ‘At⒠tentang orang-orang Nasrani Arab, dia menjawab: “ Umat Islam tidak boleh menikahi wanita-wanita mereka (Na srani Arab). Ia juga tidak menganggap orang Yahudi, kecuali hanya dari kalangan bani Israil. Dan apabila ia ditanya tentang orang-orang Nasrani, maka pasti demikianlah jawabannya (yakni hanya dari kalangan bani Isra’il)”. Lihat kembali: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San’anî, Musannaf Abd al- Razzâq, Juz. VI/72.

52 Dalam hal ini, al-Syâfi ’î meriwayatkan pendapat tersebut dari Abd al-Majid, dari Ibn Juraij dan berakhir pada orang pertamanya, yaitu ‘At⒠ibn Abî Rabâh. Lihat: Abû Bakr Ahmad

ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173.

53 Untuk melihat pernyataan ‘Umar ra dan ‘Alî ra, lihat kembali: Mu hammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h.309. Bandingkan dengan: Abû Bakr Abd al-Razzâq

ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Dan juga: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478.

54 Hal ini terlihat dari pernyataannya bahwa, ahl al-kitâb adalah bani Isra’il, yang kepada merekalah Taurât dan Injîl diturunkan. Lihat kembali: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-

San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/187. Dan dalam kitabnya, al-Baihaqî menyebutkan riwayat serupa, namun di ujung h adîts tersebut dinyatakan bahwa, riwayat dari ‘Umar ra dan ‘Alî ra semakna dengan apa yang dibawa ‘Atâ’, dengan (tambahan redaksi) “Tidak memperbolehkan memakan sembelihan mereka ”. Lihat: Abû Bakr A hmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al- Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173.

Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama pada setiap generasi. Di kalangan sahabat tercatat beberapa nama termasuk ‘Alî ibn Abî Tâlib, dan Ibn ‘ Abbâs ra, yang kesemuanya sepakat bahwa ahl al-kitâb bukan hanya terbatas

pada pengikut Yahudi-Nasrani dari banî Isra’il saja. 55 Hal ini tercermin dari beberapa komentar mereka yang tidak menafikan Nasrani ‘Arab sebagai bagian

dari ahl al-kitâb, berbeda dengan ‘Umar ibn Khattâb ra dan putranya, ‘Abdullâh ibn ‘Umar ra. 56

Dalam beberapa riwayat, ‘Alî ra menunjukkan ketidaksukaannya pada orang-orang Nasrani bani Taghlab, baik dalam memakan sembelihan mereka, maupun mengawini para wanitanya. Namun hal itu dilakukannya karena

perbuatan mereka yang suka melakukan kemunkaran, bukan karena mereka non bani Isra’il. Sebab menurutnya, dengan melakukan perbuatan-perbuatan keji

tersebut, mereka telah keluar dari agama Nasrani. 57 Hal serupa juga dilakukan oleh Ibn ‘Abbâs ra yang tampak tidak mempermasalahkan hewan sembelihan

Nasrani bani Taghlab. Namun, di sisi lain ia juga mengingatkan, agar kaum muslim tidak sampai murtad oleh karenanya. 58

55 Untuk mengetahui pernyataan ‘Alî ra, lihat: Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Sedangkan, pendapat Ibn ‘Abbâs ra

yang memperbolehkan orang Islam memakan sembelihan Nas rani Arab, lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/217.

56 Keduanya dengan tegas tidak menanggap Nasrani Arab sebagai ahl al-kitâb. Untuk melihat pendapat ‘Umar ra, lihat: Mu hammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-

Syâfi’î, h. 309. Sedangkan untuk pendapat Ibn ‘Umar ra, lihat: Mu hammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz. V/2024.

57 Lihat kembali tentang pernyataan ‘Alî ra tentang hal ini. Lihat: Abû Bakr Abd al- Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Dalam hal ini, al-T abarî

melakukan analisis dengan menyatakan bahwa pelarangan 'Alî ra untuk memakan sembelihan Nasrani bani Taghlab lebih disebabkan oleh (perbuatan) mereka yang tidak mencerminkan sebagai orang Nasrani, bukan karena mereka non bani Isra ’il. Jika demikian, maka konsensus hujjah tersebut adalah bahwasannya memakan sembelihan Yahudi dan Nasrani (baik dari bani Israil maupun bukan), tidaklah diharamkan. Dengan catatan, mereka benar-benar menjalankan segala aturan (halal-haram) dari kedua agama tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayan ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440.

58 Sebagaimana pernyataan Ibn ‘Abbâs ra ketika ditanya perihal sembelihan Nasrani Arab, ia menyatakan: "Tidak ada masalah dengannya", kemudian beliau membaca ayat " wa man

yatawallahum minkum fa innahû minhum", "Dan barang siapa (dari kalian) yang berpaling, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka ". Lihat: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/. 217.

e. Ahl al-kitâb tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani. Pendapat ini dipegang oleh beberapa ulama. Namun, antara satu dan lainya membuat batasan yang berbeda-beda dalam hal memasukkan para penganut agama selain Yahudi dan Nasrani ke dalam kelompok ahl al-kitâb. Pada masa sahabat, pendapat semacam ini sama sekali belum terdengar. Dan baru muncul pada periode tabi’i, kendati tidak banyak mendapat sambutan dari tabi’i lain. Di antara beberapa tokoh yang pendapatnya dapat dikategorikan dalam kelompok ini, antara lain: 1. Abû ‘Aliyah w. 90 H, 2. Abu Hanifah w. 150, keduanya adalah

tabi’i. 3. M. Rasyîd Ridâ. 59 Menurut Abû ‘Âliyah (w. 90 H) para penganut Majusi/Zoroaster membaca

kitab Zabûr. Padahal diketahui bahwa Zabûr adalah salah satu kitab samawî, yang diturunkan kepada nabi Dâwud as, sebelum taurât dan Injîl. Walaupun ia tidak dengan terang menyatakan bahwa orang-orang majusi adalah ahl al-kitâb, namun upayanya untuk menghubungkan mereka kepada Zabûr, memberikan indikasi bahwa mereka juga ahl al-kitâb, di luar Yahudi dan Nasrani. Kendati demikian,

pendapat ini kurang mendapat respon dari para tokoh ulama yang lain. 60 Demikian juga dengan pendapat Abû al-Tsaur, yang menyatakan bolehnya

menikahi wanita Majusi. Namun pendapat tersebut segera mendapat bantahan dari ulama lainnya, termasuk Ahmad ibn Hanbal. 61

59 Untuk mengetahui lebih lanjut pendapat Abû ‘Âliyah, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/320. Lihat

juga: Ali Mustafa Ya’qub, Nikah Beda Agama dalam al Qur’ân dan H adîts, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 22. Dan untuk pendapat Abû H anifah, lihat: Badran Abu al- ‘Ianain Badran, al-‘Alâqah al-Ijtimâ’iah baina al-Muslimîn wa Ghair al-Muslimîn, (Iskandariyah: Muassasah Syabâb al-Jâmi’ah, 1984), h. 41-42. Lihat juga: Ali Mustafa Ya ’qub, Nikah Beda Agama dalam al Qur’ân dan Hadîts, h. 22. Sedangkan untuk menelaah lebih dalam pendapat M. Rasyîd Ridâ, lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. IV, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah , tt), h. 153.

60 Lihat kembali: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/320. Secara aplikatif, pendapat ini mendapat dukungan

dari riwayat Yahyâ ibn Ayyûb yang memperbolekan lelaki muslim mengawini budak Majusi, namun riwayat ini bertentangan dengan pendapat jumhûr. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

61 Lihat: Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II/22.

Hal ini berbeda dengan pernyataan Abû Hanîfah (w. 150 H), yang juga didukung oleh para pengikutnya, bahwa penganut Majusi bukanlah ahl al-kitâb. 62

Namun, di sisi lain ia menganggap bahwa siapa saja yang mempercapai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allâh SWT, mereka termasuk ahl

al-kitâb. 63 Dengan demikian, Abû Hanîfah tidak membuat kriteria ahl al-kitâb berdasarkan agamanya, akan tetapi perbuatan yang mereka lakukan. Karena

semua nabi dan kitab yang diturunkan oleh Allâh pastilah mengajarkan Tauh îd, sehingga apapun agamanya, asalkan memenuhi kriteria tersebut, dapat dipastikan bahwa mereka adalah ahl al-kitâb.

Setelah jauh berselang dari waktu keduanya (Abû ‘Aliyah dan Abû

Hanifah), muncullah tokoh Islam modern, M. Rasyîd Ridâ. Di dalam tafsirnya, al-Manâr, ia menyatakan bahwa, ahl al-kitâb tidaklah terbatas bagi para penganut Yahudi dan Nasrani, bahkan para penganut agama-agama di luar keduanya pun

dapat dimasukkan dalam kategori tersebut. 64 Lebih lanjut Ia menyatakan bahwa, pada dasarnya semua penganut agama, sampai detik ini adalah ahl al-kitâb.

Karena pada setiap umat pastilah diturunkan seorang Rasul dengan membawa risâlah dan kitab samawî. Namun, karena panjangnya waktu, maka terjadilah beberapa penyelewe-ngan atas ajaran dalam kitab suci mereka, sebagaimana hal

ini juga terjadi pada agama Yahudi dan Nasrani. 65

62 Ia juga menyatakan bahwa pendapat sebaliknya (yang memasukkan Majusi dalam kelompok ahl al-kitâb) adalah pendapat yang syadz Lihat: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn

Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fî ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/297. Dalam hal ini, pendapatnya tidak berbeda dengan beberapa ulama lain, seperti: Mâlik ibn Anas, al-Syâfi’î, al-Auza’î, Ishâq dan Ahmad ibn Hanbal, yang kesemuanya tidak memperbolehkan perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita Majusi. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al- Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

63 Lihat: Badran Abu al- ‘Ianain Badran, al-Alâqah al-Ijtimâ’iah baina al-Muslimîn wa Ghair al-Muslimîn, h. 41-42. Lihat juga: Ali Mustafa Ya ’qub, Nikah Beda Agama dalam al

Qur’ân dan Hadîts, h. 22.

64 Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. IV153. Hal ini juga dikutip oleh M. Quraish Shihab. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al Misbah, kesan pesan dan

keserasian al Qur’ân, Vol. III/28

65 Pendapat tentang perluasan cakupan ahl al-kitâb merupakan pernyataan Abû Mans ûr Abd al-Qâhir ibn Tâhir al-Baghdâdî dalam kitab: al-Farq baina al-Firâq yang menyatakan bahwa

orang-orang Majusi/Zarathustra mengakui kenabian Zarathustra, turunnya wahyu padanya dari Allâh SWT. Demikian juga dengan orang-orang Sabian/Sâbi ’în yang mengakui kenabian Hermes, Ilyâs, Dauritos, Plato, sekelompok filsuf dan juga para rasul pembawa syariat. Masing-masing mendapat wahyu dari langit, berisi tentang perintah, larangan, berita tentang balasan setelah

Dalam hal ini, Rasyîd Ridâ membuat kriteria ahl al-kitâb berdasarkan akar sejarah kemunculan agama-agama tersebut tanpa mempertimbangkan tingkat penyelewengan yang dilakukan oleh para pengikut masing-masing. Namun, dalam rangka mengambil kesimpulan tentang perluasan cakupan ahl al-kitâb, ia tidak tampak melakukan analisis berdasarkan kerangka analisis tafsir, akan tetapi dengan mengambil data sejarah dan langsung menerapkannya, di samping juga

analisis sosial. 66 Demikianlah, beberapa pendapat ulama tentang kriteria ahl al-kitâb yang

berbeda antara satu dan lainnya. Perdebatan tersebut muncul akibat keberagaman pengetahuan mereka tentang non muslim, khususnya selain Yahudi dan Nasrani.

Di samping itu, terdapat perbedaan di dalam mendefinisikan ahl al-kitâb. Karena, di antara mereka menganggap bahwa ahl al-kitâb adalah sebutan khusus untuk

Yahudi dan Nasrani. 67 Namun sebagian yang lain tidak menganggap demikian, bahkan menjadikan Yahudi dan Nasrani hanya sebagai contoh dari sekian banyak

ahl al-kitâb yang ada. Jadi, menurut pendapat kedua, siapapun yang menganut

kematian, pahala, surga dan juga neraka, sebagai balasan dari amal perbuatan yang telah dilakukan sebelumnya. Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/153.

66 Kenyataan ini dapat dilihat dari langkah Rasyîd Rid â, yang menyitir pendapat Abû Mansûr Abd al-Qâhir ibn T âhir al-Baghdadî dalam kitab: al-Farq baina al-Firâq. Dan langsung

mengikuti pendapat tersebut tanpa melakukan analisis lebih lanjut berdasarkan ayat-ayat al- Qur’ân, kecuali dalam porsi yang sangat minim. Lihat kembali: M. Rasyîd Ri dâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al -Manâr), Juz. VI/153. Demikian juga dalam rangka, melakukan kritik atas pendapat mayoritas ulama yang melarang perkawinan ahl al-kitâb dengan wanita muslimah, M. Rasyîd Ridâ lebih banyak menggunakan analisis sosial daripada tafsir. Dalam hal ini ia (hanya) mengatakan bahwa para ulama terlalu tergesa-gesa menetapkan pelarangan tersebut. Oleh karenanya hal itu perlu dikaji ulang, melihat fakta kontemporer bahwa perempuan lebih banyak berperan dalam keluarga termasuk perihal arah pendidikan anak-anak mereka. Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/152.

67 Hal ini dapat dicermati dari pendapat-pendapat kelompok 1 s/d 4. Semuanya menyatakan bahwa ahl al-kitâb hanyalah penganut Yahudi dan Nasrani. Walaupun, secara

aplikatif masih terdapat perdebatan di dalam menentukan Yahudi dan Nasrani mana yang disebut sebagai ahl al-kitâb. Kendati demikian, mereka telah sepakat bahwa ahl al-kitâb adalah Yahudi dan Nasrani. Untuk lebih jelasnya, paling tidak lihat kembali: Abû Bakar ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/475. Lihat juga: Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h.309. Bandingkan dengan: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/187. Dan juga dengan: Abû Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/217.

suatu agama wahyu (selain Islam), jika terdapat karakter yang sama dengan Yahudi dan Nasrani, mereka adalah ahl al-kitâb. 68

Perkembangan diskusi (khususnya) pasca-sahabat tentang ahl al-kitâb adalah berkenaan dengan posisi penganut dua agama non Islam di luar Yahudi

dan Nasrani, yaitu Majusi 69 dan Sabian. Penganut dua agama ini dengan jelas disebutkan di dalam al-Qur’ân, namun tidak pernah ada ayat yang menyebut

mereka sebagai ahl al-kitâb. 70 Karena pada umumnya, redaksi ahl al-kitâb muncul ketika ada kontak antara Islam dengan Yahudi dan Nasrani, baik teguran,

penilaian, ancaman maupun tantangan. 71

68 Kendati kelompok ke-5 tidak dengan tegas menyebut Qiyâs, namun dari pernyataan masing-masing terdapat indikasi bahwa mereka menyamakan antara beberapa agama di luar Islam

berdasarkan akar kesejarahan (masing-masing agama), dan prilaku para penganutnya. Misalkan, Abû ‘Âliyah mengatakan bahwa orang-orang Majusi membaca Zabûr, padahal Zabûr, taurât, Injîl, dan al-Qur’ân adalah kitab-kitab yang diturunkan oleh Allâh SWT. Berarti semuanya berawal dari sumber yang sama, dan tentunya memuat ajaran pokok (tauh îd) yang sama pula, terlepas dari penyelewengan masing-masing penganut agama tersebut. Karena Yahudi dan Nasrani yang jelas- jelas melakukan penyelewengan, masih disebut sebagai ahl al-kitâb. Maka, tentunya (dalam hal ini) Majusi pun harus diperlakukan sama dengan Yahudi dan Nasrani. Demikian juga apa yang dilakukan oleh Abû Hanîfah dan M. Rasyîd Ridâ. Untuk lebih jelasnya, lihat kembali: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. I/320. Lihat juga: Abd al-Rahmân ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Jauzî, Zâd al-Masîr fi ‘ilm al-Tafsîr, Juz. II/297. Dan juga: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. IV/153.

69 Agama ini banyak dianut oleh masyarakat Persia (pada masa khalifah ‘Umar ibn Khattâb ra). Agama tersebut biasa disebut dengan Zarathustra. Dalam literatur Arab

mengistilahkan dengan Majusi, dan dalam literatur Barat, biasa disebut dengan Mazdaizm. Para penganut agama tersebut meyakini bahwa alam semesta ini dikuasani oleh dua kodrat yang saling bertentangan dan berlawanan terur menerus, yaitu kodrat Ahura-Mazda (kodrat maha bijaksana) dan Angro-Mayu (kodrat angkara murka). Selengkapnya, lihat: Joesoef Sou ’yb, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, Cet. I, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 297.

70 Di antara ayat tersebut adalah Q.S. al-H ajj/22: 18: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sâbi ’în, orang-orang Majusi, dan orang-orang yang

musyrik, Allâh akan memberi putusan di antar mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allâh menyaksikan segala sesuatu”. Lihat kembali penjelasan tentang ayat ini, lihat: Mu hammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IX/121. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XII/24. Bandingkan: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al- Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. III/633.

71 Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa ayat. Di antaranya, tentang: (1) Peringatan , lihat: Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 64 (agar mereka kemba li pada akidah yang benar, bahwa mereka tidak

akan menyembah kecuali hanya kepada Allâh), lihat juga: Q.S. al-Mâidah/5: 68 (agar mereka menjalankan apa yang ada dalam Taurât dan Injîl). (2) Penyelewengan , lihat: Q.S. al-Taubah/9: 30 (klaim masing-masing bahwa nabi Îsâ dan Nabi ‘Uzair adalah Anak Allâh). (3) Ajakan toleransi, lihat: Q.S. al-Baqarah/2: 139 (agar tidak memperdebatkan masalah ketuhanan, dan hendaknya konsentrasi pada amal masing-masing). (4) Tantangan , lihat: Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 71 (ajakan bersumpah bersama untuk mengetahui mana agama yang benar, dan mana yang telah diselewengkan/sesat). (5) Penilaian/pujian, lihat: Q.S. Q.S. Âlu ‘Imrân/3: 113 (ketidaksamaan

Kendati demikian, terdapat beberapa pendapat yang memasukkan mereka (khususnya Majusi) dalam kategori ahl al-kitâb, seperti pendapat Abû ‘Âliyah, sebagaimana disebutkan di atas. Di samping itu terdapat riwayat dari Nasr ibn ‘ Âsim, tentang penjelasan ‘Ali ibn Abî Tâlib yang menyebut mereka sebagai ahl al-kitâb. Lebih lanjut ‘Alî ra menjelaskan bahwa pada awalnya, orang-orang Majusi itu mempelajari ilmu agama dan kitab suci mereka. Namun, pada suatu saat terjadi rekayasa yang dilakukan oleh seorang penguasa/raja, yang akhirnya

berimbas pada penyelewengan penganut agama tersebut secara luas. 72 Penyelewengan ini juga terekam dalam banyak riwayat dan tulisan

beberapa ahli sejarah. 73 Bahkan dalam suatu riwayat seperti yang dilansir Imam

Abû Dâwud disebutkan bahwa, setelah kematian Nabinya, Iblis menjerumuskan

antara beberapa perilaku ahl al-kitâb, di antara mereka setiap malam membaca kitab suci, dan rajin salat tahajjud, seperti ‘Abdullâh ibn Salâm ra dan kawan-kawannya yang akhirnya masuk Islam)

72 Lihat: Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, Juz. I/170. Dalam riwayat tersebut ‘Âlî ra menjelaskan: "Aku adalah orang yang paling tahu tentang orang-

orang Majusi. Mereka mempelajari ilmu dan kitab suci. Namun pada suatu hari, penguasa mereka mabuk (minuman keras), lalu menggauli putri dan saudara perempuannya. Namun hal itu diketahui oleh sebagian keluarga kerajaan. Dan ketika ia telah tersadar, mereka datang untuk menjatuhkan hukuman ( had) atasnya, namun ia menolak hal itu. Kemudian ia mengumpulkan keluarga kerajaan dan berkata pada mereka: "Tahukah kalian tentang agama Adam as? Ia telah menikahkan anak lelakinya dengan anak perempuannya sendiri. Dan aku mengikuti agama Adam, dan apakah kalian senang dengan agama Adam tersebut?". Lalu mereka mengikuti ajakannya, serta membunuh siapapun yang mengingkari hal itu. Mereka mengesampingkan kitab sucinya. Maka hilanglah ilmu dari hati mereka. Mereka adalah ahl al-kitâb, maka Rasulullah saw, Abû Bakar dan 'Umar telah mengambil pajak ( Jizyah) dari mereka".

73 Lihat: Muhammad ibn Ismâ’îl Abû Abdillâh al-Bukhârî al-Ju ’fî, al-Jâmi’ al-Sahîh al- Mukhtasar, Juz. I/219. Dalam h adîts tersebut dinyatakan bahwa, ”Orang-orang Majusi menyalakan

api untuk mulai (mengundang jama'ah) dalam ibadah mereka". Juga riwayat Ibn Abî Syaibah bahwa, “Sesungguhnya Muhammad ibn Sa'd ibn Abî Waqqâs mendengar sekelompok orang berbincang tentang penduduk Persi: "Apa yang terjadi pada orang-orang Majusi, setelah mereka mengikuti agama yang hanîf”. Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al- Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. V/299. Sedangkan dalam tinjauan sejarah, seperti yang disampaikan oleh Joesoef Sou’yb bahwa, sebenarnya kelahiran Zarathustra adalah untuk membasmi praktek pemujaan api (sebagai simbul agama Majusi). Namun, beberapa abad sepeninggalnya, agama itu muncul kembali, bahkan memakai nama Zarathustra. Sehingga kenyataan tersebut sangat bertentangan dengan misi utama yang diemban oleh Zarathustra itu sendiri. Lihat: Joesoef Sou ’yb, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, Cet. I/310.

74 Ajaran Zarathustra diberi nama sesuai dengan nama nabi pembawanya, yaitu Zarathustra (660-583 SM), hal ini sama dengan millah Ibrâhîm (yang juga diberi nama sesuai

nama nabi pembawanya). Kelahiran Zarathustra tidak jauh berbeda dengan ‘Îsâ ibn Maryam as, yakni tanpa ayah/proses biologis, dan pada saat itu, ibunya (Dughdova) baru berusia lima belas tahun. Tentu saja semua orang sangat heran dibuatnya, dan mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan sihir. Oleh karenanya, Z urasyan, seorang pimpinan kaum Majus di tanah Iran (saat itu), beberapa kali merencanakan pembunuhan terhadapnya, namun selalu gagal. Sampai akhirnya Zarathustra tumbuh dewasa dan berhasil menyebarkan keyakinan monotheisme (Tauh îd), nama nabi pembawanya). Kelahiran Zarathustra tidak jauh berbeda dengan ‘Îsâ ibn Maryam as, yakni tanpa ayah/proses biologis, dan pada saat itu, ibunya (Dughdova) baru berusia lima belas tahun. Tentu saja semua orang sangat heran dibuatnya, dan mereka menganggap hal itu sebagai perbuatan sihir. Oleh karenanya, Z urasyan, seorang pimpinan kaum Majus di tanah Iran (saat itu), beberapa kali merencanakan pembunuhan terhadapnya, namun selalu gagal. Sampai akhirnya Zarathustra tumbuh dewasa dan berhasil menyebarkan keyakinan monotheisme (Tauh îd),

mereka, apakah sebagai ahl al-kitâb atau bukan. Dalam hal ini, terdapat beberapa riwayat (yang setidaknya) dapat dijadikan pijakan dan bahan analisis perihal dimaksud. Di antaranya, tentang anjuran nabi, agar para sahabat menampakkan penampilan yang berbeda dengan orang-orang

Majusi. 76 Di samping itu, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan larangan memakan daging hewan yang mereka sembelih. 77 Hal ini berbeda dengan

perlakuan umat Islam terhadap Yahudi dan Nasrani yang diperbolehkan saling memakan daging hasil sembelihan masing-masing. Demikian juga dengan para

wanitanya, terdapat banyak riwayat yang tidak memperkenankan seorang muslim mengumpuli wanita-wanita Majusi tersebut, baik sebagai istri maupun budak,

sampai mereka mengikrarkan syahâdat. 78

walaupun harus hijrah dari kota kelahirannya (Azerbaijan) ke kota Balkh (ibu kota wilayah Bactria di Asia Tengah). Lihat: Joesoef Sou ’yb, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, h. 304-307

75 Lihat: Sulaimân ibn al-Asy ’ats Abû Dâwûd al-Sijistanî al-Azdî, Sunan Abi Dâwûd, Juz. II/184. Dalam riwayat yang disampaikan Abû Jamrah dari Ibn 'Abbâs ra. Beliau menyatakan

bahwa, Iblis menjerumuskan penduduk Persi menjadi penganut agama Majusi, setelah kematian nabi mereka”. Lihat juga: Abû Bakr A hmad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al- Baihaqî al-Kubrâ, Juz. IX/192.

76 Riwayat tersebut menjelaskan tentang anjuran nabi untuk memotong kumis dan memelihara jenggot, karena orang-orang Majusi suka memelihara kumis dan memotong jengot.

Hal ini dilakukan agar mereka berbeda dengan penampilan orang-orang Majusi tersebut. Sebagaimana dikemukakan al-Tabrânî dari Ibn 'Umar ra. Beliau berkata: Rasulullah saw menyebutkan orang-orang Majusi, dan beliau bersabda: "Sesungguhnya mereka memelihara kumis dan memotong jenggot mereka, maka lakukan yang berbeda dengan mereka". Lihat: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. II/7.

77 Sebagaimana riwayat dari Hasan ibn Muhammad ibn 'Alî, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Tidak boleh memakan daging sembelihan orang-orang Majusi". Lihat: Abû Bakr Abd

al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VI/121. Hal ini berbeda dengan makanan mereka selain daging sembelihan, Sebagaimana pernyataan 'Alî ra: "Tidak ada masalah dengan (memakan) roti orang Majusi". Lihat: ‘Alî ibn ‘Umar Abû al-Hasan al-Dâr Qut nî al- Baghdâdî, Sunan al-Dâr Qutnî, Juz. VI/296. Bahkan jika mereka menyebut nama Allâh dalam menyembelih hewan tersebut, tetap saja tidak diperkenankan bagi umat Islam untuk memakannya. Sebagaimana pernyataan Jâbir ibn Zaid dan 'Ikrimah dari Ibn 'Abbâs ra berkata: "Seorang muslim yang menyembelih, namun lupa membaca basmalah, daging semebelihannya boleh dimakan. Sedangkan orang Majusi yang membaca basmalah dalam menyembelih, daging sembelihannya tidak boleh dimakan". Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al-Naisâbûrî, al- Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. IV/260. Hadîts tersebut sahih menurut syarat al-Syaikhain (al- Bukhârî dan Muslim), dan keduanya tidak mengeluarkannya.

78 Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat dari Sufyân al-Saurî dari Mûsâ ibn Abî 'Âisyah bahwa, budak perempuan Majusi tidak boleh diwati. Dan jika hal itu dilakukan, maka

berarti mereka telah bergumul dengan sesuatu yang najis. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. V/196. Hal senada juga disampaikan Ibn Abî

Berbeda dengan beberapa ketentuan di atas, terdapat pendapat, kendati lemah, yang memperbolehkan seorang muslim mengumpuli budak wanita

Majusi. 79 Di samping itu, Rasulullah saw pernah mendelegasikan seorang sahabat (‘Al⒠al-Hadramî ra) ke kawasan Bahrain, dan berpesan padanya agar

memperlakukan orang-orang Majusi seperti layaknya ahl al-kitâb. 80 Bahkan dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw menyebut mereka dengan istilah “tâ’ifah

min ahl al-kitâb”. 81 Dan pada saat ‘Umar ibn al-Khattâb ra menjadi khalifah, ia ragu untuk menarik pajak dari orang-orang Majusi di Persia yang baru saja

ditaklukkan. Namun, setelah berdiskusi dengan beberapa sahabat, dan mendengarkan penjelasan dari Abd al-Rahmân ibn Auf bahwa, Rasulullah saw

Syaibah dari al-Zuhrî , beliau berkata: "Janganlah kalian mendekati wanita Majusi, sebelum mereka mengucapkan “lâ ilâha illâ Allâh ”, dan jika hal itu telah terucap darinya, berarti ia telah Islam". Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/487. Demikianlah, wanita Majusi tidak boleh dikumpuli, namun sebagai budak, pelayanan mereka atas beberapa pekerjaan lainnya tetap dapat dilakukan. Sebagaimana riwayat dari Hammâd dari Ibrâhîm. Beliau berkata: "Budak wanita Majusi jika masuk Islam (setelah ditawarkan kepadanya), maka dapat diwat î’ di samping menjalankan tugas lainnya. Namun jika tidak masuk Islam, maka tugas mereka hanya melayani tanpa boleh diwat î’". Lihat: Abû Bakr ‘ Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/487.

79 Riwayat tersebut disampaikan Sa'îd ibn al-Musayyab, beliau berkata: "Boleh saja seseorang mengumpuli budaknya yang beragama Majusi". Riwayat ini hanya berakhir pada tabi ’i,

Sa’îd ibn Musayyab. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San’anî, Musannaf Abd al- Razzâq, Juz. VII/197. Bandingkan dengan riwayat Ibn Abî Syaibah yang juga dari Sa'îd ibn al- Musayyab, beliau berkata: "Tidak masalah, jika seseorang membeli budak (perempuan) Majusi, kemudian melakukan istibrâ atasnya". Lihat: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fî al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/488. Namun juga terdapat riwayat dari tabi’i, tentang bolehnya mengawini budak wanita Majusi, sebagaimana disampaikan 'At⠒ dan 'Amr ibn Dînâr, ketika ditanya tentang perkawinan dengan budak wanita Majusi, keduanya menjawab: "Tidak ada masalah mengenai hal itu". Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

80 Sebagaimana pesan Rasulullah saw kepadanya: "Tidak halal bagi seseorang untuk tidak mengetahui perihal wajib dan sunnah, namun dapat ditolelir jika ia tidak mengetahui selain

keduanya". Beliau juga menetapkan (tugas) bagi 'Allâ' agar memperlakukan orang-orang Majusi sebagaimana perlakuan terhadap ahl al-kitâb. Lihat: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XIX/437.

81 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, 'Umar ra (pernah) bertanya tentang orang- orang Majusi, maka Abd al-Rahmân ibn 'Auf ra berkata: Saya menyaksikan Rasulullah saw

bersabda: "Orang-orang Majusi adalah termasuk kelompok (sekte) ahl al-kitâb, maka bebanilah (mereka) pajak sebagaimana kalian membebankan pada ahl al-kitâb ". Namun dalam hal ini, tidak ada ulama yang meriwayatkan hadîts tersebut dari A’masy, selain Abû Raja (Rûh ibn al- Musayyib). Lihat: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. III/375.

juga membebankan pajak bagi orang-orang Majusi (Hajar), akhirnya iapun melakukan hal serupa. 82

Beberapa riwayat di atas tampak bertentangan satu sama lain, namun sebenarnya tidak demikian. Karena, jika dicermati dan dikaji secara mendalam, kita akan menemukan titik temu pada masing-masing riwayat tersebut. Apa yang disampakan Nabi, bahwa mereka adalah “tâ’ifah min ahl al-kitâb ” memang benar,

dan juga didukung oleh data sejarah. 83 Namun, keputusan beliau untuk melarang umat Islam memakan hewan sembelihan mereka, juga patut dipertimbangkan.

Dan menurut penulis, di sinilah letak perbedaan antara Majusi dan Yahudi- Nasrani. Padahal masalah halalnya makanan antara umat Islam dan ahl al-kitâb

sangat erat kaitannya dengan masalah perkawinan, sebagaimana dijelaskan Q.S. 5:

5. 84 Di sisi lain, permasalahan boleh-tidaknya mengumpuli budak wanita

(Majusi), menjadi sangat wajar untuk diperselisihkan, karena dalam hal ini,

82 Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa riwayat. Termasuk apa yang disampaikan Bajâlah al-Tamîmî bahwasannya 'Umar ra ibn Khatt âb ra (pada awalnya) tidak bermaksud

membebankan jizyah pada orang-orang Majusi sehingga menyaksikan pernyataan Abd al-Rah mân ibn 'Auf ra tentang perlakuan Rasûlullâh saw terhadap mereka, yang membebankan jizyah (pajak) pada orang-orang Majusi Hajar. Lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû ‘Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al- Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/194. Lihat juga: Muh ammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al- Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/137. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 170. Juga dengan: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. III/375. Namun, pajak yang dibebankan ‘Umar ra berbeda antara Majusi dan Yahudi-Nasrani, karena beban pajak untuk Yahudi dan Nasrani lebih besar dari Majusi, yaitu 4.000 dirham. Sedangkan beban pajak untuk penganut Majusi hanya 800 dirham saja. Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 254.

83 Data sejarah memberikan indikasi bahwa pada awalnya agama Zarathustra/Majusi adalah agama yang mengajarkan tauh îd, dan mempunyai beberapa kesamaan dengan ajaran tauh îd

pada agama-agama monotheisme lainnya termasuk Islam. Mereka juga memepelajari dan menjalankan aturan dalam kitab suci mereka. Oleh karenanya, mereka sebenarnya masuk dalam kategori ahl al-kitâb. Namun, dengan berjalannya waktu, keyakinan mereka berubah menjadi syirik, (bahkan lebih besar dari penyelewengan yang dilakukan Yahudi-Nasrani). Lihat: Abû Bakr ‘ Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. V/299. Lihat juga: Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, h. 310.

84 Pada Q.S. 5: 5, dijelaskan bahwa ada keterkaitan antara halalnya makanan dan menikahi wanita ahl al-kitâb, apalagi secara redaksional kedua penghalalan tersebut dihubungkan dengan

huruf ataf (wawu). Oleh karenanya, jika terdapat penjelasan bahwa, salah satunya tidak halal, maka ketidakhalalannya pun berlaku untuk keduanya (makanan dan perkawinan). Demikian juga terdapat riwayat yang dengan terang menjelaskan tentang perjanjian nabi dengan Majusi Hajar: “ Bahwa mereka dibebani pajak, namun para wan ita dan makanan mereka tidaklah halal bagi umat Islâm". Lihat: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. II, Muhaqqiq: Taqî al-Dîn al-Nadwî, Cet. I, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1991), h. 132 huruf ataf (wawu). Oleh karenanya, jika terdapat penjelasan bahwa, salah satunya tidak halal, maka ketidakhalalannya pun berlaku untuk keduanya (makanan dan perkawinan). Demikian juga terdapat riwayat yang dengan terang menjelaskan tentang perjanjian nabi dengan Majusi Hajar: “ Bahwa mereka dibebani pajak, namun para wan ita dan makanan mereka tidaklah halal bagi umat Islâm". Lihat: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. II, Muhaqqiq: Taqî al-Dîn al-Nadwî, Cet. I, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1991), h. 132

(budak-budak tersebut) sebagai istri, yang tidak satupun riwayat memperbolehkannya. Karena dalam hal ini, si budak tersebut haruslah wanita

beriman. 86 Sedangkan, hadîts Abd al-Rahmân ibn 'Auf tentang penyamaan Majusi

dengan Yahudi-Nasrani, dalam hal kewajiban membayar pajak; yang membedakan mereka dengan orang-orang musyrik pada umumnya, tidaklah

berarti sama dalam segala hal. 87 Hal ini ditunjukkan oleh keputusan khalifah ‘ Umar ra, yang memberikan beban pajak berbeda antara mereka. Dalam hal ini,

beban pajak atas orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah 4. 000 dirham, sedangkan Majusi sebesar 800 dirham, jauh lebih kecil dari beban pajak yang

85 Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat beberapa redaksi dalam ayat-ayat yang menjelaskan tentang kepemilikan budak wanita, yang biasanya disebutkan dengan redaksi “mâ

malakat aimânukum”. Misalkan, Q.S. al-Nisâ’/4: 3, 24, 25, dan 36, juga Q.S. al-Rûm/30: 28. Dalam beberapa ayat tersebut, agama budak, sama sekali tidak disebutkan. Hal ini berbeda dengan ayat-ayat tentang pembebasan budak khususnya dalam pembayaran kafârah, yang kadang dibatasi oleh keimanan yakni "'itqu raqabah mu'minah". Lihat Q.S. 4: 92. Namun, pada ayat-ayat lainnya tanpa menyebutkan kata “mu’minah”, kendati menjelaskan tentang pembebasan budak. Lihat: Q.S.

5: 89, 58: 3, dan 90: 13

86 Tentang hal ini, Q.S. al-Nis⠒/4: 24, menjelaskan, “Barang siapa di antara kamu (orang- orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,

ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki ”. Dalam menjelaskan ayat tersebut, ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs ra menyatakan bahwa kebolehan mengawini budak wanita (beriman), hanyalah bagi orang-orang yang takut akan terjerumus melakukan perzinahan. Karena tidak seharusnya orang-orang merdeka mengawini budak, kecuali karena alasan tersebut. Akan tetapi, jika mereka mau bersabar (untuk tidak menikahi mereka), hal itu merupakan tindakan terbaik. Dengan demikian, kedua penjelasan di atas hanya tentang budak wanita yang beriman, bukan yang lain. Lihat: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/173. Namun terdapat riwayat lain dari tabi ’i, tentang kebolehan mengawini budak wanita Majusi, sebagaimana disampaikan ‘At⒠dan 'Amr ibn Dînâr. Ketika ditanya tentang hal itu, keduanya menyatakan: "Boleh saja melakukannya". Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Namun, riwayat ini tidak lebih kuat dari riwayat Ibn ‘ Abbâs ra yang secara zâhir didukung oleh nass al-Qur’ân.

87 Untuk beberapa riwayat tentang pembebanan pajak pada penganut Majusi, lihat: Ah mad ibn Hanbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/194. Lihat juga:

Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/137. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 170. Juga dengan: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausât, Juz. III/375.

harus dibayar Yahudi dan Nasrani. 88 Hal ini, jelas menunjukkan indikasi bahwa terdapat perbedaan di antara mereka.

Demikian juga dengan riwayat tentang perintah memperlakukan Majusi sebagaimana layaknya ahl al-kitâb; dalam redaksi "sunnû bi al-majûs sunnah ahl

al-kitâb", 89 memberikan indikasi bahwa mereka bukanlah ahl al-kitâb. Karena jika mereka adalah ahl al-kitâb, maka tidak perlu lagi ada upaya penyamaan

tersebut. Dan juga, dari sekian banyak riwayat, sama sekali tidak ditemukan redaksi, misalkan "hum ahl al-kitâb" selain hanya ungkapan “tâ’ifah min ahl al-

kitâb”. 90 Padahal kata tâ’ifah dapat diartikan sebagai sekte, golongan atau bahkan pecahan, yang mungkin sudah sangat berbeda dengan ahl al-kitâb yang

sebenarnya. Di samping itu, hadîts tersebut adalah hadits ahâd, bahkan ‘Azîz karena pada salah satu tabaqahnya, hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, yaitu

Abû Rajâ dari A’masy, sehingga tidak dapat langsung diterapkan. 91 Jika ditelaah lebih dalam, maka akan diketahui bahwa, secara redaksional,

beberapa riwayat yang menyamakan Majusi dengan ahl al-kitâb hanya dalam kasus penarikan pajak, bukan hal-hal yang lain. Salah satu buktinya adalah adanya ungkapan "fahmilûhum 'alâ mâ tuhmilûna ahl al-kitâb ", “Berilah beban (pajak)

88 Sebagaimana dijelaskan Sa'îd ibn al-Musayyab bahwa, "Sesungguhnya 'Umar ra menetapkan pajak atas Yahudi dan Nasrani sebesar 4.000,- dirham, sedangkan atas orang Majusi,

800 dirham". Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 254.

89 Lihat: Abu al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Kabîr, Juz. XIX/437. Hadîts tersebut menjelaskan pesan Nabi saw kepada ‘Alâ al-Hadramî ra yang

ditugaskan ke Bahrain, "Perlakukanlah Majusi seperti perlakuan terhadap Ahl al-kitâb". Bandingkan dengan beberapa riwayat lain, seperti yang dibawa al-Syâfi ’î, tentang keraguan 'Umar ra untuk menetapkan pajak atas Majusi, sebelum mendengarkan penjelasan Abd al-Rah mân ibn 'Auf ra, yang menyaksikan nabi saw bersabda, "Perlakukanlah Majusi seperti perlakuan terhadap ahl al-kitâb ". Lihat: Muhammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 209. Lihat juga: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al-Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Muhaqqiq: M. Fuâd Abd al-Bâqî, Juz. I, ( Mesir: Dâr Ihyâ al-Turâts al- ‘Arabî, tt), h. 278. Dan bandingkan dengan: Abû Ya’lâ, Ahmad ibn ‘Alî ibn al-Mutsannâ Abû Ya’lâ al-Mûsilî al-Tamîmî, Musnad Abî Ya’lâ, Muhaqqiq: Husain Salîm Asad, Juz. II, Cet. I, (D amascus: Dâr al-Ma’mûn li al-Turâts, 1983), h. 168.

90 Sebagaimana riwayat A'masy dari Zaid ibn Wahb perihal kesaksian Abd al-Rah mân atas Rasûlullâh saw, ketika bersabda: "Orang-orang Majusi adalah Tâifah (kelompok) dari dari

ahl al-kitâb, maka berilah beban (pajak) pada mereka seperti kalian membebani (pajak) pada ahl al-kitâb". Namun, dalam hal ini, tidak ada ulama yang meriwayatkan h adîts tersebut dari A’masy, selain Abû Rajâ (Rûh ibn al-Musayyab). Lihat: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ah mad ibn Ayyûb al- Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. III/375.

91 Lihat juga penjelasan al-Tabrânî. Selengkapnya, lihat: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. III/375.

pada mereka seperti kalian membebani (pajak) pada ahl al-kitâb”. 92 Karena dalam masalah makanan dan mengawini para wanitanya (oleh orang Islam ), beberapa

riwayat yang lebih kuat secara tegas melarangnya. 93 Dengan demikian, walaupun dalam akar sejarah, penganut agama

Zarathustra/Majusi dapat digolongkan sebagai ahl al-kitâb, namun penyelewengan yang mereka lakukan, telah membawa mereka pada perbuatan syirk. Di sisi lain, sikap mereka yang memperbolehkan seorang lelaki mengawini para wanita yang berada pada jalur nasab terdekatnya, seperti ibu, saudara perempuan, bahkan anak sendiri, menunjukkan sebuah indikasi bahwa mereka tidak menjaga moral dan etika kekeluargaan, dalam tatanan sosial yang baik. Dan

hal ini sangat berbeda dengan Yahudi-Nasrani, yang masih memakai beberapa pertimbangan etik dalam tatanan kehidupan keluarga mereka. 94 Namun ketika

92 Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwasannya 'Umar ra bertanya (kepada para sahabat lain) tentang Majusi, maka Abd al-Rah mân ibn 'Auf ra berkata: Saya menyaksikan

Rasulullah saw bersabda: "Majusi adalah kelompok (Tâ’ifah) dari ahl al-kitâb, maka berilah beban (pajak) pada mereka seperti kalian membebani (pajak) pada ahl al-kitâb". Lihat: Abû al-Qâsim Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb al-Tabrânî, al-Mu’jam al-Ausat, Juz. III/375. Bandingkan riwayat ini, dengan beberapa riwayat lain, seperti yang dibawa Ah mad ibn Hanbal dari Bajalah al-Tamîmî, tentang maksud 'Umar ra yang tidak akan membebankan pajak pada orang-orang Majusi, sebelum mendengar penjelasan Abd al-Rahman yang menyampaikan kesaksiannya atas Rasûlullâh saw yang telah mengambil pajak (jizyah) dari orang-orang Majusi Hajar. Lihat: Ahmad ibn H anbal Abû Abdillâh al-Syaibânî, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Juz. I/194. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. IV/137. Bandingkan dengan: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 170. Semua riwayat tersebut muncul dalam diskusi tentang pembebanan pajak bagi Majusi.

93 Di antaranya, adalah riwayat dari H asan ra bahwa, "Rasulullah saw telah melakukan akad damai dengan orang-orang Majusi daerah Hajar dengan mengambil pajak ( jizyah) atas

mereka, namun tidak menghalalkan para wanitanya untuk dikawini (orang Islam), demikian juga dengan memakan daging hewan sembelihan mereka". Lihat: Mâlik ibn Anas Abû ‘Abdillâh al- Asbahî, Muwatta’ al-Imâm Mâlik, Juz. II/132. Bandingkan dengan riwayat yang dibawa al- San’anî, Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Daging hewan sembelihan orang-orang Majusi tidak boleh dimakan (oleh orang Islâm)". Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al- San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VI/121. Lihat juga: ‘Alî ibn ‘Umar Abû al-Hasan al-Dâr Qutnî al-Baghdâdî, Sunan al-Dâr Qutnî, Juz. VI/296. Tentang pernyataan 'Alî ra: "Boleh saja memakan roti (buatan) orang-orang Majusi, karena yang dilarang itu adalah daging hewan sembelihan mereka". Bandingkan juga dengan pernyataan Ibn 'Abbâs ra tentang masalah orang Islam yang menyembelih hewan, namun lupa membaca basmalah, ia berkata: "Daging sembelihannya boleh dimakan". Sedangkan tentang orang Majusi yang membaca basmalah ketika menyembelih, ia menyatakan: "Daging sembelihannya tidak boleh dimakan". Dan juga beberapa riwayat lain yang semakna. Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh Abû ‘Abdillâh al-Hâkim al- Naisâbûrî, al-Mustadrak ‘alâ al-Sahîhain, Juz. IV/260.

94 Penyelewengan ini terjadi jauh setelah wafatnya Zarathustra, yaitu ketika seorang raja (penganut Majusi) pada saat itu mabuk berat. Kemudian, menggauli putri dan saudara

perempuannya sendiri. Dan ketika ia tersadar, para pembesar kerajaan hendak menjatuhkan had atasnya, namun ia menolak bahkan mengatakan bahwa agamanya mengikuti agama nabi Adam as,

‘ Umar ibn Abd al-'Azîz berkonsultasi kepada Hasan ibn ‘Alî ra, atas perbuatan keji tersebut, ia menyatakan bahwa syirk yang mereka lakukan jauh lebih besar, dan lebih dari cukup untuk menilai mereka sebagai orang musyrik, hanya saja

mereka juga dibebani pajak, seperti layaknya ahl al-kitâb. 95 Dengan demikian, untuk menilai penganut agama, sebagai ahl al-kitâb

atau bukan, tidak cukup hanya dengan melihatnya dari sisi akar sejarah kelahirannya saja, namun penyelewengan-penyewengan ajaran dalam sejarah (yang berimbas pada masa-masa berikutnya) juga harus dipertimbangkan. Dan sampai pada masa Rasul, penyelewengan yang terjadi pada penganut Majusi

sudah masuk dalam ketegori syirik, berbeda dengan Yahudi dan Nasrani. 96 Di

samping itu, perbuatan mereka yang bertentangan dengan nilai-nilai dan etika sosial, dianggap tidak sepatutnya dilakukan oleh penganut suatu agama samawî. 97

padahal nabi Adam as telah mengawinkan para putranya dengan putri-putrinya sendiri. Atas argumentasinya ini, iapun didukung oleh banyak pihak, dan (dengan kekuatannya) ia bersama para pendukungnya memerangi setiap orang yang menentang ajaran sesat tersebut. Lihat: Muh ammad ibn Idrîs Abû ‘Abdillâh al-Syâfi’î, Musnad al-Syâfi’î, h. 170.

95 Dalam sebuah riwayat dari Qatâdah dan 'Amr ibn 'Ubaid dinyatakan bahwa, 'Umar ibn Abd al-'Azîz mengirim surat kepada 'Adî ibn Art âh agar bertanya kepada al-H asan ibn 'Alî ra

tentang penjelasan perihal Majusi dan perbuatan (mereka) yang menikahi saudara perempuan dan ibu mereka sendiri. Namun, setelah hal itu ditanyakan kepadanya, ia menjelaskan: "Syirik yang mereka lakukan adalah lebih besar (dosanya) daripada itu semua, hanya saja antara mereka dan syirik yang mereka lakukan tersebut diselai-selai oleh pembayaran pajak". Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. X/351. Bahkan ketika Hudzaifah menikah dengan wanita Yahudi, dilarang oleh ‘Umar ibn Khattâb ra, karena kekhawatiran akan timbulnya fitnah, sebab pada saat itu ia sedang berada di kawasan Majusi. Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/178.

96 Term “syirk” yang penulis maksud, sedikit berbeda dengan istilah yang berkembang selama ini. Menurut penulis, Yahudi dan Nasrani, kendati telah menganggap nabi ‘Uzair as dan

nabi Îsâ as sebagai anak Tuhan. Namun, mereka tetap mengakui Allâh sebagai tuhan semesta alam. Dengan demikian, mereka bukanlah orang musyrik, akan tetapi pelaku dosa besar (kufur) atas ajaran nabi Muh ammad saw yang membawa konsep tauhîd Tuhan tanpa anak “lam yalid wa lam yûlad”, sebagaimana konsep ini juga menjadi misi utama para Rasûl sebelumnya. Di samping itu, tidak satupun ayat dalam al-Qur ’ân yang menyebut mereka (Yahudi-Na srani) sebagai musyrik. Namun, jika pada suatu ketika, Yahudi dan Nasrani tidak lagi mengakui Allâh sebagai Tuhan semesta alam, bahkan lebih mengunggulkan makhluk daripada-Nya, atau beralih pada penyembahan Îsâ as/Jesus dengan sama sekali menafikan Allâh, sudah barang tentu mereka adalah orang-orang musyrik. Dan seperti inilah kenyataan yang ada pada para penganut Majusi, di mana mereka telah beralih dari penghambaan kepada Allâh kepada penyembahan terhadap api. Lihat dan cermati kembali beberapa refferensi sebelum ini, dan lihat: Joesoef Sou ’yb, Sejarah Daulah Khulafa Rasyidin, h. 310. Lihat juga: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. X/351. Bandingkan dengan: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah, al-Musannaf fi al-Ahâdits wa al-Âtsâr, Juz. V/299.

97 Di antara perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan etika sosial dan kemanusiaan adalah upaya untuk menghalalkan orang-orang dalam garis nasab terdekat sebagai pasangan

suami-istri, dan hal itu dinyatakan sebagai ajaran agamanya. Lihat kembali: Abû Bakar Abd al-