Orientasi Makna Perkawinan dalam Kajian al-Qur’ân

A. Orientasi Makna Perkawinan dalam Kajian al-Qur’ân

Perkawinan berasal dari akar kata “kawin” yang mendapat awalan dan akhiran “per-an”, yang berarti perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami

istri. 2 Sedangkan dalam bahasa Arab, “Perkawinan” sering diistilahkan dengan “ nikâh”, yang berasal dari "nakaha, yankihu, nikâhan" dan juga “zawâj”, berasal

dari "zâja, yazûju, zawajan/zaujan". Dengan demikian, kata “al-nâkihah” artinya sama dengan kata “al-mutazawwijah”. 3 Dalam tinjauan bahasa, “nikâh” berarti

1 Kedua pembahasan ini dianggap sangat penting di dalam merunut berbagai ketentuan selanjutnya, yang ada pada permasalahan perkawinan lintas agama. Misalkan tentang asas dan

orientasi perkawinan dalam Islam. Lihat: Ibrâhîm ibn ‘Alî ibn Yûsuf al-Sairâzî Abû Is hâq al- Fairûzabâdî, al-Tabsirah fî Usûl al-Fiqh, Muhaqqiq: M. Hasan Hito, Cet. I, (Damascus: Dâr al- Fikr, 1403 H), h. 535. Lihat juga: Muh ammad ibn Bahâdur ibn ‘Abdillâh al-Zarkasyî Abû ‘ Abdillâh, al-Mantsûr fî al-Qawâ’id, Juz. II, Muhaqqiq: Taisîr Fâiq A. Mahmûd, Cet. II, (Kuwait: Wizârah al-Auqâf wa al-Su ’ûn al-Islâmiyah, 1405 H), h. 71. Bandingkan dengan: ‘Abd al-Mâlik ibn ‘Abdillâh ibn Yûsuf al-Juwainî, al-Waraqât, Muhaqqiq: Abd al-Latîf Muhammad al-‘Abd, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Islâmiyah, tt), h. 28. Di samping itu juga tentang penilaian perlu tidaknya dilakukan perkawinan tersebut, dengan melihat akibat yang sangat mungkin akan muncul kemudian, seperti tentang keserasian ( kafâ'ah), dan taggung jawab dalam rumah tangga, baik dalam jangka pendek (dunia) maupun jangka panjang (akhirat).

2 WJS. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. V, diolah kembali oleh: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), h. 453

3 A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, ed. II, (Yogayakarta: Pustaka Progressif, 1984), h. 591, 1461

"al-damm wa al-tadâkhul", yakni mengumpulkan dan saling memasuki. Sedangkan kata “zawâj/zauj”, mengandung arti pasangan. 4

Di dalam al-Qur’ân, kata nikâh dengan berbagai bentuknya, disebutkan sebanyak 23 kali. Namun untuk kata zawâj, banyak ditemukan dalam bentuk zauj. Penyebutan kata tersebut tidak kurang dari 80 kali, yang pada umumnya berupa

kata zauj dan azwâj. 5 Berikut ini tabel tentang beberapa ayat yang memuat kata nikâh (dalam beberapa bentuknya):

No Surah

A Tn

Tm Kalimat

Penjelasan pokok ayat

Talâq sebelum terjadi jimâ’ tidak

1 al-Ahzâb

Nakahtum

berimplikasi pada pemberlakuan ‘iddah. 6

2 Larangan mengawini wanita dalam

al-Baqarah 235 87 2 al-Nikâh

masa ‘iddah, sebelum masa ‘iddah- nya habis. 7

4 Dalam hal ini, para ulama memperdebatkan makna (hakikat dan majaz) nikah, antara akad dan wati’. Bagi jumhûr, makna nikah secara hakikat adalah akad, sedangkan dalam arti majaz

ialah wati’ (persetubuhan). Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang dipegang Imâm H anafî, beliau menyatakan bahwa secara hakiki nikah adalah wati’, sedangkan akad sebagai makna majâzî. Lihat: Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Juz. VI, (Beirût: Dâr al-Jail, 1973), h. 227. Namun, antara wati’ dan akad sebenarnya masuk dalam arti al-damm/mengumpulkan. Walaupun penggunaan makna pertama “wati’” penunjukkan maknanya lebih kuat dari pada yang kedua. Lihat: Muhammad Fakhr al-Dîn ibn D iy⒠al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî, Juz. VI, Jld.

III, Cet. III, Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), h. 58. Perdebatan ini akhirnya dapat dapat dikompromikan oleh imam Yahyâ dan sebagian kalangan H anafiyah, begitu pula Abû al-Qâsim al-Jurjânî, dengan menyatakan bahwa kata “nikâh” mengandung arti musytarak (ganda). Atas dasar inilah al-Fârisî membuat dua perumpamaan" nakaha fulânah au binta fulân ", maka yang dikehendaki tak lain adalah akad. Dan jika jika dikatakan " nakaha zaujatahu", maka yang dikehendaki adalah wati’. Sedangkan menurut al-Zamakhsyarî, semua kata nikâh dalam al-Qur’ân mengacu pada makna pertama, yakni akad. Oleh karenanya, definisi dalam istilah syara ’ yang lebih sesuai menurut jumhûr adalah, suatu ikatan (akad) antara suami istri yang menghalalkan wat i’ (persetubuhan). Selengkapnya Lihat: Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Juz. VI/227.

5 Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang- Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.

6 Tentang ayat tersebut Mujâhid menyatakan bahwa, bagi setiap wanita yang dicerai berhak mendapatkan mut'ah, kecuali jika perceraian mereka terjadi setelah ditentukan maharnya,

sedangkan ia sama sekali belum dikumpuli oleh sang suami. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1405 H), h. 542. Namun sebagaimana diriwayatkan Qatâdah dari Sa ’îd ibn al- Musayyab bahwa ayat tersebut telah dinasakh oleh Q.S. 2: 237, yang menyatakan bahwa jika maharnya telah ditentukan, maka perempuan tersebut berhak menerima setengah dari mahar itu, kendati tidak berhak atas harta mut'ah. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. X/208. Lihat juga: Ism⠒îl ibn ‘ Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1401 H), h. 386.

Pemberian izin untuk menikahi

3 al-Nisâ’

3 92 4 Fa Inkihû

wanita lebih dari satu, dari pada berbuat tidak adil dalam menikahi anak yatim. 8 Melakukan pengujian bagi anak

4 al-Nisâ’

6 92 4 al-Nikâh

yatim yang telah dewasa dan siap untuk menikah. 9

5 al-Nisâ’

127 92 4 Tankihû

Perintah berbuat adil terhadap anak

hunna

yatim dalam masalah perkawinan. 10

Keterangan:

A: Ayat, Tm: Tartîb Mushafî, Tn: Tartîb Nuzûlî. Dari tabel di atas, kata “nikâh” disebutkan masing-masing sekali dalam setiap ayat. Dan penyebutannya sangat beragam, yakni dengan menggunakan sighat masdar, fi’il mâdî, mudâri’ dan amr. Kendati demikian, kata nikâh

sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân lebih menunjuk pada suatu term tertentu, bukan hanya sekedar penggunaan makna kata secara kebahasaan belaka.

7 Menurut Ibn 'Abbâs ra, jumhûr tabi ’i, dan selanjutnya menjadi ijmak para ulama setelahnya bahwa ayat tersebut merupakan aturan perihal tidak bolehnya melakukan akad nikah

bagi perempuan yang bercerai sebelum masa 'iddahnya habis. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/385. Kendati demikian, seorang lelaki berhak khitbah/meminangnya pada masa 'iddah tersebut, jika khitbah itu tidak dilakukannya dengan terang-terangan, melainkan hanya secara sindiran/ ta'rîd. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III, Cet. II, (Kairo: Dâr al-Syu’ab, 1372 H), h. 178.

8 Menurut 'Âisyah ra sebagaimana diriwayatkan oleh 'Urwah ibn Zubair, bahwa sebelum ayat tersebut turun, telah terjadi kasus, di mana seorang wali bagi anak perempuan yatim

bermaksud menikahinya karena terpesona oleh harta dan kecantikannya. Namun ia bermaksud berbuat tidak adil terhadap anak yatim tersebut, dengan memperlakukannya berbeda dari istri-istri yang lain. Perbuatan mereka itu dilarang berdasarkan ayat tersebut (Q.S. 4: 3). Dan setelah itu, para sahabat meminta fatwa pada Rasul, maka turunlah Q.S.4: 127. Lihat: H usain ibn Mahmûd al- Farr⒠Abû Muhammad al-Baghawî, Ma'âlim al-Tanzîl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 160.

9 Pengujian yang dimaksud, ditujukan untuk mengetahui sejauh mana ia mampu mengelola kekayaan pribadinya yang pada waktu-waktu sebelumnya berada di tangan sang wali.

Karena sejak menikah ia tidak lagi menjadi tanggungan sang wali tersebut. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/12. Pengujian tersebut dapat dimulai saat ia menginjak usia mukallaf, jika ia mampu melakukan pembelanjaan harta sebagaimana mestinya, maka hartanya dapat diserahkan padanya. Namun jika ia belum mampu melakukannya, selain hanya bertindak mubadzir, berarti ia belum mampu mengelola hartanya sendiri. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. II, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h . 258.

10 Sabab al-nuzûl ayat di atas adalah ketika suatu hari sekelompok sahabat bertanya kepada Rasulullah saw tentang wanita berikut aturan hukum berkenaan dengan hak waris. Maka

dinyatakan bahwa Allâh (melalui al-Qur'ân) telah memberikan petunjuk tentang hal itu. Mereka merasa perlu untuk menanyakannya, karena pada masa jahiliyyah wanita dan anak-anak yang belum dewasa sama skali tidak berhak atas harta warisan. Di samping itu, juga terjadi suatu kasus di mana seorang walî anak yatim enggan menikahkannya dengan orang lain dan ingin mengaiwinya sendiri, karena telah terjadi percampuran harta antara keduanya. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî al-Syaukanî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/784.

Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat ayat-ayat tersebut secara langsung, bahwa dari sekian banyak kata nikâh dalam berbagai bentuknya, menunjukkan makna sebuah perbuatan hukum, yakni pernikahan/perkawinan. Oleh karenanya, ketika disebutkan kata nikâh, ataupun kata-kata lain yang keluar (musytaq) darinya, maka kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud kata-kata tersebut

adalah nikah sebagai sebuah term atau istilah. 11 Hal ini, berbeda dengan kata zawâj, maupun kata-kata lain yang keluar

(musytaq) darinya. Sebagaimana dapat kita lihat dalam tabel berikut ini:

No Surat

A Tn Tm Kalimat

Penjelasan pokok ayat

36 40 36 Al-Azwâj Manusia, tumbuhan, dan makhluk lainnya, diciptakan dengan berpasang-

1 Yâsîn

pasangan. 12

2 Fâtir

11 42 35 Azwâjan

Manusia diciptakan dari air sperma, dan dijadikan berpasang-pasangan. 13

3 al-Zumar 6 58 39 Zaujahâ,

Manusia diciptakan dari satu jenis, kemudian (darinya) dijadikan

Azwâj

pasangannya. 14

11 Untuk mengetahui lebih jauh perdebatan tentang makna nikah, lihat: Muh ammad ibn ‘ Alî ibn Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-

Akhbâr, Juz. VI/227. Lihat juga: Muh ammad Fakhr al-Dîn ibn D iy⒠al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî, Juz. VI/58. Menurut al-Zamakhsyarî, semua kata nikâh dalam al-Qur’ân mengacu pada makna akad, lihat: Muh ammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr min Ahâdits Sayyid al-Akhyâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Juz. VI/227.

12 Dalam ayat tersebut, penyebutan konsep "berpasangan" tampak berlaku umum untuk semua makhluk ciptaan Allâh SWT. Namun, redaksinya diikuti penjelasan ( bayân), yang hanya

memasukkan manusia, dan tumbuhan. Walaupun pada akhirnya ayat tersebut ditutup dengan redaksi "wa mimmâ lâ ya'lamûn", "Dan dari segala sesuatu yang manusia tidak mengetahuinya". Hal ini menandakan bahwa, penciptaan dengan berpasang-pasangan tidak hanya berlaku pada manusia dan tumbuhan saja, bahkan lebih dari itu. Namun bukan berarti hal itu berlaku untuk semua makhluk. Lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. III/753.

13 Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa, pertama kali manusia diciptakan dari tanah, yakni Adam as. Kemudian keturunannya diciptakan dari sperma. Ayat tersebut berlanjut dengan

penjelasan bahwa, manusia diciptakan dengan berpasangan. Dan dipertegas pula bahwa segala sesuatu tidak akan luput dari pengetahuan Allâh, termasuk bayi yang ada dalam kandungan. Demikian juga dengan umur manusia, semuanya telah ditentukan sebelumnya. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. X/400. al-Qurtubî menambahkan bahwa pasangan manusia tersebut dimaksudkan agar mereka dapat bertahan dan menjaga eksistensinya di muka bumi sampai masa yang ditentukan. Di samping itu, al-Qurt ubî juga mendiskusikan perihal ketentuan umur manusia bila dihubungkan dengan riwayat tentag menyambung tali persaudaraan yang dapat menambah umur. Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV/290.

14 Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa, manusia dijadikan dari satu jiwa (Adam as), kemudian darinya diciptakanlah pasangan baginya. Menurut al-Qurt ubî, redaksi azwâj

dihubungkan dengan anzala karena hal itu merupakan proses/tahapan " tadrîj", (yang mana) pada dasarnya kejadian mereka berawal dari tumbuhan. Sedangkan tumbuhan dari air, dan air tentunya

4 al-Syûrâ

11 61 42 Azwâjan

Pasangan untuk manusia dan hewan dijadikan dari jenisnya masing-masing (agar mereka dapat beranak-pinak). 15

5 al-

Allâh SWT menciptakan tiap-tiap Zukhrûf

12 62 43 al-Azwâj

pasangan (pada makhluk-Nya). 16

Keterangan:

A: Ayat, Tm: Tartîb Mushafî, Tn: Tartîb Nuzûlî. Pada tabel di atas, kata yang menunjukkan makna kawin/perkawinan hanya menggunakan shighâh masdar, baik dalam bentuk mufrad “zauj”, maupun jamak “azwâj” yang berarti pasangan atau berpasang-pasangan. Kata tersebut menunjukkan segala sesuatu yang berpasangan, dan tidak hanya khusus bagi

manusia, bahkan seluruh isi alam masuk di dalamnya, tanpa terkecuali. 17

diturunkan dari langit. Namun dalam hal ini masih terdapat penafsiran yang beragam. Selengkapnya lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al- Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XV/207. Bandingkan dengan pernyataan al-Syaukânî yang menyebutkan bahwa, anzala dapat diartikan secara hakiki, seperti diturunkannya Adam as dari surga. Dapat juga diartikan secara majâzî, yakni setiap makhluk membutuhkan tumbuhan, sedangkan tumbuhan membutukan air, dan air diturunkan dari langit. Lihat: Muh ammad ibn ‘Alî Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. IV/639.

15 Ayat tersebut diawali dengan pernyataan bahwa, Allâh SWT adalah pencipta langit dan bumi, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan bahwa masing-masing manusia dan binatang telah

ditentukan pasangannya dari jenis mereka masing-masing, dan selanjutnya dipertegas bahwa dari semua makhluk (yang ada) tidak satupun yang menyerupai Allâh SWT. Sedangkan di dalam memahami redaksi “yadzraukum fîh” masih terdapat perbedaan pendapat, yang oleh sebagian ulama berarti "menciptakan", sedangkan Imâm Mujâhid lebih suka untuk mengartikan mengembang–biakkan. Lihat: Mu hammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XI/132

16 Ayat ini lebih memperjelas bahwa semua pasangan makhluk yang ada, adalah ciptaan Allâh SWT. Penyebutannya secara mutlak dan tidak dibatasi penjelasan ( bayân) apapun. Kendati

demikian, di dalam tafsirnya, Ibn Katsîr tidak menjelaskan kemutlakan tersebut, bahkan seolah- olah membatasinya hanya pada segala sesuatu yang tumbuh di muka bumi, baik dari jenis hewan maupun tumbuhan. Ayat tersebut berlanjut pada penjelasan tentang diberikannya manusia kemampuan untuk menundukkan alam, dengan dikuasainya alat transportasi baik darat (hewan) maupun laut (perahu). Dan dari berbagai fasilitas tersebut, manusia hendaklah sadar atas segala keterbatasannya dan ketergantungannya pada kehendak dan kekuasaan Allâh, agar mereka menjadi hamba yang bersyukur. Selengkapnya lihat: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/157.

17 Lihat langsung pada ayat-ayat tersebut berikut penjelasannya yang sebagain telah penulis sebutkan. Karena secara redaksional saja, sudah dapat diketahui tentang perbedaan

cakupan dimaksud. Tentang kata " nikâh" lihat kembali: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/542, dan X/208. Lihat juga: Ismâ’il ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/385 dan 386. Bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtûbî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/12 dan 178. Juga dengan: Muh ammad ibn ‘Alî Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. I/784, II/258. Dan lihat juga: H usain ibn Mahmûd al-Farrâ Abû Muh ammad al-Baghawî, Ma'âlim al-Tanzîl, h. 160. Sedangkan untuk kata " zauj" dan "azwâj", setidaknya lihat kembali: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-

Atas dasar beberapa ayat di atas, dapat diketahui bahwa, terdapat perbedaan makna yang ditunjukkan oleh kedua istilah tersebut “nikâh dan zawâj”. Kata zauj/azwâj, penunjukan maknanya masih bersifat sangat umum, sedangkan nikâh berlaku khusus pada perbuatan yang dilakukan manusia, berupa pernikahan. Kendati berbeda, antara zauj/azwâj dan nikâh sama sekali tidak terjadi paradoks jika diterapkan untuk manusia. Karena dengan nikâh, kita akan tahu bahwa perkawinan adalah perbuatan hukum, yakni perbuatan manusia yang diatur oleh aturan hukum, dan akan mempunyai konsekwensi hukum pula. Sedangkan dari kata zauj/azwâj, akan dapat kita ketahui bahwa perkawinan adalah kesepakan untuk melakukan kehidupan bersama dengan berpasang-pasangan, saling mengisi

18 dan melengkapi.

Banyaknya ayat al-Qur’ân yang turun berkaitan dengan masalah perkawinan, merupakan indikasi bahwa di dalam perkawinan terdapat sisi-sisi tertentu yang harus melibatkan agama (Islam). Apalagi sebagai kitab petunjuk, al- Qur’ân sangatlah dibutuhkan untuk membimbing dan mengarahkan manusia di dalam menjalani aktifitas mereka sehari-hari. Oleh karena itu, tidak heran jika masalah perkawinan dijelaskan dengan begitu luas di dalamnya. Beberapa penjelasan tersebut, secara khusus berkaitan dengan hal-hal penting seperti perintah, larangan, hikmah, hak dan tanggung jawab dalam keluarga, bahkan

tentang hubungan intim suami-istri. 19

Qur’ân, Juz. X/400, XI/132. Bandingkan dengan: Ism⠒îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abu al-Fid⒠al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. III/753, IV/157. Lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. XIV/290, XV/207. Dan juga: Muhammad ibn ‘Alî Al-Syaukânî, Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina Fannay al- Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, Juz. IV/639.

18 Dengan demikian, nikâh lebih menunjukkan dimensi hukum, sedangkan zauj/azwâj mengarah pada dimensi sosial. Dan keduanya menyatu dalam kehidupan manusia, karena mereka

adalah masyarakat hukum, yang tentunya tidak akan lepas dari aturan-aturan hukum ( syari’at). Begitu pula, mereka tidak akan mengingkari sifat dasarnya, sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

19 Di antara perintah melaksanakan perkawinan terdapat dalam Q.S. al-Nis⠒/4: 3. Tentang ayat tersebut, ‘Âisyah ra menjelaskan bahwa ayat tersebut turun sebagai sikap tegas dari al-Qur ’ân

atas suatu kasus perkawinan, dimana seorang anak yatim (perempuan) hendak dinikahi oleh wali (pengurus)nya sendiri, karena ia tergiur atas kecantikan dan/atau harta kekayaan anak tersebut, namun dengan memberikan mas kawin yang tidak selayaknya. Atas tindakan ini, al-Qur ’ân jelas- jelas melarangnya. Karena dengan demikian ia akan berbuat tidak adil terhadap wanita tersebut. Dan iapun diberi solusi dengan diperbolehkan menikahi wanita sampai berjumlah empat orang, namun tetap dengan catatan ia harus adil terhadap mereka. Jika tidak demikian, poligami tidak

Persoalan selanjutnya muncul, ketika perkawinan dihadapkan pada masalah perbedaan agama. Di mana pada satu sisi, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara Islam dan non Islam, secara akidah. Namun di sisi lain, terdapat beberapa praktek perkawinan antara orang Islam dengan kelompok non muslim tertentu, yang juga didasarkan pada nass syar’î (al-Qur’ân). Kenyataan ini menurut penulis, sangat layak untuk didiskusikan, karena (sekilas) tampak adanya paradoks antara ketentuan umum di dalam menilai (kesesatan akidah) non

boleh dilakukannya. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. III/573. Lihat juga: Muslim ibn Hajjâj Abu al-H usain al-

Qusyairî al-Naisabûrî, tt, Sahîh Muslim, Juz. IV, (Beirut: Dâr Ihy⒠al-Turâts al-‘Arabî, tt), 2313. Adapun hikmah dari suatu perkawinan antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Rûm/30: 21. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Dalam hal ini Ibn Katsîr menyatak an bahwa pertalian antara suami-istri merupakan suatu hubungan kasih sayang yang sangat kuat dan agung. Oleh karenanya dalam ayat yang lain dinyatakan bahwa terkadang rekayasa tukang sihir juga ditujukan untuk memisahkan antara suami- istri. Lihat: Ism⠒il ibn ‘Umar Ibn Katsîr Abû al-Fid⒠al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/363. Sedangkan Hak dan kewajiban dalam keluarga dapat dilihat dalam Q.S. al-Nisâ/4: 34. “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) …”. Dalam hal ini, al- Tabarî menjelaskan bahwa lelaki bertanggung jawab atas wanita untuk mendidik, membimbing mereka menjalankan segala kewajiban. Kelebihan yang dimaksud dalam ayat tersebut, disebabkan oleh kewajiban yang diembannya atas perempuan; baik mahar, nafkah, dan segala pembiayaan lainnya. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja ’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/59. Bandingkan: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Dimasyqî Abû al-Fid⠒, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, Juz. I/361. al-Qurt ubî menambahkan penjelasan dengan beberapa riwayat tentang sabab al-nuzûl. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. I/161. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa, Rasulullah saw memberikan khut bah di Padang Arafah; di dalam khut bahnya (beliau menyebutkan): “Takutlah kalian kepada Allâh dalam urusan wanita, sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amânah (kepercayaan) dari Allâh dan kalian mengambil halalnya farji- farji mereka dengan kalimah Allâh, dan hak kamu atas mereka adalah mereka tidak berwenang memasukkan seseorang ke ranjangmu yang kamu tidak menyukainya, dan jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai, dan mereka mempunyai hak yang menjadi kewajiban kalian yaitu memberikan nafkah, dan pakaian mereka dengan baik ….”. Lihat: Muhammad ibn Ishâq ibn H uzaimah Abû Bakr al-Sulamî al-Naisabûrî, Sahîh Ibn Huzaimah, Juz. IV, (Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1970), h. 251. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ Al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz. V, (Makkah al- Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994), h. 6. Dan juga: Ah mad ibn Syu’aib Abu Abd al- Rahmân al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î al-Kubrâ, Muhaqqiq: Abd al-Ghaffâr Sulaimân al-Bandârî dan Sayyid Kasrawî Hasan, Juz. II, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1991), h. 321. Bandingkan dengan: ‘Abd ibn Humaid ibn Nasr Abû Muhammad al-Kissî, al-Muntakhab min Musnad ‘Abd ibn Humaid, Juz. I, Cet. I, Muh aqqiq: Subhî al-Badrî al-Samrâ’î dan Mahmûd M. Khalil al-Sa’îdî, Cet. I, (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1988), h. 341. Lihat juga: ‘Abdullâh ibn ‘Ali ibn al Jârûd Abû Muhammad al-Naisabûri, al-Muntaqâ min al-Sunan al-Musnadah, Muhaqqiq: Abdullâh ‘Umar al-Barûdî, Juz. I, Cet. I, (Beirut: Mu ’assasah al-Kitâb al-Tsaqâfiyah, 1988), h. 123.

muslim, dan adanya beberapa kasus perkawinan yang muncul antara kedua kelompok agama tersebut. Dengan kata lain, hal ini seakan mementahkan atau paling tidak, mengecualikan (sebagian muatan) ketentuan umum tersebut.