Reinterpretasi Wacana Perkawinan Lintas Agama, dalam kajian Tafsir Modern/Kontemporer 142

C. Reinterpretasi Wacana Perkawinan Lintas Agama, dalam kajian Tafsir Modern/Kontemporer 142

1. Muhammad Abduh dan Rasyîd Ridâ: Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm “al- Manâr”. M. Abduh dan Rasyîd Ridâ tidaklah asing di dunia akademis, baik Barat

maupun Timur. Keduanya sangat serius memerangi taqlid sekaligus menggiatkan ijtihad umat Islam, di era modern Barat. Oleh karenanya, beberapa tokoh menyebut Abduh sebagai “arsitek modernisme Islam”, kendati beberapa pemikirannya tidak serta merta dapat diterima oleh kalangan tertentu. Usaha yang dilakukannya tersebut berangkat dari keprihatinan yang sangat mendalam akan fakta, bahwa umat Islam, dalam beberapa hal tertentu, sangat tertinggal dari non muslim. Dan menurutnya, untuk mengejar ketertinggalan tersebut mereka harus kembali pada al-Qur’ân-Hadîts; tentunya dengan jalan ijtihad atas berbagai

masalah kontemporer yang terus bermunculan. 143

142 Tafsir modern dalam hal ini, diartikan sebagai tafsir yang lahir pada masa modernisasi di Barat, yang kemudian disusul dengan kesadaran dunia Islam (Timur) akan ketertinggalan

mereka. Periode ini diawali dengan lahirnya tafsir al-Manâr; karya Muhammad Abduh dan M. Rasyîd Ridâ, berlanjut sampai sekarang. Oleh karenanya, dalam kelompok ini penulis menyambung kata “modern” dengan “kontemporer”, karena sangat dekatnya kedua sama tersebut. Dalam kelompok ini, penulis hanya mengambil tiga karya tafsir yang menurut penulis, merupakan representasi, serta mewakili perdebatan-perdebatan pada masa sebelumnya. Tiga tafsir tersebut ialah, (1) al-Manar; karya M. Abduh dan M. Rasyîd Ridâ, (2) Fî Zilâl al-Qur’ân; karya Sayyid Qutub, (3) Tafsir al-Misbah; pesan, kesan dan keserasian al-Qur’ân ; karya M. Quraish Syihab.

143 Di mata Abduh, lapangan ijtihad sebenarnya ditujukan pada masalah-masalah mu’amalah yang ayat-ayatnya bersifat umum. Hukum-hukum kemasyarakatan inilah yang perlu

disesuaikan dengan perkembangan zaman. Adapun soal ibadah, ia tak menghendaki penyesuaian dengan perkembangan zaman. Karena itu menurutnya, ibadah bukanlah lapangan ijtihad untuk zaman modern ini. Di sisi lain, ia berpendapat bahwa taqlid kepada ulama lama tak perlu dipertahankan, bahkan harus diperangi. Karena taqlid inilah yang menyebabkan umat Islam berada dalam kemunduran. Selengkapnya lihat: Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, Biografi Intelektual tujuh belas tokoh, (Jakarta: Grasindo, 2003), h. 19, 24. Lihat juga: ‘Abdullâh Mahmûd Sahh âtah, Manhaj al-Imâm Muhammad Abduh, (Kairo: Universitas Kairo, tt),

h. 53, 133. Bandingkan dengan: Rif’at Syauki Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2002) h. 97-98.

Usaha tersebut diwujudkannya dengan berbagai cara, termasuk melalui mass media, dan dari sinilah tafsir al-Manâr lahir. 144 Sebagai materi mass media,

yang kemudian menjadi tafsir al-Qur’ân secara utuh, al-Manâr membutuhkan waktu yang relatif panjang, bahkan sampai dua generasi guru-murid (yakni penulisannya dimulai sejak Muhammad Abduh, yang kemudian diteruskan dan

disempurnakan muridnya, Rasyîd Ridâ). 145 Dengan demikian, tidak heran jika gaya bahasa dalam tafsir al-Manâr mudah dimengerti, di samping juga memuat

berbagai informasi penting. 146 Sebagai karya tafsir yang lahir pada masa kebangkitan Islam modern, al-

Manâr mengangkat isu-isu kontemporer dan mencoba membahasnya dengan cara

merunut pendapat-pendapat terdahulu yang berkaitan dengan berbagai permasalahan, menjelaskan perbedaan, beberapa kelebihan serta kelemahan di dalamnya. Lalu disusul dengan upaya pengkajian ulang permasalahan tersebut dengan memperhatikan isu-isu kontemporer pada saat itu, berdasarkan pembahasan masing-masing ayat. Beberapa ayat dibedakan dalam beberapa kelompok dengan mengorelasikan, baik antara ayat-ayat dalam satu kelompok,

144 Majalah al-Manâr terbit perdana pada 17 Maret 1898, dengan 8 halaman pada setiap edisinya. Kendati demikian, ia mampu menembus beberapa kawasan (termasuk Indonesia), bahkan

terkenal di Eropa. Lihat: M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’ân, studi kritis atas tafsir al Manar, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 78

145 M. Rasyîd Ridâ lahir di Qalmun, 40 km dari Tripoli, Libanon. Ia terlahir (pada tanggal

27 Jumadil Awwal 1282 H) dan tumbuh dalam lingkungan keluarga agamis. Dan berawal dari majalah al-‘Urwah al-Wutsqâ yang di terbitkan oleh Jamâl al-Dîn al-Afganî dan M. Abduh di Paris, yang menyebar ke penjuru dunia Islam, termasuk daerah tempat tinggalnya, membuat pemuda sufi ini berubah sikapnya menjadi pemuda yang penuh semangat. Pertemuannya dengan Abduh pertama kali ialah pada saat Abduh mengunjungi temannya; Syekh Abdullâh al-Barakah di Tripoli tahun 1885. Disusul pertemuan ke-2, tahun 1894. Dan akhirnya berlanjut pada pertemuan ketiga, yakni saat ia tercatat sebagai mahasiswa al-Azhar (Kairo) sejak 23 Rajab 1315/18 Januari 1898. Lihat: M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’ân, studi kritis atas tafsir al Manâr , h. 73,

77. 146 Abduh menulis tafsir tersebut hanya sampai Q.S. al-Nisâ: 126, karena beliau

meninggal. Dan untuk selanjutnya kegiatan tersebut dilanjutkan oleh muridnya M. Rasyîd Rid â. Berdasarkan prinsip yang dipegang bahwa akal mempunyai kebebasan untuk memberi interpretasi kepada wahyu serta melihat kecenderungannya pada pemikiran rasional, dapatlah dikemukakan satu hipotesis bahwa penulis tafsir al-Manâr berpegang pada semangat rasionalitas. Hal ini terbukti, dalam bidang akidah, penafsirannya sarat dengan pemikiran atau wawasan kefilsafatan dan penakwilan yang dinamis, obyektif, ilmiah dan proporsional. Penakwilannya tampak begitu rasional, karena tidak adanya keterikatan akal pada makna-makna hakiki ayat, tetapi bebas memilih makna metamorfosis yang sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’ân dan sunnah Rasulullah saw. Demikian juga, dalam bidang ibadah, ternyata sarat dengan uraian-uraian tentang h ikmah dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam syari’at ibadah. Lihat: Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, h. 34,35.

maupun antar kelompok ayat. Dalam hal ini, penjelasannya tentang perkawinan lintas agama dapat dilihat pada pemaparan Q.S. 2: 221, 5: 5, dan 60: 10. 147

Menurutnya, Islam membedakan perlakuan antara musyrikah dan kitâbiyyah dalam masalah perkawinan, adalah karena beberapa alasan yang sangat mendasar. Ahl al-kitâb dapat dinikahi seorang muslim, karena dalam beberapa hal tertentu, terdapat kesamaan dengan orang Islam. Hal ini sangat berbeda dengan musyrikah yang sama sekali tidak diperbolehkan menjalin hubungan perkawinan dengan lelaki muslim, karena terdapat jurang pemisah yang terlampau dalam

antara keduanya. 148 Kendati dalam membahas beberapa hal pokok, al-Manâr tidak jauh

berbeda dengan kitab-kitab tafsir pada umumnya, namun tampaknya sang penulis berusaha melakukan analisis berdasarkan perbedaan situasi, waktu dan tempat diberlakukannya suatu teks (nass al-Qur’ân). Sehingga, menurutnya, pendapat- pendapat yang melarang perkawinan lelaki ahl al-kitâb dengan wanita muslimah atas dasar besarnya kekuasaan lelaki dalam keluarga, perlu dikaji ulang, melihat

147 Untuk lebih jelasnya tentang model pembahasan dalam al-Manâr; khususnya berkenaan dengan masalah perkawinan lintas agama. Lihat: M. Rasyîd Rid â, Tafsir al-Qur’ân al-

Hakim (tafsir al-Manâr), Juz. II, (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiah , tt), h. 279-288, VI/148-181. 148 Perbedaan tersebut terutama dalam hal i’tikad. Bagi seorang musyrikah, tidak ada

agama yang melarangnya untuk menghindari perbuatan khiyânah, dan mewajibkannya bersifat amânah, memerintakan kebaikan, dan mencegah kejelekan. Karena semua perbuatan mereka, hanya didasarkan pada tabiat serta lingkungan pergaulannya; yang tidak lain adalah khurafât dan prasangka para penyembah berhala serta kesesatan jalan syetan. Oleh karenanya tidak heran jika mereka kelak mengkhianati suami-suami mereka, bahkan merusak akidah keturunannya. Hal ini berbeda dengan ahl al-kitâb yang antara mereka dengan orang Islam, tidak terdapat perbedaan begitu jauh. Karena mereka juga beriman kepada Allâh dan menyembahnya, beriman pada para nabi, kehidupan akhirat dan segala hal yang terkait dengannya termasuk hari pembalasan. Di samping itu, agama yang dianutnya juga menyeru perbuatan baik dan melarang perbuatan buruk. Hanya saja mereka tidak beriman pada kenabian Muh ammad, di samping juga terdapat rekayasa dalam masalah tauhîd, ta’abbud dan tahdzîb oleh para pemuka mereka. Dan orang yang beriman pada kenabian secara umum, tidak menutup kemungkinan akan beriman juga pada kenabian Muhammad, kecuali bagi mereka yang bodoh dan sengaja menutup mata hati dari kebenaran. Oleh karenanya, jika seorang muslim, yang mampu menjalankan syariat agamanya dengan baik dan benar, kemudian menikahi wanita ahl al-kitâb, akan sangat mungkin menjadikan wanita tersebut semakin sempurna keimanannya, benar ke Islamannya, dan mendapatkan pahala berlipat ganda. Namun kemungkinan ini nyaris tidak akan terjadi pada perkawinan wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, bahkan akan dapat merusak akidah wanita tersebut, karena kekuasaan dalam keluarga berada di tangan lelaki. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Rid â, Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm (tafsir al - Manâr), Juz. II/283-284.

fakta kontemporer bahwa wanita lebih banyak berperan dalam keluarga termasuk perihal arah pendidikan anak-anak mereka. 149

Di samping itu, al-Manâr mencoba memperluas cakupan ahl al-kitâb dengan berusaha memasukkan para penganut agama selain Yahudi dan Nasrani

dalam kategori ahl al-kitâb. 150 Karenanya menurutnya, term musyrik sebagaimana ditunjukkan oleh Q.S. 2: 221 hanya diperuntukkan bagi para musyrik (penyembah

berhala) Arab. Sebagaimana hal ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh al- Tabarî. Di samping itu, dinyatakan pula bahwa pada dasarnya semua penganut agama yang ada, sampai detik ini adalah ahl al-kitâb. Karena pada setiap umat pastilah diturunkan seorang Rasul dengan membawa risâlah dan kitab samawî.

Dan karena panjangnya waktu, kemudian terjadi beberapa penyelewengan atas ajaran serta kitab suci tersebut, sebagaimana hal ini juga terjadi pada agama

Yahudi dan Nasrani. 151 Di samping itu al-Manâr juga mempertimbangkan penggunaan kaedah

“asal suatu perkawinan adalah boleh”, yang mana kaedah tersebut merupakan kebalikan dari kaedah yang telah masyhur dikalangan para ulama lain; yakni

bahwa, “asal suatu perkawinan adalah haram”. 152 Kendati demikian, al-Manâr

149 Penulisnya banyak menyoroti tentang beberapa kalangan yang dianggap berlebihan dalam menentukan status hukum perkawinan lintas agama, dengan mengharamkan sesuatu yang

jelas-jelas telah dihalalkan berdasarkan nass al-Qur’ân. Adapun pernyataan para ulama tentang halalnya makanan orang Islam bagi ahl al-kitâb, namun para wanita muslimah tidak halal bagi mereka, atas dasar bahwa, kesempurnaan Islam serta toleransinya tidak akan tampak dalam perkawinan tersebut, karena besarnya kekuasaan lelaki atas wanita tersebut, dikatakannya sebagai pendapat orang yang tergesa-gesa, dengan hanya memahami zâhir al-nass belaka dan upaya taqlid terhadap madzhab-madzhab yang ada. Lihat: M. Rasyîd Rid â, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/152.

150 Hal ini juga dikutip oleh M. Quraish Shihab. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al- Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. III, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.

28 151 Pendapat tentang perluasan cakupan ahl al-kitâb merupakan pernyataan Abû Mans ûr

Abd al-Qâhir ibn T âhir al-Baghdâdî dalam kitab: al-Farq baina al-Firâq yang dinukil dalam al- Manâr. Dalam hal ini dinyatakan bahwa: ”Orang-orang Majusi mengakui kenabian Zarathustra, dan turunnya wahyu dari Allâh kepadanya. Sedangkan orang-orang Sabian mengakui kenabian Hermes, Ilyâs, Dauritos, Plato, dan beberapa filosof. Demikian juga umat-umat yang lain, masing- masing mengakui turunnya wahyu dari langit kepada orang-orang yang diakui kenabiannya, dan mereka berkata bahwa, wahyu-wahyu tersebut memuat perintah, larangan, berita tentang siksa maut, pahala, serta surga dan neraka, yang merupakan balasan bagi amal perbuatan yang telah dilakukan”. Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/153.

152 Kaedah sebagaimana dimaksud di atas adalah " al-aslu fî kulli syaiin al-ibah ah hattâ yarudda al-nass bi hazrihi". Pada saat bersamaan Rasyîd juga menyebutkan kaedah yang masyhur

di kalangan ulama; bahwa, pada asalnya perkawinan adalah haram: ( al-aslu fi al-nikâh al- di kalangan ulama; bahwa, pada asalnya perkawinan adalah haram: ( al-aslu fi al-nikâh al-

dalam Islam. 153

2. Sayyid Qutub: Fî Zilâl al-Qur’ân Di dalam karya tafsirnya, Sayyid Qutub menempuh metode tahlîlî, namun

dalam penyajiannya, ia membuat kelompok-kelompok ayat yang diduga mempunyai tertalian satu sama lain. Dan mencoba untuk menyatukan pembahasan ayat-ayat tersebut dalam kelompoknya masing-masing, kendati ia (seringkali) tidak tegas menyebutkan adanya tema (pokok) pada kelompok-kelompok ayat yang ada. Namun, setelah dirasa cukup, iapun mulai melakukan analisis pada masing-masing ayat itu.

Sebelum menjelaskan Q.S. 2: 221, ia memaparkan banyak tentang tipe tatanan sosial dalam Islam, yang menurutnya adalah merupakan tata aturan tuhan yang diperuntukkan bagi manusia. Namun bagaimanapun, tatanan tersebut telah sesuai dan disesuaikan dengan karakter dasar (fitrah), kebutuhan, serta keberadaan manusia itu sendiri. Sehingga, menurutnya, tatanan keluarga dalam Islam

hurmah), walaupun pada dasarnya asal segala sesuatu adalah boleh ( al-aslu fi sâir al-asyâ al- ibâhah). Jika demikian halnya (pendapat mayoritas ulama), maka harus ada nass yang menghalalkan suatu perkawinan. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Rid â, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al -Manâr), Juz. VI/157-158.

153 Kekhawatiran tersebut secara tegas diungkapkannya, bahwa: “Dalam tafsir ini, kami benar-benar mengkhawatirkan perkawinan dengan wanita ahl al-kitâb, jika ditakutkan bahwa,

wanita tersebut, dengan ilmu dan kecantikannya, akan menarik suami (yang muslim) untuk mengikuti agamanya, karena kebodohan dan lemahnya akhlak suami tersebut. Sebagaimana hal ini telah banyak terjadi pada saat sekarang, di mana beberapa lelaki muslim yang lemah, menikahi wanita ahl al-kitâb dari Eropa ataupun yang lain, dan akhirnya hal itu menjadi sebuah fitnah baginya. Padahal menutup pintu kerusakan adalah wajib hukumnya dalam Islam”. Selengkapnya lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al -Manâr), Juz. VI/159.

merupakan suatu tatanan yang sesuai dengan tabi’at serta fitrah manusia sebagai subyek di dalamnya 154

Ketika mulai masuk dalam pembahasan ayat-ayat secara umum, ia memasukkan Q.S. 2: 221 dalam kategori ayat hukum. Dalam hal ini ia menegaskan bahwa, setiap ketentuan hukum dalam Islam pastilah akan berakibat buruk, jika dilanggar. Demikian juga dalam hal perkawinan, larangan menjalin hubungan dengan orang musyrik, akan membawa pada efek negatif yang akan dirasakan kelak, yakni pengaruh mereka yang akan membawa pada kesengsaraan

akhirat dan panasnya api neraka. 155 Menurutnya, dalam perkawinan, harus ada sesuatu yang menyatukan

antara dua hati, dan ikatan yang paling membekas dalam kehidupan manusia, adalah akidah. Oleh karenanya, diharamkan menikah dengan orang musyrik, karena pernikahan tersebut tidak dapat menyatukan dua hati dalam ikatan akidah,

dan tidak pula dapat mempertemukan keduanya dalam agama Allâh. 156 Namun, ia juga mengakui bahwa, kendati beda akidah, wanita ahl al-kitâb dapat dinikahi

oleh orang Islam. Karena pokok akidah antara umat Islam dan ahl al-kitâb adalah sama, dan yang berbeda hanyalah perincian masalah-masalah 157 tasyrî’iyah.

154 Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sebenarnya, tata kehidupan manusia itu berawal dari tata aturan umum untuk semua makhluk. Untuk mendukung pernyataan tersebut, ia mengutip

beberapa ayat yang menjelaskan tentang kehidupan manusia dan alam semesta yang diciptakan dengan pasangannya masing-masing. Lihat: Q.S. 36: 36, Q.S. 35: 11, Q.S. 39: 6, Q.S. 42: 11 dan Q.S. 43: 12. Setelah itu Sayyid Qutub menjelaskan panjang lebar tentang perkawinan. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II, (Beirut: Dâr-Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt), h. 169. Ia mendefinisikan perkawinan sebagai suatu hubungan yang paling dalam, paling kuat, dan paling langgeng, yang mengikat antara dua orang dengan kesepakatan-kesepakatan yang berimbang. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/176

155 Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 172 156 Lebih lanjut ia menegaskan bahwa, Allâh SWT yang telah menjadikan manusia sebagai

makhluk yang mulya, dan mengangkatnya di atas derajat hewan, menghendaki pertalian tersebut bukan sebagai kecenderungan hewani, dan juga bukan hanya merupakan tuntutan syahwat belaka. Ia juga menghendaki agar manusia dapat menjalani kehidupannya dengan kemulyaan. Oleh karenanya, jika wanita musyrik tersebut telah keluar dari kesesatannya dan menjadi orang beriman, maka tidak ada lagi larangan untuk menjalin hubungan perkawinan tersebut. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 177

157 Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 178. Namun, secara praktis (dengan berbagai alasan), kebolehan mengawini wanita ahl al-kitâb bisa saja berubah makruh.

Sebagaimana alasan yang pernah dilontarkan ‘Umar ra ketika melarang perkawinan H udzaifah dengan wanita Yahudi. Dalam hal ini, ia mengkhawatirkan kemaslahatan para wanita muslimah, karena orang-orang Islam lebih suka mengawini ahl al-kitâb daripada mereka. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 179

Kendati demikian, penyelewengan-penyelewengan akidah yang mereka lakukan tidaklah dapat ditolelir, karena telah memasukkan mereka dalam ketegori

musyrik. 158 Dalam hal ini, Sayyid cenderung memilih pendapat Ibn ‘Umar ra sebagaimana diriwayatkan al-Bukhârî bahwa, penyelewengan yang dilakukan

oleh ahl al-kitâb adalah bentuk syirik terbesar. Di samping itu, ia juga melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki ahl al-kitâb, kendati tidak melakukan penyelewengan akidah. Karena dalam hal ini, permasalahannya sangat berbeda dengan perkawinan bentuk pertama, yakni antara lelaki muslim

dengan wanita ahl al-kitâb. 159 Dan menurutnya, pada saat ini perkawinan lintas agama tidaklah baik untuk dilakukan. Karena tidak bisa diingkari bahwa, istri-

istri mereka (non muslimah) kelak, akan sangat berpengaruh dalam mewarnai keluarga dan anak-anak mereka. 160

Ketika menjelaskan Q.S. 5:5 ia menegaskan kembali bahwa, izin yang diberikan al-Qur’ân bagi umat Islam untuk memakan sembelihan ahl al-kitâb, demikian juga dengan mengawini wanita-wanita mereka, adalah bentuk toleransi yang ditunjukkan Islam. Bahkan penyebutannya dalam redaksi yang runtut,

158 Ia mengakui bahwa dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menilai perilaku ahl al-kitâb yang sudah terlalu jauh dari ajaran tauhid. Dalam hal ini, ia

menyitir beberapa ayat al-Qur’ân yang menjelaskan beberapa penyelewengan tersebut, termasuk: Q.S. 9: 30, yang menjelaskan tentang ucapan orang-orang Yahudi bahwa, ‘Uzair adalah putra Allâh. Demikian juga dengan ucapan orang-orang Nasrani yang menjustifikasi bahwa Îsâ al-Masîh adalah putra Allâh”. Dan Q.S. 6: 73, yang menjelaskan ucapan mereka bahwa Allâh adalah salah satu dari tiga tuhan. Lihat: Sayyid Qut ub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. II/ 178. Bandingkan dengan pendapat M. Rasyîd Ridâ yang tetap menganggap mereka sebagai ahl al-kitâb, bahkan memasukkan non muslim selain Yahudi dan Nasrani dalam kategori ahl al-kitâb. Lihat: M. Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (tafsîr al-Manâr), Juz. VI/153.

159 Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa, dalam syari’at Islam, setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan akan dihubungkan dengan ayah mereka. Demikian juga dengan seorang wanita,

setelah menikah, akan menjadi tanggung jawab suaminya. Dan kemungkinan besar, ia akan mengikuti suaminya, bahkan bisa juga dia akan dibawa ke lingkungan keluarga suami. Dengan demikian, keberadaan istri muslimah dalam lingkungan keluarga suaminya yang non muslim tersebut, sangat besar kemungkinannya akan menjadi fitnah bagi dirinya, bahkan dapat menjadikannya murtad. Hal ini berbeda dengan lelaki muslim yang memperistri wanita ahl al- kitâb, karena anak-anaknya kelak akan dihubungkan dengan ayahnya yang muslim tersebut. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz.II/ 179

160 Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz.II/ 179. Bandingkan dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan bahwa, tidak dibenarkan melakukan kawin beda agama dengan

ahl al-kitâb bagi orang yang tidak dapat menampakkan kesempurnaan Islam, apalagi terdapat indikasi bahwa kelak ia akan terpengaruh ajaran non Islam tersebut. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, Vol. III/30. Dengan demikian, bagi mereka yang dapat melakukan hal sebaliknya, tentu diperbolehkan melakukan perkawinan tersebut.

mengindikasikan bahwa, Islam mengakui beberapa persamaan dengan mereka dalam beberapa hal, yang mana hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh agama-

agama selain Islam. 161 Sedangkan ketika menjelaskan Q.S. 60: 10, Sayyid tidak lagi membuat

kelompok-kelompok ayat; sebagaimana dilakukannya pada surah-surah tiwâl (panjang), melainkan langsung menjadikan surah al-Mumtah anah [60] tersebut sebagai satu kesatuan pembahasan. Dalam hal ini, ia langsung menyebutkan

sabab al-nuzûl Q.S. 60: 10 setelah memaparkan ayat tersebut secara utuh. 162 Dengan turunnya ayat dimaksud, maka para wanita muslimah Mekah

diperkenankan bergabung di Hudaibiyah untuk selanjutnya hijrah ke Madinah,

setelah mereka menjalani beberapa ujian yang diberikan Rasulullah saw. Mereka diambil sumpahnya, dengan menyatakan bahwa kepindahan mereka dari Mekah ke Madinah tidak ada tendensi apapun, selain hanya karena mencintai Allâh dan

Rasul–Nya. 163 Menurut Sayyid Qutub, masalah ikatan perkawinan beda agama belum

diatur pada masa awal-awal hijrah, karena belum adanya nass yang membahas perihal tersebut. Sehingga, Islam tidak memutuskan hubungan perkawinan mereka. Hal ini tentunya disebabkan, karena belum ditetapkannya dasar-dasar masyarakat Islam pada saat itu. Sedangkan sejak perjanjian Hudaibiyah, terjadi pemisahan yang sempurna antara mereka, terutama dalam hal perkawinan, sehingga terjadilah pemutusan perkawinan secara kolektif. Pemutusan perkawinan tersebut berimplikasi pada pengembalian nafkah dan biaya hidup yang telah

161 Ia menjelaskan bahwa kebolehan mengawini wanita-wanita yang terjaga dari kalangan ahl al-kitâb disebutkan secara langsung setelah penyebutan wanita-wanita terjaga dari kalangan

muslimah. Namun, dalam perkawinan tersebut disyaratkan adanya mahar dan niat untuk menempuh cara halal dalam menjaga diri, bukan mencari kesenangan yang diharamakan. Hal ini menunjukkan bahwa, Islam adalah akidah yang terjaga dalam hati dan dapat menyatukan umatnya, serta mengajarkan toleransi antar umat beragama dalam kehidupan sosial. Lihat: Sayyid Qut ub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. VI/32

162 Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa, setelah menyelesaikan pembuatan nota kesepakatan dengan kafir Quraisy, Rasulullah saw dan para sahabat berada di dasar H udaibiyah.

Namun, tiba-tiba datanglah beberapa wanita muslimah yang ingin bergabung dengan mereka, hijrah ke Madinah. Dan tidak berselang lama, datang pula beberapa lelaki yang hendak menyusul mereka. Oleh karena pada perjanjian tersebut, sama sekali tidak diatur perihal wanita, maka turunlah Q.S. 60: 10. Lihat: Sayyid Qut ub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. XXVIII/67

163 Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. XXVIII/68.

diberikan oleh masing-masing mantan suami kepada mantan istri mereka, karena para wanita tersebut tidak bersedia mengikuti tempat tinggal suami, baik yang

muslim maupun yang kafir. 164

3. M. Quraish Syihab: Tafsir al-Misbah; pesan, kesan dan keserasian al- Qur’ân. 165

Sebagai karya tafsir generasi akhir, al-Misbah dapat menyajikan beberapa pendapat terdahulu disertai upaya analisis serta tarjîh atasnya. Di samping itu, di dalam penyajiannya, al-Misbah membahas berdasarkan kelompok–kelompok ayat, dengan menyebutkan adanya korelasi/ munâsabah; baik antar ayat-ayat dalam satu kelompok, maupun antara satu kelompok ayat dengan kelompok ayat

lainnya. Di dalamnya, pendapat penulis tampak begitu mendominasi karya tersebut, kendati terkadang ia juga mengikuti pendapat mufassir lain ataupun mengambil pendapat terkuat dari hasil tarjîh yang dilakukannya.

Penjelasannya perihal perkawinan lintas agama dapat dilihat setidaknya pada Q.S. 2: 221, 5: 5, dan 60: 10. Ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, Quraish

berusaha mengorelasikannya dengan ayat sebelumnya. 166 Di samping itu, ia juga

164 Dengan adanya peristiwa tersebut, maka terukirlah dalam benak umat Islam bahwa tidak ada hubungan yang mengikat dengan kuat dan layak untuk dipertahankan, selain hubungan

keimanan. Demikian juga tidak tidak ada pertalian yang kokoh, selain pertalian karena Allâh. Dan setelah prosesi perceraian secara kolektif usai, maka para wanita muslimah yang baru hijrah tersebut halal untuk dinikahi oleh para lelaki muslim kapanpun, dengan syarat mereka harus memberikan mahar dalam perkawinannya. Tentang hal ini, terdapat perdebatan ulama perihal ada tidaknya ‘iddah bagi mereka setelah berpisah dengan suami pertama, yang kafir. Lihat: Sayyid Qutub, Fî Zilâl al-Qur’ân, Juz. XXVIII/68

165 Penulis menjadikan al-Misbah sebagai salah satu survey literatur dalam tesis ini, karena beberapa alasan. Pertama, al-Misbah merupakan salah satu tafsir kontemporer yang

disajikan secara utuh, dengan manhaj tahlîlî dan berbahasa Indonesia. Kedua, dengan al-Misbah, penulis bermaksud memotret wacana pemahaman salah satu mufassir Indonesia (kontemporer), dalam melihat permasalahan perkawinan lintas agama. Karena akhir-akhir ini, banyak pemikir Indonesia yang mengangkat kembali wacana kebolehan perkawinan tersebut secara mutlak. Ketiga, penulis ingin melihat korelasi pemikiran penulis al-Misbah dengan pemahaman umum masyarakat Indonesia, perihal dimaksud. Karena, sebagaimana disampaikan Islah Gusmian bahwa, sejarah intelektual Quraish Shihab muncul dan dibesarkan di Mesir. Sehingga perlu di kaji; apakah pemikiran yang dimunculkannya sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia atau tidak. Lihat: Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika sampai Ideologi, Cet. I, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 325-326. Dengan demikian, akan dapat dengan mudah diketahui, manakah yang lebih berpengaruh terhadap pemikiran Quraish Shihab; antara latar belakang intelektual dan situasi sosial yang dihadapi.

166 Ia menyatakan bahwa, pada ayat sebelumnya yakni (Q.S. 2: 220) menjawab pertanyaan tentang anak yatim yang tinggal bersama di rumah, serta menuntut para wali dan setiap muslim

agar memperlakukan mereka sebagai salah satu anggota keluarga. Maka, ayat-ayat berikutnya agar memperlakukan mereka sebagai salah satu anggota keluarga. Maka, ayat-ayat berikutnya

dalam al-Qur’ân. 167 Menurutnya, walaupun tidak ada larangan yang tegas bagi lelaki ahl al-

kitâb mengawini wanita muslimah, namun tidak serta merta hal itu diperbolehkan, karena terdapat generalisasi pelarangan bagi setiap lelaki non muslim mengawini wanita muslimah, sebagaimana ditunjukkan Q.S. 60: 10. Namun, di sisi lain ia menyatakan ketidaksetujuannya pada kelompok yang melarang perkawinan antara

lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb atas dasar maslahah, karena secara tegas al-Qur’ân telah membolehkan jenis perkawinan tersebut. Dan kalau maslahah dijadikan sebagai pertimbangan utama, maka hendaknya ketentuan hukumnya

tidak lebih dari makruh saja. 168

(terutama Q.S. 221) mengandung tuntunan menyangkut pembinaan keluarga. Dan oleh karena keluarga minimal terdiri dari suami-istri, maka tuntunan pertama adalah menyangkut pemilihan pasangan; suami-istri. Selengkapnya lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. I/441.

167 Dalam hal ini, ia menyebutkan bahwa, syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam bahasa agama, orang musyrik berarti siapa saja yang percaya bahwa ada tuhan

bersama Allâh SWT, atau yang melakukan aktifitas dengan tujuan ganda; yakni bertujuan kepada Allâh dan juga untuk selain Allâh. Menurutnya, definisi tersebut biasa dipakai dan berkembang sampai saat ini. Definisi tersebut membawa sebuah konsekuensi bahwa, semua non muslim masuk dalam kategori musyrik, tidak perduli apakah mereka ahl al-kitâb atau selain ahl al-kitâb. Padahal; menurutnya, al-Qur’ân telah melakukan pembedaan antara ahl al-kitâb dan selain ahl al-kitâb, kendati keduanya masuk dalam kategori kafir (non muslim), sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Bayyinah: 1 dan 3. Dari pemaparan tersebut, ia seakan bermaksud untuk mendefinisikan ulang istilah tersebut. Selengkapnya lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. I/442-443. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani mempunyai kitab suci yang berisi norma-norma akhlak serta ketentuan-ketentuan yang jika diindahkan dapat mengantar pada terciptanya perkawinan yang tidak otomatis buruk. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân , Vol. I/446

168 Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân , Vol. I/444-446. Adapun di antara kelompok yang menjadikan maslahah sebagai alasan larangan

perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb adalah Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya yang dikeluarkan pada tanggal 1 Juni 1980; khususnya poin ke-3, yang berbunyi: ”Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dan wanita ahl al-kitâb terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadât-nya lebih besar dari pada maslahah-nya, Majelis Ulama Indonesia menfatwakan pernikahan tersebut hukumnya haram”. Selengkapnya Lihat: Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Indonesia “MUI”, (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal, 1995), h. 91

Demikian juga, ketika menjelaskan Q.S. 60: 10 dan 5: 5, beliau memaparkan beberapa perbedaan pendapat yang disusul dengan analisisnya

secara mandiri, terlepas dari perdebatan yang ada. 169 Dan pada akhirnya, membawa pada kesimpulan bahwa larangan perkawinan beda agama adalah untuk

tujuan sakinah; yang merupakan tujuan umum setiap perkawinan. 170 Dan juga, ia melanjutkan, bahwa “izin” diperbolehkannya lelaki muslim

mengawini wanita ahl al-kitâb adalah merupakan jalan keluar masalah pada masa itu, di mana kaum muslim sering pergi jauh (jihâd), bahkan nyaris tidak dapat kembali ke keluarga mereka. Di samping itu, perkawinan tersebut juga untuk tujuan dakwah, menampakkan kesempurnaan Islam serta keluhuran budi pekerti

yang diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap para istri ahl al-kitâb tersebut, tanpa adanya paksaan memeluk agama Islam. 171

169 Ia menyebutkan adanya perdebatan tentang adanya indikasi penyempitan dan perluasan makna ahl al-kitâb. Bagi sebagian ulama; sebagaimana dipelopori ‘Atâ’ ibn Abî Rabâh dan al-

Syâfi’î, menyatakan bahwa ahl al-kitâb hanya terbatas pada para pemeluk Yahudi dan Nasrani dari kalangan bani Israil saja, karena hanya kepada merekalah kitab Taurât dan Injîl diturunkan, demikian juga para Rasul pembawanya. Sedangkan di dalam “tafsir al-Manâr” Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyîd Ridâ menyebutkan bahwa makna (ûtû al-kitâb) adalah semua penganut agama yang memiliki kitab suci atau semacam kitab suci hingga dewasa ini. Selengkapnya lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân , Vol.III/28. Dalam melakukan analisis pada Q.S. 60: 10, khususnya pada potongan ayat ( wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir), Quraish Shihab menjelaskannya sebagai kewajiban suami-suami muslim untuk memutuskan hubungan perkawinannya dengan istri-istri mereka yang masih musyrikah, bukan ahl al-kitâb. Dengan demikian, ia memahami ( al-kawâfir) sebagai (al- musyrikât), hal ini berbeda dengan penjelasannya tentang perkawinan wanita muslimah dengan non muslim (ketika menjelaskan Q.S. 2: 221). Dalam kasus ini, ia lebih cenderung memahami ( al- kawâfir) sebagai non muslim secara umum. Secara redaksional beliau juga membahas kalimat ( lâ hunna hillun lahum wa lâ hum yahillûna lahunna), yang menurutnya, bahwa redaksi pertama dalam bentuk masdar/infinitive noun menunjukkan arti “sejak sekarang hal itu telah tidak halal”. Sedangkan redaksi kedua dalam bentuk mudari’/present tense mengandung arti “pada masa akan datang tidak halal juga”. Dengan demikian, seakan ia menyatakan bahwa, larangan perkawinan antara wanita muslimah dengan lelaki non muslim tidak akan berubah sejak ayat tersebut turun sampai masa-masa selanjutnya. Selengkapnya lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. XIV/174 .

170 Karena perkawinan akan langgeng dan tentram jika ada kesesuaian pandangan hidup antara suami istri. Jangankan beda agama, beda budaya dan tingkat pendidikan saja tidak jarang

menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan perkawinan. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al- Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. III/29.

171 Dengan demikian, tidak dibenarkan melakukan kawin beda agama dengan ahl al-kitâb bagi orang yang tidak dapat menampakkan kesempurnaan Islam, apalagi terdapat indikasi bahwa

kelak ia akan terpengaruh ajaran non Islam tersebut. Lihat: M. Quraish Syihab, Tafsir al-Misbah, kesan pesan dan keserasian al-Qur’ân, Vol. III/30.