Perkawinan Lintas Agama dalam Survey Literatur Tafsir Klasik 96

B. Perkawinan Lintas Agama dalam Survey Literatur Tafsir Klasik 96

Setelah melakukan penelaahan pada sumber-sumber utama tafsir; yakni “riwayat” baik dari nabi, sahabat, maupun tabi’i (dalam tafsir formatif), yang biasa dipakai oleh para ulama dalam melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’ân, dan secara khusus berhubungan dengan tema Tesis ini, penulis melanjutkan penelusuran pada beberapa karya tafsir klasik representatif, yang mewakili

95 Keberagaman pendapat tabi’i, setidaknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Secara umum, tabi’i mengakui bolehnya lelaki muslim menikahi wanita non muslimah dari

kalangan ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani), namun tidak sebaliknya; wanita muslimah tidak dapat dinikahkan dengan non muslim, kendati dari ahl al-kitâb sekalipun. Hal ini terbukti dengan kesepakatan mereka perihal bolehnya menikahi wanita Ahl al-kitâb. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Sedangkan tidak ketidakbolehan lelaki musyrik menikahi wanita muslimah, dapat dilihat pada pendapat Ikrimah dan al-H asan al-Basrî. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/388. Demikian Juga pendapat Qatâdah, dengan cakupan lebih luas (untuk semua non muslim, baik Yahudi, Nasrani, maupun musyrik), dilarang menjalin hubungan perkawinan dengan wanita muslimah. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. II/388. (2) Perbedaan dalam menentukan posisi ahl al-kitâb; apakah mereka termasuk musyrik ataukah kelompok tersendiri di luar musyrik. Hal ini, setidaknya terbukti dari perbedaan pendapat antara Qatadâh dengan para tabi’î lainnya, termasuk Mujâhid. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Bandingkan dengan: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al-Baihaqî, Sunan al- Baihaqî al-Kubrâ, Juz. VII/171. (3) Jika mereka termasuk musyrik, maka perdebatan selanjutnya terjadi dalam memahami korelasi Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5, antara istitsnâ dan nasakh pada sebagian muatannya. Untuk membuktikan hal ini, cermati kembali perbedaan analisis ayat antara al-Hasan-‘Ikrimah, dengan beberapa tabi’i lain termasuk Mujâhid. (4) Perbedaan pendapat juga terjadi di dalam menentukan kriteria ahl al-kitâb; apakah mereka hanya dari kalangan bani Israil ataukah siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani, walaupun di luar bani Isra’il. Lihat kembali pendapat ‘Atâ’, serta perbedaanya dengan para tabi’i lainnya.

96 Sebagaimana yang telah penulis paparkan sebelumnya (di awal pembahasan bab II) bahwa, tafsir salaf/klasik merupakan karya-karya tafsir awal (yang sampai pada generasi

sekarang). Periode ini berawal sejak lahirnya karya tafsir tertua (tafsir al-T abarî), sampai menjelang modernisasi di Barat yang diikuti gerakan pembaharuan dalam Islam oleh beberapa tokoh terutama di Timur Tengah. Adapun beberapa literatur tafsir yang penulis pilih dalam periode klasik ini, adalah: (1). Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-Qur’ân, karya al-Tabarî, w. 310 H, (2). al- Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl; karya Abû al- Qâsim al-Zamakhsyarî, 467-538 H (3) Al-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtif al-Ghaib, karya al-Râzî, w. 606

H, (4). Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, karya al-Qurtubî, w. 671 H, (5). Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Ibn Katsîr, w. 774 H. Lima literatur tafsir di atas, (selain Mafâtif al-Ghaib), pada umumnya adalah tafsîr bi al-ma’tsûr, karena hal ini disesuaikan dengan tuntutan analisis selanjutnya, yakni untuk mengetahui praktek perkawinan lintas agama pada masa-masa Islam awal, dan hal itu akan dapat diketahui dengan riwayat-riwayat yang ada.

masanya masing-masing. 97 Namun, oleh karena rentetan waktu yang begitu panjang, penulis hanya mengambil beberapa literatur tafsir yang menurut penulis

telah mewakili sekian banyak bentuk dan model tafsir yang ada pada masa klasik tersebut. 98

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, upaya menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’ân telah lama diusahakan oleh para tokoh muslim, bahkan sejak masa Rasulullah saw. Aktivitas tersebut terus berlanjut; bahkan terjadi peningkatan. Dan, sejak abad kedua Hijriyah telah banyak karya tafsir (tertulis) bermunculan, yang kemudian, pada paruh pertama abad ke-3 H, terjadi konsolidasi dan

sistematisasi. 99 Usaha tersebut, mencapai puncaknya pada akhir abad ke-4 dengan

lahirnya Jâmi` al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyât al-Qur`ân; karya al-Tabarî (w.310

97 Beberapa karya tafsir representatif yang banyak memuat riwayat dan terkenal sejak masanya masing-masing, bahkan sampai sekarang, adalah: (1). Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl al-

Qur’ân, karya al-Tabarî, w. 310 H, (2). Bahr al-‘Ulûm, karya al-Samarqandî, w. 373 H, (3). al- Kasyf wa al-Bayân, karya al-Tsa’labî, w. 427 H, (4). Tiga tafsir al-Wâh idî, w. 468 H, yaitu: al- Basît, al-Wasît, dan al-Wajîz, (5). Ma’âlim al-Tanzîl, karya al-Baghâwî, w. 510 H, (6) al- Muharrar al-wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, karya Ibn ‘Atiyyah, w. 546 H, (7). Zâd al-Masîr, karya Ibn al-Jauzî, w. 597 H, (8). al-Tafsîr al-Kabîr/Mafâtif al-Ghaib, karya al-Râzî, w. 606 H, (8). Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, karya al-Qurtubî, w. 671 H , (9). Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’ânî al- Tanzîl, karya al-Khâzin, w. 725 H, (10). Al-Bahr al-Muhît, karya Abû Hayyân, w. 745 H, (11). Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, karya Ibn Katsîr, w. 774 H, (12). Al-Jawâhir al-Hisân fi Tafsîr al- Qur’ân, karya al-Tsa’labî w. 876 H, (13). Al-Dûrr al-Mantsûr, karya al-Suyûtî, w. 911 H, (14). Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Baina Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al- Syaukânî w. 1255 H. Lihat: Muhammad Abd al-Rahîm Muhammad, al-Tafsîr al-Nabawî, Khasâisuh wa Masâdiruh, 24.

98 Dalam hal ini, penulis memilih empat literatur tafsir (sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya) adalah berdasarkan beberapa pertimbangan, di antaranya: (1) pertimbangan sumber

tafsir; yang meliputi tafsîr bi al-ma’tsûr/bi al-riwâyah/bi al-manqûl dan tafsîr bi al-ra’yi/bi al- ma’qûl. (2) pertimbangan laun al-tafsîr/corak penafsiranya, termasuk lughawî, fiqhî, falsafî, dan lain-lain. (3) pertimbangan manhaj al-tafsîr/metode penafsiran. Untuk poin ini, penulis hanya mengambil tafsîr tahlîlî, di samping karena pembahasannya yang begitu luas, juga karena belum diketemukannya tafsîr maudû’î (yang lengkap) dalam kajian tema ini. Sedangkan tafsir muqârin dan ijmâlî, menurut penulis, kurang sesuai untuk dipakai dalam kajian ini.

99 Pada abad kedua hijriah ini terdapat beberapa karya penting yang sampai pada kita, seperti al-Asybah wa al-Nazâ’ir fi al-Qur`ân al-Karîm, karya Muqâtil Ibn Sulaimân (w. 150 H);

Ma`ânî al-Qur`ân, karya al-Farrâ` (w. 207 H); serta Majâz al-Qur`ân, karya Abû `Ubaidah Ma`mar ibn al-Mutsannâ (w. 215 H). Lebih lanjut lihat: Muh ammad `Abîd al-Jâbirî, Bunyah al- `Aql al-`Arabi: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyyah Li Nudzûm al-Ma`rifah fî al-Tsaqâfah al- `Arabiyyah, Cet. VII, (Beirut: al-Dâr al-Baidâ`, 2000), h. 16-17. Lihat juga: Khâlid ibn Utsmân al- Sabt, Qawâ`id al-Tafsîr: Jam`an wa Dirâsatan, (Kairo: Dâr Ibn `Affân, 1421 H), h. 42; dan Khalid `Abd al-Rahmân al-`Akk, U U sûl al-Tafsîr wa Qawâ`iduh, Cet. II, (Beirut: Dâr al-Nafâiz, 1986), h. 32-33. Adapun konsolidasi dan sistematisasi tafsir-tafsir klasik (sebagaimana disebutkan di atas), setidaknya dapat dilihat dalam karya-karya Imam al-Bukhârî (w. 256 H/870 M) yang memuat penjelasan makna kosa kata al-Qur`ân yang diambil dari pandangan ulama bahasa sebelumnya terutama Abû ‘Ubaidah.

H/922 M). 100 Hal ini berlanjut sampai pada abad ke-5 H, yakni dengan lahirnya al-Kasyf wa al-Bayân karya al-Tsa’labî (w. 427 H), dan tiga karya besar al-

Wâhidî; al-Wajîz, al-Wasît dan al-Basît. Pada abad ke-6 H, penafsiran dengan pendekatan bahasa mulai berkembang, dan mencapai puncaknya pada masa al- Zamakhsyarî (w.538 H/1143 M) dengan karya tafsirnya al-Kasysyâf, serta pendekatan rasio/aqlî, sebagaimana dikembangkan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w.

606 H/ 1209 M), dengan karyanya tafsir al-Kabîr atau Mafâtih al-Ghaib. 101

1. Tafsir al-Tabarî (251-310 H): Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân 102 Tafsir al-Tabarî sangat kaya dengan riwayat. Ia mempunyai cara tersendiri

dalam melakukan penafsiran serta sistematisasi karyanya; yakni dengan

menampilkan pendapatnya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan perdebatan berdasarkan beberapa riwayat; baik dari Rasulullah,

sahabat, maupun tabi’i. 103

100 Tafsir al-Tabarî merupakan karya tafsir tertua (generasi abad-4), paling terkenal, representatif, dan memuat sekian banyak riwayat. Selengkapnya lihat Muh ammad ‘Abd al-‘Azîm

al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Jld. II/33; di samping itu Thameem Ushama menyatakan bahwa, tafsir ini merupakan magnum opus dari kitab-kitab tafsir awal yang sampai pada kita. Lihat: Thameem Ushama, Methodologhies of The Qur`anic Exegesis, h. 86.

101 Al-Zamakhsyarî adalah seorang ulama yang sangat brilian dan ahli dalam bidang filologi. Tafsirnya banyak dirujuk dalam kajian teologi, seperti, oleh Taftazanî (w. 792 H/ 1389 M)

dan Sayyid Syarîf Jurjanî (w. 816 H/ 1413 M). Lihat juga: Muhammad Husain al-Dzahabî, al- Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 206, 210. Adapun tentang al-Râzî berikut karya kafsirnya, lihat: Ali H asan al-‘Arîd, Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, terj. Ahmad Akrom, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Cet. 2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 31

102 Kitab ini di tulis oleh Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazid ibn Katsîr al-T abarî, (251-310 H/838-923 M). Dia merupakan satu di antara sekian banyak pemikir besar Islam di sepanjang

masa. Dunia Barat juga sangat menghargai prestasinya yang cemerlang, karena di antara banyak keahliannya ia juga seorang bapak sejarah Islam. Namun, al-T abarî terlebih dahulu menulis kitab tafsirnya sebelum kitab sejarah. Lihat: Ignaz Goldziher, Madzâhîb fi al-Tafsîr al-Islâmî, terj. Oleh: M. Alaika Salamullâh, Saifuddin Zuhri Qudsi, dan Badrus Syamsul Fata, dengan jdl. Madzhab Tafsir, dari aliran klasik sampai modern , Cet. II, (Yogyakarta: eLSAQ, 2006), h. 112. Lihat juga: Muhammad ibn ‘Abdullâh ibn ‘Alî al-Khad irî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I/74.

103 Jumlah riwayat yang terdapat dalam tafsir al-T abarî tercatat 38397 Âtsâr. Jumlah tersebut merupakan yang terbesar di antara beberapa tafsir bi al-ma’tsur yang ada, baik; (1)

Sebelumnya, seperti: tafsir Sufyân al-Tsaurî, Abd al-Razzâq al-S an’anî, Yahyâ ibn Salam, dll, (2) Semasa dengan al-Tabarî, seperti: Ibn Abî Hâtim, w. 324 H, yang riwayatnya hanya tercatat 1331, (3) Juga tafsir pasca al-Tabarî, seperti al-Dûrr al-Mantsûr, karya al-Suyûtî, yang riwayatnya tercatat 37060. Lihat: Muhammad ibn ’Abdullâh ibn ‘Alî al-Khadirî, Tafsîr al-Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I/74. Namun, ia tampaknya tidak menentukan posisi (pendapat pribadinya)nya pada perdebatan yang dipaparkannya, kecuali hanya dalam porsi yang sangat sedikit. Sehingga, ia kerap kali menyampaikan berbagai macam pendapat; bahkan yang

Dalam hal perkawinan lintas agama, penjelasan al-T abarî dapat dilihat pada diskripsinya atas Q.S. 2: 221, 5: 5, dan 60: 10. Di awal penjelasannya atas Q.S. 2: 221, ia mengusung dua pertanyaan besar, yakni: “Apakah ayat tersebut memuat semua orang musyrik, ataukah hanya sebagian saja? Dan apakah terdapat nasakh pada sebagian muatannya, setelah ditetapkannya hukum pada ayat tersebut?”. Setelah itu, ia mulai menyampaikan berbagai macam pendapat dan perdebatan yang berhubungan dengan pertanyaan di atas, kemudian tanpa diketahui bentuk analisis yang dilakukannya, ia melakukan pemilihan di antara pendapat-pendapat tersebut; dan menurutnya yang paling bagus adalah pendapat

Qatâdah. 104 Ia juga menolak pendapat tentang adanya nasakh dalam ayat tersebut, 105

karena dianggap tidak ada dasar yang kuat dalam hal ini. Demikian juga, ketika al-Tabarî menjelaskan Q.S. 60: 10, ia menyatakan bahwa khitâb tersebut ditujukan kepada para sahabat Rasul, dalam menyikapi para wanita Mekah yang bergabung dengan mereka di Hudaibiyah; untuk mengetahui apakah hijrah mereka benar-benar karena Allâh dan Rasûl-Nya, ataukah hanya karena takut kemarahan suami mereka. Isi perjanjian Hudaibiyah sama sekali tidak mengatur tentang para wanita, maka hal tersebut kemudian diatur

bertentangan sekalipun, kemudian (ia tampak) menyerahkannya kepada pembaca untuk melakukan sendiri analisis atas riwayat-riwayat tersebut.

104 Lihat kembali pendapat-pendapat Qatadâh dalam permasalahan ini. Terutama ungkapan-nya bahwa, para wanita Ahl al-kitâb tidaklah masuk dalam kategori al-musyrikât. Lihat:

Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al- Qur’ân, Juz. II/ 388. Lihat juga: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-S an’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. Dan bandingkan dengan: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64

105 Dengan tegas ia menyatakan bahwa, jika terdapat dua ayat, maka tidak boleh dikatakan adanya nasakh, kecuali dengan adanya dalil yang pasti dari khabar, padahal tidak satupun khabar

yang menjelaskan tentang nasakh antara Q.S. 2: 221 dan Q.S. 5: 5. Dengan demikian, orang yang menyatakan adanya nasakh antara keduanya sama sekali tidak berdasar, karena tidak terbukti. Dan mereka termasuk orang yang mengada-ada hukum. Sedangkan orang yang mengada-adakan hukum tidak dapat melemahkan pendapat orang lain. Adapun, pendapat yang diriwayatkan oleh Syahr ibn Hausyab dari Ibn ‘Abbâs ra tentang larangan larangan ‘Umar ra terhadap perkawinan Hudzaifah ra dan T alhah ra dengan wanita ahl al-kitâb, adalah pendapat yang tidak bermakna (tidak perlu dipertimbangkan), karena bertentangan dengan ijma’ umat Islam berdasarkan al- Qur’ân dan h adîts nabi saw perihal halalnya mengawini wanita Ahl al-kitâb. Lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. II/ 38. Dengan demikan, al-T abarî cenderung untuk membedakan antara musyrik dan ahl al-kitâb; karena menurutnya “musyrik dan ahl al-kitâb” merupakan dua kelompok yang berbeda; sebagaima dijelaskan oleh Qatâdah.

berdasarkan Q.S. al-Mumtahanah/60. Dalam hal ini al-Tabarî mengutip beberapa riwayat terutama yang berhubungan dengan sabab al-nuzûl ayat tersebut. 106

Ketika sampai pada potongan ayat wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir, al- Tabarî menjelaskan bahwa redaksi tersebut merupakan larangan Allâh SWT agar para sahabat tidak menjalin dan/atau mempertahankan perkawinan mereka dengan wanita-wanita musyrikah; penyembah berhala. Dan hal ini langsung mendapat

respon positif dari para sahabat termasuk ‘Umar ibn al-Khattâb ra. 107 Al-Tabarî mendukung pendapat al-Zuhrî bahwa turunnya ayat mihnah ini, karena adanya

perjanjian antara nabi dengan kafir Quraisy, bukan karena peperangan di antara mereka. Oleh karenanya, mereka saling bertukar mahar dan nafkah atas istri-istri

yang tidak mengikuti tempat tinggal para suaminya. Karena jika ayat tersebut turun karena perang, maka tidak mungkin ada pengaturan sedemikian rupa, termasuk pertukaran mahar dan nafkah. Dengan demikian, dapat simpulkan bahwa musyrik Mekah pada saat itu bukanlah kafir harbî melainkan mu’âhadah. Dalam hal ini, penulis tidak menemukan pendapat pribadi al-T abarî tentang penafsiran ayat tersebut, maupun analisisnya berkenaan dengan berbagai riwayat

yang ada, selain tarjîh. 108

106 Di antaranya, adalah riwayat yang disampaikan Abu Nas r al-Asadî, tentang jawaban Ibn ‘Abbâs ra ketika ditanya perihal bentuk ujian yang diberikan oleh Rasulullah saw kepada para

wanita yang bergabung dengan beliau dan para sahabat, di H udaibiyah. Ibn ‘Abbâs ra, berkata: “Nabi mengambil sumpah mereka; (1) bahwa mereka meninggalkan rumah bukan karena takut kemarahan suami (2) bukan karena benci pada daerah tertentu, dan mencari tempat yang lebih aman, (3) bukan karena harta benda (4) mereka meninggalkan rumah tidak lain, hanyalah karena mencintai Allâh dan Rasul-Nya”. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayan ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64.

107 Peristiwa ini terekam dengan jelas oleh beberapa riwayat, di antaranya adalah riwayat Marwân ibn Hakam, bahwa nabi saw kedatangan beberapa wanita beriman, setelah perjanjian

antara umat Islam dan orang-orang Quraisy baru saja dibuat (sedangkan perjanjian tersebut sama sekali tidak membahas para wanita). Maka, turunlah Q.S. 60: 10. Dan ketika sampai pada redaksi "bi 'isam al-kawâfir", ‘Umar ra langsung menceraikan dua istrinya sekaligus, yang masih tetap dalam keadaan syirik. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64.

108 Dalam hal ini, al-T abarî menyebutkan beberapa riwayat, termasuk riwayat yang disampaikan oleh Ibn Syihâb bahwa, berita yang sampai kepadanya tentang ayat mihnah adalah

peristiwa antara nabi dan dan orang-orang Quraisy dalam masa perjanjian. Pada saat itu, nabi saw mengembalikan nafkah yang diberikan oleh para mantan suami wanita-wanita yang baru saja masuk Islam, dan bergabung di H udaibiyah untuk hijrah ke Madinah, sedangkan para suami mereka masih kafir dan terikat perjanjian dengan Nabî. Jikalau saja mereka adalah kafir harbî, maka tidak mungkin ada perjanjian, pengembalian sesuatupun atas nafkah yang telah diberikan tersebut. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. XII/64.

Sedangkan, ketika menjelaskan Q.S. 5: 5, al-Tabarî menyatakan bahwa ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani) yang hewan sembelihannya boleh dimakan, serta wanitanya dapat dinikahi orang Islam, adalah mereka yang menjalankan agama Yahudi atau Nasrani dengan berpegang pada kitab Taurât atau Injîl yang diturunkan kepada mereka. al-Tabarî memilih untuk meluaskan cakupan ahl al- kitâb; bukan hanya dari bani Isra’il, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi atau Nasrani dan menjalankan aturan-aturan yang ada dalam kedua kitab mereka (Taurât dan Injîl). Kendati secara essensial, pendapatnya tampak serupa dengan

‘Atâ ibn Abî Rabâh dan al-Syâfi’î yang menyempitkan cakupan 109 ahl al-kitâb. Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa, penafsiran al-Tabarî atas

ayat-ayat tentang perkawinan lintas agama tergolong tafsîr bi al-manqûl/ma’tsûr,

109 Pendapat al-Tabarî ini, kendati dengan redaksi yang berbeda, namun essensinya tampak sama dengan pendapat ‘Atâ’ ibn Abî Rabâh . Lihat: Abû Bakr Abd al-Razzâq ibn Hammâm

al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII, Cet. III, (Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H), h. 187. Pendapat ‘Atâ’ yang dimaksud di sini adalah pernyataannya bahwa, orang-orang Yahudi dan Nasrani hanyalah dari kalangan bani Isra’il saja. Pendapat ini, untuk selanjutnya dikuatkan oleh al- Syâfi’î dalam pernyataannya bahwa, “ ahl al-kitâb adalah orang-orang, yang Taurât dan Injîl telah turun pada mereka, yakni bani Isra’il dan para keturunan mereka. Adapun orang-orang non bani Isra’il yang masuk agama mereka, tidaklah masuk dalam kategori ayat tersebut (Q.S. 5: 5). Oleh karenanya, mereka bukanlah orang-orang yang hewan sembelihannya halal untuk orang Islam, karena mereka bukan orang-orang yang diberi kitab sebelum umat Islam ”. Hanya saja (dalam hal ini) al-Tabarî tidak secara terang menyebutkan kata bani Isra’il. Namun pernyataannya bahwa, ” ahl al-kitâb adalah orang-orang yang diberi kitab Taurât dan Injîl, dan masuk agama Yahudi- Nasrani atau salah satunya”, merupakan indikasi bahwa mereka adalah bani Isra’il; karena kepada merekalah Taurât dan Injîl diturunkan. Namun, al-T abarî tidak mengakui hal itu, karena ia cenderung menyatakan sebaliknya, dengan mendasarkan pada pernyataan ‘Alî ibn Abî T âlib yang tidak suka dengan sembelihan Nasrani bani Taghlab, karena perbuatan mereka yang tidak sesuai dengan aturan halal-haram dalam kitab suci mereka sendiri, bukan karena mereka dari luar bani Isra’il. Dengan demikian, (menurut al-T abarî) tidak jadi masalah, jika seorang muslim memakan sembelihan orang-orang Yahudi ataupun Nasrani yang berpegang teguh pada ajaran kedua agama tersebut, baik dari kalangan bani Isra’il maupun bukan. Dan atas dasar inilah, ia menyatakan bahwa pendapat al-Syâfi’î, tampak salah. Lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440. Dalam menjelaskan al- muhsanât, al-Tabarî cenderung memahaminya sebagai “ al-harâ’ir” daripada “al-'afâ’if”, karena menikahi budak tidaklah diizinkan kecuali jika mereka adalah wanita mukminah; sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 4: 25. Dan jika hal itu dipahami sebagai “ al-'afâ’if”, maka akan memasukkan budak wanita dari kalangan ahl al-kitâb, sekaligus mengecualikan para wanita merdeka dari kalangan ahl al-kitâb dan mukminah yang tidak terjaga. Padahal Allâh telah menghalalkan wanita-wanita mukminah yang merdeka, walaupun bukan “ al-'afâ’if”, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. al-Nûr/24: 32. Bahkan ia membolehkan perkawinan dengan para wanita yang tidak terjaga, asalkan dari kelompok yang ditunjuk oleh zahir al-nass Q.S. 5: 5 tersebut, yakni mukminah dan ahl al-kitâb, baik kafir dzimmî maupun harbî. Namun setelah mempertimbangkan baik buruknya masa depan keturunan mereka kelak. Dan jangan sampai keturunan mereka bertempat tinggal pada suatu daerah yang dapat memaksanya menjadi kufur. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al- Bayân ‘An Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440.

karena ia mengedepankan riwayat daripada ijtihad ra’yu. Sehingga pendapat yang dimunculkannya, secara garis besar tidak keluar dari materi riwayat-riwayat tersebut, kendati ia melakukan pola analisis tarjih atasnya. Dan dengan berbagai argumentasi, ia menguatkan pendapat bahwa, ahl al-kitâb bukan termasuk musyrik. Di samping itu, wanita ahl al-kitâb yang boleh dinikahi orang Islam haruslah orang merdeka, beragama Yahudi atau Nasrani dengan patuh, baik

mereka berasal dari bani Isra’il maupun bukan. 110

2. Abu al-Qâsim al-Zamakhsyarî (467-538 H) 111 ; al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl.

al-Zamakhsyarî mulai menulis karyanya tersebut pada tahun 526 H, yang

berawal dari kekaguman para ulama mu’tazilah (ahli kalâm dan bahasa), ketika menanyakan beberapa tafsiran ayat-ayat al-Qur’ân. Mereka meminta agar al- Zamakhsyarî mewujudkannya dalam sebuah karya tertulis, dan lahirlah al-

Kasysyâf di saat keilmuan penulisnya telah mengalami kematangan. 112 Ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, al-Zamakhsyarî menyatakan bahwa, yang

dimaksud al-musyrikât adalah al-harbiyyât, yakni wanita musyrik dalam kategori kafir harbî. Namun, ia juga menyebutkan pendapat lain yang mamasukkan ahl al-

110 Yang dimaksud pendapat pendahulunya dalam hal ini adalah: (1) Pendapat Qatadâh tentang pemisahan antara ahl al-kitâb dan musyrik. Lihat kembali: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn

Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/176. (2) Pemahaman atas pernyataan ‘Alî ibn Abî Tâlib, bahwa ia tidak suka pada makanan Nasrani bani Taghlab, maupun menikahi wanitanya, lantaran mereka tidak mematuhi aturan-aturan hukum dalam kitab suci mereka. Lihat: Abû Bakar Abd al-Razzâq ibn Hammâm al-San’anî, Musannaf Abd al-Razzâq, Juz. VII/186. Lihat juga: Abû Bakr ‘Abdullâh ibn Muhammad ibn Abî Syaibah al-Kûfî, al-Musannaf fi al-Ahâdîts wa al-Âtsâr, Juz. III/478.

111 Ia lahir pada hari Rabu, 27 Rajab 467 H, di Zamakhsyar pada masa pemerintahan Jalâl al-Dîn wa al-Dunyâ Mâlik Syah, dengan perdana menteri Niz âm al-Mulk. Dia hidup dalam

perkembangan dan kemajuan berbagai hal, termasuk ekonomi dan perdagangan. Lihat: Must afâ al- Dâwî al-Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyarî fî Tafsir al-Qur’ân, wa Bayân I’jâzih, Cet. III (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt), h. 23

112 Lihat: Mustafâ al-Dâwî al-Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyarî fî Tafsir al-Qur’ân, wa Bayân I’jâzih, h. 72. Dan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya (di awal pembahasan tafsir

klasik) bahwa, Al-Zamakhsyarî adalah seorang ulama yang sangat brilian, dan ahli dalam bidang filologi. Tafsirnya banyak dirujuk dalam kajian teologi, seperti, oleh Taftazanî (w. 792 H/ 1389 M) dan Sayyid Syarîf Jurjanî (w. 816 H/ 1413 M). Lihat: Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I/206, 210. Namun, seperti halnya mufassir klasik lainnya, al-Zamakhsyarî menempuh manhaj tahlîlî, yakni dengan menafsirkan ayat demi ayat, dan menjelaskannya berdasarkan runtutannnya masing-masing. Namun yang membedakan, sekaligus menjadi ciri khasnya adalah pendekatan kebahasaan yang dipakainya begitu kental, sehingga para ulama menggolongkannya pada kelompok al-tafsîr bi a-laun al-lughawî.

kitâb. Karena menurut mereka, ahl al-kitâb juga termasuk musyrik berdasarkan Q.S. 9: 30 dan 31. Akan tetapi menurutnya, ayat-ayat tersebut telah dinasakh oleh Q.S. 5: 5, yang berlaku tetap dan tidak ada nasakh setelahnya. Dalam hal ini, ia

menyitir pendapat Ibn ‘Abbâs ra dan al-Auza’î. 113 Ia juga mengutip riwayat sabab al-nuzûl tentang peristiwa yang terjadi

pada Martsad ra. Dan ketika sampai pada redaksi wa la-amatun mu'minah, dan wa la-'abdun mu'min, ia mempunyai penjelasan yang berbeda dengan para mufassir lainnya, yang menurutnya kata “amah dan ‘abd” dalam ayat tersebut bukanlah budak, melainkan manusia. Karena setiap manusia adalah amah dan ‘abd Allâh. Sehingga, ketika menafsirkan ayat tersebut, ia tidak membandingkan orang

musyrik dengan budak, melainkan dengan orang-orang beriman, di dalam menilai kelayakan suatu perkawinan. 114 Dan berdasarkan ayat tersebut, perkawinan

dengan orang musyrik jelas-jelas dilarang, karena mereka akan membawa pengaruh negatif yang dapat menjerumuskan ke neraka. 115

Ketika masuk dalam pembahasan Q.S. 5: 5, al-Zamakhsyarî menegaskan bahwa, wanita ahl al-kitâb yang dapat dikawini adalah penganut Yahudi dan Nasrani, kendati di kalangan sahabat, masih terdapat perdebatan tentang Nasrani Arab. Lebih lanjut, al-Zamakhsyarî menjelaskan bahwa, Abû H anifah memasukkan penganut Sabian dalam kelompok ahl al-kitâb, walaupun pendapat

ini tidak didukung oleh sebagian muridnya. 116 Hal ini bebeda dengan Majusi,

113 Lihat: Abu al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid. I, Cet. I, ( Beirut:

Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 261. 114 Menurutnya, dengan alasan apapun, orang beriman lebih baik daripada musyrik dalam

menjalin hubungan perkawinan. Walaupun mungkin saja, secara fisik dan keduaniaan, mereka mempunyai daya tarik yang lebih besar. Lihat: Abu al-Qâsim Mah mûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al- Ta’wîl, Jilid. I/261.

115 Atas dasar inilah, lebih lanjut al-Zamakhsyarî menegaskan bahwa, orang Islam tidak boleh menjadikan orang-orang musyrik sebagai wali, maupun menjalin hubungan mus âharah

dengan mereka. Karena tidak ada hubungan dengan mereka, selain hanyalah peperangan. Lihat: Abu al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid. I/261.

116 Dalam redaksi yang penulis temukan, al-Zamakhsyarî hanya menyebutkan kata “dua murid Abû Hanifah”, tanpa disebutkan nama keduanya. Karena, mungkin keduanya sudah sangat

terkenal pada saat itu, sehingga dengan begitu saja sudah dapat diketahui identitas keduanya. Mereka berdua menjelaskan bahwa orang-orang Sâbi’în (penganut agama Sabian) terbagi menjadi dua: (1) kelompok ya ng membaca kitab Zabûr, dan melakukan penyembahan terhadap malaikat, terkenal pada saat itu, sehingga dengan begitu saja sudah dapat diketahui identitas keduanya. Mereka berdua menjelaskan bahwa orang-orang Sâbi’în (penganut agama Sabian) terbagi menjadi dua: (1) kelompok ya ng membaca kitab Zabûr, dan melakukan penyembahan terhadap malaikat,

makanan dan wanita mereka tidaklah halal bagi orang Islam. 117 Dalam memahami al-Muhsanât; yang merupakan syarat wanita ahl al-

kitâb untuk dapat dinikahi orang Islam, al-Zamakhsyarî mendefinisikannya sebagai wanita merdeka dan terjaga. Hal ini, sedikit berbeda dengan pemahaman para tokoh lain, yang pada umumnya hanya memilih salah satu dari kedua makna

tersebut. 118 Namun menurutnya yang terpenting adalah, bahwa pensyaratan itu merupakan peringatan serta petunjuk bagi seorang muslim agar berhati-hati dalam

memilih calon istri. Oleh karenanya, kebolehan untuk melakukan perkawinan

dengan wanita ahl al-kitâb hanyalah merupakan rukhsah/ keringanan, dan bukan tujuan utama, karena bagaimanapun, orang-orang beriman lebih baik daripada

mereka. 119 Dalam membahas Q.S. 60: 10, al-Zamakhsyarî menyertakan beberapa

riwayat, walau terkadang tidak disebutkan sumber pengambilannya. Ia menjelaskan bahwa, para wanita yang bergabung di Hudaibiyah pada saat itu diterima setelah menjalani ujian dari Rasulullah saw, untuk mengetahui maksud kepindahan mereka dari Mekah ke Madinah. Pada waktu yang sama, para sahabat yang istrinya tidak ikut hijrah (karena memilih tinggal di Mekah bersama orang

(2) kelompok yang tidak membaca Zabûr, dan mereka menyembah bintang-bintang. Kedua kelompok ini bukanlah ahl al-kitâb. Lihat: Abu al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al- Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al- Ta’wîl, Jilid. I/595.

117 Lebih lanjut, al-Zamakhsyarî menyebutkan sebuah riwayat dari Ibn al-Musayyab, yang mengatakan: “Apabila ada seorang muslim sakit, lalu meminta orang Majusi untuk membaca asma

Allâh, kemudian memintanya untuk menyembelih hewan, maka tidak jadi masalah (yakni, daging hewan tersebut halal)”. Bahkan menurut Abû Tsaur: “Walaupun orang Islam tadi dalam keadaan sehat dan menyuruh si Majusi melakukan hal itu, maka daging hewan tersebut hukumnya halal”. Lihat: Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid. I/595-596.

118 Bandingkan dengan pendapat al-T abarî yang cenderung memahaminya sebagai “wanita merdeka”, yang berbanding terbalik dengan kelompok lain yang memahaminya sebagai “wanita

terjaga”. Selengkapnya, lihat: Muh ammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Khâlid Abû Ja’far al-T abarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân, Juz. IV/440.

119 Dalam hal ini ia mengutip pernyataan ‘Atâ’ ibn Abî Rabâh yang sebenarnya juga pernah diucapkan al-H asan bahwa, dengan semakin banyaknya jumlah wanita muslimah, maka

tidak perlu lagi mengawini ahl al-kitâb. Lihat: Abû al-Qâsim Mah mûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al- Ta’wîl, Jilid. I/596.

musyrik), diperintahkan untuk mencerai mereka. 120 Dengan demikian, menurut al- Zamakhsyarî, perkawinan lintas agama yang diperbolehkan hanyalah antara lelaki

Muslim dengan wanita ahl al-kitâb (Yahudi-Nasrani) saja.

3. Muhammad al-Râzî (544-604 H): 121 Mafâtih al-Ghaib/tafsîr al-Kabîr/tafsîr al-Fakhr al-Râzî.

Penulis tafsir ini, hidup pada saat terjadi pergolakan pemikiran di daerahnya (Rayy), yang melibatkan tiga aliran/madzhab besar, yaitu: Syâfi’î, Hanafî dan Syi’ah, yang kemudian berkembang dengan masuknya aliran-aliran lain, serta menjadikan beberapa aliran seperti Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah,

Batîniyah dan Karâsiyah begitu terkenal. 122

Beliau menguasai beberapa disiplin ilmu, di antaranya: usûl al-fiqh, kalâm, kedokteran, filsafat, dan tafsir. Dengan demikian, tidak heran jika karya tafsirnya

120 al-Zamakhsyarî menjelaskan makna “ al-'isam” atau “al-‘ismah” dalam redaksi ayat “wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir”, yang menurutnya adalah: “Sesuatu yang membuat seseorang

menjadi terjaga, termasuk akad dan sebab”. Ia juga melakukan pendataan beberapa sahabat yang menceraikan istri-istri mereka, setelah turunnya ayat tersebut. Mereka adalah: 1. ‘Umar ibn al- Khattâb ra, yang menceraikan dua istrinya, yaitu: Fâti mah bint Abî Umaiyah, saudari Ummu Salamah, dan Kaltsûm bint Jazûl, 2. ‘Iyâd ibn Syaddâd al-Fihrî, yang menceraikan Ummu al- Hakam bint Abî Sufyân, 3. Syammas ibn ‘Utsmân, yang menceraikan Barwâ’ bint ‘Uqbah, 4. ‘Amr ibn Abî Wudd, yang menceraikan ‘Abidah ibn ‘Abd al-‘Uzzâ ibn Naslah, 5. Hisyâm ibn al- ‘Âss, yang menceraikan Hind bint Abî Jahl. Kemudian, diadakan saling tukar mahar antara orang Islam dan kafir Mekah. Namun, setelah Rasul membayar mahar mereka; dengan memakai harta ghanîmah (rampasan perang), orang-orang musyrik tidak melakukan hal yang sama. Dan setelah prosesi tersebut usai, para wanita muslimah yang baru bergabung dapat dinikahi oleh para lelaki muslim kapanpun, dengan syarat memberikan mahar kepadanya. Dalam hal ini, mahar disyaratkan dalam perkawinan mereka yang menurut al-Zamakhsyarî, karena mahar adalah ajr al-Bud’. Tentang masalah 'iddah, al-Zamakhsyarî menyebutkan pendapat Abû Hanifah bahwa tidak ada ‘iddah bagi para wanita tersebut. Oleh karenanya, mereka dapat langsung dinikahi. Karena menurutnya, jika suami istri tinggal di Dâr al-Harb, kemudian salah satu dari mereka keluar/pindah dari daerah tersebut (baik dalam keadaan Islam maupun dalam tanggungan/ dzimmî), maka hubungan perkawinan mereka putus karenanya. Lihat: Abu al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al- Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Jilid. III/506.

121 Nama lengkapnya ialah Muh ammad ibn ‘Umar ibn al-H usain ibn al-Hasan ibn ‘Alî, Fakhr al-Dîn al-Taimî al-Bakrî al-Râzî, biasa dipanggil dengan Abû ‘Abdillâh atau Abû al-Ma’âlî.

Beliau lahir di kota Rayy daerah bagian Dailam dekat Khurasân. Ayahnya adalah Diyâ al-Dîn ‘Umar, seorang ulama besar di Rayy, yang merupakan murid muhyî al-sunnah, al-Baghawî, sedangkan dalam bidang kalâm ia mengambil dari al-Jîlî. Oleh karenanya, al-Râzî cukup dengan pendidikan yang diperolehnya dari sang ayah. Ia belajar kepadanya sampai ayahnya meninggal. Pada abad ke-6 H (ketika beliau hidup), adalah masa-masa genting dalam kehidupan umat Islam baik secara politik, sosial, keilmuan dan keyakinan (akidah), karena pada masa itu, pemerintahan ‘Abbâsiyyah disibukkan oleh perang Salib, yang terjadi di Syam. Lihat: Muhammad Fakhr al-Dîn ibn Diya al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. I, Cet. I, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), h. 3-6.

122 Lihat: Muhammad Fakhr al-Dîn ibn D iyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. I/3-6.

begitu kaya dengan kajian-kajian sebagaimana di atas. 123 Dan karena pembahasannya yang begitu luas, maka dalam menafsirkan suatu ayat ia biasa

membaginya dalam beberapa sub pembahasan (masalah). Namun, dengan pembahasan yang begitu panjang, ia seakan lupa untuk menentukan pendapatnya sendiri. Karena ia selalu memaparkan serta melakukan analisis terhadap pendapat- pendapat terdahulu, menunjukkan beberapa kelemahan dan kelebihannya, namun sedikit sekali yang berlanjut pada upaya tarjîh, maupun menetapkan posisi pendapatnya. Misalkan, Ketika membahas Q.S. 2: 221, al-Râzî membaginya dalam enam masalah, yang meliputi tentang riwayat sabab al-nuzûl, makna (hakiki dan majazi) nikah, diskusi tentang musyrik, orang musyrik yang kemudian

beriman, serta ada-tidaknya nasakh dalam ayat tersebut. Ia menilai bahwa term musyrik, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat-ayat al-Qur’ân, tidak sepatutnya ditinjau dari sisi kebahasaan, karena ia merupakan istilah tertentu yang ditunjukkan oleh syara’ yang memuat suatu kriteria khusus, sebagaimana ditunjukkan oleh syara’ itu sendiri. Di samping itu, al-Râzî lebih condong pada kaedah yang dipakai oleh jumhur ulama tentang hukum asal

perkawinan "al-aslu fi al-abdâ al-hurmah ", "Pada dasarnya abdâ’ itu haram". 125 Dengan demikian, tampaknya pendapat yang dipegang oleh al-Râzî tidak jauh

123 Setidaknya karena itu, tafsirnya tampak begitu kaya dengan berbagai informasi tentang filsafat, teologi, fiqh, astronomi, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Sehingga beberapa ulama

tafsir menilainya sebagai “Karya yang memuat segala sesuatu, kecuali tafsir itu sendiri”. Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz I/206 dan 210. Lihat juga: Alî Hasan al-‘Arîd, Târîkh ‘Ilm al-Tafsîr wa Manâhij al-Mufassirîn, h. 31

124 Ia hanya menyebutkan satu riwayat sabab al-nuzûl, sebagaimana disampaikan Ibn ‘Abbâs ra, yakni tentang kasus Martsad ibn Abî Martsad yang diutus untuk membebaskan tawanan

di Mekah. Dalam hal ini, al-Râzî tidak begitu mempermasahkan keberagaman riwayat yang ada, melainkan bagaimana ayat tersebut diterapkan. Baru ketika pembahasan berlanjut pada makna “nikâh”; apakah ia bermakna akad atau wat î, setelah melakukan diskusi panjang, ia cenderung memilih akad sebagai makna hakiki nikâh. Karena berdasarkan analisisnya, akad telah memuat makna damm dan wati', sebagaimana diketahui bahwa kedua makna tersebut adalah makna nikah secara bahasa. Lihat: Muh ammad Fakhr al-Dîn ibn D iyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. III/60.

125 Kata abdâ’, adalah bentuk jamak dari Bud', yang berarti “kemaluan perempuan”. Hal ini merupakan kinâyah, yang dalam istilah balaghah termasuk dalam kategori “ min itlâq al-mahall

wa irâdah al-hall”. Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang kaedah tersebut, lihat: Abû ‘Abdillâh, Muh ammad ibn Bahâdir ibn ‘Abdillâh al-Zarkasyî, al- Mantsûr fî al-Qawâ’id, Juz. II, Muhaqqiq: Taisîr Fâiq A. Mah mûd, Cet. II, (Kuwait: Wizârah al- Auqâf wa al-Su’ûn al-Islâmiyah, 1405 H), h. 347.disebutkan dalam redaksi " al-aslu fi al-abdâ huwa al-hurmah" wa irâdah al-hall”. Jadi yang dimaksud adalah pemanfaatannya, bukanlah bendanya. Tentang kaedah tersebut, lihat: Abû ‘Abdillâh, Muh ammad ibn Bahâdir ibn ‘Abdillâh al-Zarkasyî, al- Mantsûr fî al-Qawâ’id, Juz. II, Muhaqqiq: Taisîr Fâiq A. Mah mûd, Cet. II, (Kuwait: Wizârah al- Auqâf wa al-Su’ûn al-Islâmiyah, 1405 H), h. 347.disebutkan dalam redaksi " al-aslu fi al-abdâ huwa al-hurmah"

Ketika membahas Q.S. 60: 10, ia tidak banyak memaparkan permasalahan. Interpretasi yang dilakukannya tidak banyak berbeda dengan para mufassir lain, yakni dengan menampilkan sabab al-nuzûl, disusul dengan penjelasan materi

perjanjian Hudaibiyah. 127 Akan tetapi, ketika menjelaskan Q.S. 5: 5 al-Râzî kembali memberikan interpretasi yang cukup luas. Ia mencari titik temu antara

ayat tersebut dengan Q.S. 5: 3. ia juga memaparkan dua pengertian al-muhsanât, namun dengan berbagai argumentasi ia cenderung memilih makna al-harâ’ir daripada al-'afâ’if. Namun ia tampak kurang setuju dengan perkawinan antara

lelaki muslim dengan wanita ahl al-kitâb, karena menurutnya (secara zâhir) akan terjadi kontradiksi antara awal ayat dengan akhir ayatnya. Di samping itu, menurutnya, perkawinan tersebut akan membuahkan cinta dan kasih sayang, yang dengannya seorang suami akan dengan mudah mengikuti ajakan istrinya untuk

126 Di dalam menjelaskan ( term musyrik), ia menyitir pendapat al-Jubâ’î, sebagaimana disampaikan al-Râzî bahwa, al-Jubâ’î berkata: “kata syirk adalah al-asmâ’ al-syar’iyah”. Dan

menurut al-Râzî, al-Jubâ’î mengambil hujjah beberapa riwayat dari Rasul, yang mana setiap orang yang dikatakan kâfir, mereka juga tergolong musyrik. Dalam hal ini al-Râzî memperkuat pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa, para penyembah berhala juga sering mengeluarkan statemen yang beraneka ragam (perihal berhala yang mereka sembah). Mereka sering mengatakan bahwa, berhala-berhala tersebut adalah sekutu Allâh dalam menciptakan, dan mengatur alam. Namun, mereka juga berkata bahwa, berhala-berhala tersebut adalah para penolong mereka di sisi Allâh. (inkonsistensi yang mereka ditunjukkan, membawa implikasi bahwa, disamping kafir mereka juga musyrik). Lebih lanjut, al-Râzî menegaskan bahwa kebanyakan dari para penyembah berhala tersebut juga mengakui satu tuhan yang tidak memerlukan bantuan dalam menciptakan maupun mengatur alam, dan lain sebagainya. Dan setelah menyelesaikan analisisnya, al-Râzî berkata: “Jika demikian adanya (sebagaimana analisis al-Râzî sebelumnya), maka jelaslah bahwa, penempatan kata musyrik atas kata kafir bukanlah al-asmâ’ al-lughawiyah (istilah-istilah kebahasaan), melainkan al-asmâ’ al-syar’iyah (istilah-istilah syara’), seperti kata s alat, zakat dan lain sebaginya. Jika benar adanya, tentunya kita menempatkan setiap kafir dalam kelompok musyrik”. Sedangkan berkenaan dengan kaedah di atas “bahwa, pada dasarnya hukum al-abdâ’ adalah haram”, ia menjelaskan, jika terdapat dalil yang bertentangan tentang boleh dan tidaknya suatu perbuatan, maka kembali pada hukum asal (yakni haram tersebut). Selengkapnya lihat: Muh ammad Fakhr al- Dîn ibn Diyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. III/61-62.

127 Ia memaparkan beberapa riwayat tentang wanita yang dibahas dalam ayat tersebut. Di antara riwayat yang dipaparkannya, menyatakan bahwa wanita tersebut adalah Subai'ah bint al-

Hârits al-Aslâmiyah, yang disusul suaminya; Musafir al-Makhzûmî atau Saifî ibn Râhib. Namun dalam riwayat lain dari al-Zuhrî, disebutkan bahwa wanita tesebut adalah Ummu Kaltsûm bint 'Uqbah istri dari 'Amr ibn al-Âss , dia disusul oleh kedua saudaranya; 'Ammârah dan al-Walîd. Lihat: Muhammad Fakhr al-Dîn ibn D iyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. XV/306.

berpindah agama. Dan masalah akan bertambah, jika anak-anak mereka lahir dan tumbuh dewasa si bawah asuhan para wanita ahl al-kitâb tersebut. 128

4. Tafsîr al-Qurtubî (w. 671 H): al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân Al-Qurtubî, adalah mufassir yang datang setelah al-Râzî. Ia menyajikan karya tafsirnya dengan begitu luas dan mendalam. Kendati demikian, sulit untuk mengetahui pendapat pribadinya. Karena ia menjelaskan segala hal yang berhubungan dengan obyek pembahasan sekaligus perdebatan di dalamnya, tanpa ada kejelasan analisis tentangnya. Pembahasan yang panjang; oleh al-Qurt ubî, dipisahkan dalam beberapa poin (masalah).

Dalam menjelaskan Q.S. 2: 221, al-Qurtubî membaginya dalam dua

kelompok besar, pertama, (wa lâ tankihû al-musyrikât) yang terbagi dalam tujuh masalah, dan kedua, (wa lâ tunkihû al-musyrikîn) dibahas dalam sepuluh masalah. Di awal pembahasannya, ia menjelaskan tentang macam-macam bacaan pada redaksi wa lâ tankihû, yang menurutnya berimplikasi pada perbedaan

pemahaman. 129 Ia juga menyinggung sedikit tentang korelasi antar ayat, dan sebagaimana dua mufassir sebelumnya, ia mencantumkan sabab al-nuzûl, bukan

128 Kecenderungannya untuk lebih memilih makna al-harâ’ir daripada al-'afâ’if ialah berdasarkan beberapa argumentasi, di antaranya: (1) lanjutan ayat tersebut menyatakan bahwa

kebolehan mengawini wanita tersebut dengan syarat adanya mahar yang diberikan kepadanya. Padahal yang dapat menerima mahar hanyalah orang merdeka.Sedangkan budak, sama sekali tidak mempunyai hak milik. (2) pemberian makna al-'afâ’if akan menafikan perkawinan pelaku zina, padahal pelaku zina juga masih berhak untuk dikawini. Lihat: Muh ammad Fakhr al-Dîn ibn D iyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. VI/150. Argumentasi lain yang dipaparkannya juga diambil dari beberapa riwayat, termasuk dari 'Atâ’ bahwa, mengawini wanita ahl al-kitâb adalah rukhsah ketika jumlah wanita muslimah sedikit. Dan dengan semakin banyaknya jumlah wanita muslimah, maka tidak ada rukhsah lagi. Di samping itu, menurutnya, terdapat beberapa ayat yang memerintahkan agar menjauh dari orang orang kafir dan aktifitasnya. Lihat: Muh ammad Fakhr al- Dîn ibn Diyâ al-Dîn ‘Umar al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Jld. VI/150.

129 Pembahasannya berlanjut pada perdebatan tentang pemberlakuan ayat tersebut, karena Ibn ‘Abbâs ra dan para muridnya menganggap bahwa, ayat tersebut mencakup semua orang kafir,

dan kemudian darinya wanita ahl al-kitâb dikecualikan berdasarkan Q.S. 5: 5. Pendapat ini dipegang oleh Imam Mâlik. Hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan Ish âq ibn Ibrâhîm al- Harabî bahwa, sebagian ulama memberlakukan Q.S. 2: 221 sebagai nâsikh bagi Q.S. 5: 5. Dengan demikian, hukum menikah dengan non muslim haram hukumnya baik mereka itu ahl al-kitâb atau bukan. Hal ini dipertegas al-Nuhh âs dengan riwayat dari Ibn 'Umar ra yang menganggap perbuatan ahl al-kitâb sebagai bentuk syirik terbesar. Dan menurutnya, pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhûr baik sahabat, tabi’i, maupun generasi setelahnya. Karena faktanya, surah al- Baqarah turun lebih dulu daripada al-Mâ’idah, sehingga tidak mungkin ayat yang turun lebih dahulu menasakh ayat yang datang kemudian. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

hanya dari al-Sudî melainkan juga dari Muqâtil. 130 Demikian juga; berbeda dengan para mufassir sebelumnya, al-Qurtubî mencoba untuk mendiskusikan

beberapa hal secara mendalam, di antaranya tentang: budak wanita ahl al-kitâb, wanita kafir harbî, dan wanita Majusi, walaupun sebenarnya ia tidak setuju atas

perkawinan tersebut. 131 Ketika menjelaskan Q.S. 60: 10, al-Qurtubî membaginya dalam enam

belas pembahasan (masalah). Namun tampak ada ketidakpastian atau mungkin pembedaan sikap al-Qurtubî dalam menentukan alasan putusnya perkawinan antara orang Islam dengan pasangannya yang masih musyrik; dalam peristiwa Hudaibiyah. Pada kasus para wanita muslimah yang suaminya musyrik, ia

menguatkan pendapat bahwa perbedaan agama menjadi dasar putusnya hubungan

130 Riwayat tersebut materinya berbeda dengan apa yang disampaikan al-Sudî yang memuat kasus ‘Abdullâh ibn Rawâhah dan budak perempuannya. Karena Muqâtil menjadikan

kasus Abû Martsad al-Ghanawî dengan wanita musyrikah Mekah (‘Anâq) sebagai sabab al- nuzûlnya. Selengkapnya: lihat kembali penjelasan ( foot note) pada pembahasan tabi’i (Muqâtil ibn Sulaimân) pada bab II. Dan lihat juga: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurtubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64. Dalam beberapa kitab Hadîts, penulis menemukan bahwa kasus tersebut terjadi bukan pada Abî Martsad namun anaknya “Marsad ibn Abî Martsad”. Dan ayat yang turun setelahnya bukanlah Q.S. 2: 221, melainkan Q.S. al-Nûr/24: 3, yakni tentang menikahi orang zina, karena pada saat itu ‘Anâq adalah seorang pelacur di Mekah. Selengkapnya, lihat: Muhammad ibn ‘Îsâ Abû ‘Îsâ al-Turmudzî al-Sulamî, al-Jâmi’ al-Sahîh Sunan al-Turmudzî, Juz. V/328. Lihat juga: Abû Bakr Ah mad ibn al-Husain ibn ‘Alî ibn Mûsâ al- Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, Juz: VII/153, No. Hds. 13639.

131 Di antara perdebatan yang dipaparkannya berkenaan dengan beberapa masalah tersebut, ialah: (1) Tentang budak ahl al-kitâb. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa, para ulama

berselisih tentang menikahi budak ahl al-kitâb. Menurut Imam Mâlik, tidak boleh. Sedangkan Abû Hanifah dan pengikutnya, membolehkan. (2) Wanita kafir harbî. Ibn ‘Abbâs ra menyatakan, tidak halal, seraya membaca ayat “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh…(Q.S. 9: 29)”. Namun, Imam Mâlik hanya menganggapnya makruh saja, dengan alasan bahwa, orang tersebut akan meninggalkan anaknya di daerah konflik, bergumul dengan khamr dan babi. (3) Wanita Majusi. Mayoritas ulama termasuk Mâlik, Syâfi’î, Abû H anifah, Auza’î, dan Ish âq menyatakan haramnya menikahi wanita Majusi, bahkan Ah mad ibn Hanbal menganggap hal itu sudah maklum. Ibn al-Qass âr menyatakan pendapat kelompoknya bahwa, untuk bolehnya menikahi Majusi, maka disyaratkan mereka (wanita Majusi) harus mempunyai kitab (suci). Namun, menurut Imâm Mâlik, budak Majusi, paganis, dan kafir-kafir lainnya, tidak boleh dijimâ’ atas dasar kepemilikan. Dan inilah, menurut al-Qurt ubî, pendapat yang dipegang mayoritas ulama. Namun, terdapat pendapat berbeda dari ‘Atâ’ dan ‘Amr ibn Dînâr, yang menyatakan bolehnya menikahi budak wanita Majusi. Di sisi lain, al-Qurt ubî juga menunjukkan adanya hîlah al-hukm (rekayasa hukum), sebagaimana dijelaskan dalam suatu riwayat dari Abû Ayyûb, ketika ditanya tentang tawanan non muslim. Ia menyatakan: “Kami menghadapkan mereka ke kiblat, kemudian memerintahkan mereka membaca syahâdat dan mandi. Dan jika tuannya hendak mengumpulinya, maka wanita tersebut harus istibrâ’ terlebih dahulu. Para ulama belum ada kesepakan tentang makna hakiki nikah, apakah akad ataukah persetubuhan ( wati’). Dan hal inilah yang memancing munculnya perdebatan di antara mereka. Selengkapnya, lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. III/64.

perkawinan mereka. Sedangkan perintah untuk menceraikan para istri sahabat yang masih musyrikah dan tinggal di Mekah, adalah berdasarkan perbedaan

tempat tinggal. 132 Sedangkan Q.S. 5: 5, dibahasnya dalam sepuluh masalah, namun perihal

perkawinan lintas agama; materi pembahasannya, tidak jauh berbeda dengan penjelasan Q.S. 2: 221. 133 Hanya saja, ia menambahkan perdebatan tentang

kreteria al-muhsanât. Disamping itu, dalam menjelaskan redaksi wa man yakfur bi al-îmân terdapat indikasi adanya syarat bagi wanita ahl al-kitâb; lebih dari

sekedar muhsanât. 134 132 Dalam kasus pertama, ia sependapat dengan Abû ‘Umar bahwa perbedaan agama

merupakan unsur pemisah perkawinan. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa, redaksi “ fa lâ tarji'û hunna ilâ al-kuffâr, lâ hunna h illun lahum wa lâ hum yahillûna lahunna”, mengandung pengertian tidak halalnya wanita beriman bagi lelaki kafir, demikian juga seorang mukmin tidak boleh menikahi wanita musyrikah. Dengan demikian, dalil wajibnya perceraian antara wanita muslimah dengan lelaki kafir adalah Islamnya wanita tersebut, bukan masalah hijrahnya. Sedangkan menurut Abû Hanifah, yang menyebabkan perpisahan keduanya adalah perbedaan daerah/negara. Namun menurut al-Qurt ubî, pendapat pertama lebih s ahîh, karena menurutnya, redaksi “ lâ hunna hillun lahum wa lâ hum yahillûna lahunna” menunjukkan suatu alasan bahwa, ketidak halalan tersebut bukan karena beda tempat, melainkan beda agama. Sedangkan ketika mendeskripsikan ( wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir), ia menyatakan bahwa, maksud kata al-‘ismah adalah perkawinan. Maka, dengan ayat tersebut, barang siapa mempunyai istri kafir di Mekah, tidaklah dianggap sebagai istri, karena hubungan perkawinannya telah putus akibat perbedaan daerah/negara. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al- Qur’ân, Juz. XVIII/55.

133 Dalam hal ini, al-Qurt ubî menghubungkan antara Q.S. 5: 5, dengan ayat sebelumnya terutama Q.S. 5: 3. Pada Q.S. 5: 3 terdapat redaksi " al-yaum...", "Pada hari ini orang-orang kafir

telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu", sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku". Disusul dengan " al-yaum...", "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-rid ai Islam jadi agamamu ". Kemudian pada Q.S. 5: 5, dikuatkan lagi dengan redaksi " al-yaum...", "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik". Redaksi terakhir merupakan jawaban dari pertanyaan kaum muslim tentang makanan apa yang dihalalkan untuk mereka, dan hal ini dapat diartikan sebagai hari kemenangan. Karena pada umumnya orang-orang Arab dulu menandai moment besar dan bersejarah dengan hari-hari ( yaum/ayyâm). Lihat: Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/74

134 Sebagaimana pembahasan yang lain, al-Qurt ubî tidak menentukan sikap dalam perdebatan tentang kriteria al-muhsanât pada Q.S. 5: 5. Namun, ia dapat menggambarkan alur

perdebatan dengan sistematis berdasarkan beberapa potong ayat. Di antara perdebatan tersebut, adalah tentang posisi ahl al-kitâb, sebagai kafir harbî ataukah mu’âhadah. Tentang al-muhsanât, Ibn ‘Abbâs ra berpendapat bahwa, mereka adalah para wanita terjaga yang tidak ada prasangka melakukan perbuatan keji. Sedangkan menurut al-Sya’bî, mereka adalah wanita yang mampu menjaga diri dari perbuatan zina, dan mandi jika berhadats besar. Sedangkan, Mujâhid menganggapnya sebagai wanita merdeka. Dan atas dasar ini pula Abu ‘Ubaid menyatakan bahwa, menikahi budak ahl al-kitâb hukumnya haram karena tidak sesuai dengan Q.S. 4: 25. Di akhir pendapat-pendapat tersebut al-Qurt ubî menyatakan: “Demikianlah pendapat-pendapat para ulama besar”, tanpa ada upaya melakukan tarjih maupun bentuk analisis lainnya. Sedangkan, indikasi adanya syarat dari hanya sekedar al-Muhsanat tersebut, ialah ketika al-Qurt ubî menjelaskan

5. Tafsîr Ibn Katsîr (w. 774 H): Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm 135 Sebagai generasi yang datang lebih akhir, Ibn Katsîr banyak mengutip

riwayat mufassir sebelumnya. Dan, sebagaimana para pendahulunya; Ibn Katsîr juga menyebutkan riwayat tentang asbâb al-nuzûl. 136 Kendati demikian, Ibn

Katsîr mempunyai karakter penafsiran yang sedikit berbeda dengan mereka, di antaranya: (1) dalam memahami Q.S. 2: 221, dia menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ahl al-kitâb adalah termasuk musyrik, namun dikecualikan oleh Q.S. 5: 5, sehingga hewan sembelihannya dapat dimakan oleh orang Islam,

demikian juga dengan para wanitanya dapat dinikahi oleh mereka. 137 (2) Ibn Katsîr juga melakukan analisis atas beberapa riwayat yang di kutipnya, dan ia

138 akan meninggalkan riwayat yang dianggapnya lebih lemah, apalagi maudû’.

redaksi “wa man yakfur bi al-îmân”, berawal ketika pada sebelumnya, turun redaksi “ wa al- muhsanât min al-ladzîna ûtû al-kitâb ”, para wanita ahl al-kitâb berkata: “Jika Allâh tidak rid â atas agama kami, Dia tidak akan mengizinkan kalian menikahi kami”. Dan setelah itu turunlah redaksi “wa man yakfur bi al-îmân”, yakni barang siapa yang kufur dengan apa yang dibawa oleh Muhammad, maka amal perbuatannya akan lebur. Dengan demikian, penulis menganggap al- Qurtubî hendak menyatakan bahwa para wanita tersebut tidak mengingkari ajaran Islam, walaupun mereka ingkar terhadap nabi pembawanya. Lihat: Abû ‘Abdillâh Muh ammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr ibn Faraj al-Qurt ubî, al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân, Juz. VI/74.

135 Tafsir ini ditulis oleh Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr ibn al-D âwî ibn Katsîr, Abû al-Fidâ. Di dalamya terdapat 2252 riwayat Hadîts, namun kebanyakan adalah H adîts-Hadîts tentang fadâ’il

al-a’mâl. Berbeda dengan al-Tabarî yang mayoritas muatan riwayatnya berkenaan dengan penjelasan ayat-ayat al-Qur’ân. Lihat: Muh ammad ibn ‘Abdullâh ibn ‘Alî al-Khad irî, Tafsîr al- Tâbi’î, ‘Arad wa Dirâsah Muqâranah, Juz. I/80.

136 Ketika menjelaskan Q.S. 2: 221, Ibn Katsîr menyebutkan riwayat tentang sabab al- nuzûl ayat tersebut yang disampaikan oleh al-Sudî, yakni tentang kasus yang terjadi antara

‘Abdullâh ibn Rawâhah dengan budak wanitanya nan hitam legam, yang kemudian dijadikannya sebagai istri. Lihat kembali pendapat al-Sudî pada pembahasan sebelumnya tentang tabi’i. Dan lihat juga: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

137 Hal ini berbeda dengan al-Tabarî yang sejak awal membedakan antara musyrik dan ahl al-kitâb. Pendapat Ibn Katsîr ini dapat dilihat dari pemaparannya setelah menyebutkan Q.S. 2: 221

bahwa, ”Ayat tersebut adalah merupakan pengharaman dari Allâh atas orang-orang beriman yang hendak menikahi wanita musyrik dari kalangan penyembah berhala. Dan jika yang dikehendaki ayat tersebut adalah keumumannya, maka ahl al-kitâb juga masuk di dalamnya. Namun, kemudian, ahl al-kitâb diberi aturan khusus pada Q.S. 5:5”. Pemaparan tersebut kemudian disusul dengan beberapa riwayat yang menguatkan pendapatnya, termasuk riwayat tentang pendapat Ibn ‘Abbâs ra yang didukung juga oleh beberapa tabi’i bahwa, Q.S. 2: 221 sebagian muatannya di kecualikan oleh Q.S. 5:5. Selengkapnya lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al- Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. I/347.

138 Hal ini dapat dilihat pada sikapnya atas riwayat yang dibawa oleh al-T abarî tentang haramnya menikahi wanita selain muslimah; yakni, riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah

saw melarang perkawinan, kecuali hanya dengan wanita yang ikut hijrah, serta mengharamkan wanita non muslimah. Demikian juga dengan riwayat tentang permasalahan antara ‘Umar ra dan Hudzaifah ra serta T alhah ra; yakni, riwayat Syahr ibn H ausyab tentang kemarahan ‘Umar ra atas

Demikian juga dengan peristiwa Hudaibiyah, Ibn Katsîr; secara kronologis menjelaskannya panjang lebar dengan beberapa riwayat. Kendati peristiwa tersebut dikatakannya sebagai sabab al-nuzûl Q.S. 60: 10, namun ia mencantumkannya dalam penafsiran Q.S. al-Fath/48: 25-25, karena terdapat

korelasi antara keduanya. 139 Dan yang terpenting dalam hal ini adalah sikap Ibn Katsîr yang memberlakukan hukum ayat tersebut secara umum, kendati ia turun

dengan sabab al-nuzûl. 140 Di samping itu, ketika menjelaskan Q.S. 5: 5, Ibn Katsîr cenderung mengikuti pendapat jumhûr bahwa, “al-muhsanât” adalah “al-

'afîfât”. Dan, ia juga menganggap bahwa ahl al-kitâb adalah kelompok tersendiri di luar musyrik, sehingga mereka tidak masuk dalam khitâb QS. 2: 221. 141

Dengan demikian, menurut Ibn Katsîr hukum perkawinan beda agama dalam al-

perkawinan mereka, yang bahkan hampir menghukum keduanya, sehingga keduanya mau menceraikan istri-istri mereka. Dalam kasus kedua ini, menurut Ibn Katsir, jika perceraiannya sah, berarti sah pula perkawinannya. Kendati demikian, ia menganggap kedua riwayat tersebut sebagai Hadîts gharîb. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al- ‘Azîm, Juz. I/347.

139 Riwayat tersebut melalui jalur Ahmad, dan berakhir pada Miswar ibn Makhramah dan Marwan ibn al-Hakam. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa, setelah perjanjian dibuat, nabi

memerintahkan para sahabat untuk melakukan tahallul. Namun mereka diam saja; tidak segera melakukan instruksi tersebut, bahkan Rasulullah hampir jengkel dibuatnya, karena perintah tersebut tidak dijalankan juga, kendati beliau telah mengulangi sampai tiga kali. Lalu dengan saran Ummu Salamah, beliau keluar tenda tanpa bicara sepatah katapun. Kemudian, memotong hewan dan menyuruh orang lain mencukur rambut beliau. Melihat hal itu, para sahabat spontan mengikuti apa yang dilakukan Rasul. Dan setelah itu datanglah para wanita mukminah dari Mekah, dan turunlah Q.S. 60: 10. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al- Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/237.

140 Dengan demikian, kandungan hukum yang terdapat dalam Q.S. 60: 10 tidak hanya berlaku untuk sahabat pada waktu itu saja, melainkan semua umat Islam. Berkenaan dengan

redaksi “wa lâ tumsikû bi 'isam al-kawâfir”, ia menjelaskan: “Ayat tersebut merupakan pengharaman dari Allâh atas hambanya yang beriman dalam hal menikahi wanita musyrikah ataupun melanjutkan hubungan perkawinan dengan mereka”. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. IV/449. Dengan demikian, Ibn Katsîr lebih cenderung membawa pemahaman ayat tersebut pada keumuman lafaz daripada kekhususan sebab, dengan memberlakukan kaedah " al-'ibrah bi 'umûm al-lafz lâ bi khusûs al-sabab"

141 Ibn Katsîr mencoba untuk mengkropromikan antara Q.S. 2: 221 dan 5: 5 dengan klasifikasi non muslim dalam Q.S. al-Bayyinah: 1 dan 3. hal ini, sebagaimana ungkapannya:

“Sesungguhnya, ahl al-kitâb itu berbeda dengan musyrik, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 98: 1”. Kendati demikian, masih terdapat ketidakjelasan sikap yang diambilnya ketika memahami Q.S.

2: 221 dan Q.S. 5: 5 (di tempat yang terpisah). Karena, ketika menjelaskan Q.S. 2: 221 ia memasukkan ahl al-kitâb dalam kategori musyrik yang dikecualikan dari musyrik lainnya dengan Q.S. 5: 5. Namun, ketika menjelaskan Q.S. 5: 5, ia menegaskan bahwa antara musyrik dan ahl al- kitâb adalah dua kelompok yang berbeda, sebagaimana di atas. Lihat: Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr Abû al-Fidâ’ al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Juz. II/28.

Qur’ân berlaku umum; untuk semua umat Islam, kendati beberapa ayatnya turun dengan sabab al-nuzûl.