Analisis Data DBD tahun 2000 − 2004

2. Analisis Data DBD tahun 2000 − 2004

a. Stratifikasi endemisitas

Stratifikasi endemisitas ditentukan berdasarkan jumlah kasus 3 tahun terakhir yang dibagi dalam 4 kategori yaitu desa endemis, sporadis, potensial dan bebas. Analisis ini dimaksudkan untuk intervensi berupa pelaksanaan fogging massal sebelum

musim penularan yang dilakukan sekali setahun. 31

Dari 10 desa di wilayah Puskesmas Mlonggo I, 9 desa (90%) diantaranya merupakan desa endemis DBD dan hanya desa 1 desa (Mororejo) yang masuk kategori sporadis . Desa Mororejo tidak termasuk kategori daerah endemis karena tahun 2000 − 2002 tidak ditemukan kasus DBD.

b. Distribusi Kasus

1) Menurut Waktu

Dalam 5 tahun terakhir (2000 − 2004), kasus DBD di wilayah puskesmas Mlonggo I terus mengalami peningkatan, tercatat 32 kasus (tahun 2000); 72 kasus (tahun 2001); 115 kasus (tahun 2002); 152 kasus (tahun 2003) dan tertinggi tahun 2004 sebanyak 285 kasus, 6 diantaranya meninggal, sehingga tahun 2004 Puskemas Mlonggo I dinyatakan telah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD.

Hal ini berbeda dengan teori yang menyebutkan bahwa puncak kejadian DBD berulang mengikuti siklus 5 tahunan, dimana KLB biasanya akan berulang dalam 5 tahun. Dengan kenyataan ini maka siklus 5 tahunan hendaknya tidak menjadi dasar utama prediksi terjadinya KLB dalam rangka kewaspadaan dini.

2) Menurut Tempat

Hasil analisis distribusi kasus menurut tempat selama 5 tahun terakhir bervariasi. Tahun 2000 −2002 jumlah kasus terbanyak terjadi di desa Sinanggul, tahun 2003 di desa Suwawal dan tahun 2004 di desa Karanggondang yang mencapai 81 kasus, 2 diantaranya meninggal.

Sementara itu data angka bebas jentik (ABJ) tahun 2004 yang dianggap berhubungan langsung dengan kejadian penyakit DBD justru berbeda. Desa Karanggondang tahun 2004 mempunyai ABJ 97 % yang berarti hanya terdapat 3 rumah yang berjentik dari 100 rumah yang diperiksa. ABJ Karanggondang merupakan ABJ terendah kedua setelah desa Mororejo yang mempunyai ABJ 100 %, tetapi kasusnya justru tertinggi diantara desa yang lain. Padahal secara teori kemungkinan penularan DBD terjadi jika ABJ < 95%

Hal ini terjadi akibat data ABJ di Puskesmas Mlonggo I diperoleh melalui pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan hanya pada waktu −waktu tertentu, sehingga jika data ABJ didapatkan beberapa bulan sebelum musim penularan, data tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kenyataan saat memasuki musim penularan. Oleh karena itu data ABJ maupun data faktor risiko yang lain harusnya diperbaharui sesaat menjelang musim penularan, sehingga benar −benar dapat digunakan untuk memprediksi akan terjadinya kasus.

3) Menurut Orang

Hasil analisis menurut orang, tidak diketahui secara cepat, karena distribusi menurut golongan umur sampai saat ini belum tercatat pada format laporan kegiatan program DBD. Demikian juga distribusi menurut jenis kelamin juga belum didapatkan, padahal pada form DP −DBD terdapat variabel umur, tetapi pada pelaporan sering tidak disertakan.

c. Musim Penularan

Musim penularan berguna untuk memprediksi waktu mulai munculnya kasus DBD sehingga dapat ditentukan upaya-upaya pengendalian untuk kewaspadaan dini. Langkah −langkah penentuan musim penularan telah dijabarkan pada pada Bab II.

Adapun grafik musim penularan berdasarkan data yang ada di puskesmas Mlonggo I diperkirakan terjadi pada bulan Agustus seperti terlihat pada gambar 4.2. Disamping digunakan untuk menentukan waktu yang tepat guna melakukan intervensi, musim Adapun grafik musim penularan berdasarkan data yang ada di puskesmas Mlonggo I diperkirakan terjadi pada bulan Agustus seperti terlihat pada gambar 4.2. Disamping digunakan untuk menentukan waktu yang tepat guna melakukan intervensi, musim

Grafik Penentuan Musim Penularan Demam

Berdarah Dengue

Musim penularan

Gambar 4.2. Grafik Penentuan Musim Penularan

d. Evaluasi Program dengan Indikator

Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari hasil analisis data yaitu angka kesakitan / IR (Insidence Rate), angka kematian / CFR (Case Fatality Rate) dan Angka Bebas jentik (ABJ). Penjelasan mengenai cara perhitungan indikator −indikator tersebut telah dijelaskan pada hal 37.

Berdasarkan data DBD di puskesmas Mlonggo I diketahui bahwa tahun 2004 terjadi 285 kasus 6 diantaranya meninggal. Dengan penduduk 81.119, maka IR mencapai 35,1 per 10.000 penduduk, lebih tinggi dari IR kabupaten Jepara yang mencapai 11,5 per 10.000 penduduk, dan sehingga puskesmas Mlonggo I merupakan puskesmas dengan kasus DBD tertinggi di Kabupaten Jepara. Sedangkan angka kematian / CFR 2,1% yang berarti lebih tinggi dari CFR Kabupaten

Jepara sebesar 2,04%. Berdasarkan indikator di atas, program pemberantasan penyakit DBD di puskesmas Mlonggo I dapat dikatakan belum berhasil.